Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Tinjauan Mengenai Daerah Aliran Sungai (DAS)


Daerah aliran sungai (catchment, basin, watershed) adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau
ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan (Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air).
Menurut Asdak (2002:4), daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang
secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan ke laut melalui sungai utama. Wilayah
daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (catchment area) yang merupakan sutau
ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi)
dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam.

Gambar 2.1 Daur Hidrologi DAS


(http://surososipil.files.wordpress.com/2008/07/bab2-regy.pdf)

Dalam pendefinisian DAS, pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat


diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya
didistribusikan melalui beberapa cara. Konsep daur hidrologi DAS menjelaskan bahwa air
hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian,

11
12

evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran
(Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, 2007: 3).
Menurut Sasongko (2009:9), untuk dapat menjamin kelestarian DAS, pelaksanaan
pengelolaan DAS harus mengikuti prinsip-prinsip dasar hidrologi. Dalam sistem hidrologi
DAS, komponen masukan utama terdiri atas curah hujan, sedang komponen keluaran
terdiri atas debit aliran dan muatan sedimen, termasuk unsur hara dan bahan pencemar di
dalamnya. DAS yang terdiri atas komponen-komponen vegetasi, tanah, topografi,
air/sungai, dan manusia.
Dari beberapa pendapat di atas, didapatkan pengertian bahwa DAS merupakan
wilayah yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan ke laut atau danau
melalui satu sungai utama. Adapun batasan wilayah DAS ini dapat diidentifikasikan secara
nyata karena adanya pemisahan topografi, yaitu punggung bukit atau pegunungan. Dengan
demikian, karena DAS merupakan kesatuan tata air yang saling terkait dalam dirinya
sendiri, maka perubahan pada komponennya akan mengganggu kerja seluruh sistem yang
ada. Oleh karena itu, diperlukan perhatian dalam mengenal dan menjaga keberlanjutan
daur hidrologi DAS (Bisri, 2009:12).
2.1.1. Morfologi sungai sebagai pembentuk DAS

Gambar 2.2 Model Ruang-Waktu Perubahan Morfologi Sungai


(Kern dalam Maryono, 2005:13)
Aliran air melintasi permukaan bumi dan membentuk alur aliran sungai atau
morfologi sungai tertentu. Morfologi Sungai tersebut menggambarkan keterpaduan antara
13

karakteristik abiotik (fisik-hidrologi, hidraulika, sedimen, dan lain-lain) dan karakteristik


biotik (biologi atau ekologi-flora dan fauna) daerah yang dilaluinya. Faktor yang
berpengaruh terhadap morfologi sungai tidak hanya faktor abiotik dan biotik namun juga
campur tangan manusia dalam aktivitasnya mengadakan pembangunan-pembangunan di
wilayah sungai. Pengaruh campur tangan manusia ini dapat mengakibatkan perubahan
morfologi sungai yang jauh lebih cepat daripada pengaruh alamiah biotik dan abiotik saja.
Tanpa campur tangan manusia, maka seluruh komponen yang membentuk sungai
memiliki skala perubahan waktu-ruang yang berbeda tergantung kekuatan ekologi dan
fisik-hidrauliknya masing-masing. Adapun contoh dari perubahan struktur dasar sungai,
alur sungai, dan habitat sungai dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Maryono, 2005:13).
Perkembangan arah melintang sungai tidak begitu komplek jika dibandingkan
dengan perkembangan arah memanjang. Secara melintang, sungai diawali dengan daerah
tebing sungai, daerah bantaran, daerah peralihan, dan badan sungai. Di suatu tempat
tertentu secara melintang sungai akan mengalami erosi di satu sisi dan sedimentasi di sisi
lain (misalnya pada belokan) atau tererosi pada dua sisinya misalnya pada sungai lurus.
Di dalam morfologi klasik, ke arah memanjang bentuk alur sungai dapat dibedakan
menjadi lurus, bercabang-cabang, dan bermeander. Bentuk alur sungai ini sangat
ditentukan oleh kemiringan dasar sungai dan jenis sedimen yang menyusun dasar sungai
(Maryono, 2005:15).

Gambar 2.3 Tipe Alur Sungai


(Rosgen dalam Maryono, 2005:15)
14

Menurut Rosgen dalam Maryono (2005:15), bentuk sungai memanjang dapat


dibedakan menjadi tujuh tipe, yakni tipe A, B, C, D, E, F, G (Gambar 2.3). Tipe-tipe
tersebut terbentuk terutama dipengaruhi oleh kemiringan memanjang dan sedikit sedimen
penyusun dasar sungainya. Sebagai contoh pada kemiringan 4-10% bentuk sungai relatif
lurus, pada kemiringan 2-4% relatif bermeander, dan pada kemiringan 2-4% berupa
bercabang-cabang.
2.1.2. Daerah aliran sungai sebagai ekosistem
Dari sudut pandang ekologi, secara umum wilayah sungai juga dapat dimasukkan
ke dalam bagian wilayah keairan, baik wilayah keairan diam (tidak mengalir) dan wilayah
keairan dinamis (mengalir). Dalam suatu sistem sungai terjadi lalu lintas rantai makanan
dari bagian hulu ke hilir. Oleh sebab itu, dalam memahami dan menginvestigasi wilayah
sungai untuk perencanaan pembangunan wilayah sungai, tidak bisa secara isolatif di suatu
areal tertentu saja (lokal), namun harus secara integral sesuai dengan jenis ekosistem
wilayah sungai yang sifatnya tidak tertutup dan dipengaruhi oleh seluruh faktor baik dari
hulu maupun dari hilir (Maryono, 2005:3).
Pengelolaan DAS yang tidak berkelanjutan sebagai akibat dari perubahan tata guna
lahan, akan menjadi penyebab utama terjadinya banjir dibandingkan dengan yang lainnya.
Sebagai contoh, apabila suatu hutan yang berada dalam suatu daerah aliran sungai diubah
menjadi permukiman, maka debit puncak sungai akan meningkat antara enam sampai dua
puluh kali. Angka tersebut tergantung dari jenis hutan dan jenis permukiman. Demikian
pula untuk perubahan yang lainnya maka akan terjadi peningkatan debit puncak yang
signifikan.
Perlu diketahui bahwa perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi dominan
kepada aliran permukaan (run-off). Hujan yang jatuh ke tanah airnya akan menjadi aliran
permukaan di atas tanah dan sebagian meresap ke dalam tanah, tergantung kondisi
tanahnya. Suatu kawasan hutan bila diubah menjadi permukiman maka yang terjadi adalah
bahwa hutan yang biasa menahan run-off cukup besar diganti menjadi permukiman dengan
resistensi run-off yang kecil. Akibatnya ada peningkatan aliran permukaan tanah yang
menuju sungai dan hal ini berakibat adanya peningkatan debit sungai yang besar. Apabila
kondisi tanahnya relatif tetap, air yang meresap ke dalam tanah akan relatif tetap. Ketika
suatu kawasan hutan berubah menjadi kawasan permukiman, maka penutup lahan kawasan
ini akan berubah menjadi penutup lahan yang tidak mempunyai resistensi untuk menahan
aliran. Yang terjadi ketika hujan turun, kecepatan air akan meningkat sangat tajam. Namun
15

resapan air yang masuk ke dalam tanah relatif tetap. Kuantitas totalnya berubah karena
tergantung dari luasan penutup lahan (Sasongko,2009:5-6).
2.1.3. Pengelolaan kawasan DAS secara terpadu
Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau
program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah
aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya
kerusakan sumberdaya tanah dan air. Termasuk dalam pengelolaan DAS adalah
identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaiatan antara daerah
hulu dan hilir suatu DAS (Asdak, 2002).

Dana APBN Dana Pengelolaan APBN


Reboisasi Kehutanan Sumber Daya Sumber Daya Pertanian
Air Air

Reboisasi Konservasi Sarana


Pengairan/
Irigasi

Pengelolaan Produksi
Penebangan Kondisi Hutan (TN, Hutan Sarana Pertanian Pertanian
Hutan Alam, HTI, Lahan Kritis, Sumber  Banjir
Konservasi Sumber Daya Air) Daya Air  Kekeringan

Peningkatan
Pendapatan
Industri Produksi Tata Ruang Tingkat Fluktuasi
Perkayuan/ Kayu Permukiman Air Permukaan
Masyarakat

Gambar 2.4 Model Keterkaitan Berbagai Aktivitas dalam DAS


(Irwanto, 2006)

Menurut Irwanto (2006:4-6), pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang
utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan
sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya
degradasi DAS yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya
menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara
terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan
mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.
Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu
manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga
terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan
pemungutan manfaat.
16

2.2. Tinjauan Mengenai Limpasan Permukaan


Limpasan permukaan adalah limpasan air yang selalu mengalir diatas permukaan
tanah. Limpasan permukaan terjadi jika kapasitas infiltrasi, intersepsi, dan detensi telah
terpenuhi (Soemarto,1987:103). Menurut Suripin (2004:74), dalam perencanaan Drainase,
bagian air hujan yang menjadi perhatian adalah limpasan permukaan (surface runoff).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan tersebut diantaranya adalah: intensitas
hujan, luas dan bentuk DAS, topografi, jenis tanah, dan tata guna lahan.
1. Intensitas hujan
Pengaruh intensitas hujan terhadap limpasan permukaan sangat tergantung pada
laju infiltrasi. Jika intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, maka akan terjadi
limpasan permukaan sejalan dengan peningkatan intensitas curah hujan. Namun
demikian, peningkatan limpasan permukaan tidak selalu sebanding dengan
peningkatan intensitas hujan karena adanya penggenangan di permukaan tanah.
Intensitas hujan berpengaruh pada debit maupun volume limpasan (Suripin,
2004:74).
2. Bentuk DAS

Gambar 2.5 Pengaruh Bentuk DAS pada Aliran Permukaan


Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran dalam sungai. Pengaruh
bentuk DAS terhadap aliran permukaan dapat ditunjukkan dengan memperhatikan
hidrograf-hidrograf yang terjadi pada dua buah DAS yang bentuknya berbeda
17

namun mempunyai luas yang sama dan menerima hujan dengan intensitas yang
sama (Gambar 2.5). Bentuk DAS memanjang dan sempit cenderung menghasilkan
laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang berbentuk
melebar atau melingkar (Suripin, 2004:75-76).
3. Topografi
Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan
kerapatan parit dan/atau saluran, dan bentuk-bentuk cekungan lainnya mempunyai
pengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan kemiringan curam
disertai parit/saluran yang rapat akan menghasilkan laju dan volume aliran
permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan parit
yang jarang dan adanya cekungan-cekungan (Suripin, 2004:76-77).
4. Jenis tanah
Mengingat bentuk butir-butir tanah, coraknya dan cara mengendapnya adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi, maka karakteristik limpasan
sangat dipengaruhi oleh jenis tanah di DAS tersebut (Sosrodarsono, 1985:135).
Faktor struktur tanah yang turut menentukan laju infiltrasi adalah jumlah, ukuran
(Tabel 2.1), dan kemantapan pori. Adapun kapasitas infiltrasi dan penilaian laju
infiltrasi dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3 berikut:
Tabel 2.1 Ukuran Pori Tanah
No Jenis Diameter (µ)
1 Pori besar >10
2 Pori sedang 0,2 – 0,02
3 Pori halus ≤ 0,02
(Suripin, 2002:50)

Tabel 2.2 Penilaian Laju Infiltrasi


No Tekstur tanah Laju Infiltrasi
1 Pasir berlempung Sangat cepat
2 Lempung Cepat
3 Lempung berdebu Sedang
4 Lempung berliat Lambat
5 Liat Sangat lambat
(Sitanala Arsyad dalam Brata, 2008:44)

Tabel 2.3 Kapasitas Infiltrasi Beberapa Tipe Tanah dari Pengukuran Lapangan
No Tekstur tanah Kapasitas Infiltrasi (mm/jam)
1 Pasir berlempung 25 - 50
2 Lempung 12,5 - 25
3 Lempung berdebu 7,5 – 15
4 Lempung berliat 2,5 – 0,5
5 Liat < 0,5
(Arsyad, 2006:39)
18

5. Tata Guna Lahan


Penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap limpasan. Daerah hutan yang
ditutupi dengan tumbuh-tumbuhan yang lebat sulit mengadakan limpasan karena
kapasitas infiltrasinya besar. Jika luas hutan tersebut berkurang, misalnya karena
penebangan, maka kapasitas infiltasi akan turun karena adanya pemampatan
permukaan tanah. Hal tersebut akan mengakibatkan air hujan akan mudah
berkumpul ke sungai-sungai dengan kecepatan tinggi dan akhirnya akan dapat
mengakibatkan banjir (Sosrodarsono, 1985:135).

2.3. Tinjauan Mengenai Banjir /Genangan


Banjir/genangan memiliki kaitan erat dengan kodisi dan fungsi hidrologis dari
daerah aliran sungai (DAS). Terjadinya banjir/genangan merupakan indikasi adanya
degradasi fungsi hidrologis DAS. Apabila tidak segera diatasi, hal ini dapat mengakibatkan
kerusakan ekologi/lingkungan sehingga akan sangat merugikan. Oleh karena itu,
banjir/genangan dapat dikatakan sebagai bencana, baik disebabkan oleh faktor alam
maupun oleh faktor manusia.
Banjir adalah aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal sehingga
melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah disisi
sungai. Aliran air limpasan tersebut yang semakin meninggi, mengalir dan melimpasi
muka tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air (Sub direktorat kawasan rawan bencana
Bappenas). Bencana banjir dapat dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena
alam, yang dipicu oleh beberapa faktor penyebab (Pedoman Pengendalian Pemanfaatan
Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir, 2009:1-1):
1. Fenomena alam, seperti curah hujan, iklim, geomorfologi wilayah;
2. Aktivitas manusia yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam, yang
mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan menjadi rusak.
Permasalahan banjir yang terjadi selama ini, sangat terkait dengan adanya
fenomena alam dan perilaku manusia dalam penyelenggaraan/pengelolaan alam. Konsep
dasar yang harus dipahami dalam penyelenggaraan/pengelolaan banjir adalah (Pedoman
Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir, 2009:3-3 – 3-4):
1. Perlu adanya pemahaman dasar terkait dengan pengertian dan ruang lingkup
keseimbangan ekosistem, yang mempunyai limitasi pemanfaatan;
2. Diperlukan pola pengelolaan ruang kawasan rawan bencana banjir, sebagai langkah
nyata dalam mendukung upaya pengendalian;
19

3. Terjadinya penyimpangan terhadap konsistensi, terkait dengan kesesuaian dan


keselarasan, antara rencana tata ruang dengan pemanfaatannya, baik pada kawasan
hulu maupun hilir.
Permasalahan banjir hanya dapat direduksi, sehingga dampak yang ditimbulkan
dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, secara prinsip masalah banjir tidak
dapat dihilangkan atau ditiadakan sama sekali, sehingga menjadi tanggung jawab kita
bersama untuk melakukan pemantauan dan penanganan melalui penyediaan sarana dan
prasarana, sehingga dampak negatif dapat direduksi semaksimal mungkin.
Kriteria yang dipakai sebagai patokan agar suatu kawasan memenuhi syarat
terhadap keparahan genangan/banjir ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.4
Kriteria Penilaian Tingkat Genangan
Kondisi Kota Sedang Kota Besar Metropolitan
Satuan
Genangan PKW PKL Lain2 PKW PKL Lain2 PKW
Daerah genangan
% <5 <5 <5 <3 <4 <4 <2
(% dari urban area)
Tinggi genangan m <0,45 <0,50 <0,50 <0,40 < 0,45 <0,45 < 0,30
Frekuensi
kali/tahun <4 <5 <5 <3 <4 <4 <2
genangan
< (3-
Lama genangan jam <3 < (3-4) <3 <3 <3 <1
4)
Keterangan : PKW/PKL = Pusat Kegiatan Wilayah/Lingkungan

Tabel 2.5
Kondisi Lahan dengan Intensitas Curah Hujan
Intensitas curah hujan
Derajat curah hujan Kondisi
(mm/jam)
Hujan sangat lemah < 1,20 Tanah agak basah atau dibasahi sedikit.
Tanah menjadi basah semuanya, tetapi sulit
Hujan lemah 1,20 – 3,00
membuat puddel.
Dapat dibuat puddel dan bunyi hujan
Hujan normal 3,00 – 18,0
kedengaran.
Air tergenang di seluruh permukaan tanah
Hujan deras 18,0 – 60,0 dan bunyi keras hujan terdengar berasal dari
genangan.
Hujan seperti ditumpahkan, sehingga saluran
Hujan sangat deras > 60,0
dan drainase meluap.
(Suripin , 2004:2)

2.4. Drainase Sebagai Saluran Pembuangan Air Genangan


Menurut Suripin (2004:7-8), drainase adalah salah satu unsur dari prasarana umum
yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka menuju kehidupan kota yang aman,
nyaman, bersih dan sehat. Drainase juga dapat diartikan sebagai prasarana yang berfungsi
untuk mengalirkan air permukaan ke badan air yaitu sumber air permukaan tanah yang
berupa sungai, danau, laut dan di bawah permukaan tanah berupa air tanah di dalam tanah
20

atau bangunan. Drainase merupakan salah satu bagian dari fasilitas umum yang dibutuhkan
masyarakat dan merupakan komponen dalam perencanaan kota.
Menurut Suhardjono (1984:1) drainase merupakan suatu cara pembuangan
kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara penanggulangan
akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut.
Menurut Suripin (2004:7) drainase mempunyai arti mengalirkan, menguras,
membuang, atau mengalihkan air. Secara umum, drainase didefinisikan sebagai
serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan
air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Drainase juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya
dengan salinitas.
2.4.1. Bentuk saluran drainase
Menurut Kodoatie (2003:214), Bentuk saluran alami biasanya tidak teratur, tetapi
bentuk saluran buatan diatur menurut fungsi dan lokasinya. Bentuk saluran buatan
diantaranya sebagai berikut (Tabel 2.3):
1. Lingkaran
Berfungsi untuk menyalurkan limpasan air hujan maupun limbah air bekas (air
limbah) rumah tangga atau keduanya. Konstruksi sistem saluran ini cocok dipakai
untuk pertokoan yang sangat padat dan lahan yang tersedia telah terbatas.
2. Trapesium
Trapesium, merupakan bentuk yang paling umum dipakai untuk saluran tanah yang
tidak dilapisi, sebab stabilitas kemiringan dindingnya dapat disesuaikan. Berfungsi
untuk menampung dan menyalurkan limpasan air hujan dengan debit yang besar,
sifat alirannya terus menerus dengan fluktuasi kecil, bentuk saluran ini dapat
digunakan pada daerah yang masih cukup tersedia lahan.
3. Trapesium kombinasi dengan setengah lingkaran
Sama dengan trapesium berganda, tetapi dengan debit minimum kecil.
4. Segiempat
Persegi panjang, untuk saluran yang dibangun dengan bahan stabil, seperti
pasangan batu, padas, logam/kayu. Berfungsi untuk menampung dan menyalurkan
limpasan air hujan dengan debit yang besar, sifat alirannya terus menerus dengan
fluktuasi kecil.
21

5. Segiempat berganda
Sama dengan segiempat, api untuk fluktuasi debit yang besar dan dengan debit
minimum yang cukup besar pula.
6. Setengah lingkaran.
Dipakai sebagai penampang pendekatan untuk saluran alam berukuran sedang
maupun kecil. Berfungsi untuk menyalurkan limbah air hujan untuk debit yang
kecil, bentuk saluran ini umum digunakan untuk saluran-saluran rumah penduduk
dan pada sisi jalan perumahan yang padat.
Tabel 2.6
Gambar Penampang Saluran Buatan
Tipe saluran Potongan melintang Bahan yang dipakai

Bentuk trapesium Tanah asli

Bentuk segitiga Pasangan batu kali atau tanah asli

Bentuk trapesium Pasangan batu kali

Bentuk segiempat Pasangan batu kali

Beton bertulang. Dan pada bagian dasar


Bentuk segiempat
diberi lapisan pasi kira-kira 10 cm
Beton bertulang. Dan pada bagian dasar
Bentuk segiempat
diberi lapisan pasi kira-kira 10 cm. Pada
bagian tas diberi tutup plat beton
bertulang.
Pasangan batu kali, pada bagian dasar
diberi pasir kira-kira 10 cm. Dan pada
Bentuk segiempat bagian atas ditutup dengan plat beton
bertulang

Setengah lingkaran Pasangan batu kali atau beton bertulang

(SNI Tata cara Perencanan Drainase Permukaan Jalan, 1994:9)

2.4.2. Sistem drainase


Sistem drainase perkotaan dijelaskan sebagai berikut (Standar Nasional Indonesia
Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan, 1990:5):
1. Ditinjau dari segi fisik, sistem drainase perkotaan terdiri atas saluran primer,
sekunder, tersier, kuarter, dan seterusnya.
22

2. Dinjau dari segi fungsai pelayanan, sistem drainase perkotaan terdiri atas sistem
drainase utama dan lokal.
3. Darinase perkotaan agar direncanakan sebagai sistem drainase terpisah, pada
keadaan tertentu dan mendesak, sistem drainase gabungan boleh direncanakan
dengan melalui koordinasi instansi yang berwenang.
4. Saluran drainase perkotaan dapat direncanakan sebagai saluran terbuka atau saluran
tertutup dengan mempertimbangkan terhadap faktor-faktor tersedianya tanah dan
keadaan alam setempat, pembiayaan, operasi, dan pemeliharaan.
Menurut Suripin (2004:8), sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian
bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari
suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Adapun
bangunan sistem drainase terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran
pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main
drain), dan badan air penerima (receiving waters). Sistem tersebut diilustrasikan pada
Gambar 2.6 dan 2.7 berikut:

Gambar 2.6 Sistem Infrastruktur Air Perkotaan (Grigg dalam Suripin, 2004:5)
23

Gambar 2.7 Konfigurasi Sistem Drainase Perkotaan (Grigg dalam Kodoatie, 2003:136)

2.4.3. Perhitungan kebutuhan drainase


Perhitungan kebutuhan drainase melalui beberapa tahapan perhitungan, diantaranya
adalah perhitungan debit air limpasan, debit air buangan rumah tangga, debit maksimum
saluran drainase, serta debit total limpasan.
1. Debit Air Limpasan (Qlimpasan)
Debit Air Limpasan (Qlimpasan) secara umum dapat didefinisikan sebagai volume air
hujan per satuan waktu yang tidak mengalami infiltrasi (penyerapan ke dalam
tanah) sehingga harus dialirkan melalui saluran drainase disekitarnya. Perhitungan
ini menggunakan metode rasional. Untuk mengetahui besarnya Qlimpasan ada tiga
komponen utama yang harus diketahui yaitu:
a. Catchment Area (CA)
Daerah Pengaliran (Catchment Area) adalah daerah tempat hujan mengalir
menuju ke saluran. Biasanya ditentukan berdasarkan perkiraan dengan pedoman
garis kontur. Pembagian catchment area didasarkan pada kesamaan arah aliran
yang menuju ke saluran sekunder/saluran pengumpul (Sosrodarsono, 2003:32).
b. Intensitas Hujan (I)
Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan per satuan waktu
(Suripin, 2004:66).
24

c. Koefisien Run-Off (C)


Menurut Suripin (2004:80-81), koefisien pengaliran dapat didefinisikan sebagai
nisbah antara puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Faktor ini
merupakan variabel yang paling menentukkan hasil perhitungan debit banjir.
Faktor utama yang mempengaruhi C adalah laju infiltrasi tanah atau prosentase
lahan kedap air, kemiringan lahan, tanaman penutup tanah, dan intensitas hujan.
Besarnya C berdasarkan tata guna lahan dan jenis permukaan tanah dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.7
Penentuan Debit Koefisien Aliran Permukaan
Diskripsi Koefisien aliiran
lahan/karakter (C)
permukaan
Bisnis
- perkotaan 0,70 – 0,95
- pinggiran 0,50 – 0,70
Perumahan
- rumah tinggal 0,30 – 0,50
- multi unit, terpisah 0,40 – 0,60
- multi unit, tergabung 0,60 – 0,75
- perkampungan 0,25 – 0,40
- apartemen 0,50 – 0,70
Industri
- ringan 0,50 – 0,80
- berat 0,60 – 0,90
Perkerasan
- ringan 0,50 – 0,80
- berat 0,60 – 0,90
Perkerasan
- aspal dan beton 0,70 – 0,95
- batu bata, paving 0,50 – 0,70
Atap 0,75 – 0,95
Halaman, tanah berpasir
- datar, 2 % 0,05 – 0,10
- rata – rata 2 – 7% 0,10 – 0,15
- curam, 7% 0,15 – 0,20
Halaman, tanah berat
- datar, 2% 0,13 – 0,17
- rata – rata 2 – 7% 0,18 – 0,22
- curam, 7% 0,25- 0,35
Halaman Kereta api 0,10 – 0,35
Taman tempat bermain 0,20 – 0,35
Taman, perkuburan 0,10 – 0,25
Hutan
- datar, 0 – 5% 0,10 – 0,40
- bergelombang, 5 – 10 % 0,25 – 0,50
- berbukit, 10 – 30 % 0,30 – 0,60
( mcGuen dalam Suripin, 2004:80-81)

2. Debit Air Buangan Rumah Tangga (QRumah Tangga)


Debit air buangan rumah tangga (QRumah Tangga) secara umum dapat didefinisikan
sebagai volume air per satuan waktu yang merupakan buangan limbah rumah
25

tangga dan dialirkan melalui saluran drainase. Debit air buangan rumah tangga
berasal dari air buangan hasil aktivitas penduduk yang berasal dari lingkungan
rumah tangga, atau industri.
3. Debit Air Maksimum Saluran (Qsaluran)
Debit air maksimum saluran dapat didefinisikan sebagai jumlah air maksimum
yang dapat tertampung oleh saluran drainase. Dalam menghitung debit air
maksimum saluran maka perlu diketahui terlebih dahulu besarnya luas penampang
basah saluran (Abasah) dan kecepatan aliran air (V).

2.5. Pembangunan Berkelanjutan sebagai Dasar Strategi Penanggulangan


Genangan
Menurut Panduan Penataan Ruang dan Pengembangan Kawasan (2001:16), definisi
dasar pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh komisi Brundlandt adalah
pembangunan untuk memenuhi keperluan hidup manusia kini dengan tanpa mengabaikan
keperluan hidup manusia masa datang. Pengertian awal ini dikembangkan oleh UNEP
menjadi “memperbaiki kualitas kehidupan manusia dengan tetap memelihara kemampuan
daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan hidup dari ekosistem yang menopangnya”.
Suatu pendapat mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan
kemajuan yang dihasilkan dari interaksi aspek lingkungan hidup, dimensi ekonomi dan
aspek social politik sedemikian rupa masing-masing terhadap pola perubahan yang terjadi
pada kegiatan manusia dapat menjamin kehidupan manusia yang hidup pada masa kini dan
masa mendatang, dan disertai akses pembangunan social ekonomi tanpa melampaui batas
ambang lingkungan (WCED, 1987). Perlu digarisbawahi bahwa pengertian keberlanjutan
tidak dapat didefinisikan secara mutlak maupun mengikuti pendekatan atau ukuran
pemahaman tertentu, demikian pula dengan keberlanjutan kebijakannya.
Pembangunan berkelanjutan mengaitkan tiga aspek utama: ekonomi, sosial, dan
lingkungan seperti yang terlihat pada Gambar 2.8 Pembangunan berkelanjutan memiliki
tiga matra berikut ini:
1. Keberlanjutan pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan fakta bahwa lingkungan
hidup dan berbagai elemen di dalamnya memiliki keterkaitan dan juga memiliki
nilai ekonomi (dapat dinyatakan dengan nilai uang). Pembangunan ekonomi
berkelanjutan dapat mengelola lingkungan hidup dan sumberdaya alam secara
efektif dan efisien dengan yang berkeadilan perimbangan modal masyarakat,
pemerintah dan dunia usaha.
26

2. Keberlanjutan sosial budaya; pembangunan berkelanjutan berimplikasi terhadap


pembentukan nilai-nilai sosial budaya baru dan perubahan bagi nilai-nilai sosial
budaya yang telah ada, serta peranan pembangunan yang berkelanjutan terhadap
iklim politik serta stabilitasnya. Dalam hal ini juga perlu keikutsertaan masyarakat
dalam pembanguna ekonomi yang berwawasan lingkungan serta mengurangi
kesenjangan antar tingkat kesejahteraan masyarakat.
3. Keberlanjutan kehidupan lingkungan (ekologi) manusia dan segala eksistensinya.
Sebagai penopang pembangunan ekonomi, lingkungan perlu dipertahankan
kualitasnya, karena itu harus dijaga keselarasan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan. Sebagai satu upaya mempertahankan keberlanjutan, setiap
kegiatan diminimasikan dampak lingkungannya, diupayakan menggunakan
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, mengurangi limbah dan meningkatkan
penggunaan teknologi bersih (Panduan Penataan Ruang dan Pengembangan
Kawasan, 2001:16).

Gambar 2.8 Segitiga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan


(Soeriaatmadja dalam Panduan Penataan Ruang
dan Pengembangan Kawasan, 2001:19 )
2.5.1. Penataan ruang perkotaan dengan konsep ecological city
Dalam menerapkan perencanaan tata ruang yang baik, nilai-nilai keberlanjutan
menjadi jembatan penghubung antara konsep pembangunan dan konsep wawasan
27

lingkungan. Dalam menjalankan perencanaan tata ruang berkelanjutan di dalamnya


terkandung kaidah lingkungan hidup. Kaidah atau nilai-nilai lingkungan hidup tersebut
merupakan jembatan yang menghubungkan kegiatan penataan ruang dengan sifat
keberlanjutan. Secara garis besar, kaidah lingkungan hidup berbicara tentang kapasitas dan
daya dukung lingkungan terhadap kegiatan yang berlangsung di atasnya. Kaidah
lingkungan hidup juga mengemukakan apa saja tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh
manusia dalam upaya melakukan konservasi dan rehabilitasi atau perlindungan dan
pengawetan terhadap alam (Panduan Penataan Ruang dan Pengembangan Kawasan,
2001:30).
 Mengupayakan konservasi (untuk air
maupun untuk lingkungan)
 Meningkatkan kondisi ekonomi kawasan
 Menyediakan fasilitas perumahan dan
komersial yang menarik
 Menyediakan tempat bekerja dan berdagang

Tata
 Mengurangi limpasan air Ruang
permukaan
 Mengendalikan arus  Mempertahankan
sungai kawasan yang
 Mengurangi dampak Tata penting untuk
banjir Tata Lingkungan konservasi
 Menambah resapan Air Hidup  Mengurangi dampak
 Menambah tampungan negative dari
untuk penggunaan air pembangunan
sewaktu musim kering (AMDAL)
 Menyediakan sumber air  Mengelola sampah
bersih dan limbah dengan
 Mengelola air limbah baik

Gambar 2.9 Konsep Integrasi Tata Ruang, Tata Air dan Lingkungan Hidup
(Tanuwidjaja, 2010:32)
Menurut Tanuwidjaja (2010: 32), perlu diperhatikan bahwa pengendalian tata
ruang, tata air dan lingkungan harus dilakukan secara sinergis dalam tataran makro sampai
mikro (dari lingkup daerah aliran sungai sampai drainase mikro lingkungan). Integrasi
sistem tata ruang–tata air–tata lingkungan dari level makro sampai mikro adalah mutlak
dilakukan untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan (Gambar 2.9). Sejalan dengan
proses pembangunan yang berkelanjutan, diperlukan upaya pengaturan dan pengarahan
terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, dengan prioritas utama untuk menciptakan
kembali keseimbangan ekologis lingkungan (Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang
di Kawasan Rawan Bencana Banjir, 2009:1-1).
28

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dalam Kota Ekologis


(2008:4), kota ekologis adalah satu pendekatan pembangunan kota yang didasarkan atas
prinsip-prinsip ekologis. Kota tersebut mempunyai kesamaan dengan konsepsi kota yang
berkelanjutan, yang mempunyai pandangan jauh ke depan, bahwa pembangunan kota harus
mempertimbangkan keberlanjutan atau masa depan kota. Kota yang berkelanjutan adalah
kota yang bertumpu pada komunitas yang adil, sehat dan produktif, didukung oleh
lingkungan yang kondusif. Kota Ekologis adalah kota yang efisien dalam penggunaan
sumber daya kota. Hal ini dapat dilakukan dengan menekan penggunaan sumberdaya,
meminimalkan jumlah limbah dan mengurangi air, udara, tumbuhan, fauna, pantai ataupun
danau) dengan komponen buatan (jalan, bangunan, jembatan, dan jaringan sarana-
prasarana kota), bangunan, jembatan, dan jaringan sarana-prasarana kota). Pada tataran
praktisnya, konsep kota ekologis diterjemahkan dalam prinsip-prinsip kota ekologis, yaitu:
 mengintegrasikan komponen alam dan buatan
 efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya kota
 minimalisasi dan pendaur ulangan limbah
 mengurangi ketergantungan terhadap daerah hinterlandnya

Gambar 2.10 Komponen Kota Ekologis


(Kementrian Lingkungan Hidup RI dalam Kota Ekologis, 2008:5)
Dalam penjabarannya, kota ekologis dapat dirinci menjadi komponen-komponen
yang membentuk lingkungan fisik kota (Gambar 2.10). Komponen-komponen kota
ekologis tersebut di atas saling terkait dan secara sinergis membentuk lingkungan fisik
kota. Lingkungan fisik kota ini yang memungkinkan manusia kota tinggal, Sebaliknya,
apabila kualitas lingkungan fisik kota ini buruk, maka akan buruk pula kualitas kehidupan
29

manusia yang tinggal di kota tersebut (Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
dalam Kota Ekologis, 2008:6).
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(2008:21), makna ekologis dalam hal ini, diusulkan, diwakili oleh tiga prinsip lingkungan
hidup yang merupakan kaidah-kaidah ekologi, dalam hal ini adalah prinsip yang ke-II,
yaitu: keberlanjutan (sustainability). Kaidah ini kemudian dijabarkan dalam kriteria dan
beberapa indikator, terutama indikator-indikator input dan proses (implementasi).
Pertimbangan kaidah-kaidah keberlanjutan (sustainability), menunjukkan sejauh mana
faktor-faktor penunjang keberlanjutan, antara lain: daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup serta factor kemampuan sumberdaya alam pulih kembali (atau alih
fungsi menjadi sumberdaya produktif lainnya) menjadi pertimbangan perencanaan tata
ruang. Selain faktor daya dukung, prinsip keberlanjutan juga menekankan pentingnya
prinsip kehati-hatian dalam alokasi dan pemanfaatan ruang melalui pertimbangan implikasi
dampaknya terhadap ekosistem.
2.5.2. Konsep ecocity untuk pengendalian limpasan permukaan
Menurut Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
Banjir (2009:3-4), pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir dengan upaya
penanganan masalah harus merupakan satu kesatuan penataan ruang yang terpadu dan
seimbang, sehingga kawasan tersebut dapat dibudidayakan seoptimal mungkin, antara
aspek pendayagunaan, perlindungan (konservasi) sumberdaya alam yang ada.
Keseimbangan ekosistem sangat terkait dengan limitasi atau batasan terhadap pemanfaatan,
dalam rangka menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya secara besar-besaran.
Prosedur penetapan jenis-jenis kegiatan pemanfaatan ruang kawasan yang dipilih
dalam penanganan banjir harus melalui pemahaman kondisi setempat dan wilayah terkait,
proses kajian penyebab/tipologi dan akhirnya arahan pemanfaatan ruang, yang mencakup
upaya preventif dan mitigasi dengan pertimbangan keseimbangan ekosistem dan
lingkungan, sehingga terhindar dari bencana atau paling tidak mengurangi dampaknya,
yang sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat.
Menurut Djumantri (2009), penanggulangan banjir dengan cara-cara konvensional
(sebatas-mengusir-air) perlu diubah dengan pola pengelolaan banjir terpadu (integrated
floods management) dengan menentukan komponen-komponen lingkungan apa saja yang
ada, yang dapat merupakan faktor tidak terakumulasinya air di satu tempat secara
berlebihan dan penghambat aliran permukaan (run off), tetapi memperlancar siklus alami
air (natural water recycling). Ini meliputi penggunaan vegetasi yang berfungsi sebagai
30

perangkap atau penahan air, pengontrolan secara alami seperti penanaman tanaman yang
menyerap banyak air, pembuatan terasering dan saluran/parit sesuai kontur, tanaman
penutup tanah (ground cover), serta langkah prefentif seperti normalisasi fungsi saluran,
kanal, parit, dsb; pengelolaan sampah (reduce, re-use, and recycle), membuat sumur
resapan, pintu pembagi, bak kontrol, perbaikan tata letak, zonasi, dan sebagainya. Jelaslah,
bahwa pola ini menekankan pada sifat yang menyeluruh dalam pendekatannya dan
berdasarkan sepenuhnya pada prinsip prinsip ekologi.
Contoh penerapan konsep ecological city dalam sistem manajemen air dalam hal ini
dapat dilihat pada studi kasus yang ada pada Kota Huluado, Propinsi Liaoning, Cina
(Gambar 2.11). Konsep ecological city dalam sistem manajemen air tersebut sudah tidak
menggunakan sistem konvensional yang menggunakan prinsip secepat mungkin
membuang air hujan dan air buangan rumah tangga hingga sampai ke badan air, melainkan
menggunakan prinsip meningkatkan daya guna air serta memperbaiki dan konservasi
lingkungan.

Gambar 2.11 Sistem Manajemen Air dengan Konsep Ecological City


(http://www.holcimfoundation.org)
Pada Gambar 2.11 dapat dilihat bagan siklus pemanfaatan air hujan yang
diterapkan pada Kota Huluado, Propinsi Liaoning, Cina. Bagan tersebut menunjukkan
31

bahwa air hujan yang turun dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal sebelum pada akhirnya
dibuang ke badan air, diantaranya adalah:
 Air hujan yang turun di lahan pertanian dan RTH dimanfaatkan untuk irigasi lahan
pertanian serta diresapkan pada lahan ruang terbuka hijau yang berupa taman atau
lapangan. Hal ini tentu dapat memberikan manfaat untuk pemenuhan kebutuhan
makhluk hidup seperti manusia dan hewan ternak, yang dapat juga berbalik
memberikan manfaat untuk kesuburan lahan tersebut. Adapun sisa pembuangan
dari pemanfaatan ini kemudian dibuang melalui sungai dan menuju ke laut.
 Air hujan yang turun di atas permukaan jalan juga masih dapat dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan hewan tertentu, yang dapat juga berbalik memberikan
manfaat untuk kesuburan lahan hijau tersebut. Adapun sisa pembuangan dari
pemanfaatan ini kemudian dibuang melalui sungai dan menuju ke laut.
 Air hujan yang turun di kawasan permukiman dapat dimanfaatkan untuk
pelestarian roof garden, untuk mandi, mencuci, dan sisanya dapat untuk memenuhi
kebutuhan air untuk hewan/makhluk hidup tertentu. Air buangan tersebut kemudian
dialirkan ke sungai dan bermuara ke laut.
 Air hujan yang yang turun langsung pada kolam penampungan air dapat diolah dan
dijernihkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, seperti untuk kebutuhan
memasak dan untuk konsumsi air bersih sehari-hari. Sisanya dapat untuk memenuhi
kebutuhan air untuk hewan/makhluk hidup tertentu. Air buangan tersebut kemudian
dialirkan ke sungai dan bermuara ke laut.
 Air hujan dan air limpasan yang langsung tertampung di sungai selanjutnya
dialirkan ke laut. Air tersebut dapat juga dimanfaatkan untuk budidaya perikanan,
untuk budidaya hasil laut yang dapat diolah menjadi bahan makanan untuk manusia
dan hewan, untuk pelestarian greenhouse yang memanfaatkan air laut, serta dapat
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air daerah pantai.
Konsep ecological city juga tertuang dalam konsep low impact development. Low
Impact Development (LID) merupakan sebuah konsep untuk mengurangi limpasan run-off
atau limpasan permukaan serta dampak banjir. Hal ini diterapkan dengan menyimpan
sebanyak mungkin air hujan serta menggunakannya untuk keperluan sehari–hari secara
tepat guna. LID juga menyarankan berbagai konsep untuk menjaga keseimbangan siklus
air di alam dengan menambah fungsi resapan, fungsi retensi atau penyimpanan air dan
32

fungsi pemurnian air limbah (http://www.lowimpactdevelopment.org). Konsep ini dapat


dilihat pada Gambar 2.12 berikut:

Gambar 2.12 Konsep untuk mengurangi limpasan permukaan serta dampak banjir
(http://www.lowimpactdevelopment.org)
Menurut Suripin (2004:228), air sebagai sumber kehidupan, juga berpotensi besar
terhadap timbulnya bencana yang sangat merugikan. Bertolak dan permasalahan tersebut,
maka konsep dasar pengembangan drainase berkelanjutan adalah meningkatkan daya guna
air, meminirnalkan kerugian, serta memperbaiki dan konservasi Iingkungan (Gambar
2.13). Diperlukan usaha-usaha komprehensif dan integratif yang meliputi seluruh proses,
baik yang bersifat struktural maupun non struktural, untuk mencapai tujuan tersebut.
Prioritas utama kegiatan harus ditujukan untuk mengelola limpasan permukaan dengan
cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan (rainfall retention fricilities), yaitu
(1) tipe penyimpan (storage types) dan (2) tipe peresapan (infiltration types), yang dapat
dilihat pada Gambar 2.14.
33

PROSES BANJIR TUJUAN STRUKTURAL NON STRUKTURAL

Langkah institusional Tindakan Darurat

Memperlambat Fasilitas  Konservasi lahan


LIMPASAN limpasan masuk penahan air  Regulasi tata guna
ke sungai hujan lahan / subsidi

Mencegah banjir Meningkatkan Regulasi banjir:


kapasitas saluran:  Waduk  Perlawanan
ALIRAN banjir
Mengurangi air Perbaikan sungai  Kolam
BANJIR penahan banjir
banjir

Mengurangi  Tahan banjir  Evakuasi


LIMPASAN kerusakan
banjir  Regulasi tata guna  Penyelamatan
lahan / subsidi korban banjir

Kerusakan  Asuransi  Pemetaan


KERUSAKA banjir banjir bencana
N
BANJIR

Gambar 2.13 Klasifikasi usaha struktural dan non struktural


dalam manajemen dataran banjir (Suripin, 2004:228)

Gambar 2.14 Klasifikasi fasilitas penahan air hujan (Suripin, 2004:229)

2.5.2.1. Upaya pengendalian struktural


Pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis,
terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulangan banjir (Pedoman
Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir, 2009: 3-1).
34

Rekayasa teknis tersebut meliputi teknologi penyimpanan air hujan, teknologi peresapan
air hujan, dan perencanaan prasarana drainase.
1. Penyimpanan air hujan
Ada dua dua macam fasilitas penyimpanan air hujan, yaitu penyimpanan luar lokasi
dan dalam lokasi.
a. Fasilitas penyimpanan air hujan di luar lokasi (off site storage)
Menurut Suripin (2004:229), fasilitas ini berfungsi mengumpulkan dan menyimpan
limpasan air hujan di ujung hulu saluran atau tempat lain dengan membangun
retarding basin atau kolam pengatur banjir (flood regulation pond). Mengingat
bangunan inimampu menampung limpasan air yang cukup besar, efektifitas
pengendalian banjir juga sangat tinggi, dan dari segi teknik perencanaan tingkat
kehandalan dan keamanannya dapat dipercaya.
b. Fasilitas penyimpanan di tempat (on site storage)
Menurut Suripin (2004:229), fasilitas ini dikembangkan untuk menyimpan air
hujan yang jatuh di kawasan itu sendiri (hujan lokal) yang tidak dapat dibuang
langsung ke saluran karena saluran tidak mampu atau karena adanya pengaruh air
balik (back water).

Gambar 2.15 Pemanenan Air Hujan dengan Berbagai Jenis Tangki


(Kelompok Raindrops, 2009:129)
Disamping itu, penyimpanan di tempat juga dapat dilakukan dengan teknologi
pemanenan air hujan (rain harvesting). Pemanenan air hujan ini dibuat berdasarkan
pada masalah terbatasnya ketersediaan lahan yang dapat berfungsi sebagai sumur
resapan. Air hujan yang berkualitas baik dapat dikumpulkan dari air hujan yang
berasal dari atas atap rumah. Tentu saja atap rumah yang bersih dan terbuat dari
35

bahan yang tahan erosi, misalnya genteng yang dilapisi aluminium atau semen, atau
sirap. Demikian juga, bak penampung juga harus bersih. Untuk pemanenan air
hujan yang lebih besar dapat dilakukan dengan menampung aliran permukaan dari
suatu kawasan dalam suatu bak penampung. Besarnya air hujan yang dapat dipanen
tergantung pada topografi dan kemampuan tanah atas pada lahan untuk menahan
air.
Pemanenan air hujan adalah mengumpulkan tetesan air hujan. Dalam hal ini
digunakan atap untuk mengumpulkan air hujan. Air hujan kemudian mengalir
sepanjang talang (gutter), dan masuk ke dalam suatu tangki pengumpul.

Gambar 2.16 Pemanfaatan Air Pemanenan Air Hujan


(Kelompok Raindrops, 2009:110)
Secara garis besar, ada tiga komponen dalam alat pemanenan air hujan ini.
Collector berupa atap bangunan, conveyor sebagai saluran air, dan storage berupa
tangki penyimpanan air. Awalnya, air hujan akan menerpa atap bangunan dan
terkumpul melalui talang (gutter) di sekeliling bangunan. Agar terhindar dari
pencemaran, dinding atap itu tidak boleh menggunakan bahan asbes serta jangan
mengalami pengecatan yang mengandung unsur yang mungkin mencemari air,
seperti chrome, besi atau metal. Atap sebaliknya juga tidak terganggu oleh
pepohonan, sehingga tidak ada dedaunan atau kotoran hewan yang ikut mengalir
melalui conveyor. Sebagai proses pembersihan awal, perlu dipasang alat penyaring
ditengah conveyor sebelum air hujan mengalir ke tangki penyimpanan.
36

Air yang dikumpulkan dapat digunakan untuk irigasi skala kecil (seperti
berkebun,dan lain sebagainya). Jika air hujan dari proses rain harvesting akan
digunakan sebagai air untuk keperluan MCK maka harus diperhatikan kebersihan
dan standar kualitas yang harus terpenuhi. Bila kualitas air hujan masih berada di
bawah standar untuk MCK maka pemanfaatannya harus dialihkan untuk kegiatan
lainnya misalnya untuk menyiram tanaman dan mencuci mobil
(http://www.oas.org).
2. Peresapan air hujan
Menurut Suripin (2004:230), fasilitas resapan (infiltration facilities) dikembangkan
di daerah-daerah yang mempunyai tingkat permeabilitas tinggi dan secara teknis
pengisian air tanah ini tidak mengganggu stabilitas geologi.
a. Sumur resapan
Pengertian Sumur resapan berdasarkan Standart Nasional Indonesia (SNI) 03-2453-
1991 mengenai tata cara perencanaan teknik sumur resapan air hujan untuk lahan
pekarangan adalah prasarana untuk menampung dan meresapkan air hujan ke dalam
tanah sedangkan lahan pekarangan adalah lahan atau halaman yang dapat di
fungsikan untuk menempatkan sumur resapan. Berdasar konsep tersebut maka
ukuran atau dimensi sumur yang diperlukan untuk suatu lahan atau kapling sangat
bergantung dari beberapa faktor, seperti: luas permukan penutup lahan,
karakteristik hujan, koefisien permeabilitas tanah, dan tinggi muka air tanah.
Sedangkan berdasarkan (SNI) 03-2453-1991 mengenai tata cara perencanaan teknik
sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan persyaratan umum yang harus
dipenuhi antara lain sebagai berikut:
 sumur resapan harus ditempatkan pada lahan yang relatif datar
 air yang masuk ke dalam sumur resapan adalah air hujan tidak tercemar
 penetapan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanaan
bangunan sekitarnya, harus memperhatikan peraturan daerah setempat
 hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui instansi yang
berwenang
 lebar diameter sumur minimal 100 cm, kedalaman air tanah minimum 1,50 m
pada musim hujan
 struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai nilai permeabilitas tanah
≥2 cm/jam
37

b. Lubang resapan biopori


Menurut Brata dan Nelistya (2008), biopori ini merupakan lubang-lubang di dalam
tanah yang terbentuk akibat berbagai akitifitas organisma di dalamnya, seperti
cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah laiinya. Lubang-lubang yang
terbentuk akan terisi udara, dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah.
Lubang resapan biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan.
Ketersediaan lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang
resapan air, setidaknya sebesar luas kolom/dinding lubang. Dengan adanya aktivitas
fauna tanah pada lubang resapan maka biopori akan terbentuk dan senantiasa
terpelihara keberadaannya. Oleh karena itu bidang resapan ini akan selalu terjaga
kemampuannya dalam meresapkan air. Dengan demikian kombinasi antara luas
bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan
kemampuan dalam meresapkan air.
2.5.2.2. Upaya pengendalian non-struktural
Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat
bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan
daerah pengaliran, pengelolaan kawasan banjir, flood proofing, penataan sistem
permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan, serta kegiatan lain yang
berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi) pemanfaatan lahan dalam rangka
mempertahankan keseimbangan ekosistem (Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di
Kawasan Rawan Bencana Banjir, 2009: 3-1).

2.6. Tinjauan Studi Terdahulu


Adapun studi terdahulu yang digunakan sebagai masukan atau acuan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.8 berikut:
Tabel 2.8 Tinjauan Studi Terdahulu
Perbedaan dengan
No. Judul Studi Tujuan Variabel Metode Analisis
penelitian ini
1 Arahan pemanfaatan dan  Mengidentifikasi dan menganalisis  Kondisi fisik dasar  Pengelolaan dengan DEM Perbedaan terletak pada
rehabilitasi lahan Daerah kondisi eksisting DAS Sengata ditinjau  Tata guna lahan untuk menentukan batas metode yang dipakai.
Aliran Sungai (DAS) dari laju erosi yang terjadi, tingkat  Arahan pemanfaatan DAS Selain itu, identifikasi dan
Sengata berbasis SIG bahaya erosi dan kelas kemampuan lahan  Analisisi pendugaan laju analisis terhadap kondisi
(Desyeline S. K.dalam lahan.  Arahan erosi dengan USLE fisik dasar dan guna lahan
Skripsi S1 UB)  Memperoleh peta arahan pemanfaatan rehabilita777si lahan  Analisis tingkat bahaya dalam penelitian ini
dan rehabilitasi lahan serta arahan  Arahan prioritas erosi dikaitkan dengan masalah
prioritas rehabilitasi lahan dengan rehabilitasi lahan  Analisis EDP limpasan permukaan,
memenafaatkan SIG untuk  Analisis indeks bahaya yaitu genangan, sama
meminimalisir terjadinya erosi pada DAS erosi sekali tidak membahas
 Analisis kemampuan lahan erosi.
 Overlay peta
 Analisis fungsi kawasan
dengan skoring
 Analisis development
2 Penerapam Perencanaan  Melakukan evaluasi multidisipliner  Perencanaan  Adaptive Landscape Perbedaan terletak pada
Ekologis yang terintegrasi lansekap untuk mendeterminasikan ekologis yang Evaluation Tool fokus output penelitian.
dengan Adaptive Landscape wilayah konservasi dan mitigasi dampak terintegrasi ”AliT”(daftar data yang Pada penelitian ini lebih
Evaluation Tool untuk lingkungan ke dalam lokasi.  Evaluasi lansekap adaptif, dan skoring terfokus pada upaya
Negara Berkembang dalam  Mengkonservasikan area kritis yang  Evaluasi lahan terhadap batasan yang pengendalian limpasan
Kerangka Kerja sangat penting bagi kondisi ekologi dan  Perencanaan yang mencakup prinsip-prinsip permukaan dengan
Pembangunan dan fungsi pelayanan terhadap lingkungan. berkelanjutan pengembangan lahan yang pendekatan ecological
Perencanaan Spasial yang  Mengevaluasi sumber daya alam lokal,  Pengembangan lahan berkelanjutan) city.
Berkelanjutan (Studi Kasus seperti sumber air, ketersediaan yang berkelanjutan  Multidisipliner analisis
Pulau Bintan, Indonesia) infrastruktur, dsb. menggunakan Geographic
(Tanuwidjaja, Gunawan. &  Mendeterminasikan daya dukung area Information System (GIS)
Malone-Lee, Lai Choo potensial untuk pengembangan.
dalam Seminar Internasional
Kedudukan Perencanaan
dalam Krisis Global)

38
2.7. Kerangka Teori

Kerentanan dan degradasi kawasan DAS Metro Kota Malang

Terjadinya perubahan fungsi hidrologi DAS Metro Kota Malang


karena aspek struktural dan non struktural

Terjadi Genangan di Kelurahan Bandulan sebagai Masalah Limpasan Permukaan

 Teori tentang morfologi sungai (Maryono, 2005)


 Teori tentang limpasan permukaan (Soemarto, 1999; Sosrodarsono, Suyono
dan Takeda , 2002; Suripin, 2004)
 Teori tentang banjir/genangan (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
(BKTRN), 2001)

1. Mengidentifikasi dan menganalisis pola penyebaran genangan di Kelurahan Bandulan Kota Malang.

 Teori tentang banjir/genangan (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional,


Kebijakan 2001)
Terkait  Teori tentang bentuk saluran, sistem, dan penghitungan daya tampung
saluran drainase (Kodoatie, 2003; Sosrodarsono, Suyono dan Takeda,
2002; Suripin, 2004)
 Teori tentang DAS dan pengelolaan kawasan DAS secara terpadu
(Asdak, 2004; Irwanto, 2006)

2. Mengidentifikasi dan menganalisis penyebab terjadinya genangan di Kelurahan Bandulan Kota Malang.

 Teori tentang pembangunan berkelanjutan (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, 2001)
 Teori tentang ecocity (Sub Direktorat Kawasan Rawan Bencana Bappenas, 2009; Kementrian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia, 2008)
 Teori tentang upaya pengendalian limpasan permukaan (Djumantri, 2009; Suripin, 2004; Kelompok
Raindrops, 2008; http://www.holcimfoundation.org; http://www.lowimpactdevelopment.org)

3. Merekomendasikan upaya pengendalian limpasan permukaan dengan pendekatan ecological city

Pengendalian limpasan permukaan dengan pendekatan Ecological City

Gambar 2.17
Diagram Kerangka Teori

39

Anda mungkin juga menyukai