TINJAUAN TEORI
11
12
evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran
(Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, 2007: 3).
Menurut Sasongko (2009:9), untuk dapat menjamin kelestarian DAS, pelaksanaan
pengelolaan DAS harus mengikuti prinsip-prinsip dasar hidrologi. Dalam sistem hidrologi
DAS, komponen masukan utama terdiri atas curah hujan, sedang komponen keluaran
terdiri atas debit aliran dan muatan sedimen, termasuk unsur hara dan bahan pencemar di
dalamnya. DAS yang terdiri atas komponen-komponen vegetasi, tanah, topografi,
air/sungai, dan manusia.
Dari beberapa pendapat di atas, didapatkan pengertian bahwa DAS merupakan
wilayah yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan ke laut atau danau
melalui satu sungai utama. Adapun batasan wilayah DAS ini dapat diidentifikasikan secara
nyata karena adanya pemisahan topografi, yaitu punggung bukit atau pegunungan. Dengan
demikian, karena DAS merupakan kesatuan tata air yang saling terkait dalam dirinya
sendiri, maka perubahan pada komponennya akan mengganggu kerja seluruh sistem yang
ada. Oleh karena itu, diperlukan perhatian dalam mengenal dan menjaga keberlanjutan
daur hidrologi DAS (Bisri, 2009:12).
2.1.1. Morfologi sungai sebagai pembentuk DAS
resapan air yang masuk ke dalam tanah relatif tetap. Kuantitas totalnya berubah karena
tergantung dari luasan penutup lahan (Sasongko,2009:5-6).
2.1.3. Pengelolaan kawasan DAS secara terpadu
Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau
program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah
aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya
kerusakan sumberdaya tanah dan air. Termasuk dalam pengelolaan DAS adalah
identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaiatan antara daerah
hulu dan hilir suatu DAS (Asdak, 2002).
Pengelolaan Produksi
Penebangan Kondisi Hutan (TN, Hutan Sarana Pertanian Pertanian
Hutan Alam, HTI, Lahan Kritis, Sumber Banjir
Konservasi Sumber Daya Air) Daya Air Kekeringan
Peningkatan
Pendapatan
Industri Produksi Tata Ruang Tingkat Fluktuasi
Perkayuan/ Kayu Permukiman Air Permukaan
Masyarakat
Menurut Irwanto (2006:4-6), pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang
utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan
sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya
degradasi DAS yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya
menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara
terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan
mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.
Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu
manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga
terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan
pemungutan manfaat.
16
namun mempunyai luas yang sama dan menerima hujan dengan intensitas yang
sama (Gambar 2.5). Bentuk DAS memanjang dan sempit cenderung menghasilkan
laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang berbentuk
melebar atau melingkar (Suripin, 2004:75-76).
3. Topografi
Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan
kerapatan parit dan/atau saluran, dan bentuk-bentuk cekungan lainnya mempunyai
pengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan kemiringan curam
disertai parit/saluran yang rapat akan menghasilkan laju dan volume aliran
permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan parit
yang jarang dan adanya cekungan-cekungan (Suripin, 2004:76-77).
4. Jenis tanah
Mengingat bentuk butir-butir tanah, coraknya dan cara mengendapnya adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi, maka karakteristik limpasan
sangat dipengaruhi oleh jenis tanah di DAS tersebut (Sosrodarsono, 1985:135).
Faktor struktur tanah yang turut menentukan laju infiltrasi adalah jumlah, ukuran
(Tabel 2.1), dan kemantapan pori. Adapun kapasitas infiltrasi dan penilaian laju
infiltrasi dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3 berikut:
Tabel 2.1 Ukuran Pori Tanah
No Jenis Diameter (µ)
1 Pori besar >10
2 Pori sedang 0,2 – 0,02
3 Pori halus ≤ 0,02
(Suripin, 2002:50)
Tabel 2.3 Kapasitas Infiltrasi Beberapa Tipe Tanah dari Pengukuran Lapangan
No Tekstur tanah Kapasitas Infiltrasi (mm/jam)
1 Pasir berlempung 25 - 50
2 Lempung 12,5 - 25
3 Lempung berdebu 7,5 – 15
4 Lempung berliat 2,5 – 0,5
5 Liat < 0,5
(Arsyad, 2006:39)
18
Tabel 2.5
Kondisi Lahan dengan Intensitas Curah Hujan
Intensitas curah hujan
Derajat curah hujan Kondisi
(mm/jam)
Hujan sangat lemah < 1,20 Tanah agak basah atau dibasahi sedikit.
Tanah menjadi basah semuanya, tetapi sulit
Hujan lemah 1,20 – 3,00
membuat puddel.
Dapat dibuat puddel dan bunyi hujan
Hujan normal 3,00 – 18,0
kedengaran.
Air tergenang di seluruh permukaan tanah
Hujan deras 18,0 – 60,0 dan bunyi keras hujan terdengar berasal dari
genangan.
Hujan seperti ditumpahkan, sehingga saluran
Hujan sangat deras > 60,0
dan drainase meluap.
(Suripin , 2004:2)
atau bangunan. Drainase merupakan salah satu bagian dari fasilitas umum yang dibutuhkan
masyarakat dan merupakan komponen dalam perencanaan kota.
Menurut Suhardjono (1984:1) drainase merupakan suatu cara pembuangan
kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara penanggulangan
akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut.
Menurut Suripin (2004:7) drainase mempunyai arti mengalirkan, menguras,
membuang, atau mengalihkan air. Secara umum, drainase didefinisikan sebagai
serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan
air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Drainase juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya
dengan salinitas.
2.4.1. Bentuk saluran drainase
Menurut Kodoatie (2003:214), Bentuk saluran alami biasanya tidak teratur, tetapi
bentuk saluran buatan diatur menurut fungsi dan lokasinya. Bentuk saluran buatan
diantaranya sebagai berikut (Tabel 2.3):
1. Lingkaran
Berfungsi untuk menyalurkan limpasan air hujan maupun limbah air bekas (air
limbah) rumah tangga atau keduanya. Konstruksi sistem saluran ini cocok dipakai
untuk pertokoan yang sangat padat dan lahan yang tersedia telah terbatas.
2. Trapesium
Trapesium, merupakan bentuk yang paling umum dipakai untuk saluran tanah yang
tidak dilapisi, sebab stabilitas kemiringan dindingnya dapat disesuaikan. Berfungsi
untuk menampung dan menyalurkan limpasan air hujan dengan debit yang besar,
sifat alirannya terus menerus dengan fluktuasi kecil, bentuk saluran ini dapat
digunakan pada daerah yang masih cukup tersedia lahan.
3. Trapesium kombinasi dengan setengah lingkaran
Sama dengan trapesium berganda, tetapi dengan debit minimum kecil.
4. Segiempat
Persegi panjang, untuk saluran yang dibangun dengan bahan stabil, seperti
pasangan batu, padas, logam/kayu. Berfungsi untuk menampung dan menyalurkan
limpasan air hujan dengan debit yang besar, sifat alirannya terus menerus dengan
fluktuasi kecil.
21
5. Segiempat berganda
Sama dengan segiempat, api untuk fluktuasi debit yang besar dan dengan debit
minimum yang cukup besar pula.
6. Setengah lingkaran.
Dipakai sebagai penampang pendekatan untuk saluran alam berukuran sedang
maupun kecil. Berfungsi untuk menyalurkan limbah air hujan untuk debit yang
kecil, bentuk saluran ini umum digunakan untuk saluran-saluran rumah penduduk
dan pada sisi jalan perumahan yang padat.
Tabel 2.6
Gambar Penampang Saluran Buatan
Tipe saluran Potongan melintang Bahan yang dipakai
2. Dinjau dari segi fungsai pelayanan, sistem drainase perkotaan terdiri atas sistem
drainase utama dan lokal.
3. Darinase perkotaan agar direncanakan sebagai sistem drainase terpisah, pada
keadaan tertentu dan mendesak, sistem drainase gabungan boleh direncanakan
dengan melalui koordinasi instansi yang berwenang.
4. Saluran drainase perkotaan dapat direncanakan sebagai saluran terbuka atau saluran
tertutup dengan mempertimbangkan terhadap faktor-faktor tersedianya tanah dan
keadaan alam setempat, pembiayaan, operasi, dan pemeliharaan.
Menurut Suripin (2004:8), sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian
bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari
suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Adapun
bangunan sistem drainase terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran
pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main
drain), dan badan air penerima (receiving waters). Sistem tersebut diilustrasikan pada
Gambar 2.6 dan 2.7 berikut:
Gambar 2.6 Sistem Infrastruktur Air Perkotaan (Grigg dalam Suripin, 2004:5)
23
Gambar 2.7 Konfigurasi Sistem Drainase Perkotaan (Grigg dalam Kodoatie, 2003:136)
tangga dan dialirkan melalui saluran drainase. Debit air buangan rumah tangga
berasal dari air buangan hasil aktivitas penduduk yang berasal dari lingkungan
rumah tangga, atau industri.
3. Debit Air Maksimum Saluran (Qsaluran)
Debit air maksimum saluran dapat didefinisikan sebagai jumlah air maksimum
yang dapat tertampung oleh saluran drainase. Dalam menghitung debit air
maksimum saluran maka perlu diketahui terlebih dahulu besarnya luas penampang
basah saluran (Abasah) dan kecepatan aliran air (V).
Tata
Mengurangi limpasan air Ruang
permukaan
Mengendalikan arus Mempertahankan
sungai kawasan yang
Mengurangi dampak Tata penting untuk
banjir Tata Lingkungan konservasi
Menambah resapan Air Hidup Mengurangi dampak
Menambah tampungan negative dari
untuk penggunaan air pembangunan
sewaktu musim kering (AMDAL)
Menyediakan sumber air Mengelola sampah
bersih dan limbah dengan
Mengelola air limbah baik
Gambar 2.9 Konsep Integrasi Tata Ruang, Tata Air dan Lingkungan Hidup
(Tanuwidjaja, 2010:32)
Menurut Tanuwidjaja (2010: 32), perlu diperhatikan bahwa pengendalian tata
ruang, tata air dan lingkungan harus dilakukan secara sinergis dalam tataran makro sampai
mikro (dari lingkup daerah aliran sungai sampai drainase mikro lingkungan). Integrasi
sistem tata ruang–tata air–tata lingkungan dari level makro sampai mikro adalah mutlak
dilakukan untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan (Gambar 2.9). Sejalan dengan
proses pembangunan yang berkelanjutan, diperlukan upaya pengaturan dan pengarahan
terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, dengan prioritas utama untuk menciptakan
kembali keseimbangan ekologis lingkungan (Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang
di Kawasan Rawan Bencana Banjir, 2009:1-1).
28
manusia yang tinggal di kota tersebut (Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
dalam Kota Ekologis, 2008:6).
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(2008:21), makna ekologis dalam hal ini, diusulkan, diwakili oleh tiga prinsip lingkungan
hidup yang merupakan kaidah-kaidah ekologi, dalam hal ini adalah prinsip yang ke-II,
yaitu: keberlanjutan (sustainability). Kaidah ini kemudian dijabarkan dalam kriteria dan
beberapa indikator, terutama indikator-indikator input dan proses (implementasi).
Pertimbangan kaidah-kaidah keberlanjutan (sustainability), menunjukkan sejauh mana
faktor-faktor penunjang keberlanjutan, antara lain: daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup serta factor kemampuan sumberdaya alam pulih kembali (atau alih
fungsi menjadi sumberdaya produktif lainnya) menjadi pertimbangan perencanaan tata
ruang. Selain faktor daya dukung, prinsip keberlanjutan juga menekankan pentingnya
prinsip kehati-hatian dalam alokasi dan pemanfaatan ruang melalui pertimbangan implikasi
dampaknya terhadap ekosistem.
2.5.2. Konsep ecocity untuk pengendalian limpasan permukaan
Menurut Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
Banjir (2009:3-4), pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir dengan upaya
penanganan masalah harus merupakan satu kesatuan penataan ruang yang terpadu dan
seimbang, sehingga kawasan tersebut dapat dibudidayakan seoptimal mungkin, antara
aspek pendayagunaan, perlindungan (konservasi) sumberdaya alam yang ada.
Keseimbangan ekosistem sangat terkait dengan limitasi atau batasan terhadap pemanfaatan,
dalam rangka menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya secara besar-besaran.
Prosedur penetapan jenis-jenis kegiatan pemanfaatan ruang kawasan yang dipilih
dalam penanganan banjir harus melalui pemahaman kondisi setempat dan wilayah terkait,
proses kajian penyebab/tipologi dan akhirnya arahan pemanfaatan ruang, yang mencakup
upaya preventif dan mitigasi dengan pertimbangan keseimbangan ekosistem dan
lingkungan, sehingga terhindar dari bencana atau paling tidak mengurangi dampaknya,
yang sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat.
Menurut Djumantri (2009), penanggulangan banjir dengan cara-cara konvensional
(sebatas-mengusir-air) perlu diubah dengan pola pengelolaan banjir terpadu (integrated
floods management) dengan menentukan komponen-komponen lingkungan apa saja yang
ada, yang dapat merupakan faktor tidak terakumulasinya air di satu tempat secara
berlebihan dan penghambat aliran permukaan (run off), tetapi memperlancar siklus alami
air (natural water recycling). Ini meliputi penggunaan vegetasi yang berfungsi sebagai
30
perangkap atau penahan air, pengontrolan secara alami seperti penanaman tanaman yang
menyerap banyak air, pembuatan terasering dan saluran/parit sesuai kontur, tanaman
penutup tanah (ground cover), serta langkah prefentif seperti normalisasi fungsi saluran,
kanal, parit, dsb; pengelolaan sampah (reduce, re-use, and recycle), membuat sumur
resapan, pintu pembagi, bak kontrol, perbaikan tata letak, zonasi, dan sebagainya. Jelaslah,
bahwa pola ini menekankan pada sifat yang menyeluruh dalam pendekatannya dan
berdasarkan sepenuhnya pada prinsip prinsip ekologi.
Contoh penerapan konsep ecological city dalam sistem manajemen air dalam hal ini
dapat dilihat pada studi kasus yang ada pada Kota Huluado, Propinsi Liaoning, Cina
(Gambar 2.11). Konsep ecological city dalam sistem manajemen air tersebut sudah tidak
menggunakan sistem konvensional yang menggunakan prinsip secepat mungkin
membuang air hujan dan air buangan rumah tangga hingga sampai ke badan air, melainkan
menggunakan prinsip meningkatkan daya guna air serta memperbaiki dan konservasi
lingkungan.
bahwa air hujan yang turun dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal sebelum pada akhirnya
dibuang ke badan air, diantaranya adalah:
Air hujan yang turun di lahan pertanian dan RTH dimanfaatkan untuk irigasi lahan
pertanian serta diresapkan pada lahan ruang terbuka hijau yang berupa taman atau
lapangan. Hal ini tentu dapat memberikan manfaat untuk pemenuhan kebutuhan
makhluk hidup seperti manusia dan hewan ternak, yang dapat juga berbalik
memberikan manfaat untuk kesuburan lahan tersebut. Adapun sisa pembuangan
dari pemanfaatan ini kemudian dibuang melalui sungai dan menuju ke laut.
Air hujan yang turun di atas permukaan jalan juga masih dapat dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan hewan tertentu, yang dapat juga berbalik memberikan
manfaat untuk kesuburan lahan hijau tersebut. Adapun sisa pembuangan dari
pemanfaatan ini kemudian dibuang melalui sungai dan menuju ke laut.
Air hujan yang turun di kawasan permukiman dapat dimanfaatkan untuk
pelestarian roof garden, untuk mandi, mencuci, dan sisanya dapat untuk memenuhi
kebutuhan air untuk hewan/makhluk hidup tertentu. Air buangan tersebut kemudian
dialirkan ke sungai dan bermuara ke laut.
Air hujan yang yang turun langsung pada kolam penampungan air dapat diolah dan
dijernihkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, seperti untuk kebutuhan
memasak dan untuk konsumsi air bersih sehari-hari. Sisanya dapat untuk memenuhi
kebutuhan air untuk hewan/makhluk hidup tertentu. Air buangan tersebut kemudian
dialirkan ke sungai dan bermuara ke laut.
Air hujan dan air limpasan yang langsung tertampung di sungai selanjutnya
dialirkan ke laut. Air tersebut dapat juga dimanfaatkan untuk budidaya perikanan,
untuk budidaya hasil laut yang dapat diolah menjadi bahan makanan untuk manusia
dan hewan, untuk pelestarian greenhouse yang memanfaatkan air laut, serta dapat
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air daerah pantai.
Konsep ecological city juga tertuang dalam konsep low impact development. Low
Impact Development (LID) merupakan sebuah konsep untuk mengurangi limpasan run-off
atau limpasan permukaan serta dampak banjir. Hal ini diterapkan dengan menyimpan
sebanyak mungkin air hujan serta menggunakannya untuk keperluan sehari–hari secara
tepat guna. LID juga menyarankan berbagai konsep untuk menjaga keseimbangan siklus
air di alam dengan menambah fungsi resapan, fungsi retensi atau penyimpanan air dan
32
Gambar 2.12 Konsep untuk mengurangi limpasan permukaan serta dampak banjir
(http://www.lowimpactdevelopment.org)
Menurut Suripin (2004:228), air sebagai sumber kehidupan, juga berpotensi besar
terhadap timbulnya bencana yang sangat merugikan. Bertolak dan permasalahan tersebut,
maka konsep dasar pengembangan drainase berkelanjutan adalah meningkatkan daya guna
air, meminirnalkan kerugian, serta memperbaiki dan konservasi Iingkungan (Gambar
2.13). Diperlukan usaha-usaha komprehensif dan integratif yang meliputi seluruh proses,
baik yang bersifat struktural maupun non struktural, untuk mencapai tujuan tersebut.
Prioritas utama kegiatan harus ditujukan untuk mengelola limpasan permukaan dengan
cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan (rainfall retention fricilities), yaitu
(1) tipe penyimpan (storage types) dan (2) tipe peresapan (infiltration types), yang dapat
dilihat pada Gambar 2.14.
33
Rekayasa teknis tersebut meliputi teknologi penyimpanan air hujan, teknologi peresapan
air hujan, dan perencanaan prasarana drainase.
1. Penyimpanan air hujan
Ada dua dua macam fasilitas penyimpanan air hujan, yaitu penyimpanan luar lokasi
dan dalam lokasi.
a. Fasilitas penyimpanan air hujan di luar lokasi (off site storage)
Menurut Suripin (2004:229), fasilitas ini berfungsi mengumpulkan dan menyimpan
limpasan air hujan di ujung hulu saluran atau tempat lain dengan membangun
retarding basin atau kolam pengatur banjir (flood regulation pond). Mengingat
bangunan inimampu menampung limpasan air yang cukup besar, efektifitas
pengendalian banjir juga sangat tinggi, dan dari segi teknik perencanaan tingkat
kehandalan dan keamanannya dapat dipercaya.
b. Fasilitas penyimpanan di tempat (on site storage)
Menurut Suripin (2004:229), fasilitas ini dikembangkan untuk menyimpan air
hujan yang jatuh di kawasan itu sendiri (hujan lokal) yang tidak dapat dibuang
langsung ke saluran karena saluran tidak mampu atau karena adanya pengaruh air
balik (back water).
bahan yang tahan erosi, misalnya genteng yang dilapisi aluminium atau semen, atau
sirap. Demikian juga, bak penampung juga harus bersih. Untuk pemanenan air
hujan yang lebih besar dapat dilakukan dengan menampung aliran permukaan dari
suatu kawasan dalam suatu bak penampung. Besarnya air hujan yang dapat dipanen
tergantung pada topografi dan kemampuan tanah atas pada lahan untuk menahan
air.
Pemanenan air hujan adalah mengumpulkan tetesan air hujan. Dalam hal ini
digunakan atap untuk mengumpulkan air hujan. Air hujan kemudian mengalir
sepanjang talang (gutter), dan masuk ke dalam suatu tangki pengumpul.
Air yang dikumpulkan dapat digunakan untuk irigasi skala kecil (seperti
berkebun,dan lain sebagainya). Jika air hujan dari proses rain harvesting akan
digunakan sebagai air untuk keperluan MCK maka harus diperhatikan kebersihan
dan standar kualitas yang harus terpenuhi. Bila kualitas air hujan masih berada di
bawah standar untuk MCK maka pemanfaatannya harus dialihkan untuk kegiatan
lainnya misalnya untuk menyiram tanaman dan mencuci mobil
(http://www.oas.org).
2. Peresapan air hujan
Menurut Suripin (2004:230), fasilitas resapan (infiltration facilities) dikembangkan
di daerah-daerah yang mempunyai tingkat permeabilitas tinggi dan secara teknis
pengisian air tanah ini tidak mengganggu stabilitas geologi.
a. Sumur resapan
Pengertian Sumur resapan berdasarkan Standart Nasional Indonesia (SNI) 03-2453-
1991 mengenai tata cara perencanaan teknik sumur resapan air hujan untuk lahan
pekarangan adalah prasarana untuk menampung dan meresapkan air hujan ke dalam
tanah sedangkan lahan pekarangan adalah lahan atau halaman yang dapat di
fungsikan untuk menempatkan sumur resapan. Berdasar konsep tersebut maka
ukuran atau dimensi sumur yang diperlukan untuk suatu lahan atau kapling sangat
bergantung dari beberapa faktor, seperti: luas permukan penutup lahan,
karakteristik hujan, koefisien permeabilitas tanah, dan tinggi muka air tanah.
Sedangkan berdasarkan (SNI) 03-2453-1991 mengenai tata cara perencanaan teknik
sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan persyaratan umum yang harus
dipenuhi antara lain sebagai berikut:
sumur resapan harus ditempatkan pada lahan yang relatif datar
air yang masuk ke dalam sumur resapan adalah air hujan tidak tercemar
penetapan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanaan
bangunan sekitarnya, harus memperhatikan peraturan daerah setempat
hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui instansi yang
berwenang
lebar diameter sumur minimal 100 cm, kedalaman air tanah minimum 1,50 m
pada musim hujan
struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai nilai permeabilitas tanah
≥2 cm/jam
37
38
2.7. Kerangka Teori
1. Mengidentifikasi dan menganalisis pola penyebaran genangan di Kelurahan Bandulan Kota Malang.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis penyebab terjadinya genangan di Kelurahan Bandulan Kota Malang.
Teori tentang pembangunan berkelanjutan (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, 2001)
Teori tentang ecocity (Sub Direktorat Kawasan Rawan Bencana Bappenas, 2009; Kementrian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia, 2008)
Teori tentang upaya pengendalian limpasan permukaan (Djumantri, 2009; Suripin, 2004; Kelompok
Raindrops, 2008; http://www.holcimfoundation.org; http://www.lowimpactdevelopment.org)
Gambar 2.17
Diagram Kerangka Teori
39