Anda di halaman 1dari 8

USAHA KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM LINGKUP

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang diampu oleh

Dr. Ir. Ussy Andawayanti, MS.

DISUSUN OLEH:

CAHYO TRILAKSONO ( 165060407111017 )

JURUSAN TEKNIK PENGAIRAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2018
I. UMUM

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh punggung
punggung bukit yang menampung air hujan dan mengalirkannya melalui saluran air,
dan kemudian berkumpul menuju suatu muara sungai, laut, danau atau waduk. Pada
daerah aliran sungai terdapat berbagai macam penggunaan lahan, misalnya hutan,
lahan pertanian, pedesaan dan jalan. Dengan demikian DAS mempunyai berbagai
fungsi sehingga perlu dikelola. Pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat, petani dan pemerintah untuk memperbaiki keadaan lahan
dan ketersediaan air secara terintegrasi di dalam suatu DAS.

Kerusakan wilayah DAS pada umumnya juga terkait dengan kerusakan


kawasan hutan yang seharusnya berperan dalam perlindungan lingkungan dan
penyeimbangan ketersediaan air, oleh sebab itu kerusakan hutan tersebut selalu
dituding sebagai penyebab terjadinya bencana banjir dan tanah longsor pada musim
penghujan serta kekeringan pada musim kemarau. Setiap DAS baik memiliki
karakteristik yang berbeda terkait dengan jenis tanah, vegetasi dan tata guna lahan
serta masyarakat yang ada. Maka diperlukan pengelolaan suatu DAS yang
memperhatikan kondisi fisik maupun kultural yang ada.

Pengelolaan DAS adalah salah satu formulasi dan implementasi kegiatan atau
program yang bersifat manipulasi sumber daya alam dan manusia yang terdapat
didaerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa
menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya air dan tanah. Termasuk dalam
pengelolan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tata guna lahan, tanah dan air,
dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Asdak,2004:5).

II. TINJAUAN PUSTAKA


Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi menggambarkan fenomena alam yang menghubungkan erosi,
sedimentasi dan limpasan. Terjadinya erosi tergantung dari beberapa faktor yaitu
karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk
menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal, dampak dari erosi tanah
dapat menyebabkan sedimentasi di sungai sehingga dapat mengurangi daya tampung
sungai, dengan berkurangnya daya tampung sungai apabila ada aliran air yang cukup
besar akan menyebabkan banjir.
Meningkatnya Bencana Banjir dan tanah longsor tampaknya terkait erat dengan
meningkatnya kerusakan lingkungan di wilayah daerah aliran sungai (DAS). Hal ini
ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah DAS kritis. Dalam kurun waktu 20 tahun
(1884–2004) jumlah DAS kritis di indonesia meningkat dari 22 menjadi 65 (Slamet
Riayadhi dkk, mengutip informasi Krisfianti Ginoga dkk,2006).
Erosi
Erosi adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah
dari suatu tempat yang terangkut ke tempat lain, baik disebabkan oleh pergerakan air
atau angin (Arsyad, 1983). Proses hidrologi secara langsung dan tidak langsung akan
berhubungan dengan terjadinya erosi, transpor sedimen, deposisi sedimen di daerah
hilir, serta mempengaruhi karakteristik fisik, biologi, dan kimia. Terjadinya erosi
ditentukan oleh faktor-faktor iklim (intensitas hujan), topografi, karakteristik tanah,
vegetasi penutup tanah, dan tata guna lahan. Proses terjadinya erosi dibagi menjadi 3
bagian yang berurutan, yaitu:
1. Pengelupasan (detachment);
2. Pengangkutan (transportation);
3. Pengendapan (sedimentation)
Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Tingkat bahaya erosi (TBE) diperoleh dengan cara membandingkan tingkat
erosi pada suatu unit lahan dengan kedalaman efektif. Klasifikasi tingkat bahaya erosi
dapat dilihat pada tabel berikut:
Arahan Fungsi Kawasan

Menurut asdak, 2004 analisa fungsi kawasan ditetapkan berdasarkan kriteria


dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan produksi yang berkaitan dengan SK
menteri Pertanian No 387 dan karekteristik fisik DAS yaitu kemiringan lereng, jenis
tanah menurut kepekaannya terhadap erosi, dan curah hujan harian rata-rata.

Untuk karakteristik DAS yang terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah, dan
curah hujan harian rata-rata pada setiap satuan lahan diklasifikasikan dan diberi skor
sebagai berikut.

Tabel 2. Skor Kemiringan Lereng Arahan RLKT

Tabel 3. Skor Tanah Menurut Kepekaannya Terhadap Erosi Arahan RLKT

Tabel 4. Skor Intensitas Hujan Harian Rata-Rata Arahan RLKT


Penerapan penggunaan lahan setiap satuan lahan ke dalam suatu kawasan
fungsional dilakukan dengan menjumlahkan nilai skor ketiga faktor di atas dengan
mempertimbangkan keadaan setempat.

Tabel 5. Status Kawasan Berdasarkan Fungsi

III. Contoh Usaha Pengendalian Erosi Pada Beberapa DAS

1. ANALISA EROSI DAN SEDIMENTASI MENGGUNAKAN APLIKASI MODEL


AVSWAT 2000 DI DAS BAGEK KEMBAR KABUPATEN LOMBOK BARAT
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
( Suwanto Marsudi1, Ussy Andawayanti, Imam Nashrullah )

Di muara sungai Bagek Kembar akan dibangun PLTGU Lombok Peaker. Dalam upaya
melindungi dan menjaga kelestarian bangunan PLTGU Lombok Peaker serta menjaga
kelestarian DAS Bagek Kembar, dilakukan analisa untuk memprediksi erosi dan sedimentasi
pada DAS Bagek Kembar. Analisa ini akan mengkaji hasil erosi dan sedimentasi di DAS
Bagek Kembar dengan menggunakan aplikasi model AVSWAT (Arc View Soil And Water
Assessment
Tool) 2000. Hasil perhitungan menggunakan AVSWAT 2000 mulai tahun 2000 sampai
dengan tahun 2009 didapatkan nilai laju erosi rata-rata pada DAS Bagek kembar adalah
sebesar 58.48 ton/ha/th dan hasil sedimen rata-rata sebesar 14.96 ton/ha/th atau 1.25 mm/th.
Lokasi bangunan pengendali sedimen yang pertama (Check Dam 1) berada pada hilir subdas
12 dengan nilai Indeks Bahaya Erosi (IBE) sangat tinggi, sedangkan lokasi bangunan
pengendali sedimen yang kedua
(Check Dam 2) berada pada hilir subdas 14 dengan nilai IBE sangat tinggi. Volume
tampungan Check Dam 1 adalah sebesar 7783.78 m3 diharapkan dapat mengontrol laju
sedimentasi sebesar 124% dari potensi laju sedimentasi normal. Sedangkan volume
tampungan Check Dam 2 adalah sebesar 17142.86 m3 diharapkan dapat mengontrol laju
sedimentasi sebesar 243% dari potensi laju sedimentasi normal.

2. APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK IDENTIFIKASI


LAHAN KRITIS dan ARAHAN FUNGSI LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
SAMPEAN ( Runi Asmaranto, Ery Suhartanto, Bias Angga Permana)

DAS Sampean merupakan daerah aliran sungai yang kondisi topografinya rata-rata sangat
curam. Kondisi tata guna lahan yang sebagian besar sawah irigasi ini cukup memungkinkan
terjadinya erosi. Apalagi tataguna lahan lainnya berupa ladang, semak dan sawah tadah
hujan yang tanamannya merupakan tanaman berkedalaman akar rendah dan berperan besar
dalam proses penyebab terjadinya kerusakan tanah, mempercepat laju erosi dan
meningkatkan volume limpasan permukaan. Berdasarkan kondisi tersebut, studi ini
mengkaji tingkat bahaya erosi yang terjadi saat ini pada tata guna lahan eksisting Das
Sampean serta menentukan arahan penggunaan lahan yang tepat sesuai dengan kemampuan
lahan kawasannya dengan mempertimbangkan kondisi DAS Sampean.
Metode yang digunakan dalam menghitung besarnya laju erosi adalah metode MUSLE
dimana metode tersebut menggunakan pendekatan dari faktor limpasan permukaan.
Pengolahan data-datanya menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) karena
memudahkan dalam penganalisaan dan pengelompokan data.
Dari hasil analisa diperoleh debit limpasan permukaan yang terjadi sebesar 247,967
m3/dt. Total Erosivitas Limpasan Permukaan yang terjadi adalah 48.129,73 m2/jam, hal ini
memicu terjadinya laju erosi yang rata-ratanya mencapai 43.939,94 ton/ha/thn, atau identik
dengan kehilangan tanah sebesar : 258,470 cm/thn. Besarnya laju erosi pada DAS Sampean
ini mengakibatkan tingkat bahaya erosi sebesar 95,54% dari luas wilayahnya termasuk
sangat berat. Sedangkan untuk tingkat bahaya erosi lainnya yaitu, berat : 2,72%, sedang :
1,02%, ringan :0,72%. Analisa kemampuan lahan didominasi kemampuan kelas VII
(75,39%), yang merupakan daerah Pengembalaan Terbatas. Sedangkan ARLKT di DAS
Sampean terdiri dari 3 (tiga) kawasan, yaitu Kawasan lindung (10,53%), Kawasan
Penyangga (52,23%), Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan (37,23%).
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, kondisi DAS
Sampean sekarang dalam kondisi sangat kritis dan segera perlu dilakukan upaya pengendalian
erosi lahan berupa penataan kawasan DAS. Upaya pengendalian erosi lahan dapat dilakukan
dengan cara sipil maupun non sipil. Upaya penanganan secara non sipil diantaranya adalah
penataan kawasan yang sesuai dengan fungsinya sebagaimana yang dianalisis dalam studi ini,
sedangkan penanganan secara sipil/struktur perlu dilakukan analisis lebih lanjut.

DAFTAR RUJUKAN

Bias Angga Permana, Runi Asmaranto, Ery Suhartanto, 2010. Aplikasi Sistem Informasi Geografis
(SIG) Untuk Identifikasi Lahan Kritis dan Arahan Fungsi Lahan Daerah Aliran Sungai
Sampean. Volume 1, Nomor 2

Mahyaya M. Rahman, Donny Harisuseno, Dian Sisinggih, 2012. Studi Penanganan Konservasi Lahan
Di Sub Das Keduang Das Bengawan Solo Kabupaten Wonogiri. Jurnal Teknik Pengairan,
Volume 3, Nomor 2, Desember 2012

Anda mungkin juga menyukai