KELAS DURIAN
Ditulis oleh:
2203511138 Olaf Joshua Asaribab
2203511139 I Komang Edy Adnyana
2203511149 I Made Aravinda Ananda Saputra
2203511151 Afif Muzakki
2203511156 Kadek Susilo
2203511171 Alfredo Lomy
2203511181 I Pt. Yura Pranaditha Kumara
DOSEN PEMBIMBING :
Ir. NI NYOMAN CANDRAASIH KUSUMAWATI, M.S.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam dasawarsa terakhir ini, manusia mulai memperhatikan masalah
kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertanian. Istilah pertanian yang
berkelanjutan (sustainable agriculture), keanekaragaman hayati (biodiversity),
sistem pertanian terpadu (integrated agriculture system), dan pertanian
berkelanjutan dengan masukan teknologi rendah mulai diperhatikan dan
dikembangkan di banyak negara.
Ternak harus dikembangkan secara terpadu sehingga merupakan bagian
dari “pertanian organik”. Melalui pengolahan tanah yang baik, dapat diketahui
kebutuhan hara tanaman serta kondisi lingkungan dan ekologi dapat diperbaiki dan
dilindungi tanpa harus tergantung pada pupuk kimia dan pestisida. Dengan
demikian konsep sistem tiga strata (STS) dapat diuji dari sudut keamanannya
terhadap manusia, hewan, flora, dan fauna tanah. Meningkatkan keragaman semua
kehidupan, tetapi tetap harmonis dengan alam, tanpa harus melakukan eksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan.
Sistem pertanian terpadu merupakan kegiatan memadukan pertanian dan
peternakan. Salah satu contoh dari sistem pertanian terpadu adalah Sistem Tiga
Strata (STS). Sistem tiga Strata merupakan suatu cara penanaman serta
pemangkasan rumput, leguminosa, semak, dan pohon sehingga hijauan tersedia
sepanjang tahun. Stratum pertama terdiri dari tanaman rumput potongan dan
legume herba/ menjalar (sentro, kalopo, arachis, dll.) yang disediakan bagi ternak
pada musim penghujan. Stratum kedua terdiri dari tanaman legume perdu/ semak
(alfalfa, stylosanthes, desmodium rensonii, dll.) yang disediakan bagi ternak apabila
rumput sudah mulai berkurang produksinya pada awal musim kemarau. Bagian ini
dibagi petak masing-masing 46 meter persegi ( lebar 5 m dan panjang 9 m). Stratum
tiga terdiri dari legume pohon (gamal, lamtoro, kaliandra, turi, acacia, sengon,
waru, dll.) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai fungsi. Selain untuk pakan pada
musim kemarau panjang, tanaman tersebut juga dapat digunakan sebagai tanaman
pelindung dan pagar kebun hijauan makanan ternak maupun kayu bakar.
BAB II
DISKUSI
2.1 SISTEM TIGA STRATA
Sistem tiga strata diperkenalkan oleh Nitis di Bali. Tanaman rumput dan
Leguminosa yang menjalar digolongkan strata I, leguminosa semak dan perdu
digolongkan strata II, dan leguminosa pohon digolongkan strata III. Penataan setiap
strata adalah sebagai berikut : strata I merupakan berupa pohon ditanam paling luar
dengan jarak sekitar 5 m, strata II berupa leguminosa semak perdu yang ditanam
diantaranya, dan strata III, berupa rumput ditanam di bawahnya berdekatan dengan
bidang untuk tanaman pangan (BPTP, 2011). Usaha ternak terpadu dengan tanaman
yang sering dilakukan antara lain Sistem Tiga Strata (STS). Sistem tiga strata adalah
sistem penanaman dan pemotongan rumput, leguminosa, semak dan pohon
sehingga hijauan makanan ternak tersedia sepanjang tahun (Azmi et al., 2007).
Satu unit STS memerlukan 2.500 meter persegi yang terdiri dari tiga bagian.
Yaitu: Bagian inti yang berada di tengah-tengah dan ditanami tanaman
pangan/hortikultura (1.600 meter persegi). Bagian selimut terletak diantara bagian
inti dan tepi. Bagian selimut ditanami hijauan jenis rumput potong dan leguminosa
(900 meter persegi), Bagian tepi merupakan bagian yang paling luar yang menjadi
batas unit STS yang ditanami pagar hidup dari gamal dan lamtoro jenis kayu (200
meter). Stratum satu berfungsi sebagai penyedia hijauan bagi ternak. Stratum dua
dan tiga berperan sebagai pagar hidup sehingga ternak tidak mudah mengganggu
tanaman inti.
Produksi pakan hijauan STS 91% lebih tinggi dari Sistem Tradisional. Erosi
lahan 57% lebih rendah, karena strata 2 dan 3 menahan batu dan kerikil, sedangkan
strata 1 menahan tanah. Unsur hara dalam bentuk N 75% lebih tinggi, bahan organik
13% lebih tinggi dan humus 23% lebih tinggi (Nitis et al., 2000). Erosi lahan dan
air hujan dapat dikurangi karena perakaran yang kuat dan dalam dari strata 2 dan 3
dapat daun rimbun, dari strata 1, 2 dan 3 dapat menahan abrasi karena sinar matahari
dan angin, dan ternak yang dikandangkan tidak merusak struktur tanah. STS
meningkatkan kesuburan lahan dengan bintil-bintil nitrogen dari tanaman legum,
humus dari akar dan daun yang melapuk dan pupuk kandang dari kotoran ternak.
Dinamika lahan rawa terdiri atas tanah aluvial dan gambut. Tanah aluvial
dapat merupakan endapan laut (marine sediment), endapan sungai (fluviatil
sediment) atau campuran (fluvio marine sediment) (Widjaja-Adhi, 1986). Selain
tanah-tanah tersebut terdapat tanah-tanah peralihan yang tergantung kepada
ketebalan dan kadar bahan organik lapisan atas. Tanah itu adalah:
1) Tanah Glei Humik bila berkadar bahan organik tinggi tetapi belum mencapai
persyaratan untuk disebut tanah gambut,
2) Glei Bergambut bila lapisan atas memenuhi untuk disebut gambut tetapi
ketebalannya tidak memenuhi, yaitu kurang dari 40 cm.
Tanah Glei Humik sama dengan tanah Glei Humus rendah, sedangkan Glei
Bergambut sama dengan tanah Glei Humus (Subagjo H., 2006)
Adapun teknologi pengelolaan lahan seperti pengolahan tanah, varetas yang
adaptif, alat serta mesin pertanian, ameliorasi dan pemupukan. Pengolahan tanah
untuk penyiapan lahan diperlukan untuk memperbaiki kondisi lahan agar menjadi
seragam dan rata melalui penggemburan atau pelumpuran dan perataan tanah.
Selain itu, juga untuk mempercepat proses pencucian bahan beracun dan
pencampuran bahan ameliorasi dan pupuk dengan tanah. Pada tanah mineral yang
keras dan berbongkah atau pada lahan bergambut sebaiknya tanah diolah sampai
gembur atau melumpur dengan mencampurkan lapisan gambut dan tanah mineral
di bawahnya (Djayusman et al., 1995). Bila lahan sudah rata dan bersih dari bekas
akar-akar kayu maka penanaman berikutnya dapat dilakukan dengan pengolahan
tanah minimum (minimum/zero tillage) yang dapat mengurangi biaya produksi.
Pemberian bahan ameliorasi dan pemupukan memegang peranan penting
dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan pasang surut,
mengingat kondisi lahannya yang masam dengan tingkat kesuburan tanah alami
rendah. Berbagai macam bahan ameliorasi dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas lahan, antara lain: dolomit, abu sekam, atau abu gergajian, tanah mineral,
abu volkan dan lumpur laut. Abu sekam dan abu gergajian, dan limbah tanaman
mempunyai keunggulan dengan yang lain karena harganya relatif murah dan
tersedia setempat (Suriadikarta et al., 1999). Untuk mengatasi asam-asam organik
yang meracun pada tanah gambut yang disawahkan telah banyak dilakukan
penelitian oleh para peneliti bidang kesuburan tanah seperti penggunaan tanah
mineral berkadar besi tinggi, dan terak baja (Suriadikarta dan Hartatik, 2002),
penggunaan dolomit dan rock phosphate (Hartatik et al., 2004).
Hasil penelitian di laboratorium, bahan amelioran yang baru untuk tanah
gambut yaitu abu terbang mempunyai harapan untuk digunakan karena dapat
meningkatkan pH, P, kadar basa-basa (K, Na, Ca, Mg), dan kejenuhan basa
meningkat, namun masih perlu diuji di lapangan (Iskandar et al., 2008). Tanaman
yang ditanam di lahan gambut atau sulfat masam sering tanggap terhadap
pemupukan N, P, K, dan unsur mikro terutama Cu (Widjaja-Adhi (1976)) dalam
Suriadikarta et al. (2001). Oleh karena itu, setelah bahan amelioran diberikan harus
diikuti dengan pemupukan pupuk anorganik seperti Urea, SP-36, dan KCl,
kemudian unsur mikro Cu (Terusi 20 kg/ha), dan Zn.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN DAN SARAN
Lahan rawa mempunyai potensi yang besar sebagai sumber pertumbuhan
lahan tiga strata. Sistem tiga strata sangat fungsional dalam melingkup seluruh
wilayah/daerah dengan keadaan kelembaban yang berkepanjangan seperti rawa.
Maka dari itu pengembangannya memerlukan strategi pengelolaan yang dapat
menjamin berkelanjutan produksi dan kelestarian kualitas.
Pada era otonomi daerah, sinkronisasi kegiatan, tata ruang serta kesamaan
pemahaman terhadap karakteristik dan masalah rawa sangat diperlukan. Untuk
mewujudkan itu semua, maka mulai dari perencanaan sampai pada kegiatan
lapangan harus terkoordinasi dengan baik, tidak menonjolkan ego wilayah. Selain
itu sosialisasi program perlu dilakukan lebih intensif pada masyarakat, agar tujuan
dan manfaatnya dapat lebih dipahami, sehingga dapat menerima teknologi inovasi
untuk memajukan sistem pertanian di wilayahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Banjari. 2018. “Potensi Lahan Basah Rawa Sebagai Sumber Energi Listrik”.
vol. 1: 46-52.
Iskandar, Suwardi, dan E.F.R. Ramadina. 2008. “Pemanfaatan bahan amelioran abu
terbang pada lingkungan tanah gambut (1): pelepasan hara makro”. Jurnal
Tanah Indonesia I(1).
Subagjo, H. 2006. “Klasifikasi dan penyebaran lahan rawa”. Buku karakteristik dan
pengelolaan lahan rawa. Hlm 1-22. Balai Besar Litbang Sumberdaya lahan
Pertanian. Badan Litbang Pertanian.