Pendahuluan
3. DEVELOPMENTALISME
Di Amerika, teori ini berkembang dari doktrin Four Points Program yang
dilancarkan Presiden Harry S. Truman pada 1949, sebagai landasan
politik luar negerinya. Program itu mencakup kerja sama internasional
lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemulihan ekonomi akibat
kerusakan Eropa dari Perang Dunia II, pertahanan negara-negara Dunia
Bebas dari ancaman agresi yang bermuara pada pembentukan pakta-
pakta militer, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi
kemajuan bangsa-bangsa.
Developmentalisme merupakan kelanjutan program pemulihan ekonomi
dunia ketiga. Motif utamanya adalah membendung pengaruh
komunisme di negara dunia ketiga yang cenderung memilih bentuk lain
sosialisme. Asumsinya, sumber penyebaran komunisme adalah
kemiskinan. Karena itu, penangkal penyebaran komunisme adalah
pembangunan ekonomi yang mampu menghapus kemiskinan.
Sedangkan di dunia ketiga lahir nasionalisme ekonomi sebagai
kelanjutan nasionalisme politik sesudah merdeka dari penjajahan.
Pada saat penjajahan fisik tidak bisa lagi dilakukan maka penjajahan
dalam bentuknya yang baru dilangsungkan, yaitu penjajahan teori dan
ideologi. Fase kedua ini dikenal dengan era pembangunan atau
developmentalisme. Dominasi tetap diberlangsungkan dalam bentuk
kontrol terhadap proses dan bentuk perubahan sosial di negarainegara
bekas jajahan. Dengan kata lain kolonisasi tidak terjadi secara fisik
melainkan melalui dominasi cara pandang, ideologi, serta diskursus
yang melalui produksi ilmu pengetahuan dan program bantuan
ekonomi. Ideologi developmentalisme memainkan peranan penting
dalam fase kedua yang kemudian mengalami krisis. Krisis
pembangunan belum berakhir tetapi suatu mode of domination telah
disiapkan dan dunia memasuki fase ketiga yakni globalisasi.
Fase ketiga terjadi menjelang abad dua puluh satu, yang ditandai
dengan liberalisasi disegala bidang kehidupan melalui kebijakan
negara- negara maju, lembaga finasial global dan disepakati oleh rezim
GATT dan WTO (Word Trade Organization), suatu oraganisasi
perdagangan bebas dalam skala global.
5. Globalisasi di Indonesia
Di Indonesia, globalisasi dalam pengertian sebagai terbukanya pasar
bagi masuknya modal dan perusahaan global telah tertanam bibitnya
sejak abad ke 16 ketika para pedagang dan petualang dari Eropa
seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda datang mencari bahan
mentah produksi. Fase ini dalam periodeisasi di atas disebut fase
kolonialisme. Eksploitasi benar-benar terjadi secara fisik dan di abad
19 modal asing masuk secara besar-besaran di Indonesia. Pemerintah
kolonial mengundang dan mengijinkan para pengusaha Eropa untuk
menanamkan modalnya di Indonesia dengan kebijakan yang
memudahkan mereka. Salah satunya adalah kebijakan agraria law
(pertanahan), yaitu sistem sewa yang sangat panjang sebagai lahan
perkebunan tebu, kelapa sawit, coklat, karet, dan lain sebagainya.
Pada kondisi seperti ini pengusaha pribumi tidak bisa berbuat apa-apa.
Penduduk pribumi hanya menjadi kuli kasar dan kuli kontrak. Segala
aktifitas ekonominya selalu dikontrol dan dimonopoli sehingga tidak
mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Kekalahan modal dan industri tradisional itu juga ada kaitannya dengan
gaya hidup modern yang tergoda oleh bujuk rayu promosi dan iklan di
media massa. Mereka yang daya belinya tinggi cenderung meniru gaya
hidup pop yang sering diiklankan TV atau ineternet. Restoran ala KFC,
McDonald, dan sejenisnya menjai Trend, padahal itu milik negara maju dan
pemodal asing yang dirancang sedemikian rupa sehingga menarik
konsumen yang lebih besar. Globalisasi juga menyebabkan kerusakan
sumber daya alam yang parah. Industrialisasi yang dilakukan tanpa
mempertimbangkan ekosistem lingkungan telah menimbulkan
pencemaran air dan tanah. Polusi yang tak terkendali menyebabkan
masyarakat kesulitan mendapatkan lingkungan udara yang bersih dan
sehat. Hutan-hutan ditebangi sehingga menyebabkan bahaya banjir
pada musim hujan serta bahaya kekeringan pada musim kemarau.
Masyarakat Indonesia dihadapkan, dan juga dunia, dihadapkan pada
ancaman pemanasan global yang membahayakan masa depan
kehidupannya. Dari sini jelas bahwa globalisasi abad ini sesungguhnya
tidak berbeda dengan globalisasi awal masa kolonialisme-imprealisme,
yaitu monopoli, ekploitasi, dan kolonisasi gaya baru.
Pemerintah mau tidak mau dihadapkan pada tiga aturan main dalam
globalisasi yaitu, (1) penghapusan hambatan dagang dan penanaman
modal. Keputusan ini memungkinkan perusahaan multinasional
menanamkan modalnya di seluruh daerah di Indonesia. (2)
Pembentukan organisasi perdagangan regional seperti AFTA, NAFTA,
CIS, MERCOSUR, APEC, dan lain sebagainya. Ataupun ditingkat
dunia seperti GATT dan WTO. (3) Sebagai akibat dari itu pemerintah
Indonesia sebagai anggota dari organisasi perdagangan itu dipaksa
mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan pasar bebbas dan
liberalisasi ekonomi. Dalam situasi seperti ini peran negara sebagai
pembuat kebijakan tidak lagi penting, dan hanya sekedar melayani
kepentingan pasar bebas. Keputusan, terutama di bidang ekonomi,
semakin lama semakin bergantung pada negoisasi dan kebijaksanaan
ditingkat regional dan global.10
6. Problematika Globalisasi
Di era globalisasi masyarakat dibawa kepada pusaran yang semakin
membingungkan dan mengkhawatirkan. Hal itu karena ia tidak melulu
membawa kemajuan tetapi juga bahaya yang mengancam
kelangsungan hidup manusia. Akan tetapi sebelum memasuki
persoalan itu lebih dahulu akan diuraikan mengenai kapan
sesungguhnya globalisasi dimulai, siapa saja aktor-aktor yang
menggerakkannya, serta bagaimana mekanismenya sehingga
melahirkan dilema yang tak kunjung habis. Globalisasi terjadi ketika
ditetapkannya formasi sosial baru dengan ditandai oleh diberlakukannya
secara global suatu mekanisme perdagangan melalui free trade.
Kesepakatan internasional mengenai hal ini terjadi pada bulan April 1994
di Marrakesh, Maroko, melalui perjanjian perdagangan internasional
yang disebut General Agreement on Tariff and Trade (GATT). GATT
merupakan suatu kumpulan aturan internasional yang mengatur
perilaku perdagangan antar pemerintah. GATT juga merupakan forum
negoisasi perdagangan antar pemerintah, serta juga merupakan
pengadilan untuk menyelesaikan jika terjadi perselisihan dagang antar
bangsa.
Dari diskripsi tersebut menjadi jelas bahwa sebenarnya ada tiga aktor
penting yang sangat berperan dalam proses globalisasi. Pertama
adalah TNCs, yaitu perusahaan multinasional yang besar dan dengan
dukungan negara-negara maju, juga negara-negara berkembang yang
diuntungkan, membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan yang
dikenal dengan WTO. WTO menjadi aktor kedua yang penting.
Sedangkan aktor ketiga adalah lembaga keuangan dunia, yaitu IMF dan
Bank Dunia. Ketiga kator globalisasi tersebut menetapkan aturan-
aturan seputar investasi, Hak Kekayaan Intelektual, dan kebijakan
internasional. Kekuatan lainnya adalah mendesak negara-negara
berkembang untuk menyesuaikan kebijakannya dengan keadaan
ekonomi global. Oleh karena itu globalisasi tidak ada sangkut pautnya
dengan kesejahteraan rakyat ataupun keadilan sosial di negara-negara
dunia ketiga, melainkan didorong oleh motif akumulasi kapital berskala
global.
Kedua, penolakan yang dilakukan oleh gerakan sosial baru dan global civil
society terhadap globalisasi. Gerakan sosial baru itu berbentuk gerakan
hijau, feminisme, gerakan masyarakat akar rumput, dan lain sebagainya.
Di Indonesia hal itu misalnya berwujud dalam gerakan pembaharuan
agraria yang dikembangkan oleh serikat petani Sumatera Utara dan
konsorsium pembaharuan agraria, serta gerakan petani ramah
lingkungan serta gerakan petani anti revolusi hijau di Jawa. Di India hal itu
berwujud dalam gerakan anti proyek pembangunan Narmada Dam.
Gerakan tersebut berhasil mendesak Bank Dunia untuk mencabut
dukungannya terhadap proyek tersebut. Gerakan sosial baru tumbuh di
mana-mana, dalam skala lokal, nasional, ataupun global.
7. Kerusakan Ekologis
Dari gambaran di atas tampaklah bahwa globalisasi telah melahirkan
berbagai persoalan serius dalam berbagai dimensi kehidupan manusia
seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, gender, dan juga lingkungan
hidup. Eksploitasi sumber daya alam yang luar biasa, penggunaan
bahan- bahan kimia yang tidak ramah lingkungan dalam jumlah besar,
polusi udara, serta penebangan hutan secara serampangan adalah ciri
hubungan antara manusia dan alam pada era globalisasi. Hal-hal
seperti itu tidak pernah menjadi pertimbangan signifikan bagi aktor-
aktor utama globalisasi. Kepentingan mereka adalah mengeruk
keuntungan yang sebesar-besar dari alam tanpa mempertimbangkan
efek negatifnya jika dieksploitasi sedemikian rupa. Krisis lingkungan
hidup dalam berbagai bentuknya terus berlangsung dari ke hari seiring
dengan nafsu eksploitatif globalisasi yang diamini oleh sebagian besar
manusia modern, baik di Barat maupun Timur.
Gejala ancaman itu tidak hanya dapat dilihat dalam upaya ketiga aktor
globalisasi bersama negara-negara kapitalis maju seperti Amerika
Serikat (AS) untuk memaksa pemerintah negara-negara dunia ketiga
membuka sumber daya alamnya yang kaya untuk diekploitasi, dan juga
buruhnya yang mau dibayar dengan upah murah, tetapi juga terlihat
dalam upayanya mengobarkan perang secara sepihak terhadap
negara-negara yang hendak direbut sumber daya alamnya. Serangan
terhadap Irak dan Afghanistan beberapa tahun lalu adalah bukti itu.
Kapitalisme global memang memandang bahwa alam dan manusia
hanya berguna untuk menumpuk keuntungan saja. Manusia sebagai
bagian dari alam tidak dihargai, seperti buruh-buruh (tenaga kerja) yang
harus dibayar murah. Sedangkan alam akan terus diekploitasi, hutan-
hutan ditebang dan tanah- tanahnya dilubangi sebagaimana dalam
kasus Freeport dan Newmont di Indonesia.
Di Indonesia hal ini tampak dari fakta bahwa kota-kota yang dulunya
dikenal sejuk dan dingin akan tetapi sekarang semakin panas,
contohnya seperti kota Malang, kawasan Prigen Pasuruan di lereng
Gunung Welirang, kaki Gunung Semeru, Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa
Tenggara, dan daerah lainnya yang dulu dikenal dingin. Meningkatnya
suhu ini juga telah menimbulkan makin banyaknya wabah penyakit
endemik yang merata dan terus bermunculan, seperti leptospirosis,
demam berdarah, diare, dan malaria. Padahal penyakit-penyakit seperti
malaria, demam berdarah, dan diare adalah penyakit lama yang
seharusnya sudah lewat dan mampu ditangani dan kini telah
mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan meninggal. Selain itu
ratusan desa di pesisir Jatim terancam tenggelam akibat naiknya
permukaan air laut. Indikatornya terlihat dari naiknya gelombang pasang
di pesisir pantai utara pada minggu ketiga bulan Mei 2007.
Penutup
Akhirnya, globalisasi sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah
manusia memang harus diterima dengan sikap kritis-rasional. Globalisasi
diakui atau tidak telah membawa perubahan yang mendasar dalam
ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serta dalam seluruh aspek kehidupan
lainnya. Namun hal itu bukan berati mengafirmasi ketidak adilan, ketidak
pastian, serta masalah-masalah bawaan yang ditimbulkan olehnya.
Perubahan sosial di masa-masa yang akan datang harus selalu
didasarkan pada kedaulatan bangsa dan rakyat, keadilan, dan
kepedulian terhadap alam.
REFERENSI
1) Vivi. 2021. Perkembangan SDGS pada Masa Covid-19 dan
Perguruan Tinggi. Bappenas; Jakarta.
2) Direktorat PLH. 2012. Sustainable Development Goals (SDGs):
Usulan Norma Baru Pembangunan Global. Vol. 1 (1).
3) Ifan. 2007. Globalisasi dan Implikasinya tergadap Kehidupan
Ekologis di Indonesia. Jurnal Sosio-Religi, Vol.6 (4).
4) Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
Yogyakarta: Insist Press, 2002.
5) Korten, David C., Menuju Aabad ke-21, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001.
6) Petras, James dan Henry Veltmeyer, Imprealisme Abad 21,
Yogyakarta: LKPM, 2002.
7) Pontoh, Coen Husain, Akhir Globalisasi: dari perdebatan teori
menuju gerakan massa, Jakarta: C-BOOKS, 2003.
8) Prasetyo, Eko, Islam Kiri, Yogyakarta: Insist Press, 2002.
9) Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern; 1200-2004 M, Jakarta:
Penerbit Serambi, 2005.