Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“KARAKTERISTIK ALAMIAH LAHAN RAWA GAMBUT”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Lingkungan Lahan


Basah

Dosen Pengampu

Dr. Sidharta Adyatama M.Si

Disusun Oleh

Hamidayanti

2110115120015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang


Esa, karena berkat rahmat dan karunianya sehingga penulis mampu menyelesaikan
makalah mata kuliah Geografi dan lingkungan dengan tepat waktu.

Penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas di Universitas


Lambung Mangkurat Banjarmasin Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Penyusunan makalah ini dapat terlaksana dengan baik. Walaupun di dalam
penyusunannya terdapat banyak kekurangan yang telah dilewati, tetapi berkat
bantuan dari berbagai pihak laporan ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Untuk itu pada kesempatan ini mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr.
Sidharta Adyatama M .Si selaku dosen pengampu pada mata kuliah geografi tanah
dan Lingkungan.

Semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi orang lain dan dapat
digunakan sebagai referensi sumber ilmu. Tetapi seperti yang kita ketahui tidak ada
yang sempurna masih banyak kekurangan di dalam makalah yang telah saya susun,
oleh karena itu penulis berharap agar para pembaca dapat memberikan kritik dan
saran yang membangun dari penulis untuk agar lebih baik laporan ini ke depan nya.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih.

Banjarmasin, 20 September 2022

Hamidayanti
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang................................................................................................3
BAB II............................................................................................................................4
PEMBAHASAN.............................................................................................................4
2.1 Definisi Lahan Rawa Gambut.............................................................................4
2.2 Hidrologi Lahan Rawa Gambut...........................................................................7
2.3 Tipe Lahan Rawa Gambut..................................................................................8
2.4 Nilai kekayaan rawa gambut...............................................................................9
2.5 Ekosistem..........................................................................................................10
BAB III.........................................................................................................................11
PENUTUP...................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahan rawa merupakan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan secara
bijak agar dapat menjadi sumber pertumbuhan yang mampu mendorong laju
pembangunan perekonomian dan memakmurkan rakyatnya. Oleh karena itu
walaupun dalam era otonomi yang memberikan wewenang luas, pengelolaan
lahan rawa pasang surut harus tetap mengindahkan kondisi dan sifat-sifat lahan
yang khas dan unik. Wilayah lain yang dimaksud adalah wilayah yang secara
administrasi dan hukum sudah di luar wilayahnya, namun masih menjadi satu
kesatuan karena sistem rawa yang melingkupinya. (Ar-Riza and Alkasuma 2008)

Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), pemanfaatan lahan rawa pasang surut


untuk pertanian masih akan menghadapi berbagai masalah diantaranya adalah
kondisi luapan dan genangan air yang sangat variatif dari satu wilayah ke
wilayah lain, jenis tanah yang sangat beragam dengan tingkat kesuburan yang
rendah dan variatif, kemasaman tanah dan potensi racun pirit yang tinggi yang
dapat mematikan tanaman, ketebalan dan tingkat kematangan gambut yang
berbeda, serta kondisi petani yang masih lemah baik dari segi keterampilan
maupun permodalan. Melihat karakter lahan dan kondisi sosial tersebut maka
pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian memerlukan kecermatan
dan kehati-hatian dalam perencanaan dan kesungguhan pelaksanaan
pengembangannya.

Pembangunan pertanian pada lahan rawa harus diupayakan menuju ke


sistem pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya secara
optimal berdasarkan karakteristik lahan, kesesuaian komoditas dan dengan tetap
memperhatikan budaya masyarakat setempat. Menurut Sinukaban (1999),
pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan pertanian di suatu
daerah yang tidak merusak lingkungan, dan memberikan hasil tinggi sehingga
dapat memacu petani untuk terus berusaha lebih lanjut pada lahan tersebut.
Untuk menuju ke arah tersebut maka lahan rawa pasang surut harus
dimanfaatkan sesuai kondisi tipologi, tipe luapan air dan peruntukannya, serta
preferensi wilayah karena tidak semua lahan rawa dapat dimanfaatkan untuk
pertanian (Abdurachman et al.,1999).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Lahan Rawa Gambut

Lahan rawa gambut di daerah tropis mencakup areal seluas 38 juta ha dari
total seluas 200 juta ha yang terdapat di seluruh dunia. Luas lahan gambut di
Indonesia diperkirakan terdapat antara 13,5 - 26,5 juta ha. Paling sedikit ada 11 dari
berbagai sumber data yang bervariasi. Menurut Driessen (1976) di Indonesia lahan
gambut seluas 17 juta ha yang terbentang dari pantai timur Sumatera Timur seluas
9,7 juta ha yang meliputi Propinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Di Kalimantan
seluas 6,3 juta ha meliputi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, dan Irian Jaya
seluas 100.000 ha. Data Puslittanak (1981) mengemukakan luas lahan gambut di
Indonesia adalah 26,5 juta ha dengan perincian di Sumatera seluas 8,9 juta ha,
Kalimantan 6,5 juta ha, Papua 10,5 juta ha dan lainnya 0,2 juta ha. Wetland
International (1996) menunjukkan bahwa luas seluruh lahan gambut yang ada di
Indonesia adalah seluas 20.697.000 ha dengan perincian di Sumatera 7,21 juta ha
dan di Kalimantan 5,79 juta ha dan Wahyunto et. al. (2005) memperkirakan luas
seluruhnya 21 juta ha di Indonesia. (Daryono 2009) Untuk melihat sebaran luasnya
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini :
Perkembangan pembangunan Hutan Tanaman pada akhir-akhir ini dirasakan
hampir terhenti, dikarenakan situasi ekonomi dan politik yang kurang
menguntungkan di Indonesia. 3 Produksi kayu dari hutan tanaman sampai tahun
2004 mencapai 27.739.450 m , yang terdiri dari kayu hasil tanaman HTI pulp
sebesar 27.022.485 m3, sedang hasil HTI 3 kayu pertukangan hanya sebesar
716.964 m (Departemen Kehutanan, 2005). Dari luasan tersebut, sebagian
besar tanaman dibangun pada areal bekas tebangan hutan non produktif
dataran rendah pada lahan kering, sedangkan pembangunan hutan tanaman
pada logged-over area pada lahan rawa gambut masih relatif sedikit dilakukan.
Hal ini disebabkan beberapa hal diantaranya adalah pemilihan jenis pohon untuk
ditanam, dan pengetahuan teknik silvikultur jenis yang spesifik di hutan rawa
gambut yang masih sangat terbatas, habitat rawa gambut yang kurang subur
(miskin hara) dan sifat kemasaman yang tinggi sehingga pada umumnya
tanaman mempunyai pertumbuhan yang lambat. Selain hal itu, penanaman di
habitat rawa relatif sulit, sehingga perlu dicari metode penanaman yang tepat.
Oleh karena itu,sampai saat ini dirasakan rehabilitasi pada logged-over area
maupun lahan yang kurang produktif baik bekas pembalakan, bekas kebakaran
dan perambahan maupun pengembangan hutan tanaman di rawa gambut
sangat lambat dan kurang terperhatikan. Proyek lahan gambut sejuta hektar,
berdasarkan Keppres No.93 tahun 1992, dan pelaksanaannya berdasarkan
Keppres No. 82 tahun 1995, merupakan salah satu contoh pengalaman pahit
suatu kegagalan. Pada awalnya bertujuan dalam rangka pengamanan pangan
nasional, tetapi dalam pelaksanaannya dinilai kurang berhasil dan gagal karena
menimbulkan berbagai permasalahan baik teknis, sosial, ekonomi, dan budaya
maupun lingkungan ekologis. Selain itu, dilaporkan pula telah terjadi
penebangan liar dan perambahan hutan secara besar-besaran pada areal hutan
yang belum digarap, sehingga terjadi kerusakan hutan beserta isinya termasuk
habitat satwa liar yang terjadi dengan sangat cepat. Selain itu, hutan rawa
gambut yang rusak mengalami penurunan permukaan air dengan adanya
saluran-saluran drainase yang kurang tepat dan mengakibatkan kekeringan.
Karena gambut memiliki sifat kering yang tidak dapat balik (irreversible) maka
gambut mempunyai potensi yang tinggi untuk kebakaran seperti yang telah
terjadi belakangan ini. Sebaliknya di musim penghujan terjadi bahaya banjir.
Terbitnya Inpres No.2 tahun 2007 tentang percepatan rehabilitasi dan revitalisasi
kawasan lahan gambut eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut Kalteng,
merupakan langkah dan tindak lanjut pemulihan kerusakan dan pengembalian
fungsi ekologis, lingkungan dan sosial, ekonomi dan budaya pada kawasan
lahan gambut tersebut. Pengelolaan hutan dan lahan gambut perlu dilakukan
secara bijaksana dan hati-hati, hal ini disebabkan karena hutan rawa gambut
merupakan suatu ekosistem yang mudah rapuh, sehingga kalau pengelolaan
tidak dilakukan secara benar, hutan tersebut tidak akan lestari. Jenis pohon yang
tumbuh di areal rawa gambut sangat spesifik dan mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi baik dari hasil kayunya maupun hasil non kayu seperti getahgetahan,
rotan, obat-obatan dan lain-lain. Hutan atau lahan rawa gambut yang mengalami
degradasi baik sebagai akibat penebangan liar, penjarahan dan kebakaran
hutan dan lainlain ini harus segera dilakukan rehabilitasi untuk mengembalikan
fungsi ekologis maupun meningkatkan produktivitasnya sehingga fungsi
ekosistem itu dapat segera pulih kembali.

2.2 Hidrologi Lahan Rawa Gambut


Sistem hidrologi menentukan kelestarian lahan gambut dan keberlangsungan
jasa lingkungannya. Neraca air yang setimbang diperlukan untuk berlangsungnya
neraca karbon yang setimbang. Kelestarian jasa lingkungan ekosistem gambut
hanya dapat dicapai dengan neraca karbon yang setimbang. Diperlukan tata air
yang baik agar kelestarian ekosistem gambut dan layanan jasa lingkungannya tetap
lestari. Berikut peranan hidrologi dalam kelestarian ga,but dan jasa lingkungan

1. Lapisan gambut merupakan akuifer yang menjadi sumber aliran utama sungai
sungai air hitam pada musim kemarau
2. Neraca karbon lahan rawa gambut yang seimbang diperlukan untuk
keberlangsungan ekosistem hutam rawa gambut yang lestari
3. Neraca air dann neraca karbon yang setimbang hanya dicapai apabila neraca
air juga setimbang
4. Drainase buatan mempengaruhi untuk kondisi siklus hidrologi pada lahan
gambut (khotimon 2005)
5. Tata air yang baik diperlukan dan perannya dalam menyediakan jasa
lingkungan

2.3 Tipe Lahan Rawa Gambut


Hutan rawa gambut adalah salah satu tipe hutan rawa yang merupakan
ekosistem yang spesifik dan rapuh, baik dilihat dari segi habitat lahannya yang
berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan
mulai dari kurang dari 0,5 meter sampai dengan kedalaman lebih dari 20 m.
Jenis tanahnya tergolong organosol, podsol maupun glei humus.

Dalam melakukan kegiatan rehabilitasi/revegetasi di lahan gambut yang


terdegradasi, beberapa faktor yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan
untuk keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi adalah, faktor tapak atau site
sebagai tempat tumbuh tanaman itu sendiri, seperti tingkat penggenangan
habitat sehingga akan mempengaruh pola pemanfaatannya. Sehubungan
dengan hal ini, berdasarkan pengaruh gerakan pasang surut air sungai dan
topografi lahan pasang surut, maka lahan pasang surut dapat dibedakan menjadi
4 tipologi sebagai berikut :

1. Tipe A : Lahan rawa pasang surut yang selalu digenangi, baik oleh
pasang besar maupun pasang surut kecil
2. Tipe B : Lahan rawa pasang surut yang terluapi apabila pasang besar
3. Tipe C : Lahan rawa pasang surut yang tidak terluapi air pasang, tetapi air
tanahnya < 50 cm
4. Tipe D : lahan rawa pasang surut tidak terluapi air pasang, tetapi air
tanahnya > 50 cm.

Pada lahan tipe D dapat dikembangkan tanaman kehutanan dengan jenis


yang relatif banyak dapat cocok pada habitat tersebut, sedang pada C maupun B
dengan jenis-jenis yang tahan terhadap waterlogged. Pada Tipe A biasanya jenis
seperti gelam (Melaleuca cayuputti) yang tahan terhadap genangan air.

2.4 Nilai kekayaan rawa gambut


Habitat rawa gambut mengandung kekayaan keanekaragaman yang tinggi untuk
jenis flora dan fauna, reservoir/simpanan air, dan simpanan karbon. Kekayaan flora
yang berisi bermacam-macam jenis pohon yang kayunya mempunyai nilai komersial
tinggi untuk keperluan bahan industri meubel dan konstruksi. Selain itu juga terdapat
berbagai jenis pohon yang mempunyai nilai komersial dari hasil non kayu baik
berupa getah, lateks, kulit pohon, bahkan mempunyai kandungan zat ekstraksi yang
berguna untuk kepentingan obat-obatan (medicinal plants). Jenis-jenis pohon rawa
gambut yang memiliki potensi strategis seperti bintangur (Calophyllum lanigerum)
yang mempunyai zat bioaktif untuk anti virus HIV. Jenis bintangur lainnya adalah
Calophyllum cannum dan C.dioscorii yang mempunyai zat bioaktif anti kanker dan
masih ada lagi beberapa jenis prospektif lainnya. Di masa depan, nilai ekonomi zat
bioaktif ini akan jauh lebih tinggi dari pada nilai kayunya. Pada Tabel 2 disajikan
beberapa pohon penting yang kayunya mempunyai nilai komersial tinggi dan pada
Tabel 3 dicakup jenis-jenis pohon yang mempunyai nilai penting yang menghasilkan
hasil hutan non kayu, Fauna yang spesifik yang ada di hutan rawa gambut di
antaranya adalah orang utan (Pongo pygmaeus), bakantan (Nasalis larvatus),
beruang madu (Helarctos malayanus), owa (Hylobates agilis), burung rangkong
(hornbills), macan daun, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lain-lain. Di
hutan rawa gambut yang ketebalan gambutnya sangat dalam, terdapat suatu
ekosistem air hitam dengan biota yang spesifik yakni adanya fitoplankton
Cosmarium sp, dan Peridium sp yang hanya ada di ekosistem air hitam. Laporan
dari Britain Royal Society yang dipublikasikan pada akhir Januari 2006, melaporkan
bahwa, telah diketemukan seekor ikan dewasa yang terkecil di dunia berukuran
panjang 1/3 inch (8,5 mm) dan saat ini spesimennya berada di National History
Museum, yang diperoleh dari hutan rawa gambut bekas terbakar di Sumatera. Hal
ini bukan saja ikan terkecil tetapi juga vertebrata dewasa terkecil di dunia.
2.5 Ekosistem
Ekosistem rawa gambut memiliki berbagai fungsi lingkungan seperti
penyimpan cadangan karbon, habitat dari keanekaragaman plasma nutfah, dan
beragam sistem dalam penyangga kehidupan. Kebakaran hutan berpotensi
mempengaruhi fungsi ekosistem rawa gambut dan mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang ditandai dengan hilangnya vegetasi pengisi lahan serta terjadi
perubahan sifat fisika dan kimia tanah gambut.

Pada kondisi alami, hutan rawa gambut terdiri atas tiga komponen utama:
Vegetasi, Gambut dan Hidrologi. Vegetasi memberikan input bahan organik dan
dekomposisi merupakan keluaran dari sistem neraca karbon. Sistem hidrologi
ditandai oleh simpanan yang relatif stabil dimana input dari curah hujan
disetimbangkan oleh keluaran melalui evapotranspirasi dan aliran ke sungai, Bila
vegetasi dihilangkan dari sistem maka input bahan organik hilang atau berkurang
sementara keluaran melalui dekomposisi tetap berlangsung atau bahkan mengalami
akselerasi. Akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya subsiden dan pelepasan GRK
baik melalui dekomposisi mikrobial maupun kebakaran, lahan gambut didrainase
maka keluaran pada neraca air meningkat, berakibat pada berkurangnya simpanan
air tanah yang terlihat dengan turunnya muka air tanah. Dengan turunnya muka air
tanah laju dekomposisi gambut meningkat. Akibat yang ditimbulkan adalah
terjadinya subsiden dan pelepasan GRK baik melalui dekomposisi mikrobial maupun
kebakaran
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Lahan rawa merupakan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan secara


bijak agar dapat menjadi sumber pertumbuhan yang mampu mendorong laju
pembangunan perekonomian dan memakmurkan rakyatnya. Oleh karena itu
walaupun dalam era otonomi yang memberikan wewenang luas, pengelolaan
lahan rawa pasang surut harus tetap mengindahkan kondisi dan sifat-sifat lahan
yang khas dan unik. Wilayah lain yang dimaksud adalah wilayah yang secara
administrasi dan hukum sudah di luar wilayahnya, namun masih menjadi satu
kesatuan karena sistem rawa yang melingkupinya. (Ar-Riza and Alkasuma 2008)

Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), pemanfaatan lahan rawa pasang surut


untuk pertanian masih akan menghadapi berbagai masalah diantaranya adalah
kondisi luapan dan genangan air yang sangat variatif dari satu wilayah ke
wilayah lain, jenis tanah yang sangat beragam dengan tingkat kesuburan yang
rendah dan variatif, kemasaman tanah dan potensi racun pirit yang tinggi yang
dapat mematikan tanaman, ketebalan dan tingkat kematangan gambut yang
berbeda, serta kondisi petani yang masih lemah baik dari segi keterampilan
maupun permodalan. Melihat karakter lahan dan kondisi sosial tersebut maka
pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian memerlukan kecermatan
dan kehati-hatian dalam perencanaan dan kesungguhan pelaksanaan
pengembangannya.

Indonesia memiliki rawa yang sangat luas, lebih kurang 33,4 juta hektar
dimana sekitar 60 % nya merupakan rawa pasang surut. Luas sisanya sekitar 40 %
merupakan rawa lebak atau rawa non pasang surut . lebih dari 9 juta ha dari rawa
pasang surut sudah di reklamasi, sebagian oleh Pemerintah (sekitar 1.3 juta ha) dan
sebagian lagi oleh Penduduk lokal utamanya suku Bugis dan Banjar (sekitar 2.4 juta
ha), kurang lebih seluas 5.3 juta ha dikembangkan oleh perusahaan swasta
terutama untuk perkebunan sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan selebihnya
untuk pertambakan. Pengembangan rawa di Indonesia berawal di Pulau Sumatera
dan Kalimantan yang dirintis pada awal abad ke dua puluh oleh transmigran
lokal/spontan. Sedangkan reklamasi rawa dengan skala besar disponsori oleh
Pemerintah, yang mencapai puncaknya pada dasawarsa 70-an dan 80-an dengan
tujuan menunjang program transmigrasi dan peningkatan produksi pangan serta
pemerataan pembangunan guna mendorong pengembangan ekonomi wilayah.
Penduduk asli suku Melayu dan para pendatang dari suku Bugis dan Banjar secara
tradisional bermukim dirawa pasang surut di Sumatra dan Kalimantan. Semenjak
tahun 80an, sektor swasta menjadi penggerak utama dalam aktivitas
pengembangan lahan rawa terutama rawa pasang surut. Pada awal tahun 90an
hanya sekitar 200.000 ha lahan rawa dikembangkan untuk perkebunan dan sekitar
300.000 ha yang dikembangkan untuk tambak oleh sektor swasta. Pada tahun 2000,
lahan rawa yang dikembangkan meningkat dengan pesat, 5 juta ha lahan
perkebunan dan 450.000 ha untuk lahan pertambakan.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Muhammad. 2014. “Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi.”
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”
(2007): 45–59.
http://kalsel.litbang.pertanian.go.id/ind/images/pdf/semnas2014/6_alwi.pdf.
Amin, Mohamad. 2016. “Potensi, Eksploitasi Dan Konservasi Berkelanjutan Lahan
Basah Di Indonesia.” Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah 1: 14–22.
Ar-Riza, and Alkasuma. 2008. “Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Dan Strategi
Pengembangannya Dalam Era Otonomi Daerah.” Jurnal Sumberdaya Lahan
2(2): 95–104.
Baldwin, Andrew H., Aat Barendregt, and Dennis F. Whigham. 2009. Tidal
Freshwater Wetlands Tidal Freshwater Wetlands- An Introduction to the
Ecosystem.
Budianta, Dedik, Yuanita Windusari, and T Abel. 2016. “Beneficial Effect of Local
Resources to Improve Food Crop Production in Tidal Swamp of Indonesia.”
International Journal of Environmental & Agriculture Research (IJOEAR) 2(1):
98–101. https://ijoear.com/issue-detail/issue-January-2016.
Lebak, Rawa, and Sumatera Selatan. 2019. “BUDI DAYA DAN ADAPTASI
VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA LAHAN RAWA LEBAK SUMATERA
SELATAN Cultivation And Adaptation of New Superior Varieties Paddy In Lebak
Swampy Lands In South Sumatra.”
Muthmainnah, Dina et al. 2012. “Pola Pengelolaan Rawa Lebak Berbasis
Keterpaduan Ekologi- Ekonomi-Sosial-Budaya Untuk Pemanfaatan
Berkelanjutan.” J. Kebijak. Perikanan. Ind 4(2): 59–67.
Ogan, D I, and Komering Ilir. 2008. “FLUKTUASI GENANGAN AIR LAHAN RAWA
LEBAK.” 3(2): 57–66.
Soendjoto, Mochamad Arief, and Dharmono. 2016. “Potensi, Peluang, Dan
Tantangan Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah Secara Berkelanjutan.”
Prosiding Seminar Universitas Lambung Mangkurat 2015: 1–20.
Sudana, Wayan. 2009. “Potensi Dan Prospek Lahan Rawa Sebagai Sumber
Produksi Pertanian.” : 141–51.
Tejoyuwono, and Notohadiprawiro. 2006. “Lahan Basah.” Repro : Ilmu Tanah UGM
(Lahan Basah): 1–10.

Anda mungkin juga menyukai