Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

CONTOH-CONTOH SISTEM AGROFORESTRY

DI INDONESIA

Di Susun Oleh :

Saiful ohorela

04341911005

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “contoh-contoh sistem agroforestry di indonesia”
yang dibuat untuk memenuhi tugas kami. Dalam makalah ini kami ingin menguraikan
pemahaman kami mengenai contoh-contoh sistem agroforestry di indonesia

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini tidak menutup
kemungkinan terdapat kekurangan, oleh karena itu saya selaku penyusun berharap kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan
bagi kita semua, Semoga makalah ini bisa menjadi bahan pembelajar bagi orang-orang yang mau
melestarikan hutan,khususnya hutan di Maluku utara.dengan pelestarian tersebut kita bisa
mengurangi kerusakan-kerusakan yang sering terjadi.
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1 Latar belakang .............................................................................................................. 1


1.2 Rumusan masalah ........................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 3

2.1 Peningkatan Produktivitas Tanah Melalui Sistem Agroforestri................................... 3

2.2 KarakteristiSSk Dan Prospek Ekonomi Sistem Agroforestri Di

Kabupaten Bireuen Aceh ................................................................................................... 4

2.3 Strategi Pengelolaan Agroforestri Berbasis Aren Di Pulau

Bacan Kabupaten Halmahera Selatan ................................................................................ 5

2.4 Optimalisasi Pemanfaatan Sistem Agroforestri Sebagai Bentuk


Adaptasi Dan Mitigasi Tanah Longsor .............................................................................. 6

2.5 Pengetahuan Ekologi Masyarakat Lokal Dalam Pemilihan Pohon

Pelindung Padasistem Agroforestri Tradisional "Dusung" Pala Di Ambon ...................... 7

2.6 Agroforestri Pola Kebun Campuran Di Desa Warembungan Kecamatan


Pineleng Provinsi Sulawesi Utara S................................................................................... 8

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 10

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 10


3.2 saran ............................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 11


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agroforestri merupakan salah satu sistem pengelolahan lahan yang telah dipraktekkan
oleh petani terutama didaerah tropis. Sistem ini diterapkan dalam berbagai bentuk tergantung
pada kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Bentuk agroforestri ini dominan
dijumpai di dataran rendah sedangkan pada dataran tinggi dijumpai kombinasi pepohonan
dengan tanaman pertanian seperti tanaman palawija dan sayuran diantaranya dijumpai berbagai
jenis pohon seperti cempaka, nantu dan lainnya. Agroforestri merupakan suatu sistem
penggarapan tanah atau penggunaan lahan di mana kegiatan kehutanan, pertanian, dan
peternakan dikombinasikan secara bersama-sama (Hairiah dkk., 2003). Agroforestri atau
dikenal juga sebagai suatu sistem usahatani atau pertanian hutan merupakan suatu sistem
penggunaan lahan secara spasial yang dilakukan oleh manusia dengan menerapkan berbagai
teknologi yang ada melalui pemanfaatan tanaman semusim, tanaman tahunan (perdu, palem,
bambu, dan sebagainya) dan/atau ternak dalam waktu bersamaan atau bergiliran pada suatu
periode tertentu sehingga terbentuk interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi di dalamnya (Hairiah
dkk., 2003; Latumahina dan Sahureka, 2006).

Menurut Santoso dkk. (2003), agroforestri memiliki beberapa ciri khas dibandingkan
sistem penggunaan lahan lain, yaitu:

1. Adanya interaksi kuat antara komponen pepohonan dan bukan pepohonan.


2. Integrasi dua atau lebih jenis tanaman (salah satunya tanaman berkayu).
3. Memberikan dua atau lebih hasil dari penggunaan sistem agroforestri.
4. Siklusnya lebih dari satu tahun.
5. Dapat digunakan pada lahan berlereng curam, berbatu, berawa, ataupun tanah marginal di
mana sistem penggunaan lahan lain kurang cocok.

Walangitan (2012) mengemukakan bahwa respon petani terhadap agroforestri sebagai salah
satu teknologi konservasi sangat di pengaruhi beberapa faktor seperti :

(a) kemudahan teknologi tersebut di aplikasikan,


(b) secara ekonomi menguntungkan
(c) budaya tidak bertentangan dengan sosial budaya masyarakat setempat.

Walangitan (2014) mengemukakan bahwa penerapan agroforestri pada tingkat petani ditentukan
oleh dampak dan manfaat yang langsung diterima oleh petani. Oleh sebab itu setiap rekomendasi
teknologi konservasi perlu dievaluasi pengaruhnya terhadap produktivitas lahan serta tingkat
keuntungan yang diperoleh petani baik jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut
Suharjito dkk. (2003) bahwa aspek penting yang sering dikaji dalam penerapan agroforestri
diantaranya aspek teknis agronomis, silvikultur, aspek sosial ekonomi serta aspek ekologi. Aspek
teknis agronomis dan silvikultur yaitu kajian kesesuaian kombinasi antara tanaman kehutanan
dan tanaman pertanian untuk mendapatkan produktivitas yang lebih tinggi. Kajian aspek sosial
ekonomi diantaranya mempelajari kombinasi jenis tanaman bagaimana yang dapat memberikan
pendapatan yang menguntungkan bagi petani.

Keberhasilan sistem agroforestri yang berlandaskan dari sistem pertanian kehutanan dapat
dilihat dari adanya keuntungan yang dapat dihitung langsung melalui peningkatan produksi
bahan pangan (Suhardi dkk., 2005) dan ketahanan pangan (Ardhana dan Susanti, 2013; Pujiono
dkk., 2013). Hal tersebut tentu dapat terwujud dengan pemilihan komoditas yang tepat. Jenis
tanaman pada sistem agroforestri yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan antara lain
padi gogo, jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, dan sebagainya (Hairiah,
2003).Pemanfaatan Agroforestri Sebagai Penghasil Pakan Ternak.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. Apa manfaat dalam menerapkan sistem agroforestry
2. Bagaimana strategi pengelolaan sistem agroforestry
3. jenis tumbuhan apa saja yang di khususkan pada penerapan sistem agroforestry

1.3 Tujuan

Tujuan dalam makalah ini adalah contoh-contoh penerapan sistem agroforestry di indonesia yang
di dalamnya pengelolaaan sistem agroforestry dapat di terapkan dari lahan-lahan apa saja yang
cocok di berikan dengan tanaman yang sesuai pada lahan dalam sistemnya.

Hal tersebut tentu dapat terwujud dengan pemilihan komoditas yang tepat. Jenis tanaman
pada sistem agroforestri yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan antara lain padi gogo,
jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, dan sebagainya (Hairiah, 2003).Pemanfaatan
Agroforestri Sebagai Penghasil Pakan Ternak.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dalam Penerapan Sistem Silvikultur Berikut Contoh-Contoh Sistem Silvikultur


Diindonesia

2.1 Peningkatan Produktivitas Tanah Melalui Sistem Agroforestri

Degradasi lahan adalah proses penurunan kualitas lahan, baik fisik, kimia (peningkatan
kemasaman tanah, penurunan kandungan unsur hara) maupun biologi (penurunan
aktivitasbiologi tanah), salinisasi dan pencemaran tanah (Young, 1997). Barrow (1991)
mengemukakan bahwa degradasi lahan dicirikan oleh status hara dan kapasitas menahan air
sangat rendah, dan telah mengalami kerusakan serta kehilangan fungsi hidrologi dan ekonomi.

Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi matahari, meminimalkan


kehilangan unsur hara, mengoptimalkan efesiensi penggunaan air dan meminimalkan runoff
serta erosi. Menurut Young dalam Suprayogo el at. (2003) ada empat keuntungan penerapan
agroforestri, yaitu: memperbaiki kesuburan tanah, menekan erosi, mencegah perkembangan
hama dan penyakit, dan menekan populasi gulma. Lebih lanjut dijelaskan, terhadap kesuburan
tanah sistem agroforestri berperan dalam hal mempertahankan kandungan bahan organik tanah,
mengurangi kehilangan hara ke lapisan lebih bawah, menambah hara N hasil penambatan N
bebas dan udara, memperbaiki sifat fisik tanah, dan adanya interaksi antara komponen ekologis
dan ekonomis.

Freenstra (2000) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan agroforestri sebagai pertanian


berkelanjutan perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu: 1) pemilihan jenis tanaman yang sesuai
dengan lokasi dan kondisi pertanian setempat, 2) diversifikasi tanaman dan cara bertani yang
dapat memperluas stabilitas biologis dan ekonomis, 3) pengelolaan tanah untuk memperluas
dan menjaga kualitas tanah, 4) penggunaan input yang efisien dan ramah lingkungan, dan 5)
perhatian terhadap tujuan dan cara hidup petani. Pemilihan jenis tanaman merupakan hal
penting dalam sistem agroforestri. Persoalan yang sering muncul dalam pemilihan jenis
tanaman adalah toleransi tanaman terhadap kejenuhan Al dan kemasaman tinggi, unsur hara
rendah (terutama P dan K) dan toleransi terhadap naungan (Norman et al., 1995), serta
kemampuan untuk berkompetisi dalam mendapatkan air, hara, dan cahaya (Sanchez, 1995).
Strategi yang dapat dilakukan untuk memilih tanaman yang toleran terhadap kemasaman tinggi
adalah: 1) modifikasi genetik, dan 2) inventarisasi tanaman. Tabel 3 menyajikan beberapa jenis
tanaman yang toleran terhadap kemasaman tinggi yang dapat ditanam pada sistem agroforestri.
Pertimbangan lain adalah tanaman yang memiliki perakaran dalam dengan tajuk yang tidak
terlalu lebar. Pohon dengan perakaran dalam dan menyebar secara intensif pada lapisan tanah
bawah dapat mengurangi pencucian hara secara vertikal maupun horisontal. Sedangkan
penyebaran akar pohon yang dangkal akan menimbulkan kompetisi dengab tanaman semusim
yang mengakibatkan hambatan pertumbuhan. Hambatan pertumbuhan dapat terjadi secara
langsung (pengaruh alelopati) atau tidak langsung (berkurangnya intensitas cahaya akibat
naungan atau kekurangan hara dan air akibat terlalu dekat).

Naungan tajuk dapat mengurangi intensitas cahaya. Untuk mengurangi efek negatif ini
perlu dipertimbangkan jenis tanaman pohon dengan tajuk tidak terlalu lebar, jika menggunakan
tajuk yang lebar perlu pengaturan jarak tanam atau pengaturan pemangkasan (Hairiah, 2000a).
Tabel 4 menyajikan beberapa jenis tanaman dengan kedalaman perakaran dan sebaran tajuk
yang berbeda. Sedangkan beberapa pohon yang berpotensi untuk digunakan dalam sistem
agroforestri disajikan pada Tabel 5. Selain pertimbangan di atas, jenis tanaman yang tahan
terhadap naungan perlu dipertimbangkan, diantaranya talas dan tanaman rempah. Hasil
penelitian Prasetyo (2004) bahwa pertumbuhan kapulaga di bawah naungan 70% (umur 6
tahun) lebih baik dibandingkan tanpa naungan sama sekali.

2.2 Karakteristik Dan Prospek Ekonomi Sistem Agroforestri Di Kabupaten Bireuen


Aceh

Responden petani agroforestri dikelompokkan berdasarkan umur, jumlah anggota keluarga


dan pendidikan kepala keluarga, pengalaman usahatani, dan luas lahan garapan. Tabel 1
menunjukkan bahwa sebagian besar petani yang menerapkan agroforestri tergolong dalam usia
produktif dan mempunyai anggota keluarga yang dapat membantu pengelolaan usahatani.

Komponen biaya produksi dalam sistem agroforestri yang diterapkan terdiri dari bibit/benih,
mesin/peralatan, pupuk, pestisida/herbisida/insektisida. Sedangkan sewa lahan dan tenaga kerja
tidak diperhitungkan karena lahan merupakan milik sendiri dan tenaga kerja berasal dari
anggota rumah tangga. Penggunaan tenaga kerja dari anggota keluarga lebih dimaksudkan
untuk mengurangi penggunaan uang untuk biaya/modal langsung. Biaya produksi yang
disebutkan berkisar Rp. 570.000 – 32.000.000 per tahun. Jumlah biaya produksi sangat
tergantung dari jenis tanaman yang dibudidaya. Pada biaya produksi terendah, jenis tanaman
yang ditanam adalah kombinasi tanaman buah dan tanaman pagar dengan luas lahan 1 ha,
sedangkan pada biaya produksi tertinggi ditanami kombinasi tanaman kelapa sawit, tanaman
pangan dan hortikultura dengan luas 1.2 ha. Rata-rata jumlah biaya produksi pada system
agroforestri pada 3 kecamatan yang diteliti sejumlah Rp. 4,332,857/tahun. Jumlah pendapatan
usahatani agroforestri berkisar Rp. 1.000.000 – 78.000.000 per tahun dengan rata-rata
pendapatan Rp. 19,480,714/tahun, atau rata-rata keuntungan Rp. 15. 147.857 per tahun. Jumlah
pendapatan juga dipengaruhi oleh jenis komoditas dan luas lahan. Kombinasi jenis tanaman
yang menghasilkan pendapatan tertinggi adalah tanaman perkebunan (buah) + tanaman pangan.
Sedangkan pendapatan terendah diperoleh pada kombinasi tanaman kelapa + ternak, namun
pendapatan hanya diperhitungkan dari kelapa, sedangkan ternak belum menghasilkan.
Kombinasi tanaman yang hanya memperoleh 1 sumber
Rantai proses pemasaran produk agroforestri di wilayah penelitian secara umum melalui
Petani – Pedagang Pengumpul (Mugee) – Konsumen/Pasar. Rantai ini tergolong pendek dan
mencerminkan pola pemasaran produk pertanian secara umum di Kabupaten Bireuen. Secara
umum kondisi pemasaran ini disukai oleh petani karena tidak membutuhkan biaya tambahan
untuk transportasi. Namun demikian 43,33 % petani responden menganggap harga produk lebih
rendah jika dibandingkan dengan harga di pasar terpusat.

Di sisi lain, heterogenitas tanaman dan keberlanjutan pendapatan petani dari penerapan
agroforestri memberikan keamanan dan ketahanan sosial dan ekonomi bagi mayarakat di
Kabupaten Bireuen. Hal ini terlihat dari belum adanya alih fungsi lahan dari bentuk agroforestri
menjadi bentuk penggunaan lain seperti lahan terlantar, dijual ke pemilik modal besar dan
pertanian monokultur lainnya. Hal ini berbeda dengan penggunaan lahan sawah irigasi di
daerah ini yang telah banyak mengalami alih fungsi lahan menjadi non pertanian. Dilain pihak
diperlukan perhatian pemerintah yang lebih intensif baik melalui penyuluhan, pelatihan,
pendampingan dan bantuan dalam mengelola tanaman yang menjadi unggulan. Hal ini
berhubungan dengan belum meratanya kegiatan penyuluhan dari penyuluh pemerintah kepada
petani. Dari 30 responden yang diwawancara, 13 orang (43,33%) belum memperoleh pelayanan
dari pemerintah.

2.3 Strategi Pengelolaan Agroforestri Berbasis Aren Di Pulau Bacan Kabupaten


Halmahera Selatan

Strategi pada umumnya merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan (Chandler
1962 dalam Rangkuti 1997). Perumusan strategi pengelolaan agroforestri aren di desa
Kampung Makian Kecamatan Bacan Selatan menghasilkan variabel yang dirangkum untuk
mendapatkan alternatif strategi pengelolaan melalui matriks internal–eksternal. Uraian secara
lengkap faktor internal dan faktor eksternal dapat dilihat di bawah ini :

2.3.1 faktor internal

Analisis faktor internal pengelolaan agroforestri aren adalah langkah awal dalam
merumuskan strategi pengelolaan, analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor–faktor
yang menjadi kekuatan dan kelemahan suatu usaha. Hasil identifikasi faktor kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki suatu usaha dapat digunakan sebagai dasar penetapan strategi
pengelolaan dan pengembangan usaha sehingga peluang pasar dapat dimanfaatkan dengan baik
(Rangkuti 1997). Identifikasi ke lokasi dengan melibatkan beberapa expert terpilih yang
dianggap mengetahui tentang pengelolaan agroforestri, penilaian bobot dan rating faktor
internal ditampilkan pada matriks faktor strategi internal.

2.3.2 faktor eksternal

Analisis faktor ekternal pengelolaan agroforestri berbasis aren ditujukan untuk


mengidentifikasi faktor–faktor yang menjadi peluang dan ancaman yang dihadapi petani.
Peluang merupakan suatu usaha yang dibangun/beroperasi secara menguntungkan sedangkan
ancaman adalah tantangan yang timbul karena adanya perubahan lingkungan yang dapat
mengurangi keuntungan suatu usaha. Identifikasi faktor eksternal dengan melibatkan beberapa
expert terpilih dari stakeholder terkait yang dianggap mengetahui tentang pengelolaan
agroforestri, penilaian bobot dan rating faktor eksternal ditampilkan pada matriks faktor strategi
eksternal. Pemilihan alternatif strategi yang sesuai dengan kondisi yang ada dengan membuat
matriks SWOT. Matriks SWOT dibangun berdasarkan hasil analisis faktor–faktor strategis
eksternal maupun internal yang disusun empat strategi utama yaitu: SO, WO, ST dan WT
(Tabel 5). Berdasarkan hasil perhitungan skor pada matrik EFAS dan IFAS pengelolaan
agroforestri berbasis aren desa Kampung Makian Kecamatan Bacan Selatan berada pada posisi
kuadran II (0.12 ; –0.68). Kuadran II merupakan situasi petani dalam menghadapi ancaman,
namun petani masih memiliki kekuatan dari segi internal yaitu strategi yang harus diterapkan
dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara
strategi diversifikasi produk. Posisi pengelolaan agroforestri berbasis aren di desa Kampung
Makian Kecamatan Bacan Selatan

2.4 Optimalisasi Pemanfaatan Sistem Agroforestri Sebagai Bentuk Adaptasi Dan


Mitigasi Tanah Longsor

Mitigasi tanah longsor dilakukan sebagai salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan
dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan akibat tanah longsor. Mitigasi tidak sepenuhnya
menghilangkan kerugian ataupun dampak yang ditimbulkan tanah longsor. Namun demikian,
mitigasi diharapkan mampu untuk mengurangi atau meminimalisasi dampak yang ditimbulkan
bagi masyarakat maupun lingkungan (Paimin dkk., 2009). Mitigasi tanah longsor dilakukan
dengan memperhatikan keberlangsungan kondisi tanah pada suatu lereng. Oleh karena itu,
perlakuan khusus melalui upaya konservasi tanah menjadi suatu hal yang penting. Upaya
konservasi tanah sangat membantu dalam menstabilkan tanah, terutama untuk membuat lereng
stabil (Erfandi, 2013). Konservasi tanah erat kaitannya dengan kondisi lereng tempat terjadinya
longsor. Perlu diperhatikan bahwa dalam menghadapi tanah longsor, kondisi lereng perlu
mendapat perlakuan khusus. Stabilisasi lereng umumnya dilakukan di bagian lereng pada suatu
lahan menggunakan rekayasa vegetatif (Santoso dkk., 2004; Paimin dkk., 2009). Arsyad (2006)
menyatakan bahwa rekayasa vegetatif merupakan teknik penggunaan tumbuhan dan sisa-sisa
tumbuhan untuk mengurangi daya rusak akibat hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan daya
rusak aliran permukaan serta erosi. Teknik ini menjadi salah satu teknik pencegahan tanah
longsor yang efektif dan efisien bagi kondisi lereng karena mampu memperbaiki kapasitas
infiltrasi lereng dengan biaya yang relatif lebih murah dan menambah keindahan bentang alam
(Santoso dkk., 2004).

Melalui rekayasa vegetatif, akar tanaman akan berfungsi untuk mencegah terjadinya longsor
(Gambar 1), yaitu dengan cara mencengkeram tanah di lapisan permukaan (0 - 5 cm) oleh akar
pohon yang menyebar horizontal dan menopang tegaknya batang (sebagai jangkar) sehingga
tidak mudah tumbang oleh dorongan massa tanah (Abe dan Ziemer, 1991; dalam Hairiah dkk.,
2008). Rekayasa vegetatif yang digunakan untuk teknik pencegahan tanah longsor dan
konservasi tanah memerlukan jenis tanaman berakar dalam dan mencapai batuan dasar,
perakaran rapat dan mampu mengikat agregat tanah, serta biomassanya ringan (Santoso dkk.,
2004; Paimin dkk., 2009; Erfandi, 2013). Pada lereng yang berpotensi longsor, perlu
diperhatikan jarak atau kerapatan tanaman antara di bagian kaki, tengah, dan puncak lereng. Di
bagian kaki lereng, vegetasi ditanam dengan kondisi paling rapat. Di bagian tengah lereng,
vegetasi ditanam dengan kondisi agak jarang. Adapun di bagian puncak lereng, vegetasi
ditanam dengan kondisi jarang. Kekosongan antar vegetasi tadi kemudian diisi dengan tanaman
penutup tanah (cover crop) atau rumput yang didukung kondisi drainase baik. Rekayasa
vegetatif sekaligus sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi tanah longsor melalui peningkatan
produksi lahan yang berkelanjutan dikenal sebagai sistem agroforestri (Paimin dkk., 2009;
Hairiah dkk., 2003; Nugroho dkk., 2013).

2.5 Pengetahuan Ekologi Masyarakat Lokal Dalam Pemilihan Pohon Pelindung


Padasistem Agroforestri Tradisional "Dusung" Pala Di Ambon

Pada awalnya sistem agroforestri tradisional dusung merupakan lahan hutan alam, dimana
pohon tumbuh secara alami yang benihnya disebarluaskan oleh satwa liar, seperti burung, babi,
atau serangga lainnya. Masyarakat kemudian menyisipkan jenisjenis tanaman tertentu dan
menatanya sesuai rencana pengelolaan. Seiring berjalannya waktu, terbentuklah agroforestri
tradisional yang didominasi oleh jenis tertentu, seperti pala (Myristica fragrans), cengkeh
(Syzygium aromaticum), dan lain-lain. Sistem agroforestri tersebut oleh masyarakat disebut
dusung pala, dusung cengkeh, dan lain-lain. Menurut Salampessy, Bone, & Febryano (2012)
dusung memiliki beberapa manfaat yaitu sebagai sumber pendapatan masyarakat, memiliki
stabilitas ekologis yang relatif tinggi, dan pengelolaannya bertujuan untuk memelihara dan
meningkatkan keunggulan tanaman di dalamnya. Begitu pula dengan pendapat Aworh (2015)
bahwa budidaya dan pemanfaatan berbagai pohon buah asli setempat bertujuan untuk
mengurangi kerugian pasca panen, mempromosikan ketahanan pangan, meningkatkan
pendapatan petani kecil, dan berkontribusi pada pembangunan pedesaan yang berkelanjutan.
Pengambilan keputusan dalam penanaman dan pemeliharaan dusung oleh masyarakat
merupakan bagian dari pengetahuan ekologis lokal yang diwariskan secara turun temurun. Hal
ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Boafo, Saito, Kato, Kamiyama, Takeuchi, &
Nakahara (2015) yang menunjukkan bagaimana keberhasilan dalam penerapan pengetahuan
ekologi lokal menghadapi berbagai tantangan, sepertiadanya kekhasan daerah dalam
pengelolaan dan pengaturan sumber daya alam secara tradisional, kompleksitas lanskap
sosialekologi, dan berhubungan dengan perubahan kondisi ekosistem yang berbeda.

Dusung merupakan salah satu sistem agroforestri tradisional yang berkembang di Provinsi
Maluku. Pengelolaan dusung pala di Desa Hutumuri dilakukan dalam tiga fase, yaitu:
kebun/ladang, aong, dan dusung. Pengambilan keputusan dalam pemilihan jenis tanaman
pelindung di dusung pala dilakukan berdasarkan pengetahuan ekologis lokal masyarakat yang
berkembang secara turun temurun. Pengambilan keputusan tersebut didasari oleh alasan-alasan
tertentu, yaitu: kesesuaian kondisi biofisik, menunjang pertumbuhan pala, kemudahan
pemeliharaan dan pemanenan, warisan orangtua, pendapatanuang, keanekaragaman hasil, dan
kemudahan pemasaran.

2.6 Agroforestri Pola Kebun Campuran Di Desa Warembungan Kecamatan Pineleng


Provinsi Sulawesi Utara

Desa Warembungan memiliki aksesibilitas yang tergolong baik. Desa ini berjarak sekitar 30
km dari ibukota Kabupaten Minahasa, sedangkan jarak dengan ibukota Provinsi Sulawesi Utara
hanya berjarak 10 km. Berdasarkan data statistik desa, luas wilayah Desa Warembungan adalah
675 hektar (ha) yang terdiri atas penggunaan pemukiman 174,9 ha, lahan perkebunan 196,8 ha,
lahan persawahan 5,2 ha, perkantoran 11,30 ha, taman pekarangan 215,48 ha, lahan fasilitas
umum 40,78 ha dan hutan seluas 30 ha. Berdasarkan pengamatan lapangan secara keseluruhan
kondisi topografi Desa bergelombang, mulai dari lereng agak curam sampai sangat curam.
Khususnya wilayah perkebunan memiliki lereng agak curam hingga curam. Daerah yang
tergolong sangat curam dijumpai pada sempadan sungai dan daerah hulu sungai. Berdasarkan
hasil wawancara diperoleh informasi bahwa penduduk asli Desa Warembungan berasal dari
Desa Lota. Penduduk mencari lokasi pemukiman baru setelah terjadi tersebarnya penyakit
menular yang menyerang Desa Lota, hingga ditemukan dan dibentuknya Desa Warembungan.
Berdasarkan data statistiks Desa tahun 2016, Desa Warembungan memiliki jumlah penduduk
adalah 4615 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1280 KK. Sebagian besar penduduk
Desa Warembungan menganut Agama Kristen, tingkat pendidikan umumnya SD dan SMP,
pekerjaan umumnya (80%) sebagai petani. Sistem pertanian yang dominan di Desa
Warembungan adalah pertanian lahan kering.

Penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian didominir oleh tanaman perkebunan kelapa dan
cengkeh dan, buah-buahan dan pepohonan. Tanaman semusim diusahakan diantara tanaman
perkebunan terutama jenisjenis tanaman pangan (jagung, umbi-umbian, cabe dan sayuran).
Secara keseluruhan pola pertanian yang diterapkan masyarakat adalah kebun campuran multi
strata yang tergolong pada sistem agroforestri. Sistem ini sangat cocok mengingat bahwa lahan
daerah ini tergolong miringdantanahnya dipengaruhi oleh bantuan vulkanik. Keadaan ekologis
juga mendukung pertumbuhan tanaman baik tanaman perkebunan, kayu-kayuan serta tanaman
semusim. Sektor pertanian menjadi tumpuan utamadalam memenuhi kebutuhan rumah tangga
didukung oleh tersedianya aksesibilitas dan pasar produk pertanian yang potensial untuk
kebutuhan berbagai jenispangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kota Manado. Khusus
penerapan agroforestri berdasarkan hasil pengamatan pada perkebunan ditemukan beberapa
pola tanam utama yang dapat dikelompokan berdasarkan jenis dan pengaturan luas lahan
terdapat beberapa pola yang dikembangkan petani berdasarkan tujuan. Pola tersebut terdiri atas:
Agroforestri pola 1 yaitu sitem pengaturan ruang tanaman dimana jenis kayu-kayuan ditanam
disepajang batas kebun berbentuk pagar (border planting), Selanjutnya Agroforestri pola2
penanaman acak (random planting) dan pengaturan ruang tidak beraturan. Tanaman ditanam
dengan jarak tanam yang tidak teratur namun membentuk suatu sistem multi strata yang cukup
produkif dan agroforestri pola 3 yaitu hutan rakyat, yang ditanam dengan jarak tanam teratur
diantara tanaman kelapa. Tanaman yang di budidayakan oleh petani selain tanaman tahunan
adalah tanaman semusim dan kehutanan ketiga jenis tanaman ini merupakan tanaman yang
dikelola oleh masyarakat karena hasilnya dapat memberikan keuntungan bagi petani. Kebun
agroforestri yang dimiliki oleh petani dilokasi penelitian sebagian besar merupakan warisan
orang tua mereka sehingga aktivitas petani pada dasarnya berupa kegiatan pemeliharaan dan
pemanenan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat Sembilan pola tanam yang
umumnya dikembangkan oleh masyarakat petani setempat dan sembilan pola ini sangat
bervariasi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Agroforestry adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang memadukan tiga komponen pokok
yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan. Interaksi komponen tersebut menjadikan sistem
agroforestri memiliki keunggulan dibandingkan penggunaan lahan lain, baik dalam hal
produktivitas, diversitas, kemandirian maupun stabilitas produk. Peran agroforestri dengan
berbagai bentuknya telah terbukti sebagai sistem penggunaan lahan berkelanjutan yang mampu
bertindak sebagai salah satu tindakan konservasi tanah dan air pada lahan marginal melalui
perbaikan dan pemeliharaan kesuburan tanah, menekan erosi, disamping menghasilkan beberapa
jenis produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pemilihan jenis tanaman merupakan kunci
penting dalam sistem agroforestri. Kondisi kesuburan tanah yang rendah dan tingginya tingkat
kemasaman tanah mengharuskan pemilihan jenis tanaman yang toleransi tinggi terhadap kondisi
tersebut dan memiliki perakaran dalam serta dapat menyumbangkan hara ke dalam tanah. Selain
itu perlu dipertimbangkan lebar tajuk tanaman hubungannya dengan naungan.

Hal tersebut tentu dapat terwujud dengan pemilihan komoditas yang tepat. Jenis tanaman
pada sistem agroforestri yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan antara lain padi gogo,
jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, dan sebagainya (Hairiah, 2003).Pemanfaatan
Agroforestri Sebagai Penghasil Pakan Ternak.

3.2 Saran

Dalam pengelolaan sistem agroforestry perlu di kembangan dalam lingkungan masyarakat


lain yang tidak paham dengan sistem ini.maka perlu melakukan sosialisasi dalam hal ini
penerapan sistem agroforestry agar mampu bertindak sebagai salah satu tindakan,tindakan yang
di maksud adalah masyarakat dapat memahami dalam menerapkan sistem ini mendapatkan
konservasi tanah dan air pada lahan marginal melalui perbaikan dan pemeliharaan kesuburan
tanah, menekan erosi, disamping menghasilkan beberapa jenis produk yang memiliki nilai
ekonomi tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Walangitan, H.D., 2012. Analisis Keragaman Sistem Usaha Tani Konservasi pada Daerah
Tangkapan Air (Catchment Area) Danau Tondano Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara.

Suharjito, D., L Sudawati., Suyanto., S.R. Utama. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan budaya
Agroforestri. Buku Ajar. Word Agroforestri Centre (ICRAF). Bogor.

Hairiah, K., Sardjono, M.A., Sabarnurdin, S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bogor: World
Agroforestry Centre (ICRAF).

Latumahina, F., Sahureka, M. 2006. Agroforestri; Alternatif Pembangunan Pertanian dan


Kehutanan Berkelanjutan di Maluku. Jurnal Agroforestri, Vol.1, No.3, Desember 2006.

Santoso, D., Purnomo, J., Wigena, I.G.P., Tuherkih, E. 2004. Teknologi Konservasi Tanah
Vegetatif. Dalam Kurnia, U., Rachman, A., Dariah, A. (Eds.). 2004. Teknologi Konservasi
Tanah pada Lahan Pertanian Berlereng. Puslitbangtanak, Bogor: 74 – 106.

Suprayogo, H., D.K. Hairiah, N. Wijayanto, Sunaryo, dan M. Noordwijk. 2003. Peran
Agroforestri pada Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestri sebagai Kunci Keberhasilan
atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF),
Southeast Asia Regional Office. P0 Box 161 Bogor, Indonesia

Freenstra, 0. 2000. What is sustainable agriculture?. http://www.sarep.ucdavis. edu/ concept.


Htm

Norman, MiT, Pearson, CI, Sean, POE. 1995. The ecology of tropical food crop. Cambridge
University Press. New York.

Sanchez, PA. 1995. Science in agroforestry. Agroforestry Systems 3.0:5-55.

Hairiah, K, Sardjono, MA, Sabarmirdin, S. 2003. Pengantar Agroforestri. Indonesia World


Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor,
Indonesia.

Prasetyo. 2004. Budidaya kapulaga sebagai tanaman sela pada tegakan sengon. Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian Indonesia. Volume 6, No. 1: 22-31.

Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep
Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Paimin, Sukresno, Pramono, I.B. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Longsor. Balikpapan:
Tropenbos International Indonesia Programme.
Salampessy, M. L., Bone, I., & Febryano, I. G. (2012). Performansi dusung pala sebagai salah
satu agroforestri tradisional di Maluku. Jurnal Tengkawang, 2(2), 55-65. Retrieved August
24, 2017 from http://download.portalgaruda. org/article.php?article=111696&val=2344.

Aworh, O. C. (2015). Promoting food security and enhancing Nigeria’s small farmers’ income
through value-added processing of lesserknown and under-utilized indigenous fruits and
vegetables. Food Research International, 76, 986-991. https://doi.org/10.1016/j.
foodres.2015.06.003.

Anda mungkin juga menyukai