Anda di halaman 1dari 9

PENYEDIAAN HIJAUAN/SISTEM TIGA STRATA SPT3015

PENGEMBANGAN SISTEM TIGA STRATA PADA


LAHAN BASAH

KELAS DURIAN

Ditulis oleh:
2203511138 Olaf Joshua Asaribab
2203511139 I Komang Edy Adnyana
2203511149 I Made Aravinda Ananda Saputra
2203511151 Afif Muzakki
2203511156 Kadek Susilo
2203511171 Alfredo Lomy
2203511181 I Pt. Yura Pranaditha Kumara

DOSEN PEMBIMBING :
Ir. NI NYOMAN CANDRAASIH KUSUMAWATI, M.S.

PROGRAM STUDI SARJANA PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JIMBARAN
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini, sehingga
tersusunnya Makalah Pengembangan Sistem Tiga Strata Pada Lahan Basah.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengerjakan tugas yang
diberikan oleh dosen matakuliah Penyediaan Hijauan/Sistem Tiga Strata.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pengerjaan makalah ini. Kami menyadari
bahwa makalah ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai
pihak, agar bisa menjadi lebih baik lagi.
Kami berharap semoga tulisan ini dapat menyampaikan bagaimana
pengembangan sistem tiga strata dalam lahan basah. Sekian dan Terima kasih.

Jimbaran, 2 November 2023

Penulis

Dosen Pembimbing Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, M.S. i


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................. 1
1.2 TUJUAN DAN MANFAAT ........................................................................ 1
BAB II DISKUSI .............................................................................................. 2
2.1 SISTEM TIGA STRATA ............................................................................. 2
2.2 PENGEMBANGAN SISTEM TIGA STRATA PADA LAHAN BASAH . 2
2.3 CONTOH KASUS........................................................................................ 4
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 5
3.1 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 6

Dosen Pembimbing Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, M.S. ii


BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam dasawarsa terakhir ini, manusia mulai memperhatikan masalah
kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertanian. Istilah pertanian yang
berkelanjutan (sustainable agriculture), keanekaragaman hayati (biodiversity),
sistem pertanian terpadu (integrated agriculture system), dan pertanian
berkelanjutan dengan masukan teknologi rendah mulai diperhatikan dan
dikembangkan di banyak negara.
Ternak harus dikembangkan secara terpadu sehingga merupakan bagian
dari “pertanian organik”. Melalui pengolahan tanah yang baik, dapat diketahui
kebutuhan hara tanaman serta kondisi lingkungan dan ekologi dapat diperbaiki dan
dilindungi tanpa harus tergantung pada pupuk kimia dan pestisida. Dengan
demikian konsep sistem tiga strata (STS) dapat diuji dari sudut keamanannya
terhadap manusia, hewan, flora, dan fauna tanah. Meningkatkan keragaman semua
kehidupan, tetapi tetap harmonis dengan alam, tanpa harus melakukan eksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan.
Sistem pertanian terpadu merupakan kegiatan memadukan pertanian dan
peternakan. Salah satu contoh dari sistem pertanian terpadu adalah Sistem Tiga
Strata (STS). Sistem tiga Strata merupakan suatu cara penanaman serta
pemangkasan rumput, leguminosa, semak, dan pohon sehingga hijauan tersedia
sepanjang tahun. Stratum pertama terdiri dari tanaman rumput potongan dan
legume herba/ menjalar (sentro, kalopo, arachis, dll.) yang disediakan bagi ternak
pada musim penghujan. Stratum kedua terdiri dari tanaman legume perdu/ semak
(alfalfa, stylosanthes, desmodium rensonii, dll.) yang disediakan bagi ternak apabila
rumput sudah mulai berkurang produksinya pada awal musim kemarau. Bagian ini
dibagi petak masing-masing 46 meter persegi ( lebar 5 m dan panjang 9 m). Stratum
tiga terdiri dari legume pohon (gamal, lamtoro, kaliandra, turi, acacia, sengon,
waru, dll.) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai fungsi. Selain untuk pakan pada
musim kemarau panjang, tanaman tersebut juga dapat digunakan sebagai tanaman
pelindung dan pagar kebun hijauan makanan ternak maupun kayu bakar.

1.2 TUJUAN DAN MANFAAT


Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah menyampaikan pengertian dari
sistem tiga strata, serta bagaimana pengembangan sistem tiga strata pada lahan
basah.
Manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu agar mahasiswa mengetahui apa
itu sistem tiga strata dan pengembangannya pada lahan basah.

Dosen Pembimbing Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, M.S. 1


BAB II DISKUSI

BAB II

DISKUSI
2.1 SISTEM TIGA STRATA
Sistem tiga strata diperkenalkan oleh Nitis di Bali. Tanaman rumput dan
Leguminosa yang menjalar digolongkan strata I, leguminosa semak dan perdu
digolongkan strata II, dan leguminosa pohon digolongkan strata III. Penataan setiap
strata adalah sebagai berikut : strata I merupakan berupa pohon ditanam paling luar
dengan jarak sekitar 5 m, strata II berupa leguminosa semak perdu yang ditanam
diantaranya, dan strata III, berupa rumput ditanam di bawahnya berdekatan dengan
bidang untuk tanaman pangan (BPTP, 2011). Usaha ternak terpadu dengan tanaman
yang sering dilakukan antara lain Sistem Tiga Strata (STS). Sistem tiga strata adalah
sistem penanaman dan pemotongan rumput, leguminosa, semak dan pohon
sehingga hijauan makanan ternak tersedia sepanjang tahun (Azmi et al., 2007).
Satu unit STS memerlukan 2.500 meter persegi yang terdiri dari tiga bagian.
Yaitu: Bagian inti yang berada di tengah-tengah dan ditanami tanaman
pangan/hortikultura (1.600 meter persegi). Bagian selimut terletak diantara bagian
inti dan tepi. Bagian selimut ditanami hijauan jenis rumput potong dan leguminosa
(900 meter persegi), Bagian tepi merupakan bagian yang paling luar yang menjadi
batas unit STS yang ditanami pagar hidup dari gamal dan lamtoro jenis kayu (200
meter). Stratum satu berfungsi sebagai penyedia hijauan bagi ternak. Stratum dua
dan tiga berperan sebagai pagar hidup sehingga ternak tidak mudah mengganggu
tanaman inti.
Produksi pakan hijauan STS 91% lebih tinggi dari Sistem Tradisional. Erosi
lahan 57% lebih rendah, karena strata 2 dan 3 menahan batu dan kerikil, sedangkan
strata 1 menahan tanah. Unsur hara dalam bentuk N 75% lebih tinggi, bahan organik
13% lebih tinggi dan humus 23% lebih tinggi (Nitis et al., 2000). Erosi lahan dan
air hujan dapat dikurangi karena perakaran yang kuat dan dalam dari strata 2 dan 3
dapat daun rimbun, dari strata 1, 2 dan 3 dapat menahan abrasi karena sinar matahari
dan angin, dan ternak yang dikandangkan tidak merusak struktur tanah. STS
meningkatkan kesuburan lahan dengan bintil-bintil nitrogen dari tanaman legum,
humus dari akar dan daun yang melapuk dan pupuk kandang dari kotoran ternak.

2.2 PENGEMBANGAN SISTEM TIGA STRATA PADA LAHAN


BASAH
Rawa termasuk lahan basah karena rawa adalah lahan yang sepanjang
tahun, atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu banyak air (saturated
water), atau tergenang (waterlogged). oleh karena itu, yang menjadi peranan utama
dalam menggambarkan dinamika lahan rawa gambut adalah fluktuasi air atau naik
turunya air permukaan di lahan (hidrologi).

Dosen Pembimbing Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, M.S. 2


BAB II DISKUSI

Dinamika lahan rawa terdiri atas tanah aluvial dan gambut. Tanah aluvial
dapat merupakan endapan laut (marine sediment), endapan sungai (fluviatil
sediment) atau campuran (fluvio marine sediment) (Widjaja-Adhi, 1986). Selain
tanah-tanah tersebut terdapat tanah-tanah peralihan yang tergantung kepada
ketebalan dan kadar bahan organik lapisan atas. Tanah itu adalah:
1) Tanah Glei Humik bila berkadar bahan organik tinggi tetapi belum mencapai
persyaratan untuk disebut tanah gambut,
2) Glei Bergambut bila lapisan atas memenuhi untuk disebut gambut tetapi
ketebalannya tidak memenuhi, yaitu kurang dari 40 cm.
Tanah Glei Humik sama dengan tanah Glei Humus rendah, sedangkan Glei
Bergambut sama dengan tanah Glei Humus (Subagjo H., 2006)
Adapun teknologi pengelolaan lahan seperti pengolahan tanah, varetas yang
adaptif, alat serta mesin pertanian, ameliorasi dan pemupukan. Pengolahan tanah
untuk penyiapan lahan diperlukan untuk memperbaiki kondisi lahan agar menjadi
seragam dan rata melalui penggemburan atau pelumpuran dan perataan tanah.
Selain itu, juga untuk mempercepat proses pencucian bahan beracun dan
pencampuran bahan ameliorasi dan pupuk dengan tanah. Pada tanah mineral yang
keras dan berbongkah atau pada lahan bergambut sebaiknya tanah diolah sampai
gembur atau melumpur dengan mencampurkan lapisan gambut dan tanah mineral
di bawahnya (Djayusman et al., 1995). Bila lahan sudah rata dan bersih dari bekas
akar-akar kayu maka penanaman berikutnya dapat dilakukan dengan pengolahan
tanah minimum (minimum/zero tillage) yang dapat mengurangi biaya produksi.
Pemberian bahan ameliorasi dan pemupukan memegang peranan penting
dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan pasang surut,
mengingat kondisi lahannya yang masam dengan tingkat kesuburan tanah alami
rendah. Berbagai macam bahan ameliorasi dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas lahan, antara lain: dolomit, abu sekam, atau abu gergajian, tanah mineral,
abu volkan dan lumpur laut. Abu sekam dan abu gergajian, dan limbah tanaman
mempunyai keunggulan dengan yang lain karena harganya relatif murah dan
tersedia setempat (Suriadikarta et al., 1999). Untuk mengatasi asam-asam organik
yang meracun pada tanah gambut yang disawahkan telah banyak dilakukan
penelitian oleh para peneliti bidang kesuburan tanah seperti penggunaan tanah
mineral berkadar besi tinggi, dan terak baja (Suriadikarta dan Hartatik, 2002),
penggunaan dolomit dan rock phosphate (Hartatik et al., 2004).
Hasil penelitian di laboratorium, bahan amelioran yang baru untuk tanah
gambut yaitu abu terbang mempunyai harapan untuk digunakan karena dapat
meningkatkan pH, P, kadar basa-basa (K, Na, Ca, Mg), dan kejenuhan basa
meningkat, namun masih perlu diuji di lapangan (Iskandar et al., 2008). Tanaman
yang ditanam di lahan gambut atau sulfat masam sering tanggap terhadap
pemupukan N, P, K, dan unsur mikro terutama Cu (Widjaja-Adhi (1976)) dalam
Suriadikarta et al. (2001). Oleh karena itu, setelah bahan amelioran diberikan harus

Dosen Pembimbing Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, M.S. 3


BAB II DISKUSI

diikuti dengan pemupukan pupuk anorganik seperti Urea, SP-36, dan KCl,
kemudian unsur mikro Cu (Terusi 20 kg/ha), dan Zn.

2.3 CONTOH KASUS


Kawasan Lahan Gambut satu juta ha eks PLG di Kalimantan Tengah,
mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya pertanian, dan
kawasan konservasi. Kawasan budidaya pertanian dilaksanakan pada kawasan
gambut < 3 m, yang dapat dikembangkan untuk lahan sawah, perkebunan,
perikanan, dan hutan tanaman industri (HTI), berdasarkan kepada kriteria
kesesuaian lahan. Kawasan konservasi berada pada wilayah gambut dengan
ketebalan > 3 m dan juga daerah-daerah tertentu yang mempunyai keanekaragaman
hayati (flora dan fauna), dan di bawah gambut lapisan sulfidik dan atau pasir kuarsa.
Pembukaan lahan gambut harus dilakukan melalui perencanaan yang matang, dan
hati-hati, dan perlu ditunjang dengan analisa dampak lingkungan yang handal serta
pemahaman terhadap kondisi sosial budaya masyarakat lokal.
Menurut Puslittanak (1998), luas kawasan PLG adalah 1.133.607 ha, yang
terdiri atas luas blok A 268.273 ha, blok B 156.409 ha, blok D 138475 ha, dan blok
C 570.000 ha. Blok A, B, C, dan D bagian utara termasuk dalam lahan pasang surut
air tawar, sedangkan bagian selatan blok D, dan C termasuk lahan pasang surut air
laut/payau.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Badan Litbang
Pertanian tahun 1997 sampai dengan 2000 di Blok A menunjukkan bahwa hasil
tanaman padi di lahan sawah, dan sayuran, serta buah-buah di pekarangan cukup
baik. Kendala utama adalah hama tikus, dan banjir di saat puncak musim hujan.
Bila jaringan tata air makro bisa berfungsi dengan baik, hama penyakit dan banjir
dapat dikendalikan maka lahan di kawasan ini sangat potensial untuk usaha
pertanian, Teknologi pertanian lahan rawa sering tidak dapat diterapkan secara
berkelanjutan, disebabkan beberapa kendala seperti permodalan, infrastruktur,
kelembagaan pedesaan, dan kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan jaringan
tata air makro. Terjadinya lahan bongkor akibat reklamasi yang kurang tepat
merupakan pengalaman kegagalan dalam pengembangan lahan rawa.

Dosen Pembimbing Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, M.S. 4


BAB III PENUTUP

BAB III

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN DAN SARAN
Lahan rawa mempunyai potensi yang besar sebagai sumber pertumbuhan
lahan tiga strata. Sistem tiga strata sangat fungsional dalam melingkup seluruh
wilayah/daerah dengan keadaan kelembaban yang berkepanjangan seperti rawa.
Maka dari itu pengembangannya memerlukan strategi pengelolaan yang dapat
menjamin berkelanjutan produksi dan kelestarian kualitas.
Pada era otonomi daerah, sinkronisasi kegiatan, tata ruang serta kesamaan
pemahaman terhadap karakteristik dan masalah rawa sangat diperlukan. Untuk
mewujudkan itu semua, maka mulai dari perencanaan sampai pada kegiatan
lapangan harus terkoordinasi dengan baik, tidak menonjolkan ego wilayah. Selain
itu sosialisasi program perlu dilakukan lebih intensif pada masyarakat, agar tujuan
dan manfaatnya dapat lebih dipahami, sehingga dapat menerima teknologi inovasi
untuk memajukan sistem pertanian di wilayahnya.

Dosen Pembimbing Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, M.S. 5


DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA
Al-Banjari. 2018. “Potensi Lahan Basah Rawa Sebagai Sumber Energi Listrik”.
vol. 1: 46-52.

Azmi dan Gunawan. 2007. “Usaha tanaman-ternak kambing melalui sistem


integrasi”. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Hal:523-531. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Bengkulu.

BPTP. 2011. “Budidaya Hijauan Makanan Ternak”. Lembang, Jawa Barat.

Djayusman, M., S. Sastraatmadja, I.G. Ismail, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995.


“Penataan Lahan dan Pengelolaan Air untuk Meningkatkan Produktivitas
Tanah Sulfat Masam”. Psulittanak.

Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Juniwati, dan J.S. Adiningsih. 2004.


“Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi
bahan amelioran tanah mineral terhadap serapan P dan dan efisiensi
pemupukan P”. Dalam Prosiding Kongres Nasional VIII. HITI. Universitas
Andalas Padang.

Iskandar, Suwardi, dan E.F.R. Ramadina. 2008. “Pemanfaatan bahan amelioran abu
terbang pada lingkungan tanah gambut (1): pelepasan hara makro”. Jurnal
Tanah Indonesia I(1).

Nitis, I. M., K. Lana., dan A. W. Puger. 2000. “Pengalaman pengembangan


tanaman ternak berwawasan lingkungan di Bali”. Seminar Nasional Sistem
Integrasi Tanaman-Ternak. Hal: 44-52. Jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar, Bali.

Subagjo, H. 2006. “Klasifikasi dan penyebaran lahan rawa”. Buku karakteristik dan
pengelolaan lahan rawa. Hlm 1-22. Balai Besar Litbang Sumberdaya lahan
Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. “Teknologi peningkatan produktivitas


tanah sulfat masam”. Laporan akhir. Proyek Sumber Daya Lahan Tanah
dan Iklim. Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.

Suriadikarta, D.A. dan W. Hartatik. 2002. “Pengaruh Penggunaan Tanah Mineral


dan Terak Baja Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung pada Tanah
Gambut”. Laporan hasil penelitian 2002. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.

Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Desmiyati. Z., Suwarno, M. Januwati,


dan Anang H.K. 1999. “Kesiapan Teknologi dan Kendala Pengembangan
Usahatani Lahan Rawa”. Dalam Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya
Nasional Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan
Rawa. Jakarta.

Dosen Pembimbing Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, M.S. 6

Anda mungkin juga menyukai