Anda di halaman 1dari 13

TUGAS INDIVIDU KULIAH M-14

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN


“Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air dalam Upaya Peningkatan Produksi
Kelapa Sawit di Lahan Kering”

Disusun oleh:

Nama : Suryanta Junjungan Tua Sitio


NIM : 195040200111187
Kelas :G

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................................ 2
1.3 Hipotesis ........................................................................................................................... 3
1.4 Tujuan ............................................................................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 4
2.1 Tanaman Kelapa Sawit ..................................................................................................... 4
2.2 Konservasi ........................................................................................................................ 4
2.3 Erosi .................................................................................................................................. 5
2.3 Konservasi vegetatif ......................................................................................................... 5
2.4 Konservasi Mekanis .......................................................................................................... 6
BAB III. METODE PENELITIAN......................................................................................... 7
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................................................ 7
3.2 Metode .............................................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 12
1

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negeri agraris dimana mayoritas masyarakatnya berprofesi
sebagai petani dan pekebun. Perekonomian negara agraris secara umum ditopang oleh sektor
pertanian dan perkebunan, meski tidak menutup kemungkinan jika negara agraris didukung
juga dengan beragam industri pengolahan sumber daya alam lainnya seperti peternakan,
perikanan, kelautan dan pertambangan. Predikat Indonesia sebagai negara agraris diperoleh
melalui dua hal, yaitu ketersediaan sumberdaya alam dan kemampuan sumberdaya manusia
dalam melakukan pengolahan. Kondisi geografis yang mendukung untuk melakukan kegaitan
pertanian dan perkebunan menjadi alasan mengapa sektor pertanian di Indonesia begitu
mendominasi. Sumber daya manusia yang dimiliki oleh Indonesia juga mampu
mengembangkan kearifan lokal dalam kegiatan bertani dan berkebun secara turun temurun, hal
ini dibuktikan dengan adanya kemampuan dalam mengolah dan memanfaatkan lahan
diberagam kondisi yang berbeda. Fenonena ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia
mampu bertahan dan mengembangkan kemampuannya dalam bercocok tanam (Putra, 2019)
Indonesia sebagai salah satu negara besar, mempunyai luas daratan kurang lebih 200
juta hektar atau sekitar 1,5 % luas daratan di bumi. Sekitar 162 juta hektar (85 %), yang tersebar
di empat pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, sementara 123 juta
hektar diantaranya berupa lahan kering dan 39 juta hektar berupa lahan basah, baik berupa rawa
pasang surut atau rawa lebak. Sebagian besar dari jenis-jenis tanaman yang diusahakan petani
diusahakan diatas lahan kering. Dalam asasnya, diatas tanah kering orang lebih bebas
melakukan pemilihan atas jenis tanaman yanag hendak di usahakan daripada untuk lahan basah.
Karena itu didaerah-daerah lahan kering akan dijumpai beraneka ragam pola pertanamannya.
Keanekaragaman pola pertanaman di lahan kering itu bukan saja disebabkan karena banyaknya
jenis tanaman yang dapat diusahakan diatas lahan kering, tetapi juga karena perbedaan musim
hujan dan kemarau, sifat tanah, topografi dan faktor lain yang menimbulkan pola pertanaman
yang beragam (Pandiangan dan Simanungkalit, 2013). Dari luas lahan kering di Indonesia yang
mencapai 144,47 juta ha, sekitar 99,65 juta ha (68,98%) merupakan lahan potensial untuk
pertanian, sedangkan sisanya sekitar 44,82 juta ha tidak potensial untuk pertanian sebagian
besar terdapat di kawasan hutan. Sampai saat ini, pemanfaatan lahan kering di Indonesia belum
optimal sehingga produktivitasnya masih rendah. Pada masa yang akan datang, Indonesia
mungkin akan semakin bertumpu pada pertanian lahan kering beriklim kering (Heryani dan
Rejekiningrum, 2019)
Kelapa sawit dapat tumbuh, berkembang dan berproduksi dengan optimal dan sesuai
dengan yang diharapkan apabila air tanah tersedia merata sepanjang waktu dalam jumlah yang
cukup dengan curah hujan 2.000 – 2.500 mm tahun-1 tanpa adanya periode kering yang nyata
atau bulan kering kurang dari satu bulan per tahun (Murtilaksono et al., 2009). Kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran
penting bagi sektor pertanian atau perkebunan, akan tetapi cara pengelolaan perkebunan kelapa
sawit di Indonesia selalu menjadi isu di dunia internasional, terutama negara-negara di Eropa
dan Amerika (Asbur dan Ariyanti, 2017). Tanaman kelapa sawit merupakan salah satu jenis
tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting dalam sektor pertanian umumnya, dan
sektor perkebunan khususnya. Hal ini disebabkan karena dari sekian banyak tananam yang
menghasilkan minyak atau lemak, kelapa sawit yang menghasilkan nilai ekonomi terbesar per
hektarnya di dunia (Wahyudin et al., 2016). Sekitar 60% areal perkebunan kelapa sawit di
Indonesia terletak pada lahan kering masam dangn pembatas rendahnya pH tanah dan
ketersediaan unsur hara yang rendah (Wigena et al., 2009)
Upaya menjamin kestabilan dan peningkatan produksi kelapa sawit harus diikuti dengan
peningkatan pemeliharaan di lapang dengan penerapan teknologi budidaya yang baik yang
termasuk didalamnya aspek pemeliharaan, memegang peranan penting dalam pencapaian
2
peningkatan produksi dan produktivitas. Selain itu, lahan kelapa sawit yang semakin meningkat
dapat mengakibatkan semakin meningkatnya penggunaan hutan alami, sedangkan dalam
praktek pengolahan perkebunan pada umumnya berorientasi pada produksi maksimal, sehingga
sering melakukan praktek pertanian hanya untuk pencapaian produksi sesaat dengan kurang
memperhatikan sistem pertanian yang berkelanjutan (Manurung, 2017). Penerapan pertanian
dan perkebunan konvensional telah diketahui berkontribusi terhadap perubahan iklim melalui
peningkataan gas rumah kaca, termasuk CO2, sehingga penerapan konservasi tanah pada bidang
pertanian merupakan langkah wajib yang harus dilaksanakan sesuai dengan UU No. 34 tahun
2014 tentang konservasi tanah dan air. Pembuatan teras gulud merupakan salah satu tindakan
konservasi tanah secara mekanik yang bertujuan menghambat erosi dan aliran permukaan
sehingga mencegah kehilangan hara, serta menampung dan meresapkan air yang mengalir
sebagai aliran permukaan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perkebunan
kelapa sawit yang diberi perlakuan teras gulud dengan mulsa vertikal dapat menurunkan aliran
permukaan, overland flow, dan erosi pada tanah.
Guna mempertahankan kesehatan tanah atau lahan perkebunan khususnya lahan
perkebunan kelapa sawit, maka perlu dilakukan perbaikan-perbaikan dalam praktek pertanian.
Konservasi merupakan cara yang tepat untuk mengurangi kerusakan tanah atau memulihkan
tanah-tanah yang sudah termasuk pada kategori rusak. Teknik konservasi yang umum
digunakan perkebunan kelapa sawit adalah dengan menggunakan teras bersambung, teras
individu, gulutan, rorak dan lubang biopori. Teknik-teknik tersebut diharapkan dapat
mengurangi erosi, meningkatkan daya infiltrasi tanah sehingga pada areal-areal yang memiliki
keterbatasan air akan menyimpan air lebih banyak dan memiliki cadangan air pada musim
kemarau. Selain masalah kekeringan, erosi juga dapat menjadi masalah dalam usaha budidaya
kelapa sawit di lahan kering. Oleh karena itu, pentingnya penerapan beberapa teknik konservasi
diharapkan dapat mengumpulkan memanen air hujan dan mengurangi terjadinya erosi pada
tanah yang dikarenakan erosi merupakan salah satu penyebab berkurangnya kesuburan tanah
(Manurung, 2017).
Pembuatan teras gulud merupakan salah satu tindakan konservasi tanah secara mekanik
yang bertujuan menghambat erosi dan aliran permukaan sehingga mencegah kehilangan hara,
serta menampung dan meresapkan air yang mengalir sebagai aliran permukaan. Teras gulud
merupakan penyempurnaan bentuk guludan dengan dibuatnya saluran di atas guludan sehingga
dapat menyalurkan air dengan kecepatan yang relatif lambat dan tidak merusak saluran,
mencegah air tergenang di lapangan, menurunkan permukaan air tanah, sehingga
perkembangan akar tanaman tidak terganggu serta mencegah terjadinya pencucian pupuk.
(Asbur dan Ariyanti, 2017). Selain itu, penerapan teknik guludan yang dikombinasikan dengan
lubang resapan dan mulsa untuk menekan aliran permukaan dan erosi sehingga teknik
konservasi tanah dan air tersebut dapat meningkatkan cadangan air tanah untuk pemenuhan
kebutuhan air oleh tanaman kelapa sawit saat musim kemarau sehingga produksi kelapa sawit
tetap dapat dipertahankan (Murtilaksono et al., 2009). Konservasi air di perkebunan kelapa
sawit di wilayah dengan periode kering yang mencolok sangat penting sehingga usaha seperti
pemanenan air di musim hujan untuk kemudian disimpan dalam tanah sebagai cadangan air
tanah sehingga tanaman kelapa sawit dapat mengkonsumsinya pada musim kemarau menjadi
penting. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran konservasi tanah
secara mekanik dan vegetatif dalam meningkatkan produksi tanaman kelapa sawit.
1.2 Pertanyaan Penelitian
1. Permasalahan apa saja yang terjadi pada lahan kelapa sawit tanpa adanya kegiatan
konservasi tanah dan air?
2. Bagaimana pengaruh aplikasi konservasi tanah dan air secara mekanik dan vegetatif
terhadap produksi kelapa sawit?
3

3. Bagaimanakah kesesuaian penerapan konservasi tanah yang dilakukan pada perkebunan


kelapa sawit di lahan kering dengan prinsip konservasi tanah yang seharusnya dan
keadaaan lahan pertanian yang diusahakan?
1.3 Hipotesis
1. Interaksi penggunaan teknik konservasi secara mekanis dan vegetatif pada lahan kelapa
sawit mampu memperbaiki dan meningkatkan produktivitas kelapa sawit.
2. Penerapan teknik konservasi mampu memperbaiki sifat kimia dan biologi tanah.
3. Teknik konservasi tanah dan air yaitu teras gulud dan rorak dapat meningkatkan
cadangan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air oleh tanaman saat musim kemarau.
1.4 Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya penelitian ini yaitu mengetahui permasalahan apa saja
yang terjadi pada lahan kelapa sawit tanpa adanya kegiatan konservasi tanah dan air terkait
dengan banjir, kekeringan, longsor, erosi dan sedimentasi serta pencemaran air. Selain itu,
penelitian ini juga bertujuan untuk merumuskan upaya dalam meningkatkan produksi kelapa
sawit dengan menerapkan konservasi tanah dan air secara mekanis maupun vegetatif.
4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman monokotil yang termasuk
dalam famili Arecaceae. Kelapas sawit adalah spesies tanaman berumah satu yang dikenal
menghasilkan perbungaan jantan dan betina berkelamin tunggal dalam siklus yang bergantian
(Okolo et al., 2019). Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil dengan bunga betina dan
jantan berada pada satu pohon yang dapat kawin silang dengan bantuan agen polinasi untuk
menghasilkan buah sawit Perkembangan dan kematangan buah kelapa sawit adalah proses
biologi yang kompleks dimulai dengan sintesis minyak yang diikuti oleh terbentuknya klorofil,
karoten dan tokoferol & tokotrienol. Setelah umur buah 14 – 15 minggu klorofil terdegradasi
dan karoten terbentuk hingga buah matang secara keseluruhan (Sujadi et al., 2016). Tanaman
kelapa sawit dibudidayakan di jutaan hektar lahan di dunia, sehingga kelapa sawit memiliki
bagian atau pengaruh nyata dari volume perdagangan dunia. Kelapa sawit yang berasa dari
Afrika Barat telah menjadi harapan bagi perekonomian banyak negara. Namun, sekarang
wilayah Asia Tenggara dianggap sebagai pusat industri minyak sawit dengan Indonesia dan
Malaysia sebagai eksportir utama (Khan et al., 2021). Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh,
berkembang dan berproduksi seperti yang diharapkan bila air tanah tersedia merata sepanjang
waktu dalam jumlah yang cukup yaitu pada daerah dengan curah hujan 2.000 – 2.500 mm tahun-
1
dan tanpa periode kering yang nyata atau bulan kering kurang dari satu bulan per tahun
(Murtilaksono et al., 2009).
Produktivitas tanaman kelapa sawit tergantung pada jumlah tandan buah segar (TBS)
yang dihasilkan sementara rendemen minyak pada TBS tergantung pada kualitas tandan dan
buah meliputi rasio buah per tandan dan rasio mesokarp dan kernel per buah. Tinggi rendahnya
produktivitas TBS dan rendemen minyak dipengaruhi oleh varietas, umur tanaman, cuaca
(curah hujan dan temperatur), nutrisi, air, ketersediaan karbohidrat dan polinasi. Umumnya,
setiap tandan mengandung 1.000 – 1.300 buah yang tersusun secara bertingkat dalam beberapa
malai/spikelet. Ukuran dan warna buah dalam satu tandan relatif berbeda. Buah yang berada di
luar cenderung berukuran lebih besar dibandingkan buah tengah, dalam dan partenokarpi. Buah
luar berwarna lebih hitam (pada buah mentah) dan lebih merah (pada buah matang)
dibandingkan buah tengah, dalam dan partenokarpi (Sujadi et al., 2016). Kelapa sawit yang
dapat menghasilkan buah ditandai dengan ciri-ciri morfologi tanaman yang memiliki diameter
batang 50 cm dari atas tanah sebesar 62-74 cm, diameter batang 100 cm dari atas tanah sebesar
56-68 cm jumlah pelepah 40-56 pelepah/tanaman, memiliki bunga jantan & bunga betina dan
suhu minimum 20,10oC, suhu maksimum 28,90oC. Sedangkan kelapa sawit yang tidak dapat
menghasilkan buah ditandai dengan ciri-ciri morfologi tanaman yang diameter batang 50 cm
dari atas tanah sebesar 56-65 cm, diameter batang 100 cm dari atas tanah sebesar 46-56 cm
jumlah pelepah 5-9 pelepah/tanaman, tidak memiliki bunga jantan & bunga betina dan suhu
minimum 19,70oC, suhu maksimum 30,60oC (Suhatman et al., 2016).
2.2 Konservasi
Konservasi adalah perlindungan, perbaikan dan pemakaian sumber daya alam menurut
prinsip-prinsip yang akan menjamin keuntungan ekonomi atau sosial yang tertinggi secara
lestari. Konservasi standar adalah standar untuk berbagai type tanah dan pemakaian tanah,
meliputi kriteria, teknik dan metode-metode untuk pengendalian erosi dan sedimen yang
disebabkan oleh aktivitas penggunaan tanah. Kegiatan konservasi tanah diutamakan
menggunakan metode mekanis (teknik sipil), seperti pembuatan teras sering, bangunan
pengendali, bangunan penahan sedimen dan erosi dan lain-lain. Tahapan pelaksanaan kegiatan
konservasi meliputi perencanaan, pelaksanaan, bimbingan teknis pelaksanaan, pemeliharaan,
monitoring dan penyuluhan pada masyarakat (Wahyudi, 2014).
5
Teknik konservasi tanah dan air dalam kegiatan budidaya dapat mengurangi dampak
proses erosi dan sedimentasi. Konservasi tanah dan air juga dapat membantu memaksimalkan
potensi infiltrasi tanah. Kegiatan budidaya dapat mencakup pengelolaan tanaman dan vegetasi,
rotasi tanaman, dan lain-lain. Dari segi biaya, tindakan konservasi tanah dan air lebih murah
dan membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja dalam hal mengurangi dampak rintik hujan pada
proses pelepasan tanah, meningkatkan kapasitas infiltrasi, pengurangan volume limpasan,
peningkatan produktivitas lahan dan penurunan kecepatan air secara terpadu (Barchia et al.,
2018).
2.3 Erosi
Erosi tanah merupakan salah satu masalah lingkungan yang paling serius di dunia saat
ini karena mengancam pertanian dan juga lingkungan alam. Fenomena erosi tanah terdiri atas
dua proses utama yaitu pelepasan partikel individu dari massa tanah dan pengangkutan partikel
yang terlepas tersebut oleh agen erosi seperti angin dan air. Erosi tanah dapat mempengaruhi
ekologi secara negatif dengan konsekuensi yaitu berkurangnya lahan yang tersedia dan sumber
daya alam lainnya. Sumber daya yang umumnya terkena dampak erosi termasuk penurunan
produktivitas tanaman, polusi air, dan lain-lain. Efek dari erosi biasanya menyebabkan banjir,
tanah longsor, dan kerusakan habitat alami (Nasidi et al., 2020). Dari perspektif lingkungan,
erosi dapat membawa partikel debu yang membawa banyak polutan ion nitrat, dan senyawa
logam berat dan sebagainya sehingga tertiup ke atmosfer, menghasilkan kualitas udara yang
buruk. Dari perspektif kesehatan manusia, badai debu membuat banyak orang merasa tidak
nyaman, yang mendorong mereka untuk pergi ke rumah sakit untuk mengobati penyakit mata
dan sistem pernapasan yang terkait (Wang et al., 2018). Erosi tanah diakui sebagai salah satu
proses degradasi tanah paling berbahaya di dunia. Hal tersebut menyebabkan hilangnya
kesuburan tanah yang tidak dapat dipulihkan dan mungkin merupakan salah satu sumber emisi
gas rumah kaca yang paling penting ke atmosfer (Achasov et al., 2019). Erosi tanah adalah
suatu proses dinamis dimana partikel-partikel tanah atau unsur hara mempertahankan
pergerakan dan redistribusinya pada setiap kejadian hujan. Jalur atau konektivitas yang
bergerak dipengaruhi oleh pola lanskap (Xu et al., 2018).
Erosi merupakan peristiwa berpindahnya atau terangkutnya material tanah dari suatu
tempat yaitu lereng atas oleh media alami dalam hal ini air, kemudian diendapkan pada daerah
yang lebih rendah sebagai bahan sedimen atau deposit. Erosi terdiri dari dua tipe yaitu erosi
geologi (geological erosion) dan erosi dipercepat (accelerated erosion). Erosi geologi adalah
proses ketika tanah yang terbentuk dan tanah yang tererosi berada dalam keadaan seimbang,
serta sangat sesuai untuk mendukung banyak pertumbuhan tanaman. Erosi dipercepat adalah
erosi yang terjadi oleh pengaruh manusia yaitu hancurnya agregat-agregat tanah dan
mempercepat perpindahan bahan organik serta pertikel-partikel mineral sebagai akibat dari
pengolahan tanah yang tidak sesuai dan hilangnya vegetasi alami (Osok et al., 2018). Proses
erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan, pengelupasaan, pengangkutan, dan pengendapan.
Tinjauan lebih lanjut akibat adanya erosi adalah munculnya sedimentasi (Alie, 2015). Hasil
sedimen adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air
yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari
pengukuran sedimen terlarut dalam sungai atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk.
Sedimentasi adalah proses terjadinya sedimen dari hasil proses erosi, baik berupa erosi
permukaan, erosi parit, atau jenis erosi lainnya (Wibowo et al., 2015).
2.3 Konservasi vegetatif
Konservasi dengan pendekatan vegetatif pada prinsipnya adalah mencegah air
terakumulasi di atas bidang luncur. Sangat dianjurkan menanam jenis tanaman penutup yang
berakar dalam, dapat menembus lapisan kedap air, mampu merembeskan air ke lapisan yang
lebih dalam, dan mempunyai massa yang relatif ringan (Idjudin, 2011). Tanaman penutup tanah
memainkan peran penting dalam mempengaruhi intensitas erosi. Dalam hal ini, tanaman
6
penutup tanah memberikan perlindungan bagi tanah terhadap proses penghancuran agregat
hujan dan limpasan permukaan, sehingga membatasi daya rusak hujan dan limpasan permukaan
(Satriawan et al., 2016). Limpasan air dapat diminimalisir dan dapat terus bergerak pada petak
tanah gundul, tetapi nutrisi yang dibawa oleh limpasan akan dicegat oleh tanaman penutup dan
didistribusikan kembali pada petak vegetasi, dan kemampuan intersepsi juga berbeda karena
pola vegetasi yang berbeda (Xu et al., 2018).
2.4 Konservasi Mekanis
Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan
bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan
meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara berkelanjutan. Pada prinsipnya
konservasi mekanik dalam pengendalian erosi harus selalu diikuti oleh cara vegetatif, yaitu
penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk
hijau), serta penerapan pola tanam yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun.
Pendekatan mekanis pengendalian longsor meliputi pembuatan saluran drainase (Saluran
pengelak, saluran penangkap, saluran pembuangan, pembuatan bangunan penahan material
longsor, pembuatan bangunan penguat dinding/tebing atau pengaman jurang, dan pembuatan
trap-trap terasering. (Idjudin, 2011). Terasering secara historis menjadi strategi pengelolaan
lereng yang umum. Teras adalah tanggul tanah, biasanya disertai dengan saluran lintas lereng
untuk mengurangi panjang lereng. Teras dibangun untuk mengurangi erosi air dan limpasan
puncak, untuk memungkinkan retensi air untuk penggunaan tanaman, untuk meningkatkan
kemampuan pertanian, atau untuk meningkatkan kualitas air. Terasering adalah manajemen
lereng yang berkelanjutan dan pengelolaan sumberdaya yang disesuaikan dengan baik dengan
lingkungan alam khususnya di lahan rapuh dan marjinal. Strategi ini merupakan inti dari
kontribusi potensialnya untuk mengatasi dan beradaptasi dengan variabilitas dan perubahan
iklim (Bocco dan Napoletano, 2017).
Pembangunan teras buatan di lereng untuk budidaya atau dikenal sebagai pertanian teras
atau terasering dianggap sebagai satu-satunya lanskap yang dirancang antropogenik yang
memiliki dampak modifikasi relief pada semua faktor lanskap di suatu daerah, karena
meningkatkan daya serap curah hujan, mengurangi erosi tanah, menghaluskan suhu musim
panas yang ekstrem, tetapi juga mengurangi risiko banjir dan kebakaran hutan. Pengabaian
terasering dapat meningkatkan bahaya lingkungan, seperti erosi tanah, limpasan air dan
hilangnya keanekaragaman hayati dan akibatnya mempercepat degradasi dan marginalisasi
lanskap. Teras harus dirancang dengan baik, dibangun dengan benar, dan dirawat dengan baik
untuk menyediakan jasa ekosistem (Sakellariou et al., 2021).
7

BAB III. METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada tanggal 11 Desember 2021 di lahan perkebunan kelapa sawit
yang berlokasi di kebun plasma kelapa sawit Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Lokasi ini dikembangkan untuk kebun kelapa sawit plasma melalui pola PIR-TRANS dengan
luas kebun 6.000 ha (3.000 kepala keluarga), dimana PT Perkebunan Nusantara V sebagai
perusahaan inti sejak tahun 1985. Saat ini, umur kelapa sawit sudah tua, sekitar 23 tahun dan
termasuk usia menjelang peremajaan. Pengelolaan atau konservasi lahan untuk peremajaan
tanaman kelapa sawit yang sesuai dengan potensi lahan merupakan solusi yang diharapkan
dapat memberikan produksi optimal dan lestari.
3.2 Metode
Teknik konservasi tanah dan air sebagai perlakuan penelitian meliputi teras gulud
bersaluran dengan lubang resapan yang diisi mulsa (microcatchment seluas 11.8 ha pada blok
1), rorak dengan lubang resapan yang diisi mulsa (microcatchment seluas 14.6 ha pada blok 3),
dan perlakuan kontrol, yaitu microcatchment (seluas 6,3 ha) tidak diberi perlakuan teknik
peresapan air (dibiarkan sebagaimana adanya pada blok 2). Memperhatikan keragaman
microcatchment pada blok-blok di lokasi penelitian, maka perlakuan tersebut tidak diulang.
Guludan dibuat searah kontur di antara tanaman pada setiap interval vertikal 80 cm. Ketinggian,
lebar dan kedalaman saluran guludan masing-masing sekitar 30 cm. Lubang resapan dibuat
dengan bor Belgi di tengah saluran dengan jarak antar lubang 2 m.
Sisa tanaman daun sawit dan semak belukar sebagian dimasukkan ke dalam lubang
resapan dan bagian lainnya diletakkan pada saluran guludan. Rorak (panjang 300 cm, lebar 50
cm, dan dalam 50 cm) dibangun di antara tanaman kelapa sawit sejajar kontur dengan pola
selang seling antar garis kontur. Jarak antar rorak dalam satu garis kontur adalah 2 meter. Pada
setiap rorak dibuat 2 (dua) lubang resapan yang berjarak 2 m serta berdiameter dan kedalaman
sama seperti pada saluran guludan. Ke dalam rorak dan lubang resapan juga ditambahkan sisa-
sisa tanaman dan semak belukar sebagai mulsa. Pada setiap blok ditentukan tanaman pewakil
sebanyak 36 pokok tanaman untuk pengamatan vegetatif (tambahan pelepah baru dan total
pelepah, dan tandan jadi) dan produksi (total tandan, produksi total, dan rataan berat tandan
(RBT)) setiap dua minggu. Data produksi (total tandan, produksi total, dan RBT) setiap blok
diukur setiap panen oleh kantor afdeling. Data vegetatif dan produksi dalam bentuk tabel dan
grafik dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan angka-angka antar blok sebagai
akibat penerapan perlakuan guludan dan rorak.
Analisis erosi dalam penelitian menggunakan metode USLE, dimana
parameterparameter yang digunakan berupa erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), faktor
lereng dan panjang lereng (LS), penutup lahan (C), dan konservasi (P), Nilai laju erosi diperoleh
dengan mengalikan semua faktor tersebut, sesuai dengan rumus sebagai berikut.
A = R.K.LS.CP
Dimana:
A : Jumlah Kehilangan Tanah
R : Erosivitas Hujan
K : Erodibilitas Tanah
LS : Faktor Panjang Lereng
CP : Faktor Manajemen dan Konservasi Tanah
8

Rumus Perhitungan Erosivitas Hujan (R)


Perhitungan nilai erosivitas hujan (R) dilakukan dengan menggunakan formula sebagai
berikut:
EI30 = 10,8 + 4,15 R (Utomo, 1994)
Dimana,
El30 : erosivitas
R : tebal hujan bulanan rata-rata
1) Penentuan Erodibilitas Tanah
Nilai erodibilitas tanah (K) ditentukan berdasarkan pendekatan jenis tanah dimana
nilai K yang mewakili masing-masing jenis tanah dapat diamati pada tabel di bawah ini:

2) Penentuan Faktor Lereng dan Panjang Lereng (LS)


Nilai LS ditentukan berdasarkan pendekatan kelas kemiringan lereng dimana nilai
faktor LS yang mewakili masing-masing kelas kemiringan lereng dapat diamati pada Tabel

3) Penentuan Faktor C dan P


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan penelitian kuantitatif.
Pengumpulan data dilakukan melalui survey primer dan survei sekunder. Survei primer
dilakukan untuk mendapatkan data mengenai Intensitas Pemanfaatan Ruang penggunaan lahan
di lokasi penelitian, serta untuk mengetahui kapasitas saluran di lahan peneltian perkebunan
kelapa sawit. Variabel penelitian yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi hidrologi
lahan perkebunan kelapa sawit antara lain jenis tanah, kemiringan lereng, curah hujan,
kecepatan angin, suhu, kelembapan , radiasi matahari, dan jenis penggunaan lahan yang ada
lokasi penelitian. Untuk mengidentifikasi kondisi hidrologi lahan perkebunan kelapa sawit
dilakukan melalui pendekatan modelling hidrologi SWAT menggunakan bantuan software
ArcSWAT. Siklus hidrologi yang disimulasikan SWAT didasarkan pada perhitungan neraca air
sebagai berikut.

Dimana SWt merupakan kadar air tanah akhir (mm H2O), SWo yaitu kadar air tanah
awal pada hari ke-i (mm H2O), t adalah waktu (hari), Rday adalah jumlah hujan pada hari ke-i
(mm H2O), Ea adalah jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm H2O), Wseep adalah jumlah
air yang masuk ke zona vadose dari profil tanah (seepage) pada hari ke-i (mm H2O), Qgw
9
adalah jumlah aliran air bawah tanah (base flow/groundwater/return flow) pada hari ke-i (mm
H2O).
10

DAFTAR PUSTAKA
Achasov, A. B., A. A. Achasova, and A. V Titenko. 2019. “Soil Erosion by Assessing
Hydrothermal Conditions of Its Formation.” Global Journal of Environmental Science and
Management (GJESM) 5(S1):12–21.
Alie, M. E. R. 2015. “Kajian Erosi Lahan Pada Das Dawas Kabupaten Musi Banyuasin -
Sumatera Selatan.” Jurnal Teknik Sipil Dan Lingkungan 3(1):749–54.
Asbur, Yenni, and Mira Ariyanti. 2017. “Peran Konservasi Tanah Terhadap Cadangan Karbon
Tanah, Bahan Organik, Dan Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.).” Jurnal
Kultivasi 16(3):402–11.
Barchia, Muhammad Faiz, Khairul Amri, and Renra Apriantoni. 2018. “Land Degradation and
Option of Practical Conservation Concepts in Manna Watershed Bengkulu Indonesia.”
TERRA : Journal of Land Restoration 1(2):23–30.
Bocco, Gerardo, and Brian M. Napoletano. 2017. “The Prospects of Terrace Agriculture as an
Adaptation to Climate Change in Latin America.” Geography Compass 11(10):1–13.
Heryani, Nani, and Popi Rejekiningrum. 2019. “Pengembangan Pertanian Lahan Kering Iklim
Kering Melalui Implementasi Panca Kelola Lahan.” Jurnal Sumberdaya Lahan 13(2):63–
71.
Idjudin, A. Abas. 2011. “Peranan Konservasi Lahan Dalam Pengelolaan Perkebunan.” Jurnal
Sumber Daya Lahan 5(2):103–16.
Khan, Nuzhat, Mohamad Anuar Kamaruddin, Usman Ullah Sheikh, Yusri Yusup, and
Muhammad Paend Bakht. 2021. “Oil Palm and Machine Learning: Reviewing One
Decade of Ideas, Innovations, Applications, and Gaps.” Agriculture 11:1–26.
Manurung, Saroha. 2017. “Evaluasi Sifat Tanah Pada Beberapa Teknik Konservasi Tanah Dan
Air Di Perkebunan Kelapa Sawit.” Jurnal Agro Estate 1(1):82–88.
Murtilaksono, Kukuh, Witjaksana Dannosarkoro, Edy Sigit Sutarta, Hasril Hasan Siregar, and
Yayat Hidayat. 2009. “Upaya Peningkatan Produksi Kelapa Sawit Melalui Penerapan
Teknik Konservasi Tanah Dan Air.” Jurnal Tanah Tropika 14(2):135–42.
Nasidi, Nuraddeen Mukhtar, Aimrun Wayayok, Ahmad Fikri Abdullah, and Muhammad SAufi
Mohd Kassim. 2020. “Vulnerability of Potential Soil Erosion and Risk Assessment at
Hilly Farms Using InSAR Technology.” Algerian Journal of Engineering and Technology
3:1–8.
Okolo, C. C., E. C. Okolo, A. L. Nnadi, F. E. Obikwelu, S. E. Obalum, and C. A. Igwe. 2019.
“The Oil Palm (Elaeis Guineensis Jacq): Nature’s Ecological Endowment to Eastern
Nigeria.” Agro-Science: Journal of Tropical Agriculture, Food, Environment and
Extension 18(3):48–57.
Osok, Rafael M., Silwanus M. Talakua, and Ellisa J. Gaspersz. 2018. “Analisis Faktor-Faktor
Erosi Tanah, Dan Tingkat Bahaya Erosi Dengan Metode Rusle Di DAS Wai Batu Merah
Kota Ambon Provinsi Maluku.” Jurnal Budidaya Pertanian 14(2):89–96.
Pandiangan, Dedy Gusnaryo, and Nahor M. Simanungkalit. 2013. “Penggunaan Teknologi
Konservasi Tanah Pada Pertanian Lahan Kering Di Desa Motung Kecamatan Ajibata
Kabupaten Toba Samosir.” Jurnal Geografi 5(1):75–92.
Putra, I. Made Kusuma Arya. 2019. “Pengendalian Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa
Sawit Sebagai Upaya Pelestarian Habitat Orangutan Di Indonesia.” Jurist-Diction
2(2):459–73.
11
Sakellariou, Michalia, Basil E. Psiloglou, Christos Giannakopoulos, and Photini V Mylona.
2021. “Integration of Abandoned Lands in Sustainable Agriculture: The Case of Terraced
Landscape Re-Cultivation in Mediterranean Island Conditions.” Land 10(5):1–16.
Satriawan, Halus, Zahrul Fuady, and Nanda Mayani. 2016. “Soil Conservation by Vegetative
Systems in Oil Palm Cultivation.” Polish Journal of Soil Science 49(2):223–35.
Suhatman, Yan, Agus Suryanto, and Lilik Setyobudi. 2016. “Studi Kesesuaian Faktor
Lingkungan Dan Karakter Morfologi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq .)
Produktif.” Jurnal Produksi Tanaman 4(3):192–98.
Sujadi, Hasrul Abdi Hasibuan, Meta Rivani, and Abdul Razak Purba. 2016. “Kadar Dan
Komposisi Kimia Minyak Pada Bagian-Bagian Buah Kelapa Sawit ( Elaeis Guineensis
Jacq .) Dari Delapan Varietas PPKS.” Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 24(2):67–76.
Wahyudi. 2014. “Teknik Konservasi Tanah Serta Implementasinya Pada Lahan Terdegradasi
Dalam Kawasan Hutan.” Jurnal Sains Dan Teknologi Lingkungan 6(2):71–85.
Wahyudin, Anthon Monde, and Abdul Rahman. 2016. “Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk
Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis Quenensis Jacq) Di Desa Tolole Kecamatan Ampibabo
Kabupaten Parigi Moutong.” E-J. Agrotekbis 4(5):559–64.
Wang, Li Yan, Yi Xiao, En Ming Rao, Ling Jiang, Yang Xiao, and Zhi Yun Ouyang. 2018.
“An Assessment of The Impact of Urbanization on Soil Erosion in Inner Mongolia.”
International Journal of Environmental Research and Public Health 15:1–13.
Wibowo, Ariyanto, Tri Retnaningsih Soeprobowati, and Sudarno. 2015. “Laju Erosi Dan
Sedimentasi Daerah Aliran Sungai Rawa Jombor Dengan Model Usle Dan Sdr Untuk
Pengelolaan Danau Berkelanjutan.” Indonesian Journal of Conservation 4(1):16–27.
Wigena, I. G. P., Sudrajad, Santun R. P. Sitorus, and H. Siregar. 2009. “Karakterisasi Tanah
Dan Iklim Serta Kesesuaiannya Untuk Kebun Kelapa Sawit Plasma Di Sei Pagar,
Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.” Jurnal Tanah Dan Iklim (30):1–13.
Xu, Shanshan, Qinghe Zhao, Shengyan Ding, Mingzhou Qin, Lixin Ning, and Xiaoyu Ji. 2018.
“Improving Soil and Water Conservation of Riparian Vegetation Based on Landscape
Leakiness and Optimal Vegetation Pattern.” Sustainability 10(5):1–16.

Anda mungkin juga menyukai