Anda di halaman 1dari 5

Nama : Meyrina Eka Putri

NIM : P2F118041
Mata Kuliah : Konservasi Tanah dan Air
Dosen Pengampu : Dr. Sunarti, SP, MP
Tugas 1

1. Defenisi Konsevrasi Tanah dan Air


Kata “konservasi“ mengandung makna pengawetan atau usaha menuju kearah
perbaikan. Menurut Dephut (1985 dan 1990), konservasi berarti upaya pengelolaan
sumber daya alam secara bijaksana dengan berpedoman pada azas kelestarian.
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan
dan Menteri Pekerjaan Umum No.19/1984, No. 059/Kpts-II/84 dan No.124/Kpts/84,
Konservasi tanah adalah upaya untuk mempertahankan atau memperbaiki daya guna
lahan termasuk kesuburan tanah dengan cara pembuatan bangunan teknik sipil
disamping tanaman (vegetatif), agar tidak terjadi kerusakan tanah dan kemunduran
daya guna dan produktifitas lahan.
Menurut Siswomartono (1989), konservasi adalah perlindungan, perbaikan
dan pemakaian sumber daya alam menurut prinsip-prinsip yang akan menjamin
keuntungan ekonomi atau sosial yang tertinggi secara lestari. Konservasi standar
adalah standar untuk berbagai tipe tanah dan pemakaian tanah, meliputi kriteria,
teknik dan metode-metode untuk pengendalian erosi dan sedimen yang
disebabkan oleh aktivitas penggunaan tanah. Sedangkan Pengolahan Konservasi
adalah setiap sistem pengolahan tanah yang mengurangi kehilangan tanah atau air
dibanding pengolahan tanah yang lain, yang tidak mengindahkan kaidah
konservasi. Konservasi tanah dan air mengandung pengertian bagaimana kita
menggunakan tanah agar dapat memberi manfaat yang optimum bagi
kepentingan umat manusia dalam jangka waktu berkelanjutan. Kegiatan
konservasi tanah meliputi pengendalian erosi, banjir, pengaturan pemanfaatan air,
peningkatan daya guna lahan, peningkatan produksi dan pendapatan petani
termasuk peningkatan peran serta masyarakat yang terpadu dan kegiatan
pengamanannya (Wahyudi 2014). Kegiatan konservasi tanah diutamakan
menggunakan metode mekanis (teknik sipil), seperti pembuatan teras sering,
bangunan pengendali, bangunan penahan sedimen dan erosi dan lain-lain (Masaki
1995). Tahapan pelaksanaan kegiatan konservasi meliputi perencanaan,
pelaksanaan, bimbingan teknis pelaksanaan, pemeliharaan, monitoring dan
penyuluhan pada masyarakat.
Konservasi tanah mempunyai arti luas dan sempit dimana konservasi tanah
dalam arti luas adalah penempatan setiap bidang tanah dengan cara penggunaan
yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai
dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.
Sedangkan koservasi tanah dalam arti sempit adalah upaya untuk mencegah
kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi.
Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah
untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi
banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.
Konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air.
Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air
pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah
dan konservasi air merupakan dua hal yang berhubungan erat sekali, berbagai
tindakan konservasi tanah adalah juga tindakan konservasi air.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014, Konservasi Tanah dan Air adalah upaya
pelindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan Fungsi Tanah pada
Lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan Lahan untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari. Konservasi Tanah
dan Air terbagi atas beberapa metode, yaitu vegetatif, agronomi, sipil teknis
pembuatan Konservasi Tanah dan Air, manajemen, dan metode lain yang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pentingnya Konservasi Tanah dan Air
Pembukaan dan pemanfaatan hutan alam yang berorientasi ekonomi dilakukan
sejak tahun 70-an berdasarkan UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing,
UU No.5/67 tentang Kehutanan dan UU No.6/1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri. Beberapa tahun setelah dibukanya keran pengusahaan hutan
dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), laju kerusakan hutan tropika
menunjukkan angka yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini
tercatat laju kerusakan hutan di Indonesia sebesar 1,8 juta ha/th (1985-1997) dan
meningkat menjadi 2,84 juta ha/th (1997-2000) (Balitbanghut 2008). Kawasan
hutan yang terdegradasi akan berubah menjadi belukar (scrubs), semak (bush),
padang alang-alang (Imperat cylindrica) dan apabila kerusakan terus berlanjut,
seperti kebakaran hutan dan lahan, akan terbentuk lahan kritis (critical land),
yaitu hamparan lahan yang mengalami penurunan daya dukung lahan sehingga
tidak sanggup lagi menopang pertumbuhan tanaman serta rawan terhadap banjir
dan erosi (Wahyudi 2013).
Salah satu penyebab lahan kritis adalah adanya aktifitas yang melebihi
kemampuan lahan, seperti kegiatan pengusahaan hutan yang melanggar
ketentuan, penebangan liar, perladangan berpindah, perambahan lahan dan
kebakaran hutan dan lahan. Disamping itu adanya kegiatan konversi kawasan
hutan menjadi areal pertambangan, perkebunan, pemukiman dan lain-lain yang
kurang terencana dengan baik juga mempercepat terbentuknya lahan kritis
(Dephut 1996, Mori 2001, Wahyudi 2014).
Luas lahan kering di Provinsi Gorontalo mencapai 437.597,59 ha atau 36%
dari luas total provinsi yang potensial untuk pengembangan jagung. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Abdurachman et al. (2008) bahwa lahan kering
merupakan salah satu agroekosistem yang potensial untuk usaha pertanian, baik
tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman tahunan dan peternakan.
Rukmana (2001) mendefinisikan lahan kering sebagai sebidang lahan yang
digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas, dan
biasanya tergantung dari air hujan. Lebih lanjut Abdurachman et al. (2008)
menyatakan bahwa keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani
tidak dapat dilakukan sepanjang tahun, dengan indeks pertanaman kurang dari
1,50. Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif,
baik secara spasial maupun temporal. Secara alamiah, lahan kering juga peka
terhadap erosi terutama bila keadaan tanahnya miring dan tidak tertutup vegetasi,
tingkat kesuburan tanahnya rendah, baik kandungan unsur hara, bahan organik,
pH dan KTK. Melihat kondisi di atas, usahatani jagung di daerah ini memiliki
faktor pembatas agroklimat dan lahan. Pada musim kemarau, lahan kering sukar
untuk diusahakan karena keterbatasan lengas tanah yang tersimpan dalam jeluk
matriks tanah sehingga jagung sulit berproduksi secara optimal. Pada musim
penghujan bahaya erosi dan tanah longsor sering terjadi akibat ulah manusia
membuka hutan dan mengalihfungsikannya menjadi lahan-lahan pertanian. Lahan
dengan kelerengan di atas 8% peka terhadap erosi dan tanah longsor. Hal ini
diperparah dengan pengolahan tanah yang intensif, mengakibatkan kerusakan
tanah, erosi dan kehilangan air. Pengolahan tanah intensif dapat menyebabkan
kerusakan struktur tanah, menurunkan kapasitas infiltrasi tanah, dan daya hantar
air, dan kualitas kimia serta biologi tanah . Untuk mengurangi dampak tersebut,
dianjurkan pengolahan tanah minimum. Pengolahan tanah ini akan meningkatkan
jumlah pori makro, sehingga meningkatkan kapasitas infiltrasi, mengurangi aliran
permukaan (run off) dan erosi tanah. Namun, tindakan membatasi pengolahan
tanah sering berakibat merosotnya produksi pertanian. Di samping itu, banyak
petani yang membudidayakan jagung pada lahan kering berlereng tanpa tindakan
konservasi tanah, sehingga terjadi erosi tanah dan berdampak pada keberlanjutan
usahatani jagung. Akan diperoleh paket teknologi konservasi tanah yang dapat
menekan erosi tanah dan meningkatkan hasil jagung sebagai komoditas unggulan
Program Agropolitan.

3. Keterkaitan Konservasi Tanah dan Air dengan Bidang Perencanaan Pemerintah


Daerah
Tanah dan air merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan (non
renewable resources) yang merupakan satu kesatuan yang berperan sebagai
sistem pendukung kehidupan (life support system) bagi kepentingan seluruh
rakyat Indonesia. Posisinya sangat strategis sebagai modal dasar pembangunan
nasional yang berkelanjutan, selain itu juga merupakan sumber devisa negara dan
memberikan kontribusi yang besar dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi
nasional. Di lain pihak, tanah dan air merupakan sumber daya alam yang mudah
terdegradasi fungsinya karena kondisi geografis dan akibat penggunaan yang
tidak sesuai dengan fungsi, peruntukan, dan kemampuannya sehingga
penggunaan dan pemanfaatan tanah harus dilaksanakan secara terencana,
rasional, dan bijaksana. Upaya tersebut dilaksanakan dengan cara melindungi,
memulihkan, meningkatkan, dan memelihara Fungsi Tanah pada Lahan melalui
penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air secara memadai agar manfaatnya
dapat didayagunakan secara berkelanjutan lintas generasi.
Konservasi Tanah dan Air harus diselenggarakan dengan berasaskan tanggung
jawab negara, partisipatif, keterpaduan, keseimbangan, keadilan, kemanfaatan,
kearifan lokal, dan kelestarian, serta bertujuan untuk mewujudkan sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Sesuai dengan
wewenang dan penguasaan atas Lahan yang bersangkutan, Konservasi Tanah dan
Air menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah
daerah kabupaten/kota, pemegang hak atas tanah, pemegang kuasa atas tanah,
pemegang izin, dan/atau pengguna Lahan. Konservasi Tanah dan Air
diselenggarakan pada setiap hamparan tanah Lahan, baik di Kawasan Lindung
maupun di Kawasan Budi Daya.
Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air yang meliputi pelindungan Fungsi
Tanah pada Lahan, pemulihan Fungsi Tanah pada Lahan, peningkatan Fungsi
Tanah pada Lahan, dan pemeliharaan Fungsi Tanah pada Lahan dilaksanakan
pada Lahan Prima, Lahan Kritis, dan Lahan Rusak di Kawasan Lindung dan di
Kawasan Budi Daya pada setiap jenis penggunaan Lahan yang meliputi
pertanian, perkebunan, kehutanan, padang penggembalaan, peternakan,
perikanan, pertambangan, perindustrian, pariwisata, permukiman (perkotaan dan
perdesaan), dan jalan.
Guna mencegah semakin menurunnya ketersediaan Lahan yang baik serta
menjamin kelestariannya untuk tujuan menumbuhkan tanaman penghasil
termasuk di dalamnya Lahan pertanian, perkebunan, hutan, dan padang rumput,
tidak termasuk perkotaan, permukiman, dan perairan, pelindungan Fungsi Tanah
pada Lahan dalam penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air dilaksanakan
dengan cara pengendalian konversi penggunaan Lahan Prima, serta pengamanan
dan penataan kawasan. Pemulihan Fungsi Tanah pada Lahan dilaksanakan pada
Lahan Kritis dan Lahan Rusak dengan metode vegetatif berupa penanaman
tanaman konservasi, dan/atau sipil teknis berupa pembuatan bangunan
Konservasi Tanah dan Air. Metode sipil teknis tidak dilakukan dalam Kawasan
Lindung. Peningkatan Fungsi Tanah pada Lahan dilaksanakan pada Lahan Kritis
dan Lahan Rusak dengan metode agronomi, vegetatif, dan sipil teknis.
Pemeliharaan Fungsi Tanah pada Lahan dilaksanakan pada Lahan Prima, Lahan
Kritis, dan Lahan Rusak yang telah dipulihkan dan ditingkatkan fungsinya
dengan menggunakan metode agronomi dan pemeliharaan bangunan Konservasi
Tanah dan Air.
Agar penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air dapat mencapai tujuan dan
sasaran yang ingin dicapai, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
melaksanakan pemberdayaan dalam menumbuhkan dan meningkatkan peran
serta masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut bukanlah mobilisasi
masyarakat, melainkan bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara
aktif dan sukarela dalam merencanakan, melaksanakan, mendanai, dan
mengendalikan penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air. Sumber Pendanaan
penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air dapat berasal dari anggaran
pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, badan
hukum, badan usaha, perseorangan, dan/atau sumber dana lain yang sah dan tidak
mengikat. Agar mencapai daya guna dan hasil guna yang tinggi, Pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya secara berjenjang bertugas melaksanakan pembinaan dan
pengawasan dalam penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air. Pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan tersebut dapat menggunakan instrumen berupa
mekanisme bantuan, insentif, ganti kerugian dan kompensasi, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.

DAFTAR PUSTAKA
Nurdin. 2012. Kombinasi Teknik Konservasi Tanah dan Pengaruhnya Terhadap
Hasil Jagung dan Erosi Tanah Pada Lahan Kering Di Sub Das Biyonga
Kabupaten Gorontalo. J. Tek. Ling. (ISSN 1411-318X), Vol. 13, No. 3,
September 2012 Hal. 245-251: Program Agroteknologi, Fakultas Pertanian
Universitas Negeri Gorontalo
Wahyudi. 2014. Teknik Konservasi Tanah serta Implementasinya pada Lahan
Terdegradasi Dalam Kawasan Hutan. Jurnal Sains dan Teknologi
Lingkungan ISSN: 2085-1227. Volume 6, Nomor 2, Juni 2014 Hal. 71-85:
Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan, Universitas Palangka Raya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi
Tanah Dan Air

Anda mungkin juga menyukai