Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA LINGKUNGAN LAHAN


BASAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Lingkungan Lahan


Basah

Dosen Pengampu

Dr. Sidharta Adyatama M.Si

Disusun Oleh

Hamidayanti

2110115120015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang


Esa, karena berkat rahmat dan karunianya sehingga penulis mampu menyelesaikan
makalah mata kuliah Geografi dan lingkungan dengan tepat waktu.

Penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas di Universitas


Lambung Mangkurat Banjarmasin Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Penyusunan makalah ini dapat terlaksana dengan baik. Walaupun di dalam
penyusunannya terdapat banyak kekurangan yang telah dilewati, tetapi berkat
bantuan dari berbagai pihak laporan ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Untuk itu pada kesempatan ini mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr.
Sidharta Adyatama M .Si selaku dosen pengampu pada mata kuliah geografi tanah
dan Lingkungan.

Semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi orang lain dan dapat
digunakan sebagai referensi sumber ilmu. Tetapi seperti yang kita ketahui tidak ada
yang sempurna masih banyak kekurangan di dalam makalah yang telah saya susun,
oleh karena itu penulis berharap agar para pembaca dapat memberikan kritik dan
saran yang membangun dari penulis untuk agar lebih baik laporan ini ke depan nya.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih.

Banjarbaru, 25 November 2022

Hamidayanti
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................4
1.1 Tujuan..............................................................................................................5
BAB II............................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................6
2.1 Pemberdayaan Manusia.....................................................................................6
2.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat...................................................................7
2.3 Konsep Pengelolaan...........................................................................................8
2.4 Lahan Gambut....................................................................................................9
2.5 Konsep Lahan Gambut.....................................................................................11
2.6 Budaya masyarakat di lahan gambut...............................................................11
2.6.1 Suku Banjar................................................................................................11
2.7 Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut..............................12
2.8 Konsep Pemberdayaan Masyarakat.................................................................12
2.9 Prinsip prinsip pemberdayaan..........................................................................14
BAB III.........................................................................................................................17
PENUTUP...................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan basah merupakan salah satu wilayah terbesar di permukaan bumi.
Lahan basah merupakan salah satu wilayah terbesar di permukaan bumi. Lahan
basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh denan air,
baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian
atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya adalah rawa-
rawa (termasuk rawa bakau), payau, dan gambut. Air yang menggenangi lahan
basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau, atau asin.

Berbeda dengan perairan, lahan basah umumnya bercirikan tinggi muka air
yang dangkal, dekat dengan permukaan tanah, dan memiliki jenis tumbuhan
yang khas. Berbedasarkan sifat dan ciri cirinya tersebut, lahan basah sebagai
bioma ataupun ekosistem, lahan basah memiliki tingkat keanekaragaman hayati
yang tinggi. Lahan basah memiliki jenis tumbuhan dan satwa yang lebih banyak
dibandingkan dengan wilayah lain di muka bumi. Maka dari itu, lahan basah
mempunyai peran dan fungsi yang penting secara ekologi, ekonomi, maupun
budaya.
Berbeda dengan perairan, lahan basah umumnya bercirikan tinggi muka air
yang dangkal, dekat dengan permukaan tanah, dan memilik jenis tumbuh yang
khas. Berdasarkansifat dan ciri cirinya tersebut, lahan basah kerap disebut juga
sebagai wilayah perairan antara daratan dan perairan. Baik sebagai bioma
ataupun ekosistem, lahan basah memilik tingkat keanekaragaman hayati yang
tinggi. Lahan basah memiliki jenis tumbuhan dan satwa yang lebih banyak
dibandingkan dengan wilayah lain di muka bumi. Maka dari itu, lahan basah
mempunyai peran dan fungsi yang penting secara ekologi, ekonomi, maupun
budaya.
Macam jenis lahan basah dibedakan menjadi dua yaitu lahan basah alami
dan buatan. Lahan basah alami meliputi rawa rawa air tawar, hutan bakau
(mangrove), rawa gambut, hutan gambut, paya paya, dan riparian (tepian
sungai). Sedangkan lahan basah buatan meliputi waduk, sawah, saluran irigasi,
dan kolam. Saat ini, lahan gambut dan mangrove, menjadi dua jenis lahan basah
yang mengalami kerusakan serius di berbagai wilayah Indonesia. Hutan rawa
gambut di sumatra dan Kalimantan, banyak di konversi menjadi perkebunan dan
lahan pertanian. Pun ribuan hektar hutan mangrove, telah ditebengi dan
dikonversi untuk kegiatan budidaya perairan. (Amin 2016)

1.1 Tujuan
Tujuan untuk mengetahu model pemberdayaan masyarakat pada lingkungan
lahan basah dan untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar lingkungan
basah
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pemberdayaan Manusia
Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut sangat penting artinya dalam
menunjang keberhasilan konservasi lahan gambut.Sedikitnya terdapat tiga
pertimbangan yang dapat dikemukakan. Pertama, pemberdayaan masyarakat
gambut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dan kontribusi masyarakat
dunia terhadap pelestarian ekosistem gambut. Kedua, karena kemiskinan dan
ketidakberdayaan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat di lahan gambut,
seringkali menjadi penyebab ketidakpedulian mereka terhadap kualitas lingkungan.
Ketiga, upaya penyadaran dan penumbuhan motivasi untuk berpartisipasi dalam
pelestarian lahan terbukti sulit dilakukan apabila kebutuhan dasar masyarakat masih
belum terpenuhi.

Tahun 2016 pemerintah mulai memperhatikan lahan gambut sebagai suatu


prioritas yang harus dilindungi dan dikelola dengan baik, perhatian pemerintah
Republik Indonesia tidak lepas dari kejadian kebakaran lahan dan hutan yang terjadi
pada tahun 2015 yang lalu, yang menyebabkan bencana kabut asap yang terjadi
dibeberapa provinsi di Indonesia. Setelah kejadian itu pemerintah memberikan
perhatian khusus terhadap lahan gambut yang ada di Indonesia yakni dengan
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 yang mana Peraturan
Pemerintah ini adalah Perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 Tentang Perubahan


atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut dalam pasal 22 a ayat 4 mengenai perlindungan
lahan gambut disebutkan bahwa “penyertaan unsur-unsur masyarakat, meliputi
masyarakat peduli api, kelompok masyarakat desa, organisasi kemasyarakatan, dan
relawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Setelah terbitnya
Peraturan Pemerintah ini pemerintah gencar-gencarnya melakukan pemberdayaan
terhadap masyarakat disekitaran lahan gambut sebagai bentuk mitigasi terhadap
bencana kebakaran karena tidak bisa dipungkiri masyarakatlah ujung tombak
apabila terjadi kebakaran. Pemberdayaan masyarakat tidak sepenuhnya harus
berasal dari pemerintah namun, bisa juga berasal dari Lembaga Swadaya
Masyarakat yang peduli terhadap lingkungan. (Zulkarnaini 2020)

Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang melakukan pemberdayaan


terhadap masyarakat adalah Riau Women Working Group (RWWG). Riau Women
Working Group (RWWG) adalah organisasi non pemerintah yang terbentuk atas
komitmen 15 orang perempuan yang berasal dari LSM/NGO yang berbeda-beda
seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau,
Kantor Bantuan Hukum Riau, Yayasan Bunga Bangsa, Yayasan Alam
Sumatera,Yayasan Bahtera Alam, HAKIKI,Riau Mandiri dan WWF. Fokus utama dari
Riau Women Working Group adalah perempuan dan sumber daya alam.

Pemberdayaan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh Riau Women


Working Group salah satunya di Desa Sungai Kayu Ara. Pemilihan Sungai Kayu Ara
sebagai lokasi untuk dilakukannya pemberdayaan Karena pada tahun 2015 terjadi
kebakaran lahan dan hutan yang sangat besar di Provinsi Riau salah satu di Sungai
Kayu Ara. Banyak lahan dan kebun masyarakat yang terbakar akibat kejadian
tersebut karena sebagian besar dari wilayah desa tersebut adalah tanah gambut
sehingga sangat sulit untuk dipadamkan. Untuk itu pemilihan Desa Sungai Kayu Ara
sebagai lokasi pemberdayaan karena desa ini memiliki tingkat ancaman kebakaran
yang tinggi. Untuk itu perlu dilakukan pemberdayaan sebagai langkah pencegahan
terjadi kebakaran lahan dan hutan.

2.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat


Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan kemampuan dan
potensi yang dimiliki masyarakat, sehingga masyarakat dapat mewujudkan jati diri,
Harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri
secara mandiri baik dibidang ekonomi, sosial, agama dan budaya.

Terdapat empat prinsip yang sering digunakan untuk suksesnya program


pemberdayaan, yaitu prinsip kesetaraan, partisipasi, keswadayaan atau
kemandirian, dan berkelanjutan (Najiyati, Agus asmana, & I nyoman n.suryadiputra,
2005) Adapun penjelasan terhadap prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat
tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kesetaraan : Prinsip utama yang harus dipegang dalam proses


pemberdayaan masyarakat adalah adanya kesetaraan atau kesejajaran
kedudukan antara masyarakat dengan lembaga yang melakukan
program-program pemberdayaan masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan. Dinamika yang dibangun adalah hubungan kesetaraan
dengan mengembangkan mekanisme berbagai pengetahuan,
pengalaman, serta keahlian satu sama lain. Masing-masing saling
mengakui kelebihan dan kekurangan, sehingga terjadi proses saling
belajar.
b. Partisipasi : Program pemberdayaan yang dapat menstimulasi
kemandirian masyarakat adalah program yang sifatnya partisipatif,
direncanakan, dilaksanakan, diawasi, dan dievaluasi oleh masyarakat.
Namun, untuk sampai pada tingkat tersebut perlu waktu dan proses
pendampingan yang melibatkan pendamping yang berkomitmen tinggi
terhadap pemberdayaan masyarakat.
c. Keswadayaan: Prinsip keswadayaan adalah menghargai dan
mengedepankan kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain.
Konsep ini tidak memandang orang miskin sebagai objek yang tidak
berkemampuan (the have not), melainkan sebagai subjek yang memiliki
kemampuan sedikit (the have little). Mereka memiliki kemampuan untuk
menabung, pengetahuan yang mendalam tentang kendala-kendala
usahanya, mengetahui kondisi lingkungannya, memiliki tenaga kerja dan
kemauan, serta memiliki normanorma bermasyarakat yang sudah lama
dipatuhi. Semua itu harus digali dan dijadikan modal dasar bagi proses
pemberdayaan. Bantuan dari orang lain yang bersifat materiil harus
dipandang sebagai penunjang, sehingga pemberian bantuan tidak justru
melemahkan tingkat keswadayaannya
d. erkelanjutan : Program pemberdayaan perlu dirancang untuk
berkelanjutan, sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan
dibanding masyarakat sendiri. Tapi secara perlahan dan pasti, peran
pendamping akan makin berkurang, bahkan akhirnya dihapus, karena
masyarakat sudah mampu mengelola kegiatannya sendiri.

2.3 Konsep Pengelolaan


Pengelolaan merupakan terjemahan dari kata “management”, terbawa oleh
derasnya arus penambahan kata pungut ke dalam bahasa Indonesia, istilah inggris
tersebut lalu di Indonesia menjadi manajemen. Manajemen berasal dari kata to
manage yang artinya mengatur, pengeturan dilakukan melalui proses dan diatur
berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen. Jadi manajemen itu merupakan
suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang di inginkan melalui aspek-aspeknya
antara lain Planning, Organising, Actuating, Dan Controling. (Mulyani 2020)

2.4 Lahan Gambut


Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh
adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari
reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena
lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di
lantai hutan yang basah/ tergenang tersebut

Secara fisik, lahan gambut merupakan tanah organosol atau tanah histosol
yang umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase.
Beberapa ahli mendefinisikan gambut dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa
definisi yang sering digunakan sebagai acuan antara lain:

 Gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65
% (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m (Driessen, 1978)
 Gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik dengan ketebalan
lebih dari 40 cm atau 60 cm, tergantung dari berat jenis (BD) dan tingkat
dekomposisi bahan organiknya (Soil Taxonomy).

Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai Indonesia diperkirakan dimulai


sejak zaman glasial akhir, sekitar 3.000 - 5.000 tahun yang lalu. Proses
pembentukan gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar 10.000 tahun
yang lalu (Brady 1997 dalam Daniel Murdiyarso dkk, 2004)

Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi


residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan Lignin dan Selulosa (Andriesse,
1988). Karena lambatnya proses dekomposisi, di dalam tanah gambut sering
dijumpai adanya timbunan batang, cabang dan akar tumbuhan besar yang
terawetkan dan strukturnya relatif masih nampak jelas

Sebagai sebuah ekosistem lahan basah, gambut memiliki sifat yang unik
dibandingkan dengan ekosistem-ekosistem lainnya. Itulah sebabnya, setiap pelaku
pemberdayaan masyarakat di lahan gambut harus memahami sifat-sifat unik ini agar
program-program yang dikembangkan bersama masyarakat tidak berujung pada
kerusakan lahan gambut. (Sugiartono and Dhamayanthi 2016)

Sifat unik gambut dapat dilihat dari sifat kimia dan fisiknya. Sifat kimia gambut
lebih merujuk pada kondisi kesuburannya yang bervariasi, tetapi secara umum ia
memiliki kesuburan rendah. Hal ini ditandai dengan tanah yang masam (pH rendah),
ketersediaan sejumlah unsur hara makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan
Bo) rendah, mengandung asam-asam organik beracun, serta memiliki Kapasitas
Tukar Kation (KTK) yang tinggi tetapi Kejenuhan Basa (KB) rendah

Sifat fisik gambut yang perlu dipahami antara lain menyangkut kematangan,
warna, berat jenis, porositas, kering tak balik, subsidensi, dan mudah terbakar. Dari
sisi kematangan, gambut memiliki tingkat kematangan bervariasi karena dibentuk
dari bahan, kondisi lingkungan, dan waktu yang berbeda. Gambut yang telah
matang (tipe saprik) akan cenderung lebih halus dan lebih subur. Sebaliknya yang
belum matang (tipe fibrik), banyak mengandung serat kasar dan kurang subur.
(Najiyat, Asmana, and Suryadiputra 2005)

Sifat fisik gambut yang perlu dipahami antara lain menyangkut kematangan,
warna, berat jenis, porositas, kering tak balik, subsidensi, dan mudah terbakar. Dari
sisi kematangan, gambut memiliki tingkat kematangan bervariasi karena dibentuk
dari bahan, kondisi lingkungan, dan waktu yang berbeda. Gambut yang telah
matang (tipe saprik) akan cenderung lebih halus dan lebih subur. Sebaliknya yang
belum matang (tipe fibrik), banyak mengandung serat kasar dan kurang subur.
(Syafrizal and Resdati 2020)

Gambut memiliki berat jenis yang jauh lebih rendah dari pada tanah aluvial.
Makin matang gambut, semakin besar berat jenisnya. Selain itu, gambut memiliki
daya dukung atau daya tumpu yang rendah karena mempunyai ruang pori besar
sehingga kerapatan tanahnya rendah dan bobotnya ringan. Ruang pori total untuk
bahan fibrik/hemik adalah 86-91 % (volume) dan untuk bahan hemik/saprik 88-92 %,
atau rata-rata sekitar 90 % volume (Suhardjo dan Dreissen, 1977). Sebagai
akibatnya, pohon yang tumbuh di atasnya menjadi mudah rebah. Rendahnya daya
tumpu akan menjadi masalah dalam pembuatan saluran irrigasi, jalan, pemukiman
dan pencetakan sawah.
2.5 Konsep Lahan Gambut
Menurut Driessen gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan
organik lebih dari 65 % (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m. Soil
Taxonomy menyebutkan bahwa Gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan
organik dengan ketebalan lebih dari 40 cm atau 60 cm, tergantung dari berat jenis
(BD) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya (Sri Najiyati, Agus Asmana, 2005)

2.6 Budaya masyarakat di lahan gambut


2.6.1 Suku Banjar
Suku Banjar pada awalnya merupakan percampuran antara suku
Melayu, suku Maayan, suku Lawangan, dan suku Bukit di Sungai Tabaling
Kalimantan Selatan (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Selatan,
1996). Orang Banjar memiliki mobilitas yang cukup tinggi. Mereka tersebar di
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, dan bahkan banyak yang bermigrasi ke luar Kalimantan. Wilayah
Kalimantan yang dihuni oleh orang Banjar biasanya merupakan dataran
rendah, daerah rawa atau daerah yang dilalui oleh sungai. Mereka tidak suka
hidup di pedalaman, tapi lebih suka hidup di pinggiran sungai. Di Kalimantan
Tengah, orang Banjar umumnya mendiami bagian hilir Sungai Kapuas, Barito,
Kahayan, dan Sungai Murung.

Orang Banjar umumnya bekerja di sektor perdagangan, jasa, dan


sebagai petani. Sebagai petani, orang banjar dapat dikatakan sebagai perintis
budi daya di lahan rawa, dengan membuat saluran-saluran (sebagai sarana
irigasi dan akses menuju lahan pertanian) yang sering disebut handil atau
handel (Sugiartono and Dhamayanthi 2016)

Pola perkampungan orang Banjar membentuk kelompok yang berderet


menghadap ke sungai. Rumah berbentuk panggung dan sebagian berada di
atas sungai yang juga merupakan media transportasi utama. Itulah sebab
orang Banjar lebih banyak memilih sungai sebagai lokasi transaksi jual-beli
atau pasar. Di beberapa tempat, rumah terapung juga digunakan untuk
memelihara itik.
Dalam bertani, hingga saat ini sebagian besar orang Banjar masih
menyelenggarakan upacara-upacara tradisional seperti bubungan tahun dan
sesajian sebagai bentuk ungkapan syukur, meskipun telah memeluk agama
Islam

2.7 Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut


Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut sangat penting artinya dalam
menunjang keberhasilan konservasi lahan gambut. Sedikitnya terdapat tiga
pertimbangan yang dapat dikemukakan. Pertama, pemberdayaan masyarakat
gambut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dan kontribusi masyarakat
dunia terhadap pelestarian ekosistem gambut. Kedua, karena kemiskinan dan
ketidakberdayaan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat di lahan gambut,
seringkali menjadi penyebab ketidakpedulian mereka terhadap kualitas lingkungan.
Ketiga, upaya penyadaran dan penumbuhan motivasi untuk berpartisipasi dalam
pelestarian lahan terbukti sulit dilakukan apabila kebutuhan dasar masyarakat masih
belum terpenuhi.

2.8 Konsep Pemberdayaan Masyarakat


Konsep pemberdayaan dikembangkan pertama kali pada tahun 1970-an yang
bergulir dan mengalami berbagai penyesuaian. Konsep ini berasal dari pemikiran
masyarakat Barat yang lahir karena adanya ketimpangan kekuasaan, dimana
sebagian manusia sangat berkuasa terhadap sebagian lainnya.(homo homini lupus).
Menurut Priono dan Pranarka (1997), konsep pemberdayaan perlu disesuaikan
dengan alam pikiran dan budaya Indonesia.

Pemberdayaan merupakan salah satu pendekatan untuk mengatasi


persoalan kemiskinan, ketidakberdayaan, dan kerentanan masyarakat lemah.
Secara konseptual, pemberdayaan dapat didefinisikan dalam banyak pengertian
tergantung dari lingkup dan sudut pandang orang yang mendefinisikannya. Namun,
ide dasarnya adalah upaya untuk mewujudkan suasana kemanusiaan yang adil dan
beradab. baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, dan
nasional di bidang politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Secara lebih spesifik,
pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses yang terencana dan sistematis, yang
dilaksanakan secara berkesinambungan, baik bagi individu atau kolektif, guna
mengembangkan daya (potensi) dan kemampuan yang terdapat dalam diri sendiri
sehingga mampu melakukan transformasi sosial

Pemberdayaan masyarakat juga dapat diartikan sebagai upaya


mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar
masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang
dan sektor kehidupan melalui pengalihan pengambilan keputusan kepada
masyarakat agar mereka terbiasa dan mampu bertanggung jawab terhadap segala
sesuatu yang dipilihnya. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat dapat
dipersamakan dengan proses pengembangan masyarakat yang bertujuan
memampukan masyarakat dalam mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan sendiri,
serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. (Mulyani 2020)

Terdapat 2 kecenderungan dalam proses pemberdayaan masyarakat (Priono


dan Pranarka, 1997). Pertama, kecenderungan primer, yaitu proses pemberdayaan
yang menekankan pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan,
kekuatan, kemampuan, dan pengambilan keputusan kepada masyarakat agar lebih
berdaya. Proses ini biasanya dilengkapi pula dengan upaya membangun aset
material guna mendukung pembangunan kemandirian melalui organisasi. Kedua,
kecenderungan sekunder, yaitu proses yang menekankan pada upaya menstimulasi,
mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau
keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua
kecenderungan tersebut dapat dilakukan bersama-sama, tapi yang sering terjadi
adalah kecenderungan primer berjalan terlebih dulu untuk mendukung
kecenderungan sekunder (Amin 2016)

Pada tataran impelementasi di lapang, konsep pemberdayaan sering pula


dipersamakan artinya dengan “community development” (biasa disingkat “CD”,
artinya “pengembangan komunitas/masyarakat”). Dalam hal ini, beberapa LSM
menganggap bahwa peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan,
serta penyediaan modal bagi pengembangan usaha mikro melalui Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) merupakan pintu masuk yang efektif untuk melakukan
pemberdayaan. Yayasan Bina Swadaya dan PINBUK telah mengembangkan
konsep semacam ini di beberapa lokasi dan telah diujicobakan pula di pemukiman
transmigrasi.
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat di lahan gambut, tujuan
pemberdayaan tidak semata-mata peningkatan kesejahteraan rakyat. Ide dasar
memberdayakan masyarakat gambut adalah terciptanya keseimbangan antara
keberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan. Pelestarian lingkungan dalam
hal ini, tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan masyarakat secara umum
tetapi juga dimaksudkan bagi kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat di
kawasan lahan gambut. Tanpa lingkungan yang dapat menjamin kehidupan dan
penghidupan yang layak, keberdayaan masyarakat di lahan gambut sulit untuk
diwujudkan. Dengan kata lain, keberdayaan harus dicapai melalui peningkatan
kapasitas dan masyarakat serta kelestarian lingkungannya. Oleh sebab itu,
pemberdayaan masyarakat di lahan gambut ditujukan untuk membangun kesadaran,
motivasi, kompetensi, dan kemandirian masyarakat dalam hal pemenuhan
kebutuhan hidup dan pelestarian lingkungan. Aktivitas tersebut harus merupakan
tindakan sistematis dan terencana yang dimaksudkan untuk mengembangkan
kapasitas dan kompetensi masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri
sehingga secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus mampu
menjaga lingkungannya dengan penuh kesadara

2.9 Prinsip prinsip pemberdayaan


Terdapat empat prinsip yang sering digunakan untuk suksesnya program
pemberdayaan, yaitu prinsip kesetaraan, partisipasi, keswadayaan/ kemandirian,
dan keberlanjutan

 Keseteraan
Prinsip utama yang harus dipegang dalam proses pemberdayaan
masyarakat adalah adanya kesetaraan atau kesejajaran kedudukan
antara masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-program
pemberdayaan masyarakat maupun antara laki-laki dan perempuan. Tidak
ada dominasi kedudukan di antara pihak-pihak tersebut. Dinamika yang
dibangun adalah hubungan kesetaraan dengan mengembangkan
mekanisme berbagi pengetahuan, pengalaman, serta keahlian satu sama
lain. Masing-masing saling mengakui kelebihan dan kekurangan, sehingga
terjadi proses saling belajar. Tidak ada arahan atau petunjuk, tidak ada
atasan atau bawahan, tidak ada guru atau murid, tidak ada pembina atau
yang dibina, serta tidak ada penguasa atau yang dikuasai.
 Partisipan
Dalam praktek, pemerintah dan praktisi pemberdayaan masyarakat
belum bersedia sepenuhnya memberikan kesempatan dan kebebasan
kepada masyarakat untuk memilih dan merumuskan kebutuhannya
(Ndraha, 1990). Mereka terjebak pada keinginan untuk sesegera mungkin
melihat hasil pemberdayaan secara fisik. Sementara itu, masyarakat
dibebani target untuk mencapai kemajuan yang sangat cepat tanpa
memperhitungkan kemampuannya. Tenaga pendamping yang melakukan
kegiatan pemberdayaan melihatnya sebagai tugas kelembagaan yang
penuh dengan nuansa target dan kontrol yang ketat. Berbagai bantuan
datang bertubi-tubi dan dirasakan membebani, karena mereka harus
mempertanggungjawabkannya, meskipun sebenarnya masyarakat tidak
membutuhkan proyek tersebut. Mereka mau menerima proyek karena
merasa diiming-imingi suatu bantuan tanpa harus bersusah payah
memperolehnya. Akibatnya, tiada tantangan atau kesempatan bagi
masyarakat untuk mengembangkan prakarsa dan keswadayaannya.
Dengan pendekatan semacam itu, perbaikan kondisi dan peningkatan
taraf hidup masyarakat seolah-olah dilakukan secara efisien, namun
sesungguhnya kemandirian masyarakat tidak dapat tumbuh secara sehat.
Itulah sebabnya sering ditemukan proyek-proyek yang dibiayai pemerintah
kurang terpelihara dan tidak dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya,
proyek-proyek swadaya murni yang direncanakan, dibiayai, dan
dilaksanakan oleh masyarakat jarang terbengkalai.
 Keswadayaan
Prinsip keswadayaan adalah menghargai dan mengedepankan
kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain. Konsep ini tidak
memandang orang miskin sebagai obyek yang tidak berkemampuan (the
have not), melainkan sebagai subyek yang memiliki kemampuan serba
sedikit (the have little) [Verhagen, 1996]. Mereka memiliki kemampuan
untuk menabung, pengetahuan yang mendalam tentang kendala-kendala
usahanya, mengetahui kondisi lingkungannya, memiliki tenaga kerja dan
kemauan, serta memiliki norma-norma bermasyarakat yang sudah lama
dipatuhinya. Semua itu harus digali dan dijadikan modal dasar bagi proses
pemberdayaan. Bantuan dari orang lain yang bersifat materiil harus
dipandang sebagai penunjang, sehingga pemberian bantuan tidak justru
melemahkan tingkat keswadayaannya. Prinsip “mulailah dari apa yang
mereka punya”, menjadi panduan untuk mengembangkan keberdayaan
masyarakat. Sementara bantuan teknis harus secara terencana mengarah
pada peningkatan kapasitas, sehingga pada akhirnya pengelolaannya
dapat dialihkan kepada masyarakat sendiri yang telah mampu
mengorganisir diri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
 Berkelanjutan
Prinsip keswadayaan adalah menghargai dan mengedepankan
kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain. Konsep ini tidak
memandang orang miskin sebagai obyek yang tidak berkemampuan (the
have not), melainkan sebagai subyek yang memiliki kemampuan serba
sedikit (the have little) [Verhagen, 1996]. Mereka memiliki kemampuan
untuk menabung, pengetahuan yang mendalam tentang kendala-kendala
usahanya, mengetahui kondisi lingkungannya, memiliki tenaga kerja dan
kemauan, serta memiliki norma-norma bermasyarakat yang sudah lama
dipatuhinya. Semua itu harus digali dan dijadikan modal dasar bagi proses
pemberdayaan. Bantuan dari orang lain yang bersifat materiil harus
dipandang sebagai penunjang, sehingga pemberian bantuan tidak justru
melemahkan tingkat keswadayaannya. Prinsip “mulailah dari apa yang
mereka punya”, menjadi panduan untuk mengembangkan keberdayaan
masyarakat. Sementara bantuan teknis harus secara terencana mengarah
pada peningkatan kapasitas, sehingga pada akhirnya pengelolaannya
dapat dialihkan kepada masyarakat sendiri yang telah mampu
mengorganisir diri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Program pemberdayaan perlu dirancang untuk berkelanjutan,
sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan dibanding
masyarakat sendiri. Tapi secara perlahan dan pasti, peran pendamping
akan makin berkurang, bahkan akhirnya dihapus, karena masyarakat
sudah mampu mengelola kegiatannya sendiri
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut sangat penting artinya dalam
menunjang keberhasilan konservasi lahan gambut.Sedikitnya terdapat tiga
pertimbangan yang dapat dikemukakan. Pertama, pemberdayaan masyarakat
gambut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dan kontribusi masyarakat
dunia terhadap pelestarian ekosistem gambut. Kedua, karena kemiskinan dan
ketidakberdayaan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat di lahan gambut,
seringkali menjadi penyebab ketidakpedulian mereka terhadap kualitas lingkungan.
Ketiga, upaya penyadaran dan penumbuhan motivasi untuk berpartisipasi dalam
pelestarian lahan terbukti sulit dilakukan apabila kebutuhan dasar masyarakat masih
belum terpenuhi.

Tahun 2016 pemerintah mulai memperhatikan lahan gambut sebagai suatu


prioritas yang harus dilindungi dan dikelola dengan baik, perhatian pemerintah
Republik Indonesia tidak lepas dari kejadian kebakaran lahan dan hutan yang terjadi
pada tahun 2015 yang lalu, yang menyebabkan bencana kabut asap yang terjadi
dibeberapa provinsi di Indonesia. Setelah kejadian itu pemerintah memberikan
perhatian khusus terhadap lahan gambut yang ada di Indonesia yakni dengan
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 yang mana Peraturan
Pemerintah ini adalah Perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Mohamad. 2016. “Potensi, Eksploitasi Dan Konservasi Berkelanjutan Lahan


Basah Di Indonesia.” Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah 1: 14–22.
Mulyani, Iwed. 2020. “Potensi Dan Tantangan Pemberdayaan Masyarakat Lahan
Gambut: Studi Pendekatan Kehidupan Berkelanjutan Di Kelurahan Tanjung
Palas Kecamatan Dumai Timur Kota Dumai.” Komunitas: Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam 11(1): 1–20.
Najiyat, Asmana, and Suryadiputra. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Di Lahan
Gambut. www.wetlands.or.id%0Awww.wetlands.org.
Sugiartono, E, and W Dhamayanthi. 2016. “Model Pemberdayaan Masyarakat Di
Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Jember.” Prosiding: 6–10.
https://publikasi.polije.ac.id/index.php/prosiding/article/view/147.
Syafrizal, and Resdati. 2020. “Restorasi Gambut Berbasis Pembedayaan
Masyarakat.” Pengembangan Sumber Daya Menuju Masyarakat Madani
Berkearifan Lokal: 596–601.
Zulkarnaini. 2020. “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Lahan Gambut
Di Desa Sungai Kayu Ara Kecamatan Sungai Apit Kabupaten Siak.” Jom Fisip
7: 1–10.
Hatta, G. M. (2016). Lahan Basah, Kearifan Lokal, dan Teknologi. Seminar
Nasional Universitas Lambung Mangkurat, 7–13.
Holland, M. M., Whigham, D. F., & Gopal, B. (1990). The ecology and management
of aquatic-terrestrial ecotones - The Characteristics of Wetland Ecotones.
Unesco Paris, 4, 171–198.
Soendjoto, M. A., & Dharmono. (2016). Potensi, Peluang, dan Tantangan
Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah Secara Berkelanjutan. Prosiding
Seminar Universitas Lambung Mangkurat 2015, 1–20.
Tejoyuwono, & Notohadiprawiro. (2006). Lahan Basah. Repro : Ilmu Tanah UGM,
Lahan Basah, 1–10.
Tiner, R. (2016). Wetland Indicators: A Guide to Wetland Formation, Identification,
Delineation, Classification, and Mapping, Second Edition. In Wetland Indicators.
https://www.routledge.com/Wetland-Indicators-A-Guide-to-Wetland-Formation-
Identification-Delineation/Tiner/p/book/9781439853696
Zedler, J. B., & Kercher, S. (2005). Wetland resources: Status, trends, ecosystem
services, and restorability. Annual Review of Environment and Resources, 30,
39–74. https://doi.org/10.1146/annurev.energy.30.050504.144248

Anda mungkin juga menyukai