Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“KARAKTERISTIK ALAMIAH LAHAN RAWA LEBAK”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Lingkungan Lahan


Basah

Dosen Pengampu

Dr. Sidharta Adyatama M.Si

Disusun Oleh

Hamidayanti

2110115120015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................2
BAB I.............................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang....................................................................................................3
BAB II............................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................5
2.1 Lahan Rawa Lebak.............................................................................................5
2.2 Tipe Lahan Rawa Lebak.....................................................................................7
2.3 Kondisi Hidrologi...............................................................................................10
2.4 Nilai dan Jasa Ekosistem Rawa Lebak............................................................10
2.5 Dampak dan Konservasinya.............................................................................12
BAB III.........................................................................................................................13
PENUTUP...................................................................................................................13
3.1 Kesimpilan.........................................................................................................13
3.2 Saran.................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahan rawa merupakan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan secara
bijak agar dapat menjadi sumber pertumbuhan yang mampu mendorong laju
pembangunan perekonomian dan memakmurkan rakyatnya. Oleh karena itu
walaupun dalam era otonomi yang memberikan wewenang luas, pengelolaan
lahan rawa pasang surut harus tetap mengindahkan kondisi dan sifat-sifat lahan
yang khas dan unik. Dalam arti tidak membuat kegiatan yang mengarah pada
perubahan lingkungan yang drastis, yang dapat berdampat negatif tehadap
kualitas lingkungan setempat maupun wilayah lain. Wilayah lain yang dimaksud
adalah wilayah yang secara administrasi dan hukum sudah di luar wilayahnya,
namun masih menjadi satu kesatuan karena sistem rawa yang melingkupinya.
(Ar-Riza and Alkasuma 2008)

Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), pemanfaatan lahan rawa pasang surut


untuk pertanian masih akan menghadapi berbagai masalah diantaranya adalah
kondisi luapan dan genangan air yang sangat variatif dari satu wilayah ke
wilayah lain, jenis tanah yang sangat beragam dengan tingkat kesuburan yang
rendah dan variatif, kemasaman tanah dan potensi racun pirit yang tinggi yang
dapat mematikan tanaman, ketebalan dan tingkat kematangan gambut yang
berbeda, serta kondisi petani yang masih lemah baik dari segi keterampilan
maupun permodalan. Melihat karakter lahan dan kondisi sosial tersebut maka
pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian memerlukan kecermatan
dan kehati-hatian dalam perencanaan dan kesungguhan pelaksanaan
pengembangannya. (Baldwin, Barendregt, and Whigham 2009)

Pembangunan pertanian pada lahan rawa harus diupayakan menuju ke


sistem pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya secara
optimal berdasarkan karakteristik lahan, kesesuaian komoditas dan dengan tetap
memperhatikan budaya masyarakat setempat. Menurut Sinukaban (1999),
pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan pertanian di suatu
daerah yang tidak merusak lingkungan, dan memberikan hasil tinggi sehingga
dapat memacu petani untuk terus berusaha lebih lanjut pada lahan tersebut.
Untuk menuju ke arah tersebut maka lahan rawa pasang surut harus
dimanfaatkan sesuai kondisi tipologi, tipe luapan air dan peruntukannya, serta
preferensi wilayah karena tidak semua lahan rawa dapat dimanfaatkan untuk
pertanian (Abdurachman et al.,1999).
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Lahan Rawa Lebak
Lahan rawa lebak merupakan rawa yang terdapat di kiri dan kanan sungai
besar dan anak-anaknya, dengan topografi datar, tergenang air pada musim
penghujan, dan kering pada musim kemarau. Pada keadaan air macak-macak
sampai dengan ketinggian air lebih kurang 30 cm, lahan tersebut ditanami padi
sedangkan pada kondisi kering tanaman pangan lainnya dapat ditanam

Rawa lebak merupakan ekosistem yang dinamis, mengalami perubahan dua


arah dari sistem akuatik ke sistem terestrial, dipengaruhi oleh faktor-faktor
hidrologi, mutu air, vegetasi, fauna, kepemilikan dan pemanfaatan. Penelitian ini
dilaksanakan di rawa lebak Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering
Ilir Provinsi Sumatera Selatan, bertujuan untuk merumuskan pola pengelolaan
rawa berbasis keterpaduan (integrated system) antara ekologi, ekonomi dan
sosial budaya. Pengamatan karakteristik hidrologi, ekologi, pola pemanfaatan,
sosial dan budaya menunjukkan bahwa tipologi rawa lebak di lokasi penelitian
dapat dibagi tiga yaitu rawa banjiran, rawa tadah hujan dan rawa campuran. Dari
hasil analisis keterkaitan faktor internal dan eksternal, penilaian untuk rawa
tadah hujan adalah 104 sedangkan rawa banjiran dan rawa campuran
masingmasing 68 dan 45. (Ogan and Ilir 2008)

Pola pengelolaan yang dapat disarankan untuk rawa tadah hujan diarahkan
pada mempertahankan kekhasan ekosistem dengan pemanfaatan bagi sektor
perikanan dengan kegiatan tambahannya adalah pertanian dan peternakan.
Pada rawa banjiran diarahkan pada kegiatan pertanian dengan kegiatan lainnya
adalah perikanan dan pertanian tergantung pada musim dan ketersediaan air,
dan pada rawa campuran diarahkan pada peningkatan efisiensi pemanfaatan air
dengan menyediakan lebung dan penyerasian pola tanam dengan daur banjir.
(Amin 2016)

Luas lahan rawa lebak di Indonesia sekitar 13,28 juta hektar, luas ini
diperkirakan sekitar sepertiga dari luas totallahan rawa. Luas lahan rawa lebak
yang telah dibuka untuk persawahan dan permukiman sekitar 1,55 juta hektar,
dari luasan tersebut sekitar 1,01 juta hektar (71%) dibuka meialui swadaya
masyarakat dan sisanya (29%) oleh pemerintah. Berdasarkan data terse but,
maka luas lahan rawa lebak yang belum dibuka masih cukup luas (sekitar 11,73
juta hektar). Namun menurut lrianto (2006) luas lahan rawa Iebak yang
berpotensi untuk pertanian dan belum dibuka hanya sekitar 1.411.317 ha
(10,6%). Secara umum tingkat kesuburan lahan rawa Iebak lebih baik
dibandingkan lahan rawa pasang surut, karena tanah di lahan rawa lebak
tersusun dari endapan sungai (~uviQtil) yang tidak mengandung bahan
sulfidiklpirit. Kecuali pada zona peralihan antara lahan rawa lebak dan lahan
rawa pasang surut di Iapisan bawah pada kedalaman lebih dari 1 meter
ditemukan Iapisan bahan sulfidik yang merupakan endapan marin. Lahan rawa
lebak dangkal merupakan bagian yang paling potensial untuk pertanian
dibandingkan lahan rawa lebak tengahan dan dalam. Lahan rawa lebak dangkal
dan tengahan umumnya dijadikan persawahan dengan pertanaman palawija dan
sayuran di bagian guludanlbedengan pada sistem surjan. Sementara lebak
dalam, karena bentuknya mirip eekungan kondisi airnya relatif masih tetap dalam
walaupun pada musim kemarau, sehingga lebih sesuai untuk budidaya
perikanan air tawar. (Soendjoto and Dharmono 2016)

Kendala utama dalam pengelolaan lahan rawa lebak adalah tinggi air selama
musim hujan. Sebaliknya pada musim kemarau tinggi genangan air berangsur
turun menjadi hampir kering. Seeara tradisional, petani menanami lahannya
setelah genangan air mulai turun pada akhir musim hujan. Penanaman dimulai
dari lebak dangkal dan berlanjut ke lebak tengahan. Pada kondisi ElNino
(kemarau panjang), lahan rawa lebak merupakan lahan subur untuk pertanaman
padi, palawija dan hortikultura. Lahan rawa lebak merupakan salah satu lumbung
padilberas nasional yang mampu mendukung dan mengamankan program
ketahanan pangan. Oleh karena itu, potensinya yang besar untuk perluasan
areal produksi pertanian dapat dilakukan melalui perbaikan biofisik lahan.
Penelitian yang lebih intensif perlu dilakukan untuk mendapatkan varietas-
varietas tanaman yang mampu beradaptasi dan berproduksi tinggi serta rasanya
disenangi konsumen, sehingga sesuai dibudidayakan di lahan rawa lebak (Amin
2016)
2.2 Tipe Lahan Rawa Lebak
Tipe lahan lebak, dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Lebak dangkal, bila genangan airnya kurang dari 50 cm selama kurang


dari 3 bulan
2. Lebak tengahan, bila genangan airnya antara 50 ± 100 cm selama 3 ± 6
bulan
3. Lebak dalam, bila genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6
bulan. Perpaduan antara tipologi lahan dengan tipe luapan air ini, dapat
dipakai untuk menentukan pola pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa
secara lebih tepat dan optimal.

Lahan rawa lebak umumnya berada pada daerah eekungan, membentuk


beragam kedalaman dan lama genangan air. Untuk memudahkan
pengelolaan lahan rawa lebak, dibagi berdasarkan tinggi dan lama genangan
menjadi tiga tipe genangan

1. Tipe Genangan Air


Tipe genangan air rawa lebak dikenal ada tiga kategori, yaitu: 1)
Lebak dangkal atau pematang, yaitu lahan rawa yang tinggi
genangannya < 50 em dengan lama 1- 3 bulan, 2) Lebak tengahan,
yaitu lahan rawa yang mempunyai tinggi genangan 50-100 em dengan
lama 3- 6 bulan, 3) Lebak dalam, yaitu lahan rawa yang mempunyai
tinggi genangan >100 em dengan lama
2. Tipologi Tanah pada lahan rawan lebak sebenanya hampir dengan
tipologi pada lahan rawa pasang surut (Tabel 2), namun keberadaanya
lebih didominasi oleh lahan potensial dan gambut.
3. Dinamika Genangan Air Rawa Lebak Rawa lebak
berada pada zone III, sehingga fluktuasi tinggi muka aimya
dipengaruhi oleh curah hujan pada daerah tersebut, dan atau derah
sekitamya berupa banjir kiriman. Curah hujan pada kawasan hulu
mengalir ke hilir melalui jaringan sungai, mengisi kawasan rawa lebak,
demikian juga curah hujan pada sekitar area kawasan tersebut. Air
pada kawasan rawa lebak yang mengalir ke kawasan hilir (rawa
pasang surut) akan tertahan apabila oleh adanya dorongan air pasang
laut/sungai pada titik keseimbangan dari dorongan kedua sumber air
tersebut. Hasil pengamatan Anwar dan Mawardi (2012) menunjukkan
bahwa dinamika tinggi muka air rawa lebak sangat ditentukan pola
curah hujan kawasan, baik daerah rawa lebak, maupun kawasan hulu
rawa lebak. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi muka air rawa lebak
mengikuti pola curah hujan kawasan rawa lebak. Umumnya dinamika
tinggi muka air rawa lebak tengahan dan lebak dalam mempunyai
kesamaan pola bila berada dalam satu Sub DAS, sedangkan rawa
lebak dangkal dapat berbeda. Kualitas air rawa lebak dipengaruhi oleh
sumber air yang masuk ke daerah tersebut. Adanya erosi pada
kawasan hulu akan membawa unsur hara pada air yang mengalir ke
lahan rawa lebak, sehingga memperkaya hara pada daerah yang lebih
rendah. Kedaan ini juga berpengaruh terhadap kualitas air kawasan
tersebut (Sudana 2009)
Potensi Peningkatan Produksi Kondisi pertanian padi pada saat
ini masih belum optimal karena beberapa sebab, diantaranya pola
tanam masih didominasi oleh pola padi sekali setahun, hasil masih
relatif rendah karena belum memanfaatkan teknologi yang memadai,
dan masih ban yak lahan yang terbengkalai. Berdasarkan hal tersebut,
maka peningkatan produksi dapat dilakukan melalui A) Perluasan
tanam, dan B) Intensifikasi menggunakan teknologi inovatif (Alwi 2014)

2.3 Kondisi Hidrologi


Kondisi hidrologi rawa umumnya dipengaruhi oleh curah hujan, luapan
pasang, limpasan dari luar (runoff), perkolasi, dan resapan (seepage). Dua hal yang
paling penting adalah dinamika tinggi muka air dan kualitas air. Ke dua parameter ini
menjadi penentu fungsi air sebagai sumber irigasi, pencuci unsur-un sur beracun,
untuk memenuhi keperluan tanaman, dan perikanan. (Tejoyuwono and
Notohadiprawiro 2006)

Pengairan pada rawa lebak hampir sama dengan sistem rawa pasang surut.
Pada sistem rawa pasang surut air memungkinkan untuk menggenangi areal
persawahan pada saat air pasang, sedang pada rawa lebak prinsip kerjanya adalah
mengatur keluarnya air sehingga lahan tidak tergenang dan kebutuhan tanaman
akan air ataupun kelembaban tanah terpenuhi dengan menggunakan bangunan
tabat/ pengatur air. Pengaturan air pada sistem rawa pasang surut dan lebak
mempunyai tujuan agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan baik untuk budidaya
pertanian, perkebunan maupun perikanan.(Alwi 2014)

2.4 Nilai dan Jasa Ekosistem Rawa Lebak


Rawa lebak merupakan ekosistem yang dinamis, mengalami perubahan dua
arah dari sistem akuatik ke sistem terestrial, dipengaruhi oleh faktor-faktor hidrologi,
mutu air, vegetasi, fauna, kepemilikan dan pemanfaatan.
Luas lahan rawa lebak di Indonesia diperkirakan sebesar 13,3 juta hektar
yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Widjaya-Adhi et al., 1992).
Rawa mempunyai berbagai fungsi baik fungsi ekologi sebagai tandon air tawar,
tempat hidup flora dan satwa liar dan fungsi ekonomi untuk berbagai kegiatan untuk
menunjang kehidupan manusia misalnya untuk tempat menangkap ikan, budidaya
ikan, transportasi air, sawah lebak, pemanenan tumbuhan air dan peternakan. Dari
sisi perikanan, ketersediaan stok ikan di rawa lebak memberikan lapangan kerja
atau mata pencaharian bagi penduduk baik sebagai nelayan penuh ataupun nelayan
sambilan dengan pertanian dan peternakan. Dengan demikian sumber daya alam
yang tersedia di ekosistem rawa lebak perlu dikelola agar dapat dimanfaatkan
secara berkesinambungan. (Muthmainnah et al. 2012)

Pengelolaan rawa berbasis ekosistem telah banyak dikembangkan, dengan suatu


pendekatan untuk mempertahankan atau memperbaiki komposisi, struktur dan
fungsi ekosistem untuk mencapai sustainabilitas jangka panjang (Muthmainnah et
al., 2011). Dasar pengelolaan adalah pengembangan kolaborasi berbagai kondisi
masa depan yang diinginkan berupa keterpaduan perspektif ekologi, sosio-ekonomi
dan kelembagaan untuk diterapkan dalam suatu wilayah. Pola pengelolaan
ditentukan dengan meletakkan kebutuhan manusia sebagai sentral dari pengelolaan
biologi, berbasiskan pada keragaman fungsi ekosistem dan keragaman
pemanfaatan (Susanto & Muthmainnah, 2010). Dengan pendekatan ekosistem,
optimalisasi pemanfaatan tidak didasarkan pada keuntungan ekonomi jangka
pendek tapi dengan “memanfaatkan tanpa merusak”. (Lebak and Selatan 2019)

Nilai ekonomi merupakan sumberdaya yang bisa mengahasilkan sesuatu


berupa materi yang dilihat dari uang yang didapatkan dari hasil pertanian dan
perikanan. Nilai ekonomi pada rawa lebak dilihat dari pemanfaatannya, Menurut data
luas potensi sawah lebak Kecamatan Pampangan tahun 2016, Desa Tapus memiliki
luas lahan rawa lebak sebesar 1251 hektar yang terbagi menjadi 337 hektar
(26,93%) lebak pematang, 500 hektar (39,96%) lebak tengah dan 414 hektar
(33,09%) lebak dalam. Pada saat surut, rawa lebak dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian. Bagian rawa lebak yang potensial untuk dijadikan lahan persawahan
adalah rawa lebak pematang dan rawa lebak tengah (Khairah 2011). Hal itu berarti
sebanyak 77% lahan rawa lebak yang ada di Desa Tapus merupakan lahan yang
potensial sebagai lahan pertanian.
2.5 Dampak dan Konservasinya
Dampak perubahan iklim yang terjadi mengakibatkan penurunan tingkat
produktivitas padi dan berkurangnya pendapatan petani. Selain dampak perubahan
iklim bagi produktivitas pertanian pada lahan rawa lebak, dampak lain dari
perubahan iklim adalah munculnya pengelolaan yang mengubah hak pengelolaan
secara pribadi menjadi komunal. Pengelolaan secara komunal terjadi ketika banjir
pada lahan rawa tersebut. Selain itu, sistem pengelolaan secara komunal pada
lahan rawa lebak secara langsung di atur oleh pemeritah daerah. Yanti (2015)
mengemukakan bahwa sasaran dari kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan
rawa lebak adalah untuk mengatur, mengawasi, dan meminimalisir gesekan antara
pemilik lahan yang bisa berujung konflik antara masyarakat akibat tumpang
tindihnya batasan terhadap hak kepemilikan. (Budianta, Windusari, and Abel 2016)

Rawa lebak memiliki potensi sumberdaya yang besar dalam hal pertanian
dan perikanan. Potensi tersebut membuat rawa lebak memiliki nilai-nilai bagi
masyarakat yang tinggal di sekitarnya, seperti nilai sosial, nilai ekonomi, dan nilai
politik. Nilai ekonomi berkaitan dengan fungsi rawa lebak sebagai sumber mata
pencaharian utama bagi masyarakatnya. Masyarakat yang tinggal di sekitar rawa
akan sangat bergantung pada rawa lebak untuk memenuhi kebutuhan sehari-
harinya. Sementara nilai politik mengacu pada sistem kepemilikan rawa yang
berubah setiap musimnya. Perubahan sistem kepemilikian tersebut jelas merupakan
suatu goncangan yang mengganggu stabilitas masyarakat. Masyarakat menjadi
tidak bisa memanfaatkan nilai ekonomi rawa lebak dan menjadi rentan akan kondisi
rawan pangan. Berdasarkan pemaparan tersebut penting untuk melihat sejauh mana
nilai ekonomi, sosial dan politik rawa lebak serta mengetahui resiliensi komunitas
dalam menghadapi kondisi rawan pangan di wilayah rawa lebak.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpilan
Indonesia memiliki rawa yang sangat luas, lebih kurang 33,4 juta hektar
dimana sekitar 60 % nya merupakan rawa pasang surut. Luas sisanya sekitar 40 %
merupakan rawa lebak atau rawa non pasang surut . lebih dari 9 juta ha dari rawa
pasang surut sudah di reklamasi, sebagian oleh Pemerintah (sekitar 1.3 juta ha) dan
sebagian lagi oleh Penduduk lokal utamanya suku Bugis dan Banjar (sekitar 2.4 juta
ha), kurang lebih seluas 5.3 juta ha dikembangkan oleh perusahaan swasta
terutama untuk perkebunan sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan selebihnya
untuk pertambakan. Pengembangan rawa di Indonesia berawal di Pulau Sumatera
dan Kalimantan yang dirintis pada awal abad ke dua puluh oleh transmigran
lokal/spontan. Sedangkan reklamasi rawa dengan skala besar disponsori oleh
Pemerintah, yang mencapai puncaknya pada dasawarsa 70-an dan 80-an dengan
tujuan menunjang program transmigrasi dan peningkatan produksi pangan serta
pemerataan pembangunan guna mendorong pengembangan ekonomi wilayah.
Penduduk asli suku Melayu dan para pendatang dari suku Bugis dan Banjar secara
tradisional bermukim dirawa pasang surut di Sumatra dan Kalimantan. Semenjak
tahun 80an, sektor swasta menjadi penggerak utama dalam aktivitas
pengembangan lahan rawa terutama rawa pasang surut. Pada awal tahun 90an
hanya sekitar 200.000 ha lahan rawa dikembangkan untuk perkebunan dan sekitar
300.000 ha yang dikembangkan untuk tambak oleh sektor swasta. Pada tahun 2000,
lahan rawa yang dikembangkan meningkat dengan pesat, 5 juta ha lahan
perkebunan dan 450.000 ha untuk lahan pertambakan.

3.2 Saran
Mungkin, dalam penulisan makalah saya kali ini mempunyai kekurangan,
saya mohon untuk diberikan saran oleh pembaca, agar saya bisa mengembankan
lagi dan memperbaiki lagi kesalahan saya dalam karya tulis maupun tugas saya
berikutnya.Jika pembaca mempunyai saran maupun kritiknya bisa disampaikan
melalui email. 2110115120015@mhs.ulm.ac.id agar saya bisa memperbaiki dan
mengembangkan kemampuan saya dalam penulisan. Mungkin ini saja yang bisa
saya sampaikan, kekurangan dan kelebihannya mohon dimaafkan
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Muhammad. 2014. “Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi.”
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”
(2007): 45–59.
http://kalsel.litbang.pertanian.go.id/ind/images/pdf/semnas2014/6_alwi.pdf.
Amin, Mohamad. 2016. “Potensi, Eksploitasi Dan Konservasi Berkelanjutan Lahan
Basah Di Indonesia.” Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah 1: 14–22.
Ar-Riza, and Alkasuma. 2008. “Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Dan Strategi
Pengembangannya Dalam Era Otonomi Daerah.” Jurnal Sumberdaya Lahan
2(2): 95–104.
Baldwin, Andrew H., Aat Barendregt, and Dennis F. Whigham. 2009. Tidal
Freshwater Wetlands Tidal Freshwater Wetlands- An Introduction to the
Ecosystem.
Budianta, Dedik, Yuanita Windusari, and T Abel. 2016. “Beneficial Effect of Local
Resources to Improve Food Crop Production in Tidal Swamp of Indonesia.”
International Journal of Environmental & Agriculture Research (IJOEAR) 2(1):
98–101. https://ijoear.com/issue-detail/issue-January-2016.
Lebak, Rawa, and Sumatera Selatan. 2019. “BUDI DAYA DAN ADAPTASI
VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA LAHAN RAWA LEBAK SUMATERA
SELATAN Cultivation And Adaptation of New Superior Varieties Paddy In Lebak
Swampy Lands In South Sumatra.”
Muthmainnah, Dina et al. 2012. “Pola Pengelolaan Rawa Lebak Berbasis
Keterpaduan Ekologi- Ekonomi-Sosial-Budaya Untuk Pemanfaatan
Berkelanjutan.” J. Kebijak. Perikanan. Ind 4(2): 59–67.
Ogan, D I, and Komering Ilir. 2008. “FLUKTUASI GENANGAN AIR LAHAN RAWA
LEBAK.” 3(2): 57–66.
Soendjoto, Mochamad Arief, and Dharmono. 2016. “Potensi, Peluang, Dan
Tantangan Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah Secara Berkelanjutan.”
Prosiding Seminar Universitas Lambung Mangkurat 2015: 1–20.
Sudana, Wayan. 2009. “Potensi Dan Prospek Lahan Rawa Sebagai Sumber
Produksi Pertanian.” : 141–51.
Tejoyuwono, and Notohadiprawiro. 2006. “Lahan Basah.” Repro : Ilmu Tanah UGM
(Lahan Basah): 1–10.

Anda mungkin juga menyukai