Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KARYA ILMIAH

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN


“STUDI KASUS KERUSAKAN LAHAN AKIBAT EROSI TANAH DAN LANGKAH-
LANGKAH TEKNIS PENANGGULANGANNYA”

Disusun oleh:
Shafa Salsabilaa Zahirah
185040200111038
L

Dosen Pengampu
Prof.Dr.Ir Dr. Zaenal Kusuma, SU

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI .................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 3
BAB II ANALISIS KASUS WILAYAH SUMBERJAYA LAMPUNG ................................. 5
BAB III REKOMENDASI STRATEGI KONSERVASI AIR DAN TANAH....................... 10
BAB IV PENUTUP ...................................................................................................... 22
4.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 22
4.2 Saran ................................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 23

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia sebagai akibat dari pertambahan


penduduk, kebutuhan lahan untuk pertanian bertambah. Pada sisi lain lahan yang cocok
untuk pertanian sudah sangat berkurang. Sebagai akibatnya, penduduk terpaksa
menggunakan lahan yang kurang. sesuai untuk pertanian, misalnya lereng yang curam.
Hal ini menyebabkan tanah tersebut dengan mudah terkikis dan terangkut air hujan yang
disebut dengan erosi. Contohnya, pada lahan sumberjaya yang terletak di Lampung
pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Besay dan daerah hulu DAS Tulangbawang.
Sumberjaya memiliki luas 54,194 ha yang termasuk DASnya. Provinsi Lampung memiliki
luas 35.376,50 km² dan terletak di antara 105°45′-103°48′ BT dan 3°45′-6°45′ LS. Daerah
ini di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda dan di sebelah timur dengan Laut
Jawa. Beberapa pulau termasuk dalam wilayah Provinsi Lampung, yang sebagian besar
terletak di Teluk Lampung, di antaranya: Pulau Darot, Pulau Legundi, Pulau Tegal, Pulau
Sebuku, Pulau Ketagian, Pulau Sebesi, Pulau Poahawang, Pulau Krakatau, Pulau Putus
dan Pulau Tabuan. Ada juga Pulau Tampang dan Pulau Pisang di yang masuk ke
wilayah Kabupaten Lampung Barat. Lampung terdiri dari daerha yang berbukit sampai
bergunung dengan memiliki kemiringan lebih dari 500 mdpl. Pada daaerah berombak
sampai bergelombang memiliki kemiringan lereng sekitar 8%-15% dan memiliki
ketinggian sekitar 300-500 mdpl. Daerah dataran alluvial memiliki kemiringan lereng
sekitar 0%-3% dan memiliki ketinggian 25-75 mdpl. Daerah dataran rawa pasang surut
dan daerah river basin memiliki ketinggian 0,1-1 mdpl dengan kemiringan lereng kurang
dari 15%.

Provinsi lampung memiliki berbagai macam wilayah yaitu lampung bagian barat,
lampung bagian selatan, lampung bagian utara dan bagian lampung bagian tengah.
Berdasarkan data BPS Kota Bandar Lampung, (2019) menjelaskan bahwa saat ini
penduduk kota lampung sekitar 1,051,500 jiwa. Kepadatan penduduk yang terjadi
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dan deforestasi. Konversi lahan menjadi
sistem tanam kopi terbuka secara monokultur menjadi permasalahan pada daerah
sumberjaya di lampung. Hal ini mengakibatkan menurunnya ketersediaan air di hilir
sungai dan hilangnya fungsi perlindungan DAS. Konservasi lahan hutan menjadi
penggunaan lain menyadarkan banyak pihak bahwa akan menimbulkan beberapa
masalah lingkungan seperti hilangnya fungsi jasa lingkungan dari hutan yaitu pengatur
tata air, pengatur iklim, pengatur keseimbangan hama dan pengatur dalam proses
pembuahan tanaman.

Alih guna lahan hutan merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari hari. Alih guna lahan hutan menjadi lahan usahatani berbasis kopi menjadu
perhatian bagi masyarakat dan pemerintah yang bertanggung jawab atas kebijakan di
lampung. Pemerintah setemat mengkhawatirkan dapat menimbulkan dampak serius
terhadap kerusakan fungsi hutan, terjadinya penurunan produktivitas tanah dan terjadi
degradasi lahan karena ketika hutan ini menjadi sebuah lahan kopi maka itu akan
berpengaruh terhadap perubahan kualitas tanah berdasarkan ketahanan tanah. Selain
itu, tanaman kopi ini dilakukan secara sistem tanam monokultur yang juga
mempengaruhi dari kualitas dan kesuburan tanah. Ketika ditanam secara monokultur
maka akar yang ada didalam tanah cuman satu jenis sehingga tidak akan kuat saat
terjadinya erosi atau bisa dikatakan tidak dapat menahan erosi.

3
Gambar 1. Peta Administrasi Lampung Barat

Gambar diatas menjelaskan bahwa sumberjaya terletak di provinsi lampung bagian


barat. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 256/Kpts-II/2000 tanggal
23 Agustus 2000, luas hutan di Provinsi Lampung seluas 1.004.735 ha atau 30,43% dari
total luas daratan Provinsi Lampung yang terdiri dari hutan konservasi 462.030 ha
(13,99%), hutan lindung 317.615 ha (9,62%), hutan produksi 33.358 ha (1.01%), dan
hutan produksi tetap seluas 191.732 ha (5,81%) Namun, kondisi saat ini di lahan
Sumberjaya Lampung telah mengalami degradasi lahan karena terbukanya lahan kopi
monokultur yang menyebabkan berkurangnya atau tidak ada sama sekali vegetasi yang
menutup permukaan tanah. Berkurangnya tutupan lahan dapat memperbesar dampak
erosi yang ada di lapang. Pada saat hujan turun, air akan langsung jatuh mengenai tanah
dan dengan besarnya energi yang ada pada butiran air hujan, partikel tanah dapat
terlepar sehingga lapisan tanah bagian atas akan berkurang dan hilang. Tingkat curah
hujan yang tinggi dapat memperbesar laju erosi yang ada. Terlebih jika pada lahan yang
miring, tentunya akan memperbesar dampak dari erosi yang terjadi. Menurut Tarigan
(2013) hujan yang jatuh ke permukaan tanah mempunyai energi yang dapat dibagi
menjadi dua, yaitu energi kinetik dan energi potensial. Energi kinetik merupakan energi
yang terjadi ketika hujan jatuh ke permukaan tanah dengan kecepatan dan butir hujan
tertentu sehingga dapat menghancurkan agregat-agregat tanah. Tarigan (2013) juga
menyebutkan bahwa erosi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti iklim, topografi,
vegetasi, tanah dan manusia.

4
BAB II
ANALISIS KASUS WILAYAH SUMBERJAYA LAMPUNG

Masalah yang terjadi di lahan Sumberjaya pada yang terletak pada Lampung Barat
adanya pembukaan hutan menjadi lahan perkebunan kopi monokultur sehingga
mengalami degradasi lahan karena menurunnya bahkan tidak adanya vegetasi yang
sebagai tutupan lahan di permukaan tanah dan melakukan pengolahan tanah secara
intensif mengakibatkan terjadinya erosi. Menurut Verbist et al. (2004) deforestasi dan
diikuti dengan konversi lahan menjadi sistem tanam kopi terbuka (clean weeding) dari
aspek lingkungan dipandang tidak berkelanjutan dan dianggap sebagai faktor utama
menurunnya ketersediaan air di hilir sungai dan hilangnya fungsi perlindungan DAS
termasuk fungsi sebagai pencegah/penahan erosi. Dalam jangka waktu yang panjang
akan meningkatkan lahan kiritis apabila tidak dilakukannya konservasi pada lahan yang
sudah terlanjur di buka. Kerusakan lingkungan atau kerusakan ekosistem ini
menyebabkan aspek selain dari lingkungan juga mengalami pencemaran hingga
kerusakan seperti ekonomi pada daerah tersebut akan mengalami penurunan selain itu
dari sisi sosial dan budaya masyarakat akan menurun juga. Degradasi lahan dapat
terjadi di daerah hutan, lahan pertanian maupun pertambangan. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan degradasi lahan yaitu seperti terjadinya erosi, longsor, kebakaran
hutan, pencemaran agrokimia, adanya limbah dan lain lain.

Gambar 2. Skema Perumusan Masalah

Pada gambar diatas menjelaskan dari skema perumusan masalah yang terjadi
di sumberjaya lampung ini. Faktor faktor yang memepengaruhi terjadinya degradasi
lahan di Sumberjaya Lampung meliputi faktor manusia yaitu ada pemerintah dan para
petani, faktor lahan dan faktor proses. Kepadatan penduduk yang terjadi di lampung
mengharuskan masyarakat melakukan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian
untuk memenuhi kebutuhan sehari hari dan kelangsungan hidup masyarakat. Karena
menurut mereka keberadaan hutan kurang memiliki manfaat untuk bertahan hidup.
Sehingga terjadinya konflik kepentingan antara kelestarian sumberdaya alam dengan
kebutuhan ekonomi yang terjadi di Kecamatan Sumberjaya, Lampung.

5
Pada awal mulanya, provinsi lampung memang sudah menjadi gerbang bagi
pergerakan penduduk jawa-sumatra selama berabad abad atau yang biasa kita sebut
adalah transmigrasi. Pemerintah belanda memindahkan penduduk dari pulau jawa ke
lampung pada awal abad ke 20 dengan jumlah mencapai 38 juta jiwa sehingga pada
tahun 1986, pemerintah provinsi lampung memberitahukan bahwa wilayah derah
provinsi lampung sudah tidak dapat menampung para transimgran. Tidak ada halangan
bagi masuknya pendatang walupun wilayah provinsi lampung ditutup. Selama 50 tahun
terakhir, wilayah Lampung seluas 33,000 km2 telah mengalami perubahan pemanfaatan
lahan akibat pembangunan. Sementara itu, jumlah penduduk mengalami peningkatan
lebih dari 10 kali lipat, yaitu dari 376,000 jiwa di tahun 1930 (Benoit, et al.,1996) menjadi
lebih dari 6,7 juta jiwa di tahun 2001 (BPS Propinsi Lampung, 2001). Mayoritas dari
pendatang menetap di daerah berbukit serta lereng gunung yang tanahnya cocok untuk
pertanaman kopi.

Gambar 3. Kondisi Degradasi Lahan Sumberjaya Lampung

Pada gambar diatas menjelaskan bahwa kondisi saat lahan Sumberjaya Lampung
telah mengalami degradasi lahan yang awalnya wilayah tersebut merupakan hutan.
Namun dilakukannya alih fungsi hutan menjadi kebun kopi yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan seperti gambar diatas. Wilayah sumberjaya pada tahun 100 tahun
yang lalu adalah hutan belantara. Perkembangan penduduk yang terus meningkat akibat
dari program transmigrasi. Cepatnya laju deforestasi menjadi kebun kopi setelah tahun
1976, terjadinya pembukaan hutan menjadi lahan atau kebun kopi terutama pada
wilayah sumberjaya ini. Hutan menjadi terbuka menyebabkan berbagai macam
kerusakan lingkungan yang terjadi seperti terdegrdasinya lahan akibat dari adanya
banjir, longsor, erosi, kebaran hutan dan lain lain. Degradasi lahan pada hutan bisa
terjadi karena memang faktor alami dan ulah tangan manusia. Degradasi secara alami
tidak akan mengalami penurunan kualitas tanah dan tidak akan bergesernya
keseimbangan hutan. Lain kal ketika degradasi karena ulah manusia itu akan
menyebabkan penurunan kualitas tanah sehingga deforestrasi pasti terjadi. Faktor
penyebab dari degradasi hutan yaitu erosi dimana terjadinya pengikisan lapisan
permukaan tanah akibat adanya limpasan dari air hujan. Kemudian, terjadinya longsor

6
di hutan secara amali yaitu kemiringan lereng yang tajam, komposisi mineralogi, sistem
hidrologi, serta gempa bumi dan letusan gunung berapi. Longsor yang terjadi akan
memindahkan tanah dan material yang terkandung di dalamnya, sehingga lahan yang
mengalami longsor akan terdegradasi. Terakhir, kebakaran hutan berdampak pada
lingkunga dalam dan luar eskosistem yaitu seperti terganggunya keanekaragaman
hayati baik di atas pemukaan maupun di dalam tanah, penurunan kesuburan tanah
karena seresah dan bahan organuk yang tersedia di atas permukaan tanah ikut terbakar,
tanah mengalami kekeringan dan berpotensi terjadinya pemadatan di lapisan atas
permukaan tanah, terjadinya pencemaran pada kesehatan manusia dan ternak serta
terganggunya akibat adanya asap dari pembakaran hutan.

Penyebab masalah degradasi lahan yang terjadi di Sumberjaya Lampung memiliki 3


faktor yaitu manusia, lahan dan proses. Pada faktor manusia terdiri dari dua yaitu petani
dan pemerintah. Pada petani terjadinya pembinaan yang kurang menyebabkan
kelembagaan petani lemah sehingga tingkat kesadaran petani rendah. Adanya
keterbatasan anggaran karena masalah ini belum menjadi prioritas. Tutpan lahan yang
belum memenuhi yaitu mininal 400 batang pohon/hektar. Terhambatnya pemetaan dan
pengukuran lahan karena enggannya para petani untuk mengeluarkan biaya. Tanah
atau lahan bisa mengalami kerusakan, bahkan tanah termasuk wujud alam yang mudah
mengalami kerusakan. Salah satu contoh kerusakan tanah adalah erosi tanah. Erosi
tanah adalah tanah yang lapuk dan mudah mengalami penghancuran. Kerusakan yang
dialami pada tanah tempat erosi disebabkan oleh kemunduran sifat – sifat kimia dan fisik
tanah, yakni kehilangan unsur hara dan bahan organic, menurunnya kapasitas infiltrasi
dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi
tanah serta berkurangnya kemantapan struktur tanah yang pada akhirnya menyebabkan
memburuknya pertumbuhan tanaman dan menurunnya produktivitas.

Hal ini dikarenakan lapisan atas tanah setebal 15 sampai 30 cm mempunyai sifat–
sifat kimia dan fisik lebih baik dibandingkan lapisan lebih bawah. Banyaknya unsur hara
yang hilang bergantung pada besarnya kandungan unsur hara yang terbawa oleh
sedimen dan besarnya erosi yang terjadi. Di tempat lain, erosi menyebabkan hilangnya
lapisan atas tanah yang subur serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap
dan menahan air. Tanah yang terangkut tersebut diendapkan di tempat lain yaitu, di
dalam sungai, waduk, danau, saluran irigasi dan di atas tanah pertanian. Beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya erosi diantaranya adalah Iklim dapat
mempengaruhi erosi oleh karena menentukan indeks erosifitas hujan. Selain itu,
komponen iklim yaitu curah hujan dapat mempengaruhi laju erosifitas secara terus
menerus sesuai intensitas hujan yang terjadi, Sedangkan tanah dengan sifat-sifatnya itu
dapat menentukan besar kecilnya laju pengikisan (erosi) dan dinyatakan sebagai faktor
erodibilitas tanah (kepekaan tanah terhadap erosi atau ketahanan tanah terhadap
adanya erosi).Kemampuan tanah terbawa air erosi dipengaruhi oleh topografi suatu
wilayah. Kondisi wilayah yang dapat menghanyutkan tanah sebagai sedimen erosi
secara cepat adalah wilayah yang memiliki kemiringan lereng yang cukup besar.
Sedangkan pada wilayah yang landai akan kurang intensif laju erosifitasnya, karena
lebih cenderung untuk terjadi penggenangan. Tanaman penutup tanah (vegetasi)
berperan untuk menjaga agar tanah lebih aman dari percikan-percikan yang terjadi
akibat jatuhnya air hujan ke permukaan tanah. Selain melindungi dari timpaan titik-titik
hujan, vegetasi juga berfungsi untuk memperbaiki susunan tanah dengan bantuan akar-
akar yang menyebar. Manusia dapat berperan sebagai penyebab cepatnya laju erosi
maupun menekan laju erosi. Dalam proses mempercepat erosi, manusia banyak

7
melakukan kesalahan dalam pengelolaan lingkungan, seperti penambangan, eksploitasi
hutan, pengerukan tanah, dan lain sebagainya.
Para petani sumberjaya sudah memiliki pemahaman mengenai proses ekologi yang
berkaitan dengan erosi dan pengelolaan lahan dalam sistem pertanian berbasis kopi.
Solusi untuk mengatasi permasalahan ini bisa melakukan agroforestry pada lahan
tersebut agar mengatasi masalah erosi dan bisa juga dengan menerapkan prinsip
konservasi yaitu mengurangi enersei serta meningkatkan ketahanan tanah. Agroforestry
merupakan perpaduan antara tanaman tahunan dengan semusim hal ini akan
meningkatkan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan para petani dengan lingkungan yang lestari juga.
Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi matahari,
meminimalkan kehilangan unsur hara, mengoptimalkan efesiensi penggunaan air dan
meminimalkan runoff serta erosi.

Gambar 4. Sketsa Agroforestry


Gambar diatas merupakan gambaran dari sketsa agroforestry yang terletak di
daerah berlereng dengan kemiringna tertentu ;Menurut Young dalam Suprayogo el at.
(2003) ada empat keuntungan penerapan agroforestri, yaitu: memperbaiki kesuburan
tanah, menekan erosi, mencegah perkembangan hama dan penyakit, dan menekan
populasi gulma. Lebih lanjut dijelaskan, terhadap kesuburan tanah sistem agroforestri
berperan dalam hal mempertahankan kandungan bahan organik tanah, mengurangi
kehilangan hara ke lapisan lebih bawah, menambah hara N hasil penambatan N bebas
dan udara, memperbaiki sifat fisik tanah, dan adanya interaksi antara komponen
ekologis dan ekonomis. Widianto et al., (2004) mengemukakan bahwa dalam
pelaksanaan agroforestri sebagai pertanian berkelanjutan perlu memperhatikan
beberapa hal, yaitu: pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan lokasi dan kondisi
pertanian setempat, diversifikasi tanaman dan cara bertani yang dapat memperluas

8
stabilitas biologis dan ekonomis, pengelolaan tanah untuk memperluas dan menjaga
kualitas tanah, penggunaan input yang efisien dan ramah lingkungan, dan perhatian
terhadap tujuan dan cara hidup petani.
Dampak yang perlu kita ketahui dari degradasi lahan yang terjadi di Sumberjaya
pada daerah lampung barat akibat pembukaan hutan sehingga memicu terjadinta erosi.
Dampak bisa dibagi menjadi dua yaitu dampak terhadap kondisi tanaman yang ada
disekitar daerah tersebut dan kondisi kesehatan lingkungan pada daerah tersebut. Untuk
dampak dari kondisi kesehatan lingkungan sungguh sangat miris karena ini sangat
merusak lingkungan maupun ekosistem. dampak terhadap kondisi kesehatan
lingkungan diantara lain bertambahnya lahan lahan dengan rendahnya tingkat
kesuburan tanah, meningkatnya erosi tanah dan sedimentasi pada daerah sungai. Salah
satu erosi yang banyak terjadi adalah di daerah aliran sungai (DAS). Daerah aliran
sungai merupakan daerah yang dibatasi pada topografi tertentu sehingga proses
terjadinya hujan dan aliran air yang ada dipermukaan akan jatuh di dalam area DAS ini.
dengan memahami pengertian ini menunjukkan bahwa daerah aliran sungai merupakan
daerah yang mengalirkan air dalam jumlah yang cukup banyak yang mengangkut
berbagai materiall sedimen atau material yang larut dalam air. DAS ini juga bisa
dibedakan menjadi sub DAS atau DAS utama yang menjadi aliran utama pada beberapa
sub-sub DAS.
Adapun dampak dari permasalahan ini seperti pendangkalan. Tanah yang terangkut
air dalam aliran sungai ini akan mengendap atau berhenti pada beberapa tempat seperti
waduk, di dalam sungai itu sendiri, danau dan saluran air lainnya. hal ini akan membuat
pengendapan di dalam daerah tersebut sehingga bisa menyebakan pelumpuran dan
pendangkalan. Hal ini akan semakin diperparah dengan terangkutnya bahan organic
sehingga memungkinkan tumbuhnya organisme yang akan semakin mempercepat
terjadinya pendangkalan. Jika hal ini terjadi di dalam waduk sebagai penampung air
maka kapasitas waduk menampung air akan berkurang sehingga bisa menyebabkan air
meluap dan membanjiri daerah sekitar. Sehingga berdampak pada kesehatan
lingkungan dan mengganggu kualitas airnya. Erosi pada daerah sungai yang terjadi juga
bisa merusak vegetasi yang berada di atasnya. Hal ini lebih parah jika erosi dilakukan
karena unsur sengaja. Karena tidak ada vegetasi di atasnya akan membuat berbagai
unsur yang dibutuhkan untuk membuat air menjadi sehat sudah hilang. Hal ini akan
membuat kuaitas air menjadi menurun apalagi ditambah adanya penaikan kasus
pencemaran karena pembuangan limbah. Lahan pertanian pun menjadi dampaknya
akibat erosi. Sehingga dapat merusak lahan pertanian yang berada di daerah aliran
sungai. Bahaya erosi yang menimpa lahan-lahan pertanian serta penduduk sering terjadi
pada lahan-lahan yang memiliki kelerengan sekitar 15% atau lebih. Menurut Asdak
(2002), menyatakan bahwa bahaya ini disebabkan selain oleh perbuatan manusia yang
mementingkan pemuasan kebutuhan diri sendiri, juga dikarenakan pengelolaan tanah
dan pengairannya yang keliru. Oleh karena itu, kondisi erosi yanh terjadi di Sumberjaya
Lampung merusak tanaman yang ada disekitar lingkungan tersebut seperti tutupan
lahan yang seharusnya bisa untuk menahan erosi

9
BAB III
REKOMENDASI STRATEGI KONSERVASI AIR DAN TANAH

Konservasi tanah adalah satu bagian penting yang sering dilupakan oleh para
petani budidaya. Hal ini akan terjadi dampak degradasi tanah tidak selalu segera terlihat
di lapangan dan tidak secara langsung hasil panen turun secara drastis. Kerusakan
lingkungan akibat dari pengolahan lahan yang kurang peduli dengan kaidah konservasi
tanah dan air. cara pengelolaan konvensional yang mendorong terjadinya erosi dan
degradasi lahan dan umur tanaman yang semakin tua mengakibatkan produksi tanaman
cenderung terus menurun. Agar kerusakan sumberdaya lahan tidak berkelanjutan dan
produktivitas meningkat maka perlu adanya revolusi kebijakan khususnya terhadap
konservasi tanah dan air serta penerapan teknologinya. Konservasi tanah memiliki arti
sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan
kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat syarat yang
diperlukan agar tidak terjadinya kerusakan tanah. Konservasi air didefinisikan sebagai
penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian dengan seefisien mungkin
dan mengatur waktu pengaliran agar tidak terjadinya banjir yang dapat merusak tanah
dan tersedia air yang cukup pada musim kemarau tiba. Konservasi tanah dan air
mempunyai hubungan yang sangat erat. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang
tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat tersebut dan mempengaruhi ke tempat
tempat hilirnya.
Degradasi tanah terjadi terutama disebabkan oleh lemahnya penerapan teknik
konservasi tanah sehingga laju erosi meningkat. Degradasi tanah terjadi disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan teknik pertanian dalam hal pengendalian erosi, konservasi
tanah dan air, serta kurangnya perhatian masyarakat terhadap lingkungan. Dalam
menanggulangi berbagai permasalahan erosi lahan yang menimbulkan sedimentasi
pada sungai dan tetap menjamin tersedianya air yang cukup pada saat musim kering,
khususnya di daerah aliran sungai Sumberjaya Lampung, maka langkah yang paling
tepat adalah segera melaksanakan konsevasi lahan untuk melestarikan tanah dan air
(land and water conservation). Usaha yang bisa dilakukan dalam meningkatkan
konservasi tanah dan air adalah mengendalikan erosi dengan terasiring, mekanik,
vegetasi, reboisasi, dan pembuatan bangunan gully plug.
Teknologi konservasi merupakan suatu pengelolaan sumber daya lahan yang
menjamin pemanfaatannya, sehingga mutu dalam melestarikannya sangat perlu untuk
dipertahankan. Secara teknis dengan terjadinya degradasi lahan diperlukan upaya untuk
memulihkan suatu lahan khususnya pada kesuburan tanahnya. Namun diperlukan
sebuah komitmen dan kebijakan yang mendukung guna keberlangsungan konservasi
lahan. Dalam teknologi konservasi lahan perlu melakukan pemulihan kesuburan tanah
yang mana, tanah tersebut nantinya digunakan untuk tempat pertumbuhan suatu
tanaman. Pemulihan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pemetaan tanah yang
terbagi dalam tiga kategori degradasi, yakni rendah, sedang, dan tinggi, kemudian
dilakukan remediasi dengan berbagai teknik (termasuk mikroba). Perbaikan kesuburan
tanah dapat dilakukan, antara lain pemupukan dengan kuantitas tertentu, pada masing-
masing tanah yang terdegradasi menurut klasifikasi kerusakannya. Penggunaan pupuk
organik juga diusulkan untuk mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik.

10
Konservasi ini dibagi menjadi dua yaitu tanah dan air. Konservasi air dibagi
menjadi pada dua musim yaitu hujan dan kemarau. Ketika datangnya hujan maka akan
terjadi pelimpahan air yang menyebabkan terjadinya erosi, longsor dan banjir sehingga
kualitas air menurun dan saat kemarau datang ketersediaan air terbatas sehingga
mengalami kekeringan didaerah tersebut. Cara mengatasi hal tersebut yaitu dengan
melakukan pemanenan air hujan dan menggunakan sumberdaya air secara efisien dan
efektif.
Konservasi tanah dan air ini memiliki tiga tujuan yaitu untuk menjaga dan
memelihara agar tanah dan lahan tidak menjadi rusak untuk jangka waktu yang tak
terbatas, memperbaiki tanah dan lahan yang terlanjur rusak agar produktivitas menjadi
baik atau yang biasa kita sebut yaitu reklamasi, serta meningkatkan kualitas tanah dan
lahan akan produktivitas tanah dan lahan sesuai dengan peruntukan baik untuk ekologi,
ekonomi, sosial secara berkesinambungan. Langkah strategi untuk melakukan
konservasi tanah dan air ini ada dua yaitu mengurangi energi perusak tanah dan air
hujan dan meningkatkan ketahanan tanah agat tidak mudah dirusak oleh air hujan.
Langkah strategi ini dapat dilakukan melalui dua metode yaitu metode vegatatif dan
mekanisme.
Konservasi tanah dan air harus dilakukan secara terpadu dengan koordinator
yang jelas untuk menjamin kelestarian sumber daya alam terutama dalam upaya
konservasi air dan tanah bagi kesejahteraan masyarakat. Kelembagaan yang
menangani konservasi tanah dan air harus dilekatkan dengan fungsi, tugas dan
wewenang pada para pelaksanaanya di lapangan yang terkait secara struktural dengan
instansi yang berwenang karena kalau kaya dibentuk secara adhoc saja itu tidak relevan.
Lembaga harus tegas dalam menangani pelaksanaan konservasi tanah dan air. Diberi
sanksi apabila pelaksana ada yang tidak serius bekerja mulai dari tahapan pra survei,
rekonesen, semi detail, detail dan intensif. Peningkatan spesialisasi, profesionalisasi dan
koordinasi para individu pelaksana/instansi yang diberi tanggung jawab menangani
konservasi tanah dan air, masih perlu ditingkatkan dibarengi dengan kepedulian tinggi.
Pelaksanaan sanksi hukum yang tegas bagi para pelanggar ketentuan dari konvensi
tanah dan air serta perlu meningkatkan kreativitas petani dan dukungan dari para ahli
demi keberhasilan program penghijauan dan reboisasi sebagai bentuk kontribusi dan
komunitas pedesaan karena itu sangat penting sekali (Beydha, 2002).
Konservasi tanah dan air terbukti dapat meningkatkan produktivitas pertanian
secara berkelanjutan serta dapat memperoleh keuntungan usaha tani, memperbaiki
ketahanan pangan. Hal ini sependapat dengan FAO (2010) Konservasi tanah dan air
melalui pendekatan agroekosistem dapat meningkatkan keuntungan usaha tani,
memperbaiki ketahanan pangan, dan meningkatkan produktivitas lahan secara
berkelanjutan. Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu menerapkan secara simultan tiga
prinsip konservasi tanah dan air, yaitu olah tanah minimum, penggunaan penutup tanah
permanen berupa residu tanaman dan/atau tanaman penutup tanah (cover crop), serta
rotasi tanaman (FAO 2010). Aspek penting dalam konservasi tanah dan air pada lahan
kering terdegradasi di daerah tropis adalah penutup tanah organik karena dapat
mempengaruhi neraca air tanah, Teknologi konservasi tanah dan air untuk mencegah
degradasi

11
Metode konservasi tanah dan air dibagi menjadi 3 yaitu: metode vegetatif,
teknis/mekanik, dan kimia. Manusia mempunyai keterbatasan dalam mengendalikan
erosi karena erosi terjadi secara alami sehingga perlu ditetapkan kriteria tertentu yang
diperlukan dalam tindakan konservasi tanah. Salah satu pertimbangan yang harus
disertakan dalam merancang teknik konservasi tanah adalah nilai batas erosi yang
masih dapat diabaikan (tolerable soil loss). Jika besarnya erosi pada tanah dengan sifat-
sifat tersebut lebih besar daripada angka erosi yang masih dapat diabaikan, maka
tindakan konservasi sangat diperlukan. Salah satu upayanya yaitu melalui cara vegetatif
merupakan upaya pemanfaatan tanaman atau vegetasi maupun sisa-sisa tanaman
sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran permukaan,
peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat fisik,
kimia maupun biologi. Tanaman ataupun sisa sisa tanaman berfungsi sebagai pelindung
tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun terhadap daya angkut air aliran
permukaan, serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah. Agroforestri termasuk
didalamnya yaitu pertanaman lorong, pertanaman menurut strip, strip rumput (grass
strip), barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover crop), penerapan pola
tanam termasuk di dalamnya adalah pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari
(intercropping), dan tumpang gilir (relay cropping)
Kegiatan penggunaan lahan yang tidak tepat sering menyebabkan perubahan
kondisi tanah, sehingga dapat berpengaruh terhadap erosi tanah. Pengelolaan tanah
adalah menciptakan kondisi optimal untuk tempat pertumbuhan tanaman melalui
peningkatan kesuburan dan struktur tanah. Ini meningkatkan tingkat infiltrasi,
meningkatkan kapasitas penampung air, dan mengurangi limpasan dan erosi. (Sustainet
Ea, 2010)

Menurut Dianasari et al (2018), arahan konservasi lahan ada dua, yaitu secara
vegetative dan mekanis. Berikut merupakan penjelasannya:
1. Secara vegetative, dapat dilakukan dengan menanami tanaman-tanaman keras
seperti pohon pinus, jati dan mahoni pada tingkat bahaya erosi sedang, berat dan
sangat berat.
2. Secara mekanis, dengan mengurangi besarnya sedimen yang masuk ke badan
sungai, yaitu dengan menangkap inflow sedimen menggunakan bangunan
checkdam. Bangunan ini dapat diaplikasikan pada daerah yang memiliki tingkat
erosi sedang, berat dan sangat berat.

Subagyono et al (2003) menjelaskan bahwa terdapat tiga teknik dalam


konservasi tanah, yaitu:
1. Teknik konservasi tanah secara vegetative, yaitu dengan pemanfaatan
tanaman/vegetsi maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari
erosi, penghambat laju aliran permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah
serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik fisik, kimia maupun biologi.
2. Teknik konservasi tanah secara mekanis (sipil teknis), yaitu upaya menciptakan fisik
lahan atau merekayasa bidang olah lahan pertanian hingga sesuai dengan prinsip
atau merekayasa bidang olah lahan pertanian hingga sesuai dengan prinsip
konservasi tanah sekaligus konservasi air. Contohnya adalah pembuatan guludan,
teras gulud, teras bangku, teras individu, teras kredit, pematang kontur, teras kebun,
barisan batu dan teras batu. Khusus tujuan pemanenan air, teknik konservasi yang

12
dapat dilakukan adalah dengan pembuatan bangunan resapan air, rorak dan
embung.
3. Teknik konservasi tanah secara kimiawi, yatiu setiap penggunaan bahan-bahan
kimia baik organic maupun anorganik untuk memperbaiki sifat tanah dan menekan
laju erosi. Teknik ini jarang digunakan Karena keterbatasan modal, sulitnya
pengadaan serta hasil tidak jauh berbeda dengan penggunaan bahan-bahan alami.

Menurut Idjudin (2011), daerah rawan longsor harus dijadikan areal konservasi
sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan, perumahan dan infrastruktur.
Khususnya penerapan pengendalian longsor diarahkan pada daerah yang sudah
terlanjur dijadikan lahan pertanian. Area yang rawan longsor yang belum dibuka
disarankan agar tetap dipertahankan dalam kondisi vegetasi permanen seperti cagar
alam (sanctuary reserve area) kawasan konservasi (conservation zone) dan hutan
lindung (protection forest). Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan yaitu
dengan pendekatan meknis (sipil teknis) dan vegetative atau kombinasi keduanya.
Pada kondisi yang sangat parah, pendekatan mekanis seringkali bersifat mutlak jika
pendekatan vegetative saja tidak cukup memadai untuk menanggulangi longsor.

Berikut merupakan beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengendalikan


erosi menurut Arsyad (2010):
1. Menutup tanah dengan tumbuh-tumbuhan dan tanaman atau sisa-sisa tanaman
agar tanah terlindung dari daya rusak butir-butir hujan yang jatuh.
2. Memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar resisten terhadap penghancuran
butiran tanah dan terhadap pengangkutan butir tanah oleh aliran permukaan serta
memperbesar daya tanah untuk menyerap air di permukaan tanah.
3. Mengatur aliran permukaan air agar mengalir dengan kecepatan yang tidak
merusak dan memperbesar jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah.

Andreawan (2014) menjelaskan bahwa terdapat usaha yang dapat dilakukan


untuk menanggulangi erosi, yaitu dengan cara mengurangi pengolahan lahan yang
dapat dilakukan dengan sistem berikut:
1. Reduced Cultivation yang merupakan sistem cara dengan mengembalikan tunggul
tanaman dan pertumbuhan gulma setelah panen yang diikuti dengan penyemaian
benih dengan sedikit budidaya. Pengaplikasian herbisida dimungkinkan sebelum
atau setelah tanam.
2. Direct Driling, merupakan budidaya dengan melakukannya secara langsung tanpa
adanya pengolahan tanah sebelumnya.
3. Minimum tillage dengan menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma dan
pengolahan tanah mekanis.
4. No-tillage, yaitu dengan praktek pengolahan budidaya tanaman tanpa
menggunakan pengolahan tanah apapun.

Dengan adanya konservasi ini, diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan


petani dalam berbudidaya tanaman tanpa takut produksinya berkurang karena dampak
dari erosi dan degradasi lahan tersebut.

Kondisi lahan ataupun topografi yang miring dan berbukit-bukit, memungkinkan


terjadinya erosi atau penghanyutan tanah yang berada di atas ke lahan-lahan berada di
bawahnya saat musim penghujan tiba. Hal ini telah disadari oleh masyarakat, mereka
membuat teras-teras dilahan untuk mencegah hanyutnya tanah oleh air. Pembuatan

13
terasering/talud ini dilakukan secara individu maupun gotong royong. Menurut Mitchel
(2000) menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan degradasi lahan
khususnya erosi sangat penting dilakukan karena:
1) dapat merumuskan persoalan dengan lebih efektif,
2) dapat memperoleh informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, 3)
dapat merumuskan alternatif penyelesaian masalah secara sosial yang dapat
diterima masyarakat
4) membentuk perasaan memiliki terhadap suatu perencanaan sehingga
memudahkan dalam penerapan/implementasi.
Perilaku atau keterlibatan masyarakat dalam mengelola suatu lingkungan antara lain
mencakup unsur pemahaman terhadap konsep pengelolaan lingkungan, sikap dan
mengelola lingkungan, dan kinerja yang dilakukan masyarakat. Pemahaman
(comprehension) adalah kemampuan untuk menangkap makna atau arti luas dari suatu
konsep. Pendekatan pemahaman masyarakat merupakan tambahan bagi proses lebih
mekanis dan sederhana, karena dalam pendekatan ini dipertanyakan hal-hal yang
sedang terjadi. Pendidikan konservasi adalah sebuah program yang dikemas dengan
tujuan untuk memberikan pengetahuan kepada orang banyak agar lebih sadar dan lebih
perhatian mengenai lingkungan dan permasalahan serta hubungan timbal baliknya.
Tingkat pengetahuan, sikap, ketrampilan dan motivasi untuk bekerja dan memecahkan
masalah saat ini dan mencegah timbulnya berbagai permasalahan- permasalan baru.
Program ini sering memusatkan pada pendidikan formal seperti sekolah, pondok
pesantren atau non formal yang banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga yang peduli
terhadap pelestarian alam, seperti lembaga swadaya masyarakat ataupun instansi
pemerintah yang terkait langsung dengan usaha itu, ke berbagai kalangan. Konteks
pendidikan konservasi ditujukan untuk semua masyarakat. Dapat diartikan bahwa
pendidikan tersebut berbasis pada masyarakat. Secara konseptual, pendidikan berbasis
masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip
“dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat” Pendidikan oleh masyarakat
artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek atau pelaku pendidikan bukan obyek
pendidikan. Oleh karena itu masyarakat perlu diberdayakan, diberi peluang dan
kebebasan untuk mendisain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri
apa yang diperlukan.
Lereng atau kemiringan lahan adalah salah satu faktor pemicu terjadinya erosi dan
longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan
makin curamnya lereng. Makin curam lereng, makin besar pula volume dan kecepatan
aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang
lereng juga menentukan besarnya longsor dan erosi. Makin panjang lereng, erosi yang
terjadi makin besar. Pada lereng >40% longsor terjadi, terutama disebabkan oleh
pengaruh gaya gravitasi. Kondisi wilayah/lereng dikelompokkan sebagai berikut
(Departemen Pertanian, 2006)
a. Datar : lereng < 3%, dengan beda tinggi < 2 m.
b. Berombak : lereng 3-8%, dengan beda tinggi 2-10 cm.
c. Bergelombang : lereng 8-15%, dengan beda tinggi 10-50 cm.
d. Berbukit : lereng 15-30%, dengan beda tinggi 50-300 cm.
e. Bergunung : lereng
Daerah rawan longsor harus dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari
kegiatan pertanian, pembangunan perumahan, dan infrastruktur. Apabila lahan

14
digunakan untuk perumahan maka bahaya longsor akan meningkat, sehingga dapat
mengancam keselamatan penduduk di daerah tersebut dan di sekitarnya. Penerapan
teknik pengendalian longsor diarahkan ke daerah rawan longsor yang sudah terlanjur
dijadikan lahan pertanian. Areal rawan longsor yang belum dibuka direkomendasikan
untuk tetap dipertahankan dalam kondisi vegetasi permanen, seperti cagar alam
(sanctuary reserve area), kawasan konservasi (conservation zone), dan hutan lindung
(protection forest). Pengendalian longsor dapat direncanakan dan diimplementasikan
melalui pendekatan mekanis (sipil teknis) dan vegetatif atau kombinasi keduanya. Pada
kondisi yang sangat parah, pendekatan mekanis seringkali bersifat mutlak jika
pendekatan vegetatif saja tidak cukup memadai untuk menanggulangi longsor.

Gambar 5. Skema Pengendalian Untuk Erosi

a. Pengendalian secara vegetative


Pengendalian longsor dengan pendekatan vegetatif pada prinsipnya adalah
mencegah air terakumulasi di atas bidang luncur (Departemen Pertanian, 2006).
Sangat dianjurkan menanam jenis tanaman berakar dalam, dapat menembus lapisan
kedap air, mampu merembeskan air ke lapisan yang lebih dalam, dan mempunyai
massa yang relatif ringan. Jenis tanaman yang dapat dipilih di antaranya adalah
sonokeling, akar wangi, flemingia, kayu manis, kemiri, cengkeh,

b. Pengendalian secara mekanis


Ada beberapa pendekatan mekanis atau sipil teknis yang dapat digunakan untuk
mengendalikan longsor, sesuai dengan kondisi topografi dan besar kecilnya tingkat
bahaya longsor. Pendekatan mekanis pengendalian longsor meliputi (Departemen
Pertanian, 2006):
(1) pembuatan saluran drainase (Saluran pengelak, saluran penangkap, saluran
pembuangan)

15
(2) pembuatan bangunan penahan material longsor
(3) pembuatan bangunan penguat dinding/tebing atau pengaman jurang
(4) pembuatan trap-trap terasering.

Gambar 6. Perlakuan Pengendalian

a. Pengendalian atau konservasi tanah akibat erosi


1. Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara memotong panjang lereng
dan meratakan tanah di bagian bawahnya, sehingga terjadi deretan bangunan
yang berbentuk seperti tangga. Pada usahatani lahan kering, fungsi utama teras
bangku adalah:
(1) memperlambat aliran permukaan
(2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak
sampai merusak
(3) meningkatkan laju infiltrasi
(4) mempermudah pengolahan tanah.
Teras bangku dapat dibuat datar (bidang olah datar, membentuk sudut 0 derajat
dengan bidang horizontal), miring ke dalam/goler kampak (bidang olah miring beberapa
derajat ke arah yang berlawanan dengan lereng asli), dan miring ke luar (bidang olah
miring ke arah lereng asli). Teras biasanya dibangun di ekosistem lahan sawah tadah
hujan, lahan tegalan, dan berbagai sistem wanatani. Teras bangku miring ke dalam
(goler kampak) dibangun pada tanah yang permeabilitasnya rendah, dengan tujuan agar
air yang tidak segera terinfiltrasi menggenangi bidang olah dan tidak mengalir ke luar
melalui talud di bibir teras. Teras bangku miring ke luar diterapkan di areal di mana aliran
permukaan dan infiltrasi dikendalikan secara bersamaan, misalnya di areal rawan
longsor. Teras bangku goler kampak memerlukan biaya relatif lebih mahal dibandingkan
dengan teras bangku datar atau teras bangku miring ke luar, karena memerlukan lebih
banyak penggalian bidang olah. Efektivitas teras bangku sebagai pengendali erosi akan
meningkat bila ditanami dengan tanaman penguat teras di bibir dan tampingan teras.
Rumput dan legum pohon merupakan tanaman yang baik untuk digunakan sebagai
penguat teras. Tanaman murbei sebagai tanaman penguat teras banyak ditanam di

16
daerah pengembangan ulat sutra. Teras bangku adakalanya dapat diperkuat dengan
batu yang disusun, khususnya pada tampingan. Model seperti ini banyak diterapkan di
kawasan yang berbatu. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pembuatan
teras bangku adalah: a) dapat diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%, tidak
dianjurkan pada lahan dengan kemiringan >40% karena bidang olah akan menjadi
terlalu sempit, b) tidak cocok pada tanah dangkal.

Gambar 7. Teras Bangku

2. Rorak merupakan lubang penampungan atau peresapan air, dibuat di bidang olah
atau saluran resapan. Pembuatan rorak bertujuan untuk memperbesar peresapan
air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi. Pada lahan kering
beriklim kering, rorak berfungsi sebagai tempat pemanen air hujan dan aliran
permukaan. Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, misalnya
kedalaman 60 cm, lebar 50 cm, dan panjang berkisar antara 50-200 cm. Panjang
rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu
rorak dengan rorak lainnya berkisar 100-150 cm, sedangkan jarak horizontal 20
m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng yang lebih
curam (Departemen Pertanian, 2006). Dimensi rorak yang akan dipilih
disesuaikan dengan kapasitas air atau sedimen dan bahan-bahan terangkut

17
lainnya yang akan ditampung. Sesudah periode waktu tertentu, rorak akan terisi
oleh tanah atau serasah tanaman.

Gambar 8. Penggunaan Cover Crop

3. Penggunaan cover crop


Menurut Agus et al., (2000) penggunaan cover crop selain layak secara ekonomi
dan berkelanjutan terhadap lingkungan, cover crop juga berperan penting terhadap
kesuburan tanah. Cover crop juga meningkatkan retensi dari C-organik tanah dan
Nitrogen serta agregasi tanah dan menjaga keseimbangan biologis tanah dalam
praktik pengelolaannya. Legume cover crop juga berperan penting dalam
pemeliharaan kandungan P, dan K yang esensial bagi pertumbuhan/perkembangan
buah guna menghasilkan kualitas yang bagus. Legume juga akan menjadi tempat
bersimbiosis rhizobacteria yang nantinya akan menghasilkan atau melepaskan nutrisi
yang baik bagi tanaman dan meningkatkan hasil produksi. Selain itu, dengan
penggunaan Mucuna sp. sebagai cover crop, dapat mencegah penurunan
kelembapan tanah akibat terpapar langsung oleh sinar matahari. Manfaat lain dari
penggunaan cover crop antara lain, sebagai pencegah erosi karena tanaman Mucuna
sp. menutupi seluruh bagian lahan yang terbuka sehingga saat hujan tiba air hujan
tidak langsung menghantam tanah tetapi di intersepsi oleh tanaman Mucuna sp. dan
penghancuran agregat pun dapat di minimalkan; limpasan permukaan yang terjadi
akan menjadi jernih karena tidak adanya partikel tanah yang terbawa oleh limpasan
tersebut; penanaman Mucuna sp.

18
Gambar 9. Macam Macam Teras

Gambar diatas menjelaskan bahwa dalam tindakan konservasi secara mekanis


itu ada melakukan teras. Teras ini memiliki berbagai macam bentuk dan fungsinya.
Teras bangku merupakan konservasi dari lahan sawah menjadi perkebunan kopi.
Secara karakteristik jarak antara tepi teras dengan teras yang lain melebar secara
horizontal dan lebarnya dapat bertambah sesuai dengan gradicut. Untuk tinggi tepinya
diantara 0,5 sampai dengan 1,0 m. Kopi dan pepohonan ditanam sesuai bentuk konversi
sawah menjadi perkebunan kopi. Fungsi dari teras bangku tersebut untuk mengurangi
tanah yang akan tererosi.

Teras ini ditampilan untuk mengikuti alur tanaman kopi dan tanaman tersebut
berada di tepi tempatnya. Bentuk dari teras secara umum biasanya untuk mengurangi
proses pencucian tanah dan menahan unsur organik tanah sehingga dapat
terdekomposisi pada lokasi tersebut dan dapat dibentuk meskipun kebun kopi sudah
ada. Fungsi dari teras ini untuk menahan erosi tanah, menahan pupuk kimia dan organik
supaya tidak mudah terbawa air dengan menurunkan kecepatan aliran air hujan.

Teras rumput yaitu barisan rumput yang menutupi teras dapat menstabilkan
tanah selama pembentukan teras. Fungsi dari barisan rumput adalah untuk menyaring
air yang mengalir di permukaan. Pembuatan teras dari tepi keras yang secara gradual
mengarah ke lebar teras dapat berlangsung secara alami.

Siring merupakan semacam parit di dalam tepi teras dan tanaman kopi ditanam
pada guludan. Siring dapat memperkecil laju limpasan permukaan karna zat organik
tertahan di dalam siring. Pembentukan siring mengikuti tanaman kopi yang sudah ada.

Dalam pembuatan teras gulud mengikuti garis kontur pada lahan tersebut yaitu
diantara barisan tanaman kopi. Fungsi dari teras gulud ini untuk menahan aliran air
permukaan serta menahan zat organik. Teras gulud juga dapat digunakan untuk media
penanaman cabai dan sayuran lain diantara barisan tanaman kopi.

19
Gambar 10. Teknik Konservasi Tanah di Sumberjaya Lampung

Teras memiliki fungsi diantara lain yaitu kemampuan tanah untuk menahan dan
menyimpan zat organik, pupuk organik, dan pupuk kimia didalam tanah. Menjadikan
serasah ini terdekomposisi, memudahkan dalam penyerapan air hujan kedalam tanah
dan mengatur dalam kecepatan aliran air permukaan tanah. Teras dibuat berdasarkan
kemiringan lereng pada bidang tersebut. Teknik konservasi tanah yang dilakukan oleh
masyarakat sumberjaya adalah pembuatan teras rumput, guludan, teras bangku, lubang
angin dan parit. Masyarakat disana melakukan kompleksitas dalam metode konservasi
tanah dan air.

Kompleksitas pengetahuan mereka didasari oleh pengalaman yang empirik.


Pernyataan yang dikemukakan oleh petani merupakan pengalaman atau uji coba yang
telah mereka lakukan baik secara individu maupun kolektif. Sebagian besar petani telah
mencoba menerapkan sistem teras dengan menambah konstruksi guludan atau lubang
angin. Hasil yang diperoleh cukup memuaskan. Tanaman kopi menjadi lebih kuat dan
tidak mudah mati, serta hasil yang diperoleh dari tanaman kopi cukup memadai dan
berkualitas baik. Sebagian petani telah mencoba menaman tanaman pelindung yang
kemudian membentuk sistem agroforest. Dari sistem tersebut petani memperoleh
manfaat secara fisik yaitu berkurangnya tingkat erosi dan meningkatnya produktivitas
kopi serta manfaat secara ekonomi bagi rumah tangga petani.

Sebagian besar petani setempat melakukan penyiangan gulma secara


menyeluruh karena mereka beranggapan dapat meningkatkan produksi kopi setelah
menghilangkan tanaman pengganggu. Sebagian petani lainnya, beranggapan bahwa
penyiangan secara menyeluruh tidak perlu dilakukan sehingga mereka melakukan
penyiangan sebagian. Mereka mempraktekkan penyiangan parsial (ring
weeding/penyiangan melingkar atau natural vegetative strips/strip tumbuhan alami),
untuk menghilangkan tanaman pengganggu serta menyisakan sebagian tanaman
tersebut untuk menutup tanah agar tidak terjadi erosi.

20
Konservasi tidak hanya melalui mekanis dengan pembuatan teras. Namun
secara vegetatif juga bisa seperti penerapan sistem agroforestri pada lahan sumberjaya
lampung. Sistem agroforestri bisa dilakukan secara baik sederhana maupun kompleks
untuk mengelola kebun kopi yaitu dengan ditandai dengan penanaman tanaman buah
buahan, tanaman kayu diantara tanaman kopi yang sebagai tanaman pelindung. Fungsi
konservasi dari tanaman pelindung ini yaitu memberikan naingan, menjaga suhu,
kelembaban udara dan kelembaban tanah di sekitar area lahan serta dapat menambah
kandungan hara dalam tanah. Selain itu, penggunaan tanaman penutup tanah dan
melakukan penyiangan gulma juga termasuk kedalam kegiatan konservasi. Sisa sisa
tanaman maupun tanaman berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan
air hujan maupun terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff) serta
meningkatkan resapan air ke dalam tanah..

a. Contour Farming b. Strip Cropping

C. Alley Cropping D. Agroforestry

Gambar 11. Contoh Konservasi Secara Vegetatif

Gambar diatas menjelaskan contoh dari berbagai macam konservasi secara


vegetatif. Teknik konservasi tanah secara vegetatif yang lainnya yaitu penghutanan
kembali, agroforestry yang didalmnya termasuk pertanaman lorong atau allley cropping,
pertanaman menurut strip atau strip cropping, strip rumput, barisan sisa tanaman,
tanaman penutup tanah, penerapan pola tanam termasuk didalamnya ada pergiliran
tanaman, tumpang sari dan tumpang gilir. Konsevarsi tanah dan air pada kebun kopi
yang diterapkan oleh petani sumberjaya di daerah lampung bergnatung pada kondisi
fisik dan biofisik lahan yang dikelola, biaya dan tenaga kerja yang tersedia, lokasi dan
status lahan serta orietnasi prduksi petani apakah subsisten atau komersial.

21
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Bertambahnya penduduk provinsi Lampung karena adanya masyarakat yang
melakukan transmigrasi terutama masyarakat jawa dan sumatera mengakibatkan harus
dilakukannya konversi lahan hutan menjadi pemukiman, lahan pertanian, serta
mayoritas menjadi perkebunan kopi. Hal ini berdampak pada kerusakan lingkungan yaitu
terjadinya erosi, longsor, banjir, kekeringan akibat adanya degradasi lahan. Contoh area
yang mengalami degradasi lahan yaitu pada lahan Sumberjaya Lampung. Kondisi
disana sudah semakin menipis tanaman tutupan lahan membuat lahan mudah dan
sering terjadinya erosi, suasana yang gersang akibat sudah sedikit pohon dan vegetasi
yang ada serta menurunnya kualitas dan kesuburan tanah mengakibatkan tanah
tersebut tandus. Kerusakan ekosistem yang terjadi di Sumberjaya sangat serius. Oleh
karena itu, harus dilakukannya konservasi tanah dan air dengan metode vegetatif
maupun mekanik. Vegetatif bisa dilakukan dengan cara penghutanan kembali,
agroforestri, penggunaan tanaman tutupan lahan dan lain lain. Mekanik dapat dilakukan
pembuatan teras sesuai dengan kemiringan lereng tersebut.

4.2 Saran
Adanya kerusakan lahan menjadi hal yang haru diperhatikan.Terutama
kerusakan yang berakibat erosi. Hal tersebut perlu diperhatikan karena terjadi di daerah
aliran sungai yang memang kebutuhan dan aktivitas masyarakat lebih banyak dilakukan
ditempt tersebut. Perlu adanya konservasi yang strategi untuk memperbaiki kondisi
lahan karena terdapat lahan untuk lahan pertanian. Ketika memperbaiki lahan harus
menggunakan kaidah konservasi dengan prinsip prinsip konservasi sehingga tidak
terjadinya kerusakan yang lain dan mengatasi lingkungan tersebut dengan baik dan
tepat.

22
DAFTAR PUSTAKA

Agus C., S. Kita., H. Toda., O. Karyanto dan K. Hariba. (2000). Legume Cover Crops
as a Soil Amendment in Short Rota Plantation of Tropical Forest.
Andreawan, M. K. 2014. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Herbisida Terhadap Aliran
Permukaan dan Erosi Pada Pertanaman Singkong di Laboratorium Lapang
Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pertanian. Bandar Lampung.
Universitas Lampung.
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Arsyad, Sitanala. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : Institut Pertanian Bogor
Press.
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada
University Press. Yogjakarta.
Benoit, J. P., & McNutt, S. R., 1996. Global volcanic earthquake swarm database and
pre-preliminary. Annali di Geofisica, 29(2), Hal. 221-229
Beydha, I. 2002. Konservasi Tanah Dan Air Di Indonesia Kenyataan Dan Harapan.
Medan: Universitas Sumatera Utara
BPS Kota Bandar Lampung. 2019. Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Ditribusi
Persentase Penduduk, Kepadatan Penduduk, Rasio Jenis Kelamin Penduduk
Kota Bandar Lampung 2019.
https://bandarlampungkota.bps.go.id/statictable/2020/05/21/310/penduduk-laju-
pertumbuhan-penduduk-ditribusi-persentase-penduduk-kepadatan-penduduk-
rasio-jenis-kelamin-penduduk-kota-bandar-lampung-2019.html. Diakses pada
tanggal 04 Oktober 2019
Departemen Pertanian, 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/
OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan
Pegunungan. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Dianasari, Q., Andawayanti, U., Evi Nur Cahya. 2018. Pengendalian Erosi dan Sedimen
dengan Arahan Konservasi Lahan di DAS Genting Kabupaten Ponorogo. Jurnal
Teknik Pengairan. Vol (9)(2). Ponorogo.
FAO. 2010. FAO: Degradasi Lahan Meningkat. http://www.fao.org. Diakses pada
tanggal 05 Oktober 2020.
Idjudin, A. A. 2011. Peranan Konservasi Lahan dalam Pengelolaan Perkebunan. Jurnal
Sumberdaya Lahan Vol. 5 No. 2. Bogor.
Mitchell. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan . GMUP. Yogyakarta.
Subagyono, K., Marwanto, S., Undang Kurnia. 2003. Teknik Konservasi Tanah Secara
Vegetatif. Balai Penelitian Tanah. Disadur dari
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/serial/monograf1/mono
grafkonservasi001.pdf. Diakses pada tanggal 04 Oktober 2020
SUSTAINET EA 2010. Technical Manual for farmers and Field Extension Service
Providers: Soil and Water Conservation. Sustainable Agriculture Information
Initiative, Nairobi
Tarigan, D. R. 2013. Pengaruh Erosivitas dan Topografi Terhadap Kehilangan Tanah
pada Erosi Alur di Daerah Aliran Sungai Secang Desa Hargotirto Kecamatan
Kokap Kabupaten Kulonprogo. Di sadur dari
https://media.neliti.com/media/publications/77203-ID-pengaruh-erosivitas-dan-
topografi-terhad.pdf Diakses pada tanggal 04 Oktober 2020
Verbist, B. dan Pasya, G., 2004. Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik dan
Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat, Provinsi Lampung. Jurnal Agrivita,
26(1):20-28.

23
Verbist, B., Ekadinata, A., dan Budidarsono, S., 2004. Penyebab Alih Guna Lahan dan
Akibatnya terhadap Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Lansekap
Agroforestri Berbasis Kopi di Sumatra. Jurnal Agrivita, 26(1):29-38
Widianto; Suprayogo, D.; Noveras, H.; Widodo, R. H.; Purnomosidhi, P. dan M. Van
Noordwijk. 2004. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian : Apakah
fungsi hidrologis hutan dapat digantikan sistem kopi monokultur. Jurnal Agrivita
26 (1): 47-52.

24

Anda mungkin juga menyukai