Anda di halaman 1dari 11

BAB 3.

Rekomendasi Strategi Konservasi Tanah dan Air


Konservasi tanah dan air atau suatu tindakan pengawetan tanah merupakan usaha-
usaha untuk menjaga dan mengingkatkan produktivitas tanah, kuantitas dan kualitas air
(Rayhani dan Agung, 2017). Teknik konservasi tanah dan air adalah teknik konservasi
terhadap komponen-komponen tanah dan air yang pengelolaannya disesuaikan dengan
potensi sehingga terjamin fungsinya serta untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas
tanah, kuantitas dan kualitas air. Dalam sektor pertanian, lahan-lahan yang terdegradasi
dicirikan dengan menurunnya produktivitas lahan tersebut dikarenakan kehilangan lapisan
atas tanah yang disebabkan oleh beberapa hal seperti erosi, erodibilitas tanah, kemiringan
lereng, tidak adanya penutup tanah dan pengolahan lahan. Oleh karena itu, strategi
konservasi tanah pada suatu lahan sangat diperlukan. Usaha-usaha konservasi tanah dan
air berperan untuk penyelamatan lahan kritis atau lahan terdegradasi, menjaga dan
menjamin kesuburan tanah, untuk mengendalikan erosi dan sedimentasi, untuk
pengendalian banjir, menjaga keseimbangan tata air serta untuk mengendalikan
pencemaran air sesuai dengan standar lingkungan (Karyati dan Sarminah, 2018). Strategi
konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan memperhatikan manajemen tanah yang
baik. Menurut Kartasapoetra (2010), manajemen lahan berfungsi untuk memaksimalkan
produktivitas lahan dengan tidak mengabaikan keberlanjutan dari sumberdaya lahan. Selain
melakukan manajemen tanah perlu dilakukan teknik konservasi tanah dan air. Penerapan
teknologi konservasi tanah dan air harus tepat untuk meningkatkan produktivitas lahan
secara berkelanjutan dan menjaga kelestarian lingkungan. Teknik konservasi tanah dan air
dibedakan menjadi tiga yaitu teknik konservasi vegetatif, mekanik dan kimia.
3.1 Manajemen Tanah
3.2 Teknik Konservasi Vegetatif
Teknik konservasi tanah dan air secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan
tanaman maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat
laju aliran permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat
tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi (Subagyono et al., 2003). Teknik konservasi
tanah dan air secara vegetatif merupakan segala bentuk pemanfaatan vegetasi untuk
konservasi. Teknik konservasi secara vegetatif memiliki beberapa kelebihan seperti biaya
yang murah, pengaplikasian mudah serta menyediakan hara bagi tanaman karena berasal
dari tanaman atau vegetasi serta tanaman sisa. Menurut Suwarto et al (2012), teknik
konservasi vegetatif dalam konservasi lahan pada dasarnya ditujukan untuk melindungi
tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya
perusak aliran air di atas permukaan tanah, dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan
absorpsi air yang langsung akan menurunkan jumlah aliran permukaan serta mempengaruhi
waktu tercapainya puncak aliran permukaan. Menurut Kunarso et al (2018), terdapat
beberapa pilihan konservasi tanah secara vegetatif yang dapat diterapkan yaitu
penghutanan kembali, agroforestri, penggunaan mulsa dan penggunaan tanaman penutup
tanah (covercrop).
1. Penghutanan Kembali (Reforestasi)
Penghutanan kembali atau reforestasi diterapkan dengan maksud untuk
mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan
tanaman pohon-pohonan (Kunarso et al., 2018). Reforestasi juga berfungsi untuk
meningkatkan bahan organik tanah dari serasah yang jauh di permukaan tanah sehingga
dapat menjaga kesuburan tanah. Reforestasi diterapkan pada lahan-lahan kritis yang
diakibatkan oleh erosi, tanah longsor dan aktivitas manusia seperti pertambangan,
perladangan berpindah, dan penebangan hutan. Hutan mempunyai fungsi tata air yang unik
karena mampu menyimpan air dan meredam debit air pada saat musim penghujan dan
menyediakan air secara terkendali pada saat musim kemarau. Penghutanan kembali
dengan maksud untuk mengembalikan fungsi tata air (Subagyono et al., 2003).
2. Agroforestri
Agroforestri merupakan suatu bentuk pemanfaatan lahan dengan menggabungkan
tanaman tahunan. Tanaman tahunan mempunyai luas penutupan tajuk yang relatif lebih
besar dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam
bentuk aliran batang (stemflow) dan air lolos (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi
yang begitu besar (Subagyono et al., 2003). Agroforestri memiliki ciri-ciri yaitu merupakan
suatu sistem pengelolaan lahan yang berasaskan kelestarian, adanya kombinasi produksi
tanaman pertanian, tanaman kehutanan dan peternakan secara bersamaan atau berurutan
pada suatu unit lahan, pengelolaan lahan sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat
dan memiliki tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (Suryani dan Dariah, 2012).
Pada lahan agroforestri terdapat beragam tutupan vegetasi yang mampu mengurangi
bahaya erosi (Saputro dan Sastranegara, 2014). Penerapan wanatani pada lahan dengan
lereng curam atau agak curam dapat mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas
tanah, dibandingkan apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman semusim.
Proporsi tanaman tahunan dan tanaman semusim ditentukan oleh kemiringan lereng lahan,
semakin curam lereng maka semakin banyak proporsi tanaman tahunan yang harus
ditanam, begitupun sebaliknya (Subagyono et al., 2003).

Gambar 1. Acuan Proporsi tanaman tahunan dan tanaman musiman yang ditentukan
oleh kemiringan lereng (Subagyono et al., 2003).
3. Mulsa
Mulsa merupakan suatu bahan yang berasal dari sisa tanaman, serasah, sampah,
plastik atau bahan-bahan lain yang menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari
kehilangan air melalui evaporasi. Mulsa memiliki manfaat untuk melindungi permukan tanah
dari pukulan langsung butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi, selain itu mulsa
juga dapat mengurangi laju dan volume limpasan permukaan. Peran mulsa dalam menekan
laju erosi sangat ditentukan oleh bahan mulsa, persentase penutupan tanah, tebal lapisan
mulsa, dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi. Pemberian mulsa dapat menurunkan
erosi hingga di bawah ambang batas yang dapat diabaikan. Sebaliknya pada tanah yang
diolah dan tanpa diberi mulsa, erosi terjadi makin besar. Pemberian mulsa mampu
meningkatkan laju infiltrasi dan serta menurunkan kecepatan aliran permukaan dan erosi
pada tingkat yang masih dapat diabaikan. Mulsa jerami ditambah dengan mulsa dari sisa
tanaman sangat efektif dalam mengurangi erosi serta mengurangi konsentrasi sedimen dan
hara yang hilang akibat erosi (Subagyono et al., 2003).
Gambar 1 dan 2. Pengaplikasian Mulsa (Subagyono et al., 2003).
Salah satu penerapan mulsa dalam tenik konservasi tanah dan air dapat diterapkan
teknik mulsa vertical. Teknik mulsa vertikal merupakan salah satu teknik konservasi tanah
dan air melalui pemanfaatan limbah hutan (serasah) yang ada di sekitar dengan
memasukannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat sejajar kontur pada bidang yang
diusahakan (Pratiwi & Narendra, 2012). Teknik konservasi dengan mulsa vertikal dalam
merehabilitasi lahan-lahan berlereng, dapat mengurangi laju aliran permukaan, erosi dan
kehilangan unsur hara (Pratiwi & Salim, 2013).
Gambar 1. Sketsa Pola Tanam dan Teknik Mulsa Vertikal (Pratiwi et al., 2019).
4. Pertanaman Lorong (Alley cropping)
Sistem pertanaman lorong atau alley cropping adalah suatu sistem dimana tanaman
pagar pengontrol erosi berupa barisan tanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur,
sehingga membentuk lorong-lorong dan tanaman semusim berada di antara tanaman pagar
tersebut. Sistem ini merupakan teknik konservasi yang cukup murah dan efektif dalam
mengendalikan erosi dan aliran permukaan serta mampu mempertahankan produktivitas
tanah (Subagyono et al., 2003). Teknik konservasi vegetatif dengan sistem pertanaman
Lorong (alley cropping) sangat efektif untuk mengendalikan erosi. Sistem pertanaman lorong
(alley cropping) memiliki banyak kelebihan diantaranya adalah efektif dalam menurunkan
erosi dan aliran permukaan, memperbaiki kualitas tanah terutama sifat fisik tanah yaitu
menurunkan bulk density dan meningkatkan konduktivitas hidrolik tanah, mitigasi perubahan
iklim dan teknik konservasi ini memerlukan biaya yang relatif murah (Ariani dan Haryati,
2018).

Gambar 1. Pertanaman Lorong (Subagyono et al., 2003).


5. Tanaman penutup tanah (Cover crop)
Penanaman tanaman penutup tanah merupakan slah satu teknik konservasi dimana
melakukan penutupan permukaan tanah menggunakan tanaman. Teknik konservasi ini
sangat mudah untuk dilakukan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sumarni
et al (2006) didapatkan bahwa penerapan tanaman penutup tanah dapat menekan laju
erosi. Tanaman penutup berfungsi menahan energi kinetik tetesan air hujan sebelum jatuh
ke permukaan tanah (Kunarso et al., 2018). Oleh karena itu, tutupan vegetasi memiliki
pengaruh besar pada tingkat limpasan dan erosi. Erosi tanah dapat dikurangi dengan
pengelolaan yang optimal baik vegetasi maupun pengolahan tanah. Adanya tanaman
penutup tanah dapat menahan percikan air hujan dan aliran air di permukaan tanah
sehingga pengikisan lapisan atas tanah dapat ditekan. Selain itu juga, tanaman penutup
tanah dapat meningkatkan infiltrasi tanah dan memelihara struktur tanah. Tanaman penutup
tanah juga berfungsi sebagai pelindung permukaan tanah akibat daya disperse dan
penghancuran oleh butir-butir hujan dan memperlambat aliran permukaan (Gonggo et al.,
2005). Jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman penutup tanah adalah
centrosema (Centrosema pubescens), pueraria (Pueraria javanica), benguk (Mucuna sp.),
lamtoro (Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium) (Subagyono et al., 2003).
Gambar 1. Tanaman Penutup Tanah Mucuna sp. (Subagyono et al., 2003).
6. Pergiliran tanaman (Crop rotation)
Pergiliran tanaman (crop rotation) merupakan suatu sistem bercocok tanam dimana
sebidang lahan ditanami dengan beberapa jenis tanaman secara bergantian. Tujuan dari
penerapan sistem ini adalah untuk memutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan
untuk meragamkan hasil tanaman (Subagyono et al., 2003). Pergiliran tanaman memiliki
manfaat untuk mencegah erosi. Para petani di Indonesia sudah banyak yang menerapkan
sistem pergiliran tanaman. Sistem pergiliran tanaman yang terbaik harus sesuai kaidah
konservasi lahan yaitu yang di antaranya menggunakan tanaman leguminosa, yaitu
tanaman yang dapat mengikat nitrogen (N) bebas dari udara. Sistem pergiliran tanaman
selain berperan dalam pencegahan erosi, melalui pergiliran tanaman dapat diperoleh
keuntungan-keuntungan lain seperti dapat mengendalikan hama dan penyakit karena dapat
memutus siklus hidup hama dan penyakit, memberantas gulma, penanaman satu jenis
tanaman tertentu trus-menerus akan meningkatkan pertumbuhan gulma jenis tertentu,
mempertahankan dan memperbaiki sifat fisik tanah dan memelihara keseimbangan unsur
hara dalam tanah (Suwarto et al., 2012).
7. Tumpang sari (Intercropping)
Tumpangsari merupakan bentuk pola tanam yang membudidayakan lebih dari satu
jenis tanaman dalam satuan waktu tertentu dengan tujuan untuk memperoleh hasil produksi
yang optimal dan menjaga kesuburan tanah selain itu sistem tana mini juga diperlukan untuk
konservasi tanah (Rochmah et al., 2020). Sistem tumpang sari adalah salah satu usaha
konservasi tanah yang efektif dalam memanfaatkan luas lahan. Tanaman yang ditanam
dapat berupa tanaman legum dan tanaman non-legume. Tanaman tersebut dapat berupa
tanaman penambat nitrogen yang pada prinsipnya saling menguntungkan. Kerapatan
penutupan tanah akan sangat menguntungkan untuk pencegahan erosi, mempertahankan
kadar lengas tanah karena evaporasi terhambat, memperbaiki kondisi tanah karena aktivitas
perakaran mempertinggi bahan organik tanah. Setelah tanaman dalam tumpang sari
tersebut dipanen sebaiknya tanah langsung ditanami dengan tanaman pangan lain ataupun
tanaman penutup tanah yang mampu tumbuh cepat untuk melindungi tanah, sehingga erosi
dapat dikurangi (Subagyono et al., 2003).
3.3 Teknik Konservasi Mekanis
Pengolahan tanah termasuk kedalam metode mekanik untuk melakukan konservasi
tanah dan air. Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi teknik terhadap tanah yang
diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman.
Pengendalian erosi secara teknik mekanik merupakan usaha-usaha pengawetan tanah
untuk mengurangi banyaknya tanah yang hilang di daerah lahan pertanian dengan cara
tertentu. Menurut pernyataan dari Dariah et al. (2005), menyatakan bahwa meskipun
terdapat tindakan konservasi vegetatif, namun perlakuan secara fisik mekanis seperti
pembuatan saluran air (SPA) atau bangunan terjunan masih tetap diperlukan untuk
mengalirkan sisa aliran permukaan yang tidak diserap oleh tanah.Konservasi mekanis pada
prinsipnya merupakan Tindakan konservasi secara sipil teknis atau secara fisik dengan
material secara mekanik. Konservasi mekanis pada suatu DAS diharapkan mampu
mencegah terjadinya longsor (Harjadi, 2020).
Penerapan teknik konservasi tanah secara mekanik juga akan lebih efektif
dikombinasikan dengan teknik konservasi tanah vegetatif, seperti penggunaan rumput atau
legume. Adapun penerapan konservasi air dan tanah secara mekanik menurut Wahyudi
(2014), yaitu sebagai berikut :
Teras merupakan metode konservasi yang ditujukan untuk mengurangi panjang
lereng, menahan air sehingga mengurang kecepatan dan jumlah aliran permukaan, serta
memperbesar peluang penyerapan air oleh tanah. Tipe teras yang relatif banyak digunakan
dan dikembangkan pada lahan pegunungan atau perbukitan di Indonesia adalah sebagai
berikut:
1. Teras Tembok (Wet Masory)
Pembuatan bangunan teras tembok atau tembok penahan (wet masonry) bertujuan
untuk menghambat aliran air dan erosi, yang dibuat dari konstruksi beton. Pada bagian
saluran dibuat sodetan untuk aliran air yang dikombinasi tindakan konservasi vegetatif,
seperti penanaman rumput dan cover crop lain untuk membantu mengurangi kikisan tanah
yang terjadi dengan adanya akar tanaman rumpur atau cover crop. Konstruksi teras tembok
ini dipilih apabila terdapat tekanan yang cukup besar dari bagian belakang, yang berasal
dari material tanah maupun volume air yang akan datang dan menginginkan tingkat
kekokohan yang tinggi pada bagian atas bangunan, misalnya akibat batuan yang lonsor dan
lain-lain pada daerah pegunungan atau perbukitan.
Persyaratan teknis konstruksi tembok penahan adalah:
a. Tinggi konstruksi sampai 3meter dengan kemiringan mengikuti kelerengan bukit
atau pegunungan,
b. Tempat pembuangan air dibuat 1 buah per 3 m2 supaya tidak terjadi genangan air
pada bagian belakang konstruksi,
c. Pada bagian belakang dinding beton diberi kerikil untuk meningkatkan
permeabilitas tanah,sehingga tidak terjadi genangan saat hujan lebat dan
mencegah terjadinya banjir.

Dokumentasi oleh (Wahyudi, 2014)


Gambar 1. Ilustrasi bangunan tembok penahan

2. Teras Batu (Stone Terrace Works)


Teras batu atau batu penahan (stone terrace works), pada prinsipnya sama dengan
teras tembok atau tembok penahan. Pada batu penahan biaya yang digunakan lebih sedikit,
namun tingkat kekuatannya lebih rendah dibanding tembok penahan. Pada teknik ini dapat
ditambahkan dengan penanaman rumput, bambu atau tanaman keras karena dapat
membantu menjaga kestabilan permukaan tanah. Selain itu adanya kombinasi antara teras
batu dan tanaman keras dapat membantu untuk menyerap air agar mengurangi tingkat erosi
yang terdapat pada daerah tersebut.

Dokumentasi oleh (Wahyudi, 2014)


Gambar 2. Contoh bangunan batu penahan
3. Pemasangan Kawat Bronjong (Gabion Works)
Untuk memperkuat konstruksi teras batu, dapat ditambahkan kawat bronjong yang
dapat mengikat material batu satu dengan lainnya. Penggunaan kawat bronjong mutlak
dilakukan apabila teras batu dibuat bertingkat. Hal ini dilakukan agar air yang mengalir dari
perbukitan atau pegunungan tersebut tidak terlalu deras dari atas sehingga dengan
pemasangan kawat bronjong ini dapat membant memeprkuat penahanan dari teras batu
yang dibuat sedemikian rupa.
Persyaratan teknis antara lain:
a. Tinggi maksimal 2 meter dengan pondasi berupa tancapan kayu yang keras.
b. Menggunakan batu yang keras (tidak mudah lapuk) dan lebih besar dari mata kawat
c. Susunan batu saling mengunci antara yang besar dan kecil sehingga memperkecil
rongga yang dapat mengakibatkan bergerak/turunnya pondasi.
d. Segera diikuti konservasi secara vegetatif dengan jenis yang memiliki perakaran kuat
dan dalam.

Dokumentasi oleh (Wahyudi, 2014)


Gambar 3. Penggunaan kawat bronjong pada teras batu bertingkat
4. Teras Kayu (Log Retaining Works)
Teras kayu disebut juga bangunan kayu penahan (Log Retaining Works), digunakan
untuk menahan longsor dalam skala kecil atau tekanan yang tidak besar di belakang dinding
penahan. Bangunan ini relatif berumur pendek, oleh karena itu penanaman vegetasi harus
segera dilakukan untuk menggantikan fungsi teknik sipilnya, dengan menggunakan fast
growing spesies. Karena penggunaan kayu pada lereng gunung dapat melapuk seiring
berkembangnya taun selain itu juda mudah terbawa oleh adanya erosi atau longsor yang
cukup kuat pada lereng perbukitan atau pegunungan.
Persyarat teknis kayu penahan ini adalah:
a. Tinggi bangunan sampai dengan 1meter dengan pondasi kayu keras.
b. Bila terdapat rongga atau lubang, ditutup dengan rerumputan, cabang, ranting dan
lainnya agar tanah tidak hanyut dan mempertahankan kestabilan tanah timbunan.
c. Sangat tepat digunakan pada daerah yang masih banyak tersedia bahan baku
gelondongan kayu.
d. Segera dilakukan konservasi vegetatif dengan jenis cepat tumbuh.
5. Teras Kotak (Log Grib Works)
Pekerjaan teras kotak dilakukan untuk mencegah tumbukan oleh energi air hujan
dan menahan aliran permukaan sehingga bahaya erosi dan longsor dapat ditekan seminimal
mungkin.
Persyarat teknis yang diperlukan adalah:
a. Permukaan tanah diratakan sesuai kelerengan.
b. Pembuatan kotak persegi dilakukan dengan kayu bulat kecil yang diikat satu
dengan lainnya membentuk luasan sekitar 2-5 m2. Pekerjaan dimulai dari bawah
ke atas.
c. Penutupan kotak dengan kantong-kantong tanah.
d. Apabila terdapat saluran air, dibuatkan gorong-gorong
e. Segera dilakukan penanaman (konservasi vegetatif)

Dokumentasi oleh (Wahyudi, 2014)


Gambar 4. Rangkaian pembuatan dan hasil dari teras kotak pada lahan kritis
6. Teras Bambu dan Ranting (Bamboo and Wicker Terrace Works)
Pada prinsipnya teras bambu dan ranting mirip dengan kayu penahan (Log
Retaining Works). Perbedaan hanya terletak pada material yang digunakan serta cara
pembuatan. Teras bambu dibuat dengan menganyam bambu pada kayu keras yang
berfungsi sebagai patok. Sedangkan teras ranting dibuat dengan memanfaatkan sisa-sisa
batang dan ranting pohon. Baik teras bambu maupun ranting, segera diikuti dengan
konservasi vegetatif, karena usia bambu maupun kayu relatif pendek.
Dokumentasi oleh (Wahyudi, 2014)
Gambar 5. Bangunan teras bambu pada lahan miring
7. Teras Karung (Soil Bag Terrace Works)
Teras karung dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengurangi erosi dan
longsor. Karung yang berisi tanah dan campuran bahan organik, pada awalnya berfungsi
sebagai konservasi teknik sipil. Campuran bahan organik yang terdapat dalam karung dapat
membantu mempercepat pertumbuhan vegetasi, baik yang sengaja ditanam maupun yang
tumbuh secara alami, sehingga lambat laun peranan konservasi teknik sipil digantikan
dengan konservasi vegetatif. Akan tetapi juga akan membantu meminimalisir aliran air yang
deras dari atas perbukitan atau pegunungan akibat adanya hujan deras.

Dokumentasi oleh (Wahyudi, 2014)


Gambar 6. Bangunan teras karung
8. Teras Jerami (Straw Mat Terrace Works)
Bangunan teknis teras jerami dapat digunakan pada lahan dengan kelerengan curam
dengan kondisi sangat kritis. Permukaan tanah ditutup dengan hamparan jerami yang diikat
sedemikian rupa pada patok-patok yang ditancapkan dalam tanah. Permukaan tanah dapat
terlindungi dari pukulan butirbutir hujan serta memperlambat aliran air dan mencegah erosi
dan lonsor. Pada bagian bawah kelompok teras jerami dapat dibuat teras batu (Stone
terrace) untuk memperkuat konstruksi dan memperlancar saluran drainase.

Dokumentasi oleh (Wahyudi, 2014)


Gambar 7. Pembuatan teras jerami pada lahan miring
9. Saluran Drainase (Water Channel)
Untuk mendukung bangunan teknik sipil serta upaya konservasi vegetatif, dapat
dibuat saluran yang bermuatan konservasi. Saluran ini terutama berguna pada saat turun
hujan lebat, dimana volume air yang melimpah perlu disalurkan pada lokasi penampungan
atau pembuangan yang aman. Pada prinsipnya saluran drainase dibagi menjadi 3 macam,
yaitu saluran terbuka (parit), saluran tertutup dan gorong-gorong.
1. Saluran rumput (Ssd water channel works)
Saluran adalah saluran yang dibuat untuk mengalirkan genangan air ketempat yang
aman, dengan penutupan permukaan menggunaan tanaman rumput, yang
dimaksudkan untuk mengurangi kejadian erosi pada dinding dan dasar saluran.
2. Saluran tertutup (catchment pipe culvert)
Saluran tertutup mempunyai permukaan yang relatif rata dengan tanah. Untuk
keperluan ini digunakan timbunan batu, agar aliran air kebawah menjadi lancar.

Dokumentasi oleh (Wahyudi, 2014)


Gambar 8. Saluran terbuka tertutup rumput dan saluran tertutup batu
3. Gorong-gorong atau knepel
Gorong-gorong adalah lubang saluran air tertutup yang mengalirkan air dari suatu
tempat tergenang menuju ketempat lain yang lebih rendah. Gorong-gorong dapat dibuat
dari log kayu yang gerowong atau menggunakan tabung besi. Penimbunan dilakukan
menggunakan material jalan (tanah), sehingga tidak nampak dari atas. Saluran air yang
berfungsi pula untuk penguatan badan jalan disebut knepel. Material knepel biasanya
menggunakan kayu keras yang berdiameter kecil, seperti kayu galam (Melaleuca
leucadendron), laban (Vitex pubescens), Eucalyptus dan lain-lain.

Dokumentasi oleh (Wahyudi, 2014)


Gambar 9. Saluran terbuka dan tertutup atau gorong-gorong
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, R., dan U. Haryati. (2018). Sistem Alley Cropping : Analisis SWOT dan Strategi
Implementasinya di Lahan Kering DAS Hulu . Jurnal Sumberdaya Lahan, 12(1):13-
31.
Gonggo, B. M., B. Hermawan., dan D. Anggraeni. (2005). Pengaruh Jenis Tanaman
Penutup dan Pengolahan Tanah Terhadap Sifat Fisika Tanah Pada Lahan Alang-
Alang. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, 7(1):44-50.
Kunarso, A., dan T. A. A. Syabana. (2018). Arahan Konservasi Tanah Berdasarkan Tingkat
Bahaya Erosi di Sub DAS Perapau, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan
Sumatera, 1(2):13-26
Kartasapoetra, A. G. (2010). Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Rineka Cipta.
Pratiwi., dan Narendra, B. H. (2012). Pengaruh Penerapan Teknik Konservasi Tanah
Terhadap Pertumbuhan Pertanaman Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di Hutan
Penelitian Carita, Jawa Barat. . Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam,
9(2):39–150.
Pratiwi., dan Salim. (2013). Aplikasi Konservasi Tanah dengan Sistem Rorak. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 10(3):273-282.
Pratiwi., N. Mindawati., dan Darwo. (2019). Penerapan Teknik Mulsa Vertikal Pada Lahan
Terdegradasi di Carita Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman,
16(1):1-57.
Rayhani, R. N., dan Agung R. (2017). Konservasi Tanah dan Air pada Tanah Terdegredasi
di Lahan Kapus II UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Jurnal Agroekoteknologi.
Rochmah, H. F., Suwarto., A. A. Muliasari. (2020). Optimalisasi Lahan Replanting Kelapa
Sawit Dengan Sistem Tumpang Sari Jagung (Zea Mays K.) dan Kacang Tanah
(Arachis Hypogaea). Jurnal Simetrik, 10(1):256-262.
Saputro, G. E., dan Sastranegara, M. H. (2014). Kajian Tingkat Bahaya Erosi dan Indeks
Nilai Penting di Hutan Rakyat di Desa Candiwulan Kecamatan Kutasari Kabupaten
Purbalingga. Jurnal Biosfera.
Karyati., dan S. Sarminah. (2018). Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Samarinda:
Mulawarman University Press.
Subagyono, K., S. Marwanto., dan U. Kurnia. (2003). Teknik Konservasi Tanah Secara
Vegetatif. Bogor: Balai Penelitian Tanah.
Sumarni, N., A. Hidayat., dan E. Sumiati. (2006). Pengaruh Tanaman Penutup Tanah dan
Mulsa Organik terhadap Produk si Cabai dan Erosi Tanah. Jurnal Hort, 16(3):197-
201.
Suryani, E., dan A. Dariah. (2012). Peningkatan Produktivitas Tanah Melalui Sistem
Agroforestri. Balai Penelitian Tanah, 101-109.
Suwarto., Suwarto., dan S. Anantanyu. (2012). Model Partisipasi Petani Lahan Kering
Dalam Konservasi Lahan. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 13(2):218-234 .
Dariah, A., A. Rachman, dan U. Kurnia. 2005. Erosi dan degradasi lahan kering di
Indonesia. Dalam Kurnia U, Rachman A, Dariah A (Eds). Teknologi Konservasi Tanah
pada Lahan Kering Berlereng, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Harjadi, Beny. 2020. Tindakan Konservasi Menyelamatkan Produktivitas Lahan dan
Ketersediaan Air dalam Tanah. Deepublish: Yogyakarta
Wahyudi, D. 2014. Teknik Konservasi Tanah serta Implementasinya pada Lahan
Terdegradasi dalam Kawasan Hutan. Jurnal Sains danTeknologi Lingkungan. 6(2):
71–85.

Anda mungkin juga menyukai