Oleh :
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahan sebagai sumberdaya alam fisik mempunyai peranan sangat
penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan diperlukan sebagai
tempat tinggal, tempat melakukan semua aktivitas kehidupan misal untuk
permukiman, kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan,
pertambangan, dan sebagainya. Peranan penting yang dimiliki oleh suatu lahan
dalam berbagai bidang kehidupan harus dimanfaatkan sesuai dengan
karakteristik lahan sehingga kelestarian lingkungan akan tetap terjaga.
Hampir sebagian wilayah Indonesia yaitu sekitar 45% berupa dataran
tinggi perbukitan dan pegunungan yang dicirikan oleh topo-fisiografi yang sangat
beragam, yang mana di dalamnya terdapat sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan oleh manusia. Selain memberikan manfaat bagi manusia, lahan
dataran tinggi juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah
aliran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya (Departemen Pertanian,
2006). Idealnya, untuk daerah pegunungan atau perbukitan pemanfaatan lahan
yang sesuai yaitu dengan penanaman tanaman tahunan, sehingga daerah
tersebut cocok untuk daerah konservasi yang akan memberikan perlindungan
dan keberlangsungan lingkungan sekitarnya.
Walaupun berpeluang untuk budidaya pertanian, lahan pegunungan
rentan terhadap longsor dan erosi, karena tingkat kemiringannya, curah hujan
relatif lebih tinggi, dan tanah tidak stabil. Bahaya longsor dan erosi akan
meningkat apabila lahan pegunungan yang semula tertutup hutan dibuka menjadi
areal pertanian tanaman semusim yang tidak menerapkan praktik konservasi
tanah dan air, atau menjadi areal peristirahatan dengan segala fasilitas yang
tidak ramah lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, bencana alam banjir
dan longsor makin meningkat, baik daya rusak maupun intensitasnya. Bencana
tersebut telah menimbulkan banyak korban manusia, harta, lahan pertanian,
infrastruktur dan sebagainya. Degradasi lahan juga semakin meningkat dan
meluas, terutama akibat tingginya tingkat erosi tanah, khususnya di daerah
pegunungan. Longsor dan erosi di kawasan pegunungan selain ditentukan oleh
karakteristik lahan dan kondisi iklim juga dipengaruhi oleh sistem dan teknik
budidaya pertanian di wilayah tersebut (Departemen Pertanian, 2006).
Pola pengelolaan kawasan budidaya atau kawasan produksi pertanian
dan perkebunan menunjukkan kondisi yang berbeda dengan kawasan hutan.
Budidaya tanaman pertanian maupun perkebunan sudah dilakukan oleh
masyarakat secara turun temurun, namun demikian dalam praktek budidaya
pada umumnya belum diikuti dengan penerapan teknik konservasi secara baik.
Akibatnya terjadi penurunan kesuburan tanah sehingga menyebabkan terjadinya
lahan kritis, sehingga produktivitas usaha tani pada lahan yang mengalami
penurunan kesuburan tanah menjadi tidak optimal.
Kawasan Gunung Sumbing terletak di tiga kabupaten yang berbeda, yaitu
Kabupaten Magelang, Temanggung, dan Wonosobo. Tentunya, wilayah lereng
Gunung Sumbing yang dikelola oleh Kabupaten Malang memiliki karakteristik
berbeda pula dengan wilayah lereng Gunung Sumbing yang dikelola oleh
Kabupaten Temanggung dan Wonosobo. Topografi di kawasan kaki Gunung
Sumbing yang berada di wilayah Kabupaten Magelang, memiliki beraneka ragam
tingkat kemiringan lahan, sebagian besar merupakan lereng curam yang
digunakan untuk pertanian dan perhutanan. Daerah yang memiliki kemiringan
lereng lebih dari 40% yaitu daerah bergunung-gunung dengan lembah yang
meliputi Kecamatan Ngablak, Pakis, Windusari, Kaliangkrik, Bandongan, dan
Kajoran. Wilayah yang memiliki kemiringan lereng lebih dari 40% memiliki
potensi
1
yang lebih besar untuk terjadinya erosi dan kerusakan lereng yang parah (BPTP
Jawa Tengah, 2010).
Erosi yang terjadi di daerah lereng Gunung Sumbing berdasarkan data
Balai Lingkungan Hidup Kabupaten Magelang tahun 1996 sebesar 18,87
ton/ha/tahun. Berdasarkan data tersebut erosi yang terjadi masih termasuk
dalam erosi ringan, namun besar erosi itu sudah 18 tahun yang lalu. Perubahan
penggunaan lahan seperti pembukaan lahan hutan untuk lahan pertanian dan
permukiman tentunya akan meningkatkan besar erosi yang terjadi.
Data curah hujan Balai Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (BPPK)
pada tahun 2012 menunjukkan rata-rata curah hujan Kecamatan Bandongan
sebesar 2.940 mm/tahun atau 245 mm/bulan. Hujan yang terjadi sebagian besar
merupakan hujan orografis. Hujan orografis adalah hujan yeng terjadi karena
udara yang mengandung uap air bergerak secara horizontal naik ke pegunungan
sehingga suhu udara menjadi dingin, kemudian terjadi kondensasi yang
menyebabkan jatuhnya hujan di pegunungan. Berdasarkan data curah hujan
Stasiun Pengamatan Hujan Kalegen, data curah hujan Desa Kalegen yang
termasuk ke dalam Kecamatan Bandongan ini dari tahun 1998 sampai 2007
menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan tertinggi tahunan terjadi pada tahun
2000 sebesar 4.868 mm/tahun, sedangkan rata-rata curah hujan tahunan
terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar 2.051 mm/tahun. Rata-rata curah
hujan tahunan Desa Kalegen sebesar 3.028 mm/tahun, menunjukkan bahwa
curah hujan yang terjadi di Desa Kalegen termasuk dalam intensitas tinggi.
Hujan yang turun dengan intensitas tinggi tentunya akan menyebabkan
terjadinya erosi. Erosi yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh intensitas hujan
yang tinggi, tetapi juga disebabkan oleh jenis tanah. Jenis tanah Desa Kalegen
adalah tanah latosol. Tanah latosol (lempung berpasir) adalah jenis tanah yang
berasal dari bahan induk abu gunung api, biasanya dicirikan dengan tanah yang
kering dan menjadi licin bila terkena hujan, sehingga mudah tererosi. Erosi yang
terjadi tentu akan menimbulkan kerugian bagi para petani.
Desa Kalegen merupakan salah satu desa yang memanfaatkan lahan
curam sebagai lahan pertanian karena termasuk ke dalam Kecamatan
Bandongan yang memiliki kemiringan lebih dari 40% (BPTP Jawa Tengah,
2010). Lahan curam di Desa Kalegen, awalnya merupakan lahan hutan seluas
190 ha, namun karena bertambahnya jumlah penduduk, maka lahan hutan
kemudian dibuka menjadi lahan pertanian tanaman pangan dan lahan
pemukiman. Seperti yang diketahui, semakin tahun luas hutan semakin
berkurang. Suwarno (2014) menyatakan bahwa lahan hutan terluas terdapat
pada Papua (32,36 juta hektar), kemudian hutan Kalimantan (28,23 juta hektar),
Sumatera (14,65 juta hektar), Sulawesi (8,87 juta hektar, Maluku dan Maluku
Utara (4,02 juta hektar), Jawa (3,09 juta hektar) serta Bali dan Nusa Tenggara
(2,7 juta hektar). Namun jumlah luasan lahan tersebut semakin berkurang tiap
tahunnya akibat adanya alih fungsi hutan pegunungan menjadi lahan pertanian.
Pembukaan lahan hutan pegunungan menjadi lahan pertanian dapat
mengakibatkan infiltrasi dan intersepsi air hujan semakin berkurang dan
memperbesar limpasan, sehingga potensi terjadinya erosi akan semakin besar.
Lahan pertanian yang diusahakan di Desa Kalegen termasuk ke dalam
lahan pertanian terbuka. Lahan pertanian terbuka merupakan lahan dengan
tanah yang tidak memiliki tanaman atau rerumputan sebagai pelindung tanah
dari tetesan air hujan. Lahan pertanian terbuka dapat menyebabkan tanah lebih
mudah tererosi, karena air hujan yang jatuh mengenai tanah akan dengan
mudah membawa material tanah.
Keberadaan kawasan Gunung Sumbing sebagai kawasan yang
diharapkan mampu menjaga stabilitas fungsi di sekitarnya dan eksistensi
populasi
penduduk yang berada di bagian bawahnya semakin diragukan. Berbagai
macam praktik budidaya yang tidak memperhatikan kemampuan lahan tetap
terus dilakukan tanpa adanya upaya konservasi untuk pengelolaan yang lebih
lanjut. Pengolahan lahan yang dilakukan masyarakat Desa Kalegen yang belum
baik dan tepat juga mengakibatkan adanya kerusakan lahan, sehingga perlu
adanya arahan konservasi lahan yang sesuai di Desa Kalegen. Proses
perusakan lahan yang dilakukan secara tidak langsung terus menerus telah
menimbulkan kondisi kritis pada beberapa kawasan. Tuntutan ekonomi dan
peluang pasar terhadap komoditas non kehutanan telah mengesampingkan pola
pengelolaan dan pemanfaatan yang lestari.
1.2 Dampak Degradasi Lahan
Degradasi lahan merupakan suatu proses kemunduran kualitas atau
produktivitas lahan menjadi lebih rendah, baik bersifat sementara maupun
permanen, sehingga akhirnya lahan tersebut berada ditingkat kekritisan tertentu.
Degredasi lahan yang diakibatkan erosi di wilayah DAS bagian hulu juga akan
berpengaruh buruk karena mengakibatkan penurunan produktivitas lahan.
Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh
erosi air hujan. Hal ini berkaitan dengan tingginya jumlah dan intensitas curah
hujan terutama pada daerah Indonesiabagian Barat. Besarnya potensi erosi air
hujan ini didukung oleh adanya faktor lereng pada lahan pertanian terutama pada
daerah pegunungan dan perbukitan. Faktor lereng ini akan sulit dihindari karena
sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai kemiringan lebih dari 3% dengan
bentuk wilayah berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung yang meliputi
77,4% dari seluruh daratan (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah yang peka
terhadap erosi air hujan dan praktek pertanian yang tidak disertai dengan upaya
pengendalian erosi juga turut menentukan tingkat kerawanan lahan-lahan
pertanian terhadap erosi. Proses terjadinya erosi juga terbagi menjadi dua yaitu:
a. Secara normal (Geological Erosion)
Erosi yang dimaksud berlangsung secara alamiah atau secara normal di
lapangan melalui tahap pemecahan agregat-agregat atau bongkah-bongkah
tanah menjadi partikel atau butiran yang lebih kecil, lalu dilanjutkan dengan
pemindahan partikel-partikel tersebut baik melalui penghanyutan atau kekuatan
angin dan terakhir yaitu pengendapan partikel tanah yang terpindahkan atau
terangkut di tempat-tempat yang lebih rendah.
b. Accelerated Erosion
Dalam proses terjadinya, erosi dipercepat dengan adanya tindakan
manusia yang bersifat negative dalam pengelolaan tanah dan dalam
pelaksanaan pertaniannya. Erosi yang dipercepat inilah yang banyak sekali
menimbulkan masalah atau dampak negatif karena memang lingkungan telah
mengalami kerusakan dan menimbulkan kerugian besar.
Al Ghifari (2009) menyatakan bahwa banyak lahan pertanian terdegradasi
dan menjadi kritis (rusak, tandus, gundul dan umumnya ditumbuhi semak
belukar, lahan yang terdegradasi bukan saja menjadikan lahan yang tidak
produktif tetapi juga dapat menjadi sumber bencana, mulai dari kekeringan,
banjir, tanah longsor sampai kebakaran yang bisa berdampak terhadap
terjadinya percepatan pemanasan global. Berikut merupakan dampak dari
degradasi lahan:
a. Penurunan Bahan Organik Tanah
Bahan organik merupakan semua bahan yang berasal dari jaringan
tanaman dan hewan baik yang masih hidup maupun yang telah mati, terdapat
di dalam tanah dan mengalami perombakan secara terus menerus (Saidy,
2018). Bahan organik tanah secara simultan juga merupakan sumber hara
tanaman, secara fisika dan kimia akan memfasilitasi terbentuknya agregat dan
struktur tanah, meningkatkan kandungan air tanah, sumber energi bagi biota
tanah dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap proses biologi di dalam
tanah. Kandungan bahan organik tanah sangat ditentukan oleh keseimbangan
antara faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukannya dan
pelapukannya. Pada daerah tropik umumnya perubahan lahan hutan menjadi
lahan pertanian akan berdampak terhadap turunnya kandungan bahan
organik ke tingkat yang lebih rendah. Yasin (2004) menyatakan bahwa jumlah
kehilangan bahan organik tanah dapat mencapai 20%-50%. Terjadinya
penurunan bahan organik tersebut disebabkan oleh beberapa aspek seperti
faktor erosi yang akan menghanyutkan bahan organik dan tanah lapisan atas
yang kaya akan bahan organik.
b. Banjir
Degradasi lahan merupakan salah satu penyebab seringnya terjadi banjir
akibat hilangnya tumbuhan penutup tanah, pendangkalan sungai dan
penyempitan alur sungai. Pusat Krisis Kesehatan (2016) menyatakan bahwa
banjir merupakan suatu bencana alam yang begitu merugikan namun sudah
menjadi tradisi tahunan di daerah kita dan tidak lepas dari ulah manusia
sendiri yang kurang peduli akan lingkungan. Pada daerah pegunungan, hutan
yang ada menjadi pengguna air hujan yang sangat besar karena banyak
terdapat berbagai macam vegetasi di dalamnya. Namun, adanya alih guna
hutan menjadi lahan pertanian dan lainnya menyebabkan vegetasi alami
hutan dan tanaman penutup tanah menjadi berkurang dan hilang sehingga
ketika banyak air hujan yang turun, tanah tidak mampu menampung
banyaknya air yang masuk. Namun, degradasi lahan yang sering
dihubungkan dengan hilangnya tutupan hutan tidak selalu akibat dari
penggundulan hutan atau pengurangan vegetasi hutan itu sendiri, tetapi juga
akibat praktek pemanfaatan lahan yang buruk (overgrazing, pembersihan
humus, perusakan materi organic, pembersihan lahan) yang diterapkan
setelah pembersihan lahan hutan (FAO, 2005). Pemadatan tanah
setelah penggunaan lahan pertanian juga menjadi penyebab kapasitas
penyimpanan air tanah permukaan mengecil dan peningkatan kecepatan aliran
permukaan
c. Kebakaran
Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan
berkelanjutan karena efeknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi
emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati (Tacconi, 2003).
Awalnya, kebakaran hutan dianggap terjadi secara alami, namun
kemungkinan manusia mempunyai peran dalam memulai kebakaran hutan ini
terutama dalam perburuan dan pembukaan petak-petak lahan pertanian.
Berbagai proses degradasi lahan pada hutan mengubah kawasan hutan
Indonesia dari suatu ekosistem yang tahan kebakaran menjadi ekosistem
yang rentan terhadap kebakaran hutan.
BAB II ANALISIS MASALAH DEGRADASI LAHAN
Banyaknya lahan yang tersedia menyebabkan lahan yang mengalami
degradasi tidak hanya lahan datar namun juga lahan pegunungan dan
perbukitan. Salah satu gunung yang mengalami degradasi yaitu Gunung
Sumbing. Gunung Sumbing termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Magelang,
Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Purworejo.
Puncaknya berketinggian 3371 m dpl. Secara geografis terletak pada 07°17,08'
LS dan 110°03,8' BT (PVMBG, 2016). Karena bibir kawah sebelah timur laut
telah hancur sehingga nampak seolah-olah sobek, maka disebut Gunung
Sumbing, karena nampaknya seolah-olah seperti bibir sumbing. Gunung
Sumbing merupakan salah satu gunung api strato aktif tipe A yang terdapat di
Jawa Tengah. Di sebelah Gunung Sumbing terdapat Gunung Sindoro. Gunung
Sumbing dan Sindoro memiliki bentuk serta ketinggian yang hampir sama,
diperkirakan gunung-gunung ini berasal dari sumber dan masa yang sama.
Gunung Sumbing dan Sindoro ini terpisahkan oleh jalan yang menghubungkan
kota Wonosobo dan Magelang.
Gunung Sumbing merupakan gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa
setelah Gunung Semerudan Gunung Slamet. Bersama dengan Gunung Sindoro,
Gunung Sumbing membentuk bentang alam gunung kembar, seperti Gunung
Merapi dan Gunung Merbabu, apabila dilihat dari arah Temanggung. Celah
antara gunung ini dan Gunung Sindoro dilalui oleh jalan provinsi yang
menghubungkan kota Temanggung dan kota Wonosobo. Jalan ini biasa dijuluki
sebagai "Kledung Pass".
Gunung Sumbing mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan
Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Sebagian besar wilayah lereng gunung ini telah digunakan untuk lahan pertanian.
Kondisi tanah yang subur dan sangat cocok untuk pertanian menyebabkan desa-
desa di lereng Gunung Sumbing berkembang menjadi pusat pertanian. Akan
tetapi tidak seluruhnya praktik budidaya pertanian yang dilakukan berjalan
dengan baik. Seperti yang telah diketahui, desa-desa yang terletak di lereng
Gunung Sumbing ini, salah satunya Desa Kalegen, mempunyai kemiringan lahan
yang berkisar lebih dari 40%. Artinya, praktik budidaya pertanian dilakukan pada
kondisi lahan yang miring. Praktik budidaya yang dilakukan petani di Desa
Kalegen sudah benar, memanfaatkan terasering. Namun, pengaplikasiannya
yang kurang tepat. Petani membuat terasering dan gundukan tanah yang
memiliki alur sejajar dengan arah kemiringan lereng untuk lahan pertaniannya.
Pola pertanian ini menyebabkan air hujan yang jatuh akan lebih mudah
mengangkut tanah. Jika pola pertanian diubah dengan pola alur yang tegak lurus
dengan arah kemiringan lereng, maka air hujan yang jatuh akan tertahan dan
erosi yang terjadi dapat diminimalisir. Pengolahan lahan yang dilakukan
masyarakat Desa Kalegen yang belum baik dan tepat mengakibatkan adanya
kerusakan lahan.
Berdasarkan pengamatan visual di lapangan menurut Redjeki (2008),
Kawasan Sindoro Sumbing mengalami kerusakan lingkungan yang parah.
Pengambilan gambar di beberapa titik di Desa Butuh Kecamatan Kalikajar
mewakili Kawasan Gunung Sumbing dan Desa Sigedang Kecamatan Kejajar
mewakili Kawasan Gunung Sindoro menunjukkan kerusakan-kerusakan tersebut.
Kerusakan-kerusakan yang terjadi ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Pembukaan Lahan Pertanian pada Kawasan Gunung
Sumbing, Desa Butuh Kecamatan Kalikajar
3. Konservasi Kimiawi
Konservasi kimia dalam konservai tanah dan air adalah penggunaan
preparat kimia baik berupa senyawa sintetik maupun bahan alami yang telah
diolah, dalam jumlah relatif sedikit, meningkatkan stabilitas agregat tanah dan
mencegah erosi (Arsyad, 2010). Tanah yang telah dibersihkan dari vegetasi
penutupnya dan diolah untuk usaha produksi tanaman, maka bahan organik
tanah akan menurun dan berdampak pada produktivitas tanah yang menurun.
Oleh karena itu penggunaan preparat kimia sangat diperlukan dalam jumlah yang
tidak banyak sehingga mampu memperbaiki struktur tanah. Preparat kimia (soil
conditioner),yaitu bahan yang ditambahkan ke tanah untuk memperbaiki sifat fisik
tanah (kapasitas infiltrasi, daya olah tanah, dan drainase). Pengaruh soil
contioner bertahan dalam jangka lama karena senyawa ini tahan terhadap
serangan mikroba tanah, erosi berkurang, dan memperbaiki pertumbuhan
tanaman semusim pada tanah liat yang berat.
Konservasi kimia perlu dipertimbangkan dalam upaya konservasi tanah,
karena untuk meningkatkan bahan organik tanah tidaklah mudah, sehingga
penambahan bahan kimia berperan dalam memenuhi unsur-unsur yang
dibutuhkan tanah.
Konservasi air adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien
mungkin dan pengaturan waktu aliran yang tepat, sehingga tidak terjadi banjir
yang merusak pada musim penghujan dan tidak kekurangan air pada musim
kemarau (Arsyad, 2010). Konservasi air dapat dilakukan dengan pemanfaatan
dua komponen hidrologi, yaitu air permukaan dan air tanah, serta meningkatkan
efisiensi pemakaian air irigasi. Dapat dikatakan konservasi air jika upaya
pelestarian sumber daya air agar dapat digunakan secara optimal dengan
menjaga siklus air.
a. Pengelolaan Air Permukaan (Surfce water management)
Pengelolaan air permukaan yaitu air yang berada pada permukaan tanah
meliputi pengendalian aliran permukaan, penyadapan air, dan meningkatkan
kapasitas infiltrasi tanah.
1). Pengendalian Aliran Permukaan
Pengendalian air permukaan sangat diperlukan karena tidak semua air
yang mengalir di atas permukaan tanah akan mengalir ke sungai atau ke danau.
Sebagian air tersebut hilang sebelum masuk ke dalam sungai. Salah satu untuk
meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air adalah dengan cara
menambahkan bahan organik tanah, bahan kimia, dan penutupan tanah dengan
mulsa. Pembuatan guludan dan saluran secara kontur adalah cara untuk
memaksa air masuk ke dalam tanah sehingga kebutuhan tanaman akan air
dapat terpenuhi. Metode lain yaitu penanaman dalam strip, merupakan sistem
penanaman berselang-seling antara strip tanaman yang tumbuh rapat dengan
srip tanaman semusim. Penanaman ini berperan dalam memperlambat aliran
permukaan, menyaring lumpur, dan memberi waktu bagi air untuk masuk ke
dalam tanah.
2). Pemanenan Air (water harvesting)
Pemanenan air dilakukan dengan cara mengumpulkan air yang
ditempatkan pada bidang tanah tertentu saja, sehingga akan benyak air yang
dapat disediakan bagi pertumbuhan tanaman, yaitu menutup bagian permukaan
tanah dengan bahan kedap air dan mengalir pada bagian tanah lain yang
ditanami tanaman tertentu.
3). Meningkatkan Kapasitas Infiltrasi Tanah
Kapasitas infiltrasi tanah dapat ditingkatkan untuk memperbaiki struktur
tanah yaitu dengan cara menanam tanaman penutup tanah, penggunaan mulsa,
dan memberikan bahan organik.
b. Pengelolaan Air Tanah (soil water management)
Pengelolaan air tanah adalah mengelola air di dalam tanah dengan
memperbiki drainase dan pengendalian air bawah permukaan tanah.
1). Drainase
Perbaikan drainase meningkatkan efisiensi penggunaan air oleh
tanaman, kehilangan air memungkinkan akar tanaman berkembang lebih luas ke
bagian lebih bawah dari profil tanah.
2). Pengendalian Aliran Bawah Permukaan
Usaha pencegahan aliran bawah permukaan (interflow) pada tanahtanah
yang tidak seragam dan berlereng, dapat dilakukan dengan menanamkan secara
vertikal dan menurut kontur lapisan penahan air seperti lembaran plastik.
BAB IV STRATEGI MANAJEMEN KAWASAN PEGUNUNGAN ATAU
PERBUKITAN
Jalan menuju pengelolaan ekosistem gunung yang baik memang bukan
jalan yang mudah, bahkan sangat tidak mudah dan cukup pelik. Kerusakan hutan
semakin besar, pemanfaatan lahan yang berlebihan (overexploited) telah
mendorong terjadinya bencana kemanusiaan dan lingkungan, meluasnya lahan
kritis, banjir, tanah longsor, menurunnya produktivitas lahan. Ketidakseimbangan
pemanfaatan lahan yang lebih menekankan pertimbangan produksi dan
mengabaikan pertimbangan konservasi. Upaya preventif, persuasif hingga
represif dan pemulihan hutan sejak masa kolonial hingga pasca kemerdekaan
tampaknya belum mampu menyamai laju kecepatan pembabatan hutan untuk
memperoleh lahan pertanian. Untuk itu, agar kawasan pegunungan dapat
digunakan namun tanpa mengurangi fungsinya atau merusak lingkungannya,
perlu dilakukan strategi managemen kawasan pegunungan agar kawasan
pegunungan yang telah digunakan dapat bertahan secara berkelanjutan.
Strategi managemen yang dimaksud yaitu pengelolaan sumberdaya alam
guna dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan manusia dan alam
itu sendiri. Fungsi dilakukannya managemen yaitu :
a. Planning (Perencanaan)
Konsep intinya adalah pengetahuan mengenai awal dan akhir dari suatu tindakan
dan kegiatan, penentuan kondisi rinci posisi saat ini dan posisi akhir yang
diinginkan.
b. Organizing (Pengorganisasian)
Terkait dengan penentuan struktur dan penentuan posisi saat ini terhadap
kondisi akhir yang diinginkan.
c. Actuating (Pelaksanaan)
Terkait dengan pelaksanaan kerja yang telah disepakati berdasarkan
pembagian kerja yang telah dibuat.
d. Controlling (Pengawasan)
Merupakan tindakan pengontrolan posisi terakhir kerja yang dilakukan
terhadap kondisi akhir yang diinginkan seberapa besar yang belum dicapai
danusaha usaha apa saja yang perlu dilakukan untuk pencapaiannya sesuai
dengan sumber daya yang masih tersedia.
Pengelolaan-pengelolaan yang dilakukan menurut Sumedi (2013) perlu
memperhatikan :
a. Pengelolaan wilayah pegunungan mensyaratkan adanya pendekatan
multidisiplin, lintas sektoral, partisipasi multi-stakeholders, dan dengan
pendekatan sistem.
b. Pengelolaan wilayah pegunungan harus berdasarkan keseimbangan dinamis,
yakni dengan tidak mengabaikan aspek perkembangan sosial ekonomi, namun
pada saat yang bersamaan tetap mempertahankan prinsip-prinsip ekologis dan
kelestarian lingkungan.
c. Pengelolaan wilayah pegunungan juga mensyaratkan hubungan hulu-hilir,
daerah atas dan bawah sebagai suatu sistem yang bersifat resiprokal (saling
memengaruhi). Dengan demikian perlu strategi perencanaan hingga
penganggaran yang juga melibatkan wilayah hulu-hilir, daerah atas-bawah
dengan prinsip saling menguntungkan dan berkeadilan.
d. Pada tahap operasional diperlukan langkah yang nyata dan jelas apa yang
harus dilakukan pada level individu, institusi dan negara baik secara
sendirisendiri maupun secara bersama-sama (siapa melakukan apa).
e. Insentif ekonomi bagi penduduk yang tinggal di wilayah hulu merupakan
alternatif penting untuk peran konservasinya dalam menjaga keseimbangan
lingkungan.
f. Perlunya rekayasa model pengelolaan gunung untuk mengembalikan fungsi
Gunung Sumbing sebagai pelindung lingkungan dan hidrologi.
g. Perlunya penelitian kriteria hutan yang baik sebagai konservasi, sebagai
pengatur tata air (hidrologis), di pegunungan atas, tengah dan bawah.
Untuk Gunung Sumbing sendiri, perlu dilakukan berbagai upaya untuk
mengembalikan kondisi lingkungan pada kawasan Gunung Sindoro Sumbing.
Hadi (2005) menyatakan ada tujuh langkah perencanaan, yaitu membuat
perumusan masalah, menetapkan tujuan, analisis kondisi, mencari alternatif
solusi, memilih alternatif yang paling baik, mengkaji alternatif pilihan dan
mengimplementasikan. Usulan pengelolaan kawasan dilakukan berdasarkan
analisis perbaikan lingkungan, tingkat partisipasi masyarakat, tingkat
keberhasilan dari produk-produk kebijakan pemerintah melalui 7 langkah
menurut Redjeki (2008) adalah sebagai berikut :
a) Perumusan Masalah
Kerusakan lahan yang terjadi pada kawasan Sumbing sebagai akibat dari
tingginya ketergantungan masyarakat terhadap lahan, dalam hal ini pertanian
dan perkebunan lahan kering yang kurang memperhatikan kaidah konservasi
tanah dan air serta masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat
terhadapkondisi sumber daya alam dan lingkungan serta belum adanya pelibatan
masyarakat dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, implementasi
sampai dengan pengawasan dan pengendaliannya.
b) Penetapan Tujuan
Penetapan tujuan dilakukan berdasarkan permasalahan yang ada yaitu
kerusakan lingkungan yang terjadi pada Kawasan Gunung Sumbing yang
dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat, pemerintah dan stakeholder
yang ada. Hal ini dilakukan dengan menyusun pedoman pengelolaan Kawasan
Gunung Sumbing sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi yang ada sekarang
secara partisipatif dan terintegrasi, salah satunya dengan melaksanakan
kegiatan budidaya dengan sistem campuran/tumpangsari antara tanaman
pertanian/semusim dengan tanaman tahunan dan juga antara tanaman
pertanian/semusim dengan rumput yang ditanam sebagai penguat teras.
c) Analisis Kondisi
Pegelolaan kawasan Sumbing perlu dilakukan dengan memperhatikan
kondisi dan fungsi kawasan. Untuk menganilisis kondisi yang ada digunakan
Analisa SWOT, yaitu dengan menginvetarisasi dan mengidentifikasi faktor
internal dan faktor eksternal yang ada. Hal ini dilakukan bersama-sama antara
peneliti, masyarakat dan stake holder yang ada.
d) Alternatif Kebijakan
Penyusunan alternatif solusi dengan didukung dari faktor internal dan
eksternal yang ada digunakan untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan
kawasan gunung Sumbing yaitu :
1. Alternatif kebijakan fisik : Melaksanakan kegiatan budidaya yang sesuai
dengan kaidah konservasi dan karakteristik, serta pengelolaan tanaman yang
dapat mengendalikan erosi. Hal ini dilakukan dengan menanam jenis tanaman
keras lokal yaitu kemlandingan gunung, cemara gunung dan kaliandra pada
batas-natas kepemilikan lahan.
2. Alternatif Kebijakan Sosial ekonomi dan budaya : Melaksanakan kegiatan
sosialisasi dan pembelajaran mengenai pemahaman lingkungan hidup pada
masyarakat di kawasan Sumbing melalui lembaga-lembaga yang ada. di
masyarakat, pemerintah memberikan alternatif komoditas/jenis tanaman
pengganti dari budidaya komoditas yang tidak ramah lingkungan dengan
komoditas yang ramah lingkungan, melakukan kegiatan rehabilitasi lahan tanpa
menunggu program/proyek dari pemerintah, penyusunan rencana pengelolaan
kawasan Sumbing berdasarkan potensi sumberdaya yang tersedia serta
penegakan hukum terhadap masyarakat/anggota masyarakat yang melanggar
peraturan yang ada.
e) Pemilihan Alternatif
Tujuan rekomendasi kebijakan adalah memberikan alternatif kebijakan
yang paling unggul dibandingkan dengan alternatif kebijakan yang lain. Dari
beberapa alternatif yang ada kemudian dipilih dan ditentukan yang terbaik,
berdasarkan pertimbangan faktor-faktor yang saling berkaitan dan mendukung
terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, yaitu faktor lingkungan, ekonomi
dan sosial. Berdasarkan sasaran strategi prioritas, alternatif kebijakan yang
dipilih adalah sebagai berikut :
1) Melaksanakan kegiatan budidaya yang sesuai dengan kaidah konservasi yaitu
dengan membuat sistem terasering yang searah kontur serta pengelolaan
tanaman yang dapat mengendalikan erosi, yaitu dengan penanaman secara
tumpangsari antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan.
2) Pemerintah bersama masyarakat dan stakeholder melaksanakan kegiatan
perbaikan kawasan secara berkesinambungan dan terintegrasi.
3) Melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pembelajaran mengenai pemahaman
lingkungan hidup pada masyarakat di kawasan Sumbing melalui lembaga-
lembaga yang ada di masyarakat.
4) Pemerintah memberikan alternatif komoditas / jenis tanaman pengganti dari
budidaya komoditas yang tidak ramah lingkungan dengan komoditasyang ramah
lingkungan.
5) Peningkatan partisipasi masyarakat melalui pelibatan aktif dan pengawasan
pelaksanaan sampai kepada pengawasan dan evaluasi oleh semua stakeholders
sesuai dengan peranan dan fungsi masing-masing.
Beberapa strategi lain menurut Sumedi (2013) yaitu :
1. Mencari dan menerapkan model optimal penggunaan lahan (ekonomi, sosial,
ekologi).
2. Menghilangkan hambatan sektoral untuk bersama-sama mendayagunakan
potensi dari luar daerah.
3. Meningkatkan kompetensi kelembagaan yang mampu menarik peran institusi
dari semua level.
4. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pengelolaan wilayah
gunung.
5. Meningkatkan peran forum dialog dengan mengambil pengalaman sejarah.
6. Meningkatkan kesadaran lingkungan disertai program lapang yang realistis.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Indonesia memiliki jumlah luasan hutan yang sangat luas namun semakin
berkurang tiap tahunnya dikarenakan adanya alih fungsi lahan hutan di
pegunungan menjadi lahan pertanian. Namun lahan yang telah digunakan untuk
lahan pertanian tidak diperhatikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan
dampak negatif seperti degradasi lahan. Salah satu kasus degradasi lahan
terdapat pada pegunungan Sumbing yang terletak pada Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah, Indonesia. Gunung Sumbing memiliki potensi yang bervariasi,
meskipun belum semua potensi-potensi tersebut dapat dikelola secara optimal.
Akan tetapi potensi bahaya yang dapat ditimbulkan juga tidak kalah besar.
Banyak kegiatan pemanfaatan lahan yang kurang bijaksana oleh penduduk desa
di kawasan Gunung Sumbing menyebabkan wilayah Gunung Sumbing telah
mengalami kerusakan lingkungan. Beberapa kerusakan yang terjadi yaitu
rusaknya daerah resapan air yang selama ini mengandalkan pada keberadaan
hutan di sekitar, penurunan kesuburan yang disebabkan penggunaan bahan-
bahan kimia (obat-obatan serta pupuk anorganik), serta kebakaran hutan yang
diawali dengan adanya kegiatan pembukaan lahan oleh para petani. Kerusakan-
kerusakan tersebut akan menimbulkan dampak negatif seperti erosi dan banjir
yang akan merugikan baik bagi kawasan hulu maupun hilir. Untuk itu, perlu
dilakukan strategi managemen seperti melaksanakan kegiatan budidaya yang
sesuai kaidah konservasi, melaksanakan perbaikan kawasan secara
berkesinambungan, melaksanakan kegiatan sosialisasi mengenai pemahaman
lingkungan serta penanaman komoditas yang ramah lingkungan.
5.2 Saran
Berdasarkan penjelasan mengenai permasalahan pada Gunung
Sumbing, maka beberapa rekomendasi yang telah dijelaskan harus dilaksanakan
bagi seluruh pihak yang terkait dengan pengaturan dan penggunaan lahan di
kawasan Gunung Sumbing agar seluruh permasalahan pada kawasan Gunung
Sumbing dapat dikurangi dan diatasi sehingga lahan pada Gunung Sumbing
tetap dapat digunakan secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghifari, A. R., L. D. Dzakiah dan L. K. J. Asrin. 2009. Erosi sebagai Penyebab
Utama Degradasi Lahan. Program Sarjana Agroekoteknologi Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati. Bandung.
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2016. Gunung
Sumbing. Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Bandung.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jawa Tengah. 2010. Kondisi
Kabupaten Magelang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian Jawa Tengah. Semarang.
FAO. 2005. Hutan dan Banjir: Tenggelam dalam Suatu Fiksi, atau Berkembang
dalam Fakta. Pusat Penelitian Kehutanan Internasional Organisasi Pangan
dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Thailand.
Hadi, S. P. 2005. Bahan Kuliah Teori Perencanaan Lingkungan. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian dalam Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Idjudin, A. A. 2011. Peranan Konservasi Lahan dalam Pengelolaan Perkebunan.
J. Sumberdaya Lahan. 5(2): 103-116.
Pusat Krisis Kesehatan. 2016. Sudah Siapkah Kita Menghadapi Banjir? Buku
Penanggulangan Krisis Kesehatan untuk Anak Sekolah. Pusat Krisis
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Selatan.
Redjeki, R. S. 2008. Kajian Pengelolaan Lingkungan pada Kawasan Gunung
Sindoro Sumbing (Studi Kasus di Desa Sigedang dan Desa Butuh
Kabupaten Wonosobo). Tesis. Program Magister Ilmu Lingkungan.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Saidy, A. R. 2018. Bahan Organik Tanah: Klasifikasi, Fungsi dan Metode Studi.
Lambung Mangkurat University Press. Banjarmasin.
Sumarto, M. 2005. Dampak Alih Fungsi Hutan menjadi Pemukiman di Bagian
Kota IX Mijen Kota Semarang. Thesis. Program Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Diponegoro. Semarang.
Sumedi, N. 2013. Strategi Pengelolaan Ekosistem Gunung: Menjaga dan
Merawat Kehidupan. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya
Alam. Kalimantan Timur.
Suwardjo, H., A. Abdurachman, and S. Abujamin. 1989. The Use of C Mulch to
Minimize Tillage Frequency. J. Tanah dan Pupuk: 31-37.
Suwarno, B. H. 2014. Alih Fungsi Lahan Hutan di Indonesia. Badan Lingkungan
Hidup Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.
Tacconi, L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi
Kebijakan. Center for International Forestry Research. Bogor.
Yasin, S. 2004. Degradasi Lahan Akibat Berbagai Jenis Penggunaan Lahan di
Kabupaten Dharmasraya. J. Solum. 1(2): 6-73.