Anda di halaman 1dari 27

TUGAS INDIVIDU

Mata kuliah
Dosen

: Pertanian Terpadu dan Agroforestri


: Dr.Ir. Sjamsuddin Millang, MSi.

DESAIN AGROFORESTRI HULU DAS


(Erosi Tinggi dan Pendapatan Rendah)

OLEH;
FOFA AROFI
P0100123012

SISTEM SISTEM PERTANIAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas izin-Nya makalah ini dapat
selesai tepat pada waktunya. Makalah ini berisi tentang Desain Agroforestri pada
Wilayah Hulu DAS dengan Masalah Erosi Tinggi Dan Pendapatan Rendah.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang desain agroforestri
pada wilayah hulu DAS dengan permasalahan erosi tinggi dan pendapatan rendah
pada iklim basah dengan ketinggian kurang dari 700 m dpl dengan kemiringan
sampai 45 % kepada pembacanya.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran-saran demi kesempurnaan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembacanya.

Makassar, April 2014

Penulis

ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................
ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................
1
B. Tujuan...............................................................................................................
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
3
A. Aspek
Pengembangan
Agroforestry
..........................................................................................................................
3
..........................................................................................................................
B.
Diagnosa
dan
Desain
Sistem
Agroforestri
...............................................................................................................................
5
C Peran Agroforestri dalam Pengelolaan Tata Air DAS.......................................
6
BAB III. PEMBAHASAN.........................................................................................
8
A.Desain
Agroforestri
pada
Kemiringan
<
15
%
..........................................................................................................................
9
B.Desain Agroforestri Mangga dan Tanaman Semusim Pada Kemiringan 15
30
%
..........................................................................................................................
11
C.Desain Agroforestri Kakao Kelapa pada Kemiringan 30 45 %
..........................................................................................................................
15
BAB IV KESIMPULAN............................................................................................
21
A.
Kesimpulan
...............................................................................................................................
21
B.
Saran
...............................................................................................................................
21

iii

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
22

iv

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut Manan (1977) dalam PPLH
(2007) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi,
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di
atasnya, ke sungai utama yang bermuara ke danau atau laut.
Berdasarkan karakteristik, morfologi, dan aliran sungai, DAS terdiri atas
dua bagian, yaitu hulu dan hilir.
Hulu DAS mempunyai ciri antara lain:berlereng curam, batasannya
jelas, tanahnya tipis, curah hujan tinggi, dan evapotranspirasi rendah.
Lahan di hulu DAS biasanya berupa lahan kering dan berfungsi sebagai
daerah konservasi,
karena
aktivitas
pemanfaatannya
akan
berpengaruh terhadap lingkungan di hilir dan bagian hulu DAS itu
sendiri. Di Indonesia, hulu DAS umumnya termasuk ke dalam iklim
tropika basah yang mudah tererosi oleh air, tergolong kategori I
(Arsyad, 2006). Kerusakan lahan memerlukan penanganan segera
dengan menggunakan teknologi yang telah dikuasai dan pengembangan
teknologi baru untuk mencegah agar kerusakan tanah
dan
lingkungan lainnya tidak berlanjut mencapai tingkat yang semakin kritis.
Ada dua proses alami yang sangat penting di daerah hulu DAS,
yaitu aliran permukaan dan erosi. Aliran permukaan yang terlalu besar di
hulu akan mengakibatkan banjir di hilir dan dapat menimbulkan
kerugian material bahkan jiwa manusia. Erosi yang terjadi dapat
menyebabkan kemerosotan produktivitas tanah, sehingga lahan menjadi
marginal dan pada akhirnya menjadi kritis. Menurut Sitorus (2004),
pada umumnya lahan marginal dikelola tanpa masukan tinggi, sehingga
produktivitasnya rendah dan pendapatan usahataninya juga rendah.
Erosi juga dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk,
sungai, dan badan saluran air lainnya (Arsyad, 2006).
Dampak erosi tidak saja dirasakan oleh warga yang berada
disekitar lokasi (daerah hulu/ditempat kejadian), tetapi dirasakan
juga oleh warga yang berada di bagian tengah dan hilir (di luar
tempat kejadian), baik secara langsung maupun tidak langsung
(Sitorus, 2007). Menurut Arsyad (2006), dampak langsung erosi
di luar tempat kejadian antara lain adalah sedimentasi yang
terakumulasi di sungai, sehingga
mengalami pendangkalan.
Dampak langsung erosi di tempat kejadian adalah kehilangan lapisan
tanah yang
baik tempat berjangkarnya akar tanaman, kerusakan

struktur tanah, kemerosotan produktivitas (degradasi) tanah, dan


pemiskinan petani.
Menurut Abas et al. (2003), degradasi tanah terjadi
terutama
disebabkan oleh lemahnya penerapan teknik konservasi tanah
sehingga laju erosi meningkat. Menurut Wicaksono (2003), degradasi
tanah terjadi disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan teknik
pertanian dalam hal pengendalian erosi, konservasi tanah dan air,
serta kurangnya perhatian
masyarakat
terhadap lingkungan.
Kebijakan pembangunan pertanian yang selama ini terlalu terpusat pada
lahan sawah menyebabkan perhatian dan pengelolaan usahatani di
DAS bagian hulu semakin tertinggal. Kurangnya dukungan pemerintah
dan lemahnya tindakan konservasi yang dilakukan petani pada saat
melakukan kegiatan usahatani telah menimbulkan beberapa masalah
antara
lain kerusakan lahan dan lingkungan yang semakin
luas, tanah mengalami degradasi bahkan di beberapa tempat
telah menjadi kritis.
Untuk dapat mengatasi masalah erosi tinggi dan pendapatan penduduk
sekitar DAS yang rendah perlu terobosan teknologi baru, salah satunya adalah
penerapan agroforestri. Agroforestri merupakan

sistem-sistem dan teknologi-

teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu


unit lahan

dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu,

palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan ternak) dan/atau
ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau

bergiliran

sehingga

terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.
Oleh karena itu untuk mengoptimalkan peran agroforestri dalam menekan erosi
dan meningkatkan pendapatan masyarakat perlu Diagnosis dan Desain
agroforestri yang tepat. Dalam desain yang dibahas pada makalah ini difokuskan
pada DAS hulu pada ketinggian kurang dari 700 m dpl dengan kondisi iklim
basah.

A. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk menyusun desain agroforestri pada
lahan hulu DAS sehingga mampu:
1. Meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hulu DAS
2. Menekan laju erosi pada hulu DAS

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Aspek Pengembangan Agroforestry
Pengembangan agroforestri, menurut Raintree (1983) meliputi tiga aspek,
yaitu (a) meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, (b) mengusahakan
keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada dan (c) penyebarluasan sistem
agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang
memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adoptability).
Produktivitas
Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yakni (a) yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya
makanan, pakan ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan (b) yang
tidak langsung memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya
konservasi tanah dan air, memelihara kesuburan tanah, pemeliharaan iklim
mikro, pagar hidup, dsb. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri
diharapkan bisa berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
petani dan masyarakat desa.
Peningkatan

produktivitas

sistem

agroforestri

dilakukan

dengan

menerapkan perbaikan cara-cara pengelolaan sehingga hasilnya bisa melebihi


yang diperoleh dari praktek sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat
dirasakan dalam jangka panjang. Perbaikan (peningkatan) produktivitas sistem
agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau diversifikasi hasil
dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya
produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat
diterapkan dalam sistem agroforestri: penggunaan pupuk nitrogen dapat
dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen sistem
agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih
rendah dan tersebar lebih merata per satuan produk dibandingkan sistem
perkebunan monokultur.
Keberlanjutan
Sasaran keberlanjutan sistem agroforestri tidak bisa terlepas dari
pertimbangan produktivitas maupun kemudahan untuk diadopsi dan diterapkan.
Sistem agroforestri yang berorientasi pada konservasi sumber daya alam dan

produktivitas jangka panjang ternyata juga merupakan salah satu daya tarik bagi
petani. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan petani pada saat mereka
merencanakan untuk menerapkan upaya konservasi, misalnya kepastian status
lahan, pendapatan dalam jangka pendek, dan sebagainya. Dalam sistem
agroforestri terdapat peluang yang cukup besar dan sangat terbuka untuk
melakukan pendekatan yang memadukan sasaran keberlanjutan untuk jangka
panjang dengan keuntungan produktivitas dalam jangka pendek dan menengah.
Kemudahan untuk diadopsi
Kegagalan penyebarluasan praktek agroforestri di kalangan petani
seringkali disebabkan oleh kesalahan strategi, bukan karena keunggulan
komparatif sistem itu sendiri. Oleh sebab itu alasan bahwa petani sangat
konservatif dan ketidak-berhasilan penyuluh sebenarnya kurang tepat. Sebuah
pendekatan yang lebih konstruktif yang bisa dilakukan adalah dengan
memikirkan permasalahan dalam penyusunan rancangan dan memasukkan
pertimbangan kemudahan untuk diadopsi sedini mungkin (sejak tahap
rancangan). Hal ini tidak berarti bahwa kedua alasan di atas tidak benar,
melainkan lebih ditekankan kepada proses penyuluhan dan adopsinya yang
sangat kompleks. Peluang untuk berhasil akan lebih besar apabila proses itu
dimulai dengan dasar teknologi yang dapat diadopsi. Salah satu cara terbaik
adalah dengan melibatkan secara aktif pemakai (user) teknologi tersebut (petani
agroforestri) dalam proses pengembangan teknologi sejak dari tahap penyusunan
rancangan, percobaan, evaluasi dan perbaikan rancangan inovasi teknologi.
Agroforestri bukanlah jawaban dari setiap permasalahan penggunaan
lahan, tetapi keberagaman sistem agroforestri merupakan koleksi opsi
pemecahan masalah yang dapat dipilih oleh petani sesuai dengan keinginannya.
Apa yang dibutuhkan adalah cara yang sistematis untuk memadukan (matching)
kebutuhan teknologi agroforestri dengan potensi sistem penggunaan lahan yang
ada.

B. Diagnosa dan Desain Sistem Agroforestri


Agroforestri mempunyai karakter yang sangat spesifik dengan adanya
komponen pepohonan (tanaman tahunan) dalam sistem ini. Adanya komponen
pepohonan menyebabkan sistem agroforestri tidak mudah diubah dan diganti
dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu perencanaan agroforestri harus
didasarkan pada pertimbangan yang mantap. Demikian pula perubahan atau
perbaikan pada sistem agroforestri tidak dapat dilakukan secara sembarangan
karena alasan yang sama. Kegagalan perbaikan dan perencanaan mengakibatkan
kerugian yang sangat besar terhadap waktu, tenaga dan biaya
(Diagnotic and Design Approach) adalah suatu metodologi
yang digunakan untuk mengungkap permasalahan penggunaan lahan
serta untuk menyusun rancangan pemecahannya dalam sistem
agroforestri (Raintree, 1990). Pada tingkatan mikro, D&D dapat difokuskan

pada pendekatan kebutuhan dasar untuk mengidentifikasi hambatan dan


merancang pemecahan masalah. Kebutuhan dasar petani yang dianggap paling
penting misalnya: pangan, bahan bakar, pakan ternak, papan (rumah), bahan
baku untuk industri rumah tangga, dan uang tunai. Masalah yang dihadapi oleh
petani dalam rangka memperoleh berbagai kebutuhan dasar tersebut harus
diidentifikasi. Analisis permasalahan dengan mengajukan pertanyaan apa yang
menyebabkan masalah dan mengapa timbul masalah itu menuntun kepada
rumusan masalah. Dari setiap masalah yang muncul dapat dicari intervensi
pemecahannya.
D&D ini merupakan sebuah metodologi yang dikembangkan untuk
memenuhi

kebutuhan

mengakomodasikan

pengembangan
cara

pemeriksaan

sistem

agroforestri,

secara

yang

menyeluruh

dapat

terhadap

permasalahan dalam sistem agroforestri dan diikuti dengan penyusunan


rancangan pengembangan inovasi pemecahan dan implementasi yang tepat. Ciriciri D&D yang ditonjolkan oleh pengembangnya adalah:
a. Keluwesan (fleksibel): D&D dapat disesuaikan untuk beraneka kebutuhan
dan pada berbagai kondisi sumber daya yang dipunyai oleh pengguna
(landusers).
b. Kecepatan: D&D memungkinkan untuk menerapkan pemahaman cepat
(rapid appraisal) pada tahap perencanaan yang diikuti oleh analisis yang

mendalam (in-depth analysis) pada tahap implementasi.


c. Pengulangan (repetisi): D&D merupakan proses pembelajaran yang tidak
berujung (open-ended). Penyempurnaan rancangan bisa dilakukan sejak dari
awal sampai tidak lagi diperlukan adanya revisi.
C. Peran Agroforestri dalam Pengelolaan Tata Air DAS
Agroforestri adalah sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis
dan berbasis ekologi, dengan mamadukan berbagai jenis pohon pada tingkat lahan
(petak) pertanian maupun pada suatu bentang
adalah untuk

mempertahankan

jumlah

lahan

dan

(lansekap). Tujuannya

keragaman produksi.

Jadi

agroforestri berpotensi memberikan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan bagi


para pengguna lahan.
Pada

prinsipnya

upaya

mempertahankan

fungsi

DAS

adalah

berhubungan dengan upaya mempertahankan tingkat penutupan permukaan tanah


untuk menjaga agar jumlah dan kualitas air yang tersedia sepanjang waktu (Van
Noordwijk et al., 2004). Penutupan permukaan tanah oleh pohon dapat berupa
hutan alami, atau sebagai permudaan alam (natural regeneration), agroforestri, atau
pohon monokultur (misalnya hutan tanaman industri).
Peran agroforestri dalam pengaturan tata

air DAS sebenarnya dapat

dipahami dari pengaruh tegakan pohon dalam (a) mengubah pola aliran air
hujan, dan (b) perbaikan sifat tanah. Agroforestri berpotensi mempertahankan
fungsi DAS melalui perannya dalam beberapa hal antara lain tutupan tajuk dapat
mengurangi daya pukul air hujan, menambah jumlah air infiltrasi dan mempertahankan
iklim mikro, seresah berfungsi untuk menyaring partikel tanah dan sumber bahan
organik serta resapan air oleh pohon.
Penggunaan tanaman tahunan mampu mengurangi erosi lebih baik
daripada tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim. Tanaman
tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan
energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran
batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak
erosi yang begitu besar.
memberikan

Sedangkan

tanaman

semusim

mampu

efek penutupan dan perlindungan tanah yang baik dari butiran

hujan yang mempunyai energi perusak. Penggabungan keduanya diharapkan

dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun dari
tanaman semusim.
Penerapan agroforestri pada lahan dengan lereng curam atau agak curam
mampu mengurangi tingkat erosi dan

memperbaiki kualitas

dibandingkan apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami


semusim.

tanah,
tanaman

Pada Gambar 1 disajikan hubungan proporsi tanaman tahunan dan

semusim yang ideal pada lereng yang berbeda pada sistem wanatani. Secara
umum proporsi tanaman tahunan makin banyak pada lereng yang semakin curam
demikian juga sebaliknya.
Tanaman semusim memerlukan pengolahan tanah dan pemeliharaan
tanaman yang lebih intensif dibandingkan dengan tanaman tahunan. Pengolahan
tanah

pada tanaman semusim biasanya dilakukan dengan cara mencangkul,

mengaduk tanah, maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya agregat


tanah, sehingga tanah mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatu lahan,
maka risiko erosi akibat pengolahan tanah juga semakin besar. Penanaman
tanaman tahunan tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif. Perakaran
yang dalam dan penutupan tanah yang rapat mampu melindungi tanah dari erosi.
Tanaman tahunan yang dipilih sebaiknya dari jenis yang dapat memberikan
nilai tambah bagi petani dari hasil buah maupun kayunya. Selain dapat
menghasilkan keuntungan dengan lebih cepat dan lebih besar, wanatani ini juga
merupakan sistem yang sangat baik dalam mencegah erosi tanah.

Menurut Prasetyo et al 2001, penggunaan lahan pada ketinggian < 700 m


dpl dengan iklim basah pada berbagai kelas kemiringan lahan disajikan pada

Tabel 1. Sedangkan pedoman pemilihan teknologi konservasi tanah secara


mekanis dan vegetative berdasarkan tingkat kemiringan lahan, erodibilitas tanah
dan kedalaman solum disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Penggunaan Lahan Berdasarkan Ketinggian, Iklim Dan Kelerengan

Tabel 2. Teknologi Konservasi Tanah Secara Mekanis Dan Vegetative


Berdasarkan Tingkat Kemiringan Lahan, Erodibilitas Tanah Dan
Kedalaman Solum (P3HTA Dimodifikasi).

BAB III. PEMBAHASAN

Dalam makalah ini dibahas desain agroforestri pada DAS hulu dengan
ketinggian tempat < 700 mdpl dengan iklim basah pada berbagai tingkat
kemiringan lahan. Secara umum sistem pengelolaan lahan lahan pada DAS hulu
menggunakan metode SALT Sloping Agricultural Land Technology. Merupakan
suatu bentuk Alley Cropping (tanaman lorong) pengaturan letak tanaman,
terutama di daerah berlereng, sangat berperan dalam konservasi tanah dan air,
serta produksi hasil pertaniannya. Sistem pertanaman lorong atau alley cropping
adalah suatu sistem dimana tanaman pagar pengontrol erosi berupa barisan
tanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur, sehingga membentuk
lorong-lorong dan tanaman semusim berada di antara tanaman pagar tersebut
(Gambar 1).
Untuk penanaman pada
lahan miring dengan sistem
alley
terlebih
kontur

cropping

atau

dahulu dibuat
pada

lereng

SALT
garis
dengan

menggunakan ondol ondol


atau dengan metode pembajakan
mengikuti arah punggung sapi.
Jarak vertikal antar sekat vegetatif

Gambar 1. Agroforestri sistem SALT

sebesar 2 3 m dapat mengurangi

erosi secara efektif. Sekat kontur berjarak vertikal 2 m akan mencapai lebar 10 m pada
kelerengan 20 %. Penanaman pada lorong dengan sistem strip yang mengikuti arah
kontur.

A. Desain Agroforestri pada Kemiringan < 15 %


Pada kemiringan < 15 % pada umunya dimanfaatkan sebagai pertanian
tanaman pangan khususnya dalam bentuk persawahan. Untuk mengendalikan
erosi pada lahan sawah dapat digunakan metode konservasi strip rumput. Strip
rumput adalah barisan rumput dengan lebar 0,5-1 m dan jarak antar strip 4-10 m
yang ditanam sejajar garis ketinggian (kontur). Pada tanah yang berteras, rumput
ditanam di pinggir (bibir) teras. Jenis rumput yang cocok adalah rumput yang
mempunyai sistem perakaran rapat dan dapat dijadikan hijauan pakan ternak,

misalnya rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput BD (Brachiaria


decumbens), rumput BH (Brachiaria humidicola),

rumput pahit ( P a s

p a l l u mn o t a t u m )d a n l a i n - l a i n . Adakalanya rumput akar wangi


(Vetiveria ziza- nioides) digunakan juga sebagai tanaman strip rumput. Akar
wangi tidak disukai ternak, tetapi

menghasilkan

minyak

atsiri

yang

merupakan bahan baku pembuatan kosmetik


Penelitian selama 4 tahun di Bogor (250 m dpl) yang dilakukan oleh
Abujamin et al. (1983) menggunakan rumput BD (Brachiaria decumbens) sebagai
strip selebar 0,5 m dan rumput bahia (Paspalum notatum) sebagai strip selebar 1
m pada lahan dengan lereng 15-22%, menunjukkan bahwa penggunaan strip
rumput dapat menekan tingkat erosi dengan baik. Strip rumput bahia selebar 1 m
mampu menekan erosi sampai mendekati 0 t/ha pada tahun kedua setelah
penanaman. Sedangkan strip rumput bahia selebar 0,5 m membutuhkan waktu
hampir 4 tahun untuk dapat menekan erosi mendekati 0 t/ha.
Gambar 2. Strip
rumput di tepian
saluran air

Penanaman strip rumput di bibir teras sampai


tampingan

teras

menghasilkan

pengurangan

tingkat erosi 30-50% dibandingkan bila strip


rumput hanya ditanam di bibir teras saja. Lebih
efektif apabila diintegrasikan dengan ternak.
B. Desain Agroforestri Mangga dan Tanaman
Semusim Pada Kemiringan 15 30 %
Sistem agroforestri untuk pengembangan pada kemiringan
lahanrumput
15 30pada
% teras sejajar
Gambar 3. Strip
adalah budidaya lorong/ aley cropping dengan memadukan kontur
tanaman tahunan
dengan tanaman semusim. Dalam desain tanaman tahunan yang dipilih adalah
mangga karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sesuai untuk ketinggian < 500

10

m dpl serta sesuai untuk iklim basah (paling sesuai untuk dengan jumlah bulan
kering 3 bulan). Sedangkan tanaman semusim yang dipilih adalah yang memiliki
nilai ekonomi tinggi seperti kedelai, jagung, kacang tanah, tomat, tembakau.
Sistem pertanaman lorong atau alley cropping merupakan suatu sistem
dimana tanaman pagar pengontrol erosi berupa barisan tanaman yang ditanam
rapat mengikuti garis kontur, sehingga membentuk lorong-lorong dan tanaman
semusim berada di antara tanaman pagar. Efektivitas budidaya lorong pada lahan
pertanian berlereng miring dalam pengendalian aliran permukaan dan erosi
ditentukan oleh perkembangan tanaman pagar serta jarak antar barisan tanaman
pagar. Persaingan sinar matahari oleh tajuk tanaman pagar dapat diatasi dengan
memangkas tajuk tanaman pagar secara teratur selama musim pertanaman
komoditas tanaman yang dibudidayakan di lorongnya. Persaingan penyerapan air
dan unsur hara oleh akar tanaman pagar dapat diatasi dengan pengaturan jarak
tanam. Sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar disarankan untuk
dikembalikan sebagai mulsa disebarkan di antara barisan tanaman budidaya.
Sistem penanaman tanaman pagar searah kontur dilakukan dengan
modifikasi teras gulud dan mulsa vertical. Barisan tanaman pagar berperakaran
dalam yang ditanam pada guludan diharapkan dapat memperkuat guludan untuk
menahan aliran permukaan dan menyerap unsur hara dari subsoil untuk pendaurulangan unsur hara yang lebih efisien. Penanaman tanaman pagar pada guludan
juga dapat berfungsi ganda, antara lain: (1) untuk memperkuat guludan, (2)
menyerap kelebihan air dan unsur hara yang terkumpul di saluran untuk
menghasilkan bahan organik, serta (3) mengurangi volume perakaran tanaman
pagar yang dapat menjangkau dan bersaing dalam pengambilan air dan unsur hara
dengan tanaman budidaya.
Sedangkan saluran bermulsa sangat penting untuk menampung dan
meresapkan air aliran permukaan, sekaligus dapat membatasi persaingan air dan
unsur hara oleh perkembangan akar tanaman pagar ke bidang pertanaman
budidaya. Saluran juga berfungsi untuk mengumpulkan sisa tanaman dan hasil
pangkasan tanaman pagar. Saluran teras gulud lebih didayagunakan untuk tempat
pengomposan, sekaligus dapat menambah permukaan resapan yang berfungsi

11

ganda yaitu untuk memperlancar drainase dari bidang pertanaman di bagian


hulu/atas dan untuk mengairi bidang pertanaman di bagian hilir/bawah.
Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal untuk mengisi saluran
teras gulud dapat mempunyai manfaat ganda, antara lain: (1) sebelum mengalami
pelapukan sisa tanaman dapat mencegah longsornya dinding saluran serta
melindungi permukaan resapan dari tumbukan air hujan dan penyumbatan pori
oleh sedimen halus, (2) aktivitas organisme yang membantu proses pelapukan sisa
tanaman bahkan dapat memperbaiki kondisi fisik tanah sekitar saluran dan
meningkatkan daya resap saluran, (3) unsur hara yang dilepaskan selama proses
pengomposan akan diserap oleh tanaman pagar yang kemudian dapat
dikembalikan dalam bentuk sisa tanaman, (4) campuran kompos dan sedimen
yang tertampung dalam saluran cukup gembur sehingga mudah diangkat dari
saluran untuk dikembalikan ke bidang pertanaman setelah panen, dan (5) saluran
yang sudah dikosongkan dapat digunakan untuk mengumpulkan sisa tanaman,
sehingga dapat memudahkan persiapan lahan untuk musim tanam berikutnya
(Brata, 1999).

Gambar 4. Modifikasi Teras Gulud Dengan Mulsa Vertikal

12

Gambar 5. Budidaya lorong konvensional (a) dan dengan mulsa


vertikal (b)

Dengan penerapan sistem budidaya lorong petani mendapat keuntungan


secara terus menerus yaitu melalui panen tanaman semusim dengan pola
pergiliran tanaman contonya jagung kacang tanah tembakau. Selain mampu
meningkatkan pendapatan petani pergiliran tanaman diharapkan mampu
meningkatkan kesuburan tanah. Sedangkan hasil dari buah mangga dapat dipanen
setelah 3 -4 tahun setelah penanaman. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan
sebelum tajuk mangga lebar bagian bawah pohon mangga bisa dimanfaatkan
untuk penanaman sayur. Residu setelah dipemanenan dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan kompos dan mulsa sehingga menghemat biaya pemupukan.
Penanaman kacang pintoi dibawah pertanaman mangga sebagai pengikat N dan
hasil pangkasannya bias dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman semusim.
Tabel 3. Pengaturan Waktu Tanam Sistem Agroforestri Mangga dan Tanaman
semusim
Tahun ke
Penanaman
1
Mangga
Jagung kacang tanah
Tembakau (pergiliran)
Sayuran diantara mangga
2
Jagung kacang tanah
Tembakau (pergiliran)
Kencur diantara mangga
3
Jagung kacang tanah
Tembakau (pergiliran)
Kacang pintoi
4
Jagung kacang tanah
Tembakau (pergiliran)

Pemeliharaan
Mangga

Panen
Jagung kacang tanah
Tembakau (pergiliran)
Sayuran

Mangga

Jagung kacang tanah


Tembakau (pergiliran)
kencur
Jagung kacang tanah
Tembakau (pergiliran)

Mangga

Mangga

13

Jagung kacang tanah


Tembakau (pergiliran)
Mangga

5m

5m

9m
5m

10 m

2,5 m

Keterangan:
: Pohon mangga
: Tan. semusim
: Teras gulud
: Sungai

14

C. Desain Agroforestri Kakao Kelapa pada Kemiringan 30 45 %


Metode konservasi pada kemiringan 30 45 % yang diterapkana antara
lain dengan teras bangku, budidaya lorong, pagar hidup, teras gulud atau
penurtup tanah. Hal ini disesuaikan dengan kondisi fisik lahan dan komoditas
yang akan ditanam. Menurut Puslitkoka, 1998, konservasi pada tanaman kakao
dengan teras bangku dapat digunakan untuk kedalam solum > 90 cm dengan
kemiringan 30 45 %. Desain agroforestri kakao dan kelapa dapat diterapkan
apabila kedalaman solum tanah tidak kurang dari 90 cm. Elevasi optimum kelapa
kurang dari 400 m dpl, tetapi kakao dapat ditanam pada ketinggian 0600 m
dpl(bahkan lebih) dengan produksi yang tetap tinggi (Tim penulis, 2008). Untuk
mengoptimalkan hasil agroforestri kakao dan kelapa dirancang untuk ketinggian
tempat tidak lebih dari 400 m dpl.
Penyebaran akar tanaman kelapa dewasa (umur > 20 tahun) mencapai
kerapatan tinggi hanya terbatas 2 m di sekitar pohon dan pada jeluk 060cm.
Pada radius tersebut, penyebaran akar kelapa "berkisar antara 76-85% . Di luar
batas itu populasi akar kelapa tinggal 1524% sehingga dapat digunakan untuk
jenis tanaman lain yang toleran terhadap penaungan. Sebaran lateral akan primer
tanaman kakao umur 13 tahun terkonsentrasi pada radius 210 cm dari pokok
batang. Di luar radius itu, bobot kering akar primer sudah tetap dan rendah.
Tanaman kakao memerlukan pohon penaung yang berfungsi untuk
mengurangi intensitas penyinaran, menekan suhu maksimum dan laju
evapotranspirasi, serta melindungi tanaman dari angin kencang. Penghambatan
cahaya oleh tanaman kelapa tua (umur > 30 tahun) mencapai 5070%, untuk
kelapa dalam (103 pohon/ha), dan 60-80% untuk kelapa genjah (223 pohon/ha).
pengaturan jarak tanam merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan
langsung dengan tingkat ketersediaan energi matahari serta sebaran sistem
perakaran.
Bila dibandingkan dengan jenis tanaman penaung yang lain, beberapa
keunggulan kelapa sebagai tanaman penaung kakao adalah sebagai berikut:

15

a. Kelapa tahan terhadap hembusan angin kencang karena memilki tajuk dan
sistem perakaran yang kuat. Oleh karena itu, kelapa merupakan tanaman
pematah angin (windbreak) yang cukup efektif dan ekonomis.
b. Tajuk kelapa termasuk mudah diatur. Hanya dengan memotong sebagian
pelepahnya, jumlah naungan yang dikehendaki mudah disesuaikan. Dalam
keadaan normal, pemangkasan rutin tidak perlu dilakukan karena pelepah
yang sudah tua dan kering akan gugur dengan sendirinya sehingga jumlah
pelepah daun retaif tetap.
c. Kelapa relatif tahan kering dan selama musim kemarau daunnya tidak mudah
gugur.
d. Bila tanaman kelapa sudah dewasa, akan terdapat jarak yang cukup lebar antara
tajuk kelapa dengan tajuk kakao. Keadaan ini akan menciptakan
sirkulasi udara yang baik sehingga membantu sanitasi kebun secara

keseluruhan
e. Tanaman kelapa memberi nilai tambah yang bernilai ekonomi cukup besar
baik, yakni dalam hal hasil buahnya, pelepah kering, maupun batangnya.
f. Secara

tidak

langsung,

tanaman

kelapa berperan

dalam

membantu

pengendalian hama Helopcltis secara biologis karena semut hitam


(Dolichoderus thoracicus) yang suka bersarang pada pohon kelapa merupakan
pemangsa dari hama tersebut.
Namun, kelapa juga memiliki beberapa kelemahan apabila digunakan sebagai
penaung kakao antara lain:
a. Bisa menyebabkan terjadinya perebutan air dan hara karena tanaman kakao
dan kelapa memiliki sistem penyebaran perakaran yang sama, yakni dekat
dengan permukaan tanah.
b. Tidak dapat menambat N seperti halnya penaung lamtoro.
Penelitian mengenai tumpang sari kakao dan kelapa di Jawa Timur telah
membuktikan bahvva produksi kakao dengan penaung kelapa adalah normal dan
cukup mantap seperti pola tanam monokultur, hal itu pada jarak tanam kelapa 12 x 8
meter atau 104 pohon/ ha dan jarak tanam kakao 3 x 2 m atau 1.152 pohon/ha. Untuk
mendapatkan jumlah naungan yang ideal bagi tanaman kakao perlu dipilih kultivarkultivar kelapa vang tepat. Kelapa dalam (talf) dan kelapa hibrida adalah jenis yang

16

cocok sebagai tanaman penaung karena cepat tumbuh dan hasil kelapa hibrida lebih
banyak. Kelapa yang tajuknya mengarah ke atas seperti jenis Tenga dari Sulawesi
akan meneruskan sinar matahari lebih banvak dan merata sehingga lebih cocok
dibandingkan dengan jenis kelapa yang tajuknya terbuka. Kelapa dengan jumlah
pelepah sedikit juga lebih sesuai dibandingkan dengan kelapa yang pelepahnya
padat.
Dalam sistem agroforestri, jadwal tanam memegang peranan penting karena
melibatkan banyak tanaman yang menghendaki svarat tumbuh yang berbeda.
Karena sifat fisiologis tanaman kakao menghendaki naungan. sebelum ditanam
pohon pelindung harus sudah berfungsi baik. Peranan pohon pelindung (penaung)
bagi tanaman kakao muda sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan awal dan
produksi. Untuk mendapatkan pelindung yang cukup, minimum satu tahun
sebelum bibit kakao dipindahkan ke kebun.bibit kelapa sudah harus ditanam. Lebih
baik lagi jika kelapa ditanam 34 tahun sebelumnya ( Puslitkoka, 2010).
Penanaman kelapa yang lebih awal bertujuan agar pertumbuhan tajuk kelapa tidak
mengganggu pertumbuhan
Dalam desain ini, kelapa dan papaya ditanam pada tahun pertanama sebagai
naungan dengan penanaman kacang tanah diantara barisan kelapa dan papaya.
Pada tahun kedua kakao ditanam dalam barisan dan antar tanaman papaya dengan
masih memanfaatkan ruang antara barisan papaya dan kelapa untuk menanam
kacang tanah atau sayuran. Pepaya bisa dipanen pada umur 9 14 bulan dengan
usia produktif 3 tahun dengan frekuensi panen 10 hari sekali ditanam dengan
jarak tanam 3 x 3 m. Sedangkan kakao mulai bisa dipanen umur 4 tahun dengan
umur produktif 5 13 tahun namun masih bisa menghasilkan sampai umur lebih
dari 25 tahun. Kakao tersebut dipanen dengan frekuensi 7 14 hari sekali. Kelapa
dapat dipanen pada umur 6 tahun dengan frekuensi pemanenan sebulan sekali.
Untuk mengoptimalkan tutupan lahan, diantara tanaman kelapa dan antar barisan
kelapa dengan kakao bisa ditanami empon emponan seperti kunyit dan jahe.
Kemudian sisa tanaman dikembalikan kelahan sebagai tambahan bahan organik.
Untuk mengendalikan erosi usaha konservasi yang dilakukan adalah dengan
perpaduan teras bangku, pembuatan rorak, sistem penanaman searah kontur,

17

mempertahankan seresah untuk menutupi permukaan tanah serta tutupan kanopi


dari pohon. Pengembalian residu tanaman baik berupa seresah dan residu empon
emponan diharapkan mampu meningkatkan bahan organic tanah. Selain itu
seresah sebagai tutupan permukaan tanah dapat meningkatkan aktivitas
mikroorganisme dan meningkatkan infiltrasi. Pembuatan rorak dengan sejajar
kontur diharapkan maapu menangkap endapan

sedimen. Rorak dibuat

kedalaman 60 cm, lebar 50 cm, dan panjang berkisar antara 50-200 cm . Jarak
ke samping antara rorak berkisar 100-150 cm, sedangkan jarak horizontal 20 m.
Penanaman agroforestri berbasisis kakao dan kelapa disajikan pada Tabel 2.
Tabel 4. Pengaturan Waktu Tanam Sistem Agroforestri Kakao Kelapa
Tahun ke
1

Penanaman

Kelapa
Pepaya
Kacang tanah/ sayuran
Kacang tanah/ sayuran
Kakao
Kacang tanah/ sayuran
kakao
Empon - emponan

Empon - emponan

6+

Empon - emponan

2
3

Pemeliharaan

Panen

Kelapa
Pepaya

Kacang tanah/sayuran

Kelapa

Kacang tanah/sayuran
Pepaya
Kacang tanah/sayuran
Pepaya
Empon emponan
Pepaya
Empon emponan
Kakao
Kakao
Empon emponan
Kelapa

Kelapa
Kakao
Kelapa
Kakao
Kelapa
Kakao
Kelapa
Kakao

Dengan sistem penanaman seperti yang disajikan pada Tabel 2 diharapkan


petani memperoleh pendapatan secara berkesinambungan dan mampu melakukan
konservasi lahan untuk mengendalikan erosi yang tinggi. Dengan demikian usaha
konservasi DAS untuk mendapatkan kualitas air yang baik, meningkatkan
infiltrasi serta mempertahankan areal penangkap air dapat diwujudakan. Sehingga
usaha konservasi DAS yang berorientasi pada peningkatan pendapatan petani
yang berkesinambungan akan lebih mudah untuk diadopsi oleh petani.
Untuk memperoleh gambaran desain agroforestri kakao dan kelapa disajikan
pada gambar berikut.

18

12
m

3m
Keterangan:

1,5
m

1,5
m

njAKJKJH
: pohon kelapa
: kakao
: papaya
: sungai
Akhir tahun ke 4 pohon pepaya dibongkar.

19

Gambar 8. Teras
Bangku yang
pada kemiringan
30 -45 %
ketebalan solum
> 90.

Gambar 9. Rorak sebagai


penangkap sedimen dan
pengendali erosi.

20

BAB IV. PENUTUP


A. Kesimpulan
1. Upaya yang dapat dilakukan dalam mengendalikan erosi tinggi pada DAS
hulu dengan sistem agroforestri adalah dengan memadukan teknik
konservasi mekanik (teras gulud, teras bangku dan rorak) dan konservasi
vegetative ( stip rumput, pertanaman searah kontur, memaksimalkan
tutupan lahan, pembetukan tajuk multistrata dan mempertahankan seresah)
serta pemilihan jenis dan proporsi

komoditas yang sesuai dengan

agroklimat dan kemiringan lahan.


2. Untuk mengatasi masalah erosi tinggi dan pendapatan rendah pada hulu
DAS maka dibuat desain agroforestri yaitu sistem strip rumput pada teras
untuk tanaman pangan dengan kemiringan < 15 %, Agroforestri sistem
alley cropping dan teras gulud

pada kemiringan 15 30 % dengan

komoditas utama mangga dan tanaman semusim. Agroforestri kakao dan


kelapa pada kemiringan 30 45 % dengan sistem teras bangku dan
penanaman searah kontur serta pengaturan jarak tanam, waktu tanam dan
pemilihan komoditas lain (papaya,kacang tanah, sayuran dan empon
emponan)

yang diintegrasikan. Dengan demikian tindakan konservasi

hulu DAS mampu mempertahankan fungsi hidrologis, mengurangi erosi


dan meningkatkan pendapatan petani.
B. Saran
Sebaiknya penerapan dan pengelolaan agroforestri pada hulu DAS pada
lahan petani dilakukan secara berkelompok karena pada umunya kepemilikan
lahan petani tidak terlalu luas. Pengelolaan secara berkelompok akan
mempermudah pemasaran, meningkatkan posisi tawar, serta dapat menyediakan
produk dalam jumlah yang besar.
Untuk lahan hulu DAS dengan kemiringan lebih dari 45 % sebaiknya
komoditas yang ditanaman seluruhnya berupa pohon kayu kayuan. Selain itu
metode konservasi juga harus diperhatikan dengan memaksimalkan tutupan lahan
baik berupa tanaman multistrata dan seresah.

21

DAFTAR PUSTAKA
Abujamin, S., A. Adi, dan U. Kurnia. 1983. Strip rumput permanen sebagai
salah satu cara konservasi tanah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadjah Mada Univ.


Press. Yogyakarta.
Astuti.Y, Dharmawan.A, Putri. E, Indrawan, A.2008. Struktur Nafkah
Rumahtangga dan pengaruhnya terhadap kondisi Ekosistem Sub DAS
Citanduy Hulu. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi
Manusia. April. 2008.p 1-30
Blomquist W. 2005. Dividing the Waters: Governing Groundwater in
Southern California. San Francisco: ICS Press.
Departemen Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Teknologi Konservasi Tanah dan
Air. Jakarta
Junaidi,Edy, Maryani, Retno.2013. Pengaruh Dinamika Spasial Sosial Ekonomi
Pada Suatu Lanskap Daerah Aliran Sungai (Das) Terhadap
Keberadaan Lanskap Hutan (Studi Kasus Pada Das Citanduy Hulu
Dan Das Ciseel, Jawa Barat). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan Vol. 10 No. 2 Juni 2013, Hal. 122 - 139
Hadiyatmo, hary cristady.2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta
Hardjowigeno dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor
Indaryanto. 2008. Pengantar Budaya Hutan. PT. Bumi Aksara, Jakarta
Juniadi. 2012. Teknik Budidaya Mangga (Mangifera indica L). http://www.bbpplembang.info/index.php/arsip/artikel/artikel-pertanian/591-teknikbudidaya-mangga-teknik-budidaya-mangga-mangifera-indica-l-l
PPLH (LPPM UNS). 2007. Identifikasi Penggunaan Lahan dan Dampaknya
terhadap Masalah Lingkungan Fisik di DAS Walikan Kabupaten
Karanganyar. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Puslitkoka. 2010. Buku Pintar Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta
Rajati, Tati, Kusmana, Darusman, Saefuddin 2006. Optimalisassi Pemanfaatan
Lahan Kehutanan Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Lingkungan

22

Dan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Desa Sekitar Hutan. Jurnal


manajemen hutan tropika, volume XII, no 1,
Sitorus, S. R. P., 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito, Bandung.
Sobir.

2013.
Sukses
Bertanam
Pepaya
Unggul
(Bagian
2)
http://pertaniansehat.com/read/2013/04/04/sukses-bertanam-pepayaunggul-bagian-2.html

Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah Dan Air. Andi Yogyakarta.


Susanto. 1994. Tanaman Kakao. Kanisiun. Yogyakarta
Tim Penyusun.2008. Budidaya Kakao. Penebar Swadaya. Jakarta
Wicaksono. 2003. Konservasi Tanah Dan Air. Gajahmada press.
Yogyakarta.
Wojtkowski, P.A., 2002. Agroecological Perspectives in Agronomi,
Forestry, and Agroforestry. Science Publisher, NH, USA

23

Anda mungkin juga menyukai