PENDAHULUAN
Latar Belakang
108.573.300 ha atau 57% dari seluruh tutupan lahan yang ada. Menurut Food and
1993 telah mencapai 2,5 juta ha/tahun, sehingga World Resources Institute (WRI)
Tahun 1997 menyebutkan bahwa Indonesia telah kehilangan hutan alam 72%
(Alikodra dan Syaukani, 2004). Hutan rusak ini tersebar di sejumlah daerah aliran
DAS prioritas yang ditetapkan pemerintah. Sejak Pelita V telah ditetapkan 39 DAS
SK. Menhutbun. No. 284/Kpts-II/1999, yaitu mencapai 472 DAS yang terdiri atas
proritas I, II dan III masing-masing 62, 232 dan 178 DAS (Ditjen. RRL, 1999).
satu di antara 22 DAS super prioritas (Arsyad, 2000). DAS Bila yang luasnya
mencapai 170.727 ha, meliputi tiga kabupaten (Enrekang, Sidenreng Rappang, dan
Wajo) serta sebagai wilayah tangkapan hujan (catchment area) Sungai Bila yang
bermuara di Danau Tempe, dan sebagai sumber air baku Proyek Irigasi Bila untuk
Bila, Buku 1, 1987). Pada tahun anggaran 1985/1986 disusun Pola Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT), dan ditindaklanjuti pada tahun anggaran
Konservasi Tanah (RTL-RLKT) yang meliputi lahan seluas 31.449,50 ha. Program
ini semakin dikembangkan sehingga tahun anggaran 1987/1988 seluruh lahan kritis
tujuan yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya luas
lahan kritis dari 61.792 ha Tahun 1988, menjadi 86.877 ha Tahun 2002 (BP-DAS
Jeneberang-Walanae 2004).
menunjukkan bahwa bahaya erosi di DAS Bila sudah berada pada level sangat
20 Feb. 2007). Hal ini merupakan dampak semakin besarnya erosi yang terjadi
Tekanan penduduk terhadap lahan (TP) dari 0,86 (ringan) Tahun 1987,
1987, menjadi 1,03 Tahun 2004. Di samping itu ada kecenderungan terjadinya
penurunan tingkat pendapatan petani perkapita, yang jika disetarakan dengan nilai
beras adalah 688,70 kg/tahun di Tahun 1987, menjadi 676 kg/tahun di Tahun 1996.
empat faktor pokok beban/tanggung jawab dalam pengelolaan DAS, yaitu: (1)
pengelolaan lahan, (2) pengelolaan air, (3) pengelolaan vegetasi, dan (4)
2001). Rehabilitasi lahan kritis adalah salah satu bagian pengelolaan DAS yang
rehabilitasi lahan kritis DAS Bila dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain: (1) ketidaktepatan teknologi yang diterapkan, (2) keterbatasan dalam hal
Khusus untuk DAS Bila, faktor teknologi pengelolaan lahan kritis sudah
banyak yang diterapkan sejak Pelita II. Demikian pula sudah banyak pakar yang
Demikian juga mengenai pendanaan. Terhitung sejak Pelita II dana yang digunakan
4
sudah cukup besar, namun kendala umum yang dihadapi adalah dari segi
kelembagaan dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila. Ada beberapa aspek
Wajo) tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan baik Pola RLKT maupun
lahan kritis.
4. Tidak ada atau ada program tetapi tidak strategis dalam mendukung fungsi
DAS.
atas dapat dirangkai ilustrasi seperti pada Gambar 1 yang menunjukkan bahwa
dalam kelembagaan terdapat tiga komponen utama yakni: (1) lembaga teknis:
koordinasi).
KEBIJAKAN
LEMBAGA
PENGORGANI-
(Pusat/Daerah) PUSAT PROVINSI
KABUPATEN SASIAN
Badan/Dinas, LSM, UU,PP, Kep- Pola/RTL-
Perda Koord. antar sek-
Unit Usaha, Masy. RLKT
res,Kepment. tor/lintas daerah
&, Individu
KEGIATAN/PENANGANAN
Rebois.& Penghijauan (Pelita II)
Kegiatan RLKT
(1985/1986 - 2001/2002)
mengatur apa yang seharusnya dilakukan dan dalam kondisi bagaimana organisasi,
tidak akan mewujudkan sesuatu tanpa melalui penerapan tiga fungsi manajemen
pengelolaan lahan kritis, antara lain: Pola RLKT, dan RTL-RLKT DAS Bila,
kegagalan program pengelolaan lahan kritis DAS Bila tidak terlepas dari komponen
3. Tidak atau ada program yang telah dirumuskan, tetapi tidak strategis dalam
4. Ada kegiatan yang dilaksanakan, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan dan
berikut:
3. Penerapan fungsi manajemen dalam rehabilitasi lahan kritis DAS Bila sangat
DAS?
8
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
dan masyarakat, serta sebagai upaya meredam konflik antar sektor dalam
4. Sebagai acuan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam menetapkan program
strategis dan kegiatan prioritas dalam pengelolaan lahan kritis di masa yang
akan datang.