Anda di halaman 1dari 18

1.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agroekosistem Lahan Basah
Lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh
dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu
sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk
rawa bakau), payau, dan gambut. Akan tetapi dalam pertanian dibatasi
agroekologinya sehingga lahan basah dapat di definisikan sebagai lahan sawah.
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik
terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Segala
macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Selain itu padi sawah
juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam dibandingkan
dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat tanah sawah
sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya.

Gambar.1 Agroekosistem Lahan Basah


Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang dialiri kemudian
disawahkan atau dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan membuat saluransaluran drainase. Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi,
sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah

pasang surut ditemukan sawah pasang surut, sedangkan yang dikembangkan di


daerah rawa-rawa lebak disebut sawah lebak.
Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pengolahan tanah pada tanah
kering yang disawahkan, dapat menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah, baik
sifat morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain sehingga sifat-sifat
tanah dapat sangat berbeda dengan sifat-sifat tanah asalnya. Sebelum tanah digunakan
sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah mengalami proses pembentukan
tanah sesuai dengan faktor-faktor pembentuk tanahnya, sehingga terbentuklah jenisjenis tanah tertentu yang masing-masing mempunyai sifat morfologi tersendiri. Pada
waktu tanah mulai disawahkan dengan cara penggenangan air baik waktu pengolahan
tanah maupun selama pertumbuhan padi, melalui perataan, pembuatan teras,
pembuatan pematang, pelumpuran dan lain-lain maka proses pembentukan tanah
alami yang sedang berjalan tersebut terhenti. Semenjak itu terjadilah proses
pembentukan tanah baru, dimana air genangan di permukaan tanah dan metode
pengelolaan tanah yang diterapkan, memegang peranan penting. Karena itu tanah
sawah sering dikatakan sebagai tanah buatan manusia. (Hardjowigno,_ dan Endang,
2007)
Daya tahan ekologis agroekosistem lahan kering adalah refleksi dari stabilitas
dan kapabilitas agroekosistem akibat tekanan-tekanan yang bersifat kumulatif,
sinerjik dan antagonis.
Penciri agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur alami seperti iklim,
topografi, altitude, fauna, flora, jenis tanah dan sebagainya akan tetapi juga
mencakup unsur-unsur buatan lainnya.

Agroekosistem lahan kering dimaknai

sebagai wilayah atau kawasan pertanian yang usaha taninya berbasis komoditas lahan
kering selain padi sawah. Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan
dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan
tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Pada umumnya istilah yang digunakan
untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegalan, tadah hujan dan
huma. Potensi pemanfaatan lahan kering biasanya untuk komoditas pangan seperti
jagung, padi gogo, kedelai, sorghum, dan palawija lainnya. Untuk pengembangan

komoditas perkebunan, dapat dikatakan bahwa hamper semua komoditas perkebunan


yang produksinya berorientasi ekspor dihasilkan dari usaha tani lahan kering.

Gambar. 2 Agroekosistem Lahan Kering


Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup
baik (Bamualim,2004). Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pertanian, baik
tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman perkebunan. Pengembangan
berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis
untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan nasional (Mulyani
dkk, 2006). Namun demikian, tipe lahan ini umumnya memiliki produktivitas
rendah, kecuali pada lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman tahunan atau
perkebunan. Pada usaha tani lahan kering dengan tanaman semusim, produktivitas
relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk
yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, dalam Syam, 2003).
2.2 Agroekosistem Tanaman Pangan dan Hortikultura
Agroekosistem berasal dari kata sistem, ekologi dan agro. Sistem adalah
suatu kesatuan himpunan komponen-komponen yang saling berkaitan dan pengaruhmempengaruhi sehingga di antaranya terjadi proses yang serasi. Ekologi adalah ilmu
tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya. Sedangkan
ekosistem adalah sistem yang terdiri dari komponen biotic dan abiotik yang terlibat
dalam proses bersama (aliran energi dan siklus nutrisi). Pengertian Agro adalah
Pertanian dapat berarti sebagai kegiatan produksi/industri biologis yang dikelola
manusia dengan obyek tanaman dan ternak. Pengertian lain dapat meninjau sebagai
lingkungan buatan untuk kegiatan budidaya tanaman dan ternak. Pertanian dapat juga
dipandang sebagai pemanenan energi matahari secara langsung atau tidak langsung
melalui pertumbuhan tanaman dan ternak (Saragih, 2000). Agroekosistem dapat
dipandang sebagai sistem ekologi pada lingkungan pertanian.

Kaitanya agroekosistem dengan tanaman pangan dan hortikultura yaitu dalam


pengolahannya untuk mencapai hasil yang optimal maka perlu diperhatikan prinsip
prinsip ekologis. Selain mengurangi dampak serangan OPT juga menjaga siklus
kehidupan di lingkungan tersebut sehingga mengacu pada pertanian berlanjut.

2.3 Kualitas Tanah dan Kesehatan Tanah


Doran & Parkin (1994) memberikan batasan kualitas tanah adalah kapasitas
suatu tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem untuk melestarikan
produktivitas biologi, memelihara kualitas lingkungan, serta meningkatkan kesehatan
tanaman dan hewan. Johnson et al. (1997) mengusulkan bahwa kualitas tanah adalah
ukuran kondisi tanah dibandingkan dengan kebutuhan satu atau beberapa spesies atau
dengan beberapa kebutuhan hidup manusia.
Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikatorindikator kualitas tanah. Pengukuran indikator kualitas tanah menghasilkan indeks
kualitas tanah. Indeks kualitas tanah merupakan indeks yang dihitung berdasarkan
nilai dan bobot tiap indikator kualitas tanah. Indikator-indikator kualitas tanah dipilih
dari sifat-sifat yang menunjukkan kapasitas fungsi tanah.

Gambar 3. Tanah
Indikator kualitas tanah adalah sifat, karakteristik atau proses fisika, kimia
dan biologi tanah yang dapat menggambarkan kondisi tanah (SQI, 2001). Menurut
Doran & Parkin (1994), indikator-indikator kualitas tanah harus :
(1) menunjukkan proses-proses yang terjadi dalam ekosistem,
(2) memadukan sifat fisika tanah, kimia tanah dan proses biologi tanah,

(3) dapat diterima oleh banyak pengguna dan dapat diterapkan di berbagai
kondisi lahan,
(4) peka terhadap berbagai keragaman pengelolaan tanah dan perubahan iklim,
dan
(5) apabila mungkin, sifat tersebut merupakan komponen yang biasa diamati
pada data dasar tanah.
Karlen et al. (1996) mengusulkan bahwa pemilihan indikator kualitas tanah
harus mencerminkan kapasitas tanah untuk menjalankan fungsinya yaitu:
1. Melestarikan aktivitas, diversitas dan produktivitas biologis
2. Mengatur dan mengarahkan aliran air dan zat terlarutnya
3. Menyaring, menyangga, merombak, mendetoksifikasi bahan-bahan anorganik
dan organik, meliputi limbah industri dan rumah tangga serta curahan dari
atmosfer.
4. Menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur lain dalam biosfer.
5. Mendukung struktur sosial ekonomi dan melindungi peninggalan arkeologis
terkait dengan permukiman manusia.
2.4 Hama dan Penyakit Penting Tanaman pada Agroekosistem yang diamati Gejala
dan Tanda

Penyakit Penting Tanaman

1. Penyakit Ujung Keriting


Penyakit virus ini menyebaabkan ujunga daun semangka, tomat, cabai, buncis,
dan bayam menjadi keriting. Penyakit ujung keriting sangat merugikan petani.

Gambar 4. Penyakit ujung keriting


a. Gejala serangan
Tanaman muda yang terkena infeksi daunnya menguning dan mengeriting. Selain
itu, tanaman menjadi ekrdil. Jika tanaman yang lebih tua terinfeksi, daunnya
menggulung ke atas dan memutar atau memilin daun yang muda.
b. Penyebaran
Umumnya yang m,enularkan penyakit ini serangga keluarga Yassidae seperti
Empoasca Walsh, Eauttix tenellus Baker (banyak memyerang tanaman bit di
Amerika Serikat ), Cicadula zetterstedt, Deltocephalus burmeister, dan Jassus
Fab. Kutu daun loncat ini dari tingkatan muda sampai dewasa bisa menularkan
penyakit. Sekali memakan tanaman yang sakit, virus akan masuk dalam tubuh dan
bisa keluar lagi jika kutu daun lonvat menghisap tanaman yang sehat. Ludah kutu
loncat banyak mengandung virus. Oleh karena itu, semakin banyak kutu loncat
daun sebagai penular maka semakin efektif penularannya. Virus tidak
berkembang biak dalam badan kutu loncat daun, tetapi menyebar ke seluruh
badan dalam darah, ludah, alat pernapasan, dan kotoran. Jadi, kutu ini hanya
sebagai ppembawa saja. Pada waktu kutu loncat daun menghisap cairan tanaman,
alat penghisap sampai ke jaringan floem, lebih cepat ke bawah daripada ke atas.
Jika jumlah populasi kutu semakin banyak maka serangan permulaan penyakit
juga makin hebat.
c. Pengendalian
i. Tanam bibit yang resisten
ii. Lakukan rotasi tanaman dan jangan menanam tanaman yang bisa terkenan
penyakit virus ujung keriting
iii. Jagalah kebersihan sekeliling kebun dari kemungkinan tumbuhnya
tanaman liar yang bisa terserang penyakit
iv. Cabut, lalu bakar tanaman yang sudah terlanjur terserang

(Pracaya, 2008)
Hama Penting Tanaman
o Lalat Kacang (Agromyza phaseoli)
Serangan disebabkan oleh lalat Agromyza phaseoli yang termasuk ke
dalam famili agromyzidae. Lalat betina mempunyai panjang tubuh sekitar
2,2 mm, sedangkan yang jantan hanya 1,9 mm. Satu ekor lalat betina dapat
memproduksi telur sampai 95 butir. Telur dilatakkan pada keping-keping
biji yang baru berkecambah, dekat dengan munculnya daun pertama.

Warna lalat hitam mengkilap, sedangkan antena dan tulang sayapnya


berwarna cokelat muda. Selain buncis, hama ini juga menyerang kacang
panjang, kedelai, kecang hijau, dan kacang gude.

Gambar 5. Agromyza phaseoli


Gejala serangan berupa adanya lubang-lubang pada daun dengan arah
tertentu, yaitu dari tepi daun menuju tangkai atau tulang daun. Gejala lebih
lanjut berupa batang yang membengkok dan pecah, kemudian tanaman
menjadi layu, berubah kuning, dan akhirnya mati dalam umur yang masih
muda.
Upaya pengendalian hendaknya dilakukan sedini mungkin yaitu pada saat
pengolahan tanah. Setelah biji-biji buncis ditanam sebaiknya lahan
langsung diberi penutup dari jerami daun pisang. Penanaman dilakukan
secara serentak. Bila tanaman sudah terserang secara berat, maka
segeralah dicabut dan dibakar atau dipendam dalam tanah. Namun, apabila
serangan masih kecil, disarankan agar menggunakan pestisida organik
(dengan campuran bawang putih, cabe rawit, daun/niji nimba, daun tomat,
merica, sambiloto). Penyemprotan dilakukan sebanyak 2-3 kali sampai
umur 20 hari,atau tergantung berat ringan serangan.
o Penggerek Polong (Etiella zinckenella)
Hama ini dikenal dengan ulat penggerek polong yang di sebabkan oleh
larva dari Etiella zinckenella yang termasuk ke dalam famili Pyralidae.
Ngengat berukuran kecil kurang lebih 12 mm, sayap mukanya panjang
dan berbentuk segitiga, sedangkan sayap belakangnya lebar dan berbentuk
bulat. Warna sayap putih seperti perak pada bagian tepinya. Telur-telurnya
sering ditempatkan pada bagian bawah kelopak buah. Warna ulat hijau
pucat kemudian berubah menjadi kemerah-merahan. Bentuk tubuhnya
silindris dengan ukuran panjang 15 mm dan kepalanya berwarna hitam.
Waktu yang diperlukan dari telur sampai berbentuk ngengat kurang lebih

40 hari. Selain menyerang buncis, ulat ini juga merusak tanaman kedelai,
kacang panjang, orok-orok, dan lain-lain.

Gambar 6. Etiella zinckenella


Gejala berupa kerusakan pada polong yang masih muda, bijinya banyak
yang keropos. Akan tetapi, kerusakan ini tidak sampai mematikan
tanaman. Pengendalian terhadap hama ini antara lain; penyemprotan
dengan pestisida organik (yang dicampur dengan bawang putih, cabe
rawit, daun/niji nimba, daun tomat, merica, sambiloto) . Waktu
penyemprotan dilakukan segera setelah diketahui adanya serangan dan
dapat diulangi beberapa kali menurut keperluan.

2.5 Pengaruh Populasi Musuh Alami Terhadap Agroekosistem


Musuh alami merupakan komponen penyusun keanekaragaman hayati di
lahan pertanian. Keanekaragaman hayati di lahan pertanian (agrobiodeversity)
meliputi diversitas (keaneka ragaman) jenis tanaman yang di budidayakan, diversitas
(keanekaragaman) spesies liar yang berpengaruh dan di pengeruhi oleh kegiatan
pertanian, dan diversitas ekosistem yang dibentuk oleh populasi spesies yang
berhubungan dengan tipee penggunaan lahan yang berbeda (dari habitat lahan
pertanianintensif sampai lahan pertanian alami). Diversitas spesies liar berperan
penting dalam banyak hal. Beberapa menggunakan lahan pertanian sebagai habitat
( dari sebagian sampai yang tergantung pada lahan pertanian secara total) atau
mengguanan habitat lain tetapi di pengaruhi oleh aktivitas pertanian. Adapun yang
berperan sebagai gulma dan spesies hama yang merupakan pendatang maupun yang
asli ekosistem sawah tersebut, yang mempengaruhi prosuksi pertanian dan
agroekosistem (Channa.et,al. 2004).

Dari uraian diatas jelas bahwa terdapat organisme yang berperan positif
terhadap tanaman yang dibudidayakan (produksi pertanian), dan ada juga yang
berperan negatif terhadap tanaman yang dibudidayakan. Musuh alami (predator,
parasitoid dan patogen) dapat berperan positif dalam pertanian yaitu sebagai berikut:
1. Dapat mengendalikan organisme penggangu yang berupa hama dan gulma.
Dimana setiap jenis hama dikendalikan oleh kompleks musuh alami yang
meliputi predator, parasitoid dan patogen hama. Dibandingkan dengan
memakai pestisida yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan dan lingkungan hidup (Untung, 2006)
2. Apabila musuh alami mampu berperan sebagai pemangsa secara optimal
sejak awal, maka populasi hama dapat berada pada tingkat equilibrium
positif atau flukstuasi populasi hama dan musuh lamia menjadi seimbang
shingga

tidak

akan

terjadi

ledakan

hama

(Oneil,et.al.

dalam

Maredia,et.al.2003)
3. Pengelolaan ekosistem pertanian dengan perpaduan optimal teknik-teknik
pengendalian hama dan meminimalkan penggunaan pestisida sintetis yang
berspektrum luas (Untung,1993).
4. Pembatas dan pengatur populasi hama yang efektif karena sifat
pengaturannya bergantung pada kepadatan (density dependent), sehingga
mampu mempertahankan populasi hama pada keseimbangan umum
(general equilibrium position) dan tidak menimbulkan kerusakan pada
tanaman. Keberadaan musuh alami dapat meningkatkan keanekaragaman
hayati, sehingga tercipta keseimbangan ekosistem (ecosystem balance)
(Prof.Dr.H. Ishak Manti, 2012).
5. Musuh alami sebagai salah satu komponen ekosistem berperan penting
dalam

proses

interaksi

intra-

dan

inter-spesies.

Karena

tingkat

pemangsaannya berubah-ubah menurut kepadatan populasi hama, maka


musuh alami digolongkan ke dalam faktor ekosistem yang tergantung
kepadatan (density dependent factors). Ketika populasi hama meningkat,
mortalitas yang disebabkan oleh musuh alami semakin meningkat, demikian
pula sebaliknya (Stehr 1975) (Dalam Muhammad Arifin. 2012).

6. Lebih ekonomis, karena dapat meminimalisir penggunaan pestisida selama


proses budidaya, diman bahwa penggunaan musuh alami bersifat alami,
efektif, murah dna tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
dan lingkungan hidup (Untung, 2006). Dan

dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dalam meningkatkan kualitas dan kwuantitas


produksi hasil panennya.
7. Dapat

meningkatkan

keanekaragaman

hayati

dalam

agroekosistem,

dinyatakan bahwa keanekaragaman dalam agroekosistem dapat berupa


variasi dari tanaman, gulma, anthropoda, dan mikroorganisme yang terlibat
beserta faktor-faktor lokasi geografi, iklim, edafik, manusia dan
sosioekonomi. Menurut Southwood & Way (1970), tingkat keanekaragaman
hayati dalam agroekosistem bergantung pada 4 ciri utama, yaitu:

Keanekaragaman tanaman di dalam dan sekitar agroekosistem

Keragaman

tanaman

yang

sifatnya

permanen

di

dalam

agroekosistem

Kekuatan atau keutuhan manajemen

Perluasan agroekosistem
(dalam pengukuhan guru besar, Maryani Cyccu Tobing. 2000)

2.6 Dampak Manajemen Agroekosistem Terhadap Kualitas dan Kesehatan Tanah


Pengelolaan pertanian secara intensif dengan mengandalkan masukan/input
bahan-bahan kimia baik untuk pupuk maupun pestisidanya, contohnya yaitu sistem
Revolusi Hijau yang pernah diterapkan di Indonesia. Walaupun Revolusi hijau
tersebut membawa Indonesia ke swasembada pangan pada era Orde baru, namun
dilihat dari keberlanjutan produktivitas lahannya sangat tidak baik, dengan adanya
input-input kimiawi yang berlebihan mengakibatkan kesuburan tanah mulai menurun
dan banyak permasalahan lainnya. Diantaranya yaitu:
1. Dari Segi Kimia Tanah
a. Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman
dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan

kembali. Sumber primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang
merupakan bagian mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan
buah yang gugur dan tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh
ataupun telah sebagian mengalami pelapukan. Dalam pengelolaan bahan
organik tanah, sumbernya juga bisa berasal dari pemberian pupuk organik
berupa pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos, serta pupuk hayati
(inokulan).Pada sistem pertanian yang diolah secara intensif dengan
menerapkan sistem monokulttur biasanya jumlah bahan organiknya sedikit
karena tidak ada atau minimnya seresah di permukaan lahan, selain itu input
bahan organik yang berasal dari pupuk organic baik pupuk kandang atau
pupuk hijau minim karena lebih menekankan penggunaan input kimia. Dari
hal tersebut dapat diindikasikan pertanian tanpa penerapan tambahan bahan
organik pada lahan pertanain intensif merupakan pengelolaan agroekosistem
yang tidak sehat.
b) pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun
pH tanah pada sistem pertanian intensif biasanya agak masam karena
seringnya penggunaan pupuk anorganik seperti Urea yang diaplikasikan secara
terus-menerus untuk menunjang ketersediaan unsure hara dalam tanah. Tanah
bersifat asam dapat pula disebabkan karena berkurangnya kation Kalsium,
Magnesium, Kalium dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air
kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman.
pH tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun
bagi tanaman. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur alumunium yang selain
bersifat racun juga mengikat phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman.
Pada tanah asam unsur-unsur mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan
unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya
juga menjadi racun bagi tanaman.
Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu agroekosistem
maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian maka pemilihan jenis

tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman yang diusahakan sesuai


dan mampu bertahan dengan pH tertentu.
c) Ketersediaan Unsur Hara
Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses pertumbuhan dan
perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain : Bahan organik,
mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian pupuk kimia.
Pada lahan dengan pengolahan secara intensif sumber unsur haranya berasal
dari input-input kimiawi berupa pupuk anorganik, petani kurang menerapkan
tambahan bahan organic seperti aplikasi pupuk kandang dan seresah dari tanaman
yang diusahkan., sehingga petani sangat berketergantungan dengan pupuk kimia,
padahal penggunaan pupuk kimia berlebihan dapat menyebabkan kesuburan tanah
menurun. Terkadang nampak gejala defisiensi unsur hara pada tanaman yang
diusahakan dan petani mengatasinya dengan aplikasi pupuk kimia yang banyak
mengandung unsure hara yang kurang tadi, misalnya tanaman kekurangan unsure
N maka petani mengaplikasikan pupuk urea sebagai penunjang ketersediaan
unsure N yang kurang tadi, begitupula dengan unsure-unsur lainnya.
2. Dari Segi Fisika Tanah
a. Kondisi kepadatan tanah
Widiarto

(2008)

menyatakan

bahwa,

Bahan

organik

dapat

menurunkan BI dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu merupakan
tanah yang memiliki bahan organik tanah sedang sampai tinggi. Selain itu,
Nilai BI untuk tekstur berpasir antara 1,5 1,8 g / m 3, Nilai BI untuk tekstur
berlempung antara 1,3 1,6 g / m3 dan Nilai BI untuk tekstur berliat antara
1,1 1,4 g / m3 merupakan nilai BI yang dijumpai pada tanah yang masih
alami atau tanah yang tidak mengalami pemadatan. Bobot isi tanah di lahan
dengan pengolahan intensif biasanya memiliki nilai BI tinggi karena tanah
telah mengalami pemadatan akibat penggunaan alat-alat berat untuk
pengolahan tanahnya. Sedangkan untuk nilai BJ tanah, menurut literature
(Anonymous, 2010) menyatakan bahwa, Pada tanah secara umum nilainya

BJ antara 2,6 2,7 g.cm-3, bila semakin banyak kandungan BO, nilai BJ
semakin kecil. Pada lahan dengan pengolahan intensif memiliki BJ bisa
lebih dari 2,6 apabila pemadatan tanah yang terjadi amat tinggi. Apabila nilai
BJ terlalu tinggi juga berpengaruh terhadap penentuan laju sedimentasi serta
pergerakan partikel oleh air dan angin.
b)

Kedalaman efektif tanah

Gambar 13. Kedalaman Efektif Tanah


Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh
akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar kasar,
serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak dijumpai
akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan kedalaman solum
tanah (Hardjowigeno, 2007).
Pada lahan dengan sistem pengolahan intensif terkadang memiliki sebaran
perakaran yang cukup tinggi karena tanaman yang diusahakan dalam kurun waktu
yang lama hanya satu komoditi saja.
c) Erosi Tanah
Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat
lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah
dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi
tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik

untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya


kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
Di lahan pertanian dengan pengolahan intensif, khususnya praktek
penebangan hutan untuk pembukaan lahan baru memiliki tingkat kerusakan
lingkungan yang amat tinggi. Pembukaan hutan tersebut merupakan tindakan
eksploitasi lahan yang berlebihan, perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah
berdampak pada keberlangsungan hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi
tersebut diatas terus berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan
akan bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah daerah
aliran sungai (DAS). Kerusakan ini dapat berupa degradasi lapisan tanah (erosi),
kesuburan tanah, longsor dan sedimentasi yang tinggi dalam sungai, bencana banjir,
disribusi dan jumlah atau kualitas aliran air sungai akan menurun.
Dengan vegetasi yang hanya satu macam pada satu areal lahan menyebabkan
tidak adanya tutupan lahan lain sehingga tidak dapat melindungi tanah dari daya
pukul air hujan secara langsung ke tanah, hal tersebut mengakibatkan laju erosi
cenderung tinggi.
3. Dari Segi Biologi Tanah
a. Keanekaragaman biota dan fauna tanah, ditunjukkan dengan adanya kascing
Biota tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam tanah,
sehingga dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan produktivitas
lahan. Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui
perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologis tanah. Kascing (pupuk organik bekas cacing
atau campuran bahan organik sisa makanan cacing dan kotoran cacing) mempunyai
kadar hara N, P dan K 2,5 kali kadar hara bahan organik semula, serta meningkatkan
porositas tanah (pori total dan pori drainase cepat meningkat 1,15 kali).

Gambar 14.

Organisme dalam Tanah

Cacing jenis penggali tanah yang hidup aktif dalam tanah, walaupun
makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar
yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam
mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan
meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam
tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C)
dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).
Pada lahan dengan pengolahan intensif, jarang terdapat seresah pada lahan
tersebut sehingga keberadaan biota tanah seperti cacing tanah sedikit, padahal
aktifitas cacing tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah,
seperti meningkatkan kandungan unsur hara, mendekomposisikan bahan organik
tanah, merangsang granulasi tanah dan sebagainya.
Untuk menggunakan lahan pada daerah hulu secara rasional maka diperlukan
sistem penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi, produktif dan
pemanfatan teknologi yang ramah lingkungan. Dengan demikian akan mewujudkan
sistem pertanian yang tangguh dan secara menyeluruh menciptakan pengelolaan
sumberdaya alam dalam suatu agroekosistem berkelanjutan.
Deskripsi tersebut menggambarkan kerusakan tanah akibat pemakaian bahan
kimia yang intensif. Untuk itu perlu suatu manajemen untuk mengelola
agroekosistem untuk memperbaiki kualitas tanah. Sehingga bisa mencapai
agroekosistem yang berkelanjutan.
Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan
secara langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan

pangan dan atau sandang. Karakteristik esensial dari suatu agroekosistem terdiri dari
empat sifat utama yaitu produktivitas (productivity), kestabilan (stability),
keberlanjutan (sustainability) dan kemerataan (equitability). Dengan menggunakan
manajemen agroekosistem

2.7 Kriteria Indicator dalam Pengelolaan Agroekosistem yang Sehat dan Berkelanjutan
a. Kimia Tanah

Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang
yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Sumber
primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang merupakan bagian
mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan
tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian
mengalami pelapukan. Dalam pengelolaan bahan organik tanah, sumbernya juga
bisa berasal dari pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang, pupuk hijau
dan kompos, serta pupuk hayati (inokulan). Bahan organic tersebut berperan
langsung terhadap perbaikan sifat-sifat tanah baik dari segi kimia, fisika maupun
biologinya, diantaranya : Memengaruhi warna tanah menjadi coklat-hitam,
Memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah, Meningkatkan daya tanah
menahan air sehingga drainase tidak berlebihan, kelembapan dan tempratur tanah
menjadi stabil, Sumber energi dan hara bagi jasad biologis tanah terutama
heterotrofik. Tanah yang sehat memiliki kandungan bahan organik tinggi, sekitar
5%. Sedangkan tanah yang tidak sehat memiliki kandungan bahan organik yang
rendah.

pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun. Tanah bersifat asam
dapat pula disebabkan karena berkurangnya kation Kalsium, Magnesium, Kalium
dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang
lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman. pH tanah juga menunjukkan
keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah asam
banyak ditemukan unsur alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat
phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsur-

unsur mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn,
Mn dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun bagi
tanaman. Tetapi dengan pH yang agak masam belum tentu kebutuhan tanaman
terhadap pH tanah tidak cocok karena itu tergantung dari komoditas tanaman
budidaya yang dibudidayakan. Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda
dalam suatu agroekosistem maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian
maka pemilihan jenis tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman
yang diusahakan sesuai dan mampu bertahan dengan pH tertentu.

Ketersediaan Unsur Hara, Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses
pertumbuhan dan perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain :
Bahan organik, mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan
pemberian pupuk kimia.

b. Fisika Tanah

Kondisi kepadatan tanah, Widiarto (2008) menyatakan bahwa, Bahan organik


dapat menurunkan BI dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu
merupakan tanah yang memiliki bahan organik tanah sedang sampai tinggi. Selain
itu, Nilai BI untuk tekstur berpasir antara 1,5 1,8 g / m3, Nilai BI untuk tekstur
berlempung antara 1,3 1,6 g / m3 dan Nilai BI untuk tekstur berliat antara 1,1
1,4 g / m3 merupakan nilai BI yang dijumpai pada tanah yang masih alami atau
tanah yang tidak mengalami pemadatan. Sedangkan untuk nilai BJ tanah,
menurut literature (Anonymous, 2012) menyatakan bahwa, Pada tanah secara
umum nilainya BJ antara 2,6 2,7 g.cm-3, bila semakin banyak kandungan BO,
nilai BJ semakin kecil.

Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh
akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar
kasar, serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak
dijumpai akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan
kedalaman solum tanah (Hardjowigeno, 2007).

Erosi Tanah adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke
tempat lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi

penutup tanah dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi
tanah. Erosi tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang
subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan
terjadinya kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
c. Biologi Tanah

Keanekaragaman biota dan fauna tanah, ditunjukkan dengan adanya kascing Biota
tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam tanah, sehingga
dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan produktivitas lahan.
Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui
perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologis tanah. Kascing (pupuk organik bekas
cacing atau campuran bahan organik sisa makanan cacing dan kotoran cacing)
mempunyai kadar hara N, P dan K 2,5 kali kadar hara bahan organik semula, serta
meningkatkan porositas tanah (pori total dan pori drainase cepat meningkat 1,15
kali). Cacing jenis penggali tanah yang hidup aktif dalam tanah, walaupun
makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akarakar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam
mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan
meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya
dalam tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan
karbon (C) dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).

Anda mungkin juga menyukai