Anda di halaman 1dari 25

TUGAS MINGGU KE-2

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN

Disusun Oleh:

Tyary Airivia 195040207111035

Bayu Muhaimin Caniago 195040200111052

Syifa Chairani Alfathin 195040207111133

Sandy Waskito Falahudhin 195040207111151

Lina Indrawati 195040200111164

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2021
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... i


DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... ii
Bab 1. Pendahuluan .............................................................................................................. 1
1.1 Kondisi Umum Wilayah ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
1.3 Dampak Permasalahan Terhadap Produksi Tanaman dan Kesehatan Lingkungan ....... 2
BAB 2. Analisis Masalah dan Solusi ...................................................................................... 4
2.1. Alur Berpikir Terjadinya Masalah................................................................................ 4
2.2 Analisis Penyebab Terjadinya Masalah ........................................................................ 5
2.3 Solusi untuk Mengatasi Masalah dengan Metode dan Teknik Konservasi Sumberdaya
Lahan ................................................................................................................................ 6
BAB 3. Rekomendasi Strategi Konservasi Tanah dan Air ...................................................... 8
3.1 Manajemen Tanah ....................................................................................................... 8
3.2 Teknik Konservasi Vegetatif ....................................................................................... 10
3.3 Teknik Konservasi Mekanis ....................................................................................... 15
BAB 4. Kesimpulan dan Saran ............................................................................................ 20
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 20
4.2 Saran ......................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 21

i
ii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kondisi degradasi lahan di Sumberjaya, Lampung .................................................. 1
Gambar 2. Penggunaan lahan aktual di Kecamatan Sumberjaya, Lampung ............................. 2
Gambar 3. Hutan Gundul .......................................................................................................... 3
Gambar 4. Banjir....................................................................................................................... 3
Gambar 5. Berkurangnya hasil panen....................................................................................... 3
Gambar 6. Erosi di Sekitar Aliran Sungai .................................................................................. 3
Gambar 7. Tanah tidak subur ................................................................................................... 3
Gambar 8. Riwayat penggunaan lahan hutan di Kecamatan Sumberjaya ................................. 4
Gambar 9. Flemingia congesta ................................................................................................. 7
Gambar 10. Acuan Proporsi tanaman tahunan dan tanaman musiman yang ditentukan oleh
kemiringan lereng ................................................................................................. 11
Gambar 11. Pengaplikasian Mulsa ......................................................................................... 12
Gambar 12. Sketsa Pola Tanam dan Teknik Mulsa Vertikal ................................................... 13
Gambar 13. Pertanaman Lorong ............................................................................................ 13
Gambar 14. Tanaman Penutup Tanah Mucuna sp. ................................................................ 14
Gambar 15. Ilustrasi bangunan tembok penahan.................................................................... 16
Gambar 16. Contoh bangunan batu penahan ......................................................................... 16
Gambar 17. Penggunaan kawat bronjong pada teras batu bertingkat ..................................... 17
Gambar 18. Rangkaian pembuatan dan hasil dari teras kotak pada lahan kritis ..................... 18
Gambar 19. Bangunan teras bambu pada lahan miring .......................................................... 18
Gambar 20. Bangunan teras karung ....................................................................................... 19
Gambar 21. Bangunan teras jerami ........................................................................................ 19

ii
1

Bab 1. Pendahuluan

1.1 Kondisi Umum Wilayah


Peningkatan jumlah penduduk di negara Indonesia terjadi pada setiap tahunnya Hal itu
disebabkan oleh banyaknya jumlah kelahiran. Meningkatnya jumlah penduduk diiringi dengan
meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal atau pemukiman. Oleh karena meningkatnya
jumlah kebutuhan tempat tinggal, banyak masyarakat indonesia yang menerapkan alih fungsi
lahan. Alih fungsi lahan merupakan sebuah upaya mengubah sebagian atau seluruh fungsi dari
suatu kondisi lahan menjadi sesuai dengan fungsi yang sudah direncanakan.
Alih fungsi lahan biasanya berupa perubahan dari lahan hutan menjadi lahan pemukiman,
pertanian, maupun industri. Namun ada sebuah dampak negatif yang timbul dari alih fungsi lahan,
dimana lahan yang sebelumnya merupakan lahan yang asri sebagai tempat tinggal banyak flora
serta fauna menjadi hilang karena alih fungsi dari lahan itu sendiri. Berdasarkan hasil sensus
penduduk 2020, jumlah penduduk Indonesia pada september 2020 sebanyak 207,20 juta jiwa
bertambah 35,56 juta jiwa dibanding sensus penduduk pada tahun 2010 (BPS, 2021).
Gambar 1. Kondisi degradasi lahan di Sumberjaya, Lampung

Gambar 1 merupakan salah satu contoh degradasi lahan yang disebabkan oleh alih fungsi
lahan yang terjadi di darah Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Seperti
yang terlihat pada gambar 1 merupakan perbukitan dengan kondisi lahan yang sudah
terdegradasi yang disebabkan alih fungsi lahan. kebutuhan yang semakin meningkat
menyebabkan masyarakat desa Sumberjaya melakukan alih fungsi lahan menjadi lahan
perkebunan. Dalam gambar dapat dilihat bahwa pembukaan lahan menyebabkan banyak
hilangnya pohon-pohon besar yang ditebang, serta terjadi erosi dibeberapa bagian pada
perbukitan dalam foto tersebut. Selain itu, pembukaan lahan secara besar-besar di daerah
tersebut dipicu karena membaiknya harga kopi dunia periode 1970- an dan 1980-an sehingga
masyakat membuka lahan untuk menanam kopi monokultur, kopi naungan sederhana maupun
agroforestry berbasis kopi.
Tingginya tingkat penurunan tutupan hutan hingga 50% pada tahun 1970-an hingga 2000-an
menyebabkan terjadinya penurunan tingkat kualitas lingkungan hidup (Soeharto et al., 2012).
Kondisi ini dikarenakan keterbatasan sumberdaya alam yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Serta, kurangnya keahlian

1
2

dari sumber daya manusia di desa Sumberjaya pada saat itu. Kurangnya keahlian sumber daya
manusia menyebabkan masyarakat terpatok pada satu usaha, sehingga menyebabkan semakin
besar potensi terjadinya ekploitasi lahan dan berdampak terjadinya degradasi lahan di lingkungan
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Alih fungsi lahan menjadi penggunaan lain akan menimbulkan beberapa permasalahan pada
lingkungan yaitu menurunkan sifat fisik, kimia dan biologi tanah karena hilangnya unsur hara dan
bahan organik tanah karena erosi. Permasalahan tersebut berdampak pada menurunnya
kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah dalam menahan air, meningkatkan kepadatan
penetrasi tanah dan menurunkan kemantapan struktur tanah. Selain itu, alih fungsi lahan juga
menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur iklim, pengatur tata air dan pengatur
keseimbangan hara.
Selain itu, alih fungsi lahan juga menyebabkan hilangnya ekosistem yang sesuai bagi
beberapa flora dan fauna disekitar lingkungan tersebut. Masyarakat membuka lahan hutan untuk
meningkatkan pendapatan dengan menanam kopi monokultur, kopi naungan sederhana dan
agroforestri berbasis kopi tanpa memperhatikan keadaan lahan. Penanaman yang dilakukan pada
lahan miring tanpa terasering dapat menyebabkan terjadinya erosi, longsor dan banjir di daerah
hilir.

Gambar 2. Penggunaan lahan aktual di Kecamatan Sumberjaya, Lampung


(Soeharto et al., 2012)
1.3 Dampak Permasalahan Terhadap Produksi Tanaman dan Kesehatan Lingkungan
Degradasi lahan berdampak terhadap produktivitas pertanian, kualitas lingkungan,
dan berefek terhadap ketahanan pangan (Wahyudi, 2014). Dampak yang ditimbulkan dari
degradasi lahan adalah seperti dibawah ini:
1. Hutan yang gundul dan erosi yang terjadi secara terus menerus: sumber air yang jumlahnya
semakin berkurang akibat dari infiltrasi yang tidak ada. Air limpasan semakin banyak dan
dapat berakibat adanya banjir pada daerah hilir sungai.

2
3

Gambar 3. Hutan Gundul

2. Banjir: banjir akan sering terjadi apabila daerah infiltrasi berkurang dan daerah limpasan
permukaan yang bertambah

Gambar 4. Banjir

3. Masalah kemiskinan di kalangan para petani: hal ini terjadi karena produktivitas lahan yang
menurun sehingga hasil produksi juga akan menurun dan hal tersebut dapat menurunkan
pendapatan para petani.

Gambar 5. Berkurangnya hasil panen

4. Erosi: lahan yang terbuka dikarenakan hutan yang mengalami kerusakan dapat
memungkinkan terjadinya erosi yang terjadi secara terus menerus, dan mengakibatkan tanah
menjadi tidak subur.

Gambar 6. Erosi di Sekitar Aliran Sungai

1. Hilangnya lapisan permukaan tanah yang subur: akar tanaman tidak dapat berfungsi dengan
baik. Unsur hara ikut hilang dan mengakibatkan tanah tidak subur dan menjadi tanah yang
tandus.

Gambar 7. Tanah tidak subur

3
4

BAB 2. Analisis Masalah dan Solusi

2.1. Alur Berpikir Terjadinya Masalah

Gambar 8. Riwayat penggunaan lahan hutan di Kecamatan Sumberjaya


(Dariah et al., 2005)
Adanya pertambahan penduduk karena pertumbuhan penduduk maupun migrasi dari daerah
lain di wilayah Sumberjaya, memaksakan adanya lahan garapan untuk kegiatan pertanian dan
pemukiman untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Pada gambar 8 diatas,
dapat dilihat penggunaan lahan di daerah Sumberjaya ini sangat beragam seperti untuk lahan
holtikultura dan sawah. Namun, sebagian besar lahan digunakan sebagai lahan agroforestri
berbasis kopi dan lahan kopi naungan sederhana (Soeharto et al., 2011). Hutan yang awalnya
masih sehat dan tidak terganggu mulai dibuka untuk ditanami tanaman semusim (padi huma,
palawija, dan jagung), tanaman tahunan (cempedak, nangka, dan cengkeh), dan tanaman kopi.
Setelah terjadi kerusakan lahan hutan dan kualitas tanah memburuk, maka pemerintah kota
setempat meakukan kegiatan rehabilitasi dengan penanaman tanaman kaliandra agar hutan
tersebut perlahan-lahan dapat pulih.
Dengan adanya alih fungsi lahan dari yang sebelumnya lahan hutan menjadi lahan kopi yang
sekarang mendominasi menyebabkan tingkat perbedaan kualitas tanah pada setiap penggunaan
lahan berbeda-beda. Tingkat perubahan kualitas tanah sebagai dampak dari alih fungsi lahan
hutan menjadi lahan usaha tani kopi, sangat ditentukan oleh resistensi tanah. Tanah yang
memiliki resistensi tanah yang relatif rendah akan mengalami 3 penurunan kualitas tanah yang
lebih drastis dibanding tanah yang memiliki resistensi tinggi. Alih tanah lahan hutan pada tanah
yang memiliki tingkat resistensi rendah relatif berpengaruh lebih buruk terhadap kualitas tanah.
Hal tersebut dikarenakan selain terjadi penurunan kualitas tanah pada saat awal tanam, proses
pemulihan pun relatif lambat. Lain halnya dengan tanah yang memiliki tingkat resistensi tinggi,
selain penurunan kualitas tanah pada awal pertanaman relatif lebih rendah, pemulihan kualitas
tanah setelah tanaman kopi dewasa juga relatif lebih cepat. Selain itu, selama lahan usahatani
kopi masih tetap berlangsung, gangguan terhadap lahan masih tetap berlangsung selama lahan
kopi tersebut diusahakan, contohnya kegiatan penyiangan yang dilakukan secara intensif yang
kadang-kadang petani membuang rumpur siangan tersebut ke luar lahan. Pembuangan rumput
siangan ke luar lahan yang seharusnya dapat digunakan sebagai tanaman penutup lahan ini
akan sangat membahayakan, karena lapisan atas tanah

4
5

yang relatif subur dapat turut terangkut bersama gulma rumput. Dekomposisi bahan organik pada
lahan kopi ini dapat berlangsung secara lebih intensif karena lahan relatif terbuka, terutama pada
saat jumlah tanaman penutupnya masih sedikit (Dariah et al., 2005).
2.2 Analisis Penyebab Terjadinya Masalah
Jumlah penduduk yang semakin bertambah, tidak hanya di Indonesia melainkan juga di
seluruh dunia, mengakibatkan jumlah kebutuhan akan banhan pangan juga meningkat. Semakin
bertambahnya waktu, jumlah luasan lahan di Indonesia semakin mengalami pengurangan. Hal
tersebut salah satunya disebabkan oleh kesalahan dalam pengelolaan lahan pertanian dan
pemanfaatan lahan yang kurang tepat. Mayoritas manusia hanya memikirkan keuntungan dari
hasil produksi tanaman, namun tidak memikirkan keberlanjutan lahan tersebut. Lahan
didefiniskan sebagai tempat untuk tumbuh dan berproduksinya tanaman. Tanaman akan dapat
tumbuh secara optimal apabila lahan sebagai media tumbuhnya memiliki kondisi yang optimum
seperti tersedianya unsur hara yang cukup, tanah yang gembur, dan memiliki siklus hidrologi
yang berfungsi dengan baik. Lahan dengan kondisi yang kurang baik akan mengakibatkan
tanaman tidak akan tumbuh dengan optimal bahkan dapat mengakibatkan kematian pada
tanaman.
Lahan yang mengalami kerusakan akibat berbagai permasalahan yang terjadi di lahan.
Masalah yang terjadi di lahan beraneka ragam, salah satunya adalah adanya campur tangan
manusia. Masalah yang terjadi akibat dari campur tangan manusia diantaranya adalah alih fungsi
hutan alami menjadi lahan pertanian yang intensif, eksploitasi lahan termasuk hutan, penebangan
hutan yang berakibat pada penggundulan hutan, dan pengelolaan lahan yang kurang tepat.
Selain karena adanya campur tangan manusa, masalah di lahan juga dapat terjadi karena faktor
dari alam seperti badai atau angin kencang. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan terjadinya
degradasi lahan, tanah longsor, erosi, dan banjir.
Perubahan penggunaan lahan juga akan mempengaruhi besarnya debit air sungai. Hal
tersebut dikarenakan pada lahan hutan dengan struktur dan komposisi yang beragam serta
seresah yang ada di lantai hutan akan mempengaruhi siklus hidrologi. Vegetasi berupa
pepohonan di hutan berperan dalam pemindahan (transfer) air hujan ke tanah melalui proses
penahanan sementara air hujan oleh tajuk pohon, aliran batang dan air lolos serta sebagai media
pemindahan air dari dalam tanah ke vegetasi dan ke atmosfer melalui evapotranspirasi akan
mengalami perubahan. Butir-butir air hujan yang jatuh ditahan oleh tajuk pohon dan sebagian
dialirkan perlahan melalui batang yang disebut sebagai aliran batang (stem flow), dan sebagian
jatuh langsung dari jatuh atau melalui tetesan dari daun dan cabang-cabag pohon yang disebut
sebagai air lolos (through fall), dan sebagian lagi tertahan sementara oleh tajuk lalu diuapkan
kembali ke udara yang disebut sebagai air intersepsi. Selain itu, pola penggunaan lahan tanaman
kopi monokultur maupun agroforestri dillihat dari sisi jumlah maupun komposisi vegetasi lebih
sedikit dibandingkan dengan vegetasi yang ada di hutan. Sehingga, tingkat evapotranspirasi di
lahan berhutan lebih tinggi dibandingkan di lahan tanaman kopi karena tajuk tanaman yang
menahan air hujan dan akan menguap kembali ke atmosfer lebih rapat, serta air yang sampai ke
lantai hutan lebih sedikit menyebabkan jumlah debit rata-rata per tahun semakin berkurang
dengan semakin luasnya lahan yang berhutan. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin
bertambahnya tutupan lahan berupa hutan maka jumlah debit rata-rata per tahun semakin
menurun (Soeharto et al., 2012)
Aktivitas manusia dalam melakukan pengelolaan lahan yang kurang tepat dapat berdampak
negatif maupun positif. Dampak tersebut tergantung dari bagaimana pengelolaan lahan tersebut
dilakukan. Pengelolaan lahan yang tepat dapat berdampak positif baik bagi alam maupun untuk
manusia. Terpenuhinya unsur hara bagi tanaman akibat dari pengaplikasian pupuk yang tepat,
tidak melakukan alih fungsi lahan, tidak melakukan eksploitasi yang dapat merusak lingkungan.
Kesalahan dalam melakukan pengelolaan lahan dapat berakibat negatif sehingga

5
6

mengakibatkan adanya bencana seperti banjir, tanah longsor, dan erosi. Lahan yang telah
mengalami kerusakan tidak dapat lagi menghasilkan produksi yang diharapkan karena tanah
sebagai media tumbuh tanaman mengalami penurunan produktivitas.
Ekploitasi lahan dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang merusak lahan dengan cara
mengambil sumberdaya lahan dalam jumlah yang sangat banyak dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan yang besar. Dampak buruk akibat aktivitas eksploitasi pada lahan
berdampak pada keberlangsungan dan keberlanjutan sumberdaya alam. Apabila ektivitas
eksploitasi lahan ini dilakukan secara terus menerus maka tanah akan mengalami kerusakah.
Minimnya kesadaran manusia dalam menjaga sumberdaya alam dapat mengakibatkan semakin
banyaknya lahan yang telah terekpsploitasi. Manusia hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya
sendiri namun tanpa sadar telah melakukan kerusakan pada alam. Apabila tanah telah
mengalami kerusakan maka produktivitas tanah tersebut akan menurun dan mengakibatkan
penurunan pendapatan para petani pada lahan tersebut.
2.3 Solusi untuk Mengatasi Masalah dengan Metode dan Teknik Konservasi SumberdayaLahan
Provinsi Lampung merupakan provinsi yang memiliki kasus alih fungsi lahan hutan tertinggi
yang ada di Indonesia. Hutan alami telah mengalami alih fungsi lahan menjadi perkebunan kopi.
Pada berbagai tempat, pengelolaan perkebunan belum bisa berubah secara teknis dan
bagaimana pemeliharaan serta perlindungannya. Beberapa tahun yang lalu pemerintah telah
berupaya agar lahan hutan yang telah beralih menjadi perkebunan kopi untuk ditanami pohon
berkayu yang besar seperti pohon kaliandra dan melakukan pemindahan lahan kopi ke luar
kawasan hutan. Penanaman tanaman kaliandra ini dapat memulihkan kualitas lahan lebih cepat
dibandingkan dengan penanaman tanaman kopi. Hal tersebut dikarenakan tanaman kaliandra
dapat menutup lahan dengan lebih sempurna dan dapat menyumbangkan bahan organik ke
dalam tanah lebih banyak (Dariah et al., 2005). Akan tetapi, hal tersebut tidak berlansung lama
karena petani memilih menebang pohon kaliandra dan menanam kembali atau melakukan
pengelolaan tanaman kopi yang masih bisa ditanami dan dapat menghasilkan pendapatan.
Selain dilakukan penanaman pohon kaliandra, petani di Sumberjaya juga menerapkan sistem
agroforestri yang sederhana maupun yang kompleks. Penerapan agroforestri dilakukan dengan
penanaman tanaman buah- buahan, tanaman kayu, ataupun tanaman legume yang memiliki
banyak fungsi apabila ditanam berdampingan dengan tanaman kopi sebagai tanaman pelindung
tanah dan air dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan menggunakan sistem tersebut
petani akan memperoleh manfaat secara fisik yaitu dengan tingkat erosi yang mengalami
penurunan dan produktivitas pada perkebunan kopi akan mengalami peningkatan. Selain itu,
secara ekologis, agroforestri berbasis kopi memiliki banyak seresah dengan tingkat pelapukan
yang berbeda, sehingga berperan dalam menghambat limpasan permukaan dan erosi (Dariah et
al., 2004). Serta, sebagai penyerap karbondioksisa dalam pengaturan iklim lokal (Suyamto et al.,
2004). Meskipun tidak sebaik tanaman kaliandra, tanaman kopi juga mampu untuk memulihkan
sifat fisik tanah (dengan berkembangnya umur kopi) yakni pori drainase cepat dan pori air
tersedia. Lahan kopi dewasa cenderung memiliki sifat fisik tanah (bobot isi, ruang pori total, dan
distribusi pori) lebih baik daripada lahan kopi muda (Dariah et al., 2005)
Solusi lain yang dapat diterapkan ialah dengan menggunakan metode konservasi secara
vegetatif dan secara mekanik. Metode konservasi secara mekanik ialah dengan membuat teras
bangku yang juga ditanami tanaman penguat pada bibir dan tampingan teras. Pembuatan teras
bangku pada lahan di Sumberjaya dapat memperlambat aliran permukaan, manampung dan
menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak, meningkatkan laju infiltrasi,
dan mempermudah pengolahan tanah. Selain itu, teras bangku mudah untuk dipraktekkan dan
salah satu teknik pengendalian erosi yang efektif. Metode konservasi secara

6
7

vegetatif yang dapat diterapkan yaitu dengan penggunaan budidaya lorong. Penggunaan
budidaya lorong mampu untuk mengurangi erosi dan aliran permukaan. Penerapan budidaya
Lorong memiliki keuntungan diantaranya adalah mampu menurunkan jumlah erosi, mencegah
terjadinya penurunan bahan organik di dalam tanah, dan mampu meningkatkan hasil tanaman
selain dengan menekan laju erosi (Sutono, 2014). Sistem budidaya Lorong mampu untuk
menekan jumlah kehilangan unsur hara pada tanah lapisan atas. Kehilangan unsur hara dapat
ditekan lebih rendah apabila mengikuti tindakan konservasi yang lain yaitu melakukan pemberian
mulsa dan melakukan olah tanah yang minimum.
Contoh budidaya lorong yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penanaman
tanaman Flemingia congesta atau Flemingia macrophyla. Hal itu dikarenakan pada saat tanaman
tersebut berusia 4 tahun pada lahan yang peka terhadap adanya erosi maka akan mampu untuk
pembentukan teras. Teras yang dibentuk memiliki fungsi untuk mengurangi panjang lereng serta
kemiringan lahan olah. Teras tersebut alami terbentuk karena tanah yang tererosi dan sedimen
yang terbawa oleh aliran permukaan tertahan oleh barisan tanaman pagar. Sistem budidaya
Lorong mampu untuk memperbaiki sifat fisika tanah yang akan terlihat hasilnya ± 3-4 tahun.
Perlu dilakukan persumtimbangan untuk memilih tanaman pagar, agar petani dapat memperoleh
keuntungan yang nyata dalam jangka waktu yang pendek (Subagyono et al., 2004).

Gambar 9. Flemingia congesta

7
8

BAB 3. Rekomendasi Strategi Konservasi Tanah dan Air


Konservasi tanah dan air atau suatu tindakan pengawetan tanah merupakan usaha-
usaha untuk menjaga dan mengingkatkan produktivitas tanah, kuantitas dan kualitas air (Rayhani
dan Agung, 2017). Teknik konservasi tanah dan air adalah teknik konservasi terhadap komponen-
komponen tanah dan air yang pengelolaannya disesuaikan dengan potensi sehingga terjamin
fungsinya serta untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas tanah, kuantitas dan kualitas air.
Dalam sektor pertanian, lahan-lahan yang terdegradasi dicirikan dengan menurunnya
produktivitas lahan tersebut dikarenakan kehilangan lapisan atas tanah yang disebabkan oleh
beberapa hal seperti erosi, erodibilitas tanah, kemiringan lereng, tidak adanya penutup tanah dan
pengolahan lahan. Oleh karena itu, strategi konservasi tanah pada suatu lahan sangat
diperlukan. Usaha-usaha konservasi tanah dan air berperan untuk penyelamatan lahan kritis atau
lahan terdegradasi, menjaga dan menjamin kesuburan tanah, untuk mengendalikan erosi dan
sedimentasi, untuk pengendalian banjir, menjaga keseimbangan tata air serta untuk
mengendalikan pencemaran air sesuai dengan standar lingkungan (Karyati dan Sarminah, 2018).
Strategi konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan memperhatikan manajemen tanah
yang baik. Menurut Kartasapoetra (2010), manajemen lahan berfungsi untuk memaksimalkan
produktivitas lahan dengan tidak mengabaikan keberlanjutan dari sumberdaya lahan. Selain
melakukan manajemen tanah perlu dilakukan teknik konservasi tanah dan air. Penerapan
teknologi konservasi tanah dan air harus tepat untuk meningkatkan produktivitas lahan secara
berkelanjutan dan menjaga kelestarian lingkungan. Teknik konservasi tanah dan air dibedakan
menjadi tiga yaitu teknik konservasi vegetatif, mekanik dan kimia.
3.1 Manajemen Tanah
Bagaimana tanah dalam fungsi kondisi asli? Bagaimana hutan dan padang rumput asli
menghasilkan tanaman dan hewan dalam ketiadaan lengkap pupuk dan pengolahan tanah?
Apa prinsip-prinsip dimana fungsi tanah ini? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini
memastikan bahwa tanah akan menjadi produktif dan menguntungkan sekarang dan untuk
generasi mendatang. Suatu hal yang baik terjadi ketika produktivitas alami tanah yang dikelola
secara berkelanjutan; ketergantungan pada penurunan input yang dibeli, sedangkan nilai tanah
dan pendapatan meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa hal yang kita menghabiskan uang bisa
dilakukan oleh proses alam itu sendiri untuk sedikit atau tidak ada. Ini adalah spiral ke atas
kesuksesan. Untuk memahami hal ini lebih baik, mari kita mulai dengan dasar-dasar manajemen
tanah.
Kualitas dapat ditingkatkan dengan manajemen yang baik. Beberapa praktek yang
merupakan bagian dari rencana pengelolaan hara mungkin memiliki konsekuensi yang tidak
diinginkan yang menurunkan, bukan meningkatkan kualitas tanah. Sebagai contoh, seringkali
direkomendasikan bahwa pupuk dimasukkan dengan pengolahan tanah. Namun, pengolahan
tanah menghadapkan tanah terhadap erosi, mengurangi kandungan bahan organik dan dapat
meningkatkan limpasan. Fasilitas yang menyimpan sejumlah besar pupuk mungkin
membutuhkan peralatan berat menyebarkan pupuk, dan sering memiliki jendela waktu yang lebih
kecil untuk menyebarkan, yang keduanya meningkatkan risiko pemadatan tanah. Jika spesialis
manajemen gizi dapat merancang rencana yang memenuhi konservasi tanah dan pertimbangan
kualitas tanah serta persyaratan pengelolaan hara, maka dapat diterapkan bagi produsen
pertanian, warga lainnya, dan kualitas sumber daya alam. Kualitas tanah didefinisikan sebagai
“kapasitas suatu tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem untuk menopang
produktivitas biologi, menjaga kesehatan lingkungan, dan mempromosikan tanaman dan
kesehatan hewan” (Doran dan Parkin, 1994).
1. Indikator kualitas tanah

8
9

Ilmuan Tanah bekerja untuk mengembangkan indikator kuantitatif kualitas tanah, mirip dengan yang
digunakan untuk mengukur kualitas udara dan air. Dataset minimum sebagai berikut telah diusulkan
oleh Doran dan Parkin (1996) untuk pengukuran kualitas tanah:
• tekstur
• kedalaman tanah
• infiltrasi
• bobot
• Air memegang kapasitas
• organik tanah peduli
• pH
• konduktivitas listrik
• mikroba biomassa C dan N
• berpotensi mineralizable N
• tanah respirasi
2. Erosi tanah
Erosi tanah adalah salah satu kontributor utama penurunan kualitas air. Hal ini erat terkait
dengan polusi fosfor karena fosfor melekat pada partikel tanah. Dalam prakteknya, ini berarti
bahwa praktek-praktek pengendalian erosi tanah juga akan berkurang gerakan fosfor dalam
lanskap. Erosi tanah juga menyebabkan kekeruhan meningkat dan sedimentasi di Teluk. Erosi
tanah juga serius mengurangi kualitas tanah. Hilangnya lapisan atas tanah produktif oleh erosi
memperlihatkan lapisan tanah, yang biasanya kurang produktif, dan memiliki karakteristik fisik
yang tidak diinginkan untuk pekerjaan lapangan dan pertumbuhan tanaman. Tanah
terdegradasi yang terlihat di seluruh bagian bergelombang dari wilayah Mid-Atlantic di tempat
lebih tinggi dalam bidang di mana tanah liat tombol-tombol atau singkapan batu muncul ke
permukaan. Pembentukan Tanaman buruk pada tombol ini karena persemaian kasar dan
miskin benih-ke-tanah kontak. Kekeringan stres karena mengurangi kapasitas menyimpan air
juga umum atas tombol-tombol dan singkapan.
3. Mengendalikan Erosi Tanah
Kedua jenis erosi air yang dapat dikendalikan oleh praktek pengelolaan tanah ini saling rill danerosi
rill. Rekayasa struktur seperti saluran air berumput dan penguatan streambank biasanya diperlukan
untuk membatasi jenis-jenis erosi air. Tanam dan praktek manajemen untuk mengendalikan erosi
meliputi manajemen sebelumnya dan tanam, perlindungan yang ditawarkan permukaan tanah oleh
kanopi vegetatif, dan penutup permukaan dan kekasaranpermukaan. Secara umum, praktek
manajemen yang paling penting tanaman yang akan membantu penurunan erosi adalah:
• memelihara tanaman penutup residu di atas 30% sampai penutupan kanopi tanaman
• bolak tanaman musim panas dengan musim dingin tanaman dan tanaman tahunan
• menggunakan tanaman penutup selama periode ketika tanah akan memiliki residu
cukup
• Kontur pertanian menyiratkan bahwa tanaman yang ditanam hampir di kontur. Manfaat
dari praktek ini adalah yang terbesar di lereng sedang (2-6%) ketika tanaman ditanam
dalam tanah digarap dimana tinggi bubungan adalah 2-3 inci. Namun, bahkan dengan
tidak-sampai, pertanian kontur dapat mengurangi erosi jika penutup residu adalah
marjinal dan tinggi bubungan adalah 2 inci atau lebih.
• Contour strip-strip cropping melibatkan bergantian dengan tinggi residu penutup atau
tanaman tahunan dengan strip dengan penutup residu rendah. Strip harus ditata dekat
dengan kontur, sesuatu yang tidak selalu mungkin dalam lanskap bergulir. Jalur lebar
biasanya antara 75 dan 120 meter. Tanah yang mengikis dari strip residu telanjang atau
rendah disimpan dalam strip dengan residu tinggi atau vegetasi padat karena kecepatan

9
10

limpasan menurun. Praktek ini sangat berguna jika tanah digarap atau jika tanah
dibiarkan kosong selama bagian dari tahun di tidak-sampai. Dalam sistem tanam hari ini,
perbedaan antara strip penutup sering minim, yang mengurangi efektivitas dari praktek
ini.
• Jika residu penutup tinggi (lebih dari 30% setiap saat) dipertahankan dalam sistem tidak-
sampai, kontur pertanian dan kontur strip-tanam biasanya tidak diperlukan.
4. Curah hujan
Dampak dari hujan pada permukaan tanah adalah awal, dan bagian paling penting, dari
proses erosi. Tingkat erosi yang disebabkan oleh curah hujan (erosivitas) tergantung pada
ukuran dan kecepatan tetesan air hujan dan jumlah curah hujan. Lembut, hujan gerimis tidak
sangat erosif, sedangkan badai ganas dan badai sangat erosif. Tinggi intensitas badai
menghasilkan tetes yang lebih besar yang jatuh lebih cepat daripada intensitas rendah badai
dan karena itu memiliki potensi yang lebih besar untuk menghancurkan agregat dan mengusir
partikel dari matriks tanah. Meskipun jumlah total yang sama hujan bisa jatuh, pendek, tinggi
intensitas curah hujan acara menyebabkan erosi lebih dari badai, panjang intensitas rendah.
5. Tekstur dan Struktur
Tanah terdiri dari empat komponen: mineral, udara, air, dan bahan organik. Pada tanah mineral
yang paling mewakili sekitar 45% dari total volume, air dan udara sekitar 25% masing- masing,
dan bahan organik dari 2% menjadi 5%. Bagian mineral terdiri dari tiga ukuran partikel yang
berbeda diklasifikasikan sebagai pasir, lumpur atau tanah liat. Pasir adalah partikel ukuran
terbesar yang dapat dianggap tanah. Pasir sebagian besar merupakan mineral kuarsa, meskipun
mineral lain juga hadir. Sejak kuarsa mengandung nutrisi tanaman, pasir adalah penyumbang
terendah untuk kesuburan tanah dari tiga ukuran tanah partikel. Selanjutnya, pasir tidak dapat
menyimpan nutrisi-mereka larut dengan mudah dengan curah hujan. Itulah sebabnya tanah
berpasir tidak seproduktif tanah liat dan harus disuapi pupuk. Partikel lumpur jauh lebih kecil dari
pasir, tetapi, seperti pasir, debu sebagian besar kuarsa. Terkecil dari semua partikel tanah adalah
tanah liat. Lempung sangat berbeda dari pasir atau lumpur dan mengandung jumlah yang cukup
nutrisi tanaman. Tanah liat memiliki luas permukaan yang besar yang dihasilkan dari bentuk
seperti piring dari partikel individu. Penunjukan tekstur tanah yang berasal dari bagian relatif dari
pasir, debu tanah liat, dan. Sebuah lempung berpasir, misalnya, memiliki banyak pasir dan tanah
liat lebih jauh lebih sedikit daripada melakukan lempung tanah liat. Sebuah tanah lempung
merupakan campuran dari pasir, debu dan liat. Sebagian besar tanah adalah beberapa jenis
lempung. Mereka lebih tepat disebut oleh kata-kata kata pengantar lempung kata, seperti:
lempung berpasir lempung atau tanah liat.
3.2 Teknik Konservasi Vegetatif
Teknik konservasi tanah dan air secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan tanaman
maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran
permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat
fisik, kimia maupun biologi (Subagyono et al., 2003). Teknik konservasi tanah dan air secara
vegetatif merupakan segala bentuk pemanfaatan vegetasi untuk konservasi. Teknik konservasi
secara vegetatif memiliki beberapa kelebihan seperti biaya yang murah, pengaplikasian mudah
serta menyediakan hara bagi tanaman karena berasal dari tanaman atau vegetasi serta tanaman
sisa. Menurut Suwarto et al (2012), teknik konservasi vegetatif dalam konservasi lahan pada
dasarnya ditujukan untuk melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh,
melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air di atas permukaan tanah, dan memperbaiki
kapasitas infiltrasi tanah dan absorpsi air yang langsung akan menurunkan jumlah aliran
permukaan serta mempengaruhi waktu tercapainya puncak aliran permukaan. Menurut Kunarso
et al (2018), terdapat beberapa pilihan konservasi tanah secara vegetatif yang dapat diterapkan
yaitu penghutanan kembali, agroforestri, penggunaan mulsa dan penggunaan tanaman penutup
tanah (covercrop).
1. Penghutanan Kembali (Reforestasi)

10
11

Penghutanan kembali atau reforestasi diterapkan dengan maksud untuk mengembalikan


dan memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan
(Kunarso et al., 2018). Reforestasi juga berfungsi untuk meningkatkan bahan organik tanah dari
serasah yang jauh di permukaan tanah sehingga dapat menjaga kesuburan tanah. Reforestasi
diterapkan pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh erosi, tanah longsor dan aktivitas
manusia seperti pertambangan, perladangan berpindah, dan penebangan hutan. Hutan
mempunyai fungsi tata air yang unik karena mampu menyimpan air dan meredam debit air pada
saat musim penghujan dan menyediakan air secara terkendali pada saat musim kemarau.
Penghutanan kembali dengan maksud untuk mengembalikan fungsi tata air (Subagyono et al.,
2003).
2. Agroforestri
Agroforestri merupakan suatu bentuk pemanfaatan lahan dengan menggabungkan
tanaman tahunan. Tanaman tahunan mempunyai luas penutupan tajuk yang relatif lebih besar
dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran
batang (stemflow) dan air lolos (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar
(Subagyono et al., 2003). Agroforestri memiliki ciri-ciri yaitu merupakan suatu sistem pengelolaan
lahan yang berasaskan kelestarian, adanya kombinasi produksi tanaman pertanian, tanaman
kehutanan dan peternakan secara bersamaan atau berurutan pada suatu unit lahan, pengelolaan
lahan sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat dan memiliki tujuan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat (Suryani dan Dariah, 2012). Pada lahan agroforestri terdapat beragam
tutupan vegetasi yang mampu mengurangi bahaya erosi (Saputro dan Sastranegara, 2014).
Penerapan wanatani pada lahan dengan lereng curam atau agak curam dapat mengurangi tingkat
erosi dan memperbaiki kualitas tanah, dibandingkan apabila lahan tersebut gundul atau hanya
ditanami tanaman semusim. Proporsi tanaman tahunan dan tanaman semusim ditentukan oleh
kemiringan lereng lahan, semakin curam lereng maka semakin banyak proporsi tanaman tahunan
yang harus ditanam, begitupun sebaliknya (Subagyono et al., 2003).

Gambar 10. Acuan Proporsi tanaman tahunan dan tanaman musiman yang ditentukan oleh
kemiringan lereng
(Subagyono et al., 2003)
3. Mulsa
Mulsa merupakan suatu bahan yang berasal dari sisa tanaman, serasah, sampah, plastik
atau bahan-bahan lain yang menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari kehilangan
air melalui evaporasi. Mulsa memiliki manfaat untuk melindungi permukan tanah dari pukulan
langsung butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi, selain itu mulsa juga dapat
mengurangi laju dan volume limpasan permukaan. Peran mulsa dalam menekan laju erosi
sangat ditentukan oleh bahan mulsa, persentase penutupan tanah, tebal lapisan mulsa, dan daya
tahan mulsa terhadap dekomposisi. Pemberian mulsa dapat menurunkan erosi hingga di bawah
ambang batas yang dapat diabaikan. Sebaliknya pada tanah yang diolah dan tanpa diberi mulsa,
erosi terjadi makin besar. Pemberian mulsa mampu meningkatkan laju infiltrasi dan serta
menurunkan kecepatan aliran permukaan dan erosi pada tingkat yang masih dapat diabaikan.

11
12

Mulsa jerami ditambah dengan mulsa dari sisa tanaman sangat efektif dalam mengurangi erosi
serta mengurangi konsentrasi sedimen dan hara yang hilang akibat erosi (Subagyono et al.,
2003).

Gambar 11. Pengaplikasian Mulsa


(Subagyono et al., 2003).
Salah satu penerapan mulsa dalam tenik konservasi tanah dan air dapat diterapkan teknik
mulsa vertical. Teknik mulsa vertikal merupakan salah satu teknik konservasi tanah dan air
melalui pemanfaatan limbah hutan (serasah) yang ada di sekitar dengan memasukannya ke
dalam saluran atau alur yang dibuat sejajar kontur pada bidang yang diusahakan (Pratiwi &
Narendra, 2012). Teknik konservasi dengan mulsa vertikal dalam merehabilitasi lahan-lahan
berlereng, dapat mengurangi laju aliran permukaan, erosi dan kehilangan unsur hara (Pratiwi &
Salim, 2013).

12
13

Gambar 12. Sketsa Pola Tanam dan Teknik Mulsa Vertikal


(Pratiwi et al., 2019)
3. Pertanaman Lorong (Alley cropping)
Sistem pertanaman lorong atau alley cropping adalah suatu sistem dimana tanaman
pagar pengontrol erosi berupa barisan tanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur,
sehingga membentuk lorong-lorong dan tanaman semusim berada di antara tanaman pagar
tersebut. Sistem ini merupakan teknik konservasi yang cukup murah dan efektif dalam
mengendalikan erosi dan aliran permukaan serta mampu mempertahankan produktivitas tanah
(Subagyono et al., 2003). Teknik konservasi vegetatif dengan sistem pertanaman Lorong (alley
cropping) sangat efektif untuk mengendalikan erosi. Sistem pertanaman lorong (alley cropping)
memiliki banyak kelebihan diantaranya adalah efektif dalam menurunkan erosi dan aliran
permukaan, memperbaiki kualitas tanah terutama sifat fisik tanah yaitu menurunkan bulk density
dan meningkatkan konduktivitas hidrolik tanah, mitigasi perubahan iklim dan teknik konservasi ini
memerlukan biaya yang relatif murah (Ariani dan Haryati, 2018).
Gambar 13. Pertanaman Lorong

(Subagyono et al., 2003).


4. Tanaman penutup tanah (Cover crop)
Penanaman tanaman penutup tanah merupakan slah satu teknik konservasi dimana
melakukan penutupan permukaan tanah menggunakan tanaman. Teknik konservasi ini sangat
mudah untuk dilakukan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sumarni et al (2006)
didapatkan bahwa penerapan tanaman penutup tanah dapat menekan laju erosi. Tanaman
penutup berfungsi menahan energi kinetik tetesan air hujan sebelum jatuh ke permukaan tanah

13
14

(Kunarso et al., 2018). Oleh karena itu, tutupan vegetasi memiliki pengaruh besar pada tingkat
limpasan dan erosi. Erosi tanah dapat dikurangi dengan pengelolaan yang optimal baik vegetasi
maupun pengolahan tanah. Adanya tanaman penutup tanah dapat menahan percikan air hujan
dan aliran air di permukaan tanah sehingga pengikisan lapisan atas tanah dapat ditekan. Selain
itu juga, tanaman penutup tanah dapat meningkatkan infiltrasi tanah dan memelihara struktur
tanah. Tanaman penutup tanah juga berfungsi sebagai pelindung permukaan tanah akibat daya
disperse dan penghancuran oleh butir-butir hujan dan memperlambat aliran permukaan (Gonggo
et al., 2005). Jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman penutup tanah adalah
centrosema (Centrosema pubescens), pueraria (Pueraria javanica), benguk (Mucuna sp.),
lamtoro (Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium) (Subagyono et al., 2003).

Gambar 14. Tanaman Penutup Tanah Mucuna sp.


(Subagyono et al., 2003).
5. Pergiliran tanaman (Crop rotation)
Pergiliran tanaman (crop rotation) merupakan suatu sistem bercocok tanam dimana
sebidang lahan ditanami dengan beberapa jenis tanaman secara bergantian. Tujuan dari
penerapan sistem ini adalah untuk memutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan untuk
meragamkan hasil tanaman (Subagyono et al., 2003). Pergiliran tanaman memiliki manfaat untuk
mencegah erosi. Para petani di Indonesia sudah banyak yang menerapkan sistem pergiliran
tanaman. Sistem pergiliran tanaman yang terbaik harus sesuai kaidah konservasi lahan yaitu
yang di antaranya menggunakan tanaman leguminosa, yaitu tanaman yang dapat mengikat
nitrogen (N) bebas dari udara. Sistem pergiliran tanaman selain berperan dalam pencegahan
erosi, melalui pergiliran tanaman dapat diperoleh keuntungan-keuntungan lain seperti dapat
mengendalikan hama dan penyakit karena dapat memutus siklus hidup hama dan penyakit,
memberantas gulma, penanaman satu jenis tanaman tertentu trus-menerus akan meningkatkan
pertumbuhan gulma jenis tertentu, mempertahankan dan memperbaiki sifat fisik tanah dan
memelihara keseimbangan unsur hara dalam tanah (Suwarto et al., 2012).
6. Tumpang sari (Intercropping)
Tumpangsari merupakan bentuk pola tanam yang membudidayakan lebih dari satu jenis
tanaman dalam satuan waktu tertentu dengan tujuan untuk memperoleh hasil produksi yang
optimal dan menjaga kesuburan tanah selain itu sistem tana mini juga diperlukan untuk
konservasi tanah (Rochmah et al., 2020). Sistem tumpang sari adalah salah satu usaha
konservasi tanah yang efektif dalam memanfaatkan luas lahan. Tanaman yang ditanam dapat
berupa tanaman legum dan tanaman non-legume. Tanaman tersebut dapat berupa tanaman
penambat nitrogen yang pada prinsipnya saling menguntungkan. Kerapatan penutupan tanah
akan sangat menguntungkan untuk pencegahan erosi, mempertahankan kadar lengas tanah
karena evaporasi terhambat, memperbaiki kondisi tanah karena aktivitas perakaran
mempertinggi bahan organik tanah. Setelah tanaman dalam tumpang sari tersebut dipanen
sebaiknya tanah langsung ditanami dengan tanaman pangan lain ataupun tanaman penutup

14
15

tanah yang mampu tumbuh cepat untuk melindungi tanah, sehingga erosi dapat dikurangi
(Subagyono et al., 2003).
3.3 Teknik Konservasi Mekanis
Pengolahan tanah termasuk kedalam metode mekanik untuk melakukan konservasi tanah dan
air. Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi teknik terhadap tanah yang diperlukan untuk
menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Pengendalian erosi secara
teknik mekanik merupakan usaha-usaha pengawetan tanah untuk mengurangi banyaknya tanah
yang hilang di daerah lahan pertanian dengan cara tertentu. Menurut pernyataan dari Dariah et
al. (2005), menyatakan bahwa meskipun terdapat tindakan konservasi vegetatif, namun
perlakuan secara fisik mekanis seperti pembuatan saluran air (SPA) atau bangunan terjunan
masih tetap diperlukan untuk mengalirkan sisa aliran permukaan yang tidak diserap oleh
tanah.Konservasi mekanis pada prinsipnya merupakan Tindakan konservasi secara sipil teknis
atau secara fisik dengan material secara mekanik. Konservasi mekanis pada suatu DAS
diharapkan mampu mencegah terjadinya longsor (Harjadi, 2020).
Penerapan teknik konservasi tanah secara mekanik juga akan lebih efektif
dikombinasikan dengan teknik konservasi tanah vegetatif, seperti penggunaan rumput atau
legume. Adapun penerapan konservasi air dan tanah secara mekanik menurut Wahyudi (2014),
yaitu sebagai berikut :
Teras merupakan metode konservasi yang ditujukan untuk mengurangi panjang lereng,
menahan air sehingga mengurang kecepatan dan jumlah aliran permukaan, serta memperbesar
peluang penyerapan air oleh tanah. Tipe teras yang relatif banyak digunakan dan dikembangkan
pada lahan pegunungan atau perbukitan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Teras Tembok (Wet Masory)
Pembuatan bangunan teras tembok atau tembok penahan (wet masonry) bertujuan untuk
menghambat aliran air dan erosi, yang dibuat dari konstruksi beton. Pada bagian saluran dibuat
sodetan untuk aliran air yang dikombinasi tindakan konservasi vegetatif, seperti penanaman
rumput dan cover crop lain untuk membantu mengurangi kikisan tanah yang terjadi dengan
adanya akar tanaman rumpur atau cover crop. Konstruksi teras tembok ini dipilih apabila
terdapat tekanan yang cukup besar dari bagian belakang, yang berasal dari material tanah
maupun volume air yang akan datang dan menginginkan tingkat kekokohan yang tinggi pada
bagian atas bangunan, misalnya akibat batuan yang lonsor dan lain-lain pada daerah
pegunungan atau perbukitan.
Persyaratan teknis konstruksi tembok penahan adalah:
a. Tinggi konstruksi sampai 3meter dengan kemiringan mengikuti kelerengan bukit atau
pegunungan,
b. Tempat pembuangan air dibuat 1 buah per 3 m2 supaya tidak terjadi genangan air
pada bagian belakang konstruksi,
c. Pada bagian belakang dinding beton diberi kerikil untuk meningkatkan permeabilitas
tanah,sehingga tidak terjadi genangan saat hujan lebat dan mencegah terjadinya
banjir.

15
16

Gambar 15. Ilustrasi bangunan tembok penahan


(Wahyudi, 2014)
1. Teras Batu (Stone Terrace Works)
Teras batu atau batu penahan (stone terrace works), pada prinsipnya sama dengan
teras tembok atau tembok penahan. Pada batu penahan biaya yang digunakan lebih sedikit,
namun tingkat kekuatannya lebih rendah dibanding tembok penahan. Pada teknik ini dapat
ditambahkan dengan penanaman rumput, bambu atau tanaman keras karena dapat membantu
menjaga kestabilan permukaan tanah. Selain itu adanya kombinasi antara teras batu dan
tanaman keras dapat membantu untuk menyerap air agar mengurangi tingkat erosi yang terdapat
pada daerah tersebut.

Gambar 16. Contoh bangunan batu penahan


(Wahyudi, 2014)
2. Pemasangan Kawat Bronjong (Gabion Works)
Untuk memperkuat konstruksi teras batu, dapat ditambahkan kawat bronjong yang dapat
mengikat material batu satu dengan lainnya. Penggunaan kawat bronjong mutlak dilakukan
apabila teras batu dibuat bertingkat. Hal ini dilakukan agar air yang mengalir dari perbukitan atau
pegunungan tersebut tidak terlalu deras dari atas sehingga dengan pemasangan kawat
bronjong ini dapat membant memeprkuat penahanan dari teras batu yang dibuat sedemikian
rupa.
Persyaratan teknis antara lain:
a. Tinggi maksimal 2 meter dengan pondasi berupa tancapan kayu yang keras.
b. Menggunakan batu yang keras (tidak mudah lapuk) dan lebih besar dari mata kawat
c. Susunan batu saling mengunci antara yang besar dan kecil sehingga memperkecil
rongga yang dapat mengakibatkan bergerak/turunnya pondasi.
d. Segera diikuti konservasi secara vegetatif dengan jenis yang memiliki perakaran kuat
dan dalam.

16
17

Gambar 17. Penggunaan kawat bronjong pada teras batu bertingkat


(Wahyudi, 2014)
3. Teras Kayu (Log Retaining Works)
Teras kayu disebut juga bangunan kayu penahan (Log Retaining Works), digunakan
untuk menahan longsor dalam skala kecil atau tekanan yang tidak besar di belakang dinding
penahan. Bangunan ini relatif berumur pendek, oleh karena itu penanaman vegetasi harus
segera dilakukan untuk menggantikan fungsi teknik sipilnya, dengan menggunakan fast growing
spesies. Karena penggunaan kayu pada lereng gunung dapat melapuk seiring berkembangnya
taun selain itu juda mudah terbawa oleh adanya erosi atau longsor yang cukup kuat pada lereng
perbukitan atau pegunungan.
Persyarat teknis kayu penahan ini adalah:
a. Tinggi bangunan sampai dengan 1meter dengan pondasi kayu keras.
a. Bila terdapat rongga atau lubang, ditutup dengan rerumputan, cabang, ranting dan
lainnya agar tanah tidak hanyut dan mempertahankan kestabilan tanah timbunan.
b. Sangat tepat digunakan pada daerah yang masih banyak tersedia bahan baku
gelondongan kayu.
c. Segera dilakukan konservasi vegetatif dengan jenis cepat tumbuh.
4. Teras Kotak (Log Grib Works)
Pekerjaan teras kotak dilakukan untuk mencegah tumbukan oleh energi air hujan dan
menahan aliran permukaan sehingga bahaya erosi dan longsor dapat ditekan seminimal
mungkin.
Persyarat teknis yang diperlukan adalah:
a. Permukaan tanah diratakan sesuai kelerengan.
b. Pembuatan kotak persegi dilakukan dengan kayu bulat kecil yang diikat satu dengan
lainnya membentuk luasan sekitar 2-5 m2. Pekerjaan dimulai dari bawah ke atas.
c. Penutupan kotak dengan kantong-kantong tanah.
c. Apabila terdapat saluran air, dibuatkan gorong-gorong
d. Segera dilakukan penanaman (konservasi vegetatif)

17
18

Gambar 18. Rangkaian pembuatan dan hasil dari teras kotak pada lahan kritis
(Wahyudi, 2014)
5. Teras Bambu dan Ranting (Bamboo and Wicker Terrace Works)
Pada prinsipnya teras bambu dan ranting mirip dengan kayu penahan (Log Retaining
Works). Perbedaan hanya terletak pada material yang digunakan serta cara pembuatan. Teras
bambu dibuat dengan menganyam bambu pada kayu keras yang berfungsi sebagai patok.
Sedangkan teras ranting dibuat dengan memanfaatkan sisa-sisa batang dan ranting pohon. Baik
teras bambu maupun ranting, segera diikuti dengan konservasi vegetatif, karena usia bambu
maupun kayu relatif pendek.

Gambar 19. Bangunan teras bambu pada lahan miring


(Wahyudi, 2014)
6. Teras Karung (Soil Bag Terrace Works)
Teras karung dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengurangi erosi dan
longsor. Karung yang berisi tanah dan campuran bahan organik, pada awalnya berfungsi sebagai
konservasi teknik sipil. Campuran bahan organik yang terdapat dalam karung dapat membantu
mempercepat pertumbuhan vegetasi, baik yang sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara
alami, sehingga lambat laun peranan konservasi teknik sipil digantikan dengan konservasi
vegetatif. Akan tetapi juga akan membantu meminimalisir aliran air yang deras dari atas
perbukitan atau pegunungan akibat adanya hujan deras.

18
19

Gambar 20. Bangunan teras karung


(Wahyudi, 2014)
7. Teras Jerami (Straw Mat Terrace Works)
Bangunan teknis teras jerami dapat digunakan pada lahan dengan kelerengan curam
dengan kondisi sangat kritis. Permukaan tanah ditutup dengan hamparan jerami yang diikat
sedemikian rupa pada patok-patok yang ditancapkan dalam tanah. Permukaan tanah dapat
terlindungi dari pukulan butirbutir hujan serta memperlambat aliran air dan mencegah erosi dan
lonsor. Pada bagian bawah kelompok teras jerami dapat dibuat teras batu (Stone terrace) untuk
memperkuat konstruksi dan memperlancar saluran drainase.

Gambar 21. Bangunan teras jerami


(Wahyudi, 2014)

19
20

BAB 4. Kesimpulan dan Saran


4.1 Kesimpulan
Peningkatan jumlah penduduk di negara Indonesia terjadi pada setiap tahunnya. Hal
itu disebabkan oleh banyaknya jumlah kelahiran. Oleh karena meningkatnya jumlah
kebutuhan tempat tinggal, banyak masyarakat indonesia yang menerapkan alih fungsi lahan.
Alih fungsi lahan biasanya berupa perubahan dari lahan hutan menjadi
lahan pemukiman, pertanian, maupun industri. Namun ada sebuah dampak negatif yang
timbul dari alih fungsi lahan, dimana lahan yang sebelumnya merupakan lahan yang asri
sebagai tempat tinggal banyak flora serta fauna menjadi hilang karena alih fungsi dari lahan
itu sendiri. Selain itu, teras bangku mudah untuk dipraktekkan dan salah satu teknik
pengendalian erosi yang efektif. Hal itu dikarenakan pada saat tanaman tersebut berusia 4
tahun pada lahan yang peka terhadap adanya erosi maka akan mampu untuk pembentukan
teras. Teras yang dibentuk memiliki fungsi untuk mengurangi panjang lereng serta
kemiringan lahan olah. Suatu hal yang baik terjadi ketika produktivitas alami tanah yang
dikelola secara berkelanjutan; ketergantungan pada penurunan input yang dibeli, sedangkan
nilai tanah dan pendapatan meningkat dari tahun ke tahun. Strip harus ditata dekat dengan
kontur, sesuatu yang tidak selalu mungkin dalam lanskap bergulir. Dampak dari hujan pada
permukaan tanah adalah awal, dan bagian paling penting, dari proses erosi. Tingkat erosi
yang disebabkan oleh curah hujan tergantung pada ukuran dan kecepatan tetesan air
hujan dan jumlah curah hujan. Pada tanah mineral yang paling mewakili sekitar 45% dari
total volume, air dan udara sekitar 25% masing-masing, dan bahan organik dari 2% menjadi
5%.
4.2 Saran
Masing-masing jenis teknik konservasi tanah mekanik mempunyai kelebihan dan
kekurangan, sehingga diperlukan strategi yang tepat dalam penerapannya agar dapat
mengoptimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangannya. Tidak semua teknik
konservasi tanah mekanik dapat diterapkan untuk semua kondisi lahan, melainkan bersifat
spesifik lokasi, dan penerapannya harus disesuaikan dengan agroekosistem setempat.

20
21

DAFTAR PUSTAKA
Ariani, R., dan U. Haryati. (2018). Sistem Alley Cropping : Analisis SWOT dan Strategi
Implementasinya di Lahan Kering DAS Hulu . Jurnal Sumberdaya Lahan, 12(1):13-
31.
BPS. 2021. Hasil Sensus Penduduk 2020. Badan Pusat Statistik.
Dariah, A, F., Arsyad, A.S., Sudarsono, dan Maswar. 2004. Erosi Dan Aliran Permukaan
Pada Lahan Pertanian Berbasis Tanaman Kopi Di Sumberjaya, Lampung Barat.
Agrivita, 26(1) :52-60
Dariah, A., Agus, F., dan Maswar. 2005. Kualitas Tanah pada Lahan Usahatani Berbasis
Tanaman Kopi (Studi Kasus di Sumberjaya, Lampung Barat). J. Tanah dan Iklim,
No.23 : 48-57
Dariah, A., A. Rachman, dan U. Kurnia. 2005. Erosi dan degradasi lahan kering di
Indonesia. Dalam Kurnia U, Rachman A, Dariah A (Eds). Teknologi Konservasi Tanah
pada Lahan Kering Berlereng, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Doran, J.W. and Parkin, T.B. 1994. Defining and Assessing Soil Quality, In Defining Soil
Quality for Sustainable Environment. JW. Doran, DC. Coleman, DF. Bezdicek, & BA.
Stewart (eds). SSSA Spec. Pub. No. 35. Soil Sci. Soc. Am., Am. Soc. Agron.,
Madison, WI, pp. 3 –21
Gonggo, B. M., B. Hermawan., dan D. Anggraeni. (2005). Pengaruh Jenis Tanaman
Penutup dan Pengolahan Tanah Terhadap Sifat Fisika Tanah Pada Lahan Alang-
Alang. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, 7(1):44-50.
Harjadi, Beny. 2020. Tindakan Konservasi Menyelamatkan Produktivitas Lahan dan
Ketersediaan Air dalam Tanah. Deepublish: Yogyakarta
Kartasapoetra, A. G. (2010). Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Rineka Cipta.
Karyati., dan S. Sarminah. (2018). Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Samarinda:
Mulawarman University Press.
Kunarso, A., dan T. A. A. Syabana. (2018). Arahan Konservasi Tanah Berdasarkan Tingkat
Bahaya Erosi di Sub DAS Perapau, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan
Sumatera, 1(2):13-26
Pratiwi., dan Narendra, B. H. (2012). Pengaruh Penerapan Teknik Konservasi Tanah
Terhadap Pertumbuhan Pertanaman Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di Hutan
Penelitian Carita, Jawa Barat. . Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam,
9(2):39–150.
Pratiwi., dan Salim. (2013). Aplikasi Konservasi Tanah dengan Sistem Rorak. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 10(3):273-282.
Pratiwi., N. Mindawati., dan Darwo. (2019). Penerapan Teknik Mulsa Vertikal Pada Lahan
Terdegradasi di Carita Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman,
16(1):1- 57.
Rayhani, R. N., dan Agung R. (2017). Konservasi Tanah dan Air pada Tanah Terdegredasi
di Lahan Kapus II UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Jurnal Agroekoteknologi.
Rochmah, H. F., Suwarto., A. A. Muliasari. (2020). Optimalisasi Lahan Replanting Kelapa
Sawit Dengan Sistem Tumpang Sari Jagung (Zea Mays K.) dan Kacang Tanah
(Arachis Hypogaea). Jurnal Simetrik, 10(1):256-262.
Saputro, G. E., dan Sastranegara, M. H. (2014). Kajian Tingkat Bahaya Erosi dan Indeks
Nilai Penting di Hutan Rakyat di Desa Candiwulan Kecamatan Kutasari Kabupaten
Purbalingga. Jurnal Biosfera.
Soeharto, B., Kusmana, C., Darusman, D., dan Suharjito, D. 2011. Perubahan Penggunaan
Lahan dan Pendapatan Masyarakat di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung
Barat, Provinsi Lampung. J. Ilmu Pertanian Indonesia, 16(1) : 1-6.
Soeharto, B., Kusmana, C., Darusman, D., dan Suharjito, D. 2012. Perubahan Penggunaan
Lahan dan Kelestarian Produksi PLTA Way Besai di Provinsi Lampung. Jurnal
Penelitian

21
22

Hutan Tanaman, 9(1) : 25–34.


Subagyono, K., Marwanto, S., dan Kurnia, U. 2004. Teknik Konservasi Tanah Secara
Vegetatif.
Bogor : Balai Penelitian Tanah.
Subagyono, K., S. Marwanto., dan U. Kurnia. (2003). Teknik Konservasi Tanah Secara
Vegetatif. Bogor: Balai Penelitian Tanah.Sutono, S. 2014. Mengelola lahan kering
terdegradasi menjadi lahan pertanian lebih produktif. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Sumarni, N., A. Hidayat., dan E. Sumiati. (2006). Pengaruh Tanaman Penutup Tanah dan
Mulsa Organik terhadap Produk si Cabai dan Erosi Tanah. Jurnal Hort, 16(3):197-201.
Suwarto., Suwarto., dan S. Anantanyu. (2012). Model Partisipasi Petani Lahan Kering
Dalam Konservasi Lahan. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 13(2):218-234 .
Suyamto, D.A., Van, N.M., dan Lusiana, B. 2004. Respom Petani Kopi Terhadap Gejolak
Pasar dan Konsekuensinya Terhadap Fungsi Tata Air : SUatu Pendekatan
Pemodelan. Agrivita, 26(1) : 108-130.
Suryani, E., dan A. Dariah. (2012). Peningkatan Produktivitas Tanah Melalui Sistem
Agroforestri. Balai Penelitian Tanah, 101-109.
Wahyudi, D. 2014. Teknik Konservasi Tanah serta Implementasinya pada Lahan
Terdegradasi dalam Kawasan Hutan. Jurnal Sains danTeknologi Lingkungan. 6(2):
71–85.
Wahyudi. 2014. Teknik Konservasi Tanah serta Implementasinya pada Lahan Terdegradasi
dalam Kawasan Hutan Palangkaraya. J.Sains dan Teknologi Lingkungan. 6(2): 71-85.

22

Anda mungkin juga menyukai