STUDI KASUS KERUSAKAN LAHAN AKIBAT EROSI TANAH dan
LANGKAH LANGKAHTEKNIS PENANGGULANGANNYA
Disusun oleh :
Nama : Erie Jeremi Frianto Pratama Siahaan
NIM :195040201111139 Kelas :J
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2021 Bab I Latar Belakang
Tanah longsor adalah suatu jenis pergerakan tanah dimana rata-rata
gerakan tanah yang terjadi ialah jenis longsor rombakan dan nendatan. Menurut Sutikno (2001) Longsor merupakan suatu erosi yang mengangkut massa tanah yang relatif banyak di suatu waktu. Gaya gravitasi dan rembesan adalah penyebab utama suatu kelongsoran terjadi yang mengakibatkan ketidakstabilan di lereng, baik itu lereng alami ataupun lereng buatan manusia (galian atau timbunan). Kelongsoran adalah peristiwa jatuhnya suatu volume tanah pada lapisan kedap air yang jenuh air Yossyafra et al., (2017). Peristiwa tanah longsor atau kelongsoran merupakan suatu pergerakan massa tanah, batuan ataupun kombinasinya, yang terjadi pada lereng alami atau lereng buatan (bidang luncur), yang merupakan kejadian fenomena alam, dimana alam akan mencari suatu keseimbangan baru yang diakibatkan oleh gangguan atau factor-faktor yang mempengaruhinya. Peristiwa kelongsoran juga diartikan sebagai adanya gerakan massa tanah atau batuan sepanjang bidang gelincir. Gerakan massa yaitu terjadinya perpindahan massa batuan, regolit, dan tanah dari posisi yang tinggi ke posisi yang lebih rendah akibat tarikan gaya gravitasi. Menurut teori, longsor akan terjadi apabila gaya pendorong pada lereng bagian atas lebih besar dibandingkan dengan gaya penahan pada lereng bagian bawah. Berat jenis tanah, keterjalan lereng, intensitas hujan tinggi, beban yang berada pada bagian atas lereng ataupun dibadan lereng, lapisan kedap air, dan ketebalan solum tanah, merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi gaya pendorong. Gaya penahan dipengaruhi kerapatan, tahanan geser tanah, serta kekuatan akar tanaman dan batuan. Menurut Karnawati (2005) yang menyebabkan adanya gerakan massa tanah adalah faktor kontrol dan pemicu gerakan itu sendiri.
Gambar 1. Jalan perbatasan Riau-Sumbar, Rantau Berangin, Kampar, Riau
Kejadian bencana kelongsoran di perbatasan Sumbar Riau sudah beberapa kali
terjadi, tercatat dari tahun 2006 sampai tahun 2016, terdapat 29 kali kelongsoran dan tanah amblas (Harian Padang Ekspres, 2017). Menurut Hardiyatmo (2006), faktor penyebab longsor lahan terdiri dari faktor pasif dan faktor aktif. Faktor pasif meliputi topografi, keadaan geologi atau litologi, keadaan hidrologis, kondisi tanah, keterdapatan longsor sebelumnya, dan kondisi vegetasi. Faktor aktif yang mempengaruhi longsor lahan diantaranya aktivitas manusia dalam penggunaan lahan dan iklim, terutama terkait dengan curah hujan. Kebanyakan kerusakan disebabkan karena pengelolaan lahan yang tidak benar (Hurni, 2000). Penyebab longsor di lahan tersebut yaitu pada kelerengan yang agak curam dan Iklim yaitu curah hujan relatif tinggi, intensitas curah hujan. Kandungan air berlebihan dapat mengurangi ikatan antar partikel tanah, meningkatkan tekanan pori, sehingga meningkatkan potensi lonsor. Longsor diduga akibat curah hujan yang cukup tinggi dan angin kencang melanda areal perbukitan ini. Banyak faktor yang akan menyebabkan terjadinya kelongsoran, diantaranya tekstur tanah, kemiringan lereng, permeabilitas tanah, tingkat pelapukan batuan, kedalaman muka air tanah, curah hujan, beban gempa, kurangnya tumbuhan, akibat penambahan beban ilegal di lereng, penggunaan lahan, dan lain-lain. Akibat kejadian kelongsoran, jalan banyak tertutup oleh material longsor sehingga beberapa waktu terputus rute jalan Sumbar dan Riau. Kejadian bencana longsor 3 Maret 2017 terjadi kelongsoran dan jalan amblas yang masif, di ruas jalan segment Sarilamak, Limapuluh Kota, Sumatera Barat-Batas Riau. Kejadian tersebut menyebabkan 7 orang meninggal dan banyaknya kerugian materil. Dari hasil penelitian terdapat sekurangnya 80 titik kelongsoran yang terjadi sepanjang ruas jalan perbatasan Sumbar – Riau Yossyafra et al (2017). Kondisi ini menyebabkan terputusnya perjalanan darat dalam waktu 2 hari dan menimbulkan kerugian secara ekonomi. Melihat beberapa kejadian sebelumnya yang selalu menimbulkan banyak kerugian di daerah perbatasan Sumbar-Riau, maka perlu ditinjau faktor- faktor apa sajakah yang menyebabkan kelongsoran tersebut dan upaya konservasi daerah berlereng agar tidak terjadi longsor. Bab II Permasalahan dan Karakteristik kerusakan lahan Terjadinya kerusakan pada lahan pertanian terutama di pegunungan tidak hanya berdampak pada lingkungan dan sektor pertanian saja, namun juga berdampak bagi sektor- sektor lainnya. Dampak yang sering ditimbulkan diantaranya yaitu erosi yang dapat menurunkan produktivitas lahan atau kesuburan tanah, sehingga semakin lama lahan tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan manusia. Kemudian pada Daerah Aliran Sungai akan terjadi sedimentasi, banjir dan longsor, pencemaran lingkungan dan dampak-dampak lainnya. Ketika lahan dibagian pegunungan telah mengalami kerusakan, maka akan berdampak munculnya gangguan lingkungan yang juga dapat dirasakan bagi daerah hilir atau dataran rendah. Dampak bagi lingkungan yang jelas dirasakan yaitu ketika musim penghujan, daya resap dan cekaman air di pegunungan akan berkurang, sehingga air akan mengalir saja di permukaan atau terjadi aliran permukaan, yang akan menyebabkan resiko erosi dan tanah longsor di daerah hulu yang. Sedangkan di daerah hilir akan mengalami resiko banjir dan kualitas air yang buruk, baik dari tingkat kejernihannya maupun kandungan logam terlarut. Ketika musim kemarau, karena daya simpan air di pegunungan menurun, sehingga daerah hilir akan mengalami kesulitan mendapatkan air untuk pertanian ataupun kegiatan lainnya. Dari permasalahan kerusakan lahan di pegunungan tersebut, mengakibatkan kerugian baik itu secara ekologis, lingkungan, sosial- ekonomi, budaya dan kesejahteraan. Kejadian bencana kelongsoran pada ruas jalan Nasional perbatasan Sumbar-Riau, berdasarkan data dari tahun 2006-2017, telah terjadi 29 kali bencana kelongsoran. Kejadian longsor ini telah mengakibatkan banyak kerugian materi (ekonomi) ataupun jiwa. Banyaknya lereng-lereng yang ambruk serta banyaknya sisi jalan yang amblas, dapat mengakibatkan putusnya/tertimbunnya jalan, yang berdampak pada terputusnya perjalanan dari Sumatera Baratke Riau atau sebaliknya. Aktivitas manusia tersebut seperti penambangan legal ataupun illegal serta pemotongan tumbuhan memberikan dampak terhadap unsur tanah. Unsur tanah tersebut bisa mengakibatkan kurangnya kuat geser yang akan menahan kelongsoran. Penebangan pohon menyebabkan tidak ada lagi akar pohon yang akan menahan air sehingga menjadi salah satu penyebab kelongsoran.
Gambar 2. Kondisi longsor di perbatasan Riau-Sumbar (Yossyafra et al., 2020)
Bab III Rekomendasi Strategi konservasi tanah dan air Bedasarkan permasalahan yang terjadi, ada beberapa konservasi yang bida diterapkan untuk mencegah longsor akibat erosi. Adimihardja (2008) menyatakan bahwa upaya konservasi yaitu dengan mengkombinasikan teknologi konservasi tanah dengan memodifikasi atau mengurangi panjang lereng dan pengelolaan tanaman karena dapat menurunkan erosi dan aliran permukaan. Upaya yang dapat dilakukan dalam upaya konservasi tanah dan air menurut Syakur (2008) yaitu terdapat 3 metode. Metode tersebut yaitu: 1. Metode fisik Metode fisik dilakukan dengan cara pengolahan tanah (pengolahan tanah sesuai kontur, teras, parit dan irigasi) atau merekayasa bidang olah lahan pertanian, sesuai dengan prinsip konservasi tanah dan konservasi air. Metode fisik yang sesuai untuk diterpakan pada lahan tersebut yaitu dengan membuat teras. Rahmadani (2018) mengemukakan bahwa teras bangku memang cukup efektif dalam mengurangi erosi, bila tanah (solum) cukup dalam. Pada tanah yang dangkal teras bangku cenderung menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman, dan bila tanah mempunyai permeabilitas lambat, teras bangku dapat mempercepat terjadinya longsor. Disamping itu karena rendahnya retensi air tanah, konservasi air juga menjadi penting untuk memenuhi kebutuhan air di musim kemarau (Anik, 2007). Kemudian yang kedua yaitu dengan penanaman sesuai kontur. Yaitu kegiatan pengolahan tanah dan penanaman menurut garis kontur dapat mengurangi laju erosi sampai 50% dibandingkan dengan pengolahan tanah dan penanaman menurut lereng. Pada pengolahan tanah menurut lereng, maka pembajakan atau pencangkulan dilakukan memanjang ke arah bawah lereng membentuk alur-alur dan menyebabkan terjadinya konsentrasi air yang mengalir dengan kecepatan ke arah bawah. Pada pengolahan tanah menurut kontur maka pembajakan dilakukan memotong lereng atau mengikuti kontur, sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur yang sejajar atau mengikuti garis kontur. Pengolahan mengikuti kontur disesuaikan penanaman yang mengikuti kontur pula (Arsyad, 2010). Pembuatan saluran pembuangan air (SPA) dapat mengurangi banyaknya air yang diserap tanah. SPA merupakan saluran drainase yang dibuat untuk mengalirkan air dari saluran pengelak dan/atau saluran teras ke sungai atau tempat penampungan atau pembuangan air lainnya. SPA dibuat searah lereng atau berdasarkan cekungan alami. Pada lahan yang kemiringannya >15%, SPA harus dilengkapi dengan bangunan terjunan, yaitu bangunan yang terbuat dari susunan batu atau bambu atau bahan lainnya pada SPA yang berfungsi untuk mengurangi kecepatan aliran air pada SPA. Menurut Agus dan Widianto (2004), bangunan terjunan diperlukan bila kemiringan lahan >8% atau apabila tanah peka terhadap erosi parit. Pada tanah yang mudah longsor, bangunan terjunan sebaiknya dilengkapi dengan gorong-gorong. 2. Metode vegetatif Metode vegetatif dilakukan dengan memanfaatkan vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi dan untuk menyediakan air. Biasanya berupa rebosiasi hutan, penghijauan dan penerapan agroforestri. Bagi petani dengan kemampuan modal rendah, metode vegetatif menjadi pilihan petani untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahannya karenaa modal tidak terlalu tinggi. Metode yang sesuai untuk diterapkan secara vegetatif yaitu dengan Wanatani (agroforestry). Agroforestry merupakan penggabungan antara tanaman pohon-pohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain atau tanaman semusim yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian. Tanaman tahunan lebih mampu mengurangi erosi daripada komoditas pertanian khususnya tanaman semusim. Tanaman tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar. Sedangkan tanaman semusim dapat berperan sebagai tanaman penutupan dan perlindungan tanah yang baik dari butiran hujan yang mempunyai energi perusak. Sehingga agroforestry dapat diterapkan sebagai salah satu upaya konservasi tanah dan air. Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun dari tanaman semusim. Selain itu, reboisasi atau penanaman kembali merupakan upaya pembuatan jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong/ terbuka, alang alang, atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan. Upaya rehabilitasi hutan (reboisasi) dapat dilakukan secara vegetative (kegiatan penanaman) dengan menggunakan jenis tanaman yang sesuai dengan fungsoi hutan, lahan serta agroklimat setempat (Rusdiana et al., 2017). Tanaman alternatif yang dapat digunakan sebagai langkah awal tindakan konservasi lahan secara vegetatif adalah pohon DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Pertanian
Lahan Kering. World Agoforestry Centre. ICRAF Southeast Asia. Anik, S.2007. Evaluasi Kekritisan Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Mendesaknya Langkah-Langkah Konservasi Air. Undip, Semarang. Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press Hardiyatmo HC. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press. Harian Padang Ekspres. 2017. Sejak 2006, Jalan Sumbar – Riau sudah 29 kali dihantamBencana Alam. 7 Maret 2017. Padang Rusdiana, A. Malik, dan S. Ramlah. 2017. Sikap Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Pasca Kegiatan Reboisasi di Keluharan Lambara Kecamatan Palu Utara Kota Palu. Warta Rimba. 5(1): 6-12 Sutikno. 2001. Mengenal Tanah Longsor. Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Departemen Pertambangan dan Energi. Bandung. Yossyafra, Deni Mazni, Wendra. 2017. Simulasi Lokasi BaseCamp Alat Berat Penanganan Longsor dan Identifikasi Jenis Kelongsoran Bencana Pada 3 Maret 2017 di Ruas Jalan Nasional Batas Sumatera Barat – Riau. Prosiding ACE 4th Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Andalas.