Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah aliran sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi

tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis maupun kegiatan sosial-

ekonomi dan budaya masyarakat yang kompleks. Proses-proses biofisik hidrologis DAS

merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi atau yang dikenal

sebagai siklus air. Sedang kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat merupakan

bentuk intervensi manusia terhadap system alami DAS, seperti pengembangan lahan

kawasan budidaya. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas

sumberdaya alam (air, tanah, dan hutan) yang disebabkan meningkatnya pertumbuhan

penduduk yang membawa akibat pada perubahan kondisi tata air DAS.

Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau

program yang bersifat menipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di

daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan

terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. (Asdak, 2010).

Ruang lingkup pengelolaan DAS diantaranya; a) Pengelolaan ruang melalui

usaha pengaturan penggunaan lahan (landuse) dan konservasi tanah dalam arti yang

luas. b) Pengelolaan sumberdaya air melalui konservasi, pengembangan, penggunaan

dan pengendalian daya rusak air. c) Pengelolaan vegetasi yang meliputi pengelolaan

hutan dan jenis vegetasi darat lainnya yang memiliki fungsi produksi dan perlindungan

1
terhadap tanah dan air. d) Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia termasuk

pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara

bijaksana, sehingga ikut berperan dalam upaya pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS dilakukan guna mengetahui karateristik dari suatu DAS yang

menjadi sebuah landasan atau dasar suatu penanganan. Menurut (Wa Ode Wirdana,

2013) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan pada DAS Lalilndu Kecamatan

Konawe Utara dari lahan alang-alang dan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit

mengakibatkan perubahan karateristik hidrologi. Hal ini tentu berdampak pada DAS

lasolo karena Sub DAS Lalindu merupakan bagian dari DAS Lasolo. Dampak perubahan

tutupan lahan tersebut diantaranya berpengaruh pada run off. Hal ini senada dengan

penelitian yang dilakukan (Suroso, 2006; Pranoto SA, 2008) bahwa perubahan tutupan

lahan memberi kontribusi terhadap banyaknya run off). Selain itu, jumlah hujan yang

semakin meningkat juga mengakibatkan kenaikan run off (Dewi Liesnoor Setyowati,

2010). Berdasarkan beberapa fakta dari penelitian di atas, maka perlu dilakukan analisis

DAS Lasolo untuk mengetahui karateristik DAS Lasolo dari segi pemanfaatan ruang.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana menganalisis karateristik

DAS Lasolo berdasarkan pemanfaatan ruang wilayah sesuai dengan RTRW.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui karateristik DAS Lasolo

berdasarkan pemanfaatan ruang wilayah sesuai dengan RTRW, diantaranya:

1. Mengetahui kawasan lindung di DAS Lasolo.

2
2. Mengetahui kawasan budidaya di DAS Lasolo.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai


Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang merupakan

kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai

pengumpul, penyimpan dan penyalur air, sedimen, unsur hara melalui sistem

sungai, megeluarkannya melalui outlet tunggal yaitu ke danau/laut. Apabila

turun hujan di daerah tersebut, maka air hujan yang turun akan mengalir ke

sungai-sungai yang ada disekitar daerah yang dituruni hujan.

Menurut PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1, Daerah Aliran Sungai


yang biasa disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas
di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan
(Gambar 2.1 dan Gambar 2.2).
DAS dalam bahasa Inggris disebut Watershed atau dalam skala luasan
kecil disebut Catchment Area adalah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh
punggung bukit atau batas-batas pemisah topografi, yang berfungsi menerima,
menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke alur-alur
sungai dan terus mengalir ke anak sungai dan ke sungai utama, akhirnya
bermuara ke danau/waduk atau ke laut. Berikut ini dicontohkan beberapa
definisi DAS yang dikemukakan oleh para ahli.
Linsley dkk., (1980) DAS adalah keseluruhan daerah yang diatus oleh

4
sistem sungai sehingga seluruh aliran dan daerah tersebut dikeluarkan melalui
outlet tunggal.
Brooks dkk., (1990) DAS merupakan suatu areal atau daerah yang dibatasi
oleh bentuk topografi yang didrainasi oleh suatu sistem aliran yang membentuk
suatu sungai yang melewati titik out-let dan total area di atasnya. River basin
adalah serupa dengan watershed tetapi mencakup sekala yang luas sebagai
contoh : Amazona River Basin, the Misisipi River Basin.
Pedoman Penyusunan Pola-RLKT (1994) DAS adalah suatu daerah tetentu
yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam
fungsinya untuk menampung air yang berasal dan curah hujan dan sumber air
lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan
hukum alam sekelilingnya demi kesinambungan daerah tersebut. Esensinya,
DAS adalah salah satu wilayah daratan yang menerima air hujan, menampung
dan mengalirkannya melalui sungai utama ke laut/ danau. Satu DAS dipisahkan
dan wilayah lain disekitamya (DAS- DAS lain) oleh pemisah alam topografi,
seperti punggung bukit dan gunung.
Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan
mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai uatama. Setiap DAS terbagi habis
ke dalam Sub DAS. Sub DAS adalah suatu wilayah kesatuan ekosistem yang
terbentuk secara alamiah, air hujan meresap atau mengalir melalui cabang aliran
sungai yang membentuk bagian wilayah DAS.
Sub-sub DAS adalah suatu wilayah kesatuan ekosistem yang terbentuk
secara alamiah, dimana air hujan meresap atau mengalir melalui ranting aliran
sungai yang membentuk bagian dari Sub DAS. Daerah Tangkapan Air (DTA)
adalah suatu kawasan yang berfungsi sebagai daerah penadah air yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sumber

5
air di wilayah daerah. Daerah Tangkapan Air (DTA) adalah kawasan di hulu
danau yang memasok air ke danau.
Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah tata pengairan sebagai hasil
pengembangan satu atau lebih daerah pengaliran sungai. (Permen No 39/1989
Tentang pembagian wilayah sungai Pasal 1 ayat 1). Sungai adalah system
pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi pada kanan dan
kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan (Permen No 39/1989
Tentang pembagian wilayah sungai Pasal 1 ayat 2).
Bagian Hulu DAS adalah suatu wilayah daratan bagian dari DAS yang
dicirikan dengan topografi bergelombang, berbukit dan atau bergunung,
kerapatan drainase relatif tinggi, merupakan sumber air yang masuk ke sungai
utama dan sumber erosi yang sebagian terangkut menjadi sedimen daerah hilir.
Bagian Hilir DAS adalah suatu wilayah daratan bagian dari DAS yang dicirikan
dengan topografi datar sampai landai, merupakan daerah endapan sedimen atau
aluvial.
Macam macam DAS berdasarkan fungsi hulu, tengah dan hilir yaitu:

a. Bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk

mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain

dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air,

kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan.

b. Bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk

dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain

dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan

ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti

pengelolaan sungai, waduk, dan danau.

6
c. Bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk

dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan

melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah

hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air

limbah.

Gambar 2.1. Daerah Aliran Sungai

7
Gambar 2.2. Komponen Sistem Daerah Aliran Sungai

2.2 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Kata pengelolaan banyak digunakan dalam berbagai bidang keilmuan. Kita juga

mengenal pengelolaan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan atau tata-guna lahan

seperti pengelolaan hutan produksi, pengelolaan bidang pertanian, pengelolaan hutan

lindung, pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS didefinisikan sebagai proses perumusan

dan pelaksanaan serangkaian tindakan yang melibatkan manipulasi dan sistem alam

dan suatu DAS untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu ke arah pembangunan yang

berkesinambungan (lestari).

Brooks dkk., (1990) P-DAS (Watershed Management) merupakan proses

pengarahan dan pengorganisasian penggunaan lahan dan sumberdaya lainnya pada

suatu DAS untuk menyediakan barang-barang dan jasa yang diinginkan tanpa

8
merusakan sumberdaya tanah dan air. Termaktup dalam konsep tersebut adalah adanya

pengenalan dalam keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air; hubungan antara

daerah hulu dan hilir. Suyono (1996) P-DAS terpadu adalah serangkaian kegiatan

dengan berbagai eara yang saling terkait dengan penuh pertimbangan untuk mencapai

suatu tujuan. Adapun tujuan P-DAS adalah untuk mencapai kelestarian DAS agar dapat

memberikan manfaat yang maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan

manusia.

Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau

program yang bersifat menipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di

daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan

terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. (Asdak, 2010).

Kajian berlanjut kepada alokasi sumberdaya alam di daerah aliran sungai

termasuk pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang

berkaitan dengan sumberdaya alam, antara lain dengan jalan identifikasi keterkaitan

antara tataguna lahan, tanah dan air serta keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu

DAS. Pertimbangan aspek sosial, ekonomi, budaya serta kelembagaan yang beroperasi

di dalam dan si luar daerah aliran sungai yang bersangkutan. (Asdak, 2010).

Saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli dalam meneliti

permasalahan mengenai pengelolaan daerah aliran sungai karena semakin sadarnya

kebutuhan serta ketergantungan kehidupan manusia terhadap eksistensi daerah sungai

yang ada. Setelah pengkajian serta penelitian dilaksanakan maka gambaran mengenai

9
fungsi pengelolaan serta pengaturan daerah aliran sungai dapat terpaparkan sebagai

berikut:

1. Dengan semakin banyaknya pabrik-pabrik industri (terutama tekstil), maka dalam

pengelolaan sungai ini diharapkan dapat mengawasi serta meregulasi hingga

menindaklanjuti pencemaran lingkungan yang semakin menguat;

2. Peningkatan potensi serta keberlanjutan fungsi-fungsi hidroorologis terutama pada

kawasan lindung serta daerah penyangga (buffer area) sehingga keseimbangan

ekosistem pun terjaga pula;

3. Dengan adanya pengendalian serta pengelolaan daerah aliran sungai ini, maka

intensitas erosi serta banjir dapat terjaga serta terkontrol;

4. Semakin meningkatnya pendapaan serta kesadaran para petani mengenai kelebihan

serta dukungan positif dalam pengelolaan daerah aliran sungai, dalam hal ini kaidah

konservasi tanah dan air dapat dijalankan secara sinkron serta, berkelanjutan hingga

berkesinambungan.

Menurut Asdak, 2010 dalam konteks DAS, pembangunan yang berkelanjutan

(sustainable development) dapat dicapai apabila perangkat kebijaksanaan yang akan

diterapkan pada pengelolaan DAS telah mempertimbangkan beberapa hal seperti di

bawah ini :

1. Pengelolaan DAS dan konservasi tanah dan air merupakan “alat” untuk tercapainya

pembangunan sumberdaya air dan tanah yang berkelanjutan;

10
2. Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memadai (pada skala DAS) telah

menyebabkan degradasi tanah dan air, pada gilirannya menurunkan tingkat

kemakmuran rakyat pedesaan;

3. Kurangnya pemahaman mengenai keterkaitan biogeofisik antara daerah hulu-hilir

DAS merupakan alasan yang sangat relevan dimana pengelolaan DAS yang ada tidak

memadai. Oleh karena itu produk kebijaksanaan yang dihasilkan tidak atau kurang

memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan DAS;

4. Adanya ketidaksesuaian antara batas alamiah (ekologi) serta batas administrative

(politik) suatu DAS seringkali menjadi kendala bagi tercapainya usaha pengelolaan

DAS yang komprehensif dan efektif. Tantangan kebijakan dalam pengelolaan DAS

yang cukup mendesak adalah mengusahakan tercapainya keselarasan antara dua

sudut pandang tersebut.

5. “Aktor” yang terlibat dalam pengelolaan kebijakan serta realisasi pengelolaan DAS

harus menyeluruh. Dengan demikian, dapat dilakukan evaluasi dini terhadap gejala-

gejala terjadinya degradasi lingkungan dan tindakan perbaikan yang diperlukan

dapat segera dilaksanakan.

2.3 Klasifikasi DAS

Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS yang tersebar diseluruh

wilayah Indonesia, merupakan satu kesatuan ekosistem alami yang utuh dari ekosistem

pegunungan di hulu hingga ekosistem pantai di hilir. Kekayaan sumber daya alam

maupun buatan di dalam DAS merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu

disyukuri, dilindungi dan diurus daya dukungnya dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan

11
kondisi saat ini terdapat beberapa DAS yang harus dipertahankan daya dukungnya

namun masih banyak pula DAS yang sudah harus dipulihkan daya dukungnya.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012, Daya Dukung DAS adalah

kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta

meningkatnya kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia dan makhluk hidup

lainnya secara berkelanjutan. DAS yang dipulihkan daya dukungnya adalah DAS yang

kondisi lahan serta kuantitas, kualitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi

bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah tidak berfungsi sebagaimana mestinya,

sedangkan yang perlu dipertahankan adalah yang masih berfungsi sebagaimana

mestinya.

Dengan dipulihkan dan dipertahankannya daya dukung DAS maka tujuan

mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya

tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan, mewujudkan kuantitas, kualitas dan

keberlanjutan ketersediaan air yang optimal menurut ruang dan waktu dan

mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Klasifikasi DAS

sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 60 /Menhut-

II/2014 Tentang Kriteria Penetapan Klasifikasi Daerah Aliran Sungai.

Untuk memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan Pengelolaan DAS dalam

mengelola DAS yang dipertahankan dan dipulihkan daya dukungnya sesuai dengan

tujuan yang diinginkan tersebut, maka perlu dilakukan Penetapan Klasifikasi setiap

DAS. Penetapan klasifikasi DAS untuk memperoleh arahan/acuan bagi Kementerian

Kehutanan serta Instansi terkait untuk menilai dan menyusun klasifikasi Daerah Aliran

12
Sungai dalam rangka penetapan Daerah Aliran Sungai yang dipertahankan dan

dipulihkan daya dukungnya, adapun tujuannya adalah diperolehnya klasifikasi DAS-

DAS di Indonesia sebagai basis penentuan kebijakan dan penyelenggaraan Pengelolaan

DAS.

Perlu dimaklumi bahwa klasifikasi DAS yang dihasilkan tidak dimaksudkan

sebagai dasar penentuan teknis rehabilitasi hutan dan lahan serta teknis pengelolaan

sumber daya air, tetapi diharapkan dapat menggambarkan tingkat urgensi penanganan

DAS dalam skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Sehubungan dengan itu, data

dan informasi parameter dan kriteria yang dipilih diupayakan dengan memanfaatkan

dari sumber yang telah tersedia di berbagai instansi terkait dan harus diupayakan

seminimal mungkin pengambilan data primer secara langsung di lapangan untuk

menghindari kebutuhan dana, waktu, peralatan dan tenaga yang besar.

2.4 Kriteria Untuk Menetapkan Klasifikasi Das

Dalam rangka penetapan klasifikasi setiap DAS, maka kriteria, sub kriteria

terpilih dan pembobotannya disajikan pada Tabel 2.1.

13
Tabel 2.1 Kriteria, Sub Kriteria dan Pembobotan Penetapan Klasifikasi DAS
(Syarifuddin. 2016)

2.5 Pemanfaatan Ruang Wilayah

Kriteria pemanfaatan ruang wilayah terdiri dari sub kriteria kawasan lindung

dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkandengan

fungsi utama melindungi kelestarianlingkungan hidup yang mencakup sumber

dayaalam dan sumber daya buatan. Sedangkan Kawasan budi daya adalah wilayah

yang ditetapkandengan fungsi utama untuk dibudidayakan atasdasar kondisi dan

potensi sumber daya alam,sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Semakin

14
sesuaikondisi lingkungan dengan fungsi kawasan maka kualifikasi pemulihan DAS

adalah rendah dan sebaliknya apabila tidak sesuai fungsinya maka kualifikasi

pemulihannya tinggi. (Syarifuddin. 2016)

2.5.1 Kawasan Lindung

Dilakukan dengan mengukur luas liputan vegetasi di dalam Kawasan Lindung.


Dengan demikian sub kriteria ini sebenarnya juga untuk melihat kesesuaian peruntukan
lahan mengingat Kawasan Lindung sebagian besar terdiri atas Kawasan Hutan.
(Syarifuddin. 2016)

Keterangan rumus:
PTH = persentase luas liputan vegetasiterhadap luas Kawasan Lindung di dalam DAS

Keterangan tambahan:

Tabel 2.2 Kriteria Penilaian Kawasan Lindung (PTH) berdasarkan Persentase Luas
liputan vegetasi terhadap Kawasan Lindung di dalam DAS (%)
Persentase Luas Liputan
No. Vegetasi terhadap Kawasan Skor Kualifikasi pemulihan
Lindung di dalam DAS (%)
1 PTH>70% 0,50 Sangat rendah
2 45<PTH≤70% 0,75 rendah
3 30<PTH ≤45 % 1,00 sedang
4 15 <PTH≤30 % 1,25 tinggi
5 PTH ≤ 15 % 1,50 Sangat tingg

2.5.2 Kawasan Budidaya

Sub Kriteria ini memfokuskan pada lahan dengan kelerengan 0-25% pada

Kawasan Budidaya. Kelas kelerengan 0-25% ini adalah paling sesuai untuk budidaya

tanaman sehingga akan cocok berada pada Kawasan Budidaya. Penghitungan

15
dilakukan dengan mengukur luas total lahan dengan kelerengan 0-25% yang berada

pada Kawasan Budidaya. Semakin tinggi persentase luas unit lahan dengan kerengan

dimaksud pada Kawasan Budidaya maka kualifikasi pemulihan DAS semakin rendah.

Sebaliknya semakin rendah persentase luas unit lahan dengan kelerengan dimaksud

pada Kawasan Budidaya, atau dengan kata lain semakin tinggi persentase luas unit

lahan dengan kelerengan >25% pada Kawasan Budidaya maka kualifikasi pemulihan

DAS semakin tinggi. (Syarifuddin. 2016)

Keterangan rumus:

LKB = persentase luas lahan dengan kemiringan lereng 0-25%terhadap luas

Kawasan Budidaya di dalam DAS Kriteria penilaian kawasan budi

daya tersebut menggunakan klasifikasi seperti yang tersaji di dalam

` Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Kriteria Penilaian Kawasan Budidaya berdasarkan keberadaan lereng 0-25%

Persentase lahan yang


No. berkemiringan lereng 0-25% di Skor Kualifikasi pemulihan
dalam Kawasan Budidaya
1 LKB >70 % 0,50 Sangat rendah
2 45 < LKB < 70 0,75 rendah
3 30 < LKB < 45 1,00 sedang
4 15 < LKB < 30 1,25 tinggi
5 LKB < 15 1,50 Sangat tingg

16
2.6 Kriteria Penilaian

Prosedur analisis data untuk kajian ini melalui pemberian bobot, penetapan

kelas, perhitungan skor dan penilaian dari masing-masing sub kriteria. Penetapan

klasifikasi DAS berdasarkan kondisi lahan tersebut di atas disusun dan disajikan secara

ringkas pada Tabel 2.4.

Penentuan Klasifikasi DAS dilakukan berdasarkan penilaian dan pembobotan

kriteria/sub kriteria tersebut di atas, maka akan diperoleh nilai total pada setiap DAS,

yang berkisar dari 50 sampai dengan 150. (Syarifuddin. 2016)

Klasifikasi DAS ditentukan total nilai skor kelas kualifikasi DAS sebagai berikut:

1. Nilai total skor <100 termasuk DAS yang dipertahankan daya dukungnya

2. Nilai total skor>100 termasuk DAS yang dipulihkan daya dukungnya

Klasifikasi berdasarkan kondisi daya dukung lahan yang selanjutnya menjadi

acuan penetuan kebijakan dan penyelenggaraan pengelolaan DAS, agar diperoleh hasil

yang optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air, serta memberikan

manfaat sosial ekonomi yang nyata bagi masyarakat disajikan pada Tabel 2.4.

17
Tabel 2.4 Kriteria Penetapan Klasifikasi DAS Berdasarkan Pemanfaatan Ruang Wilayah

Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 60 /Menhut-


II/2014

18
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Wilayah

Secara geografis Kabupaten Konawe Utara terletak di bagian Selatan

Khatulistiwa, melintang dari Utara ke Selatan antara 02°97’ dan 03°86’ lintang Selatan,

membujur dari Barat ke Timur antara 121°49’dan 122°49’ bujur Timur.

Adapun batas wilayah Kabupaten Konawe Utara adalah sebagai berikut:

 Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Morowali (Provinsi Sulawesi

Tengah) dan Kecamatan Routa (Kabupaten Konawe).

 Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Latoma Kabupaten Konawe.

 Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Bondoala, Kecamatan

Amunggedo, Kecamatan Meluhu, Kecamatan Anggaberi,

Kecamatan Tongauna, dan Kecamatan Abuki Kabupaten

Konawe.

 Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Morowali (Provinsi Sulawesi

Tengah) dan Laut Banda.

Pengelolaan DAS merupakan hal pokok dari pengelolaan sumberdaya air secara

efektif karena lingkup ruang yang dimiliki oleh DAS. Berdasarkan Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum Nomor 11A/PRT/M2006 Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai,

Wilayah Sungai (WS) Lasolo – Konaweeha merupakan wilayah sungai lintas Provinsi.

19
WS Lasolo – Konaweeha meliputi 25 (dua puluh lima) DAS dengan DAS utama yaitu

DAS Konaweeha dan DAS Lasolo, yang mana bagian hulu kedua sungai tersebut berada

di Kabupaten Kolaka Utara. Sungai Konaweeha melintasi tiga kabupaten dan satu kota,

sedangkan Sungai Lasolo dan anak sungainya yaitu Sungai Lalindu sebagian besar

terletak di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara dengan sebagian kecil lainnya masuk

ke dalam wilayah Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah).

Kedua sungai tersebut bermuara ke wilayah pantai timur Provinsi Sulawesi Tenggara.

Gambar 3.1 Peta Administrasi Kabupaten Konawe Utara

20
Tabel 3.1 Daerah Aliran Sungai Kabupaten Konawe Utara

Sumber: Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV dalam Buku Putih Sanitasi Kabupaten
Konawe Utara, 2018

21
Gambar 3.2 Peta Daerah Aliran Sungai Lasolo

22
3.2 Kriteria Pemanfaatan Ruang Wilayah

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau yang


ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 70/Menhut-II/2008, Tentang
Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Kawasan hutan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan
“wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan di DAS Lasolo mempunyai
fungsi sebagaimana di sajikan pada Tabel 3.2. Setiap wilayah hutan mempunyai
kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna
serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, sehingga setiap kawasan hutan
tersebut mempunyai fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan.

3.2.1 Kawasan lindung


Tabel 3.2 terlihat bahwa Fungsi kawasan di DAS Lasolo di dominasi oleh hutan
lindung 209.661 ha atau 54,74%, Hutan produksi 63,172 ha atau 16,49 %, Hutan
Produksi Konversi 29.745 ha atau 7,76 %, dan Hutan Produksi terbatas 80.490 ha atau
21,01 %. Jumlah luasan kawasan hutan Konawe Utara sebesar 383.068 ha.

Berdasarkan (Hariaji Setiawan, 2015) Konawe Utara mengalami penurunan


luas kawasan hutan tahun 1997-2013 sebesar 30.369,38 ha artinya kawasan hutan
Konawe Utara tersisa 352.698.62 ha. Fakta-fakta diatas menunjukan;
352.698,62
PTH = 𝑥 100% = 92,07 %
383.068

Berasarkan persentase luasan liputan vegetasi terhadap kawasan hutan


lindung 92,07% menunjukan bahwa DAS Lasolo termasuk kriteria pemuliah sangat
rendah. Hal ini perlu diperthanakan mengingat alih fungsi lahan terus bertambah
setiap tahunnya.
Hutan lindung tersebut mempunyai tujuan utama pemanfaatan hutan lindung
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus menumbuhkan
kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi hutan lindung bagi

23
generasi sekarang dan yang akan datang, dengan terciptanya tata air yang lestari.

Gambar 3.3 Peta Kawasan Hutan Kabupaten Konawe Utara


Hutan lindung mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Perubahan
penggunaan lahan pada hutan lindung mengakibatkan pergantian signifikan
kondisi hidrologi sistem sungai, yang pada gilirannya telah berpotensi
menyebabkan risiko banjir tinggi di daerah perkotaan.

24
Tabel 3.2 Status dan Fungsi Kawasan Hutan pada DAS Lasolo
No Status dan Fungsi Kawasan Hutan Luas
Ha %
1 Hutan Lindung 209.661 54,74
2 Hutan Produksi 63.172 16,49
3 Hutan Produksi Konversi 29.745 7,76
4 Hutan Produksi Terbatas 80.490 21,01
Jumlah 383.068 100.00
Sumber: Bappeda Kab. Konawe Utara, RTRW Tahun 2012-2032
3.2.2 Kawasan budidaya

Penentuan kriteria klasifikasi pemulihan DAS pada kawasan budidaya


berdasarkan persentase kelerngan. Saud (2007) mengemukakan kemiringan lahan
yang semakin tinggi maka air yang diteruskan semakin tinggi. Hasil analisis
kelerengan menggunakan GIS di DAS Lasolo yang disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Kelerengan di DAS Lasolo
No Kemiringan lereng Kab. Konawe Utara Luas
Ha %
1 0 – 25 % 91.356,1 25,75
2 25 – 40 % 148.355,22 41,81
3 > 40 % 115.081,12 32,44
Jumlah 354.792,44 100.00
Sumber: Bappeda Kab. Konawe Utara, RTRW Tahun 2012-2032

Berdasarkan pada Tabel 3.3 terlihat bahwa persenetase kelas lereng 0 – 25 %

seluas 91.356,1 ha atau 25,75 %, sehingga termasuk kriteria pemulihan tinggi.

Klasifikasi kelerengan pada Tabel 3.3 terlihat bahwa DAS Lasolo berpotensi untuk

kegiatan budidaya pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di DAS

Lasolo. Kemiringan lereng pada suatu DAS mempengaruhi kecepatan dan volume

limpasan permukaan. Lereng yang lebih curam menghasilkan kecepatan aliran

25
permukaan besar, sehingga semakin lambat terjadinya proses infiltrasi, maka aliran

permukaan menjadi lebih besar (Arsyad, 2010).

Tabel 3.4 Penilaian Klasifikasi DAS Lasolo Berdasarkan Pemanfaatan Ruang Wilayah.

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari laporan analisis kinerja Daerah Aliras Sungai Lasolo yang

terletak di Kabupaten Konawe Utara diantaranya:

1. Kawasan Hutan yang ada dalam Daerah Aliran Sungai Lasolo seluas 383.068 Ha

dengan luas liputan vegetasi 352.698.62 Ha sehingga persentase liputan vegetasi

terhadap kawasan hutan lindung sebesar lindung 92,07% menunjukan bahwa

DAS Lasolo termasuk kriteria pemuliah sangat rendah.

2. Kawasan Budidaya dengan persenetase kelas lereng 0 – 25 % seluas 91.356,1 ha

atau 25,75 % dari total luas lahan Budidaya, sehingga termasuk kriteria

pemulihan tinggi.

4.2 Saran

Kawasan hutan perlu dipertahankan atau diusahakan agar laju deforestasi

semakin menurun dengan melakukan reboisasi atau penanaman kembali pada

kawasan yang telah gundul. Kawasan budidaya pada daerah sepadan sungai harus

dikurangi mengingat pada subkriteria ini termaksuk kriteia pemulihan tinggi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. S.2010. Konservasi Tanah dan Air.Edisi Kedua Cetakan Kedua. IPB Press.
Bogor.

Asdak.C. 2010. HidrologidanPengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan Kelima


(revisi).GadjahMada University Press. Yogyakarta.

Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV. Buku Putih Sanitasi Kabupaten Konawe Utara,
2018.
Bappeda Kab. Konawe Utara. RTRW Tahun 2012-2032.

Brooks, K. N, H. M. Gregersen, A. L. Lundgren, and R. M. Quinn. 1990. Manual on


Watershed Management Project Planning, Monitoring and Evaluation . ASEAN- US
Watershed Project. Philippines.
Linsley. 1980. Applied Hydrology. New Delhi: Tata McGraw Hill Publication. Co
Permen No 39/1989 Tentang pembagian wilayah sungai.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 70/Menhut-II/2008, Tentang Pedoman
Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 60 /Menhut-II/2014
Tentang Kriteria Penetapan Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Peraturan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11A/PRT/M2006 Kriteria dan
Penetapan Wilayah Sungai.
Pemerintah Nomor 37 tahun 2012. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Saud,I. 2007. Kajian Penanggulangan Banjir di Wilayah Pematusan Surabaya. Jurnal


Aplikasi. 3 (1): 1-10.

Suroso, 2006. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Banjir Daerah
Aliran Sungai Banjaran. Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3 , No. 2.
Suyono. 1996. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dalam Konteks Hidrologi Dan Kaitannya
Dengan Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Lektor Kepala
Madya Pada Fakultas Geografi UGM. Jogjakarta: Fakultas Geografi UGM.
Syarifuddin. 2016. Modul Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Banjarbaru.

28
Wirdana., 2013. Model Konservasi Sumberdaya Air Pada Perkebunan Kelapa Sawit
Yang Berkelanjuta (Studi Kasus : Sub DAS Lalindu, Kabupaten Konawe Utara
Provinsi Sulawesi Tenggara), Institut Pertanian Bogor, Bogor.

29

Anda mungkin juga menyukai