Anda di halaman 1dari 5

ULAS METODE KTA DI INDONESIA

ABSTRAK

PENDAHULUAN
Sejak beberapa dekade terakhir ini hutan alam di Indonesia terus menerus mengalami
deforestasi yang sangat serius dan menurun kondisinya baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya. Luas kerusakan hutan di Indonesia dalam setiap kurun waktu mengalami
perubahan-perubahan yang dinamis. Forest Watch Indonesia melaporkan angka deforestasi
beberapa periode tahun dalam bukunya yang berjudul Potret Keadaan Hutan Indonesia. Pada
tahun 2000 menampilkan angka laju deforestasi 2 juta hektare per tahun, pada periode 2000-
2009 sebesar 1,5 juta hektare per tahun dan 1,1 juta hektare per tahun di 2009-2013. Kali ini,
Forest Watch Indonesia kembali melaporkan Potret Keadaan Hutan Indonesia untuk periode
2013-2017, termasuk temuan bahwa angka laju deforestasi pada periode ini adalah 1,47 juta
per tahun (FWI, 2019). Deforestasi dapat menyebabkan kawasan hutan terdegradasi dan akan
berubah menjadi belukar (scrubs), semak (bush), padang alang-alang (Imperat cylindrica)
dan apabila kerusakan terus berlanjut, seperti kebakaran hutan dan lahan, akan terbentuk
lahan kritis (critical land), yaitu hamparan lahan yang mengalami penurunan daya dukung
lahan sehingga tidak sanggup lagi menopang pertumbuhan tanaman (Wahyudi 2013). Proses
pengalihan fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan terjadi peningkatan
setiap tahunnya, dimana perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari
fungsinya semula (seperti yang di rencanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak
negative (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dapat
diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik
(Herman Soesangobeng¸ 2002).
Asdak (2010), menjelaskan bahwa secara biogeofisik daerah hulu DAS dicirikan
sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi,
daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%). Pemanfaatan lahan kering
yang terus meningkat tanpa memperhatikan asas kelestarian, khususnya penerapan kaidah
Konservasi Tanah dan Air (KTA) di kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air (hulu
das) akan menjadi factor utama penyebab terjadinya bencana yang tidak dapat dihindari
seperti kekeringan, banjir, erosi dan longsor. Kehilangan lapisan permukaan tanah (top soil)
akibat erosi dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap produktivitas tanah melalui
penurunan kesuburan tanah dan juga mengganggu fungsi lahan.
Pengelolaan lahan pertanian yang tidak tepat akan mempercepat terjadinya degradasi
lahan akibat erosi dan aliran permukaan dengan intensitas yang tinggi. Penerapan pembuatan
bedengan searah lereng agar drainase baik dan hasil produktivitas tinggi sudah menjadi
kebiasaan petani kentang, meskipun cara tersebut menyebabkan erosi menjadi tinggi dan
tanah cepat terdegradasi. Mengubah kebiasaan petani agar berusaha tani dengan menerapkan
kaidah konservasi tanah dan air bukan hal yang mudah untuk diterapkan, sehingga perlu
upaya diseminasi agar petani dapat menerima dan menerapkannya. Kondisi alam yang
berbeda disetiap daerah mempengaruhi penerapan teknik konservasi tanah dan air.
KTA merupakan suatu tindakan pengawetan terhadap kualitas dan kuantitas tanah dan
air. Menurut UU No.37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, KTA adalah upaya
perlindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai
dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan dan kehidupan yang lestari. Usaha-usaha pengawetan (konservasi) tanah
ditujukan untuk: (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang
rusak, (3) dan menetapkan kelas kemampuan tanah dan tindakan-tindakan atau perlakuan
agar tanah tersebut dapat dipergunakan untuk waktu yang tidak terbatas (berkelanjutan)
(Arsyad: 1989).

PEMBAHASAN

Secara garis besar, metode konservasi tanah dan air dibagi menjadi 3 yaitu: metode
vegetatif, mekanik dan kimia. Teknik konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga
prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir butir hujan,
meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian bahan organik atau dengan cara
meningkatkan penyimpanan air dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga menghambat
material tanah dan hara terhanyut (Agus et al., 1999). Salah satu pertimbangan yang harus
disertakan dalam merancang teknik konservasi tanah adalah nilai batas erosi yang masih
dapat diabaikan (tolerable soil loss). Jika besarnya erosi pada tanah dengan sifat-sifat tersebut
lebih besar daripada angka erosi yang masih dapat diabaikan, maka tindakan konservasi
sangat diperlukan. Ketiga teknik konservasi tanah secara vegetatif, mekanis dan kimia pada
prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengendalikan laju erosi, namun efektifitas,
persyaratan dan kelayakan untuk diterapkan sangat berbeda. Oleh karena itu pemilihan teknik
konservasi yang tepat sangat diperlukan. Macam-macam metode konservasi yaitu:
1. Metode vegetatif
Teknik konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan tanaman/vegetasi
maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran
permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat
fisik, kimia maupun biologi. Tanaman ataupun sisa-sisa tanaman berfungsi sebagai pelindung
tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun terhadap daya angkut air aliran
permukaan (runoff), serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah. Teknik konservasi
tanah secara vegetatif, diantaranya: penghutanan kembali (reforestation), wanatani
(agroforestry) termasuk didalamnya adalah pertanaman lorong (alley cropping), pertanaman
menurut strip (strip cropping), strip rumput (grass strip), barisan sisa tanaman, tanaman
penutup tanah (cover crop), penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalah pergiliran
tanaman (crop rotation), tumpang sari (inter cropping), dan tumpang gilir (relay cropping).
Dalam penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut sesuai
dengan keinginan dan lingkungan agroekosistemnya sehingga teknik konservasi ini akan
terus berkembang di lapangan. Keuntungan dalam menggunakan metode vegetatif
diantaranya: aplikasi yang mudah diterapkan, memperbaiki sifat tanah dari pengembalian
bahan organic tanaman, memelihara kestabilan struktur tanah melalui system perakaran,
mengurangi terjadinya evaporasi akibat tutupan lahan oleh seresah dan tajuk, meningkatkan
aktifitas mikroorganisme yang dapat meningkatkan porositas tanah sehingga meningkatkan
infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi dan memiliki valuasi ekonomi yang tinggi. Selain
metode vegetatif, konservasi secara secara teknis juga merupakan salah satu alternative
penanganan tergantung kondisi dilapangan.
2. Metode mekanis atau teknik sipil
Metode teknik sipil merupakan suatu upaya menciptakan fisik lahan atau merekayasa
bidang olah lahan pertanian hingga sesuai dengan prinsip konservasi tanah dan air. Teknik ini
meliputi: pengolahan tanah, parit pengelak, pembuatan teras, bangunan stabilisasi, bangunan
irigasi dan drainase (Ridiah, 2010). Pengolahan tanah sepeti pembuatan guludan searah
kontur. Keuntungan utama pengelolaan searah kontur yaitu terbentuknya penghambatan
aliran permukaan dan terjadinya penampungan air sementara, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya erosi. Untuk daerah dengan curah hujan yang rendah, sistem ini
sekaligus sangat efektif bagi konsentrasi air (Suripin, 2004).
Selanjutnya, parit pengelak atau saluran pengelak merupakan salah satu teknik
konservasi dengan membuat saluran memotong arah lereng. Parit pengelak biasanya dibuat
pada tanah yang berlereng panjang dan seragam yang permeabilitasnya rendah. Fungsinya
adalah menampung dan menyalurkan aliran permukaan dari bagian atau lereng dengan
kecepatan rendah ke saluran pembuangan yang ditanami rumput (Arsyad, S., 2010).
Selanjutnya yaitu teras yang mana tujuan pembuatan teras yaitu untuk mengurangi
kecepatan aliran permukaan (run off) dan mempercepat peresapan air sehingga erosi dapat
dikendalikan. Teras dibutuhkan untuk konservasi terutama pada pertanian produktif. Jenis
teras untuk konservasi air dan tanah, antara lain: teras gulud, rorak, teras kredit, teras
individu, teras batu dan teras bangku. Teras gulud umumnya dibuat pada lahan yang
berkemiringan 10-15% yang biasanya dilengkapi dengan Saluran Pembuangan Air yang
tujuannya untuk mengurangi kecepatan air yang mengalir pada waktu hujan sehingga erosi
dapat dicegah dan penyerapan air dapat diperbesar. Teras Bangku adalah teras yang dibuat
dengan cara memotong lereng dan meratakan dengan di bidang olah sehingga terjadi deretan
menyerupai tangga. Bermanfaat sebagai pengendali aliran permukaan dan erosi, diterapkan
pada lahan dengan lereng 10-40%, tanah dengan solum dalam (> 60 cm), tanah yang relatif
tidak mudah longsorm dan tanah yang tidak mengandung unsur beracun bagi tanaman seperti
aluminium dan besi.
Bangunan stabilisasi sangat penting artinya dalam rangka reklamasi dan pengendalian
erosi parit atau selokan. Bangunan stabilisasi yang umum berupa dam penghambat (check
dam), balok dan rorak. Bangunan-bangunan tersebut berfungsi untuk mengurangi volume dan
kecepatan aliran permukaan, disamping juga untuk menambah masukan air tanah dan air
bawah tanah (Suripin, 2004).
Selanjutnya bangunan drainase dimana dibuat searah lereng berdasarkan cekungan
alami untuk membuang air lebih dari permukaan tanah yang dapat merugikan tanaman
sehingga tanah tersebut dapat difungsikan secara optimal. Hal ini sesuai dengan buku
Rencana Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005-2006 (Departemen
Pertanian, 2004) menyatakan bahwa tujuan utama dari pembuatan saluran drainase adalah
untuk mencegah genangan dan mengalirkan aliran permukaan sehingga air mengalir dengan
kekuatan yang tidak merusak tanah, tanaman dan/atau bangunan konservasi lainnya. Selain
itu, adanya drainase dapat memperbaiki peredaran udara di dalam tanah (aerasi tanah),
menghilangkan unsur-unsur atau senyawa racun tanaman, dan merangsang kehidupan
mikroba tanah. Hal ini menyebabkan tanah lebih mudah diolah dan perakaran tanaman
berkembang dengan baik secara horizontal dan vertikal yang memungkinkan tanaman
mampu menyerap air dan unsur hara dari volume tanah yang lebih besar.
3. Metode kimia

Metode kimia adalah tindakan atau perlakuan kepada tanah agar terjadi peningkatan
kemantapan agregat tanah atau struktur tanah, dengan jalan memberikan preparat-preparat
kimia tertentu yang dapat memperkecil kepekaan tanah terhadap ancaman kerusakan tanah.
Salah satu cara yang digunakan dalam metode kimia adalah dengan pemakaian bahan
pemantap tanah (Soil Conditioner). Tujuanya untuk meperbaiki keadaan atau sifat fisik tanah
dengan menggunakan bahan-bahan kimia baik secara buatan atau alami.

FWI (Forest watch Indonesia), 2019. Angka Deforestasi sebagai “alarm” memburuknya hutan
Indonesia. http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2019/10/FS_Deforestasi_FWI_small.pdf

Anda mungkin juga menyukai