TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agroekosistem Lahan Basah
Lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh
dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu
sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk
rawa bakau), payau, dan gambut. Akan tetapi dalam pertanian dibatasi
agroekologinya sehingga lahan basah dapat di definisikan sebagai lahan sawah.
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik
terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Segala
macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Selain itu padi sawah
juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam dibandingkan
dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat tanah sawah
sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya.
sebagai wilayah atau kawasan pertanian yang usaha taninya berbasis komoditas lahan
kering selain padi sawah. Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan
dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan
tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Pada umumnya istilah yang digunakan
untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegalan, tadah hujan dan
huma. Potensi pemanfaatan lahan kering biasanya untuk komoditas pangan seperti
jagung, padi gogo, kedelai, sorghum, dan palawija lainnya. Untuk pengembangan
Gambar 3. Tanah
Indikator kualitas tanah adalah sifat, karakteristik atau proses fisika, kimia
dan biologi tanah yang dapat menggambarkan kondisi tanah (SQI, 2001). Menurut
Doran & Parkin (1994), indikator-indikator kualitas tanah harus :
(1) menunjukkan proses-proses yang terjadi dalam ekosistem,
(2) memadukan sifat fisika tanah, kimia tanah dan proses biologi tanah,
(3) dapat diterima oleh banyak pengguna dan dapat diterapkan di berbagai
kondisi lahan,
(4) peka terhadap berbagai keragaman pengelolaan tanah dan perubahan iklim,
dan
(5) apabila mungkin, sifat tersebut merupakan komponen yang biasa diamati
pada data dasar tanah.
Karlen et al. (1996) mengusulkan bahwa pemilihan indikator kualitas tanah
harus mencerminkan kapasitas tanah untuk menjalankan fungsinya yaitu:
1. Melestarikan aktivitas, diversitas dan produktivitas biologis
2. Mengatur dan mengarahkan aliran air dan zat terlarutnya
3. Menyaring, menyangga, merombak, mendetoksifikasi bahan-bahan anorganik
dan organik, meliputi limbah industri dan rumah tangga serta curahan dari
atmosfer.
4. Menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur lain dalam biosfer.
5. Mendukung struktur sosial ekonomi dan melindungi peninggalan arkeologis
terkait dengan permukiman manusia.
2.4 Hama dan Penyakit Penting Tanaman pada Agroekosistem yang diamati Gejala
dan Tanda
(Pracaya, 2008)
Hama Penting Tanaman
o Lalat Kacang (Agromyza phaseoli)
Serangan disebabkan oleh lalat Agromyza phaseoli yang termasuk ke
dalam famili agromyzidae. Lalat betina mempunyai panjang tubuh sekitar
2,2 mm, sedangkan yang jantan hanya 1,9 mm. Satu ekor lalat betina dapat
memproduksi telur sampai 95 butir. Telur dilatakkan pada keping-keping
biji yang baru berkecambah, dekat dengan munculnya daun pertama.
40 hari. Selain menyerang buncis, ulat ini juga merusak tanaman kedelai,
kacang panjang, orok-orok, dan lain-lain.
Dari uraian diatas jelas bahwa terdapat organisme yang berperan positif
terhadap tanaman yang dibudidayakan (produksi pertanian), dan ada juga yang
berperan negatif terhadap tanaman yang dibudidayakan. Musuh alami (predator,
parasitoid dan patogen) dapat berperan positif dalam pertanian yaitu sebagai berikut:
1. Dapat mengendalikan organisme penggangu yang berupa hama dan gulma.
Dimana setiap jenis hama dikendalikan oleh kompleks musuh alami yang
meliputi predator, parasitoid dan patogen hama. Dibandingkan dengan
memakai pestisida yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan dan lingkungan hidup (Untung, 2006)
2. Apabila musuh alami mampu berperan sebagai pemangsa secara optimal
sejak awal, maka populasi hama dapat berada pada tingkat equilibrium
positif atau flukstuasi populasi hama dan musuh lamia menjadi seimbang
shingga
tidak
akan
terjadi
ledakan
hama
(Oneil,et.al.
dalam
Maredia,et.al.2003)
3. Pengelolaan ekosistem pertanian dengan perpaduan optimal teknik-teknik
pengendalian hama dan meminimalkan penggunaan pestisida sintetis yang
berspektrum luas (Untung,1993).
4. Pembatas dan pengatur populasi hama yang efektif karena sifat
pengaturannya bergantung pada kepadatan (density dependent), sehingga
mampu mempertahankan populasi hama pada keseimbangan umum
(general equilibrium position) dan tidak menimbulkan kerusakan pada
tanaman. Keberadaan musuh alami dapat meningkatkan keanekaragaman
hayati, sehingga tercipta keseimbangan ekosistem (ecosystem balance)
(Prof.Dr.H. Ishak Manti, 2012).
5. Musuh alami sebagai salah satu komponen ekosistem berperan penting
dalam
proses
interaksi
intra-
dan
inter-spesies.
Karena
tingkat
dapat meningkatkan
meningkatkan
keanekaragaman
hayati
dalam
agroekosistem,
Keragaman
tanaman
yang
sifatnya
permanen
di
dalam
agroekosistem
Perluasan agroekosistem
(dalam pengukuhan guru besar, Maryani Cyccu Tobing. 2000)
kembali. Sumber primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang
merupakan bagian mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan
buah yang gugur dan tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh
ataupun telah sebagian mengalami pelapukan. Dalam pengelolaan bahan
organik tanah, sumbernya juga bisa berasal dari pemberian pupuk organik
berupa pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos, serta pupuk hayati
(inokulan).Pada sistem pertanian yang diolah secara intensif dengan
menerapkan sistem monokulttur biasanya jumlah bahan organiknya sedikit
karena tidak ada atau minimnya seresah di permukaan lahan, selain itu input
bahan organik yang berasal dari pupuk organic baik pupuk kandang atau
pupuk hijau minim karena lebih menekankan penggunaan input kimia. Dari
hal tersebut dapat diindikasikan pertanian tanpa penerapan tambahan bahan
organik pada lahan pertanain intensif merupakan pengelolaan agroekosistem
yang tidak sehat.
b) pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun
pH tanah pada sistem pertanian intensif biasanya agak masam karena
seringnya penggunaan pupuk anorganik seperti Urea yang diaplikasikan secara
terus-menerus untuk menunjang ketersediaan unsure hara dalam tanah. Tanah
bersifat asam dapat pula disebabkan karena berkurangnya kation Kalsium,
Magnesium, Kalium dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air
kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman.
pH tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun
bagi tanaman. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur alumunium yang selain
bersifat racun juga mengikat phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman.
Pada tanah asam unsur-unsur mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan
unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya
juga menjadi racun bagi tanaman.
Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu agroekosistem
maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian maka pemilihan jenis
(2008)
menyatakan
bahwa,
Bahan
organik
dapat
menurunkan BI dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu merupakan
tanah yang memiliki bahan organik tanah sedang sampai tinggi. Selain itu,
Nilai BI untuk tekstur berpasir antara 1,5 1,8 g / m 3, Nilai BI untuk tekstur
berlempung antara 1,3 1,6 g / m3 dan Nilai BI untuk tekstur berliat antara
1,1 1,4 g / m3 merupakan nilai BI yang dijumpai pada tanah yang masih
alami atau tanah yang tidak mengalami pemadatan. Bobot isi tanah di lahan
dengan pengolahan intensif biasanya memiliki nilai BI tinggi karena tanah
telah mengalami pemadatan akibat penggunaan alat-alat berat untuk
pengolahan tanahnya. Sedangkan untuk nilai BJ tanah, menurut literature
(Anonymous, 2010) menyatakan bahwa, Pada tanah secara umum nilainya
BJ antara 2,6 2,7 g.cm-3, bila semakin banyak kandungan BO, nilai BJ
semakin kecil. Pada lahan dengan pengolahan intensif memiliki BJ bisa
lebih dari 2,6 apabila pemadatan tanah yang terjadi amat tinggi. Apabila nilai
BJ terlalu tinggi juga berpengaruh terhadap penentuan laju sedimentasi serta
pergerakan partikel oleh air dan angin.
b)
Gambar 14.
Cacing jenis penggali tanah yang hidup aktif dalam tanah, walaupun
makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar
yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam
mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan
meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam
tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C)
dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).
Pada lahan dengan pengolahan intensif, jarang terdapat seresah pada lahan
tersebut sehingga keberadaan biota tanah seperti cacing tanah sedikit, padahal
aktifitas cacing tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah,
seperti meningkatkan kandungan unsur hara, mendekomposisikan bahan organik
tanah, merangsang granulasi tanah dan sebagainya.
Untuk menggunakan lahan pada daerah hulu secara rasional maka diperlukan
sistem penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi, produktif dan
pemanfatan teknologi yang ramah lingkungan. Dengan demikian akan mewujudkan
sistem pertanian yang tangguh dan secara menyeluruh menciptakan pengelolaan
sumberdaya alam dalam suatu agroekosistem berkelanjutan.
Deskripsi tersebut menggambarkan kerusakan tanah akibat pemakaian bahan
kimia yang intensif. Untuk itu perlu suatu manajemen untuk mengelola
agroekosistem untuk memperbaiki kualitas tanah. Sehingga bisa mencapai
agroekosistem yang berkelanjutan.
Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan
secara langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan
pangan dan atau sandang. Karakteristik esensial dari suatu agroekosistem terdiri dari
empat sifat utama yaitu produktivitas (productivity), kestabilan (stability),
keberlanjutan (sustainability) dan kemerataan (equitability). Dengan menggunakan
manajemen agroekosistem
2.7 Kriteria Indicator dalam Pengelolaan Agroekosistem yang Sehat dan Berkelanjutan
a. Kimia Tanah
Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang
yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Sumber
primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang merupakan bagian
mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan
tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian
mengalami pelapukan. Dalam pengelolaan bahan organik tanah, sumbernya juga
bisa berasal dari pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang, pupuk hijau
dan kompos, serta pupuk hayati (inokulan). Bahan organic tersebut berperan
langsung terhadap perbaikan sifat-sifat tanah baik dari segi kimia, fisika maupun
biologinya, diantaranya : Memengaruhi warna tanah menjadi coklat-hitam,
Memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah, Meningkatkan daya tanah
menahan air sehingga drainase tidak berlebihan, kelembapan dan tempratur tanah
menjadi stabil, Sumber energi dan hara bagi jasad biologis tanah terutama
heterotrofik. Tanah yang sehat memiliki kandungan bahan organik tinggi, sekitar
5%. Sedangkan tanah yang tidak sehat memiliki kandungan bahan organik yang
rendah.
pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun. Tanah bersifat asam
dapat pula disebabkan karena berkurangnya kation Kalsium, Magnesium, Kalium
dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang
lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman. pH tanah juga menunjukkan
keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah asam
banyak ditemukan unsur alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat
phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsur-
unsur mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn,
Mn dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun bagi
tanaman. Tetapi dengan pH yang agak masam belum tentu kebutuhan tanaman
terhadap pH tanah tidak cocok karena itu tergantung dari komoditas tanaman
budidaya yang dibudidayakan. Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda
dalam suatu agroekosistem maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian
maka pemilihan jenis tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman
yang diusahakan sesuai dan mampu bertahan dengan pH tertentu.
Ketersediaan Unsur Hara, Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses
pertumbuhan dan perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain :
Bahan organik, mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan
pemberian pupuk kimia.
b. Fisika Tanah
Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh
akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar
kasar, serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak
dijumpai akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan
kedalaman solum tanah (Hardjowigeno, 2007).
Erosi Tanah adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke
tempat lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi
penutup tanah dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi
tanah. Erosi tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang
subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan
terjadinya kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
c. Biologi Tanah
Keanekaragaman biota dan fauna tanah, ditunjukkan dengan adanya kascing Biota
tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam tanah, sehingga
dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan produktivitas lahan.
Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui
perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologis tanah. Kascing (pupuk organik bekas
cacing atau campuran bahan organik sisa makanan cacing dan kotoran cacing)
mempunyai kadar hara N, P dan K 2,5 kali kadar hara bahan organik semula, serta
meningkatkan porositas tanah (pori total dan pori drainase cepat meningkat 1,15
kali). Cacing jenis penggali tanah yang hidup aktif dalam tanah, walaupun
makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akarakar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam
mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan
meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya
dalam tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan
karbon (C) dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).