Anda di halaman 1dari 5

SISTEM PERTANIAN MALAYSIA

NAMA:

1. Ayu Putri Wahyuni (180722639548)


2. Nurotun Na’imah (180722639513)

Asia merupakan wilayah dengan penggunaan lahan untuk pertanian


tradisional terbesar di dunia. Pertanian di Asia telah beradaptasi dengan iklim
yang beraneka ragam dan perubahan social selama lebih dari ribuan tahun.
Keberhasilan pertanian di Asia dipengaruhi manajeman sumber daya yang
terintegrasi baik sumber daya alam maupum sumber daya manusia. Akan tetapi
system pertanian tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan manusia yang kian
meningkat. Sehingga dilakukan modifikasi system pertanian tradisional menjadi
system pertanian modern (Herath. S. 2013).

Salah satu Negara di Asia yang memiliki system pertanian yang cukup
maju adalah Malaysia. System pertanian tradisional di Malaysia adalah dengan
menggunakan system ladang berpindah (Shifting Cultivation). sistem perladangan
berpindah dipraktekkan oleh 240 sampai 300 juta penduduk di daerah tropis.
Pertanian dengan menggunakan system ini dapat dipertahankan dalam jangka
waktu yang panjang jika mampu beradaptasi dan berintegrasi dengan kondisi
local, dan mendapat dukungan dari strategi subsisten lainnya. System ini masih
berkembang di Malaysia dan menjadi budaya yang tidak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat perbatasan Malaysia khususnya wilayah Sabah dan
Serawak.

Petani rumah menjadi agen utama dalam pertanian ini, mereka membuka
lahan 1-3 ha lahan dengan cara membakar dan memotong rumput untuk
dimanfaatkan sebagai ladang padi atau jagung. Proses pembukaan ladang dimulai
dengan membersihkan area ladang seperti semak-semak atau pepohonan. untuk
membersihkan area ladang yang baru dapat menggunakan berbagai alat modern
seperti cultivator Honda FJ500 yang berfungsi untuk membuang dan mencabut
rumput atau ilalang sampai keakarnya. Dengan menggunakan alat ini memiliki
efisiensi waktu dan optimalisasi pengolahan lahan dibandingkan dengan
menggunakan cara manual. Setelah pembersihan kemudian dilakukan pengolahan
tanah yang bertuuan untuk mengubah tekstur tanah dari keras menjadi gembur
dan memperbaiki kondisi tanah. Alat yang digunakan untuk mengolah tanah
antara lain yaitu Miracle Rotor, Deep Rotor, Star Rotor, dan Keep Rotor. Setelah
pengolahan tanah dilanjutkan dengan membuat bedengan dan parit yang
digunakan sebagai resapan dan temat cadangan air saat penyiraman. Ladang hasil
pembukaan ini dapat kembali menjadi hutan dalam kurun waktu 5 - 15 tahun
sehingga menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaannya yaitu 1). luas hutan
yang dikonversi menjadi ladang semakin bertambah, 2) produktifitas dan
keberlanjutan dari ladang berpindah tidak dapat dijamin. 3). Pencemaran
lingkungan yang disebabkan oleh pembakaran lahan.( R. A. Cramb. 1993).

Sistem pertanian ladang berpindah di serawak memiliki luas 2.5 miliar


hektar atau sekitar 20 % dari total luas negara dan sekitar 5% dari area tahunan
yang dibuka merupakan hutan primer. Departemen Kehutanan Sarawak
memperkirakan bahwa ladang berpindah baik yang saat ini ditanami maupun
lahan di bawah hutan sekunder menyumbang sekitar 116.000 ha atau 2% dari
Hutan Permanen yang telah ditetapkan atau diusulkan (Dimin, 1988). Walaupun
perambahan ke hutan primer ini serius dan memerlukan tindakan pemerintah,
namun ini merupakan masalah yang relatif terkendali dikarenakan perambahan
semacam itu bukan pilihan bagi sebagian besar petani penggarap yang bergantung
kepada alam demi memenuhi kebutuhan.

Sistem ladang berpindah adalah sistem yang sangat rapuh dan mudah
rusak akibat tekanan populasi yang semakin meningkat sehigga kebutuhan juga
ikut meningkat. Tekanan populasi yang meningkat memaksa petani penggarap
untuk mempersingkat masa tanamnya. Guna memenuhi kebutuhan tersebut petani
akan melakukan kegiatan memotong dan membakar area yang lebih besar setiap
tahunnya. Akan tetapi hal tersebut mendatangkan hasil yang baertolak belakang
dengan ekspektasi yang diinginkan dan akhirnya kegiatan tersebut menyebabkan
penurunan produktifitas dan peningkatan erosi tanah (Sarawak, 1978).

Perkembangan sistem pertanian tradisional saat ini telah tergantikan


dengan sistem pertanian modern yang lebih efektif dan efisien
Sistem Pertanian Modern

Pertanian tradisional yang dikembangkan di Malaysia ternyata tidak dapat


memenuhi kebutuhan yang kian meningkat. Oleh sebab itulah, dikembangkan
sistem pertanian modern di negara tersebut. Pada awalnya, terjadi ketergantungan
terhadap penggunaan pupuk-pupuk kimia dalam jumlah besar untuk
meningkatkan produktivitas serta mempertahankan hasil produksi. Hal tersebut
menimbulkan berbagai ancaman, seperti meningkatnya kerusakan lahan hingga
berkurangnya kualitas yang dihasilkan dari sektor pertanian di negara ini.
Berangkat dari permasalahan ini, maka saat ini Malaysia telah mengembangkan
sistem pertanian berkelanjutan (Suistainable Agriculture System) dengan
mengusung sistem pertanian organik (Ahmad, 2001).

Sistem pertanian berkelanjutan dengan konsep pertanian organik di


Malaysia diwujudkan salah satunya adalah dengan melalui sistem fertigasi dan
sistem pemanfaatan limbah pertanian. Sistem fertigasi merupakan sebuah sistem
dimana menggabungkan antara konsep fertilizer (pemupukan) dan irrigation
(irigasi) menjadi sebuah konsep dalam pengelolaan sistem pertanian dengan
memanfaatkan media yang berupa polybag. Pada sistem tersebut nutrient dialirkan
pada tanaman melalui sistem perakaran dalam bentuk larutan. Sistem fertigasi ini
memberikan beberapa keuntungan diantaranya, seperti menurunkan biaya
produksi, meningkatkan kualitas dan kuantitas produk, meningkatkan dan
memperbaiki kemampuan lahan, mengurangi penggunaan air untuk pengairan
serta mengurangi pencemaran nutrient pada tanah dikarenakan garam tidak
langsung masuk dan meresap ke dalam tanah. Sistem fertigasi itu sendiri terbagi
menjadi dua jenis, yakni sistem fertigasi terbuka dan sistem fertigasi tertutup.
Sistem fertigasi terbuka terbagi lagi menjadi dua yakni sistem fertigasi atas tanah
dan sistem fertigasi gantung. Adapun, untuk sistem fertigasi tertutup terbagi
menjadi sistem fertigasi dengan menggunakan struktur pelindung hujan dan
sistem fertigasi dengan pelindung berupa rumah kaca yang melindungi tanaman
dari serangga.

Sistem fertigasi atas tanah dikembangkan untuk wilayah yang tidak mudah
tergenang oleh air. Jenis tanaman yang ditanam dengan menggunakan sistem
fertigasi ini seperti cabai dan terong. Jarak antar baris tanaman maupun antar
tanaman tergantung pada jenis tanaman yang ditanam, misalnya seperti cabai
maka jarak antar tanaman adalah tiga feet sedangkan jarak antar baris adalah
enam feet.

Sistem fertigasi gantung dilakukan dengan menggunakan batang gantung


setinggi enam feet dan polybag yang digunakan digantung dengan ketinggian tiga
kaki. Adapun jarak antarbaris dan jarak antar tanaman juga tergantung pada jenis
tanaman yang ditanam sama halnya dengan sisten fertigasi atas tanah. Pada sistem
fertigasi gantung kelebihan yang ditawarkan yakni tidak rentan akan banjir serta
sistem pengairan dapat dilakukan secara seragam.

Sedangkan, sistem pertanian dengan mengusung konsep organik salah


satunya ditemukan dengan memanfaatkan limbah hasil perkebunan kelapa sawit.
Sebagian besar limbah hasil kelapa sawit didaur ulang kembali untuk menjadi
pupuk organik yang dapat memperkaya unsur hara pada tanah.

Sistem pertanian berkelanjutan di Malaysia dilakukan berdasarkan standar-


standar indikator dari current suistainable Agriculture In Malaysia. Standar
tersebut, yaitu manajemen tanah, pemupukan, irigasi dan fertigasi, perlindungan
tanaman, sampah dan polusi serta manajemen daur ulang serta penggunaan
kembali (reuse) dan isu-isu lingkungan (Shobri, 2015).

Daftar Pustaka

Ahmad, Faridah. 2001. Suitainable Agriculture System In Malaysia Department


Of Agriculture: Malaysia.

Dimin, A. 1988. Mapping Shifting Cultivation within the Permanent Forests in


Sarawak. Forest Operations Branch Research Report No. 6. Department of
Forestry, Sarawak, Malaysia.

R. D. Hill. 2013. Agriculture in Malaysian Region. NUS Press. Malaysia

Herath. S. 2013. Tradisional and Modern Agriculture Mosaic System for


Improving Resilience to Global Change. Japan Collaborative Researche
R. A. Cramb. 1993. Shifting Cultivation and Sustainable Agriculture in East
Malaysia: A Longitudinal Case Study. Department of Agriculture.
University of Quensland, Brisbane, Queensland, Australia

Sarawak. 1978. Shifting Cultivation in Sarawak. Report of a Workshop on


Shifting Cultivation, Kuching, 7-8 December 1978.

Shobri, Nor Izana., Rasidah, Siti., dkk. 2015. Malaysia Standard Crop
Commodities in Agricultural For Suistainable Living. Procedia Sosial and
Behavioral Scinces. Faculty of Architecture, Planning and Surveying:
Universitas Teknologi Perak Malaysia.

Anda mungkin juga menyukai