Anda di halaman 1dari 12

PAPER PENERAPAN AGROTEKNOLOGI DALAM

AGROFORESTRY

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Konservasi Tanah dan Air

Dosen Pengampu : Ir. Inkorena G,S,Sukartono, MAgr

Disusun Oleh :

Riski Mardiansah

195001516031

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada kenyataannya kegiatan pengelolaan usaha tani saat ini lebih


berorientasi pada pertumbuhan dan peningkatan ekonomi masyarakat. Sehingga
untuk upaya peningkatan perekonomian benar-benar dilakukan dengan membuka
hutan (deforestasi) seluas-luasnya tanpa memperhatikan dampak dari hal tersebut.
Menurut Rianti dan Winarto (2011), deforestasi diperkirakan menjadi salah satu
penyumbang emisi karbon dioksida terbesar di dunia. Berkurangnya luas tutupan
hutan dan meningkatnya aktivitas manusia menyebabkan emisi CO2 di permukaan
bumi yang terperangkap di atmosfer semakin banyak, sehingga memicu pemanasan
global. Solusi untuk mengembalikan fungsi hutan seperti semula adalah reboisasi
atau penanaman kembali hutan. Namun, reboisasi hanya akan mengembalikan
fungsi hutan. Oleh karena itu diperlukan pola penggunaan lahan yang tidak hanya
dapat membangun hutan tetapi juga memberikan manfaat yang maksimal bagi
petani dan masyarakat sekitar.
Sektor pertanian akan tetap menjadi andalan masyarakat pedesaan yang
agraris seperti di Indonesia. Akan tetapi, mata pencaharian petani yang pas-pasan
harus diberantas agar kedudukan sosial pekerjaan bertani dapat meningkat.
Pengembangan pertanian komersial, terutama tanaman semusim,
memerlukan perubahan total sistem produksi ke sistem monokultur dengan input
energi, modal, dan tenaga kerja eksternal yang relatif besar yang tidak sesuai dengan
kondisi petani. Selain itu, eksperimen yang dilakukan untuk meningkatkan produksi
tanaman komersial selalu dilakukan dengan kondisi standar yang berbeda dengan
kondisi yang biasa dihadapi petani. Tidak mengherankan jika banyak hasil
eksperimen gagal di tingkat petani.
Praktek ini semakin marak belakangan ini, terutama di kawasan pinggiran
hutan karena ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Konversi hutan alam
menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan
kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan bahkan
perubahan lingkungan global. Masalah ini semakin parah dari waktu ke waktu
seiring dengan semakin luasnya hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan usaha
lain
Menurut Barijadi (1996), lahan kering merupakan salah satu penopang
harapan pembangunan pertanian di masa yang akan datang. Teknik agronomi
bertani di lahan kering belum berkembang dibandingkan dengan pertanian padi dan
perkebunan. Masalah utama lahan kering antara lain: (1) laju erosi yang tinggi, (2)
kesuburan tanah yang rendah, (3) ketersediaan air yang terbatas karena bergantung
pada curah hujan, dan (4) produktivitas lahan masih rendah.
Selain itu, luas hutan alam hasil Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Hutan Alam atau Hutan Tanaman (IUPHHK-HA/HT) yang terbengkalai (de facto
tidak ada pengelolaan) adalah 35,75 juta ha. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan
besar dan permanen pada kawasan hutan. Tidak hanya di IUPHHK-HA/HT, tetapi
juga di Hutan Tanaman Industri (HTI) yang tercatat 35% tidak dikelola dari luas
areal konsesi 10,5 juta ha (APHI 2016), oleh karena itu diperlukan solusi
pengelolaan lahan yang berkelanjutan untuk realisasinya dari tujuan pembangunan
berkelanjutan. Dalam menghadapi tantangan tersebut, diperlukan berbagai langkah
terobosan, mulai dari peningkatan produksi lahan kering hingga pasca panen dan
pengolahan hasil panen.
Agroforestri merupakan solusi pemanfaatan lahan terpadu untuk
mendukung pengembangan tanaman kehutanan dalam rangka konservasi tanah dan
air yang dibarengi dengan budidaya tanaman pertanian sebagai pangan dan nilai
tambah ekonomi. Sistem pertanian konservasi agroforestri merupakan salah satu
sistem pengelolaan lahan yang dapat ditawarkan untuk mengatasi permasalahan
yang timbul akibat alih fungsi lahan (Sardjono, Djogo, Arifin, & Wijayanto, 2003).
Melalui pola tanam agroforestri dapat memberikan fungsi bagi hutan maupun bagi
petani dan masyarakat sekitar, karena perpaduan antara tanaman pertanian dan
tanaman kehutanan.
Menurut Amrullah (2008), agroforestri adalah sistem pertanian
berkelanjutan dengan memanfaatkan sebagian lahan hutan sebagai pengganti lahan
pertanian tanpa merusak ekosistem dan kondisi lingkungan hutan. Selain itu,
agroforestri didukung oleh kebijakan pemerintah dalam rangka pengelolaan hutan
lestari berbasis masyarakat yaitu perhutanan sosial, sehingga penerapan agroforestri
dipandang perlu sebagai solusi untuk menyelaraskan terwujudnya pembangunan
pertanian berkelanjutan dan pengelolaan hutan lestari menuju agroforestri
masyarakat sejahtera.
Di daerah pedesaan, petani biasa menanam temuannya di antara tanaman
semusim di pekarangan atau tegalan. Memang, sebagian besar tanaman yang
ditemukan cocok ditanam di bawah tegakan pohon, seperti temu lawak (Curcuma
xanthorrizha), temu hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica),
kencur (Kaempferia galanga), lengkuas (Languas galanga) dan yang lain.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
yang akan dibahas dalam paper ini adalah :
1. Bagaimana penerapan agroteknologi dalam agroforestry?
2. Apa saja macam-macam agroforestry yang digunakan?

C. Tujuan
Paper ini bertujuan untuk mengetahui berbagai penerapan agroteknologi
dalam agroforestry dan macam-macam agroforestry yang sudah digunakan.
BAB II
ISI/PEMBAHASAN

Sebagai mekanisme pengelolaan tata guna lahan, praktik agroforestri telah


lama dikenal dan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Singkatnya, praktik
pengelolaan lahan ini telah berkembang menjadi sistem unik yang menggabungkan
tanaman keras dengan komoditas pertanian. Agroforestri dikembangkan untuk
memberi manfaat bagi manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, setiap daerah memiliki kekhasan dan ciri khas tersendiri
baik dalam penamaan maupun dalam sistem pengelolaannya. Dalam
perkembangannya, agroforestri diharapkan dapat menjadi jembatan dalam
mengatasi kebutuhan lahan pertanian dengan tetap menjaga fungsi hutan dan
lingkungan seperti pemanasan global. dan mampu memecahkan masalah global.

Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan


menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri
kompleks. Dimana sistem agroforestri sederhana adalah sistem pertanian yang
menanam pohon secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim,
sedangkan sistem agroforestri kompleks adalah sistem pertanian menetap yang
melibatkan banyak jenis tanaman pohon baik yang ditanam secara sengaja maupun
yang tumbuh secara alami pada suatu petak. lahan dan dikelola oleh petani
mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan, contohnya dapat
dilihat pada Gambar 1 (a dan b) halaman berikut:
Gambar 1. a) Sistem agroforestri sederhana di Ngantang, Malang Jawa Timur.
Kopi dan pisang ditanam oleh petani diantara pohon pinus milik perum perhutani
(Gambar kiri). Gliricidia dan pisang ditanam sebagai naungan pohon kopi
(Gambar kanan) (Foto: Meine van Noordwijk) b) Agroforest Kompleks: Kebun
damar di Krui yang didominasi Shorea javanica, jenis pohon buah-buahan, pohon
kayu-kayuan, jenis-jenis palem, bambu dan sebagainya di Lampung Barat (De
Foresta et al 2000).

Karakteristik pola tanam agroforestri yang diterapkan sangat bergantung


pada pemilik lahan dan karakteristik biofisik lahan, kondisi biofisik merupakan
salah satu aspek yang diperhatikan petani. Hal ini sesuai dengan penelitian Adman
et al (2012) yang menyatakan bahwa kesesuaian tempat tumbuh merupakan salah
satu faktor dalam memilih jenis tanaman yang akan dikelola. Tujuan akhir yang
ingin dicapai adalah prioritas produksi agar masyarakat membuat pola tanam yang
berbeda antara satu lahan dengan lahan lainnya.

Dalam jurnal kehutanan yang dibuat oleh Ebedly Lewerissa, Budiadi, Suryo
Hardikusumo, dan Subejo (2020) Di Desa Samuda, Kecamatan Galela Barat,
Kabupaten Halmahera Utara, dalam mengelola lahan awalnya mereka tidak
mengenal sistem pola tanam agroforestri, mereka mengelola lahan di cara yang
sangat sederhana, dan mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka, yaitu sistem
monokultur kelapa yang kemudian berkembang menjadi sistem polikultur atau
dicampur dengan jenis tanaman lain. Namun jika dilihat dari kegiatan pengelolaan
lahannya, ada 2 (dua) pola tanam yang dilakukan oleh masyarakat, yaitu:

Pola Agroforestri 1 (Agrisilviculture Tress Along Borders).

Petani memadukan tanaman kehutanan seperti binuang (Octomeles


sumatrana), dengan tanaman perkebunan dan pertanian seperti pala (Myristica
fragrans), kelapa (Cocos nucifera. Linn), pisang (Musa paradisiaca. L), cabai,
singkong (Manihot esculenta), padi (Oryza sativa) dan Kacang-kacangan. Adapun
cara menanam tanaman kehutanan menggunakan bentuk pagar, komponen pohon
disusun atau disusun di tepi lahan dan tanaman pertanian berada di tengah.
Pepohonan yang ditanam di sekitar lahan biasanya difungsikan sebagai pagar atau
pembatas lahan di bawah tepian yang ditanami pohon dapat berfungsi sebagai tanda
batas kepemilikan tanah, pagar hidup, sekat bakar, tirai angin, dan juga dapat
menjadi pelindung atau pengikat tanah jika ditanam di tanah/tepi tebing yang tidak
stabil. Hasil yang diperoleh dari pohon dapat berupa kayu bakar, kayu bangunan,
buah-buahan dan lain-lain yang dapat menambah pendapatan keluarga.

Pola Agroforestri 2 (Campuran Agrosilvikultur)

Pola Agroforestri 2 merupakan pola pertanian dengan susunan acak. Dalam


bentuk campuran acak, pohon hutan ditanam secara tidak teratur (tidak mengikuti
barisan atau jalur antar tanaman pangan). Bentuk ini banyak dijumpai pada
pertanian tradisional dimana pohon yang tumbuh berasal dari permudaan alami
(anakan atau pucuk) dan bukan dari penanaman. Dari segi tata ruang, pola
kombinasi yang dikembangkan masyarakat adalah kombinasi tanaman kehutanan
seperti kelapa (Cocos nucifera) sebagai tanaman tahunan dengan tanaman pertanian
Durian (Durio zibethinus), Pala (Myristica fragrans), Langsat (Lansium
domesticum), Pisang (Musa paradisiaca). ), Ubi Jalar (Ipomea batatas)

Kedua pola tanam ini mampu memberikan banyak kontribusi. Dari segi
ekologi, petani berpendapat bahwa pola tanam campur dapat meningkatkan
ketahanan terhadap penyakit tanaman. Hal ini sejalan dengan penelitian
Chakraborty et al (2015) yang menyatakan bahwa sistem pertanian agroforestri
mampu mengendalikan serangan hama tanaman dan meningkatkan produksi
tanaman pangan.

Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh N. Naharuddin (2018) struktur


tutupan tajuk sistem pertanian konservasi pola agroforestri berfungsi sebagai
pengontrol besarnya energi kinetik hujan yang akan mengenai tanah yaitu luas dan
bentuk strata tanah. tutupan tajuk akan mempengaruhi besarnya intersepsi rintik
hujan dan jumlah cipratan air hujan.
Pada pola agroforestri pohon di sepanjang sempadan dan campuran acak,
tutupan tajuk lebih lebar dan rapat dibandingkan pola agroforestri dengan pola gang
dan jajar. Hal ini menyebabkan perbedaan erosi yang terjadi. Tutupan tajuk adalah
suatu area permukaan tanah yang dilindungi oleh vegetasi. Efektivitas tutupan tajuk
dalam mengendalikan erosi sangat dipengaruhi oleh karakteristik hujan, jenis tanah
dan juga karakteristik tajuk itu sendiri seperti jenis tanaman, tinggi tanaman dan
struktur kanopi. Besarnya erosi dan limpasan menurun secara eksponensial dengan
meningkatnya tutupan tajuk. Semakin banyak lahan yang ditumbuhi vegetasi,
semakin baik akan melindungi tanah dari erosi. Selain dapat mengendalikan erosi
akibat hujan, tutupan tajuk juga dapat mengendalikan erosi yang disebabkan oleh
angin dengan cara menahan angin, sebagai penahan angin dan juga memperlambat
pergerakan angin (As-Syakur, 2011).

Sementara itu, Iryeni Andi Pratiwi, Aryo Fajar Sunartomo, dan Luh Putu
Suciati (2018) Pertanian agroforestri di Kabupaten Lumajang sudah dilakukan
secara turun temurun. Ada dua pola agroforestri di Kabupaten Lumajang, yaitu pola
kebun campur dan pola pohon utuh.

Pola kebun campur adalah pola tanam acak, artinya tanaman pertanian
(tanaman tahunan dan tahunan) dan pohon sengon ditanam secara tidak teratur dan
bercampur. Beberapa tanaman ini ditanam di lahan yang sama. Petani menanam
sengon dan beberapa tanaman di bawah tegakan. Jumlah petani dengan pola kebun
campur sebanyak 300 petai, dengan sampel 30 petani. Pada umumnya alasan petani
memilih pola kebun campur karena mereka meneruskan dari nenek moyang
sehingga dilakukan secara turun temurun. Sehingga sebagian besar petani di
Kabupaten Lumajang menerapkan pola kebun campur pada lahan hutan rakyatnya.

Pola cekaman penuh adalah pola tanam agroforestri yang menempatkan


pohon sengon dan tanaman pertanian (kapulaga) secara bergantian, sehingga lebih
banyak tanaman kehutanan atau kayu daripada tanaman pertanian. Pada pola pohon
utuh, petani hanya menanam sengon sebagai tanaman tegak dan kapulaga sebagai
tanaman bawah. Secara umum alasan petani memilih pola full tree karena
perawatan tanaman lebih mudah dibandingkan dengan kebun campuran. Ini karena
hanya ada dua tanaman, yaitu kayu dan kapulaga.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Agroforestri adalah sistem pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan


sebagian lahan hutan sebagai pengganti lahan pertanian tanpa merusak ekosistem
dan kondisi lingkungan hutan. Penerapan agroteknologi dalam agroforestry pada
beberapa daerah yaitu pola agroforestri pohon di sepanjang sempadan, campuran
acak, dan pola pohon utuh.

Pola agroforestri pohon di sepanjang sempadan dilakukan dengan cara


menanam tanaman kehutanan menggunakan bentuk pagar, komponen pohon
disusun atau disusun di tepi lahan dan tanaman pertanian berada di tengah.
Pepohonan yang ditanam di sekitar lahan biasanya difungsikan sebagai pagar atau
pembatas lahan di bawah tepian yang ditanami pohon dapat berfungsi sebagai tanda
batas kepemilikan tanah, pagar hidup, sekat bakar, tirai angin, dan juga dapat
menjadi pelindung atau pengikat tanah jika ditanam di tanah/tepi tebing yang tidak
stabil.

Pola agroforestri campuran acak dilakukan dengan cara pohon hutan


ditanam secara tidak teratur (tidak mengikuti barisan atau jalur antar tanaman
pangan) dengan kombinasi yang dikembangkan masyarakat adalah kombinasi
tanaman kehutanan seperti kelapa (Cocos nucifera) sebagai tanaman tahunan
dengan tanaman pertanian Durian (Durio zibethinus), Pala (Myristica fragrans), dll.

Pola agroforestri pohon utuh dengan cara menempatkan pohon sengon dan
tanaman pertanian (kapulaga) secara bergantian, sehingga lebih banyak tanaman
kehutanan atau kayu daripada tanaman pertanian. Pada pola pohon utuh, petani
hanya menanam sengon sebagai tanaman tegak dan kapulaga sebagai tanaman
bawah.
DAFTAR PUSTAKA

Astriani, D., Dinarto, W., & Mildaryani, W. (2013). Penerapan Agroteknologi


Tanaman Jahe dan Pengolahan Rimpangnya sebagai upaya Peningkatan
Kesejahteraan Petani di Dusun Sorogaten dan Kaliberot. Jurnal Agrisains,
4(7).

HS, H. H., Ariyanto, S. E., & Sudjianto, U. (2021). Pemberdayaan Masyarakat


Melalui Penerapan Agroforestri Pada Lahan Kritis Di Desa Wonosoco
Kacamatan Undaan Kabupaten Kudus. Muria Jurnal Layanan Masyarakat,
3(2).

Indrianti, A., M., dan Ulfiasih. 2018. Implementasi Sistem Agroforestri Sebagai
Solusi Pertanian Berkelanjutan Di Gorontalo. Seminar Nasional Fakultas
Pertanian Univ. Ichsan Gorontalo.

Lewerissa, E., Budiadi, Hardikusumo, S., dan Subejo. 2020. Penerapan Pola
Agroforestri Berbasis Kelapa dan Pendapatan Petani di Desa Samuda,
Kabupaten Halmahera Utara. Jurnal Penelitian Kehutanan, 14(1), hal 1-
14.

Naharuddin, N. 2018. Sistem Pertanian Konservasi Pola Agroforestri dan


Hubungannya dengan Tingkat Erosi di Wilayah Sub-DAS Wuno, Das Palu,
Sulawesi Tengah. JURNAL WILAYAH DAN LINGKUNGAN, 6(3), hal 183-
192.

Radar. 2021. Implementasi Sistem Agroforestry sebagai Solusi Pertanian


Berkelanjutan di Indonesia. Opini dan Analisis Perkebunan, 2(1).

Satriawan, H. (2013). Karakteristik dan prospek ekonomi sistem agroforestri di


Kabupaten Bireuen Aceh. Lentera: Jurnal Ilmiah Sains dan Teknologi,
13(2), 149420.
Pratiwi, A., I., Sunartomo, F., A., Suciati, P., L. 2018. Penerapan Berbagai Pola
Agroforestri Hutan Rakyat Di Kabupaten Lumajang Dan Potensi
Pendapatannya. Seminar Nasional Program Studi Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Jember.

Anda mungkin juga menyukai