Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PARADIGMA SOSIAL LINGKUNGAN LAHAN BASAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Lingkungan


Lahan Basah

Dosen Pengampu

Dr. Sidharta Adyatama M.Si

Disusun Oleh

Hamidayanti

2110115120015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang


Esa, karena berkat rahmat dan karunianya sehingga penulis mampu
menyelesaikan makalah mata kuliah Geografi dan lingkungan dengan tepat
waktu.

Penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas di Universitas


Lambung Mangkurat Banjarmasin Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Penyusunan makalah ini dapat terlaksana dengan baik. Walaupun di dalam
penyusunannya terdapat banyak kekurangan yang telah dilewati, tetapi berkat
bantuan dari berbagai pihak laporan ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Untuk itu pada kesempatan ini mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak
Dr. Sidharta Adyatama M .Si selaku dosen pengampu pada mata kuliah geografi
tanah dan Lingkungan.

Semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi orang lain dan
dapat digunakan sebagai referensi sumber ilmu. Tetapi seperti yang kita ketahui
tidak ada yang sempurna masih banyak kekurangan di dalam makalah yang
telah saya susun, oleh karena itu penulis berharap agar para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun dari penulis untuk agar lebih baik
laporan ini ke depan nya. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih.

Banjarbaru, 22 Oktober 2022

Hamidayanti
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................3
BAB I............................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................4
1.1 Latar Belakang....................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................8
1.3 Tujuan Makalah..................................................................................8
BAB II...........................................................................................................9
PEMBAHASAN............................................................................................9
2.1 Paradigma sosial lingkungan lahan basah.........................................9
2.2 Studi Kasus.......................................................................................11
BAB III........................................................................................................16
PENUTUP..................................................................................................16
3.1 Kesimpulan.......................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................17
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Frasa lahan basah seringkali digunakan oleh masyarakat di
Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara harfiah,
frasa lahan basah berasal dari dua kata yaitu lahan yang bermakna
‘tanah terbuka’. Kemudian basah bermakna (1) mengandung air atau
cair, (2) belum kering, dan (3) banyak mendatangkan keuntungan.
Maka dapat diketahui bahwa lahan basah merupakan lokasi suatu
daerah yang dapat mendatangkan banyak keuntungan.
Sementara Konvensi Ramsar (1971) mendefinisikan lahan basah
dalam pasal 1(1) sebagai wilayah daerah paya, arwa, gambut, atau
perairan, baik alami maupun buatan, permanen atau temporer
(sementara), dengan air yang mengalir atau diam, tawar, payau, atau
asin, termasuk pula wilayah dengan air laut yang kedalamannya di
saat pasang rendah (surut) tidak melebihi 6 meter. Dan pasal 2(1)
menyebutkan bahwa lahan basah dapat pula mencakup wilayah
riparian (tepian sungai) dan pesisir yang berdekatan dengan suatu
lahan basah, pulau-pulau, atau bagian laut yang dalamnya lebih dari 6
meter yang terlingkupi oleh lahan basah (Anggara, 2018). Konvensi
Ramsar merupakan konvensi internasional yang secara spesifik
mengatur tentang konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara
bijak (Anggara AS, 2018).
Pengertian lingkungan dapat diartikan sebagai elemen biologis dan
abiotik yang mengelilingi organisme individual atau spesies, termasuk
banyak yang berkontribusi pada kesejahteraannya. Lingkungan juga
dapat didefinisikan sebagai semua komponen alami bumi (udara, air,
tanah, vegetasi, hewan, dll.) beserta semua proses yang terjadi di
dalam dan di antara komponen tersebut (Effendy dkk, 2018).
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup
keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral,
serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam
lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti
keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
(Effendi dkk, 2018). Lingkungan lahan basah merupakan kondisi alam
(lingkungan) yang benar-benar terjadi di suatu daerah. Oleh sebab itu
pemahaman mengenai isu-isu yang ada di lingkungan lahan basah
menjadi kebutuhan bagi seorang pencari pekerjaan sebab lokasi
wilayah yang strategis tentunya akan menguntungkan banyak orang
dan masyarakat. Maka pengelolaan potensi dan peluang lingkungan
lahan basah sangat dibutuhkan sebagai pemanfaatan wilayah yang
produktif dalam mendukung kehidupan manusia (Effendi R dkk, 2018).
Istilah “Lahan Basah”, sebagai terjemahan “wetland” baru dikenal di
Indonesia sekitar tahun 1990. Sebelumnya masyarakat Indonesia
menyebut kawasan lahan basah berdasarkan bentuk/nama fisik
masingmasing tipe seperti: rawa, danau, sawah, tambak, dan
sebagainya. Disamping itu, berbagai departemen sektoral juga
mendefinisikan lahan basah berdasarkan sektor wilayah pekerjaan
masing-masing. Lahan basah, berdasarkan Sistem Klasifikasi Ramsar,
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama, yaitu: lahan basah
pesisir dan lautan, lahan basah daratan, dan lahan basah buatan.
Diantara ketiga kelompok utama lahan basah tersebut, lahan basah
buatan (human-made wetlands) mungkin bisa dianggap sebagai satu-
satunya kelompok lahan basah yang memiliki posisi paling dilematis,
karena di satu sisi pembangunan lahan basah buatan memang perlu
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu (misal
habitat mangrove diubah jadi tambak) sementara di sisi lain
pembangunan lahan basah buatan dianggap menjadi penyebab
berkurangnya (atau bahkan hilangnya) fungsi dan nilai (manfaat) lahan
basah alami (Arinal, I. 2003).
Lahan Basah adalah “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut,
dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau
mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang
kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut”
(Konvensi Ramsar) Lahan basah memiliki peranan yang sangat
penting bagi kehidupan manusia. Fungsi lahan basah tidak saja
dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung, seperti
sumber air minum dan habitat beraneka ragam mahluk, tapi juga
memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengendali banjir, pencegah
intrusi air laut, erosi, pencemaran, dan pengendali iklim global.
Kawasan lahan basah juga akan sulit dipulihkan kondisinya apabila
tercemar, dan perlu bertahuntahun untuk pemulihannya (Murdiyarso
dan Suryadiputra, 2003). Dengan demikian, untuk melestarikan fungsi
kawasan lahan basah sebagai pengatur siklus air dan penyedia air
permukaan maupun air tanah perlu dilakukan pengelolaan kualitas air
dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan
memperhatikan keseimbangan ekologis dan kepentingan generasi
sekarang dan mendatang. Pengelolaan lahan basah secara lestari
tidak hanya penting bagi ekosistem setempat saja tapi juga bagi
kepentingan nasional, regional dan bahkan internasional; misalnya
saja lahan gambut Indonesia yang memiliki luasan 16 juta ha
merupakan cadangan karbon terestrial yang penting dan sangat
berperan dalam mengendalikan iklim global. Jika diasumsikan bahwa
kedalaman ratarata gambut di Indonesia adalah 5 m dan bobot isinya
114 kg/m3 maka cadangan karbon di lahan gambut Indonesia adalah
sebesar 46 Gt (Murdiyarso dan Suryadiputra, 2003).
Lahan basah atau wetland adalah daerah rawa, lahan gambut, atau
air, baik yang alami maupun yang buatan, bersifat tetap atau
sementara dengan air ladung atau rnengalir, bersifat tawar, payau,
atau asin, terrnasuk daerah air marin yang dalamnya pada waktu surut
tidak lebih dari 6 (enam) meter [6]. Lahan basah atau wetland adalah
wilayahwilayah di mana tanahnya jenuh dengan air , baik bersifat
permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian
atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang
dangkal. Air yang menggenangi lahan basah dapat digolongkan ke
dalam air tawar, payau atau asin. Pengertian lain menyatakan bahwa
Lahan basah adalah wilayah daratan yang digenangi air atau memiliki
kandungan air yang tinggi, baik permanen maupun musiman.
Ekosistemnya mencakup rawa, danau, sungai, hutan mangrove, hutan
gambut, hutan banjir, limpasan banjir, pesisir, sawah, hingga terumbu
karang. Lahan ini bisa ada di perairan tawar, payau maupun asin,
proses pembentukannya bisa alami maupun buatan. Margasatwa
penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang
khas lahan basah seperti buaya, kura-kura, biawak , ular , aneka jenis
katak, dan pelbagai ikan hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia,
termasuk pula harimau dan gajah.
Lahan basah didefinisikan sebagai daerah payau, gambut dan
perairan alami maupun buatan, tetap maupun sementara dengan
perairannya yang mengalir atau tergenang, tawar, agak asin maupun
asin dan termasuk di dalamnya kawasan laut yang kedalamannya
kurang dari enam meter pada waktu air surut paling rendah
(Bakorsurtanal, 2009). OEDAS (2011) membedakan lahan basah
kedalam 3 jenis klasifikasi, yakni: pertama, lahan rawa pasang surut
air asin/payau; kedua, lahan rawa pasang surut air tawar dan; ketiga,
lahan rawa lebak atau non pasang surut atau rawa pedalaman.
Sedangkan menurut Bakorsurtanal (2009) Lahan basah dapat
dibedakan berdasarkan tipenya yaitu lahan basah laut dan pesisir,
lahan basah daratan dan lahan basah buatan manusia. Secara umum
lahan basah dapat diklasifikasikan sebagai rawa hutan mangrove,
estuaria, padang lamun, rumput laut, terumbu karang, danau, sungai,
sawah dan tambak (ikan dan garam). Lahan kering didefinisikan
sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi
air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu
(Hidayat dan Mulyani, 2002). Lahan kering mempunyai potensi besar
untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura
maupun tanaman tahunan/perkebunan. Secara umum, lahan kering
dapat dibedakan menjadi lahan kering masam dan non masam.
Menurut Mulyani (2006) Lahan kering tergolong masam bila tanahnya
memiliki pH < 5 dan kejenuhan basa< 50%. Di Indonesia, penyebaran
lahan kering masam cukup luas, terutama pada kawasan beriklim
basah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
1.2 Rumusan Masalah
1) Paradigma sosial pada lingkungan lahan basah

1.3 Tujuan Makalah


Tujuan penulisan makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas
mata kuliah pengantar lingkungan lahan basah juga untuk mengetahui
tentang paradigma sosial lingkungan lahan basah buatan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Paradigma sosial lingkungan lahan basah


Persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan lahan basah dan
lahan kering di kawasan perbatasan menarik minat peneliti karena urgensi
dari peranan dan
fungsi kedua jenis lahan tersebut dalam menopang kehidupan masyarakat
dikawasan perbatasan baik secara ekonomi, ekologi dan ekososial. Lahan
basah merupakan lingkungan/ekosistem paling produktif di dunia serta
merupakan habitat bagi kehidupan berbagai keanekaragaman hayati (flora
dan fauna) termasuk sebagai penyedia air bersih dan gudang plasma
nuftah. Persepsi masyarakat terhadap berbagai fungsi dan manfaat
ekosistem lahan basah (Bakorsurtanal, 2009) yakni: sebagai penyedia air
bersih (daerah tangkapan air), pelindung banjir dan badai, penyeimbang
daerah pantai dan pelindung erosi, penyaring dan penjernih air dari
sedimentasi, nutrien dan pencemar,
penyeimbang kondisi iklim lokal, sumber makanan dan pendapatan
(perikanan, produksi kayu dan hasil hutan non kayu, dan pertanian), lokasi
pendidikan dan penelitian, sumber energi serta penunjang transportasi
dan pariwisata.
Persepsi masyarakat di kawasan perbatasan terhadap pemanfaatan lahan
kering juga terintegrasi dalam hasil penelitian (Mulyani, 2006), bahwa
pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan
salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung
ketahanan pangan
nasional. Lahan kering di Indonesia meliputi luas lebih dari 140 juta ha
(Hidayat dan Mulyani, 2002).
Menurut BPS (2001), sekitar 56 juta ha lahan kering di Indonesia
(diluar Maluku dan Papua) sudah digunakan untuk pertanian. Sedangkan
di Kalbar tercatat oleh Pemerintah Provinsi ada lebih dari 1 juta Ha potensi
lahan kering yang dicanangkan untuk pengembangan komoditi jagung
dengan target produksi 500 ribu ton pada 2012 (Gubernur Kalbar, 2008).
Robbins (2001:89) mengemukakan 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi
persepsi
masyarakat yaitu:
1) Pelaku persepsi, bila seseorang memandang suatu objek dan mencoba
menafsirkan apa yang dilihatnya dan penafsiran itu sangat dipengaruhi
oleh
karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individu itu
2) Target atau objek, karakteristikkarakteristik dan target yang diamati
dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Target tidak dipandang
dalam keadaan terisolasi, hubungan suatu target dengan latar
belakangnya
mempengaruhi persepsi seperti kecendrungan kita untuk
mengelompokkan
benda-benda yang berdekatan atau yang mirip
3) Situasi, dalam hal ini penting untuk melihat konteks objek atau peristiwa
sebab unsurunsur lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi kita.

Persepsi menurut Vincent (1997:35) dalam Riyadi (2012) dapat


dipengaruhi oleh
beberapa hal, yakni:
1) Pengalaman masa lalu (terdahulu) dapat mempengaruhi seseorang
karena manusia biasanya akan menarik kesimpulan yang sama dengan
apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan.
2) Keinginan dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam hal
membuat keputusan.
3) Manusia cenderung menolak tawaran yang tidak sesuai dengan apa
yang ia
harapkan.
4) Pengalaman dari teman-teman, dimana mereka akan menceritakan
pengalaman
yang telah dialaminya. Hal ini jelas mempengaruhi persepsi seseorang.

Lahan basah didefinisikan sebagai daerah payau, gambut dan


perairan alami maupun buatan, tetap maupun sementara dengan
perairannya yang mengalir atau tergenang, tawar, agak asin maupun asin
dan termasuk di dalamnya kawasan laut yang kedalamannya kurang dari
enam meter pada waktu air surut paling rendah (Bakorsurtanal, 2009).
OEDAS (2011) membedakan lahan basah kedalam 3 jenis klasifikasi,
yakni: pertama, lahan rawa pasang surut air asin/payau; kedua, lahan
rawa pasang surut air tawar dan; ketiga, lahan rawa lebak atau non
pasang surut atau rawa pedalaman. Sedangkan menurut Bakorsurtanal
(2009) Lahan basah dapat
dibedakan berdasarkan tipenya yaitu lahan basah laut dan pesisir, lahan
basah daratan dan lahan basah buatan manusia. Secara umum lahan
basah dapat diklasifikasikan sebagai rawa hutan mangrove, estuaria,
padang lamun,
rumput laut, terumbu karang, danau, sungai, sawah dan tambak (ikan dan
garam).
2.2 Studi Kasus
Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik,
baik dengan
ketebalan >45 cm maupun terdapat secara lapisan bersama tanah mineral
pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan
organik >50cm. analisis bahan organik dinyataan dalam kadar karbon 12-
18% atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dikatakan masih
segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin
lanjut pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001)
Seiring perkembangan jaman maka lahan gambut saat ini sudah semakin
menurun baik kualitas maupun kuantitasnya. Keberadaan lahan gambut
oleh masyarakat dimanfaatkan sebagai lahan untuk kegiatan pertanian
salah satunya adalah usahatani kelapa sawit. Bahkan pada saat dilakukan
penelitian terdapat kurang lebih 600 ha lebih usahatani kelapa sawit yang
ditanam di atas lahan gambut yang dikelola oleh masyarakat setempat.
Oleh sebab itu penelitian ini diharapakan dapat memberikan gambaran
kondisi lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas dan sekaligus
dapat memberikan solusi yang positif bagi si pelaku pengambil kebijakan
khusunya masalah kelestarian lahan gambut di Sumatera Selatan. Fokus
studi di arahkan pada kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar
lahan gambut kawasan Hutan Produksi Terbatas
(HPT). Adapun nama-nama desa yang masuk dalam kajian penelitian
antara lain
Desa Kedaton dan Desa Teloko Kecamatan Kota Kayu Agung,
Desa Cinta Jaya dan Desa Suka Damai Kecamatan Pedamaran, Desa
Sumber Hidup Kecamatan Pedamaran Timur, Desa SP Padang dan Desa
Penyandingan Kecamatan SP Padang, serta Desa Jungkal dan Desa
Bangsal Kecamatan Pampangan.
Sumber pendapatan masyarakat di wilayah studi memiliki corak
beranekaragam, pada umumnya sebagai petani dengan mengusahakan
karet, padi, dan kelapa sawit. Selain itu, sebagian masyarakat ada yang
menekuni usaha industri rumah tangga seperti membuat tikar purun,
kelempang, kerupuk, dan sebagainya.
Namun demikian mata pencaharian pokoknya adalah sebagai
petani karet dan kelapa sawit. Usaha pertanian tersebut umumnya masih
dilakukan secara tradisional. Untuk menambah penghasilan, sebagian
masyarakat juga berusaha di bidang peternakan dan perikanan. Sebagian
kecil ada yang berusaha di sektor perdagangan dan jasa seperti industri
kecil, saw mill, mebel, perbengkelan, jasa
transportasi, toko dan rumah makan. Tingkat pendapatan masyarakat
sangat bervariasi, umumnya berkisar antara Rp. 500.000,- sampai Rp.
2.000.000,- per bulan, Ini terlihat dari beragamnya usaha di masyarakat,
dengan tingkat penghasilan yang berbeda. Pola penggunaan lahan di
wilayah studi cukup bervariasi. Meskipun masih
didominasi oleh wilayah perkebunan dengan kondisi tanah sebagian besar
adalah tanah gambut, maka lahan yang ada mulai diolah untuk tanaman
yang cocok dengan kondisi lahan. Secara umum perekonomian lokal di
wilayah studi tumbuh cukup pesat. PDRB per kapita juga menunjukkan
kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Menurut data statistik,
misalnya PDRB Kecamatan di kota Kayu Agung pada tahun 2005 secara
umum tumbuh 22,54 %. Sektor industri, perdagangan dan jasa juga
tumbuh cukup pesat. Disamping itu juga diwilayah studi sudah tersedia
berbagai jenis fasilitas ekonomi seperti sarana perdagangan (kios/toko/
warung/ruko), SPBU, dan sarana kelembagaan ekonomi yakni 1 buah
KUD, BRI, dan Pasar. Fasilitas sosial yang ada meliputi sarana
pendidikan, kesehatan, olah raga, tempat rekreasi, dan keagamaan.
Dalam penelitian ini, faktor prilaku masyarakat yang diamati adalah
Status pekerjaan (jenis pekerjaan), tujuan mendatangi lahan gambut, dan
Intensitas kunjungan ke lahan gambut. Hasil penelitian menunjukkan ada
dua kemungkinan masyarakat pergi ke hutan yaitu untuk mencari kayu
bakar atau untuk berladang. Sebagian besar (55%) responden
memanfaatkan waktunya ke hutan untuk mencari kayu bakar. Kayu bakar
tersebut diperoleh dengan cara menebang pohon baik yang berdiameter
sedang atau kecil, atau hanya mengambil ranting-ranting yang sudah
jatuh ke tanah. Batang kayu yang masih basah biasanya langsung di
jemur di depan rumah atau di kebun. Setelah kering kayu bakar tersebut
di potong-potong hingga berdiameter kurang lebih 3 ± 4 cm dan dipotong
sepanjang kurang lebih 40 ± 50 cm. Satu ikat kayu bakar biasa di jual
dengan harga Rp 12.000,- hingga Rp 15.000,-. Selain mengambil kayu
bakar aktifitas masyarakat di kawasan hutan produksi terbatas adalah
berladang (30%). Usahatani yang dilakukan adalah menanam sawit, padi,
karet, dan sebagian kecil ada yang mengusahakan umbi-umbian. Sistem
pembukaan lahan yang digunakan dengan cara membakar. Sebagian lagi
tujuannya adalah mencari sejenis daun purun (15%) yang digunakan
untuk industri rumah tangga. Mengingat salah satu lokasi studi yang
sedang teliti ini merupakan basis kerajinan Tikar Purun. Kerajinan tikar
purun ini sudah ada sejak nenek moyang mereka, dan produknya sampai
sekarang sudah sangat terkenal baik lokal maupun luar daerah. Tikar
purun biasa digunakan
penduduk untuk alas tidur, membuat topi, kerajinan tangan, dan
sebagainya. Namun di tengah himpitan ekonomi dan kurangnya
regenerasi muda untuk menekuni kerajinan ini maka pengrajin tikar purun
yang ada di Desa Kedaton saat ini tinggal sedikit dan bisa dihitung dengan
jari.
Menurut Rachmat (2002), persepsi adalah proses mental yang
menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal
suatu objek dengan jalan assosiasi suatu ingatan tertentu, baik secara
indera penglihatan, perabaan maupun yang lainnya. Untuk memenuhi
kebutuhan hidup seharihari manusia cenderung untuk melihat kondisi
lingkungan terdekat potensi apa yang bisa dimanfaatkan untuk membantu
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam hal ini masyarakat yang
bermukim di sekitar lahan gambut akan cenderung untuk melakukan
pekerjaan yang dapat menghasilkan sesuatu yang dapat membantu
mencukupi kebutuhan hidupnya. Kegiatan tersebut diantaranya mencari
kayu bakar, mencari ikan, burung, mengelola lahan gambut untuk
ditanami, mencari daun purun untuk dijadikan barang kerajinan, dan
sebagainya. Tentunya aktivitas masyarakat semacam ini akan
menimbulkan semacam fenomena tersendiri yaitu antara kebutuhan hidup
dan pelestarian alam. Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari
bahan organik, baik dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara
berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta
mempunyai tebal lapisan bahan organik >50 cm. Pembentukan tanah
gambut secara umum dimulai dengan adanya cekungan lahan
berdrainase jelek dan genangan air, sehingga memungkinkan terjadinya
penumpukkan bahan organik yang sukar melapuk. Vegetasi tua yang
roboh akan digantikan oleh vegetasi baru yang pertumbuhannya makin
dipengaruhi ketebalan bahan organik. Lahan gambut memiliki peran
dalam ekosistem lahan rawa gambut baik secara hidrologi, pelestarian
satwa dan vegetasi. Lahan gambut memegang peranan penting dalam
sistem hidrologi suatu lahan rawa, dimana salah satu sifat gambut
berperan dalam sistem hidrologi adalah menahan air yang dimilikinya.
Gambut memiliki daya menahan air sangat besar yaitu 300 hingga 800
persen dari bobotnya (Wahyunto et al., 2005). Selain itu gambut juga
mempunyai daya melepas air pada saat permukaan air turun.
Pemanfaatan lahan gambut mulai menonjol sejalan dengan
program
transmigrasi dan ekstensifikasi pertanian melalui reklamasi rawa pantai
atau pasang surut. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan gambut
antara lain; keadaaan lingkungan tanah gambut, ketebalan gambut, sifat
fisik dan kimiawi, dan perkembangan tanah akibat reklamasi dan
pemilihan teknologi yang tepat. Lahan gambut di kawasan hutan produksi
terbatas keberadaanya sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
yang bermukim disekitarnya, terbukti dari 85% responden yang
menyatakan bahwa lahan gambut memberi andil dalam siklus hidrologi di
kawasan tersebut, selain itu keanekaragaman hayati yang terkandung di
dalam hutan membantu masyarakat untuk menambah pendapatan rumah
tangga. Hal ini selain disebabkan oleh faktor kemiskinan maka
masyarakat yang bermukim di kawasan hutan produksi terbatas pada
umumnya tidak
memiliki mata pencaharian yang mapan/tetap. Keadaan ini
menunjukkan bahwa lahan gambut sebagai penyeimbang siklus
kehidupan, selain berperan dalam siklus hidrologi dan penyerapan karbon,
juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang tinggal
di sekitarnya

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perilaku masyarakat di sekitar lahan gambut kawasan hutan
produksi terbatas tergolong cukup positif. Sebagian besar responden ke
hutan untuk mencari kayu bakar (55%), berladang (30%), dan mengambil
daun purun untuk dijadikan bahan pembuat kerajinan tikar purun (15%),
walaupun intensitas kunjungan tergolong terbatas. Persepsi masyarakat
terhadap kelestarian lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas
tergolong positif, walaupun dari segi kemampuan dalam mengelola
sumber daya di lahan gambut masih perlu ditingkatkan lagi. Sebagai
pemegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa,
dimana salah satu sifat gambut berperan dalam sistem hidrologi adalah
menahan air yang dimilikinya maka sebagian besar masyarakat
menyadari hal tersebut dengan cara memelihara/menjaga dari kerusakan
dengan tidak merusak vegetasi yang ada. Saat ini masyarakat lebih
banyak beraktifitas di luar hutan dibandingkan dengan menebang kayu di
hutan, seperti mencari ikan, buka warung, membuat industri rumah
tangga, buruh bangunan, jasa ojek, dan sebagainya. Hal ini tidak terlepas
dari dukungan dan partisipasi pemerintah untuk lebih memperhatikan
tingkat kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar lahan gambut
hutan produksi terbatas dengan cara membimbing dan memberikan
pengarahan secara intensif.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Arbi, M. B. (n.d.). KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN


HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU.
Nurfitri Nugrahaningsih1, D. D. (n.d.). Persepsi Masyarakat Terhadap
Pemanfaatan.

Anda mungkin juga menyukai