Disusun Oleh :
i
1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang menjadi andalan dalam aktivitas
sosial ekonomi masyarakat terutama di negara berkembang. Namun sumberdaya lahan
bukanlah sumberdaya yang lestari. Namun, Sumberdaya lahan mengalami perubahan baik
karena proses alami maupun aktivitas manusia. Perubahan karena proses alami disebabkan
oleh perubahan permukaan bumi akibat berlangsungnya geomorfologis. Proses
geomorfologis mengakibatkan turunnya kualitas dan daya dukung lahan yang selanjutnya
akan menyebabkan degradasi lahan. Menurut Wahyunto (2014), degradasi lahan adalah
proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Lahan
terdegradasi dapat diartikan juga sebagai lahan tidak produktif, lahan kritis, atau lahan tidur
yang dibiarkan terlantar tidak digarap dan umumnya ditumbuhi semak belukar. Proses
degradasi lahan dimulai dengan tidak terkontrolnya konversi hutan, dan usaha pertambangan
kemudian diikuti dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi dan
pengelolaan lahan yang kurang tepat.
Menurut sebuah laporan baru yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia
PBB (FAO), United Nations Environment Programme dan World Soil Information (ISRIC)
menyatakan bahwa lebih dari 20 % dari seluruh area budidaya, 30 % hutan dan 10 % padang
rumput sedang memburuk. Sekitar 22 % lahan yang terdegradasi berada di wilayah arid,
sementara 78 % berada di wilayah humid (FAO, 2008). Di Indonesia sendiri, luas hutan telah
menyusut dari 130,1 juta ha (67,7 % dari luas daratan) pada tahun 1993 menjadi 123,4 juta
ha (64,2 % dari luas daratan) pada tahun 2001. Penyusutan ini disebabkan oleh penjarahan
hutan, kebakaran, dan konversi untuk kegiatan lain seperti pertambangan, pembangunan
jalan, dan permukiman. Sekitar 35 % dari hutan produksi tetap seluas 35 juta ha juga rusak
berat. Hutan yang dapat dikonversi kini tinggal 16,65 juta ha. Apabila dengan laju konversi
tetap seperti saat ini maka dalam waktu 25 tahun areal hutan konversi akan habis. Saat ini
laju deforestasi hutan Indonesia diperkirakan sekitar 1,6 juta hektar per tahun (Dephut, 2009).
Peristiwa degradasi hutan tidak lepas dari peran pihak-pihak yang berlebihan
memanfaatkan hutan dan isinya dengan tidak bertanggung jawab. Kerusakan hutan yang
utama diakibatkan oleh pembangunan dan pengelolaan hutan secara eksploitatif sehingga
mengurangi luasan hutan. Berdasarkan penyebab yang telah disebutkan, pihak kelembagaan
hutan harus meningkatkan pengawasan terhadap hutan itu sendiri agar dapat dimanfaatkan
dengan semestinya. Peran pemerintah juga dibutuhkan demi menindaklanjuti eksploitasi
hutan yang menyebabkan degradasi oleh investor pembangunan yang tidak bertanggung
jawab. Masalah degradasi hutan harus segera diatasi mengingat hutan merupakan penunjang
keseimbangan dari lingkungan disekitarnya.
Banyak di kasus-kasus sumberdaya alam yang menyebabkan degradasi, antara lain
dikarenakan hilangnya biodiversitas, kerusakan tanah akibat erosi, hilangnya kesuburan
tanah, salinisasi, limbah air, penipisan aquifer, adanya polusi sedimen akibat erosi, polusi
udara, dan lain sebagainya. Hal ini dijelaskan dari beberapa kasus yang ada di Indonesia.
Salah satu contoh kasus dari degradasi lahan terjadi di Malang yang dikarenakan banyaknya
lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi perumahan. Hal ini menyebabkan rendahnya
resapan air sehingga dapat menyebabkan banjir. Menurut dosen Perencanaan Wilayah Kota
UB, daerah yang sudah memiliki LP2B pasti memiliki lahan sawah yang sudah ditetapkan dan
tidak boleh dialihfungsikan. Dikarenakan Kota Malang tidak memiliki LP2B, otomatis lahan
yang dilindungi juga tidak ada. Pihak yang dirugikan dari kasus ini adalah masyarakat
(Oktavia, 2016).
Terdapat kasus yang serupa yaitu yang terjadi di Pulau Bali. Menurut berita yang dilansir
oleh Republika.co.id pada Kamis, 2 April 2015 dengan judul “Bali Disebut Alami Degradasi
Lingkuhan Hidup” menyatakan bahwa kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup di Bali
belakangan ini mengalami degradasi yang cukup mengkhawatirkan. Degradasi lahan yang
2
terjadi di Bali mengakibatkan berkurangnya lahan produktif seiring dengan semakin pesatnya
wisatawan asing yang dating ke bali sehingga mnyebabkan investasi lahan yang boros untuk
pembangunan villa ataupun hotel dan tidak adanya perlindungan terhadap sektor pertanian.
Pulau Bali terkenal dengan destinasi pariwisatanya, namun sektor pertanian di Bali tidak kalah
berpotensi jika dibandingkan dengan sektor pariwisatanya. Tetapi dapat dilihat dari
prakteknya, pembangunan fasilitas yang penunjang sektor pariwisata sering kali dilakukan
tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Uraian berita tersebut menyebutkan
bahwa karena terjadinya penurunan lahan produktif mengakibatkan kerawanan pangan
sehingga untuk memperoleh pasokan beras, masyarakat Bali harus mendatangkan dari luar
Bali.
Kasus yang berbeda juga terjadi d iBali selain berkurangnya lahan pertanian, Bali juga
mengalami krisis air. Berita tersebut dilansir dari bali.tribunnews.com pada Sabtu, 13 Juli 2019
dengan artikel yang berjudul “Tiga Desa di Jembrana Terancam Kekurangan Air Besih, 55
Hektare Sawah Kering di Desa Manistuti”. Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia
khususnya Bali menimbulkan terjadinya kekeringan. Kekeringan yang melanda Bali
mengakibatkan kurangnya pasokan air bersih dan berdasarkan berita yang dilansir, kurang
lebih 15 hektare sawah di Desa Manistutu, Bali mengalami kekeringan. Akibatnya petani
terancam gagal panen. Berdasarkan kasus kekeringan dan kekurangan air bersih di Bali,
beberapa pihak-pihak terlibat (stakeholder) harus lebih memperhatikan kelestarian
lingkungan. Masyarakat hendaknya menyadari pentingnya pasokan air bersih dan untuk
mendapatkan air bersih harus melakukan upaya-upaya pelestarian lingkungan seperti
mengelola sumber daya alam agar tercipta keseimbangan lingkungan sehingga dapat
dimanfaatkan secara semestinya. Peran pemerintah juga diperlukan demi memberikan
sosialisasi kepada masyarakat agar lebih memperhatikan lingkungan dan memanfaatkan
sumber daya alam secara bijaksana. Diharapkan pemerintah juga dapat memberikan solusi
atas permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Tidak hanya Malang dan juga Bali, namun masih ada di beberapa di daerah khususnya
di Indonesia yang mengalami kasus serupa. Salahy satu contoh lagi terjadi di daerah Dieng
yang notabennya merupakan dataran tinggi. Dieng memiliki kurang lebih 20.161 hektar hutan
Negara yang dikelola Perhutani dan 19.472 hektar hutan rakyat. Wilayah ini berada pada
ketinggian antara 1.500 sampai dengan 2.095 meter diatas permukaan laut dengan
kemiringan lebih dari antara 15-40% dan dibeberapa wilayah >40%. Curah hujan di dataran
tinggi Dieng termasuk tinggi, yaitu 3.917 mm/tahun.
Kepadatan penduduk rata-rata di Kawasan Dieng mencapai angka 100 jiwa/km2 dengan
pemilikan lahan sempit rata-rata sebesar 0,1 ha. Desa di Kawasan Dieng yang paling padat
penduduknya adalah desa Dieng, dan kecamatan Kejajar kepadatan penduduknya mencapai
190 jiwa/km2. Kepadatan penduduk yang cukup tinggi dan tingkat kepemilikan lahan yang
rendah ini yang menyebabkan terjadinya tekanan terhadap kawasan lindung, dengan adanya
pengalihan fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Konversi lahan ini
yang menyebabkan degradasi lahan sehingga semakin meluasnya lahan kritis yang
menyebar hampir menyeluruh di Kawasan Dieng akibat pemanfaatan lahan hutan di
pegunungan Dieng secara besar-besaran untuk kegiatan budidya masyarakat setempat.
Dalam dekade terakhir ini kawasan tersebut telah mengalami banyak kerusakan sehingga
tidak dapat berfungsi secara optimal yang mengakibatkan penurunan produksi pertanian dan
jasa lingkungan.
Pertanian di Dataran Tinggi Dieng saat ini sudah meluas dan merambah hutan-hutan di
kawasan yang seharusnya tetap dilestarikan pepohonannya. Jika dilihat dari kejauhan
hanyalah bukit-bukit gundul berwarna hijau dimana masyarakat memanfaatkannya untuk
usaha budidaya tanaman kentang, sayuran dan tembakau, yang merupakan sumber mata
pencaharian penduduk setempat. Pada umumnya, petani di sana membuat bedengan atau
guludan searah lereng pada teras-teras bangku, namun tanpa upaya menstabilkan teras
tersebut, sehingga pada bibir dan tampingan teras cenderung mengalami longsor. Teras
3
bangku tersebut umumnya miring keluar sehingga erosi atau longsor masih mungkin terjadi.
Selain itu, pada ujung luar teras (talud) tidak ditanami tanaman penguat teras dan permukaan
tanah pada tampingan teras juga terbuka atau bersih tidak ada tanaman. Hal ini tentu saja
tidak dibenarkan, karena seharusnya daerah perbukitan ditanami tanaman keras dan berumur
panjang untuk menjaga kestabilan tanah dan resapan air. Akibat dari erosi tersebut,
sedimentasi di DAS semakin meluas serta terjadi penurunan kesuburan di dataran tinggi
Dieng. Hal ini dikarenakan hara tanah yang terkandung di lapisan teratas tanah hanyut
terseret arus air. Miskinnya hara tanah otomatis akan berakibat pada penurunan produktivitas
lahan pertanian.
Begitu banyak kasus-kasus yang terjadi di Indonesia yang berkaitan tentang degradasi
lahan. Paparan informasi tentang kasus degradasi lahan di atas hanya segelintir kasus yang
terekpos publik. Hal tersebut menjadi pukulan bagi kita semua yang notabennya sebagai
rakyat Indonesia. Solusi yang paling pertama ialahkesadaran diri kita semua bahwa kasus
tersebut bukan kasus yang ringan setelah itu kita semua bergerak untuk mencegah hal serupa
terjadi lagi. Solusi yang lebih terstruktur ialah untuk mencegah degradasi lahan tersebut
dengan pemanfaatan lahan untuk pertanian tanaman pangan dan pengolahan tanah yang
sesuai dengan kaidah konservasi perlu dipertahankan untuk menjaga konsistensi
penggunaan terhadap kemampuan lahan tetap terjaga. Untuk mengantisipasi degradasi
tersebut diperlukan upaya pencegahan perambahan hutan melalui kerja sama antara
pemerintah dan masyarakat untuk mengendalikan terjadinya alih fungsi hutan menjadi
belukar, kebun campuran dan tegalan.
1.2 Dampak Degradasi lahan
Degradasi lahan atau kerusakan lahan merupakan faktor utama penyebab menurunnya
produktivitas suatu lahan. Oleh karena itu dampak negatif degradasi sumberdaya lahan di
daerah hulu dan daerah hilir dapat sangat merugikan pada bidang biofisik/ekologis, sosial-
ekonomi, dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini menyebabkan perlunya
upaya yang maksimal untuk dapat mengendalikan akar masalah dari degradasi lahan
tersebut.
Degradasi lahan berdampak negatif pada pembangunan. Menurut Adikusuma (2014),
komponen biogeofisik menjadi komponen utama dalam pembangunan destinasi wisata. Hal
ini disebabkan komponen ini menjadi obyek yang dijual dalam konteks pembangunan
destinasi wisata. Luasnya area yang terdegradasi membuat upaya penghijauan kembali sulit
untuk diwujudkan dalam waktu dekat. Fisik lingkungan pada ekosistem untuk pengembangan
ekowisata diprioritaskan pengelolaannya dalam bentuk inventarisasi jenis sumberdaya alam
yang ada, rehabilitasi dan proteksi. Namun pengembangan teknologi ramah lingkungan dalam
bentuk pengelolaan tersebut perlu diarusutamakan.
Dampak pada aspek ekologi yaitu menyebabkan kerusakan lingkungan. Seperti
pengaruhnya terhadap pembukaan tutupan lahan, sehingga peluang kejadian erosi dan
degradasi lahan diproyeksikan meningkat. Menurut Njurumana (2008), dengan informasi
mengenai zat-zat kimia dan non kimia (kandungan asam dan basa) yang dihasilkan dan
dampaknya terhadap kesuburan tanah, kelembaban tanah, suhu tanah dan aerasi untuk
mendukung nilai guna lahan terhadap aspek produksi, distribusi pertumbuhan dan keragaman
jenis vegetasi permukaan, dan pola-pola usaha/tindakan/pemanfaatan yang perlu
diperhatikan berdasarkan tipologi jenis batuan.
Dampak buruk pada aspek sosial dan ekonomi diakibatkan karena adanya ketersediaan
lahan yang terbatas seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang besar mengakibatkan
terjadinya kekurangan lahan. Hal ini diperburuk dengan praktek pengelolaan lahan yang tidak
lestari sehingga menyebabkan degradasi lahan yang dapat meningkatkan angka kemiskinan.
Demikian pula sebaliknya, kemiskinan dapat mendorong terjadinya degradasi lahan. Dengan
demikian kemiskinan merupakan penyebab dan akibat dari degradasi lahan. Simulasi historis
tersebut terbukti bahwa meningkatnya degradasi lingkungan telah menurunkan pertumbuhan
4
ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Luas lahan kritis per kapita memberikan dampak
buruk yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan dengan pencemaran air dan
udara karena karakteristik kerusakan menyangkut gangguan keseimbangan ekosistem
(Alghifari, 2014).
Faktor lain yang berpengaruh besar terhadap besarnya laju erosi adalah perlakuan
manusia, salah satu bentuk perlakuan yang dilakukan manusia adalah pengolahan tanah.
Pengolahan tanah secara signifikan dapat mempengaruhi kerentanan tanah terhadap erosi
yang dapat mempercepat dan memperbesar laju erosi (Meijer, dkk., 2013). Pengolahan tanah
dapat diartikan dengan kegiatan manipulasi mekanik tanah. Tujuan pengolahan tanah adalah
untuk membolak-balik tanah dan mencampur tanah, mengontrol tanaman penggangu,
mencampur sisa tanaman dengan tanah dan menciptakan kondisi tanah yang baik untuk
daerah perakaran tanaman. Menurut Putte, dkk. (2012), pengolahan tanah dapat merubah
struktur tanah yang mengakibatkan peningkatan ketahanan tanah terhadap penetrasi gerakan
vertikal air tanah atau yang lebih sering disebut daya infiltrasi tanah. Hal tersebut dapat
mengakibatkan air menggenang di permukaan yang kemudian dapat berubah menjadi aliran
permukaan (surface run off). Oleh karena itu diperlukan sistem olah tanah konservasi untuk
menekan besarnya aliran permukaan dan erosi. Penelitian Banuwa (1994) juga menunjukkan
tindakan konservasi tanah terutama perlakuan penanaman pada guludan mengikuti kontur
sangat efektif dalam menekan besarnya aliran permukaan dan laju erosi tanpa menurunkan
produksi tanaman. Tindakan konservasi tersebut dapat menekan aliran permukaan sebesar
71,4 % dan erosi sebesar 87,3 %.
5
2. Perubahan Iklim
Perubahan unsur-unsur cuaca, seperti hujan, kelembapan, dan angin mem-berikan
pengaruh terhadap perubahan kesuburan lahan. Wilayah Indonesia yang beriklim tropis
basah memiliki musim penghujan yang lebih panjang dari musim kemarau. Pada waktu musim
penghujan, air hujan yang mengguyur permukaan lahan mengakibatkan proses pencucian
tanah (leaching). Proses ini mengakibatkan tanah menjadi tandus dengan membentuk tanah
laterit. Perubahan iklim bumi yang semakin panas memberikan pengaruh besar terhadap
perluasan gurun di wilayah Asia dan Afrika sehingga tanah tidak lagi ditumbuhi vegetasi.
Gambar 2. Degradasi lahan yang diakibatkan perubahan iklim
Selain itu rendahnya kualitas lahan juga diakibatkan oleh faktor manusia, yaitu:
1. Populasi Manusia
Populasi manusia di bumi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Seiring
peningkatan populasi itu diperlukan sarana penunjang kehidupan, baik makanan, pakaian,
tempat tinggal, dan lain-lain. Akibat nyata adalah tekanan manusia terhadap alam akan
semakin kuat, dalam bentuk ekploitasi sumber daya alam karena sumber daya alam
mempunyai keterbatasan, maka akan terjadi kerusakan. Misalnya saja intensifikasi lahan
yang melebihi daya dukungnya, mengakibat-kan berkurangnya hara tanah sehingga tanah
menjadi tidak subur lagi.
8
2. Kerusakan Hutan
Pertumbuhan populasi yang terus meningkat, diiringi dengan tingginya kebutuhan
lahan untuk permukiman. Hutan sering kali dialihfungsikan menjadi lokasi permukiman.
Seperti yang terjadi di pedalaman Kalimantan, Sumatera, sekitar hutan lindung di Jawa.
Kerusakan hutan mengakibatkan erosi, longsor, banjir, dan bertambahnya lahan kritis.
Gambar 3. Kerusakan Hutan
3. Pencemaran Tanah
Faktor-faktor polutan yang mempercepat penurunan kualitas fungsi lahan antara lain
sampah, bahan insektisida, limbah rumah tangga, limbah industri, zat-zat kimia, bahan
radioaktif, dan sebagainya. Apabila bahan-bahan tersebut tidak dapat ditoleransi oleh
tanah maka tanah akan menjadi rusak dan produktivitasnya menurun.
Gambar 4. Banyaknya sampah di daerah pegunungan
9
4. Teknik studi dokumenter untuk memperoleh data sekunder berupa peta dan data tabel
pertanian.
Kesesuaian penggunaan teknologi konservasi tanah pada pertanian lahan kering
diperoleh dengan mencocokkan (matching) bentuk lahan setiap satuan lahan daerah
penelitian dengan skema hubungan antara kemiringan lereng dengan ketinggian lahan dan
jenis pertanian lahan kering pada gambar peta .
Dari penjelasan tersebut dapat dikaitkan dengan permasalahan degradasi di perbukitan
Kecamatan Kokap. Kondisi fisik lahan di Kecamatan Kokap berupa lereng yang curam, jenis
tanah yang didominasi tanah lempungan, dan curah hujan yang tinggi, areal hutan yang
sempit tersebut dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor. Air hujan tidak dapat terinfiltrasi
kedalam tanah apabila tidak ada akar-akar tanaman hutan, sehingga air hujan tersebut
menjadi limpasan permukaan (surface run-off) yang dapat berpotensi menyebabkan erosi dan
banjir.
Untuk mengurangi potensi terjadinya degradasi lahan maka dapat dilakukan beberapa
cara mengatasinya. Kondisi tanah sebagian besar tanah di Kecamatan Kokap mempunyai
tingkat kesuburan yang rendah, namun masih mempunyai potensi untuk dipulihkan atau
ditingkatkan produktivitasnya. Selama ini degradasi lahan banyak terdapat pada kawasan
marginal, yaitu tanahnya berupa lahan kering dan petaninya juga mempunyai tingkat status
ekonomi yang rendah. Dengan input usaha tani dan teknologi pengelolaan lahan kering yang
rendah, marginalisasi lahan terus akan terjadi yang pada akhirnya mengakibatkan lahan
berkecenderungan makin terdegradasi baik fisik maupun kimia. Di lahan yang berlereng
curam, proses degradasi tanah akan cepat terjadi karena adanya erosi. Berbagai bentuk
teknik konservasi mekanik berupa teras dan guludan telah diterapkan di daerah penelitian,
namun bentuk dan konstruksinya belum sempurna. Kondisi tanah yang tipis dan sudut lereng
yang besar telah mengakibatkan teras tidak dapat dibuat secara baik. Pemanfaatan lahan
dengan pengolahan minimum merupakan salah satu cara terbaik untuk menekan laju
degradasi. Pemilihan jenis tanaman keras yang tepat dan bernilai ekonomis tinggi perlu
dilakukan.
Kelerengan yang curam di daerah perbukitan tersebut harus dikendalikan dengan
teknologi konservasi air dan tanah yang baik dan tepat sehingga tidak terjadi limpasan
permukaan air. Penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah adalah salah satu contoh kunci
untuk pengaplikasian konservasi air. Manajemen dengan teknologi konservasi ini dapat
membuat air tidak lagi terbuang tapi masuk ke pori-pori tanah secara maksimal sehingga
daerah tersebut memiliki banyak cadangan air. Perubahan bentuk penggunaan lahan untuk
pertanian menjadi lahan perkebunan juga sangat dianjurkan agar tingkat pengusikan terhadap
tanah dapat dikurangi. Sektor perkebunan, khususnya untuk kelapa dan buah-buahan berupa
manggis, duku, dan durian berdasarkan data statistik kecamatan ternyata sangat mendukung
besarnya pendapatan bagi penduduk di wilayah penelitian. Adanya industri pembuatan gula
kelapa, penyulingan minyak nabati adalah dua contoh kegiatan pertanian yang dapat
dikembangkan di daerah Kecamatan Kokap untuk mengurangi besarnya tekanan penduduk
pada lahan pertanian.
Metode konservasi tanah sendiri dibagi menjadi metode vegetatif, mekanik, dan
kimiawi.
a. Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau bagian-bagian tanaman atau sisa-
sisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir air hujan yang jatuh, mengurangi jumlah
dan kecepatan aliran permukaan yang pada akhirnya mengurangi erosi tanah
(Suharto,2013). Beberapa teknik konservasi tanah dan air yang bisa diterapkan di
antaranya adalah :
1. Pertanaman lorong (alley cropping) adalah konservasi tanah dan air dengan sistem
bercocok tanam barisan tanaman perdu leguminosa ditanam rapat (jarak 10-25 cm)
mengikuti garis kontur (nyabuk gunung) sebagai tempat pagar. Menerapkan teknik
ini pada lahan yang miring jauh lebih murah biayanya daripada membuat teras
bangku. Teknik ini pun cukup efektif dalam menahan erosi. Setelah 3-4 tahun setelah
11
pembuatan tanaman lorong maka akan tercipta teras dengan sendirinya, hal ini
pulalah yang menyebabkan metode ini disebut teras kredit.
2. Sistem silvopastura merupakan salah satu bentuk dari sistem tumpangsari. Prinsip
dari sistem ini adalah menanam pakan di bawah tegakan pohon. Pakan ternak ini
dapat berupa rumput gajah, setaria, dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri dikenal beberapa macam teknik silvopastura, di antaranya
adalah :
(1) tanaman pakan di hutan tanaman industri
(2) tanaman pakan di hutan sekunder
(3) tanaman pohon-pohonan sebagai tanaman penghasil pakan
(4) tanaman pakan sebagai pagar hidup.
3. Pemberian mulsa bermaksud untuk menutupi permukaan tanah agar terhindar dari
pukulan butiran hujan. Pemberian mulsa merupakan salah satu cara yang paling
efektif dalam mencegah erosi, terutama jenis erosi percik. Mulsa yang berasal dari
bahan organik memiliki fungsi lain, yaitu memberikan bahan-bahan organik pada
tanah. Bahan organik yang dapat dijadikan mulsa dapat berasal dari sisa tanaman,
hasil pangkasan tanaman pagar dari sistem penanaman lorong, hasil pangkasan
tanaman penutup tanah, atau didatangkan dari luar lahan pertanian.
4. Penggunaan sisa atau bagian tanaman dan tumbuhan Penggunaan sisa-sisa
tanaman atau tumbuhan untuk konservasi tanah dan air berbentuk mulsa dan pupuk
hijau. Sisa tanaman yang masih segar dibenamkan ke dalam tanah. Sisa tanaman
tersebut juga dapat ditumpuk terlebih dahulu pada tempat tertentu dan dijaga 30
kelembabanya sampai terjadi proses humifikasi hingga terbentuklah kompos
sebelum digunakan sebagai pupuk organik. Mulsa selain dari sisa tumbuhan juga
berbahan dasar plastik, batu, dan pasir. Mulsa dapat mengurangi erosi dan
merendam energi hujan yang jatuh sehingga tidak merusak struktur tanah, dan
mengurangi aliran permukaan. Sedangkan mulsa organik berasal dari sisa tumbuhan
yang merupakan sumber energi yang akan meningkatkan kegiatan biologi tanah dan
dalam proses perombakannya akan terbentuk senyawa senyawa organik.
Sedangkan penggunaan sisa tumbuhan sebagai pupuk hijau yaitu dengan cara
memasukkan sisa tumbuhan pada lubang-lubang yang memotong lereng.
5. Tanaman penutup tanah Penggiliran tanaman adalah suatu sistem pada bidang
tanah yang terdiri dari beberapa macam tanaman yang ditanam secara berturut-turut
pada waktu tertentu (Kartasapoetra, 2010). Penggiliran tanaman berfungsi untuk
mengurangi erosi, dapat pula meningkatkan produksi pertanian, memeratakan
pemanfaatan tanahtanah yang kosong, dan memperbaiki kesuburan tanah. Metode
konservasi secara vegetatif lebih efektif dan sederhana, serta tidak membutuhkan
biaya yang besar. Metode ini paling banyak dilakukan oleh petani, karena selain
membantu mengembalikan 31 kesuburan tanah, konservasi, vegetatif juga
meningkatkan produktifitas pertanian yang ramah lingkungan.
b. Konservasi mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan terhadap
tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta
meningkatkan kemampuan penggunaan tanah (Arsyad, 2010). Metode ini bermanfaat
untuk menghambat aliran permukaan dan menghindari pengikisan tanah, memperbesar
infiltrasi air ke dalam tanah, dan penyedia air bagi tanaman. Menurut Arsyad (2010),
terdapat beberapa metode mekanik dalam konservasi tanah dan air di antaranya adalah
:
1. Pengelolaan Tanah Konservasi Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik
terhadap tanah untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan
tanaman. Tujuan pokok pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat tumbuh
bagi bibit, menciptakan daerah perakaran yang baik, dan memberantas gulma.
Namun dalam konservasi tanah, peranan pengolahan tanah hampir tidak ada,
bahkan dapat merugikan. Tanah yang diolah menjadi longgar sehinga lebih mudah
tererosi. Tindakan pengolahan tanah konservasi diantaranya tanah diolah
12
memperbesar energi angkut air. Semakin besar sudut maka semakin besar pula erosi. Jenis
erosi yang terdapat pada bentuk lahan pengunungan denudasional berbatuan breksi berupa
erosi parit. Pemanfaatan lahan di wilayah ini yang seharusnya untuk hutan kayu dengan
sistem tebang pilih namun di lapangan wilayah ini telah digunakan sebagai lahan pertanian
sehingga telah banyak terjadi berbagai jenis tanah longsor (Sartohadi, 2008).
Gambar 6. Dokumentasi Kecamatan Kokap
Dari kasus Kecamatan Kokap di Kabupaten Kulo Progo diketahui permasalahan yang
timbul diakibatkan oleh kondisi fisik di lahan di tersebut yang berupa lereng curam, jenis tanah
yang didominasi tanah lempungan, dan curah hujan yang tinggi, areal hutan yang sempit
tersebut dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor. Air hujan tidak dapat terinfiltrasi
kedalam tanah apabila tidak ada akar-akar tanaman hutan, sehingga air hujan tersebut
menjadi limpasan permukaan (surface run-off) yang dapat berpotensi menyebabkan erosi dan
banjir. Perubahan bentuk penggunaan lahan untuk pertanian menjadi lahan perkebunan juga
sangat dianjurkan agar tingkat pengusikan terhadap tanah dapat dikurangi. Penduduk di
Kecamatan Kokap yang memiliki mata pencaharian di sektor perkebunan, sebaiknya
dilakukan strategi manajemen kawasan perbukitan tersebut dengan menanam tanaman yang
dapat mendukung besarnya pendapatan bagi penduduk wilayah Kecamatan Kokap, seperti
kelapa, buah – buahan berupa manggis, duku, dan durian. Sehingga lingkungan di daerah
Kecamatan Kokap tidak lagi bermasalah akibat adanya pengalihfungsian lahan. Lahan
perkebunan yang masih bersisa dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
perekonomian kedepannya dengan manajemen yang baik. Permasalahan yang diakibatkan
16
oleh lereng yang curam juga dapat di minimalisir dengan penampungan hujan yang turun
sehingga dapat di simpan dan dimanfaatkan saat terjadi kekeringan sehingga cadangan air
pada daerah tersebut tidak habis. Hal ini selaras dengan pendapat dari Setiawan (2018),
pemilihan tanaman tepat dapat menjadi solusi terhadap permasalahan konservasi lahan dan
kebutuhan masyarakat petani. Tanaman yang ditanam harus memiliki nilai ekonomis yang
tinggi serta aman terhadap kerusakan lahan. Selain itu kriteria kesesuaian lahan untuk
komoditas yang akan ditanam harus sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian.
Dalam menjalankan strategi manajemen kawasan Kecamatan Kokap, pemerintah dan
masyarakat perlu meningkatkan perannya dalam melakukan penataan dan pemulihan
kawasan Kecamatan Kokap yang disusun berdasarkan kaidah ekosistem dan konservasi,
dengan harapan akan terjadi keseimbangan antara produktivitas, kelestarian dan
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sehingga dapat dipergunakan sebagai arahan
untuk mengembalikan peranan dan fungsi kawasan tersebut secara optimal ditinjau dari
berbagai segi ekologis, sosialbudaya, ekonomi dan kebijakan. Pihak yang berperan seperti
masyarakat yang harusnya sadar untuk melindungi dan melestarikan lingkungan yang ada.
Selain itu peran dari pemerintah juga dibutuhkan untuk mengatasi masalah di daerah tersebut.
Menurut LKPJ Kecamatan Kokap (2017), peran pemerintah yang harus dilaksanakan adalah
dengan membentuk kegiatan “Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat” untuk
mengatasi kerawanan bencana. Mengajukan usulan bedah rumah ke berbagai institusi
pemerintah maupun swasta guna mengurangi jumlah rumah tidak layak huni, sehingga tidak
lagi terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian atau perkebunan menjadi pemukiman warga.
Pemerintah daerah juga berperan dalam mengoptimalkan kegiatan promosi wisata,
pembangunan sarana prasarana penunjang pariwisata, sedangkan masyarakat dan swasta
berperan dalam menambah nilai kualitas kunjungan wisata. Menurut Setiawan (2018),
perbaikan lahan harus diprakarsai dan diinisiasi oleh pemerintah daerah serta melibatkan
petani yang mempunyai lahan. Petani dilibatkan secara langsung agar mendapat pelajaran,
pengalaman akan pentingnya serta manfaat menjaga dan memelihara lingkungan, agar
proses degradasi lahan dapat dihentikan atau paling tidak meperlambat proses degradasi.
Menurut Amalia (2017), strategi manajemen yang baik harus memiliki tingkatan
keputusan yang tepat. Yang pertama adalah berupa planning atau perencanaan.
Perencanaan adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki.
Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan apa yang akan dilakukan. sebelum
mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat
digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting
dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat
berjalan. Selanjutnya adalah organizing atau pengoranisasian. Pengorganisasian dilakukan
dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil.
Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan apa saja yang harus diperbaiki,
pihak siapa saja yang harus berpartisipasi, dan bagaimana hal-hal tersebut dapat dikerjakan.
Yang ketiga adalah directing atau pengarahan. Pengarahan dilakukan agar semua pihak yang
terkait benar-benar dapat ikut mengendalikan kerusakan yang ada. Ikut melestarikan dan
melindungi pertanian yang masih tersisa.
Hal tersebut selaras dengan pendapat Suryana (2006), tindakat manajemen memiliki
empat tingkat keputusan. Yaitu keputusan otomatis, keputusan yang bedasarkan informasi,
keputusan berdasarkan pertimbangan, dan keputusan berdasarkan ketidakpastian ganda.
Tindakan manajemen memiliki tingkat keputusan, keputusan tersebut biasanya memiliki
empat tingkatan yaitu keputusan otomatis, keputusan yang bedasarkan informasi yang
diharapakan, keputusan yang bedasarkan pertimbangan, serta keputusan bedasarkan
ketidakpastian ganda. Keputusan otomatis merupakan bentuk keputusan yang dibuat dengan
sangat sederhana. Contohnya adalah keputusan untuk menemukan informasi permasalahan
yang ada pada lahan perbukitan di Kecamatan Kokap. Keputusan selanjutnya adalah
keputusan bedasarkan informasi yang diharapkan merupakan tingkatan keputusan yang telah
mempunyai informasi yang sedikit kompleks, artinya informasi yang ada telah memberi
17
aba-aba untuk mengambil keputusan. Contohnya adalah permasalahan yang timbul akibat
pengalihan fungsi lahan sehingga lahan pertanian mengalami penyempitan, jika tidak segera
ditindak lanjuti maka lahan resapan air akan semakin berkurang dan akan menimbulkan
permasalahan lainnya seperti banjir dan lain sebagainya. Namun permasalahan ini masih
harus dipelajari terlebih dahulu. Keputusan bedasarkan berbagai pertimbangan merupakan
tingkat keputusan yang lebih banyak membutuhkan informasi dan informasi tersebut
dikumpulkan serta dianalisis untuk dipertimbangkan agar menghasilkan keputusan.
Contohnya adalah pertimbangan tanaman yang dapat ditanam di daerah Kecamatan Kokap
untuk mengendalikan deradasi lahan yang terjadi. Akan dibandingkan beberapa tanaman
sampai mendapatkan tanaman yang dirasa cocok untuk ditanami di daerah tersebut.
Keputusan bedasarkan ketidakpastian ganda, merupakan tingkat keputusan yang paling
kompleks. Jumlah informasi yang diperlukan semakin banyak selain itu, dalam
informasi yang sudah ada terdapat ketidakpastian. Keputusan semacam ini lebih banyak
mengandung risiko dan terdapat keraguan dalam pengambilan keputusannya. Contoh dari
keputusan ini adalah keputusan untuk memanajemen secara nyata mengelola lahan
Kecamatan Kokap yang terkena masalah degradasi lahan.
18
Daftar Pustaka
Adikusuma, Dana, Emmy Yuniarti Rusadi, dan Nurvina Hayuni. 2014. Dampak Degradasi
Lingkungan Terhadap Potensi Pengembangan Ekowisata Berkelanjutan di Delta
Mahakam: Suatu Tinjauan. Jurnal Wilayah Dan Lingkungan. Vol. 2(1) : 11-24
Alghifari, Ahmad Rouf, Lelis Dinul Dzakiah, dan Lulu Khulwatul Jannah Asrin. 2014. Erosi
Sebagai Penyebab Utama Degradasi Lahan. Bandung : Program Sarjana
Agroteknologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati
Amalia, Dina. 2017. Pengertian, Fungsi, dan Unsur-Unsur Manajemen. Jurnal Manajemen.
Vol. 1(3)
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Arsyad. S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press.
Badan Litbang Pertanian. 2018. Pedoman Umum [online].
http://www.litbang.pertanian.go.id/regulasi/12/file/BAB-I.pdf. Diakses pada 28 Agustus
2019
Banuwa, I.S. 2013. Erosi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 206 hal.
LKPJ Kecamatan Kokap. 2017. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Kecamatan Kokap
[online]. http://kokap.kulonprogokab.go.id. Diakses pada 25 Agustus 2019
Meijer, A.D., J.L. Heitman, J.G. White, and R.E. Austin. 2013. Measuring Erosion in Long
Term Tillage Plots Using Grounds Based Lidar. Journal Soil and Erosion. Vol. 126 : 1
– 10.
Misra. 2019. Degradasi Lahan dan Dampaknya terhadap Kehidupan [online].
https://tugassekolah.co.id/2019/07/degradasi-lahan-dan-dampaknya-terhadap-
kehidupan.html. Diakses pada 28 Agustus 2019
Njurumana, Gerson ND. 2008. Kajian Degradasi Lahan Pada Daerah Aliran Sungai
Kambaniru, Kabupaten Sumba Timur (Study of Land Degradation on Kambaniru
Watershed, East Sumba Regency). Kupang : Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Oktavia. Yanto, Muhammad. 2018. Erosi Sungai Menjadi Kendala Penanganan Jalan Longsor
Lumbir [online]. https://radarbanyumas.co.id/erosi-sungai-menjadi-kendala-
penanganan jalan-longsor-lumbir/. Diakses pada 28 Agustus 2019
Pasandaran, Effendi dan Taylor, Donald. 1984. Irigasi Perencanaan dan Pengelolaan.
Jakarta: Gramedia.
Putte, A.V.D., G. Govers, J. Diels, C. Langhans, W. Clymans, E. Vanuytrecht, R. Merckx, and
D. Raes. 2012. Soil Functioning and Conservation Tillage in Belgian Loam Belt.
Journal. Vol. 122 : 1 – 11.
20
Rayhani, Risya Nur dan Agung R. 2017. Konservasi Tanah dan Air pada Tanah Terdegredasi
di Lahan Kapus II UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Bandung : Fakultas Sains dan
Teknologi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Rusdi, Rusli, A., dan Karim, A., 2013. Degradasi Lahan Akibat Erosi Pada Areal Pertanian di
Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar.
Setiawan, Bayu, Prapto Yudono, dan Sriyanto Waluyo. 2018. Evaluasi Tipe Pemanfaatan
Lahan Pertanian dalam Upaya Mitigasi Kerusakan Lahan Di Desa Giritirta, Kecamatan
Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Vegetalika. 7(2): 1-15
Subagyono, Kasdi, Umi Haryati, dan Sidik Hadi Tala’ohu. 2008. Teknologi Konservasi Air
pada Pertanian Lahan Kering [online].
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/lahankering/berlereng7.p
df. Diakses pada 28 Agustus 2019
Suryana, Achmad, dll. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan.
Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian