Anda di halaman 1dari 16

KUALITAS TANAH DAN PRODUKTIVITAS LAHAN

“SISTEM TIGA STRATA DALAM PERBAIKAN PRODUKTIVITAS


LAHAN”

DISUSUN OLEH :
IRNAWATI PURBA (1680921001)

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Ir. Ni Made Sri Sumarniasih, MP.

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat,
Karunia dan Nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan paper ini. Paper ini disusun berdasarkan
judul “Sistem Tiga Strata Dalam Perbaikan Produktifitas Lahan”. Paper ini telah saya susun
dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan paper ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih:
1. Dr. Ir. Ni Made Sri Sumarniasih, MP., selaku dosen pengampu.
2. Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki paper ini.
Akhir kata penulis berharap semoga paper ini memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

ii
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Tujuan............................................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 4
2.1 Sistem Tiga Strata (STS) .................................................................................................. 4
2.2 Produktivitas Lahan.......................................................................................................... 5
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................................... 7
3.1 Pembahasan ...................................................................................................................... 7
BAB IV KESIMPULAN .............................................................................................................. 10
4.1 Simpulan......................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 11

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ilustrasi Pola Integrasi Sistem Tiga Strata. .................................................................. 6


Gambar 2. Pola Integrasi Sistem Tiga Strata. ................................................................................ 8

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu contoh dari sitem pertanian terpadu adalah Sistem Tiga Strata (STS). Sistem tiga
Strata merupakan suatu cara penanaman serta pemangkasan rumput, leguminosa, semak, dan
pohon sehingga hijauan tersedia sepanjang tahun. Stratum pertama terdiri dari tanaman rumput
potongan dan legume herba/ menjalar (sentro, kalopo, arachis, dll.) yang disediakan bagi ternak
pada musim penghujan. Stratum kedua terdiri dari tanaman legume perdu/ semak (alfalfa,
stylosanthes, desmodium rensonii, dll.) yang disediakan bagi ternak apabila rumput sudah mulai
berkurang produksinya pada awal musim kemarau. Bagian ini dibagi petak masing-masing 46
meter persegi ( lebar 5 m dan panjang 9 m ). Stratum tiga terdiri dari legume pohon (gamal,
lamtoro, kaliandra, turi, acasia, sengon, waru, dll.) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
fungsi. Selain untuk pakan pada musim kemarau panjang, tanaman tersebut juga dapat digunakan
sebagai tanaman pelindung dan pagar kebun hijauan makanan ternak maupun kayu bakar.
Satu unit STS memerlukan 2.500 meter persegi yang terdiri dari tiga bagian. Yaitu: Bagian
inti yang berada di tengah-tengah dan ditanami tanaman pangan/holtikultura (1.600 meter
persegi). Bagian selimut terletak diantara bagian inti dan tepi. Bagian selimut ditanami hijauan
jenis rumput potong dan leguminosa (900 meter persegi), Bagian tepi merupakan bagian yang
paling luar yang menjadi batas unit STS yang ditanami pagar hidup dari gamal dan lamtoro jenis
kayu (200 meter). Stratum satu berfungsi sebagai penyedia hijauan bagi ternak. Stratum dua dan
tiga berperan sebagai pagar hidup sehingga ternak tidak mudah menganggu tanaman inti.
Sistem pertanian tiga strata umumnya diterapkan pada pertanian lahan kering dengan curah
hujan 1.500 mm per tahun dengan 8 bulan musim kering, dan 4 bulan musim hujan, dapat
diterapkan pada pertanian lahan kering dengan topografi yang datar atau miring. Tujuan
pertanaman STS adalah menyediakan hijauan pakan dan menjaga kelestarian ekosistem
sepanjang tahun. Manfaat dari pertanaman STS secara praktikal adalah meningkatkan
ketersediaan dan mutu hijauan, menyediakan hijauan sepanjang tahun, meningkatkan kesuburan
tanah, dan meningkatkan produktivitas ternak. Manfaat secara keilmuwan memberikan informasi
mengenai introduksi pertanaman STS. Manfaat secara Institusional memberikan informasi

1
kepada petani/peternak, peneliti bidang peternakan dan pertanian untuk mengambil kebijakan
pertanaman dengan sistem STS.
Lahan merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam segala
kehidupan manusia, karena lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal dan hidup,
melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya.
Karena pentingnya peranan lahan dalam kehidupan manusia, maka ketersediaannya juga jadi
terbatas. Keadaan ini menyebabkan penggunaan lahan yang rangkap (tumpang tindih), misalnya
lahan sawah yang digunakan untuk perkebunan tebu, kolam ikan atau penggembalaan ternak
atau lahan hutan yang digunakan untuk perladangan atau pertanian lahan kering (Hasnudi, 2004).
Permasalahan lahan kering adalah rendahnya kandungan bahan organik, menurunya sifat fisik
tanah, dan kemampuan tanah menyimpan air menurun (Azmi et al., 2007 ). Sempitnya lahan
budidaya, secara langsung akan berdampak terhadap sistem usahatani dan pada akhirnya akan
berakibat rendahnya pendapatan usahatani. Langkah yang harus ditempuh agar sistem usahatani
tetap berkelanjutan adalah melakukan usahatani diversifikasi (multi komoditas), antara lain
dengan pola integrasi tanaman dan ternak melalui sistem tiga strata (STS). Sasaran yang ingin
dicapai dalam program peningkatan produksi pertanian lahan kering kedepan adalah kecukupan
pangan dan perbaikan gizi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan petani, serta perbaikan
lingkungan secara umum. Langkah-langkah kearah itu disusun melalui intensifikasi,
ekstensifikasi dan diversifikasi. Usaha intensifikasi umumnya sudah berkembang pada lahan
yang cukup baik dengan pemilikan lahan yang sempit. Usaha ekstensifikasi dan diversifikasi
kebanyakan dilakukan pada lahan yang kurang baik yang cukup luas dengan kesuburan tanah
yang relatif rendah. Keterbatasan modal dan tenaga kerja yang dimiliki petani, menggiring petani
lahan kering pada suatu usahatani campuran sebagai usaha mengurangi resiko kegagalan
dibandingkan dengan usahatani monokultur. Pengusahaan tanaman yang diusahakan tanpa
mempertimbangkan aspek konservasi sumberdaya dalam banyak hal mengakibatkan bertambah
meluasnya areal lahan kritis (Suwardji dan Priyono, 2004). Untuk menangani masalah lahan
kering diatas maka langkah yang harus ditempuh agar sistem usahatani tetap berkelanjutan
adalah melakukan usahatani diversifikasi (multi komoditas), antara lain dengan pola integrasi
tanaman dan ternak melalui sistem tiga strata (STS) sehingga pada materi ini, akan menjelaskan
mengenai sistem tiga strata dalam perbaikan produktivitas lahan.

2
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengeruaikan apa itu sistem tiga strata
2. Mahasiswa mampu menjelaskan manfaat dari sistem tiga strata dalam perbaikan
produktivitas lahan
3. Mahasiswa diharapkan kedepannya memiliki gambaran bagaimana untuk
memanfaatkan lahan seoptimal mungkin dengan sistem tiga strata.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Tiga Strata (STS)
Sempitnya lahan budidaya, secara langsung akan berdampak terhadap sistem usahatani dan
pada akhirnya akan berakibat rendahnya pendapatan usahatani. Langkah yang harus ditempuh
agar sistem usahatani tetap berkelanjutan adalah melakukan usahatani diversifikasi (multi
komoditas), antara lain dengan pola integrasi tanaman dan ternak melalui sistem STS.
Sistem tiga strata (STS) adalah suatu sistem penanaman dan pemotongan rumput,
leguminosae, semak, dan pohon sehingga hijauan makanan ternak tersedia sepanjang tahun.
Sistem tiga strata ini pertama kali dikembangkan di Bali oleh Prof. Dr. I Made Nitis dan kawan-
kawan. Lahan yang digunakan pada prinsipnya bebas, namun menerapkan pola tanam mengikuti
tiga strata (Rukmana, 2005). Konsep dalam Sistem Tiga Strata (STS), yaitu sebagai berikut:
1. Lahan yang diintegrasikan dengan STS adalah lahan yang kurang subur. Kusuburan tanah
dapat ditingkatkan dengan bintil-bintil nitrogen dari nodulasi akar tanaman leguminosa,
pupuk hijau, dan pupuk kandang. Karenanya, lahan yang subur dipakai untuk tanaman
pangan dan tanaman perkebunan.
2. Petani yang mempunyai lahan sempit tidak akan mau menanam rumput, semak, dan pohon
untuk makanan ternak. Karena itu, rumput, semak, dan pohon ditanam sebagai pagar dari
tanaman palawija ataupun tanaman perkebunan, dan integrasi dengan ternak.
3. STS dapat mengurangi erosi dan memperpanjang masa produktivitas lahan tersebut dengan
daya penyangganya untuk menahan erosi oleh air hujan, sinar matahari, angin; dan
4. Petani mempunyai waktu senggang untuk kegiatan diluar pertanian, sehingga pendapatan
peternakan dan pendapatan petani meningkat (Partama et al. 2013).
Manfaat Sistem Tiga Strata untuk meningkatkan kesuburan tanah karena pada sistem
peternakan tradisional, sapi digembalakan pada waktu siang hari, sehingga kotorannya tersebar
tidak teratur. Sedangkan STS, sapi dikandangkan sehingga kotorannya dapat disebarkan merata
pada lahan yang ditentukan. Akar-akar sentrosema, stelo verano, stelo skabra, gamal, lamtoro
dan akasia vilosa mengandung bintil-bintil nitrogen, yang dapat melepaskan nitrogen untuk
tanaman di sekitarnya. Sedangkan akar dan daun rumput, semak dan pohon yang melapuk juga
bisa meningkatkan humus tanah. Selain itu sistem tiga strata dapat mengurangi erosi dimana
bagian selimut dan pinggir dari STS dapat menahan air hujan di atas tanah sehingga tidak

4
mengalir dengan deras. Dengan demikian tanah dan batu-batu kecil tidak dihanyutkan oleh air,
sehingga erosi pada tanah miring dapat dikurangi sebesar 45 persen.
2.2 Produktivitas Lahan
Menurut Purwowidodo (1983:1) lahan mempunyai pengertian: “Suatu lingkungan fisik
yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai pada batas tertentu
akan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan”. Secara umum, Produktivitas lahan dapat
didefinisikan sebagai kemampuan lahan untuk menghasilkan suatu produksi persatuan luas.
Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan
40,20 juta ha lahan basah (22%). Lahan kering mencakup sekitar 40% permukaan tanah di bumi.
Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha
pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah-buahan) maupun tanaman
tahunan dan peternakan. Lahan kering didefinisikan secara umum dalam hal iklim sebagai tanah
dengan curah hujan terbatas. Ditandai dengan rendahnya curah hujan yang berkisar antara 100-
600 mm/tahun, tidak menentu dan sangat tidak konsisten. Ciri utama dari kekeringan adalah
rendahnya persediaan antara curah hujan tahunan dan evapotranspirasi. Suhu tinggi selama
musim hujan menyebabkan sebagian besar curah hujan yang akan hilang dalam penguapan
(IFAD 2000).
Lahan kering secara fisik tidak diairi atau tidak mendapatkan pelayanan irigasi sehingga
sumber air utama adalah curah hujan dan sebagian kecil yang berasal dari air tanah atau
pomponisasi (Muku, 2002). Lahan kering tergolong sub-optimal karena tanahnya kurang subur,
bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni
tanaman. Adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi
P tinggi, kandungan basa-basa dapat ditukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan
mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi,
1993; Soepardi, 2001). Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N,
P, K, Ca, dan Mg. Lahan kering terdiri dari tanah podsolik merah kuning, oleh sebab itu maka
dapat dipastikan bahwa akan terjadi defisiensi unsur-unsur mikro (Soewardi, 1985). Pemberian
bahan kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K merupakan kunci untuk memperbaiki
kesuburan lahan kering masam.

Lahan atau tanah merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting
dalam segala kehidupan manusia, karena lahan atau tanah diperlukan manusia untuk tempat

5
tinggal dan hidup, melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan,
pertambangan dan sebagainya. Pendayagunaan lahan atau tanah memerlukan pengelolaan yang
tepat dan sejauh mungkin mencegah dan mengurangi kerusakan dan dapat menjamin kelestarian
sumber daya alam tersebut untuk kepentingan generasi yang akan datang. Pada sistem
lingkungan tanah, usaha-usaha yang perlu dikerjakan ialah rehabilitasi, pengawetan, perencanaan
dan pendayagunaan tanah yang optimum (Hasnudi et al., 2004). Penerapan STS adalah terpadu
antar tanaman pangan, tanaman perkebunan dan ternak. Dengan integrasi ini maka pengawasan
STS lebih baik, karena petani setiap hari pergi ke ladang untuk mengawasi tanaman palawijanya,
tanaman palawija tidak diganggu oleh ternak karena dipagari oleh STS, ternak tidak perlu
digembalakan karena STS Menyediakan pakan, adanya pupuk kandang dan tanaman legum pada
STS dan kebutuhan petani sehari-hari dipenuhi oleh hasil palawija, sedangkan kebutuhan
mendadak dipenuhi dari penjualan ternak. Tanaman pada strata 1 dan 2 dibiarkan tumbuh dan
berkembang dan baru dipangkas pada akhir tahun 1; sedangkan tanaman pada stratum 3 baru
dipangkas pada akhir tahun ke 2. Ternak diintegrasikan pada awal tahun ke 3.

Gambar 1. Ilustrasi Pola Integrasi Sistem Tiga Strata.

6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan
Pada saat tekanan yang sangat tinggi terhadap kebutuhan lahan, maka usaha optimalisasi
penggunaan lahan merupakan langkah yang sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas
lahan. Selain itu, untuk membuat suatu sistem pertanian yang berkelanjutan, dapat memadukan
berbagai subsektor yang ada dalam pertanian sebagai suatu usaha yang terintegrasi. Menurut
Delgado et al. (1999) salah satu teknologi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas ternak adalah dengan melakukan sistem pertanian campuran atau integrasi ternak
dengan tanaman. Pola integrasi tanaman ternak mempunyai banyak keuntungan diantaranya
tersedianya sumber pakan, menekan biaya pengendalian gulma, meningkatkan kesuburan tanah,
meningkatkan hasil tanaman utama, membagi resiko kerugian. Hal ini akan dapat meningkatkan
produktivitas lahan yang lebih tinggi, sehingga akan memberikan keuntungan yang lebih besar
bagi petani-peternak.
Sistem tiga strata diperkenalkan oleh Nitis di Bali. Cara pendekatan Sistem Tiga Strata
(STS) adalah terpadu (Integrated Farming Sytem), yaitu mengintegrasikan STS dengan lahan,
tanaman, ternak, pengelola, dan lingkungan, yang dikelola secara terpadu, berorientasi ekologis,
sehingga diperoleh peningkatan nilai ekonomi, tingkat efisiensi, dan produktivitas yang tinggi.
Konsep pertanian terpadu atau konsep LEISA (Low External Input Susitainable Agriculture)
diharapkan menjadi arah baru bagi pembangunan pertanian masa depan, yang dapat memberi
hasil yang sepadan dan berkelanjutan bagi semua insan yang terlibat (LHM, 2005). Bentuk
pendekatannya adalah menyeluruh (holistik) sehingga tercapai keseimbangan yang dinamis
antara sumber daya alam, sumber daya buatan, dan lingkungan. Keseimbangan yang dinamis
berarti adanya prioritas pemanfaatan sumber daya alam (seperti: rumput, leguminosa, semak dan
pohon), sumber daya buatan (seperti: lahan tanaman pangan, lahan perkebunan, dan teknik
pembiakan tanaman), dan lingkungan (seperti: udara, panas, hujan, angin, serta sinar matahari),
sehingga produk dari STS tersebut menjadi optimum (Nitis, 2001; Horne, 1999).
Menurut Nitis (2001) bahwa Sistem Tiga Strata (STS) dapat diterapkan dengan baik pada
pertanian lahan kering yang curah hujannya kurang dari 1500 m/th dengan 8 bulan musim kering
dan 4 bulan musim hujan; pada pertanian lahan kering yang topografinya datar atupun miring
yang kurang produktif untuk pertanian pangan; pada lahan perkebunan yang mengintegrasikan

7
ternak ruminansia (sapi dan atau kambing); dan pada lahan tidur dan lahan kritis. Adapun
manfaat yang diperoleh dari penerapan STS menurut Nitis (2001) adalah: meningkatkan
persediaan dan mutu hijauan makanan ternak; menyediakan hijauan sepanjang tahun;
mempercepat pertumbuhan dan reproduksi ternak; mengurangi waktu memelihara ternak;
meningkatkan daya tampung; meningkatkan kesuburan tanah; mengurangi erosi; menyediakan
kayu api; menyediakan bibit untuk perluasan STS; memperkuat pagar; merangsang timbulnya
kegiatan penunjang; meningkatkan pendapatan petani; dan menambah kehijauan dan keindahan
lingkungan.
Beberapa pola integrasi STS seperti dengan tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan
telah banyak dikembangkan, karena subsektor-subsektor tersebutlah yang banyak mempunyai
lahan yang relatif sangat luas. Salah satu integrasi ternak-tanaman yang mungkin untuk
dikembangkan adalah integrasi ternak ruminansia dengan perkebunan pisang rakyat, dimana
lahan diantara tanaman pisang dapat ditanami hijauan pakan, dan limbah tanaman pisang dapat
digunakan untuk sumber hijauan. Bagian inti ditanami dengan tanaman perkebunan yaitu
tanaman pisang (Musa spp.), yang diintegrasikan dengan umbi-umbian (seperti: ubi
jalar/Ipomoea batatas) dan kacang pinto (Arachis pintoi) diantara tanaman pisang. Bagian
selimut yang berbatasan dengan lahan inti dan lahan pinggir, ditanamai rumput gajah/Pennisetum
purpureum, rumput signal (Brachiaria decumbens) (sebagai stratum 1), bagian pinggir ditanami
dengan semak leguminosa seperti: lamtoro/Leucaena leucocephala (sebagai stratum 2) dan
pohon seperti: dagdag/kol banda/Pisonia grandis (sebagai stratum 3).

Gambar 2. Pola Integrasi Sistem Tiga Strata.

8
Kesuburan Lahan Pada Sistem Tiga Strata
Sistem tiga strata integrasikan tanaman legum untuk perbaikan kesuburan tanah karena
sumbangan nitrogen dari nodul pada akar (Nitis., et al 2000). Tanaman legum merupakan
sumber bahan organik yang murah dan berperan dalam membangun dan mempertahankan
kesuburan tanah. Jumlah bahan organik yang dikembalikan ke dalam tanah perlu diperhitungkan
karena memiliki banyak manfaat. Bahan organik mengandung lebih banyak unsur yang dalam
bentuk tersedia bagi tanaman, hara yang terkandung dilepaskan secara perlahan-lahan sehingga
ketersediaan hara sesuai pertumbuhan tanaman serta mempercepat penyerapan unsur tertentu
serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Soetanto, 2002). Selanjutnya dikatakan
bahwa bahan organik yang berasal dari pupuk hijau seperti legum dapat mencegah proses
pelindian unsur hara.
Kandungan bahan organik dari tanaman legum ini dapat bermanfaat bagi tanaman
berikutnya. Bahan organik yang terdapat dalam tanah dapat menjamin kondisi tanah yang
mendukung bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu dikatakan pula bahwa perakaran legume dapat
meningkatkan daya ikat tanah sehingga tidak terbawa oleh erosi dan dapat meningkatkan bahan
organik tanah. Dengan demikian kontribusi bahan organik dari tanaman legum memiliki peran
yang cukup berarti bagi pengembangan pertanian (Reijntjes, 1999; Purwanto, 2007).
Dengan adanya sistem tiga strata erosi lahan 57% lebih rendah, karena strata 2 dan 3
menahan batu dan kerikil, sedangkan strata 1 menahan tanah. Unsur hara dalam bentuk N 75%
lebih tinggi, bahan organik 13% lebih tinggi dan humus 23% lebih tinggi (Nitis et al., 2000).
Erosi lahan dan air hujan dapat dikurangi karena perakaran yang kuat dan dalam dari strata 2 dan
3 dapat, daun rimbun dari strata 1, 2 dan 3 dapat menahan abrasi karena sinar matahari dan angin
dan ternak yang dikandangkan tidak merusak struktur tanah. Sistem tiga Starata meningkatkan
kesuburan lahan dengan bintil-bintil nitrogen dari tanaman legum, humus dari akar dan daun
yang melapuk dan pupuk kandang dari kotoran ternak.

9
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Simpulan
Sistem Tiga Strata (STS) adalah integrasi tanaman dan ternak berwawasan lingkungan.
Dengan STS produksi tanaman pakan, tanaman pangan, tanaman perkebunan, produksi dan
reproduksi ternak, kesuburan lahan dan kelestarian lingkungan dapat ditingkatkan dan
memfasilitasi program penghijauan dan reboisasi. STS (sistem Pertanian Tiga Strata) layak
dikembangkan sebagai introduksi lahan pertanian. Sistem ini cocok dikembangkan pada lahan
kering agar lahan tetap optimal dan sepanjang tahun petani masih mempunyai pendapatan
melalui usaha pertanian dan peternakannya sehingga petani bisa menjadi mandiri karena dengan
adanya kotoran ternak yang dapat diolah menjadi pupuk sehingga mengurangi biaya produksi
dan produktivitas lahan tetap terjaga.

10
DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, J.S, dan M. Sudjadi, 1993. Peranan sistem bertanam lorong (alley ropping) dalam
meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering masam. Risalah seminar Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Azmi dan Gunawan. 2007. Usaha tanaman-ternak kambing melalui sistem integrasi. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Bengkulu. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Hal:523-531.

Delgado,C., M.Rosegrant, H.Steinfield, S.Ehui, and C.Sourbius. 1999. Livestock to 2020: The
Next Food Revolution, Food, Agriculture, an Environment Discussion Paper 28.
International Food Policy Research Institute. 72.
Direktur Jendral Bina Produksi Perkebunan. 2004. Prospek Pengembangan Pola Integrasi di
Kawasan Perkebunan. Prosiding Seminar dan Ekspose Nasional Sistem Integrasi Ternak-
Tanaman. Denpasar, 20-22 Juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Badan Litbang Pertanian.
Hasnudi., S. Umar., dan I. Sembiring. 2004. Kumpulan Konsep Sumbang Saran Untuk
Kemajuan Dunia Peternakan Di Indonesia. Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara.
Horne, P.M. dan StUr, W.W. 1999. Mengembangkan Teknologi Hijauan Makanan Ternak
Bersama Petani Kecil - cara memilih varietas terbaik untuk ditawarkan kepada petani di
Asia Tenggara. ACIAR Monograph No. 65. Australian Centre for International
Agricultural Research (ACIAR) dan Centro Internacional de Agricultura Tropical (CIAT).
Muku, O.M. 2002. Pengaruh Jarak Tanam Antar Barisan dan Macam Pupuk Organik Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Di Lahan
Kering (tesis). Universitas Udayana. Denpasar.
Priyono dan Suwardji, 2004. Lahan Kritis : Kriteria Identifikasi untuk Keperluan Inventarisasi
Luasnya di Provinsi NTB.

Nitis, I.M. 2000. Ketahanan Pakan Ternak di Kawasan Timur Indonesia: Pendekatan Holistik
melalui Agroforestri. BKS PTN Indonesia Timur-Makassar.

11
Nitis, I.M. 2001. Petunjuk Praktis Tata Laksana sistem Tiga Strata, Ed.5. Universitas Udayana
Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat.
Nitis, I.M. 2001a. Peningkatan Produktivitas Peternakan dan Kelestarian Lingkungan Pertanian
Lahan Kering dengan Sistem Tiga Strata. Buku Ajar. UPT-Penerbit Universitas Udayana.

12

Anda mungkin juga menyukai