Anda di halaman 1dari 17

Pengaruh Tata Guna Lahan Terhadap Debit Banjir

Hasil penelitian yang dilakukan secara intensif di banyak Negara tentang

pengaruh pengaturan jumlah dan komposisi vegetasi terhadap perilaku aliran air

menunjukkan bahwa aliran air tahunan meningkat apabila vegetasi dihilangkan atau

dikurangi dalam jumlah cukup besar (Bosch dan Hewlett, 1982; Hamilton dan King,

1984; Bruijnzeel, 1990; Malmer, 1992). Secara umum, kenaikan aliran air disebabkan

oleh penurunan penguapan air oleh vegetasi (transpiration), dan dengan demikian,

aliran air permukaan maupun air tanah menjadi lebih besar.

Keseluruhan curah hujan yang diterima oleh suatu masyarakat tumbuhan,

bagian air yang diuapkan melalui vegetasi adalah cukup besar. Oleh karenanya,

untuk meningkatkan jumlah aliran air dalam suatu DAS dengan cara menurunkan

evapotranspirasi lazim dilakukan. Sebagai contoh, dari keseluruhan jumlah curah

hujan tahunan, 85 - 95 % air yang diterima diuapkan kembali atau dikonsumsi oleh

berbagai tanaman dalam suatu DAS di daerah-daerah arid dan semi arid (Brooks et

al., 1985). Artinya, aliran air yang tersedia hanya berkisar antara 5 - 15 % dari jumlah

air hujan yang diterima di daerah tersebut. Namun demikian, di daerah dengan

curah hujan relatif besar jumlah air yang diuapkan kernbali ke atmosfer umumnya

tidak lebih dari 35 %.

Hasil penelitian jangka panjang dan dilakukan di berbagai penjuru dunia

juga menunjukkan bahwa jumlah aliran air meningkat apabila (Bosch dan Hewlett,

1982; Hibbert, 1983):

1. Hutan ditebang atau dikurangi dalam jumlah cukup besar.


2. Jenis vegetasi diubah dari tanaman yang berakar dalam menjadi tanaman

berakar dangkal.

3. Vegetasi penutup tanah diganti dari tanaman dengan kapasitas intersepsi

tinggi tanaman dengan tingkat intersepsi yang lebih rendah.

Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap besamya perubahan air larian

adalah tanah, iklim, dan persentase luas DAS. Semakin besar perubahan tataguna

lahan, misalnya perubahan dari hutan menjadi ladang pertanian, semakin besar pula

perubahan yang terjadi pada air larian. Respons aliran air diperkirakan akan lebih

besar di wilayah dengan tanah yang dalam dan dengan curah huian tahunan tinggi.

Sementara respons perubahan aliran air tersebut rendah di daerah dengan iklim

panas.

Pengaruh tataguna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air

terjadi dengan cara seperti tersebut di bawah ini:

1. Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi/intersepsi tahunan

tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi/intersepsi rendah dapat

meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan

untuk mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air

tersebut terjadi ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung

meningkat dan karenanya daya tampung air dalam tanah menjadi

berkurang.

2. Kegiatan yang bersifat memadatkan tanah seperti penggembalaan yang

intensif, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan pembalakan hutan.


Kegiatan-kegiatan tersebut, dalam batas tertentu, dapat meningkatkan

volume dan waktu berlangsungnya air larian, dan dengan demikian,

memperbesar debit puncak. Kegiatan yang bersifat memacu laju infiltrasi

diharapkan dapat mernberikan pengaruh sebaliknya.

. Faktor-faktor penting lainnya yang juga perlu dipertimbangkan dalam

evaluasi pengaruh gangguan vegetasi penutup tanah terhadap aliran air adalah:

1. Luas vegetasi penutup tanah yang terganggu, terutama yang secara

langsung berhubungan dengan proses perubahan intersepsi dan keadaan

kelembaban tanah awal.

2. Kapasitas kelembaban tanah dan persyaratan hidrolik serta kemungkinan

adanya lapisan tanah kedap air.

3. Mekanisme pembentukan aliran air, antara lain, informasi mengenai: Apakah

kapasitas infiltrasi menurun atau apakah sistem variabel wilayah sumber air

larian (variable source area system) berubah.

4. Karakteristik sistem saluran air dan perubahannya sebagai akibat perubahan

kecepatan air larian dan bentuk cekungan permukaan bunmi (detention

storage).

5. Perubahan sistem saluran air dalam DAS yang dapat mempengaruhi waktu

konsentrasi (time of concentration) aliran air.

6. Luas erosi permukaan dan tanah longsor dalam hubungannya dengan

cekungan permukaan tanah dalam DAS atau pada sistem saluran air.
Pengaruh hutan menjadi kurang berarti pada saat terjadi hujan lebat dengan

intensitas tinggi. Berikut ini adalah peranan yang dimainkan hutan dalam kaitannya

dengan peristiwa banjir:

1. Keberadaan hutan mempertahan tanah tetap pada tempatnya. Erosi yang

seringkali terjadi setelah penebangan hutan adalah merupakan penyebab

utama adanya kaitan antara hutan dan banjir. Erosi dan tanah longsor yang

menyertai pembuatan jalan hutan dapat mengakibatkan pendangkalan pada

sungai-sungai di dalam hutan atau di daerah yang lebih rendah, dan dengan

demikian, dapat mengakibatkan melimpasnya aliran air dari sungai-sungai

tersebut (banjir).

2. Keberadaan hutan memberikan tambahan kapasitas tampung air. Karena

besarnya evapo transpirasi hutan lebih besar daripada jenis tataguna lahan

lainnya, lapisan tanah di bawah tegakan hutan seringkali lebih kering pada

musim kemarau (musim rontok dan musim panas untuk daerah beriklim

sedang). Apabila pada masa ini terjadi hujan lebat, aliran air bawah

permukaan di bawah tegakan hutan akan tertahan untuk sementara di tempat

tersebut. Dalam kasus ini, volume air larian di bawah tegakan hutan lebih kecil,

dan karenanya, debit puncak yang terjadi di daerah hilir menjadi lebih kecil.

Sementara itu pada musim hujan (musim semi atau dingin) lapisan tanah di

bawah tegakan hutan sedang dalam proses atau telah menjadi jenuh. Pada

tahap ini, evapotranspirasi akan memainkan peranan kecil dalam mengurangi

volume air larian. Oleh karenanya, tambahan Bkapasitas tampung air yang
diberikan oleh tegakan hutan tidak begitu berarti karena aliran air terbesar

biasanya terjadi ketika kelembaban tanah awal tinggi, baik ada atau tidak ada

tegakan hutan.

3. Keberadaan hutan meningkatkan infiltrasi. Gangguan pada permukaan tanah

setelah penebangan hutan dalam bentuk bercocok tanam yang tidak

mengindahkan kaidah konservasi, pembakaran tumbuhan bawah yang terus-

menerus atau penggembalaan yang berlebih dapat menurunkan laju infiltrasi

dan meningkatkan debit puncak dan besamya volume air lokal. Sampai saat

ini belum ditemukan bukti bahwa keberadaan atau ketidakberadaan tegakan

hutan akan mempengaruhi laju infiltrasi sampai pada tingkat dapat mencegah

atau menyebabkan banjir besar (Lull dan Reinhart, 1972). Untuk dapat

memberikan pengaruh (meningkatkan) pada banjir di daerah hilir, penurunan

infiltrasi yang terjadi di daerah hulu harus sangat besar dan meliputi wilayah

yang cukup luas, suatu keadaan yang sayang sekali jarang terjadi.

Contoh Kasus

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka


yaitu merupakan analisis debit limpasan pada setiap hektar bukaan lahan untuk
kegiiatan penambangan dan penanganannya.

1. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan yaitu analisis data curah hujan terhadap
rancangan desain settling pond. Terdapat dua sumber air yang berpengaruh
terhadap model kolam pengendapan (settling pond) untuk mengatasi padatan
tersuspensi pada pengelolaan IPAL kegiatan, sehingga air permukaan merupakan
salah satu sumber air limpasan yang perlu diperhatikan. Pengaruh air permukaan
ditentukan dengan melakukan beberapa analisis yaitu:
a. Analisis data curah hujan
Analisis ini dilakukan untuk menentukan curah hujan harian maksimum, curah
hujan rencana, dan intensitas curah hujan dengan menggunakan Distribusi Log
Pearson Tipe III. Distribusi Log Pearson Tipe III atau Distribusi Extrim Tipe III
digunakan mengingat deret banjir tahunan jarang yang tersebar merata.
Distribusi Log Pearson Tipe III, mempunyai koefisien kemencengan (coefficient
of skewness) atau Cs ≠ 0. Persamaan yang digunakan untuk Distribusi Log
Person Tipe III yaitu:
Standar deviasi
0,5
LogXi)2
∑ (Log xi- ̅̅̅̅̅̅̅̅
S= [ n-1
] …………………………………….(1)

(Triatmodjo, 2015)

Koefisien kemencengan
̅̅̅̅̅̅̅i)3
n ∑ni=1 (LogXi-LogX
G= …………….…………………….….(2)
(n-1)(n-2)S2

(Triatmodjo, 2015)

Logaritma debit dengan periode ulang yang dikehendaki dihitung


dengan rumus:

Log Xt = LogX
̅̅̅̅̅̅̅i+ kt .S.……………………………………..(3)

Xt = 10 log Xt ...………………..……………………….(4)

Dimana:
Xt = Curah hujan dalam periode ulang T tahun (mm)
LogXt = Logaritma curah hujan dalam periode ulang T tahun (mm)
LogXi = Logaritma pengamatan
̅̅̅̅̅̅̅̅
n = Jumlah pengamatan
Cs = Koefisien Kemencengan
kt = Faktor frekuensi untuk sebaran Log Pearson Tipe III
S = Standar deviasi
b. Periode ulang hujan
Periode ulang hujan adalah periode (tahun) dimana suatu hujan dengan tinggi
intensitas yang sama kemungkinan bisa terjadi lagi. Penentuan periode ulang
disesuaikan dengan pertimbangan perkiraan umur suatu tambang.
c. Hujan rencana
Hujan rencana adalah hujan maksimum yang mungkin terjadi selama umur dari
sarana penirisan tersebut. Hujan rencana ini ditentukan dari hasil analisa
frekuensi data curah hujan, dan dinyatakan dalam curah hujan dengan periode
ulang tertentu.
d. Intensitas curah hujan
Penentuan intensitas hujan dihitung dengan menggunakan persamaan
Mononobe yaitu:

R24 24 2/3
I= ( ) ……………… ………………..……………..(5)
24 Tc
(Sanusi, 2016)

Dimana:

I = Intensitas curah hujan yang dipengaruhi oleh waktu konsentrasi (mm)


R24 = Curah hujan rencana perhari ( 24 jam)
Tc = Waktu konsentrasi (tc = 1 jam)
e. Daerah tangkapan hujan
Penentuan luas daerah tangkapan hujan berdasarkan peta topografi daerah
yang akan diteliti dengan menampilkan arah aliran air menggunakan software
Surfer kemudian di eksport ke AutoCAD. Setelah itu, dibentuk poligon tertutup
sesuai dengan kecenderungan arah gerak air yang nampak pada daerah
penelitian dan dihitung luasnya.
f. Debit air limpasan (run-off)
Menurut Lestari (2016) limpasan permukaan adalah banyaknya aliran air atau
genangan yang terjadi di permukaan pada saat hujan dan pada waktu tertentu.
Penentuan besarnya debit air limpasan maksimum ditentukan dengan
menggunakan rumus Rasional yaitu:
Q = 0,278 x C x I x A ....…...………..…………………......(6)

Dimana:
Q = Debit air limpasan m3/detik
C = Koefisien limpasan tanpa satuan
A = Luas daerah tangkapan hujan (km2)

Koefisien limpasan merupakan bilangan yang menunjukkan perbandingan


besarnya limpasan permukaan dengan intensitas curah hujan yang terjadi pada
daerah tangkapan hujan. Koefisien limpasan tiap-tiap daerah berbeda, dapat dilihat
pada tabel 1.

Tabel 1 Koefisien Limpasan


Kemiringan Kegunaan Lahan Koefisien Limpasan
 Sawah, Rawa 0,2
< 3%  Hutan, Perkebunan 0,3
 Perumahan dengan Kebun 0,4
3% - 5%  Hutan, Perkebunan 0,4
 Perumahan 0,5
 Tumbuhan yang Jarang 0,6
 Tanpa Tumbuhan, Daerah Penumbuhan 0,7
 Hutan 0,6
>15%  Perumahan, Kebun 0,7
 Tumbuhan yang Jarang 0,8
 Tanpa Tumbuhan, Daerah Tambang 0,9

Curah Hujan Rencana di daerah Pomalaa dapat diketahui dengan menggunakan


data curah hujan harian selama beberapa tahun terakhir. Data curah hujan harian
yang digunakan diperoleh dari Badan Metorologi dan Geofisika Kecamatan
Pomalaa yang merupakan data curah hujan harian selama 18 tahun terakhir (2001 –
2018).
Data Curah hujan yang diperoleh terlebih dahulu dianalisis untuk
mendapatkan data curah hujan maksimum. Penentuan data curah hujan maksimum
menggunakan metode partial duration series. Hasil analisis diperoleh data curah
hujan harian maksimum selama 18 tahun terakhir ditunjukan pada tabel 2.
Tabel 2. Data Curah Hujan Harian Maksimum Daerah Pomalaa
BULAN
TAHUN Rmax
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES
2001 37 35 19 95 50 22 7,5 32 18 35,2 37,9 40,3 95
2002 40,4 80,2 47,8 50,2 96,6 35,4 20 0,1 22,6 14 46,2 88,7 96,6
2003 125 39,8 67,9 26,2 100 40,6 64 34,6 23,9 28,5 82,2 57,1 124,7
2004 16,5 29,4 34,8 73,1 38,6 10,9 8,7 0 4,8 7,5 39,5 38 73,1
2005 52,2 37,2 69,1 107,7 49,6 55,3 89,7 30 1,4 71,6 27,5 66 107,7
2006 41 52 34,7 36,3 108 82,3 7,3 14 9 0,1 51,1 16,9 107,6
2007 54,1 67,9 99,9 48,7 58,2 32,9 24,2 14,4 11,2 28 54,2 48,3 99,9
2008 45,7 15,9 45,5 51,4 24,8 48,7 25,5 30,8 51,4 63,6 74,3 22,8 74,3
2009 35 33 44,2 44,9 38,8 17,8 51,8 11,8 1,1 31,3 62,5 45,2 62,5
2010 25,7 96,6 96,7 112,1 44,3 36,1 104 55 134 98,8 163 48,3 162,7
2011 39 34 67 22 51 39 48 6 73 27 42 34 73
2012 39 43 86 40 111 16 64 5 24 29 22 33 111
2013 71,2 34 40,3 146,5 57,1 38,4 112 12,3 12,2 13,3 58,9 64 146,5
2014 21,6 58,9 85,5 47,5 33,5 71,8 19,7 7,7 0 2,4 26,7 49,8 85,5
2015 36,5 58,6 50,8 95,3 59,1 30,6 12,1 3,7 17,1 13,4 12,4 48,3 95,3
2016 78,9 52,3 67,6 66,5 67,1 62,9 59,2 25,6 38,6 22,6 68,8 130 130
2017 94,7 130 43,6 47,1 41,8 71,9 51,7 23,6 33 46,5 54,3 62 94,7
2018 40,1 72,5 59,2 30,3 30,8 50,5 75 9,1 33 32,2 45,7 47,4 72,5

Curah Hujan Rencana


Curah hujan rencana didasarkan pada data-data curah hujan harian
tertinggi yang terjadi pada daerah pengamatan selama periode 18 tahun, dimana
dilakukan pendekatan dengan metode statistik dan distribusi Log Person Type III.
Berdasarkan perhitungan dengan asumsi umur tambang 5 (lima) tahun, maka
periode ulang yang digunakan 5 (lima) tahun menunjukan curah hujan rencama
adalah 121,03 mm/hari. Untuk lebih jelasnya hasil perhitungan curah hujan rencana
dengan berbaga periode ulang dapat dilihat pada tabel 3. berikut.

Tabel 3. Curah Hujan Rencana menggunakan Distribusi Log Person Type III
Periode
K Log X + k(S) CHR (mm)
Ulang
2 -0,03369357 1,985105009 96,62844898
5 0,830714411 2,08290475 121,0332653
10 1,301326387 2,136150128 136,8201706
25 1,819264751 2,194750047 156,5849604
50 2,161121518 2,233427967 171,1701248
100 2,474937486 2,268933332 185,7519287

Intesitas Curah Hujan


Intesitas curah hujan adalah perbandingan antara kenaikan limpasan air
hujan terhadap lamanya waktu kejadian pada suatu daerah. Intesitas curah hujan
berpengaruh besar terhadap model kolam pengendapan (settling pond) pada
lokasi tambang. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan persamaan
mononobe diperoleh intesitas curah hujan untuk periode uang 5 (lima) tahun
sebesar 41,96 mm/jam.
Tabel 4. Intesitas Curah Hujan
Periode
CHR (mm) I (mm/jam)
Ulang
2 96,62844898 33,50276119
5 121,0332653 41,96433478
10 136,8201706 47,437929
25 156,5849604 54,29072483
50 171,1701248 59,34765461
100 185,7519287 64,40341923

Debit Air Limpasan


Debit air limpasan dihasilkan oleh Intesitas curah hujan rencana dalam
suatu daerah tangkapan hujan yang akan masuk pada sarana penyaliran tambang.
Untuk luas tangkapan hujan diasumsikan 1 (satu) ha dengan tujuan agar
memperoleh debit air limpasan pada setiap ha. Koefisien limpasan yang digunakan
yaitu 0,9 dengan pertimbangan permukaan daerah penelitian tanpa tumbuhan atau
daerah tambang. Hasil perhitungan dengan rumus Rasional diperoleh debit air
limpasan sebesar 0,105 m3/detik. Artinya jika bukaan lahan untuk kegiatan
penambangan 2 hektar maka diperoleh 2 x 0,105 m3/detik = 0,21 m3/detik. Hal ini
menunjukan semakin besar luas bukaan lahan maka semakan besar debit limpasan
yang dihasilkan.

2. Perencanaan Kapasitas dan Dimensi IPAL


IPAL yang disiapkan untuk pengolahan air limbah tambang terbuka harus
dibuat dengan kapasitas yang cukup atau sesuai dengan prediksi volume air limbah
yang akan diolah. Perhitungan dimensi IPAL selain disesuaikan dengan debit air
limpasan, parameter lain yang berpengaruh diantaranya:
a. Kecepatan pengendapan
Pengendapan partikel diskret yaitu partikel yang dapat mengendap bebas
secara individual tanpa membutuhkan adanya interaksi antar partikel.
Kecepatan pengendapan dihitung sesuai dengan ukuran diameter sedimen
yang terdapat di dalam air (Tabel 3). Pengendapan partikel diskret untuk aliran
laminer dapat dianalisis menggunakan persamaan Hukum Stoke berikut:
g x D2 (ρs-ρα)
V= 18μ
……….…………………………………..(7)
(Rahmat A, 2018)
Bilangan Reynold dapat dihitung menggunakan persamaan:

ρ.d.Vs
NRe = ..…..………………………………………(8)
μ

Dimana:
V = Kecepatan pengendapan partikel (m/detik)
g = Percepatan gravitasi (m/detik2)
s = Berat jenis partikel padatan (kg/m3)
α = Berat jenis air (kg/m3)
 = Kekentalan dinamik air (kg/m detik)
d = Diameter partikel padatan (m)
Jenis aliran air di dalam kolam tergantung pada nilai Bilangan Reynold dan
koefisien tekanan (CD), dimana:
24
 Bila NRe < 1 (laminer), CD =
NRe
24 3 18,5
 Bila NRe = 1 – 104 (transisi), CD = + +0,34 atau CD =
NRe NRe 0,5 NRe 0,6

 Bila NRe > 104 (turbulen), CD = 0,34 - 0,4

Tabel 55. Pembagian Kelas Sedimen


Kelas Ukuran (mm)

2000 – 4000
Batu sangat besar
1000 – 2000
Besar
500 – 1000
Sedang
250 – 500
Kecil
Kerakal besar 130 – 250
Kecil 64 – 130
Kerikil sangat kasar 32 – 64
Kasar 16 – 32
Sedang 8 –16
Halus 4–8
Sangat halus 2–4

Pasir sangat kasar 1–2


Kasar 0,5 – 1
Sedang 0,25 - 0,5
Halus 0,125 - 0,25
Sangat halus 0,062 – 0,125
Debu kasar 0,031 - 0,062
Sedang 0,016 - 0,031
Halus 0,008 - 0,016
Sangat halus 0,004 – 0,008
Liat kasar 0,0020 - 0,0040
Sedang 0,0010 - 0,0020
Halus 0,0005 - 0,0010
Sangat halus 0,00024 - 0,0005
b. Kecepatan aliran dan waktu tinggal
Laju limpahan sangat mempengaruhi waktu tinggal padatan tersuspensi di
dalam settling pond dimana semakin cepat laju limpahan maka semakin sedikit
waktu tinggal dari padatan tersuspensi dan sebaliknya semakin lama laju
limpahan maka semakin lama pula waktu tinggal dari padatan tersuspensi. Laju
limpahan atau kecepatan air di dalam settling pond, dihitung dengan
menggunakan rumus:

Qtotal
Vh= A
.…………………………………….………(9)
(Aziz S, 2018)

Waktu tinggal atau waktu yang dibutuhkan partikel untuk keluar dari kolam
pengendapan dengan kecepatan Vh adalah:
P
th= …………..…….……………………………(10)
Vh
(Aziz S, 2018)

Dimana:
P = Panjang kolam pengendapan (m)
th = Waktu tinggal partikel (detik)

Waktu yang dibutuhkan oleh partikel untuk mengendap dengan kecepatan vt


(m/s) sejauh h (m) dapat dicari menggunakan Persamaan.

tv= Vt …………..…….……………………………(10)
(Aziz S, 2018)

Dimana:
tv = Waktu pengendapan partikel (detik)
h = Kedalaman kolam (m)
Vt = Kecepatan pengendapan partikel (detik)
c. Dimensi settling pond
Dimensi settling pond yang dihitung berdasarkan debit air limpasan dengan
tujuan untuk menangani padatan tersuspensi yang berukuran 0,001 mm (kelas
liat) dengan asusmsi bahwa padatan tersuspensi yang berukuran lebih besar
dari 0,001 mm akan terendapkan dengan baik.
Setling pond merupakan kolam yang pengolahannya berfungsi
mengendapkan material sedimen. Kolam ini terletak di dekat kolam
pengendapan. Air yang dialirkan ke kolam pengendapan terlebih dahulu masuk
ke dalam kolam sedimen untuk mengendapkan sedimen yang ikut terbawa.

Gambar 2. Dimensi Setling Pond (Tandiarang, 2016)


Kapasitas Kolam Pengendapan (Settling Pond)
Debit air limpasan sebesar 0,105 m3/detik digunakan untuk menghitung
kapasitas dari kolam pengendapan. Hasil perhitungan menunjukan kapasitas kolam
pengendapan dengan asumsi luas tangkapan hujan 1 (satu) ha diperoleh 377,98 m 3.
Untuk kedalaman kolam 3 (tiga) meter dan lebar kolam 10 (sepuluh) meter diperoleh
panjang kolam 13 (tiga belas) meter.

Kecepatan Pengendapan (V)


Kecepatan pengendapan sangat berpengaruh pada model kolam
pengendapan (settling pond) dimana untuk mengendapkan padatan tersuspensi
dengan ukuran sedimen tertentu maka dibutuhkan waktu pengendapan (ts) agar
sedimen dapat terendapkan dengan baik.
Kecepatan pengendapan dihitung dengan 3 (tiga) ukuran kelas sedimen.
Berdasarkan hasil perhitungan kecepatan pengendapan untuk 3 ukuran padatan
tersuspensi yaitu Pasir (0,062 mm), debu (0,004) dan liat (0,001). Hasil perhitungan
dengan menggunakan Hukum Stoke menunjukan bahwa pasir memiliki kecepatan
pengendapan 0,014 m/detik, debu 0,007 m/detik dan liat memiliki kecepatan
pengendapan 0,0002 m/detik (Gambar 2).

Gambar 3. Grafik Hubungan Ukuran Sedimen dengan Kecepatan Pegendapan

Grafik di atas menunjukan bahwa semakin kecil ukuran sedimen maka


semakin kecil kecepatan pengendapannya dan semakin besar ukuran sedimen
semakin besar kecepatan pengendapannya.
Kecepatan Aliran (Vh)
Kecepatan aliran sangan mempengaruhi waktu tinggal padatan tersuspensi
di dalam settling pond dimana semakin cepat kecepatan aliran maka semakin
sedikit waktu tinggal dari padatan tersuspensi dan sebaliknya semakin lama
kecepatan aliran maka semakin lama pula waktu tinggal dari padatan tersuspensi.
Kecepatan aliran dalam kolam pengendapan (settling pond) adalah 0,0035 m/detik.
Dimana lebar kolam pengendapan 10 (sepuluh) meter dan kedalaman 3 (tiga)
meter.

Waktu Tinggal (th) dan Waktu Pengendapan (tv)


Waktu tinggal adalah waktu yang dibutuhkan sedimen dalam air dari zona
masukan hingga mencapain zona keluaran. Berdasarkan hasil perhitungan waktu
tinggal sedimen dalam kolam pengendapan adalah 61,91 menit. Sedangkan waktu
pengendapan untuk ukuran pasir selama 3,54 menit, debu selama 6,83 menit dan
liat selama 250 menit (Gambar 3).

Gambar 4. Grafik Hubungan Kecepatan Pengendapan dengan Waktu


Pengendapan

Grafik di atas menunjukan bahwa semakin kecil kecepatan pengendapan


maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengendap dan semakin besar
kecepatan pengendapannya semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk
mengendap. Hasil perhitungan menunjukan bahwa ukuran sedimen dengan kelas
pasir dan debu dapat terendapkan dengan baik karena memiliki waktu tinggal (61,91
menit) > waktu pengendapan (3,54 dan 6,83 menit). Sedangkan untuk kelas
sedimen berukuran liat tidak terendapkan dengan baik karena memiliki waktu
tinggal (61,91 menit) < waktu pengendapan (250 menit).
Model Kolam Pengendapan (Settling Pond)
Model kolam pengendapan yang mengacu pada Baku Mutu Lingkungan
yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 09 Tahun 2006
dimana kandungan total padatan tersuspensi untuk kegiatan penambangan (TSS)
200 mg/l. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada tambang terbuka minimal
memiliki sediment trap atau kolam untuk menagkap sedimen dan Safety Pond atau
kolam kontrol. Hasil hitungan kapasitas kolam pengendapan di atas menunjukan
sudah layak secara teknis, namun belum dapat mengendapkan sedimen berukuran
liat dengan baik. Olehnya itu perlu dibuat kolam pengaman (safety pond) yang
merupakan bagian dari kolam pengendapan dengan tujuan agar padatan
tersuspensi dapat terendapkan dengan baik. Untuk lebih jelasnya model rencana
kolam pengendapan (Settling pond) dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 5. Model Rencana Kolam Pengendapan (Settling Pond)


Dimensi kolam pengendapan yang direkomendasikan:
Lebar Kolam (l) = 10 meter
Panjang Kolam (p) = 13 meter + (2x lp) + p kolam pengaman
= 13 + 8 + 6
= 27 m
Lebar Penyekat (lp) = 4 meter
Kedalaman Kolam (d) = 3 meter
Tinggi Jagaan (t) = 0,5 meter
Lebar Bukaan Penyekat (c) = 1,5 meter
Kedalaman Bukaan Penyekat (dp) = 1 meter
Volume = 10 x 19 x 3 = 570 m3

Simpulan

Hasil analisis menunjuka:


1. Debit air limpasan daerah Pomalaa dengan umur tambang 5 (lima) tahun
adalah sebesar 0,105 m3/detik untuk bukaan lahan setiap hektarnya.
2. Hasil perhitungan dengan menggunakan Hukum Stoke diperoleh kecepatan
pengendapan 0,14 m/detik untuk ukuran pasir, untuk ukuran debu 0,007
m/detik dan 0,0002 m/detik untuk ukuran liat sedangkan kecepatan aliran yang
diperoleh sebesar 0,0035 m/detik.
3. Volume atau kapasitas kolam pengendapan (settling pond) berdasarkan hasil
hitungan adalah 377,98 m3. Namun, untuk mengendapkan padatan tersuspensi
maka kapasitas kolam pengendapan yang direkomendasikan adalah 570 m3.

Anda mungkin juga menyukai