Anda di halaman 1dari 31

Nama Mata Kuliah : UBB dan Keunggulan Peradaban

Kode/sks : UBB108/2 (2-0) sks


Pertemuan ke : III (tiga)
Pokok Bahasan : Globalitas, Developmentalisme dan SDG’s
dalam Pusaran Peradaban
Subpokok Bahasan :
1. Globalitas dan Globalisasi
2. Globalisasi dan Developmentalisme
3. Developmentalisme
4. Teori dan Praksis Globalisasi
5. Globalisasi di Indonesia
6. Problematika Globalisasi
7. Kerusakan Ekologis
8. Keluar dari Kemelut; Sebuah Tawaran
9. MDG’S VERSUS SDG’s
10. Agenda pembangunan pasca-2015 merubah MDG’s menjadi
SDG’s
11. Perkembangan Sdgs pada Masa Covid-19
12. Peran PT (Perguruan Tinggi)

Pendahuluan

Globalitas, developmentalisme dan SDG’s menjadi salah satu materi


mata kuliah UBB dan Keunggulan Peradaban, hal ini dikarenakan
ketiga konsep tersebut saling berkaitan untuk memahami peran apa
yang tepat bagi kita sebagai warga negara untuk membangun
peradaban yang kuat dan mengakar bagi kelangsungan hidup semua
makhluk dibumi ini. Diskusi terkait tiga konsep ini sebenarnya masih
berlangsung, hal ini dikarenakan di tengah era digitalisasi saat ini
globalitas, developmentalisme dan SDG’s menjadi isu yang mengglobal.

1. Globalitas dan Globalisasi


Globalitas adalah keadaan globalisasi paling akhir, ramalan bahwa
proses globalisasi sudah selesai atau hampir selesai, tidak ada
perbatasan lagi, dan "realitas global baru" mulai muncul. Istilah ini
digunakan tahun 1998 oleh penulis dan ekonom Daniel Yergin dalam
sebuah artikel Newsweek yang menjelaskan akhir dari proses
globalisasi[1] dan bukunya, Commanding Heights: The Battle for the
World Economy. Meski Yergin disebut sebagai tokoh yang menciptakan
kata ini, asal usulnya justru lebih tua lagi. William Safire melacak
etimologi "globalitas" dalam buku No Uncertain Terms.[2] Ia
mengidentifikasi berbagai sitiran sampai tahun 1942 ketika "globalitas"
masih merupakan sinonim dari "global". Makna "globalitas" saat ini, yaitu
persaingan perdagangan dunia, merupakan makna baru.

Di New York Times, William J. Holstein menyebut istilah ini sebagai


"jargon baru [yang] kurang pas — kata ini hanya menjelaskan tren yang
sudah berlangsung selama sedikitnya dua dasawarsa dengan nama
yang serupa."[3]

Dari penjelasan antara Globalitas dan Globalisasi bukan sesuatu yang


berbeda, Globalitas mengacu kepada makna diawal sedangkan
Globalisasi mengacu kepada konsep terakhir.

2. Globalisasi dan Developmentalisme


Globalisasi sebagai sebuah ideologi dan mekanisme dalam percaturan
antar negara, dan antar masyarakat dalam lingkup global
sesungguhnya baru muncul pada era 1980-an, dan semakin intensif
pada dekade 1990-an. Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya
perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan
mengglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari
perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan oleh
ideologi dan tata dunia perdagangan baru dibawah suatu aturan yang
ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas yang ditetapkan secara
global. Karenanya dalam prakteknya globalisasi dimulai dari dunia
ekonomi yang kemudian merembet dalam wilayah-wilayah kehidupan
yang lain, seperti informasi, budaya, kehidupan sosial, tekhnologi dan
politik. Globalisasi yang kini dianut oleh negara dan masyarakat global
adalah jawaban terhadap mandegnya paradigma developmentalisme.

Developmentalisme sendiri adalah model pembangunan yang dilansir


oleh negara-negara maju seperti AS untuk memulihkan kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat pasca perang dunia kedua. Paradigma
ini akhirnya diperkenalkan dan menjadi model dominan bagi proyek
pembangunan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.1
Oleh karena itu pembicaraan tentang globalisasi harus selalu dikaitkan
dan dimulai dengan pemahaman yang komprehensif mengenai
developmentalisme tersebut.

Developmentalisme atau teori pembangunan selain dikembangkan dalam


rangka membendung pengaruh antikapitalisme yang marak di dunia
ketiga, juga ditujukan sebagai formasi sosial baru pengganti sistem
kapitalisme yang baru runtuh. Wacana developmentalisme muncul di
tahun 1949 ketika persiden Harry S. Truman mengumumkan kebijakan
pemerintahannya, yang kemudian menjadi bahasa dan doktrin resmi
kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Developmentalisme
diperkenalkan sebagai bungkus baru kapitalisme dalam rangka
membendung perkembangan sosialisme.

Pada dasarnya ide developmentalisme dibangun di atas asumsi bahwa


masyarakat mengalami proses perkembangan yang evolutif. Semua
masyarakat, termasuk masyarakat Barat, pernah mengalami masa
tradisional untuk akhirnya memasuki masa modern. Sikap-sikap
masyarakat yang tradisional seperti nilai-nilai budaya, etos kerja, gaya
hidup, dan agama menjadi masalah penting yang menghambat tingkat
kemajuan masyarakat. Sedangkan pada masyarakat maju, nilai-nilai itu
telah diganti dengan nilai-nilai yang lebih kompatibel dengan kemajuan.
Pada masyarakat Barat misalnya mengapa mereka lebih maju dari
dunia berkembang, karena mereka mempunyai the need for achievement
yang tinggi, sedangkan pada masyarakat lain the need for achievement-
nya sangat rendah.2

Paradigma developmentalisme dengan cepat menjadi program massif


yang diperkenalkan AS di berbagai belahan dunia berkembang.
Penyebarluasan developmentalisme dan kapitalisme itu dilakukan melalui
bantuan luar negeri terhadap pemerintah dan LSM, tekanan politik,
maupun upaya ideologisasi terhadap tekhnokrat, intelektual, dan
mahasiswa. Dengan begitu AS dengan mudah bisa mendiktekan apa
yang harus dibicarakan, dipikirkan, dan dilakukan oleh masyarakat dunia
berkembang yang semuanya diarahkan menuju ketingkat modernisasi
dan kapitalisasi. Perubahan-perubahan yang terjadi sengaja dilakukan
untuk mendukung kebijakan dan kepentingan negara maju sehingga
tahap demi tahap masyarakat dibawa pada suatu era yang disebut
modernitas. Modernitas yang dimaksud disini adalah bentuk kemajuan
tekhnologi, ekonomi, dan informasi seperti dialami negara-negara maju.

Karena kepentingan yang sejalan, deseminasi developmentalisme juga


didukung oleh lembaga-lembaga dana internasional seperti bank dunia
dan IMF. Modernisasi melalui develomentalisme, dan pada gilirannya
melalui globalisasi, dikembangkan untuk menjaga status quo dan mengikat
negara berkembang pada negara utara, dan bahkan ditujukan untuk
melayani kepentingan lembaga-lembaga dana internasional tersebut.
Namun sejalan dengan arus perubahan yang terjadi muncul
ketidakpercayaan terhadap model developmentalisme. Model itu diyakini
telah melahirkan berbagai kerusakan serius dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan ekologi.
Developmentalisme dianggap tidak mampu memecahkan masalah
eksploitasi buruh, dominasi ideologi dan politik, penindasan,
kemiskinan, dan kerusakan ekologis. Kurang lebih setengah abad ia
menjadi ideologi yang mapan serta paradigma dan diskursus yang
dominan, baik ditingkat akar rumput maupun kelompok elit di tingkat
global. Namun sejalan dengan lahirnya berbagai krisis, dan secara
monumental ditandai dengan krisis kapitalisme di Asia Timur
developmentalisme akhirnya runtuh. Akan tetapi perkembangan yang
lebih mengkhawatirkan, berbagai patologi yang terjadi belum bisa
diperbaiki secara fundamental karena belum ditemukannya resep yang
efektif, dunia sudah melangkah kepada era yang lebih menantang yakni
era globalisasi. Seperti diketahui dan dialami kemudian, globalisasi juga
melahirkan aneka masalah yang bahkan lebih eksploitatif. 3 Baik
developmentalisme ataupun globalisasi adalah bagian dari proyek
besar kapitalisme.

3. DEVELOPMENTALISME

DEVELOPMENTALISME adalah kemistri ideologis antara kepentingan


negara industri maju dan kepentingan elite politik negara dunia ketiga.
Istilah ini tepat untuk menggambarkan realitas obyektif haluan ekonomi
negara dunia ketiga ketimbang neoliberalisme, yang lebih kompleks
pengertiannya. Neoliberalisme juga mencerminkan kepentingan
sepihak negara industri maju, khususnya Amerika Serikat, dalam
mempertahankan hegemoni ekonominya.

Mula-mula developmentalisme adalah salah satu teori pembangunan,


yang berkembang menjadi ideologi. Demikian tinjauan ulang Tony
Smith, pada 1985, setelah teori pembangunan internasional diketahui
keberhasilan dan kegagalannya. Ideologi ini timbul dan berkembang
menurut versi negara industri maju dan negara dunia ketiga.

Di Amerika, teori ini berkembang dari doktrin Four Points Program yang
dilancarkan Presiden Harry S. Truman pada 1949, sebagai landasan
politik luar negerinya. Program itu mencakup kerja sama internasional
lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemulihan ekonomi akibat
kerusakan Eropa dari Perang Dunia II, pertahanan negara-negara Dunia
Bebas dari ancaman agresi yang bermuara pada pembentukan pakta-
pakta militer, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi
kemajuan bangsa-bangsa.
Developmentalisme merupakan kelanjutan program pemulihan ekonomi
dunia ketiga. Motif utamanya adalah membendung pengaruh
komunisme di negara dunia ketiga yang cenderung memilih bentuk lain
sosialisme. Asumsinya, sumber penyebaran komunisme adalah
kemiskinan. Karena itu, penangkal penyebaran komunisme adalah
pembangunan ekonomi yang mampu menghapus kemiskinan.
Sedangkan di dunia ketiga lahir nasionalisme ekonomi sebagai
kelanjutan nasionalisme politik sesudah merdeka dari penjajahan.

Nasionalisme ekonomi mengambil berbagai bentuk, terutama


industrialisasi. Dari negara-negara Amerika Latin, melalui Raul Prebisch,
lahir gagasan industrialisasi substitusi impor yang bertujuan mengganti
barang-barang impor dengan produksi domestik. Perekonomian
nasional bisa bebas dari ketergantungan pada luar negeri. Program ini
sesungguhnya merugikan negara industri maju yang telah mengekspor
barang konsumsi ke negara-negara bekas jajahan.

Teori pembangunan internasional mendukung elite politik dunia ketiga


ke jenjang kekuasaan. Syaratnya, mereka harus bisa menyukseskan
pertumbuhan ekonomi di negara masing-masing sekaligus memberikan
kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya internasional, terutama
modal finansial. Menurut teori itu juga, keberhasilan pembangunan
adalah sumber legitimasi bagi elite politik untuk memerintah. Sehingga
elite politik berhak atas legitimasi politik, de facto maupun de jure,
berupa klaim keberhasilan pembangunan ekonomi. Ini merupakan
insentif bagi elite politik negara dunia ketiga untuk mengikuti haluan
developmentalisme.

Di Indonesia, teori pembangunan internasional mulai dicoba oleh


beberapa kabinet yang dipimpin elite politik Masyumi-PSI (Partai
Sosialis Indonesia) dan Katolik, yang antikomunis dan didukung elite
militer. Di masa Orde Baru, developmentalisme dijalankan oleh koalisi
militer-intelektual-pengusaha.

Kritik terhadap developmentalisme datang dari haluan kiri dan kanan.


Dari sisi kiri, developmentalisme dikritik karena menguatkan
ketergantungan dunia ketiga terhadap Amerika dan negara maju
lainnya. Bahkan perekonomian nasional makin didominasi modal asing.
Sedangkan dari sisi kanan, developmentalisme dinilai telah melahirkan
pemerintahan otoriter, bahkan akhir-akhir ini melahirkan rezim
antikapitalis dan prososialis, seperti di Kuba, Venezuela, Ekuador,
Bolivia, dan Argentina—kendati penyebaran komunisme telah berhenti.
Dengan kata lain, developmentalisme telah melahirkan musuh-musuh
baru dalam konteks melawan neoliberalisme.

Komunisme sebagai musuh telah digantikan rezim-rezim antidemokrasi.


Namun yang kurang disadari adalah developmentalisme telah
melahirkan musuh-musuh baru yang lebih cerdas. Kritik yang cerdas
dan inovatif ini muncul dari kapitalisme sendiri, yang telah diramalkan
Joseph Schumpeter, pemula teori ”Economic Development” dan
pengagum dinamika kapitalisme.

Di Indonesia, developmentalisme masih tetap bertahan. Ini tampak


dalam klaim-klaim keberhasilan pembangunan oleh partai-partai politik
yang berkuasa. Klaim keberhasilan itu di antaranya pengendalian inflasi
dan penjagaan stabilitas moneter, tercapainya swasembada beras,
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui bantuan langsung tunai
kepada penduduk miskin, peningkatan anggaran pendidikan dan
pelayanan kesehatan masyarakat, peningkatan angka ekspor, serta
pertumbuhan ekonomi di tengah krisis keuangan global. Padahal
keberhasilan di bidang politik sebenarnya tak kalah penting, terutama
dalam menjaga negara kesatuan, mereformasi organisasi militer tanpa
menimbulkan masalah, serta menyelesaikan masalah konflik horizontal.

Developmentalisme agaknya masih akan bertahan sebagai ideologi


pembangunan elite politik. Pertama, kalangan ilmuwan dan
cendekiawan masih menerima ukuran dan kriteria keberhasilan
pembangunan yang berkisar pada konsep pertumbuhan ekonomi,
seperti diwariskan oleh rezim Orde Baru yang telah menegakkan haluan
developmentalisme dengan cukup kokoh. Kedua, masyarakat, dengan
tingkat kecerdasannya, kini bisa menerima klaim-klaim keberhasilan itu.
Ketiga, perekonomian Indonesia masih memikul sindrom
ketergantungan pada asing yang dikuasai Amerika dan, karena itu, akan
tetap memasang teknokrat-teknokrat yang tak menentang
neoliberalisme dalam pemerintahan.

Jadi, developmentalisme akan tetap bertahan selama ada persepsi


tentang kemistri antara kepentingan negara maju, terutama Amerika,
dan elite politik Indonesia. Kritik itu misalnya mengarah ke gejala utang
luar negeri yang ternyata meningkat, program bantuan tunai yang dinilai
populis tapi tidak mendidik dan tak mendorong swadaya masyarakat,
atau ketergantungan terhadap modal asing, yang semuanya merupakan
elemen pokok developmentalisme tapi dinilai tidak prorakyat.

4. Teori dan Praksis Globalisasi


Setelah krisis kapitalisme di Asia Timur serta berbagai perubahan yang
terjadi, developmentalisme akhirnya ambruk. Namun untuk
kesinambungan dan perkembangan kapitalisme diciptakanlah suatu
tata dunia baru yang disebut globalisasi. Globalisasi pada intinya
adalah hilangnya batas-batas yang memisahkan suatu masyarakat
dengan masyarakat lainnya sehingga setiap anggotanya bebas
berhubungan satu sama lain melalui media yang semakin lama semakin
mudah. Keterpaduan itu mengakibatkan suatu peristiwa yang terjadi di
wilayah tertentu akan membawa dampak yang kurang lebih sama
terhadap wilayah lainnya, begitu juga sebaliknya. Globalisasi pada
awalnya erat terkait dengan saling ketergantungan ekonomi suatu negara
dengan negara lainnya, khususnya ketergantungan negara-negara
berkembang pada negara-negara maju. Perkembangan itu akhirnya
memunculkan model yang integratif menembus batas kedaulatan
perekonomian nasional suatu negara, baik negara maju ataupun
berkembang. Negara-negara semakin terkait satu sama lain dalam
pintalan ekonomi dan politik. Distribusi dari human capital dan sumber-
sumber produksi dari tekhnologi serta informasi bergerak semakin
cepat.4

Dengan demikian cakupan serta pengertian globalisasi sendiri semakin


meluas. Globalisasi dalam pengertian ekonomi berarti proses
internasionalisasi produk, mobilisasi yang semakin membengkak dari
modal dan masyarakat internasional, penggandaan dan intensifikasi
ketergantungan ekonomi. Secara lebih konkrit hal ini berarti reorganisasi
sarana-sarana produksi, penetrasi litas negara dari industri, perluasan
pasar uang, penjajahan barang dan konsumsi dari negara pertama ke
negara dunia ketiga, dan penggusuran lintas penduduk secara besar-
besaran. Dalam politik dan ideologi, globalisasi didevinisikan sebagai
liberalisasi, deregulasi, dan adopsi sistem politik demokrasi dan
otonomi daerah. Dalam ilmu pengetahuan, globalisasi dirumuskan tidak
hanya dirumuskan sebagai upaya membangun kebenaran ilmu untuk
tujuan kemanusiaan serta mencari keterangan ilmiah untuk
penegatahuan lokal-tradisional, tetapi juga upaya empirisasi dan
rasionalisasi ilmu pengetahuan berdasarkan konteks masyarakat
negara-negara maju tanpa memperhatikan kekhasan negara-negara
lainnya. Dalam bidang tekhnologi, globalisasi dimengerti sebagai
penaklukan dunia melalui penguasaan tekhnologi, termasuk tekhnologi
komunikasi dan informasi. Dan sebagai pengertian budaya, globalisasi
dipahami tidak hanya sebagai diseminasi ide dan norma sepri pluralitas
dan HAM, namun juga gaya hidup konsumerisme, hedonisme danlain-
lain.

Proses-proses sebagaimana disebutkan di atas merupakan gerakan dan


mekanisme menuju kewarganegaraan universal tanpa melampaui batas-
batas negara- bangsa.

Globalisasi dengan demikian ditandai oleh beberapa hal yaitu, pertama,


globalisasi terkait erat dengan kemajuan dan inovasi tekhnologi, serta
arus informasi atas komunikasi melintasi batas-batas negara. Kedua,
globalisasi tidak dapat dilepaskan dari akumulasi kapital, semakin tingginya
arus investasi, keuangan, dan perdagangan global. Ketiga, globalisasi
berkaitan dengan semakin tinginya intensitas perpindahan manusia,
pertukaran budaya, nilai, dan ide. Keempat, globalisasi ditandai dengan
semakin meningkatnya keterkaitan dan ketergantungan tidak hanya
antar bangsa tetapi juga antar masyarakat.

Dari pengertian diatas jelas bahwa globalisasi membawa implikasi, baik


posistif ataupun negatif, yang sangat besar bagi perkembangan dunia
yang belum pernah ditemui dalam sejarah peradaban manusia
sebelumnya. Oleh karenanya masyarakat dibawa kepada dunia yang
penuh paradoks yang mau tidak mau memaksanya menentukan pilihan
terhadap globalisasi. Paling tidak terdapat tiga kemungkinan dalam
menanggapai globalisasi. Pertama adalah sikap optimis. Pilihan ini
diambil oleh pelaku bisnis dan pemerintahan dunia maju, juga diterima
secara taken for granted oleh mereka yang terpesona dengan
penemuan ilmu pengetahuan mutakhir, tekhnologi informasi dan
komunikasi, serta mereka yang gandrung dengan budaya modern.
Kelompok ini biasanya kurang memberi perhitungan terhadap kerugian
yang ditimbulkan oleh gaya hidup konsumeris dan hedonis, serta dampak
globalisasi terhadap kelangsungan ekosistem. Kedua adalah sikap
skeptis. Pilihan ini dimiliki oleh mereka yang lebih mengerti globalisasi
sebagai pendewaan ekonomi, politik- ideologi, ilmu pengetahuan,
tekhnologi, dan budaya yang tidak memperhatikan dimensi alam dan
kemanusiaan. Globalisasi tidak lain adalah kolonisasi gaya baru.
Sedangkan sikap ketiga adalah kompromis- kritis. Pilihan ini
diperuntukkan bagi mereka yang meskipun mengutuk globalisasi
namun masih memilii harapan cerah pada akibat yang ditimbulkannya
bagi kehidupan manusia.6

Pilihan yang berbeda itu memang lumrah muncul karena selain


membawa akibat positif globalisasi juga melahirkan kerusakan pada
ekosistem sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Dan seperti
disebutkan diatas, globalisasi tidak lain adalah modus baru bagi
kelangsungan kapitalisme global sehingga tidak mengherankan jika
muncul berbagai fenomena eksploitasi serta kemiskinan berkelanjutan.
Karenanya jika globalisasi ditempatkan sebagai perpanjangan tangan
kapitalisme global, yang berarti dominasi dan eksploitasi manusia atas
manusia lainnya, maka globalisasi adalah episode ketiga dari sejarah
dominasi dalam formasi sosial. Fase pertama adalah kolonialisme
dimana perkembangan kapitalisme di Eropa mengharuskan ekspansi
secara fisik untuk memproleh bahan baku mentah. Melalui fase
kolonialisme ini proses dominasi manusia dengan segenap kekuatan
militer dan ilmu pengetahiuan yang mendukungnya dalam bentuk
penjajahan langsung telah terjadi selama ratusan tahun. Meskipun
banyak negara Afrika merdeka baru sekitar tahuan 1970-an, akan
tetapi secara resmi era kolonialisem dianggap berakhir setelah
berakhirnya perang dunia kedua, ketika banyak negara jajahan
memerdekakan dirinya.

Pada saat penjajahan fisik tidak bisa lagi dilakukan maka penjajahan
dalam bentuknya yang baru dilangsungkan, yaitu penjajahan teori dan
ideologi. Fase kedua ini dikenal dengan era pembangunan atau
developmentalisme. Dominasi tetap diberlangsungkan dalam bentuk
kontrol terhadap proses dan bentuk perubahan sosial di negarainegara
bekas jajahan. Dengan kata lain kolonisasi tidak terjadi secara fisik
melainkan melalui dominasi cara pandang, ideologi, serta diskursus
yang melalui produksi ilmu pengetahuan dan program bantuan
ekonomi. Ideologi developmentalisme memainkan peranan penting
dalam fase kedua yang kemudian mengalami krisis. Krisis
pembangunan belum berakhir tetapi suatu mode of domination telah
disiapkan dan dunia memasuki fase ketiga yakni globalisasi.

Fase ketiga terjadi menjelang abad dua puluh satu, yang ditandai
dengan liberalisasi disegala bidang kehidupan melalui kebijakan
negara- negara maju, lembaga finasial global dan disepakati oleh rezim
GATT dan WTO (Word Trade Organization), suatu oraganisasi
perdagangan bebas dalam skala global.

Para ilmuwan dalam hal ini memang meramalkan bahwa kapitalisme


pada suatu waktu akan berkembang dalam bentuk dominasi ekonomi,
politik, dan budaya berskala global. Dengan perspektif periodeisasi
semacam itu maka globalisasi tidak lain merupakan pendekatan,
mekanisme, dan sistem kapitalisme yang berlangsung dengan cara yang
paling canggih. Jika pada fase kolonialisme ilmu-ilmu sosial
melegitimasi kapitalisme melalui teori evolusi, maka pada fase
developmentalisme dan globalisasi ilmu-ilmu sosial meberikan
kontribusinya melalui modernisasi dan neoliberalisme. Perbedaan
pokok antara developmentalisme dan globalisasi adalah jika pada yang
pertama pembangunan lebih ditujukan pada kemajuan dan
perkembangan negara nasional, maka pada yang kedua mereka
didorong untuk menjadi bagian dari pertumbuhan global. Aktor-aktornya
tidak lagi negara melainkan perusahaan-perusahaan transnasional,
lembaga-lembaga keuangan multilateral, serta birokrasi perdagangan
regional dan global seperti WTO. Namun ketiga periode tersebut
disatukan oleh kecenderungan yang sama yaitu mengenyampingkan
dimensi alam dan manusia, terutama kelompok- kelompok yang karena
ketiadaan akses dan modal terpental dari persaingan global.

5. Globalisasi di Indonesia
Di Indonesia, globalisasi dalam pengertian sebagai terbukanya pasar
bagi masuknya modal dan perusahaan global telah tertanam bibitnya
sejak abad ke 16 ketika para pedagang dan petualang dari Eropa
seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda datang mencari bahan
mentah produksi. Fase ini dalam periodeisasi di atas disebut fase
kolonialisme. Eksploitasi benar-benar terjadi secara fisik dan di abad
19 modal asing masuk secara besar-besaran di Indonesia. Pemerintah
kolonial mengundang dan mengijinkan para pengusaha Eropa untuk
menanamkan modalnya di Indonesia dengan kebijakan yang
memudahkan mereka. Salah satunya adalah kebijakan agraria law
(pertanahan), yaitu sistem sewa yang sangat panjang sebagai lahan
perkebunan tebu, kelapa sawit, coklat, karet, dan lain sebagainya.
Pada kondisi seperti ini pengusaha pribumi tidak bisa berbuat apa-apa.
Penduduk pribumi hanya menjadi kuli kasar dan kuli kontrak. Segala
aktifitas ekonominya selalu dikontrol dan dimonopoli sehingga tidak
mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Di akhir abad dua puluh ketika globalisasi benar-benar telah


diaplikasikan mekanisme tersebut semakin canggih dan efektif.
Tekanan politik, hegemoni ideologi, serta penciptaan undang-undang
perdagangan dunia yang menguntungkan pemodal asing sehingga
mereka dengan mudah bisa menanamkan modalnya. Hal ini berakibat
pada bangkrutnya perusahaan-perusahaan pribumi perusahaan-
perusahaan pribumi sebab mereka tidak mampu bersaing dengan
pemodal dan perusahaan asing. Diperkirakan sejak masuknya modal
asing pada tahun 1969-1970 jumlah industri tekstil tradisional sekitar
324.000 perusahaan.

Pada tahun 1976-1977 hanya tersisa sekitar 60.000 perusahaan.


Berarti sekitar 60 persen tidak mampu beroperasi lagi. Jumlah itu pada
tahu 2000-2007 tentu saja akan jauh lebih mengecil. Tidak Cuma industri
tekstil, industri yang lain seperti minuman juga mengalami nasib yang
sama, mereka gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan
miuman asing, seperti Coca Cola, pepsi, Seven Up, Greensend, dan
lain sebagainya.

Kekalahan modal dan industri tradisional itu juga ada kaitannya dengan
gaya hidup modern yang tergoda oleh bujuk rayu promosi dan iklan di
media massa. Mereka yang daya belinya tinggi cenderung meniru gaya
hidup pop yang sering diiklankan TV atau ineternet. Restoran ala KFC,
McDonald, dan sejenisnya menjai Trend, padahal itu milik negara maju dan
pemodal asing yang dirancang sedemikian rupa sehingga menarik
konsumen yang lebih besar. Globalisasi juga menyebabkan kerusakan
sumber daya alam yang parah. Industrialisasi yang dilakukan tanpa
mempertimbangkan ekosistem lingkungan telah menimbulkan
pencemaran air dan tanah. Polusi yang tak terkendali menyebabkan
masyarakat kesulitan mendapatkan lingkungan udara yang bersih dan
sehat. Hutan-hutan ditebangi sehingga menyebabkan bahaya banjir
pada musim hujan serta bahaya kekeringan pada musim kemarau.
Masyarakat Indonesia dihadapkan, dan juga dunia, dihadapkan pada
ancaman pemanasan global yang membahayakan masa depan
kehidupannya. Dari sini jelas bahwa globalisasi abad ini sesungguhnya
tidak berbeda dengan globalisasi awal masa kolonialisme-imprealisme,
yaitu monopoli, ekploitasi, dan kolonisasi gaya baru.

Pemerintah mau tidak mau dihadapkan pada tiga aturan main dalam
globalisasi yaitu, (1) penghapusan hambatan dagang dan penanaman
modal. Keputusan ini memungkinkan perusahaan multinasional
menanamkan modalnya di seluruh daerah di Indonesia. (2)
Pembentukan organisasi perdagangan regional seperti AFTA, NAFTA,
CIS, MERCOSUR, APEC, dan lain sebagainya. Ataupun ditingkat
dunia seperti GATT dan WTO. (3) Sebagai akibat dari itu pemerintah
Indonesia sebagai anggota dari organisasi perdagangan itu dipaksa
mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan pasar bebbas dan
liberalisasi ekonomi. Dalam situasi seperti ini peran negara sebagai
pembuat kebijakan tidak lagi penting, dan hanya sekedar melayani
kepentingan pasar bebas. Keputusan, terutama di bidang ekonomi,
semakin lama semakin bergantung pada negoisasi dan kebijaksanaan
ditingkat regional dan global.10

6. Problematika Globalisasi
Di era globalisasi masyarakat dibawa kepada pusaran yang semakin
membingungkan dan mengkhawatirkan. Hal itu karena ia tidak melulu
membawa kemajuan tetapi juga bahaya yang mengancam
kelangsungan hidup manusia. Akan tetapi sebelum memasuki
persoalan itu lebih dahulu akan diuraikan mengenai kapan
sesungguhnya globalisasi dimulai, siapa saja aktor-aktor yang
menggerakkannya, serta bagaimana mekanismenya sehingga
melahirkan dilema yang tak kunjung habis. Globalisasi terjadi ketika
ditetapkannya formasi sosial baru dengan ditandai oleh diberlakukannya
secara global suatu mekanisme perdagangan melalui free trade.
Kesepakatan internasional mengenai hal ini terjadi pada bulan April 1994
di Marrakesh, Maroko, melalui perjanjian perdagangan internasional
yang disebut General Agreement on Tariff and Trade (GATT). GATT
merupakan suatu kumpulan aturan internasional yang mengatur
perilaku perdagangan antar pemerintah. GATT juga merupakan forum
negoisasi perdagangan antar pemerintah, serta juga merupakan
pengadilan untuk menyelesaikan jika terjadi perselisihan dagang antar
bangsa.

Pada tahun 1995 suatu organisasi kontrol dan pengawasan


perdagangan yang dikenal dengan WTO (Word Trade Organizations)
didirikan. WTO bertindak berdasarkan complain yang diajukan oleh
para anggotanya. WTO merupakan salah satu aktor dan forum
perdagangan terpenting dalam perundingan global. Selain WTO,
organisasi perdagangan pada tingkat regional juga didirikan seperti
AFTA, NAFTA, CIS, MERCOSUR, APEC, dan lain sebagainya.

Proses globalisasi sebenarnya juga adalah hasil perjuangan dari


perusahaan transnasional karena pada dasarnya merekalah yang
paling diuntungkan dari proses tersebut. Selama dua dasawarsa
menjelang abad dua satu, perusahaan-perusahaan transnasional
berskala raksasa (TNCs) meningkat jumlahnya dari 7000 pada tahun
1970 menjadi 37.000 pada tahun 1990. Selain pada kuantitas TNCs
juga menguasai perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi TNCs
semakin bertambah ketika globalisasi berjalan. TNCs menguasai 75 %
dari investasi global. Ada 100 TNCs dewasa ini yang menguasai
ekonomi dunia karena mengontrol sampai 75 % perdagangan dunia.
Selain itu ada pula lembaga keuangan dan moneter dunia, yaitu IMF
dan Word Bank, yang memberikan bantuan keuangan pada negara-
negara berkembang, dan oleh karenanya bisa mengontrol kebijakan
suatu negara.

Dari diskripsi tersebut menjadi jelas bahwa sebenarnya ada tiga aktor
penting yang sangat berperan dalam proses globalisasi. Pertama
adalah TNCs, yaitu perusahaan multinasional yang besar dan dengan
dukungan negara-negara maju, juga negara-negara berkembang yang
diuntungkan, membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan yang
dikenal dengan WTO. WTO menjadi aktor kedua yang penting.
Sedangkan aktor ketiga adalah lembaga keuangan dunia, yaitu IMF dan
Bank Dunia. Ketiga kator globalisasi tersebut menetapkan aturan-
aturan seputar investasi, Hak Kekayaan Intelektual, dan kebijakan
internasional. Kekuatan lainnya adalah mendesak negara-negara
berkembang untuk menyesuaikan kebijakannya dengan keadaan
ekonomi global. Oleh karena itu globalisasi tidak ada sangkut pautnya
dengan kesejahteraan rakyat ataupun keadilan sosial di negara-negara
dunia ketiga, melainkan didorong oleh motif akumulasi kapital berskala
global.

Globalisasi pada dasarnya juga berpijak pada paham liberalisme, yakni


suatu paham yang sempat bangkrut di awal duapuluhan dan
menemukan momentum kebangkitannya kembali melalui paham yang
lebih baru yang disebut neoliberalisme. Paham ini percaya bahwa
pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari kompetisi
bebas. Pasar bebas adalah cara yang efesien untuk mengalokasikan
sumber daya alam yang terbatas bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
Secara lebih spesifik pokok-pokok pendirian neoliberal adalah;
Pertama, pembatasan kewenangan pemerintah di bidangan ekonomi
dan keuangan, seperti kebijakan perburuhan, investasi, harga, dan lain
sebagainya. Kedua, penghentian subsidi negara terhadap rakyat
karena hal itu bertentangan dengan prinsip pembatas kewenangan
pemerintah juga menyalahi prinsip persaingan bebas. Pemerintah juga
harus melakukan kebijakan privatisasi terhadap semua perusahaan
negara karena hal dibuat sebgai media subsidi terhadap rakyat yang
menghalangi terjadinya persaingan bebas. Ketiga, peniadaan ideologi
kesejahteraan bersama dan pemilikan komunal karena paham itu
dianggap menghalangi pertumbuhan. Pengelolaan sumber daya alam
diserahkan kepada ahlinya dan bukan terhadap masyarakat adat
karena mereka tidak mampu mengelola secara efesien dan efektif.
Ketiga aktor globalisasi tersebut memiliki kekuatan dan pengaruh yang
lebih besar sehingga mereka mampu mendesak negara untuk
melakukan reformasi kebijakan. Kebijakan negara yang harus direformasi
biasanya adalah kebijakan di bidang ekonomi, pertanahan, perburuhan,
investasi, serta hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Salah
satu cara untuk mendesak negara adalah melalui pencantuman agenda
reformasi ke dalam persyaratan hutang (Structural Adjusment Program).
Perubahan kebijakan sangat diperlukan oleh perusahaan-perusahaan
global karena internasionalisasi produksi sebagai salah satu gejala
globalisasi memerlukan kemudahan dalam relokasi.

Implikasi dari semua itu tidak saja memarjinalkan mayoritas rakyat


miskin namun berhadapan dengan masa depan kehidupan para petani,
pedagang informal, nelayan, serta masyarakat adat karena dalam
perebutan sumber daya alam berupa tanah, laut, hutan, air, dan lain
sebagainya mereka tidak akan sanggup bersaing dengan perusahaan-
perusahaan transnasional. Eksploitasi dan industrialisasi yang dilakukan
secara besar- besaran juga mengakibatkan munculnya masalah
lingkungan serta habisnya sumber daya alam itu bagi kehidupan yang
akan datang. Di samping kerusakan-kerusakan lainnya dalam kehidupan
sosial dan budaya. Karenanya meskipun hampir semua negara
menerima globalisasi dan mulai melakukan penyesuaian kebijakan,
namun rakyat dimasing-masing negara itu tidak sepenuhnya menerima
globalisasi. Hal didasari pada berkembangnya gerakan resistensi
terhadap globalisasi baik di tingkat lokal ataupun internasional. Gerakan-
gerakan itu dapat dipetakan sebagaimana berikut.

Pertama, resistensi gerakan agama dan kultural terhadap globalisasi.


Gerakan berbasis agama ini timbul di mana dan dengan label serta isu
yang bermacam-macam. Di Indonesia munculnya degradasi moral,
terutama di kalangan anak muda perkotaan, yang disebabkan oleh
gaya hidup hedonis serta iklim budaya yang begitu terbuka telah
melahirkan gerakan keagamaan garis keras. Gerakan itu mencoba
menentang tempat- tempat hiburan serta gaya hidup kebarat-baratan
dengan tegas, dan seringkali juga dengan cara-cara yang keras-dan
radikal. Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat muslim telah
mendorong lahirnya pemikiran pembebasan dan pemberdayaan yang
bersumber dari teologi dari kalangan pemikir dan aktifis muslim. Di Mesir
kekecewaanterhadap pembangunan yang melanda kalangan warga
muslim miskin perkotaan tersebut telah melahirkan gerakan berbasis
keagamaan yang disebut dengan Fundamentalisme Islam. Gerakan
keagamaan itu pada dasarnya juga adalah resistensi kultural terhadap
pembangunan dan globalisasi. Adapun gerakan kultural sendiri biasanya
terwujud dalam gerakan masyarakat adat, ataupun gerakan yang
diorganisir oleh para aktifis budaya dan NGO.12 Di Indonesia gerakan
kultural itu nampak misalnya pada penentangan masyarakat adat
terhadap upaya penebangan hutan-hutan adat yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan asing, ataupun pada aksi komunitas kultural yang
marjinal untuk mendapatkan hak-hak eksistensi dan pengembangan
kebudayaan mereka. Di India resistensi kultural terhadap pembangunan
dan globalisasi telah membangkitkan kelompok Hindu revivalis yang
mendesak masyarakat India untuk memboikot barang buatan asing.

Kedua, penolakan yang dilakukan oleh gerakan sosial baru dan global civil
society terhadap globalisasi. Gerakan sosial baru itu berbentuk gerakan
hijau, feminisme, gerakan masyarakat akar rumput, dan lain sebagainya.
Di Indonesia hal itu misalnya berwujud dalam gerakan pembaharuan
agraria yang dikembangkan oleh serikat petani Sumatera Utara dan
konsorsium pembaharuan agraria, serta gerakan petani ramah
lingkungan serta gerakan petani anti revolusi hijau di Jawa. Di India hal itu
berwujud dalam gerakan anti proyek pembangunan Narmada Dam.
Gerakan tersebut berhasil mendesak Bank Dunia untuk mencabut
dukungannya terhadap proyek tersebut. Gerakan sosial baru tumbuh di
mana-mana, dalam skala lokal, nasional, ataupun global.

Sedangkan bentuk ketiga adalah gerakan lingkungan menentang


globalisasi. Gerakan ini banyak dipengaruhi oleh gagasan Rachel
Carson tentang kerusakan ekosistem dunia karena praktek globalisasi
dan industrialisasi seperti penggunaan bahan kimia dalam pertanian
yang mengakibatkan kehancuran struktur kesuburan tanah, peraktik
konsumsi ekonomi yang bersumber dari gaya hidup hedonis, dan
sebagainya. Oleh karenanya gerakan lingkungan hidup merupakan
bagian tak terpisahkan dari upya penentangan terhadap globalisasi. Di
Indonesia gerakan tersebut misalnya terwadahi dalam WALHI (Wahana
Lingkungan Hidup), dan di India terdapat dalam gerakan masyarakat
Chipko (Hipko Movement).

7. Kerusakan Ekologis
Dari gambaran di atas tampaklah bahwa globalisasi telah melahirkan
berbagai persoalan serius dalam berbagai dimensi kehidupan manusia
seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, gender, dan juga lingkungan
hidup. Eksploitasi sumber daya alam yang luar biasa, penggunaan
bahan- bahan kimia yang tidak ramah lingkungan dalam jumlah besar,
polusi udara, serta penebangan hutan secara serampangan adalah ciri
hubungan antara manusia dan alam pada era globalisasi. Hal-hal
seperti itu tidak pernah menjadi pertimbangan signifikan bagi aktor-
aktor utama globalisasi. Kepentingan mereka adalah mengeruk
keuntungan yang sebesar-besar dari alam tanpa mempertimbangkan
efek negatifnya jika dieksploitasi sedemikian rupa. Krisis lingkungan
hidup dalam berbagai bentuknya terus berlangsung dari ke hari seiring
dengan nafsu eksploitatif globalisasi yang diamini oleh sebagian besar
manusia modern, baik di Barat maupun Timur.

Kapitalisme global telah menyebabkan kebutuhan manusia terus


membengkak dan kompleks. Maka secara niscaya akan terjadi
pergeseran perilaku dan mental dari etis-estetis menjadi watak yang
teknokratis- pragmatis sehingga masalah ekologi ini pada dasarnya
adalah akumulasi dari persoalan kemanusiaan lainnya.
Ancaman kapitalisme global terhadap keberlangsungan dan kelestarian
lingkungan hidup saat ini menjadi perhatian banyak pemikir dan aktivis.

Gejala ancaman itu tidak hanya dapat dilihat dalam upaya ketiga aktor
globalisasi bersama negara-negara kapitalis maju seperti Amerika
Serikat (AS) untuk memaksa pemerintah negara-negara dunia ketiga
membuka sumber daya alamnya yang kaya untuk diekploitasi, dan juga
buruhnya yang mau dibayar dengan upah murah, tetapi juga terlihat
dalam upayanya mengobarkan perang secara sepihak terhadap
negara-negara yang hendak direbut sumber daya alamnya. Serangan
terhadap Irak dan Afghanistan beberapa tahun lalu adalah bukti itu.
Kapitalisme global memang memandang bahwa alam dan manusia
hanya berguna untuk menumpuk keuntungan saja. Manusia sebagai
bagian dari alam tidak dihargai, seperti buruh-buruh (tenaga kerja) yang
harus dibayar murah. Sedangkan alam akan terus diekploitasi, hutan-
hutan ditebang dan tanah- tanahnya dilubangi sebagaimana dalam
kasus Freeport dan Newmont di Indonesia.

Persoalan ekologis tidak dapat dipisahkan dari kontradiksi kapitalisme


yang mengeksploitasi alam dan manusia untuk mencari keuntungan.
Kapitalisme global yang disemangati oleh neo-liberalisme serta
diperlancar oleh globalisas,i harus memastikan bahwa terjadi ekspansi
ke wilayah global dengan cara mengeruk sumberdaya alam sebagai
bahan baku, di samping itu juga membutuhkan tenaga kerja murah dan
juga tempat memasarkan produk-produknya. Kapitalisme
menggunakan prinsip “penggunaan modal sekecil-kecilnya untuk
memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya”, mendorong eksploitasi
terhadap alam dan manusia tanpa menimbang dimensi kebersamaan
(togetherness) dan keberlanjutan (sustainability).

Salah satu persoalan lingkungan yang kini ramai diperbincangkan


adalah pemanasan global (global warming).14 Dalam satu abad terakhir,
sejak Revolusi Industri pada abad ke-19, telah terjadi peningkatan suhu
permukaan bumi secara global. Peningkatan suhu permukaan bumi,
selain diakibatkan oleh emisi bahan bakar fosil, kerusakan hutan dan
lahan, juga diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi Gas Rumah
Kaca (GRK) di atmosfer.

Peristiwa ini dikenal dengan global warming atau pemanasan global,


yang menyebabkan perubahan iklim dunia. Peningkatan panas di bumi,
juga menyebabkan es di kutub mencair, sehingga permukaan air laut
meningkat dan dapat mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau kecil.

Perubahan iklim selain dipicu oleh meningkatnya emisi karbon, akibat


penggunaan energi fosil, juga diakibatkan oleh industrialisme serta pola
konsumsi dan gaya hidup masyarakat. Menurut temuan
Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC), sebuah lembaga
panel internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh
dunia, menyatakan pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu di dunia
0,6-0,70. Sedangkan di Asia lebih tinggi, yaitu 10. Selanjutnya adalah
ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10-30 persen dan
melelehnya Gleser (gunung es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Secara
general hal yang dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin
panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain
itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di
seluruh dunia., serta meningkatnya cuaca secara ekstrem yang
tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis.

Di Indonesia hal ini tampak dari fakta bahwa kota-kota yang dulunya
dikenal sejuk dan dingin akan tetapi sekarang semakin panas,
contohnya seperti kota Malang, kawasan Prigen Pasuruan di lereng
Gunung Welirang, kaki Gunung Semeru, Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa
Tenggara, dan daerah lainnya yang dulu dikenal dingin. Meningkatnya
suhu ini juga telah menimbulkan makin banyaknya wabah penyakit
endemik yang merata dan terus bermunculan, seperti leptospirosis,
demam berdarah, diare, dan malaria. Padahal penyakit-penyakit seperti
malaria, demam berdarah, dan diare adalah penyakit lama yang
seharusnya sudah lewat dan mampu ditangani dan kini telah
mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan meninggal. Selain itu
ratusan desa di pesisir Jatim terancam tenggelam akibat naiknya
permukaan air laut. Indikatornya terlihat dari naiknya gelombang pasang
di pesisir pantai utara pada minggu ketiga bulan Mei 2007.

Untuk negara-negara lain meningkatnya permukaan air laut bisa dilihat


dengan makin tingginya ombak di pantai-pantai Asia dan Afrika. Hal itu
juga di tambah dengan melelehnya gleser di gunung Himalaya Tibet
dan di kutub utara. Menurut analisis IPCC hal ini berkontribusi langsung
terhadap meningkatkan permukaan air laut setinggi 4-6 meter. Dan jika
benar-benar meleleh semuanya maka akan meningkatkan permukaan
air laut setinggi 7 meter pada tahun 2012. Dan pada 30 tahun kedepan
tentu ini bisa mengancam kehidupan pesisir dan kelangkaan pangan
yang luar biasa, akibat berubahnya iklim yang sudah bisa kita rasakan
sekarang dengan musim hujan yang makin pendek serta kemarau yang
semakin panjang.

8. Keluar dari Kemelut; Sebuah Tawaran


Masalah lingkungan hidup memang bukan persoalan salah satu negara
saja, tetapi sudah menjadi tanggung jawab seluruh bangsa dan negara.
Oleh karena itulah berbagai upaya dilakukan orang untuk mencegah
tambah rusaknya lingkungan hidup. Seperti dengan
diselenggarakannya KTT Bumi, Protocol Kiyoto, dan lain sebagainya.
Bahkan, beberapa negara yang masih memanfaatkan bahan bakar fosil
berusaha mengurangi efek rumah kaca dengan menggunakan bahan
bakar gas alam yang secara ekonomis sangat kompetitif bila
dibandingkan dengan penggunaan minyak bumi atau batubara. Hanya
sebenarnya gas alam juga tetap menimbulkan CO2, tetapi lebih sedikit
bila dibandingkan dengan penggunaan minyak bumi dan batubara. Di
samping itu pun gas alam juga menimbulkan methan selama proses
penyediaannya, yang kesemua itu dapat mengakibatkan kerusakan
lingkungan.

Disamping itu juga, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil seperti


bahan bakar minyak akan mengakibatkan kenaikan harga yang terus
meningkat. Persediaannya juga sangat terbatas. Manusia tidak
mungkin terus bergantung kepada bahan bakar minyak karena suatu
saat cadangannya akan habis. Oleh karena itu bagi masyarakat Indonesia
sudah saatnya memanfaatkan bahan bakar non fosil untuk berbagai
keperluan.

Dengan demikian selain turut melakukan upaya pelestarian lingkungan


hidup secara global, juga sebagai langkah penghematan cadangan
sumber daya alam yang sudah semakin menipis di negeri ini.
Sedangkan untuk para pengambil kebijakan sudah seharusnya
mengeluarkan policy yang jelas orientasinya untuk mengurangi pemanasan
global. Misalnya dengan menetapkan jeda tebang hutan di seluruh
Indonesia agar tidak mengalami kepunahan, atau dengan menimbang
ulang proyek pertambangan mineral dan batubara seperti terjadi di
Papua, Kalimantan, dan Sulawesi.

Akan tetapi persoalannya sesungguhnya tidak semudah yang


dibayangkan. Masalah lingkungan hidup erat terkait dengan iklim
globalisasi dan kapitalisme global. Menyelesaikan persoalan itu dengan
begitu bukan hanya melalui agenda yang praktis-pragmatis, akan tetapi
melalui suatu gerakan yang menyeluruh dan terpadu, karena
sebagaimana telah diuraikan secara panjang lebar di atas, globalisasi
tidak berkaitan dengan satu dimensi kehidupan melainkan dengan
seluruh dimensi kehidupan. Oleh karenanya mengatasi masalah
lingkungan hidup saat ini harus diletakkan dalam proyek penentangan,
atau paling tidak kritik, terhadap globalisasi dan dampaknya bagi
kehidupan manusia. Khususnya bagi manusia yang tinggal di negara-
negara berkembang. Diantaranya adalah menumbuhkan wacana
tanding, yaitu mengembangkan pemahaman globalisasi dari perspektif
pinggiran, globalisasi dari perspektif masyarakat miskin, masyarakat
adat, dan kaum perempuan, serta merealisasikannya melalui suatu
gerakan resistensi. Gerakan tersebut diperlukan sebagai upaya
meminimalisasi efek negatifnya serta menggusur wacana-wacana yang
selama ini dominan dan membodohkan. Dan yang lebih penting lagi
adalah melakukan penguatan terhadap masyarakat sipil (civil society),
karena dengan lahirnya masyarakat sipil yang kuat kapitalisme mau tidak
mau akan mengoreksi dirinya sendiri. Sebab masyarakat akan berani
bersuara tentang ketidakadilan dan penipuan yang berlangsung secara
berkelanjutan seperti saat ini.16

Dalam konteks ini agama dapat digunakan sebagai kekuatan


pembebasan. Perihal masalah lingkungan tersebut agama telah
mengajarkan bahwa alam dan manusia adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan, karena jika salah satu diantaranya keduanya rusak maka
akan berakibat fatal bagi masa depan kehidupan. Oleh sebab itu, dalam
menyikapi realitas kerusakan alam ini, agama sebagai pemberi pesan
damai, baik kepada manusia maupun kepada alam, sudah semestinya
turut memberi solusi dan kontribusi yang signifikan bagi kelestarian
(Concervation) lingkungan alam. Melihat alam dari perspektif agama,
menurut pemikir muslim asal Mesir, Hassan Hanafi, akan memungkinkan
kita untuk menyelesaikan permasalahan sumber-sumber alam dari akar
yang sebenarnya, yakni dari sudut pandang kesadaran manusia. Sikap
dan persepsi manusia sangat menentukan cara berhubungan dengan
alam. Obyek yang hidup, seperti alam atau dunia, tidak akan ada atau
berubah kecuali dalam persepsi diri sang subyek. Namun Hassan
Hanafi menegaskan, bahwa setiap agama memiliki model yang beragam
di dalam hubungan mereka dengan alam, mulai dari negasi-dunia
sampai dengan afirmasi-dunia.

9. MDG’S VERSUS SDG’s


1. Sustainable Development Goals

Berbeda dari pendahulunya Milenium Development Goals (MDGs),


SDGs dirancang dengan melibatkan seluruh aktor pembangunan, baik
itu pemerintah, Civil Society Organization (CSO), sektor swasta,
akademisi, dan sebagainya. Kurang lebih 8,5 juta suara warga di
seluruh dunia juga berkontribusi terhadap Tujuan dan Target SDGs.

Tidak meninggalkan Satu Orangpun merupakan Prinsip utama SDGs.


Dengan prinsip tersebut setidaknya SDGs harus bisa menjawab dua hal
yaitu, Keadilan Prosedural yaitu sejauh mana seluruh pihak terutama
yang selama ini tertinggal dapat terlibat dalam keseluruhan proses
pembangunan dan Keadilan Substansial yaitu sejauh mana kebijakan
dan program pembangunan dapat atau mampu menjawab persoalan –
persoalan warga terutama kelompok tertinggal.

Pembangunan ekonomi memiliki hubungan dua arah dengan


kesehatan. Pembangunan ekonomi mempengaruhi kesehatan populasi,
sebaliknya kesehatan populasi mempengaruhi pembangunan ekonomi.
Kesehatan merupakan sumberdaya yang diperlukan untuk
pembangunan ekonomi. Tingkat kesehatan populasi yang tinggi dapat
meningkatkan produktivitas, meningkatkan pendapatan keluarga, yang
secara agregat nasional meningkatkan Produk Domestik Bruto per
Kapita. Sebaliknya pembangunan ekonomi berpengaruh terhadap
kemampuan keberlanjutan sistem pendukung yang diperlukan bagi
populasi untuk menciptakan kesehatan dan kualitas hidup yang baik.
Pembangunan ekonomi menggunakan sumberdaya alam, energi, dan
sumberdaya manusia secara masif. Pembanguan ekonomi yang tidak
terkontrol, penggunaan sumberdaya alam dan energi untuk produksi
maupun konsumsi, yang tidak berhati-hati, hingga melebihi kapasitas
bumi, dapat merusak kondisi lingkungan sosial dan eko-sistem,
sehingga menurunkan tingkat kesehatan dan kualitas hidup populasi.

Pembangunan yang bijak bagi masyarakat adalah pembangunan yang


berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
adalah pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup
orang di seluruh dunia, baik dari generasi sekarang maupun yang akan
datang, tanpa mengeksploitasi penggunaan sumberdaya alam yang
melebihi kapasitas dan daya dukung bumi. Tujuan tersebut bisa dicapai
melalui empat elemen tujuan pembangunan berkelanjutan: (1)
Pertumbuhan dan keadilan ekonomi; (2) Pembangunan sosial; (3)
Konservasi sumberdaya alam (perlindungan lingkungan); (4)
Pemerintahan yang baik (good governance). Keempat elemen tersebut
saling mendukung satu dengan lainnya, menciptakan tujuan
pembangunan yang berkaitan dan berkelanjutan.

Dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan di


Rio de Janeiro (Brasil) pada Juni 2012 dibahas agenda pembangunan
berkelanjutan yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs).
SDGs merupakan seperangkat tujuan, sasaran, dan indikator
pembangunan yang berkelanjutan yang bersifat universal. SDGs
merupakan kelanjutan dan perluasan dari Millennium Development
Goals (MDGs) yang telah dilakukan oleh negara-negara sejak 2001
hingga akhir 2015.

Delapan MDGs sebagai berikut:


1. Mengurangi kemiskinan dan kelaparan
2. Mencapai pendidikan yang universal;
3. Meningkatkan kesetaraan gender dan memberdayakan
perempuan
4. Mengurangi kematian anak
5. Meningkatkan kesehatan maternal
6. Membasmi HIV, malaria, dan penyakit lainnya
7. Menjamin keberlanjutan lingkungan
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Meskipun beberapa target MDGs berhasil dicapai, banyak tujuan dan


target lainnya dinilai belum tercapai. MDGs bertujuan mengurangi
kemiskinan, tetapi gagal memperhatikan dan mengatasi akar masalah
kemiskinan. MDGs tidak secara khusus memperhatikan pentingnya
mencapai tujuan perbaikan pembangunan ekonomi. MDGs kurang
memperhatikan sifat holistik, inklusif, dan keberlanjutan pembangunan.
Demikian juga MDGs dinilai kurang memperhatikan kesetaraan gender
dan hak azasi manusia (Gambar 1). Secara teoretis MDGs ingin
diterapkan di semua negara, tetapi kenyataannya MDGs hanya
diterapkan pada negara berkembang atau miskin, dengan bantuan
pendanaan dari negara kaya (UN, 2016; Guardian, 2016; Knoema,
2016).

Beberapa masalah utama yang belum bisa diatasi sampai dengan


berakhirnya era MDGs (UN, 2016) sebagai berikut:
1. Masih terdapat jurang yang lebar antara rumahtangga yang
miskin dan rumahtangga, antara daerah pedesaan dan perkotaan
2. Masih terdapat ketidaksetaraan gender (Gambar 1)
3. Banyak terjadi konflik (peperangan dsb,) yang merupakan
ancaman nyata bagi pembangunan manusia
4. Jutaan orang miskin hidup dalam kemiskinan dan kelaparan,
tanpa akses terhadap pelayanan dasar
5. Perubahan iklim dan degradasi lingkungan merongrong
kemajuan yang diperoleh, dan kelompok masyarakat miskin
terkena dampak yang paling besar
Gambar 1 menyajikan hasil analisis data UNDP yang menunjukkan
ketidaksetaraan gender di berbagai negara dunia tahun 2011.
Ketidaksetaraan gender diukur dalam Gender Inequality Index (GII),
terdiri atas tiga dimensi: (1) kesehatan reproduksi, (2) pemberdayaan,
dan (2) lapangan kerja. GII=0 menunjukkan, kesetaraan sempurna
antara laki-laki dan perempuan. GII= 1 ketidaksetaraan sempurna,
perempuan tidak diuntungkan maksimum. Indonesia termasuk di antara
negara berkembang dengan ketidaksetaraan gender tinggi (GII 0.49-
0.60) (Knoema, 2016).

Sustainable Development Goals secara eksplisit bertujuan


memberantas kemiskinan dan kelaparan, mengurangi ketimpangan
dalam dan antar negara, memperbaiki manajemen air dan energi, dan
mengambil langkah urgen untuk mengatasi perubahan iklim. Berbeda
dengan MDGs, SDGs menegaskan pentingnya upaya mengakhiri
kemiskinan agar dilakukan bersama dengan upaya strategis untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menerapkan langkah kebijakan
sosial untuk memenuhi aneka kebutuhan sosial (seperti pendidikan,
kesehatan, proteksi sosial, kesempatan kerja), dan langkah kebijakan
untuk mengatasi perubahan iklim dan proteksi lingkungan.

Hasil analisis data UNDP yang menunjukkan ketidaksetaraan gender di


berbagai negara dunia tahun 2011. Ketidaksetaraan gender diukur
dalam Gender Inequality Index (GII), terdiri atas tiga dimensi: (1)
kesehatan reproduksi, (2) pemberdayaan, dan (2) lapangan kerja. GII=0
menunjukkan, kesetaraan sempurna antara laki-laki dan perempuan.
GII= 1 ketidaksetaraan sempurna, perempuan tidak diuntungkan
maksimum. Indonesia termasuk di antara negara berkembang dengan
ketidaksetaraan gender tinggi (GII 0.49-0.60) (Knoema, 2016).

Pada pertemuan tingkat tinggi di markas PBB pada September 2015,


sebanyak 193 negara anggota PBB sepakat untuk menjadikan SDGs
sebagai kerangka agenda pembangunan dan kebijakan politis selama
15 tahun ke depan mulai 2016 hingga 2030. Pemerintah di setiap
negara anggota PBB– baik negara kaya, menengah, maupun miskin,
baik negara maju maupun berkembang – memiliki tanggungjawab
mengimplementasikan SDGs untuk mencapai SDGs. Negara adalah
pihak yang memiliki tanggungjawab utama dalam pembangunan sosial
dan ekonomi, pembuatan kebijakan nasional, menentukan strategi
pembangunan, yang diperlukan untuk tujuan mencapai pembangunan
berkelanjutan. Pemerintah semua negara diharapkan menerapkan
agenda dan kebijakan politis pembangunan ekonomi nasional, untuk
meningkatkan kemakmuran dan sekaligus melindungi planet bumi.

SDGs secara eksplisit bertujuan memberantas kemiskinan dan


kelaparan, mengurangi ketimpangan dalam dan antar negara,
memperbaiki manajemen air dan energi, dan mengambil langkah urgen
untuk mengatasi perubahan iklim. Berbeda dengan MDGs, SDGs
menegaskan pentingnya upaya mengakhiri kemiskinan agar dilakukan
bersama dengan upaya strategis untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, menerapkan langkah kebijakan sosial untuk memenuhi aneka
kebutuhan sosial (seperti pendidikan, kesehatan, proteksi sosial,
kesempatan kerja), dan langkah kebijakan untuk mengatasi perubahan
iklim dan proteksi lingkungan. SDG terdiri atas 17 tujuan dan 169 target,
yang meliputi aneka isu pembangunan berkelanjutan (Gambar 2).
Daftar 17 tujuan dalam SDGs sebagai berikut:
1. Kemiskinan (Poverty) – Mengakhiri kemiskinan dalam segala
bentuknya di setiap tempat
2. Panngan (Food) – Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan
pangan, perbaikan gizi, dan meningkatkan pertanian yang
berkelanjutan
3. Kesehatan (Health)– Menjamin hidup yang sehat dan
meningkatkan kesehatan / kesejahteraan bagi semua pada
semua usia
4. Pendidikan (Education) –Menjamin pendidikan yang
berkualitas, inklusif dan adil, meningkatkan kesempatan belajar
sepanjang hayat bagi semua
5. Perempuan (Women) – Mencapai kesetaraan gender dan
memberdayakan semua wanita dan gadis
6. Air (Water)– Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air dan
sanitasi yang berkelanjutan bagi semua
7. Energi (Energy) – Menjamin akses terhadap energi yang
terjangkau (terbeli), andal, berkelanjutan, dan modern, bagi
semua
8. Ekonomi (Economy) – Meningkat pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan inklusif; partisipasi penuh dalam pekerjaan
yang produktif, jenis pekerjaan yang layak bag semua
9. Infrastruktur (Infrastructure) – Membangun infrastuktur
(prasarana) yang awet/ kuat, meningkatkan industrialisasi yang
inklusif dan berkelanjutan, mendukung inovasi
10. Ketidaksetaraan (Inequality) – Mengurangi ketidaksetaraan
(inequality) dalam dan antar negara
11. Pemukiman (Habitation) – Membangun kota dan pemukiman
manusia yang inklusif, aman, awet/ kuat, dan berkelanjutan
12. Konsumsi (Consumption) – Menjamin pola konsumsi dan
produksi yang berkelanjutan
13. Iklim (Climate) – Mengambil langkah-langkah tindakan yang
segera untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya
14. Ekosistem Kelautan (Marine Ecosystem)– Melindungi dan
menggunakan lautan, laut, dan sumberdaya kelautan secara
berkelanjutan untuk pembangunan yang berkelanjutan
15. Ekosistem (Ecosystem) – Melindungi, memulihkan, dan
meningkatkan penggunaan ekosistem bumi secara berkelanjutan,
mengelola hutan secara berkelanjutan, menghentikan dan
membalik degradasi (kerusakan) tanah, dan kehilangan
biodiversitas (keragaman hayati)
16. Kelembagaan (Institutions) – Menciptakan masyarakat yang
damai dan inklusif untuk pembangunan yang berkelanjutan,
memberikan akses terhadap keadilan bagi semua, membangun
lembaga yang efektif, akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan),
dan inklusif, pada semua level
17. Keberlanjutan (Sustainability)– Memperkuat cara implementasi
dan merevitalisasi (menghidupkan kembali) kemitraan global
untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Hampir semua tujuan dalam SDGs merupakan determinan sosial


kesehatan yang terletak di berbagai level. Hanya tujuan ke 3 (Health)
yang bukan merupakan determinan kesehatan, melainkan tujuan
kesehatan itu sendiri yang ingin dicapai. Tujuan ke 3 SDGs dengan jelas
menyebutkan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kehidupan yang
sehat bagi semua (keadilan kesehatan) pada semua usia (kesetaraan
kesehatan menurut usia).

Dengan menggunakan kerangka konsep Dahlgren dan Whitehead


(1991) bahwa determinan sosial kesehatan terletak di berbagai level,
dan fakta bahwa SDGs yang ingin dicapai merupakan determinan
kesehatan, maka jika SDGs dapat dicapai dengan lebih cepat, maka
implikasinya tujuan untuk meningkatkan kesehatan populasi dan
distribusi kesehatan yang adil dalam populasi dan antar populasi akan
dapat dicapai dengan lebih cepat pula.

Sebelum tahun 2015 istilah MDG’s lebih dikenal dibandingkan SDG’s.


MDG’s diluncurkan pada tahun 2000 oleh PBB dengan tujuan untuk
memajukan kesejahteraan global sampai dengan tahun 2015.Di dalam
MDG’s meliputi menghilangkah kemiskinan dan kelaparan,
menyediakan pendidikan dasar, mendorong kesetaraan jender dan
penguatan perempuan, mengurangi angka kematian bayi, meningkatkan
kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit
lainnya, memastikan keberlanjutan lingkungan dan membangun
kemitraan global untuk pembangunan.

10. Agenda pembangunan pasca-2015 merubah MDG’s menjadi


SDG’s
MDG’s dirumuskan oleh negara-negara Organisation for Economic Co-
operation and Development (OECD) dan para pakar beberapa lembaga
internasional berbeda dengan SDG’s yang melibatkan pemangku
kepentingan yang lebih luas. Sejak awal, SDG’s dibuat melalui proses
partispatoris sangat inklusif dengan cara konsultasi langsung dengan
semua kalangan (pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, pihak
swasta, dan masyarakat filantropi, baik dari negara maju maupun
berkembang.

Hal tersebut berkontribusi pada adanya beberapa perbedaan penting


antara MDGs dan SDGs. Pertama, SDG’s dirumuskan berdasarkan
prinsip-prinsip HAM, inklusivitas dan antidiskriminasi. Kedua, dalam hal
agenda, SDG’s tidak hanya berfokus pada upaya pemenuhan
kebutuhan masa sekarang, tetapi juga memerhatikan kebutuhan masa
yang akan datang atau berkelanjutan. Ketiga, SDG’s ditujukan untuk
memastikan bahwa semua manusia dapat menikmati kehidupan yang
sejahtera dan bahwa kemajuan ekonomi, sosial, dan teknologi terjadi
selaras dengan alam/lingkungan. Keempat SDG’s juga dirancang untuk
mendorong perdamaian agar terwujud masyarakat adikl dan inklusif
yang bebas dari rasa takut dan kekerasan. Kelima. SDG’s
mengutamakan kerja sama seluruh pemangku kepentingan.

11. PERKEMBANGAN SDGS PADA MASA COVID-19


12. PERAN PERGURUAN TINGGI
Contoh Kemitraan antar-Perguruan Tinggi dalam Pengembangan
Inovasi untuk Penanganan Covid-19 di Indonesia

a. Robot Pelayanan Pasien Covid-19 - ITS dan UNAIR

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan


Universitas Airlangga (Unair) didukung oleh
pemerintah Provinsi Jawa Timur mengembangkan
robot pelayan pasien COVID-19 yang dinamakan
RAISA. Robot ini dirancang untuk melakukan kontak
langsung dengan pasien yang sedang diisolasi.
RAISA dapat mengantarkan makanan, pakaian, dan
obat - obatan kepada pasien. Jadi bisa mengurangi
beban kerja tim medis sekaligus meminimalisir kontak
antara pasien dan pihak lain. Hal ini sangat
bermanfaat untuk menghindari penularan COVID-19.
b. Universitas Negeri Gorontalo Mendorong Inovasi Berbasis
Tekonologi dalam Penanganan Covid-19

1. Penyelenggaraan Covid-19 Innovation Challenge oleh Pusat


Inovasi Universitas Negeri Gorontalo (UNG), merupakan
sebuah program untuk menyelesaikan permasalahan di tengah
pandemi dan membangun ekosistem berbasis inovasi di
Gorontalo.
2. Pemenang Covid-19 Innovation Challenge diumumkan
bersamaan dengan pelaksanaan International Conference on
Innovation in Science, Health, and Technology (ICISHT) yang
akan digelar pada tanggal 10 Desember 2020.
3. Ketiga tim pemenang Covid Innovation Challenge (CIC) adalah
Huntu Art Distrik (Innovation Village), toduwo.id (Digital
Service), dan Relos Labs (Innovation Village)

Penutup
Akhirnya, globalisasi sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah
manusia memang harus diterima dengan sikap kritis-rasional. Globalisasi
diakui atau tidak telah membawa perubahan yang mendasar dalam
ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serta dalam seluruh aspek kehidupan
lainnya. Namun hal itu bukan berati mengafirmasi ketidak adilan, ketidak
pastian, serta masalah-masalah bawaan yang ditimbulkan olehnya.
Perubahan sosial di masa-masa yang akan datang harus selalu
didasarkan pada kedaulatan bangsa dan rakyat, keadilan, dan
kepedulian terhadap alam.

Pandemi membawa risiko bagi pencapaian agenda Pembangunan


Berkelanjutan 2030, tetapi juga membuka peluang terjadinya berbagai
transformasi kebijakan dan sistem.
Tripple bottom line (people, planet, profit) bergeser ke arah prosperity
àbalancing social, environment, economy, and good governance agar
pembangunan lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan, serta
Tangguh menghadapi guncangan di masa depan.

REFERENSI
1) Vivi. 2021. Perkembangan SDGS pada Masa Covid-19 dan
Perguruan Tinggi. Bappenas; Jakarta.
2) Direktorat PLH. 2012. Sustainable Development Goals (SDGs):
Usulan Norma Baru Pembangunan Global. Vol. 1 (1).
3) Ifan. 2007. Globalisasi dan Implikasinya tergadap Kehidupan
Ekologis di Indonesia. Jurnal Sosio-Religi, Vol.6 (4).
4) Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
Yogyakarta: Insist Press, 2002.
5) Korten, David C., Menuju Aabad ke-21, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001.
6) Petras, James dan Henry Veltmeyer, Imprealisme Abad 21,
Yogyakarta: LKPM, 2002.
7) Pontoh, Coen Husain, Akhir Globalisasi: dari perdebatan teori
menuju gerakan massa, Jakarta: C-BOOKS, 2003.
8) Prasetyo, Eko, Islam Kiri, Yogyakarta: Insist Press, 2002.
9) Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern; 1200-2004 M, Jakarta:
Penerbit Serambi, 2005.

Anda mungkin juga menyukai