Anda di halaman 1dari 13

MATERI DAS ASAHAN, KISARAN, SUMATERA UTARA

Ada 4 prinsip antara lain : Lahan, air, vegetasi, manusia (sosial-ekonomi)

1. Pendahuluan
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan wilayah yang dibatasi oleh topografi dimana air
yang berada di wilayah tersebut akan mengalir ke outlet sungai utama hingga ke hilir.
Sandy (1996) mendefinisikan DAS sebagai bagian dari muka bumi yang yang airnya
mengalir ke dalam sungai yang bersangkutan apabila hujan jatuh.
DAS memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan. Karena dalam DAS
terdapat suatu sistem yang berjalan dan terdiri dari berbagai komponen. DAS dapat dibagi
menjadi tiga bagian menurut pengelolaannya. Yaitu DAS bagian hulu, tengah, dan hilir.
Penggunaan tanah sebagai pencerminan aktivitas penduduk akan memengaruhi kondisi di
suatu DAS sehingga bisa berpengaruh terhadap kualitas serta kuantitas air sungai yang
ada.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah upaya manusia dalam mengendalikan
hubungan timbal-balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala
aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan
kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS, yang
merupakan bagian dari pembangunan wilayah, sampai saat ini menghadapi berbagai masalah yang
kompleks dan saling terkait.

Permasalahan pengelolaan DAS yang dicerminkan oleh penurunan kualitas DAS


(meningkatnya erosi dan sedimentasi, meningkatnya frekuensi dan besaran banjir serta menurunnya
ketersediaan air) bersumber dari berbagai permasalahan inti yang diantaranya disebabkan karena
kegiatan pengelolaan DAS belum berorientasi kepada kepentingan masyarakat publik dan
pengelolaan DAS belum dilakukan secara terpadu.

2. Gambaran umum DAS Asahan Sumatera Utara


Sungai asahan merupakan sungai yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Sungai ini
merupakan sungai yang berhulu di Danau Toba dan mengalirkan sungainya hingga ke Selat Malaka.
DAS Asahan dengan luas 353.770,34 ha merupakan DAS dengan level regional karena melintasi
kabupaten dan kota di wilayah Sumatera Utara yaitu Kabupaten Asahan, Toba Samosir, Simalungun
dan Kota Tanjung Balai. SWP DAS Asahan Toba secara geografis terletak pada 98o 26’27” – 99o
58’55” BT dan 2o 10’48” – 2o 11’51” LU. Titik ketinggian tertinggi di DAS Asahan yaitu Gunung Dolok
Sibutan dengan tinggi 2.457 mdpl sedangkan yang terendah terdapat di Tanjung Jumpul dengan
ketinggian 0 mdpl. Di bagian hilir sungai, kejadian banjir kerap kali terjadi karena meluapnya air
Sungai Asahan.

Kabupaten yang terdapat di daerah hulu DAS Asahan yaitu Kabupaten Toba Samosir dan Simalungun
sedangkan yang berada di bagian hilir yaitu Kabupaten Asahan dan Tanjung Balai.
1. Kondisi dan Penggunaan DAS Asahan
Secara geografis, badan air yang berupa Danau Toba berada di hulu DAS Asahan yang
sekaligus menjadi sumber air Sungai Asahan. Di tengah badan air terdapat Pulau Samosir yang
menjadi pusat permukiman serta dimanfaatkan untuk perkebunan dan pertanian tanah kering. Di
bagian tengah penggunaan tanah berupa sebagian hutan dan juga perkebunan. Di bagian hilir,
karena merupakan daerah datar dimanfaatkan untuk lahan pertanian sawah.

Bagian tengah dan hilir DAS Asahan banyak digunakan untuk perkebunan dan persawahan,
karenakan Di sekeliling Toba banyak ditemukan abu vulkanik (tuf) hasil dari muntahan Toba. Cirinya
yaitu berstruktur pasir dan mudah lepas. Tak heran jika di sekeliling Toba merupakan lahan yang
subur dan banyak ditumbuhi oleh tumbuhan. Pulau Samosir yang terletak di tengah Danau Toba
merupakan batuan sedimen yang bertekstur pasir yang terkonsolidasi dan terdapat batu kerikil.

Biasanya kegiatan utama ekonomi di hulu yaitu dominasinya di kegiatan pertanian sedangkan di
bagian hilirnya adalah kegiatan industri. Namun, di DAS Asahan ini cukup menarik dimana
Kabupaten Toba Samosir yang berada di hulu sektor dominannya yaitu kegiatan industri. Kabupaten
lainnya yang berada di daerah hulu yaitu Kabupaten Simalungun. Berbeda dengan Kabupaten Toba
Samosir yang memiliki sektor dominan industri, kabupaten Simalungun sektor dominannya yaitu
sektor pertanian. Di bagian hilir, sektor dominannya terbagi menajdi dua yaitu sektor dominan
industri di Kabupaten Asahan dan sektor dominan pertanian di Kabupaten Tanjung Balai.

1. Iklim

Kondisi iklim di SWP DAS Asahan Toba cukup bervariasi sehingga masingmasing kabupaten
mempunyai tipe iklim yang berbeda-beda. Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman (1972), tipe iklim
masing-masing kabupaten disajikan pada Tabel
2. keadaaan vegetasi
Keadaan liputan lahan di SWP DAS Asahan Toba didominasi oleh perkebunan, pertanian lahan
kering, pertanian lahan kering campur semak, hutan dataran tinggi dan danau. Tingkat kerusakan
lahan/kekritisan lahan wilayah SWP DAS Asahan Toba diklasifikasikan menjadi 5 (lima) kelas (Tabel
8), yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis. Berdasarkan hasil penyusunan
data spatial lahan kritis SWP DAS Asahan Barumun tahun 2005, wilayah SWP DAS Asahan Toba
didominasi agak kritis dengan 50,82 %.

2. Keadaan sosial dan ekonomi


1. Kependudukan
Penduduk yang berada di SWP DAS Asahan Toba sebanyak 1.273.670 jiwa, konsentrasi yang tinggi
berada di Kabupaten Asahan sebanyak 676.605 jiwa atau (53.13 %), dan sisanya sebanyak 597.065
jiwa (46,87%) tersebar di Kabupaten lainnya
3. Masalah pada DAS asahan

1. Hidrologi
a. Fluktuasi Debit Air Sungai

Fluktuasi debit aliran sungai di wilayah DAS Asahan selama kurun waktu 7 (tujuh) tahun 1991-1997
diperoleh dari data debit aliran sungai maksimum harian (Q Max) dan debit aliran sungai minimum
harian (Q Min) yang tercatat pada Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) Polu Raja, Kabupaten
Asahan. Perbandingan Q max dan Q min (atau disebut juga Koefisien Rejim Sungai /KRS) menjadi
salah satu indikator kondisi hidrologis suatu DAS. Nilai KRS 50 maka suatu DAS tergolong buruk
secara hidrologi atau telah mengalami kerusakan. Berdasarkan hasil pengamatan arus sungai Polu
Raja Kabupaten Asahan sejak tahun 1991 sampai dengan 1997, kondisi KRS DAS Asahan termasuk
baik karena berada di bawah 30.

Q max tertinggi terjadi pada tahun 1991 adalah sebesar 462 m3 /detik dan Q min sebesar 76,00
m3 /detik. Q max terendah terjadi pada tanggal 10 Mei 1996 yaitu sebesar 189 m3 /detik sedangkan
Q min dicapai pada tanggal 4 Desember 1996 yaitu hanya sebesar 55,30 m3 /detik. Kondisi KRS DAS
Asahan selama 7 (tujuh) tahun terakhir disajikan pada Tabel 26 dan data debit aliran rerata bulanan
dari tahun 1991 – 1997.
b. Debit Banjir
Banjir terjadi apabila badan sungai tidak sanggup lagi menampung aliran air yang ada. Pada
sungai-sungai besar pada wilayah DAS banjir luapan sering terjadi pada saat aliran air mencapai
kondisi maksimum di musim penghujan. Kejadian banjir yang semakin tinggi (besaran dan frekuensi)
di wilayah hilir DAS Asahan Toba terjadi sebagai akibat menurunnya kemampuan tanah dalam
meresapkan air sehingga sebagian besar air hujan akan segera berubah menjadi aliran permukaan.
Semakin intensifnya pembukaan dan penggarapan lahan maka debit banjir tersebut akan semakin
besar.

c. Ketersediaan Air

Sebagai akibat fluktuasi debit aliran yang cukup tinggi dan menurunnya jumlah air yang diresapkan
kedalam tanah, ketersediaan air di DAS Asahan Toba sangat melimpah pada periode musim hujan
dan sangat terbatas (kekurangan air) pada musim kemarau. Selain itu juga kualitas air menjadi
semakin menurun (khususnya di Danau Toba) sebagai akibat aktifitas manusia, seperti: pembukaan
hutan dan lahan serta kegiatan pabrik yang belum memperhatikan konservasi sumberdaya air (in
situ dan ex situ). Kekurangan air dapat dirasakan pada musim kemarau yang ditandai dengan
keringnya sumur-sumur milik masyarakat dan kurangnya air untuk pengairan sawah. Berkaitan
dengan hal tersebut maka perlu penanganan melalui kegiatan rehabilitasi dan konservasi tanah yang
diharapkan akan dapat memperbaiki kondisi lingkungan, terutama ketersediaan air untuk kehidupan
masyarakat umum.
2. Kondisi Lahan
a. Erosi dan sedimentasi
Erosi adalah proses pengangkutan dan terangkutnya partikel tanah dari suatu tempat ke tempat lain
oleh air. Erosi mengakibatkan hilangnya lapisan permukaan tanah yang subur, sehingga erosi tanah
akan mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tanah (tanah marginal, tanah kritis) yang pada
gilirannya akan menurunkan produktifitas lahan pendapatan petani.

Secara umum laju erosi di wilayah DAS Asahan adalah sebesar 104,33 ton/ha/tahun dengan total
jumlah erosi sebesar 38.443.615,34 ton/tahun. Apabila berat jenis tanah rata-rata 1,30 ton/m3 maka
laju erosi tersebut setara dengan 29.572.011,80 m 3 /tahun atau rata-rata 80,26 m3 /ha/tahun
(Tabel 28). Dari tabel tersebut, nampak bahwa Sub DAS Asahan Hulu memiliki laju erosi ratarata
tahunan tertinggi, yaitu sebesar 240,67 ton/ha/tahun atau setara dengan 18,51 mm tanah hilang per
tahun. Sementara itu Sub DAS Kepayang memiliki laju erosi rata-rata paling rendah, yaitu sebesar
9,32 ton/ha/tahun atau setara dengan 0,72 mm tanah hilang per tahunnya.

B. tingkat bahaya erosi

Tingkat bahaya erosi menunjukkan ancaman erosi terhadap kelestarian sumberdaya lahan dan
lingkungan, sehingga semakin berat tingkat bahaya erosi maka ancamannya menjadi semakin besar.
Dengan kata lain pada tingkat bahaya erosi yang berat maka erosi tanah merupakan faktor penyebab
utama degradai sumberdaya lahan dan lingkungan (on site dan off site). Tingkat bahaya erosi di
wilayah DAS Asahan bervariasi dari sangat ringan hingga sangat berat. Adapun variasi dari tingkat
bahaya erosinya adalah Sangat Ringan (SR) seluas 47.230.44 ha (13,35%), Ringan (R) seluas
153.800,73 Ha (43,47%), Sedang (S) seluas 45.007,98 Ha (12,72%), Berat (B) seluas 59.672,51 ha
(16,87%) dan Sangat Berat (SB) seluas 48.058,68 (13,58%). Keadaan tingkat bahaya erosi di wilayah
DAS Asahan disajikan pada Tabel 30 dan klasifikasinya pada Tabel 31. Tabel 30 tersebut
menunjukkan bahwa DAS Asahan memiliki lahan dengan TBE Sedang, Berat dan Sangat Berat adalah
152.739,17 Ha atau 43,17% dari luas wilayah. Sementara keberadaan lahan sebagai media produksi
sangat diperlukan di wilayah ini, karena masyarakatnya memiliki struktur agraris
2. Kondisi sosial dan ekonomi
a. Tekanan Penduduk (TP)

Indeks Tekanan Penduduk (ITP) di wilayah DAS Asahan secara keseluruhan adalah sebesar 0,97 :
artinya daya dukung lahan pertanian masih dapat menampung kehidupan masyarakat di wilayah
tersebut.

Apabila indeks TP melebihi angka 1,0 luas dan produktifitas lahan tak mampu lagi mendukung
jumlah penduduk yang ada pada wilayah tersebut. Dengan demikian, jika nilai TP > 1 maka
diupayakan berbagai keseimbangan, antara lain perlu menumbuhkan lapangan kerja seperti : Home
industry dan meningkatkan produktifitas lahan semusim (intensifikasi).

b. Ketergantungan Penduduk Terhadap Mata Pencaharian (LQ)

Penduduk wilayah DAS Asahan masih tergantung kepada sektor pertanian. Hal ini
ditunjukkan oleh angka ketergantungan (LQ) paling tinggi pada sektor pertanian yaitu 0,99. Keadaan
ketergantungan penduduk terhadap mata pencaharian (LQ) pertanian di wilayah DAS Asahan
disajikan pada Tabel 35. Dari Tabel 35 dapat pula diketahui bahwa mata pencaharian penduduk
selain didominasi oleh petani dan buruh tani, diikuti kemudian oleh buruh, pedagang, dan pegawai
pemerintah

C. Pusat Pertumbuhan Wilayah (T)

Pusat pertumbuhan wilayah ini dilihat berdasarkan kondisi dan panjang lahan, jumlah
kendaraan, pasar, koperasi dan bank yang ada. Karena dekat dengan Ibukota Propinsi dan jauh dari
Ibukota Kabupaten masing-masing, maka pusat pertumbuhan wilayah di DAS Asahan tertumpu pada
Kota Medan sebagai Ibukota Propinsi yang berada di luar wilayah DAS. Sarana transportasi berupa
jalan aspal di wilayah ini sudah menjangkau desadesa terpencil. Masih banyak jalan yang berupa
jalan buntu dan jalan tanah. Nilai tambah dari wilayah ini adalah dekat dengan pusat kota propinsi
dan dilewati oleh jalan lintas (jalan negara) serta adanya pelabuhan samudera sehingga
mempermudah pemasaran hasil bumi.

KAJIAN MASALAH DAS ASAHAN

1.) Curah hujan di Sub DAS di wilayah Asahan tergolong cukup tinggi dimana hujan tahunannya
ratarata 2.347 mm/tahun. Kondisi curah hujan yang tinggi sangat mempengaruhi tipe iklimnya,
dimana menurut klasifikasi iklim menurut Oldeman (1972) sebagian besar wilayah DAS Asahan
memiliki tipe iklim A.

2.) Curah hujan yang sangat tinggi (2.347 mm/tahun) dan terdistribusi sepanjang tahun (tipe iklim A)
menunjukan bahwa curah hujan merupakan salah satu ancaman potensial dalam mempercepat
degradasi sumberdaya lahan dan lingkungan.

3..) Erosfitas hujan yang sangat tinggi dapat menyebabkan erosi yang sangat tinggi pada wilayah
lahan terbuka baik akibat kegiatan perladangan maupun pembukaan hutan dan lahan untuk
perkebunan dan hutanan tanaman industri (khususnya pada fase awal pembukaan lahan).

4.) Kondisi tanah dan batuan juga sangat berpengaruh terhadap jumlah aliran permukaan yang
dihasilkan, pola aliran yang terbentuk, dan kerapatan drainase. Karena memiliki material batuan
yang relatif homogen, terbentuk dari batuan sedimen dengan kondisi topografi bergelombang-
berbukit, DAS Asahan bagian hulu dan Sub DAS lainnya mempunyai pola drainase dendritik. Namun
karena sebagian daerah ini juga merupakan daerah bentukan lipatan dengan bentuk berombak-
bergelombang, maka sebagian pola alirannya juga dikontrol oleh kelurusan (paralel). Hal ini dapat
dilihat dari pola aliran sungai utamanya (Sungai Asahan dan Sungai Silau) yang cenderung mengikuti
garis lurus ke arah Timur Laut. Sungai Asahan dan Sungai Silau terutama di bagian hulu secara umum
memiliki tingkat kerapatan sungai yang sedang, namun memiliki nisbah percabangan (bifurfication
ratio) yang tinggi. Ini memberikan konsekwensi kepada fluktuasi muka air sungai yang cepat pada
saat banjir.

5.) Lemahnya Kelembagaan pengelolaan DAS

Koordinasi tampaknya menjadi titik sentral kelemahan dalam pengelolaan DAS yang berakibat pada
perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan DAS secara terpadu tidak pernah berjalan. Koordinasi
yang lemah ini disebabkan oleh permasalahan yang cukup mendasar antara lain karena masih
kentalnya “ego sektoral” yang menyebabkan persepsi, visi, dan misi tentang pengelolaan DAS yang
tidak sama sehingga tidak mampu mensinergikan kepentingan pihak-pihak terkait (stakeholder).

6.) Tata Ruang yang Tidak Konsisten

Permasalahan tidak konsistennya tata ruang wilayah menyebabkan penggunaan lahan seringkali
tidak sesuai atau tidak mengikuti tata ruang yang ada. Sebagai implikasinya dari persoalan tersebut
menyebabkan sering terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Tata ruang yang tidak konsisten
juga menyebabkan perencanaan dalam program rehabilitasi lahan dan penghijauan yang dihasilkan
tidak dapat berjalan dengan baik.

7.) Kurangnya Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah dalam rangka untuk mendapatkan kepastian hukum atas segala aturan
yang telah dibuat dan disepakati bersama. Penegakan hukum yang masih rendah ini dibuktikan
masih besarnya kegiatan illegal logging dan bentuk-bentuk pelanggaran di bidang lingkungan.
Kondisi ini tentunya dapat menyebabkan berbagai pihak dalam masyarakat tidak/kurang mempunyai
dorongan/insentif untuk turut serta menjaga dan memperbaiki lingkungan DAS yang rusak.

8.) Kurangnya Pendekatan Sosial Budaya

Kurangnya pendekatan sosial budaya cukup dirasakan oleh masyarakat dalam perencanaan program
rehabilitasi lahan. Pendekatan program rehabilitasi lahan dan penghijauan bersifat top-down, di
mana aspirasi dari bawah kurang diperhatikan.

9.) Kurangnya Sosialisasi Program

Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan tidak adanya kesamaan persepsi, visi, dan misi program di
antara para pihak yang terkait, perencanaan yang tidak padu/selaras dan kurangnya bahkan tidak
adanya pemahaman manfaat pada tingkat masyarakat tentang kegiatan rehabilitasi lahan dan
penghijauan.

10.) Sumberdaya Manusia

Kualitas sumberdaya manusia baik aparat maupun masyarakat sangat memegang peranan yang
sangat penting dalam setiap kegiatan pembangunan, karena faktor ini sangat menentukan kualitas
setiap kegiatan seperti perencanaan, koordinasi, dan pengawasan serta rendahnya kesadaran akan
manfaat hutan di DAS yang rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini pun dapat
menyebabkan permasalahan yang lainnya muncul.
11.) Kurangnya Pertimbangan Ekonomi

Beberapa pertimbangan ekonomi yang perlu diperhatikan antara lain pemilihan jenis tanaman
komersial dan disukai masyarakat, diversifikasi usaha, dukungan pasar untuk produk/hasil kegiatan
penghijauan melalui penyediaan atau perbaikan infrastruktur pasar dan stabilisasi harga.

RENCANA STRATEGI DAN PENGELOLAAN DAS ASAHAN

1. Pembangunan mampu memberikan produktivitas yang tinggi dan pendapatan yang layak bagi
seluruh stakeholders serta mampu meminimalkan eksternali-tas negatif yang ditimbulkannya.

2. Pembangunan mampu menjamin kelestarian DAS, yaitu dapat menjamin fungsi DAS secara baik,
dapat menyimpan air dan memberikan hasil air yang cukup untuk seluruh keperluan yang merata
sepenajang tahun dengan kualitas yang baik (erosi-sedimentasi rendah, pencemaran kecil, kuantitas
cukup dan kualitas baik).

3. Pembangunan mampu memeratakan pendapatan (equity) sehingga tidak muncul kesenjangan


yang mencolok dalam masyarakat.

4. Pembangunan DAS mampu menjamin kelenturan DAS (resiliency) dimana dampak negatif
perubahan fungsi dalam suatu wilayah dalam DAS akan dapat terimbangi dengan dampak positif
pembangunan dalam wilayah DAS lainnya sehingga secara keseluruhan DAS tersebut tidak
mengalami penurunan kualitas (tidak mengalami kerusakan).

5. Penataan Batas DAS dan Penatagunaan Lahan

Penataan penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kemampuan lahan (land
capability) dengan mempertimbangkan faktor-faktor biofisik setempat (topografi, fisiografi, tanah,
altitude, iklim, keragaman hayati, transportasi)

6. Pemilihan Alternatif Komoditi Pertanian

Pemilihan alternatif komodisti pertanian yang akan dikembangkan (tanaman pangan, perkebunan,
dan kehutanan) didasarkan atas kesesuaian fisik lahan. Beberapa komoditas pertanian unggulan
yang dapat dikembangkan di DAS Asahan Toba diantarnya adalah padi, kacang tanah, karet, kopi,
lada dan kelapa sawit.

7. Pemilihan Agroteknologi Tepat Guna

Agroteknologi tepat guna merupakan agroteknologi yang dapat diterima dan dikembangkan oleh
petani (acceptable dan replicable), berfungsi efektif dalam mengurangi kerusakan lahan dan mampu
menjamin pendapatan dan kesejahteraan petani yang cukup tinggi

8. Pembibitan dan penanaman pohon berbasis masyarakat

Dengan melakukan pelatihan pembuatan persemaian dan pembibitan kepada masyarakat, maka
bibit pohon penghijauan dapat dibeli secara langsung di tingkat masyarakat. Selain dapat menekan
biaya transportasi dan mengurangi stres bibit tanaman kegaiatan tersebut juga sekaligus dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Rehabilitasi diyakini akan lebih berhasil
apabila pelaksana penghijauan (penanaman dan pemeliharaan) dilakukan oleh masyarakat, baik
secara individu, maupun kelompok, pada wilayah domisili masyarakat dimaksud.
9. Penanaman pohon asuh

Donasi oleh pihak tertentu (bisa perorangan ataupun perusahaan/organisasi) dialokasikan kepada
masyarakat sebagai insentif dalam penanaman dan pemeliharaan mengatasnamakan penyandang
dana (donatur). Pohon yang tumbuh dan berkembang akan menjadi pohon kenangan (memorial
trees) bagi pemberi donasi.

10. Pendekatan dari bawah (Bottom up Approach)

Pelibatan masyarakat dilakukan mulai penyusunan perencanaan (masukan terhadap perencanaan),


kegiatan pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. Namun demikian, karena karakteristik dan
inisiatif masyarakat yang ada saat ini belum memungkinkan pelaksanaan pendekatan dari bawah
secara utuh, maka diperlukan tenaga motivator dan fasilitator untuk mengkomunikasikan dan
mensinergikan keinginan masyarakat dan tujuan pengelolaan DAS yang dicanangkan oleh
pemerintah.

11. Peningkatan Pendidikan dan Keterampilan

Peningkatan wawasan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan-
kegiatan penyuluhan dan pelatihan berbasis pengelolaan DAS yang dilakukan oleh tenaga penyuluh
lapangan baik dari sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, sosial kemasyarakatan dan
kelembagaan

12. Pengembangan UKM berbasis DAS

Pengembangan usaha kecil menengah (UKM) berbasis DAS dilakukan melalui pengembangan
pertanian disektor hulu maupun hilir (pengelolaan hasil pertanian) dimana kegiatan pertanian
tersebut tidak menyebabkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan di dalam DAS.
Pengembangan UKM tersebut dapat dilakukan melalui pemberian pinjaman kredit murah (seperti
KUK DAS) maupun memanfaatkan dana CSR perusahan besar yang terdapat dalam DAS Asahan
Toba. Selain menggunakan dana CSR, perusahaan besar tersebut juga dapat berperan sebagai
penyandang dana yang diimplementasikan dalam bentuk desa binaan (UKM binaan).

13. Kelembagaan Pengelolaan DAS

Kelembagaan pengelolaan DAS merupakan wahana penggerak dalam perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS. Kelembagaan tersebut terdiri dari lembaga/instansi
pemerintah yang terkait dan kelembagaan petani dan stakeholder lainnya yang bergerak dalam
kawasan DAS dan memanfaatkan sumberdaya tanah dan air sebagai komponen utama faktor
produksinya. Agar kelembagaan pengelolaan DAS bersifat independen maka keanggotaannya selain
para pihak dari instansi pemerintah juga para pihak yang mewakili masyarakat publik yang terdiri
dari kaun cendekia, tokoh masyarakat dan LSM setempat.

Untuk memperbaiki kualitas fisik DAS Asahan Toba yang telah mengalami penurunan, strategi
pencapaian tujuan pengelolaan DAS berbasis kegiatan RHL dapat diimplementasikan dalam bentuk
kegiatan konservasi tanah dan air dengan menggunakan pendekatan vegetatif, sipil teknis berbasis
lahan dan sipil teknis berbasis alur sungai.

A.) Pendekatan Vegetatif: ; kegiatan konservasi tanah dan air (KTA) yang ditujukan untuk
meningkatkan jumlah air yang tertahan sebagai intersepi, melindungi permukaan tanah dari daya
rusak air hujan dan meningkatkan peresapan air ke dalam tanah melalui penggunaan dan
pengaturan vegetasi sehingga aliran permukaan, erosi dan sedimentasi serta dampak turunan yang
ditimbulkannya menjadi berkurang. Termasuk dalam jenis kegiatan vegetatif diantaranya adalah
penanaman vegetasi tetap secara monokultur dan tumpangsari, tumpang gilir tanaman, penenaman
dalam strip (strip rumput) penghijauan, dan agroforestry (dengan tutupan tajuk ±70-80%). dilakukan
pada lahan-lahan yang masih terbuka, lahan pertanian maupun lahan kehutanan yang kerapatan
vegetasinya masih relatif rendah serta penghijauan lahan sempadan sungai (50 m kanan-kiri sungai).

Pemilihan komoditi pohon penghijauan (pohon hutan, buah-buahan atau perkebunan) selain
berdasarkan pertimbangan kesesuaian dengan faktor biofisik lahan juga harus didasarkan pada
kemampuannya dalam menjamin hasil air yang tinggi.

B.) Pendekatan Sipil Teknis Berbasis Lahan; kegiatan KTA yang ditujukan untuk mengurangi dan
memperlambat aliran permukaan dan erosi pada sistem lahan dengan memberikan kesempatan
yang lebih lama kepada air hujan dan aliran permukaan untuk meresap kedalam tanah (infiltrasi
tertunda). Pengurangan aliran permukaan dan erosi pada sistem lahan dapat dilakukan melalui
penerapan teras (teras gulud, teras bangku, teras kredit) dan pembuatan saluran peresapan biopori
(SPB) pada lahan pertanian, pembuatan embung dan rehabilitasi situ/danau, serta penerapan lubang
resapan biopori dan sumur resapan pada lahan pemukiman dan perkantoran.

C.) Pendekatan Sipil Teknis Berbasis Alur Sungai; kegiatan KTA yang ditujukan untuk
menahan/menampung sebagian air hujan, aliran permukaan dan sedimen pada alur sungai sehingga
sebagian air hujan dapat meresap kedalam tanah dan sebagian sedimen terdeposisikan sehingga
aliran permukaan mengalir dengan kekuatan yang tidak merusak (tidak menyebabkan erosi tebing
sungai; stream bank erosion) dan tidak seluruh sedimen mengalir/terangkut ke wilayah hilir serta
dapat meningkatkan ketersediaan air bagi pemenuhan irigasi tanaman setempat. Kegiatan tersebut
dilakukan dalam bentuk pembuatan gully plug, dam penahan, dan dam pengendali. Selain menahan/
menampung air, kegiatan ini juga dapat memperpanjang waktu tempuh aliran sehingga dapat
menurunkan debit puncak dari suatu sungai sehingga air tidak sampai dalam waktu yang bersamaan
ke tempat di bagian hilir.

Anda mungkin juga menyukai