Dosen Pengampu
Disusun Oleh
Hamidayanti
2110115120015
BANJARMASIN
2022
KATA PENGANTAR
Semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi orang lain dan dapat
digunakan sebagai referensi sumber ilmu. Tetapi seperti yang kita ketahui tidak ada
yang sempurna masih banyak kekurangan di dalam makalah yang telah saya susun,
oleh karena itu penulis berharap agar para pembaca dapat memberikan kritik dan
saran yang membangun dari penulis untuk agar lebih baik laporan ini ke depan nya.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih.
Hamidayanti
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................4
1.1 Tujuan..............................................................................................................5
BAB II............................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................6
2.1 Pemberdayaan Manusia.....................................................................................6
2.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat...................................................................7
2.3 Konsep Pengelolaan...........................................................................................8
2.4 Lahan Gambut....................................................................................................9
2.5 Konsep Lahan Gambut.....................................................................................11
2.6 Budaya masyarakat di lahan gambut...............................................................11
2.6.1 Suku Banjar................................................................................................11
2.7 Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut..............................12
2.8 Konsep Pemberdayaan Masyarakat.................................................................12
2.9 Prinsip prinsip pemberdayaan..........................................................................14
BAB III.........................................................................................................................17
PENUTUP...................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
Berbeda dengan perairan, lahan basah umumnya bercirikan tinggi muka air
yang dangkal, dekat dengan permukaan tanah, dan memiliki jenis tumbuhan
yang khas. Berbedasarkan sifat dan ciri cirinya tersebut, lahan basah sebagai
bioma ataupun ekosistem, lahan basah memiliki tingkat keanekaragaman hayati
yang tinggi. Lahan basah memiliki jenis tumbuhan dan satwa yang lebih banyak
dibandingkan dengan wilayah lain di muka bumi. Maka dari itu, lahan basah
mempunyai peran dan fungsi yang penting secara ekologi, ekonomi, maupun
budaya.
Berbeda dengan perairan, lahan basah umumnya bercirikan tinggi muka air
yang dangkal, dekat dengan permukaan tanah, dan memilik jenis tumbuh yang
khas. Berdasarkansifat dan ciri cirinya tersebut, lahan basah kerap disebut juga
sebagai wilayah perairan antara daratan dan perairan. Baik sebagai bioma
ataupun ekosistem, lahan basah memilik tingkat keanekaragaman hayati yang
tinggi. Lahan basah memiliki jenis tumbuhan dan satwa yang lebih banyak
dibandingkan dengan wilayah lain di muka bumi. Maka dari itu, lahan basah
mempunyai peran dan fungsi yang penting secara ekologi, ekonomi, maupun
budaya.
Macam jenis lahan basah dibedakan menjadi dua yaitu lahan basah alami
dan buatan. Lahan basah alami meliputi rawa rawa air tawar, hutan bakau
(mangrove), rawa gambut, hutan gambut, paya paya, dan riparian (tepian
sungai). Sedangkan lahan basah buatan meliputi waduk, sawah, saluran irigasi,
dan kolam. Saat ini, lahan gambut dan mangrove, menjadi dua jenis lahan basah
yang mengalami kerusakan serius di berbagai wilayah Indonesia. Hutan rawa
gambut di sumatra dan Kalimantan, banyak di konversi menjadi perkebunan dan
lahan pertanian. Pun ribuan hektar hutan mangrove, telah ditebengi dan
dikonversi untuk kegiatan budidaya perairan. (Amin 2016)
1.1 Tujuan
Tujuan untuk mengetahu model pemberdayaan masyarakat pada lingkungan
lahan basah dan untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar lingkungan
basah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pemberdayaan Manusia
Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut sangat penting artinya dalam
menunjang keberhasilan konservasi lahan gambut.Sedikitnya terdapat tiga
pertimbangan yang dapat dikemukakan. Pertama, pemberdayaan masyarakat
gambut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dan kontribusi masyarakat
dunia terhadap pelestarian ekosistem gambut. Kedua, karena kemiskinan dan
ketidakberdayaan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat di lahan gambut,
seringkali menjadi penyebab ketidakpedulian mereka terhadap kualitas lingkungan.
Ketiga, upaya penyadaran dan penumbuhan motivasi untuk berpartisipasi dalam
pelestarian lahan terbukti sulit dilakukan apabila kebutuhan dasar masyarakat masih
belum terpenuhi.
Secara fisik, lahan gambut merupakan tanah organosol atau tanah histosol
yang umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase.
Beberapa ahli mendefinisikan gambut dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa
definisi yang sering digunakan sebagai acuan antara lain:
Gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65
% (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m (Driessen, 1978)
Gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik dengan ketebalan
lebih dari 40 cm atau 60 cm, tergantung dari berat jenis (BD) dan tingkat
dekomposisi bahan organiknya (Soil Taxonomy).
Sebagai sebuah ekosistem lahan basah, gambut memiliki sifat yang unik
dibandingkan dengan ekosistem-ekosistem lainnya. Itulah sebabnya, setiap pelaku
pemberdayaan masyarakat di lahan gambut harus memahami sifat-sifat unik ini agar
program-program yang dikembangkan bersama masyarakat tidak berujung pada
kerusakan lahan gambut. (Sugiartono and Dhamayanthi 2016)
Sifat unik gambut dapat dilihat dari sifat kimia dan fisiknya. Sifat kimia gambut
lebih merujuk pada kondisi kesuburannya yang bervariasi, tetapi secara umum ia
memiliki kesuburan rendah. Hal ini ditandai dengan tanah yang masam (pH rendah),
ketersediaan sejumlah unsur hara makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan
Bo) rendah, mengandung asam-asam organik beracun, serta memiliki Kapasitas
Tukar Kation (KTK) yang tinggi tetapi Kejenuhan Basa (KB) rendah
Sifat fisik gambut yang perlu dipahami antara lain menyangkut kematangan,
warna, berat jenis, porositas, kering tak balik, subsidensi, dan mudah terbakar. Dari
sisi kematangan, gambut memiliki tingkat kematangan bervariasi karena dibentuk
dari bahan, kondisi lingkungan, dan waktu yang berbeda. Gambut yang telah
matang (tipe saprik) akan cenderung lebih halus dan lebih subur. Sebaliknya yang
belum matang (tipe fibrik), banyak mengandung serat kasar dan kurang subur.
(Najiyat, Asmana, and Suryadiputra 2005)
Sifat fisik gambut yang perlu dipahami antara lain menyangkut kematangan,
warna, berat jenis, porositas, kering tak balik, subsidensi, dan mudah terbakar. Dari
sisi kematangan, gambut memiliki tingkat kematangan bervariasi karena dibentuk
dari bahan, kondisi lingkungan, dan waktu yang berbeda. Gambut yang telah
matang (tipe saprik) akan cenderung lebih halus dan lebih subur. Sebaliknya yang
belum matang (tipe fibrik), banyak mengandung serat kasar dan kurang subur.
(Syafrizal and Resdati 2020)
Gambut memiliki berat jenis yang jauh lebih rendah dari pada tanah aluvial.
Makin matang gambut, semakin besar berat jenisnya. Selain itu, gambut memiliki
daya dukung atau daya tumpu yang rendah karena mempunyai ruang pori besar
sehingga kerapatan tanahnya rendah dan bobotnya ringan. Ruang pori total untuk
bahan fibrik/hemik adalah 86-91 % (volume) dan untuk bahan hemik/saprik 88-92 %,
atau rata-rata sekitar 90 % volume (Suhardjo dan Dreissen, 1977). Sebagai
akibatnya, pohon yang tumbuh di atasnya menjadi mudah rebah. Rendahnya daya
tumpu akan menjadi masalah dalam pembuatan saluran irrigasi, jalan, pemukiman
dan pencetakan sawah.
2.5 Konsep Lahan Gambut
Menurut Driessen gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan
organik lebih dari 65 % (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m. Soil
Taxonomy menyebutkan bahwa Gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan
organik dengan ketebalan lebih dari 40 cm atau 60 cm, tergantung dari berat jenis
(BD) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya (Sri Najiyati, Agus Asmana, 2005)
Keseteraan
Prinsip utama yang harus dipegang dalam proses pemberdayaan
masyarakat adalah adanya kesetaraan atau kesejajaran kedudukan
antara masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-program
pemberdayaan masyarakat maupun antara laki-laki dan perempuan. Tidak
ada dominasi kedudukan di antara pihak-pihak tersebut. Dinamika yang
dibangun adalah hubungan kesetaraan dengan mengembangkan
mekanisme berbagi pengetahuan, pengalaman, serta keahlian satu sama
lain. Masing-masing saling mengakui kelebihan dan kekurangan, sehingga
terjadi proses saling belajar. Tidak ada arahan atau petunjuk, tidak ada
atasan atau bawahan, tidak ada guru atau murid, tidak ada pembina atau
yang dibina, serta tidak ada penguasa atau yang dikuasai.
Partisipan
Dalam praktek, pemerintah dan praktisi pemberdayaan masyarakat
belum bersedia sepenuhnya memberikan kesempatan dan kebebasan
kepada masyarakat untuk memilih dan merumuskan kebutuhannya
(Ndraha, 1990). Mereka terjebak pada keinginan untuk sesegera mungkin
melihat hasil pemberdayaan secara fisik. Sementara itu, masyarakat
dibebani target untuk mencapai kemajuan yang sangat cepat tanpa
memperhitungkan kemampuannya. Tenaga pendamping yang melakukan
kegiatan pemberdayaan melihatnya sebagai tugas kelembagaan yang
penuh dengan nuansa target dan kontrol yang ketat. Berbagai bantuan
datang bertubi-tubi dan dirasakan membebani, karena mereka harus
mempertanggungjawabkannya, meskipun sebenarnya masyarakat tidak
membutuhkan proyek tersebut. Mereka mau menerima proyek karena
merasa diiming-imingi suatu bantuan tanpa harus bersusah payah
memperolehnya. Akibatnya, tiada tantangan atau kesempatan bagi
masyarakat untuk mengembangkan prakarsa dan keswadayaannya.
Dengan pendekatan semacam itu, perbaikan kondisi dan peningkatan
taraf hidup masyarakat seolah-olah dilakukan secara efisien, namun
sesungguhnya kemandirian masyarakat tidak dapat tumbuh secara sehat.
Itulah sebabnya sering ditemukan proyek-proyek yang dibiayai pemerintah
kurang terpelihara dan tidak dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya,
proyek-proyek swadaya murni yang direncanakan, dibiayai, dan
dilaksanakan oleh masyarakat jarang terbengkalai.
Keswadayaan
Prinsip keswadayaan adalah menghargai dan mengedepankan
kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain. Konsep ini tidak
memandang orang miskin sebagai obyek yang tidak berkemampuan (the
have not), melainkan sebagai subyek yang memiliki kemampuan serba
sedikit (the have little) [Verhagen, 1996]. Mereka memiliki kemampuan
untuk menabung, pengetahuan yang mendalam tentang kendala-kendala
usahanya, mengetahui kondisi lingkungannya, memiliki tenaga kerja dan
kemauan, serta memiliki norma-norma bermasyarakat yang sudah lama
dipatuhinya. Semua itu harus digali dan dijadikan modal dasar bagi proses
pemberdayaan. Bantuan dari orang lain yang bersifat materiil harus
dipandang sebagai penunjang, sehingga pemberian bantuan tidak justru
melemahkan tingkat keswadayaannya. Prinsip “mulailah dari apa yang
mereka punya”, menjadi panduan untuk mengembangkan keberdayaan
masyarakat. Sementara bantuan teknis harus secara terencana mengarah
pada peningkatan kapasitas, sehingga pada akhirnya pengelolaannya
dapat dialihkan kepada masyarakat sendiri yang telah mampu
mengorganisir diri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Berkelanjutan
Prinsip keswadayaan adalah menghargai dan mengedepankan
kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain. Konsep ini tidak
memandang orang miskin sebagai obyek yang tidak berkemampuan (the
have not), melainkan sebagai subyek yang memiliki kemampuan serba
sedikit (the have little) [Verhagen, 1996]. Mereka memiliki kemampuan
untuk menabung, pengetahuan yang mendalam tentang kendala-kendala
usahanya, mengetahui kondisi lingkungannya, memiliki tenaga kerja dan
kemauan, serta memiliki norma-norma bermasyarakat yang sudah lama
dipatuhinya. Semua itu harus digali dan dijadikan modal dasar bagi proses
pemberdayaan. Bantuan dari orang lain yang bersifat materiil harus
dipandang sebagai penunjang, sehingga pemberian bantuan tidak justru
melemahkan tingkat keswadayaannya. Prinsip “mulailah dari apa yang
mereka punya”, menjadi panduan untuk mengembangkan keberdayaan
masyarakat. Sementara bantuan teknis harus secara terencana mengarah
pada peningkatan kapasitas, sehingga pada akhirnya pengelolaannya
dapat dialihkan kepada masyarakat sendiri yang telah mampu
mengorganisir diri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Program pemberdayaan perlu dirancang untuk berkelanjutan,
sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan dibanding
masyarakat sendiri. Tapi secara perlahan dan pasti, peran pendamping
akan makin berkurang, bahkan akhirnya dihapus, karena masyarakat
sudah mampu mengelola kegiatannya sendiri
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut sangat penting artinya dalam
menunjang keberhasilan konservasi lahan gambut.Sedikitnya terdapat tiga
pertimbangan yang dapat dikemukakan. Pertama, pemberdayaan masyarakat
gambut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dan kontribusi masyarakat
dunia terhadap pelestarian ekosistem gambut. Kedua, karena kemiskinan dan
ketidakberdayaan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat di lahan gambut,
seringkali menjadi penyebab ketidakpedulian mereka terhadap kualitas lingkungan.
Ketiga, upaya penyadaran dan penumbuhan motivasi untuk berpartisipasi dalam
pelestarian lahan terbukti sulit dilakukan apabila kebutuhan dasar masyarakat masih
belum terpenuhi.