Anda di halaman 1dari 167

LAPORAN

STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH


PROVINSI SULAWESI BARAT
TAHUN 2015

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT


STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) 2015
@2015 Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat

Diterbitkan Oleh :
Bidang Penaatan dan Komunikasi Lingkungan
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat
Komp. Perkantoran Gubernur Sulawesi Barat Wings 6 Lt. 2,
Jl. Abd. Malik Pattana Endeng, Rangas-Mamuju, Sulbar
Telp./Fax : 0426 2325098
Website : http://blh.sulbarprov.go.id; email : blhsulbar@yahoo.co.id

Pelindung :
Gubernur Sulawesi Barat

Pengarah :
Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Barat

Penanggung Jawab :
dr. Hj. Fatimah, MM (Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat)

Ketua Pelaksana :
Irvan, ST, MM (Kabid. Penaatan dan Komunikasi Lingkungan BLH Prov. Sulbar)

Tim Penyusun :
1. Yohanis, ST, MM (Kasubid. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat)
2. Desiana Malino, S.Si
3. Fransiscus Pakiding, SE

Tim Sekretariat :
1. Syahrun, SH
2. Hariani, A.Md.Kom
3. Elmi, ST
4. Firman Mathias Pinantik, SE
5. Nurhana
6. Mulyanti
Tim Pengumpul Data :
1. Nicolas Torano, SH, M.Sc (Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Provinsi
Sulawesi Barat)
2. Jamaluddin Tahir, ST (Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Barat)
3. Maman Suparman (Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Sulawesi Barat)
4. Kalsum Basri, ST (UPTD Balai Sungai KKM, Dinas PU Provinsi Sulawesi Barat)
5. Halijah Syam, SH (Dinas PU Provinsi Sulawesi Barat)
6. Menzy Ganofa, S.ST (Kanwil Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat)
7. Syarifuddin Said, SE (Dinas Koperindag Provinsi Sulawesi Barat)
8. Robertus Paliling, ST (Bappeda Provinsi Sulawesi Barat)
9. Andi Rudi H. (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat)
10. Adi Rudi (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat)
11. Syamsyucri, A.Md.Kl (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat)
12. Sulaiman, S.TP (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat)
13. Amri Sulo, S.Sos, M.Si (Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Barat)
14. Raodah, SH, MH (Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Barat)
15. Rahyati Rauf, SP (Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Barat)
16. Timotius Tangnga, A.Md.Pi (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat)
17. Ardi Anugerah Said (Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi Barat)

Editor :
Fransiscus Pakiding, SE

Design/Layout :
Fransiscus Pakiding, SE
Peta Administratif Provinsi Sulawesi Barat
Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena


dengan perkenaan-Nya sehingga Laporan Status
Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Provinsi Sulawesi Barat
Tahun 2015 ini dapat tersusun dan terselesaikan. Didalam
penyusunan buku SLHD ini terdiri dari dua buku yaitu Buku I
merupakan Laporan dan Buku II berisi tentang data-data.
Adapun ruang lingkup yang disajikan dalam Laporan SLHD
ini meliputi; kualitas lingkungan hidup berdasarkan media
air, udara, lahan, kualitas dan kuantitas sumber daya alam termasuk
keanekaragaman hayati dan kualitas penduduk serta sosial ekonomi.

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) ini pada dasarnya disusun
dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlidungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup khusunya pada pasal 62 yang mengatakan bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib mengembangkan Sistem Informasi Daerah
yang sekurang-kurangnya memuat tentang Status Lingkungan Hidup, Peta Kerusakan
Lingkungan dan Informasi Lingkungan Hidup Lainnya.

Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI telah menyusun


sebuah panduan secara sistematika dalam buku Pedoman Umum Penyusunan Status
Lingkungan Hidup Daerah yang menjadi bahan acuan bagi setiap Provinsi dan
Kabupaten Kota dalam menyusun Status Lingkungan Hidup Daerah dengan model
PSR (Pressure-State-Response).

Buku Laporan SLHD ini memberikan informasi untuk memenuhi kewajiban


menyediakan dan menerbitkan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik,
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dengan informasi lingkungan hidup yang
baik dan benar serta terus-menerus akan menjadikan pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Dengan kehadiran buku laporan SLHD ini
juga diharapkan dapat membangkitkan semangat untuk peduli lingkungan hidup.

Pengantar Dan Daftar Isi


D-I
Demikian laporan ini disusun untuk menjadi bahan pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan daerah khususnya di bidang lingkungan hidup. Disadari bahwa
apa yang disajikan masih jauh dari kesempurnaan, olehnya itu kritik dan saran sangat
diharapkan untuk perbaikan pada masa yang akan datang. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita sekalian.

Mamuju, Desember 2015

GUBERNUR SULAWESI BARAT,

H. ANWAR ADNAN SALEH

Pengantar Dan Daftar Isi


D - II
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ..... D - I


DAFTAR ISI...... D - III
DAFTAR TABEL .. D - V
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................................ D - VII
DAFTAR GAMBAR DAN PETA ...... D - IX

BAB I PENDAHULUAN
I.A Latar Belakang .......... P - 1
I.B Gambaran Umum Daerah ....... P - 3
I.C Visi Dan Misi .... P - 5
I.D Tujuan Penulisan Laporan ......... P - 7
I.E Issu Lingkungan Hidup Utama ..... P - 8
I.F Analisa Status, Tekanan dan Respon Dari Issu Utama .. P - 8
I.G Perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup ... P - 16
I.H Manfaat SLHD dalam Pengambilan Kebijakan Daerah .... P - 25
I.I Agenda Pengelolaan Lingkungan . P - 25

BAB II KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA


II.A Lahan dan Hutan ... K - 1
II.B Keanekaragaman Hayati ...... K - 15
II.C Air . K - 24
II.D Udara.. K - 37
II.E Laut, Pesisir dan Pantai ..... K - 41
II.F Iklim ... K - 50
II.G Bencana Alam ..... K - 53

BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN


III.A Kependudukan ... T - 1
III.B Permukiman .. T - 8
III.C Kesehatan ..... T - 15
III.D Pertanian ....... T - 18

Pengantar Dan Daftar Isi


D - III
III.E Industri .... T - 25
III.F Pertambangan .... T - 26
III.G Energi .... T - 30
III.H Transportasi .. T - 33
III.I Pariwisata ... T - 37
III.J Limbah B3 ..... T - 44

BAB IV UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN


IV.A Rehabilitasi Lingkungan .... U - 1
IV.B Amdal, UKL/UPL .... U - 4
IV.C Penegakan Hukum ... U - 7
IV.D Peran Serta Masyarakat ... U - 9
IV.E Kelembagaan ... U - 13

Pengantar Dan Daftar Isi


D - IV
Daftar Tabel
Bab I
Tabel 1.1 Suhu Udara Rata-Rata Bulanan Provinsi Sulawesi Barat P-4
Tabel 1.2 Nilai Indeks Pencemaran Air P - 17
Tabel 1.3 Perbandingan nilai IPA 2013-2015 P - 18
Tabel 1.4 Nilai Indeks Pencemaran Udara P - 19
Tabel 1.5 Perbandingan Indeks Kualitas Udara 2013-2015 P - 20
Tabel 1.6 Nilai Indeks Tutupan Lahan P - 21
Tabel 1.7 Perbandingan Indeks Tutupan Hutan 2013-2015 P - 22
Tabel 1.8 Nilai Indeks Kualitas Lingkungan Per Kabupaten P - 23
Tabel 1.9 Perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan Sulbar Tahu 2015 P - 25
Tabel 1.10 Perbadigan Anggaran Lingkungan Hidup Tahun 2013 - 2015 P - 26
Bab II
Tabel 2.1 Luas Penggunaan Lahan Utama Provinsi Sulawesi Barat K-3
Tabel 2.2 Luas Lahan Kritis Provinsi Sulawesi Barat K-8
Tabel 2.3 Evaluasi Kerusakan Lahan di Tanah Kering Akibat Erosi K - 10
Tabel 2.4 Pelepasan Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi Menurut K - 14
Peruntukannya
Tabel 2.5 Beberapa Tumbuhan Daratan Yang Teridentifikasi K - 16
Tabel 2.6 Beberapa Satwa Daratan Yang Teridentifikasi K - 17
Tabel 2.7 Beberapa Tumbuhan Agroekosistem Yang Teridentifikasi K - 18
Tabel 2.8 Beberapa Jenis Satwa Pesisir dan Laut Yang Teridentifikasi K - 20
Tabel 2.9 Pembagian Wilayah Sungai Di Sulawesi Barat K - 25
Tabel 2.10 Indeks Pecemaran Air Sulbar 2015 K - 29
Tabel 2.11 Hasil Uji Kualitas Air Waduk di Kab. Majene K - 33
Tabel 2.12 Hasil Uji Kualitas Air Sumur K - 36
Tabel 2.13 Lokasi dan Metode Pengambilan Sampel Kualitas Udara K - 38
Tabel 2.14 Tabel Indeks Pencemaran Udara Sulbar 2015 K - 39
Tabel 2.15 Hasil Perhitungan Kualitas Air Hujan K - 41
Tabel 2.16 Kualitas Air Laut K - 44
Tabel 2.17 Persentase Luas Terumbu Karang K - 45
Tabel 2.18 Luas Lokasi, Persentase Tutupan dan Kerapatan Mangrove K - 50
Tabel 2.19 Bencana Banjir, Korban dan Kerugian K - 55
Tabel 2.20 Data Bencana Kekeringan, Luas Dan Kerugian K - 56

Pengantar Dan Daftar Isi


D-V
Bab III
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk T-2
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk di Wilayah Pesisir dan Pantai T-5
Tabel 3.3 Tabel Jumlh Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat BAB T - 14
Tabel 3.4 Perkiraan Timbulan Sampah Per Hari T - 15
Tabel 3.5 Data Rumah Sakit dan Jumlah Limbah Yang Dihasilkan T - 18
Tabel 3.6 Jumlah Hewan Ternak Per Kabupaten di Sulawesi Barat T - 23
Tabel 3.7 Data Industri di Sulawesi Barat T - 26
Tabel 3.8 Jumlah Perusahaan Penambang dan Jenis Bahan Galian di T - 27
Sulawesi Barat
Tabel 3.9 Jumlah Kendaraan Menurut Jenisnya dan Bahan Bakar Yang T - 31
Digunakan
Tabel 3.10 Nilai Pemakaian Bahan Bakar Berdasarkan Klasifikasi T - 32
Industri
Tabel 3.11 Data Penggunaan Bahan Bakar Untuk Memasak T - 33
Tabel 3.12 Sarana Angkutan Darat, Air dan Udara Beserta Data Volume T - 34
Limbah Padat
Tabel 3.13 Jumlah Objek Wisata Di Sulawesi Barat di Rinci Per T - 38
Kabupaten
Tabel 3.14 Perusahaan Yang Mendapat Izin Mengelolah Limbah B3 T - 45
Bab IV
Tabel 4.1 Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi U-2
Tabel 4.2 Kegiatan Fisik Perbaikan Lingkungan U-3
Tabel 4.3 Dokumen Izin Lingkungan U-5
Tabel 4.4 Hasil Pengawasan Izin Lingkungan U-6
Tabel 4.5 Status Pengaduan Masyarakat U-8
Tabel 4.6 Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan Hidup U-9
Tabel 4.7 Penerima Penghargaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi U - 10
Barat
Tabel 4.8 Pelaksanaan Sosialisasi dan Bimtek TA. 2015 U - 12
Tabel 4.9 Produk Hukum Bidang Lingkungan Hidup U - 14
Tabel 4.10 Perbandingan Anggaran Lingkungan Hidup Tahun 2013-2015 U - 15
Tabel 4.11 Anggaran Lingkungan Hidup untuk Kegiatan SPM U - 16

Pengantar Dan Daftar Isi


D - VI
Daftar Grafik

Bab I
Grafik 1.1 Grafik Persentase Luas Wilayah Kabupaten di Sulawesi P-3
Barat
Bab II
Grafik 2.1 Persentase Luas Lahan Berdasarkan Penggunaan Lahan K-4
Utama Di Provinsi Sulawesi Barat
Grafik 2.2 Perbandingan Luas Hutan Menurut Fungsinya K-5
Grafik 2.3 Luas Kerusakan Hutan Provinsi Sulawesi Barat K - 12
Grafik 2.4 Pelepasan Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi K - 14
Grafik 2.5 Luas dan Persentase Kerusakan Padang Lamun Provinsi K - 48
Sulawesi Barat
Grafik 2.6 Persentase Curah Hujan Rata-Rata Bulanan K - 52
Grafik 2.7 Suhu Udara Rata-Rata Bulanan Provinsi Sulawesi Barat K - 53
Grafik 2.8 Data Bencana Kebakaran Hutan Tahun 2015 K - 57
Bab III
Grafik 3.1 Grafik Perbandingan Jumlah Penduduk Laki-Laki dan T-3
Perempuan
Grafik 3.2 Perbandingan Penduduk Menurut Umur di Sulawesi Barat T-7
Grafik 3.3 Perbandingan Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Menurut T-8
Tingkat Pendidikan
Grafik 3.4 Grafik Perbandingan jumlah Penduduk Miskin Per T-9
Kabupaten
Grafik 3.5 Persentase Jumlah Keluarga Miskin Terhadap Jumlah T - 10
Kepala Keluarga Menurut Kabupaten
Grafik 3.6 Grafik Perbandingan Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air T - 12
Minum Per Kabupaten se-Sulawesi Barat
Grafik 3.7 Perbandingan Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat T - 14
BAB
Grafik 3.8 Jenis Penyakit Utama Yang Diderita Penduduk T - 17
Grafik 3.9 Luas Lahan Sawah dan Frekuensi Penanaman T - 19
Grafik 3.10 Produksi Perkebunan Besar Rakyat Menurut Jenis Tanaman T - 20
Grafik 3.11 Penggunaan Pupuk Untuk Tanaman Padi dan Palawija T - 21
Grafik 3.12 Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian T - 23
Grafik 3.13 Jumlah Hewan Unggas Menurut Jenisnya T - 24

Pengantar Dan Daftar Isi


D - VII
Grafik 3.14 Daftar hotel/penginapan dan beban pencemaran di T - 44
Sulawesi Barat dirinci Per Kabupaten
Bab IV
Grafik 4.1 Perbandingan Lingkungan Hidup Tahun 2013-2015 U - 15
Grafik 4.2 Jumlah Personil Institusi Lingkungan Hidup U - 17

Pengantar Dan Daftar Isi


D - VIII
Gambar Dan Peta

Bab I
Gambar 1.1 Bajir Beberapa Daerah di Sulawesi Barat P-9
Gambar 1.2 Kebakaran Hutan dan Lahan di Sulbar P - 11
Bab II
Gambar 2.1 Beberapa Contoh Jenis Tanaman Yang Teridentifikasi K - 21
Gambar 2.2 Beberapa Jenis Hewan Yang Diketahui K - 21
Peta 2.1 Peta Rawan Gempa dan Resiko Gempa di Sulawesi Barat K - 54

Pengantar Dan Daftar Isi


D - IX
BAB I
PENDAHULUAN

I-A. LATAR BELAKANG

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (pasal 61 ayat 1-3), pemerintah baik nasional
maupun provinsi atau kabupaten/kota, wajib menyediakan informasi lingkungan
hidup dan menyebarluaskannya kepada seluruh lapisan masyarakat. Kebijakan
Lingkungan hidup adalah bagaimana mengelola lingkungan sesuai dengan
tempatnya, maksudnya bahwa menjaga kelestarian, keutuhan dan
mempertahankan daya dukung serta daya tampung lingkungan harga mati untuk
kejayaaan lingkungan dimasa depan. Maka dari itu perlu dilakukan pengelolaan
lingkungan hidup secara terpadu oleh instansi pemerintah, masyarakat serta
pelaku pembangunan lainnya, sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab
masing-masing, dengan tetap memperhatikan keterpaduan perencanaan dan
pelaksanaan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup.

Sebaliknya kegiatan pembangunan juga mengandung resiko terjadinya


pencemaran dan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan daya dukung, daya
tampung dan produktifitas lingkungan hidup menurun yang menyebabkan beban
sosial, oleh karena itu pencemaran tersebut harus dikelola dengan baik
berdasarkan asas tanggung jawab, asas keberlanjutan dan asas keadilan. Selain
itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan manfaat ekonomi,
sosial dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-kehatian,
demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan
terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan


Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and
DevelopmentUNCED) di Rio de Janeiro, tahun 1992, telah menghasilkan
strategi pengelolaan lingkungan hidup yang dituangkan ke dalam Agenda 21.
Untuk melaksanakan itu semua telah terdapat dalam Bab 40, disebutkan
perlunya kemampuan pemerintahan dalam mengumpulkan dan memanfaatkan
data dan informasi multisektoral pada proses pengambilan keputusan untuk
melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut menuntut

Pendahuluan
P-1
ketersediaan data, keakuratan analisis, serta penyajian informasi lingkungan
hidup yang informatif.

Pada pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan masyarakat. Salah satunya adalah Status
Lingkungan Hidup Daerah (SLHD).

Selain itu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


telah melimpahkan kewenangan pengelolaan lingkungan hidup kepada
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan meningkatnya
kemampuan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) diharapkan akan
semakin meningkatkan kepedulian kepada pelestarian lingkungan hidup.

Berkaitan dengan akses informasi kepada publik, telah ditetapkan Undang-


Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Sebagai Badan Publik pemerintah wajib menyediakan, memberikan dan atau
menerbitkan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Informasi
yang wajib disediakan dan diumumkan tersebut antara lain adalah informasi
yang diumumkan secara berkala, dengan cara yang mudah dijangkau dan dan
dalam bahasa yang mudah dipahami.

Keakuratan suatu analisis sangat ditentukan oleh tersedianya data yang


memadai baik kualitas maupun kuantitasnya. Dimensi data lingkungan dan
sumberdaya alam yang luas dan kompleks tidak memungkinkan penyediaannya
hanya mengandalkan pada satu sumber data saja akan tetapi akan melibatkan
berbagai sumber data dan informasi yang luas. Data pengukuran umumnya
adalah hasil pemantauan, misalnya pemantauan kualitas air sungai, Kualitas air
laut, kualitas air hujan, kualitas udara dan kualitas limbah industri.

Latar belakang penulisan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi


Barat merupakan bagian dari Program peningkatan kualitas dan akses informasi

Pendahuluan
P-2
sumber daya alam dan lingkungan hidup. Selain itu Buku Data dan Laporan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Barat menjadi acuan dan
pedoman kondisi lingkungan hidup daerah saat ini dan ini merupakan suatu
tantangan untuk menjadi lebih baik lagi.
I-B. GAMBARAN UMUM DAERAH
Provinsi Sulawesi Barat adalah daerah yang terletak pada sisi barat Pulau
Sulawesi yang merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi ini
terbentuk pada tanggal 5 Oktober 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 26
tahun 2004 tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran Negara
tahun 2004 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4422), Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menjalankan
pemerintahannya yang mencakup 6 Kabupaten 69 Kecamatan dan 649
Kelurahan/Desa sebagai satuan pemerintahan terendah.

Secara geografis, Provinsi Sulawesi Barat yang beribukota di Mamuju terletak


antara 0012' 3038 Lintang Selatan dan 118043'15 119054'3 Bujur Timur,
yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah utara dan Selat
Makassar di sebelah barat. Batas sebelah selatan dan timur adalah Provinsi
Sulawesi Selatan.

Grafik 1.1 : Persentase Luas Wilayah Kabupaten di Sulawesi Barat

Berdasarkan tabel diatas, luas wilayah Provinsi Sulawesi Barat tercatat


16.916,72 kilometer persegi. Kabupaten Mamuju merupakan kabupaten terluas
dengan luas 4.832,70 kilometer persegi atau 28,57 persen dari seluruh wilayah
Sulawesi Barat. Sedangkan Kabupaten Majene merupakan kabupaten terkecil

Pendahuluan
P-3
dengan luas wilayah 900,20 kilometer persegi atau sekitar 5,32 persen dari luas
wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
Jarak ibukota provinsi ke ibukota kabupaten cukup beragam. Kota kabupaten
yang paling jauh adalah Kabupaten Mamasa yakni sekitar 292 km dan Mamuju
Utara (Pasangkayu) sekitar 276 km.

Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat
tersebut dari permukaan air laut dan jaraknya dari pantai. Berdasarkan laporan
dari Stasiun Meteorologi Kabupaten Majene pada tahun 2015 suhu udara di
Sulawesi Barat berkisar antara 26,7C hingga 29,1C dengan rata-rata suhu
udara sekitar 27,8C. Sedangkan kelembapan udara rata-ratanya berkisar
antara 73,33 persen sampai dengan 82,0 persen. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1.1 : Suhu udara rata-rata bulanan


Nama dan Suhu Udara Rata-Rata Bulanan (0C)
Lokasi
Stasiun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
BMKG Kab.
Majene 27,5 27,8 27,6 28 tad 26,7 27,1 27,2 27 29 29,1 28,4
Sumber : Tabel SD-23 Buku Data

Kecepatan angin yang bertiup di Sulawesi Barat berdasarkan pemantauan dari


BMKG Kabupaten Majene, selama tahun 2015 sekitar 4,1 km/jam. Nilai ini lebih
tinggi dari tahun 2014 yang bertiup dengan kecepatan 3,9 km/Jam.

Untuk penyinaran matahari yang dipantau pada jam 06.00-18.00 terlihat


intensitas yang beragam pada tiap bulannya di tahun 2014. Penyinaran
matahari dengan intensitas tertinggi terjadi pada bulan Oktober, yaitu sebesar
76 persen. Sedangkan intensitas terendah terjadi dibulan Januari sekitar 34
persen. Rata-rata intensitas penyinaran matahari selama tahun 2014 adalah
sebesar 59,8 persen.

Pada tahun 2015, Sulawesi Barat tergolong daerah yang memiliki intensitas
hujan yang rendah yakni rata-rata hanya mencapai 135,13 mm serta rata-rata
hari hujan sekitar 11,6 hari. Jumlah hari hujan tertinggi terjadi di bulan
November di Kabupaten Polewali Mandar sedangkan pada beberapa bulan
lainnya di Kabuaten Majene dan Mamuju Tengah, sama sekali tidak ada curah
hujan.

Pendahuluan
P-4
I-C. VISI DAN MISI
Dalam rangka menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan
hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia sebagaimana amanah dari pasal
(3) huruf g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Visi Pemerintah Sulawesi Barat 2012
2016 sebagaimana tertuang dalam RPJMD yakni :

Terwujudnya Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Dan Kesejahteraan


Masyarakat Sulawesi Barat

Dala mendukung terwujudnya visi tersebut, maka Pemerintah Provinsi Sulawesi


Barat merumuskan arah kebijakan sebagai berikut :
1. Penguatan dan perluasan cakupan infrastruktur, bertujuan untuk menunjang
berkembangnya aktivitas ekonomi masyarakat guna mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah.
2. Peningkatan akases dan kualitas pelayanan dasar khususnya di bidang
penddikan dan kesehatan.
3. Peningkatan produktivitas dan pengolahan hasil pertanian yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat melalui
penciptaan dan penyediaan lapangan kerja di sub-sub : pertanian,
perkebunan, perikanan, kehutanan dan pertambangan (mengacu pada
Prioritas Koridor ekonomi Sulawesi 2012 2025), serta mendorong
percepatan eksploitasi sumber-sumber energy terbarukan.
4. Pengentasan kemiskinan masyarakat melalui upaya kebijakan terpadu guna
pemebuhan kebutuhan standar kehidupan minimum maupun dalam
peningkatan pendapatan masyarakat.
5. Keberlanjutan pengelolaan SDA dan lingkungan sebagi bentuk kepedulian
dan tanggung jawab pada generasi mendatang (sustainability development
Green Government).
Mengacu pada arah kebijakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat pada pont ke
lima, maka Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat sebagai Instansi
Pemerintah Daerah di yang berkarya di bidang pembangunan berwawasan
lingkungan, merumuskan arah kebijakan melalui visi dan misi yang telah
dirumuskan sebagai berikut :

Pendahuluan
P-5
VISI
Mendukung Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan yang Berwawasan
Lingkungan di Provinsi Sulawesi Barat

MISI
1. Mewujudkan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup
yang terintegrasi, guna mendukung tercapainya pembangunan
berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi hijau berbasis kearifan
lokal masyarakat Sulawesi Barat;
2. Mewujudkan koordinasi antar stakeholder dalam mensinkronisasikan
kebijakan ekonomi dengan nilai ekologi guna pembangunan berkelanjutan.
3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pegelola sumber daya alam dan
lingkungan hidup di daerah.

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat yang telah dibentuk


berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 07 Tahun 2012
tentang Perubahan Ketiga Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja
Inspektorat, Badan Perencanaan Pebangunan, Penelitian dan Pengembangan
Daerah Serta Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sulawesi Barat dalam
menjalankan kinerjanya sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur
Sulawesi Barat Nomor 25 Tahun 2013 mempunyai tugas pokok dan fungsi
sebagai berikut :

a. Tugas pokok
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat mempunyai tugas pokok
menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang lingkungan hidup,
berdasarkan asas otonomi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
b. Fungsi
Dalam menyelenggarakan tugas pokoknya sebagaimana dimaksud tersebut
diatas, Badan Lingkungan Hidup mempunyai fungsi :
1. Perumusan dan penetapan kebijakan teknis di bidang pengelolaan
lingkungan hidup daerah;
2. Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah bidang
kepegawaian daerah meliputi kesekretariatan, tata kelola lingkungan,
pengendalian pencemaran lingkungan, konservasi SDA dan mitigasi

Pendahuluan
P-6
bencana serta panaatan hukum, kemitraan dan pengembangan
kapasitas lingkungan;
3. Pengkoordinasian dan pembinaan UPTB.

Untuk menjalankan tugas dan fungsinya, Badan Lingkungan Hidup Provinsi


Sulawesi Barat dipimpin oleh seorang Kepala Badan dan dibantu oleh perangkat
susunan organisasi sebagai berikut:
a. Sekretaris Badan
1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
2. Sub Bagian Keuangan
3. Sub Bagian Program dan Pelaporan
b. Bidang Tata Lingkungan dan AMDAL
1. Sub Bidang Kelembagaan dan Tata Lingkungan
2. Sub Bidang Pengkajian Lingkungan dan AMDAL
c. Bidang Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Limbah
1. Sub Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan
2. Sub Bidang Pengelolaan LB3 dan B3
d. Bidang Pengendalian Kerusakan dan Konservasi SDA
1. Sub Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan
2. Sub Bidang Konservasi SDA dan Lingkungan
e. Bidang Penaatan dan Komunikasi Lingkungan
1. Sub Bidang Penegakan Hukum dan Pengawasan Lingkungan
2. Sub Bidang Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat
I-D. TUJUAN PENULISAN LAPORAN
a. Mengumpulkan data dan informasi terbaru tentang kualitas lingkungan
hidup daerah Provinsi Sulawesi Barat yang berasal dari pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang menjaga kelestarian dan daya dukung
lingkungan.
b. Melakukan analisis terhadap kondisi lingkungan hidup daerah dengan
menggunakan rumus Status Presure Respon.
c. Memfasilitasi pengukuran kondisi lingkungan hidup demi kemajuan menuju
pembangunan yang keberlanjutan di daerah.
d. Menyediakan informasi tentang kondisi lingkungan terkini dan prospeknya di
masa mendatang yang akurat, berkala, dan terjangkau bagi publik,
pemerintah, organisasi non-pemerintah, serta pengambil keputusan.

Pendahuluan
P-7
e. Memfasilitasi pengembangan, penilaian dan pelaporan himpunan indikator
dan indeks lingkungan yang disepakati pada tingkat nasional.
f. Melaporkan keefektifan kebijakan dan program yang dirancang untuk
menjawab perubahan lingkungan, termasuk kemajuan dalam mencapai
standar dan target lingkungan.

I-E ISU LINGKUNGAN HIDUP UTAMA


Isu lingkungan hidup yang dikemukakan pada bagian ini adalah isu strategis
yang terkait dengan perkembangan wilayah dan dampaknya terhadap
lingkungan daerah, sedangkan isu kritis masing-masing komponen lingkungan
akan dibahas pada masing-masing komponen lingkungan dan
kecenderungannya. Isu strategis tersebut adalah :
1. Banjir
2. Abrasi Pantai
3. Kebakaran Hutan dan Lahan
4. Tambang Galian C.

I-F ANALISIS STATUS, TEKANAN DAN RESPON DARI ISU UTAMA


Secara topografi Sulawesi Barat merupakan daerah pegunungan sehingga
memiliki banyak aliran sungai yang cukup besar dan berpotensi untuk
dikembangkan. Jumlah sungai yang tergolong besar mengaliri wilayah Sulawesi
Barat sebanyak delapan aliran sungai.

Di antara sungai-sungai tersebut terdapat terdapat dua aliran sungai terpanjang


yakni Sungai Saddang yang mengaliri Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, Pinrang
dan Polewali Mandar serta Sungai Karama yang berada di wilayah Kabupaten
Mamuju. Panjang kedua sungai tersebut masing-masing sekitar 150 km.

Selain itu, di Sulawesi Barat terdapat 193 buah gunung. Gunung tertinggi adalah
Gunung Ganda Dewata dengan ketinggian 3.037 meter diatas permukaan laut
yang menjulang tegak di Kabupaten Mamasa. Namun demikian, dari 6
Kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Barat, 5 diantaranya berada di daerah
pesisir. Dari kelima kabupten tersebut, tiga dintaranya menjadi lokasi pusat
pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan keadaan topografi tersebut diatas, maka issu lingkungan hidup


utama di Sulawesi Barat dapat dijabarkan sebagai berikut :

Pendahuluan
P-8
a. Status
Banjir
Kondisi wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang meliputi daerah
pengunungan dan dilintasi oleh sungai besar dan kecil yang sangat rawan
terhadap bencana banjir khususnya banjir bandang akibat meluapnya
aliran sungai.

Curah hujan yang cukup tinggi pada penghujung tahun 2015


menyebabkan terjadinya banjir di beberapa daerah. Berdasarkan
informasi yang dihimpun, banjir terparah berada di Desa Lembah Hopo,
Kecamatan Karossa Kabupaten Mamuju Tengah. Banjir bandang yang
terjadi ini, selain mengakibatkan rusaknya infrastruktur daerah juga
menyebabkan kerusakan rumah warga. Dari keterangan yang terhimpun,
terdapat 5 warga yang terseret banjir, dan tiga diantaranya ditemukan
dalam keaadaan sudah meninggal.

Gambar 1.1 Banjir beberapa daerah di Sulawesi Barat


bam

Genangan air di Jalan Poros Banjir Bandang di Mamuju Tengah

Sampah yang menyumbat saluran air Sampah yang menyumbat saluran air

Untuk Kabupaten Mamuju, banjir yang terjadi dalam kota di sekitar


Karema Utara akibat kurang berfungsinya drainase serta saluran air
lainnya. Hujan Deras yang turun beberapa jam megakibatkan genangan
air akibat drainase yang tersumbat dengan sampah-sampah yang
menyumbat saluran air. Selain itu, beberapa ruas jalan di Kota Mamuju

Pendahuluan
P-9
yang jauh lebih rendah dibandingkan saluran pembuangan air sehingga
drainase tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Abrasi Pantai
Kondisi geografis Provinsi Sulawesi Barat yang sebagian besar berada di
wilayah pesisir, dimana dari keenam kabupaten di wilayah Provinsi
Sulawesi Barat, lima diantaranya berada di daerah pantai yakni
Kabupaten Mamuju, Kabupaten Majene, Kabupaten Polewali Mandar dan
Kabupaten Mamuju Utara dan Kabupaten Mamuju Tengah

Tingginya aktifitas laut yang mengakibatkan gelombang air laut yang


seringkali mencapai ketinggian empat meter, sangat berpengaruh di
daerah pantai yang seringkali mengakibatkan terjadinya abrasi pantai
yang berkepanjangan dan mengakibatkan kerugian baik materil dan in
materil.

Tahun 2015 ini, abrasi pantai terjadi di Kabupaten Majene Abrasi pantai
ini terjadi di Kecamatan Banggae Timur yang merupakan kawasan
pasang surut. Selain itu banjir juga terjadi di kecamatan Malunda
sepanjang 600 meter yang terbagi di tiga wilayah.

Kebakaran Hutan dan Lahan.


Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari struktur relief, tanah,
vegetasi, air dan iklim serta benda yang ada datasnya sepanjang ada
pengaruhnya terhadap penggunaan lahan termasuk di dalamnya hasil
kegiatan manusia di masa lalu dan masa sekarang (FAO dalam Arsyad
1989)

Pengertian hutan atau definisi hutan yang diberikan Dengler adalah suatu
kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup
areal yang cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang
kondisi ekologi yang khas serta berbeda dengan areal luarnya
(Anonimous 1997).

Salah satu issu yang cukup mengemuka akhir-akhir ini adanya kebakaran
hutan yang melanda hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.
Kebakaran hutan terparah berada di Kepulauan Sumatera dan
Kalimantan yang menjadi perbincangan dunia di tahun 2015.

Pendahuluan
P - 10
Untuk wilayah Sulawesi Barat, kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir
di seluruh wilayah Sulawesi Barat yang tersebar di beberapa desa dan
kecamatan. Untuk wilayah kabupaten Mamuju Utara, Mamuju Tengah
dan Mamuju, kebakaran hutan dan lahan terjadi di beberapa perkebunan
sawit milik masyarakat. Kebakaran ini sempat menjadi issu bagi
perusahaan khusunya di Mamuju Tengah dalam program Penilaian
Peringkat Kinerja Perusahaan. Untuk wilayah Mamuju Tengah, kebakaran
hutan dan lahan yang terjadi pada bulan Agustus 2015 menyebabkan 1
rumah ikut terbakar dan beberapa lahan perkebunan masyarakat hangus
terbakar. Penyebab kebakaran hingga saat ini masih belum diketahui.

Untuk wilayah Kabupaten Polewali Mandar dan Mamasa, kebakaran


hutan dan lahan terjadi di kawasan hutan lindung dan beberapa lahan
perkebunan warga. Di kecamatan Anreapi Kabupaten Polewali Mandar,
kebakaran hutan yang terjadi di wilayah hutan lindung dan lahan
perkebunan hanya berjarak 200 meter dari pemukiman warga.
Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Mamasa dapat ditemukan di
sepanjang jalan poros Polewali Mamasa, mulai dari Kecamatan
Sumarorong sampai di Kecamatan Mamasa. Sebagian dari lokasi
kebakaran yang terjadi di Kabupaten Mamasa bahkan sudah sangat
dengat dengan pemukiman warga.

Gambar 1.2 : Kebakaran Hutan dan Lahan di Sulbar

Kebakaran Lahan di Mamasa Kebakaran Lahan di Mamuju Tengah

Kebakaran hutan Lindung di Mamasa Kebakaran lahan dekat pemukiman warga


Sumber : Dokumentasi Pengawasan, BLH Sulbar

Pendahuluan
P - 11
Tambang Galian C
Salah satu issu yang mengemuka di Sulawesi Barat dari tahun ke tahun
adalah maraknya penambangan galian C, baik yang memiliki izin
lingkungan maupun yang tidak memiliki izin lingkungan. Kegiatan ini
dilakukan oleh orang perorangan maupun oleh kelompok usaha.

Selain penambangan tanpa izin, juga terdapat beberapa usaha yang


menjalankan aktivitasnya tidak sesuai dengan izin lingkungan yang
dimiliki. Kegiatan ini sebagian besar tidak lepas dari akibat
pembangunan infrastruktur jalan di Sulawesi Barat yang membutuhkan
material dalam proses pengerjaan.

Kontraktor pelaksana dalam melakukan pekerjaan mencari kemudahan


di sekitar lokasi untuk mengambil material tanpa memperhitungkan
dampak yang ditimbulkan. Dilain pihak, aktivitas masyarakat dalam
pengerukan material untuk dijual, tidak dapat dipungkiri mengingat
bahwa kegiatan tersebut menjadi satu-satunya sumber penghidupan dari
masyarakat sekitar.

b. Tekanan

Banjir

Penyebab banjir yang menghantam sejumlah daerah di wilayah Provinsi


Sulawesi Barat, salah sat penyebab utamanya adalah maraknya
penebangan liar, kebakaran hutan, dan adanya kemarau panjang. Saat
musim penghujan tiba, tanah-tanah yang sudah retak tidak mampu
menahan derasnya arus air sehingga menimbulkan peningkatan volume
air di badan sungai sebagai penyebab utama banjir bandang.

Banjir bandang ini mengakibatkan korban jiwa dan rusaknya pemukiman


warga yang berada di sekitar daerah aliran sungai khususnya yang terjadi
di Kabupaten Mamuju Tengah. Menurut catatan dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi Barat, jumlah korban
yang meninggal sebanyak 3 orang dan yang mengungsi sebanyak 107
jiwa. Selain kerugian materi, dampak dari banjir bandang ini juga
membawa kerugian moril dari masyarakat sekitar, khususnya bagi

Pendahuluan
P - 12
keluarga yang anggota keluarganya meninggal dunia dan kehilangan
tempat tinggal.

Untuk kota Mamuju, sebagian besar genangan air pada musim


penghujan diakibatkan tidak berfungsinya sebagian besar drainase
dalam kota Mamuju. Lebih diperparah lagi dengan perilaku masyarakat
yang membuang sampah ke drainase sehingga menyumbat aliran air. Di
lain pihak, permukaan daratan di Kota Mamuju lebih rendah dari
permukaan air laut, sehingga sering terjadi banjir rob ketika air laut
pasang.

Abrasi Pantai

Penyebab terjadinya abrasi pantai disebabkan oleh faktor manusia dan


faktor alam pada posisi geografis yang berada pada garis pantai. Faktor
manusia yang melakukan pembangunan pemukiman di daerah pesisir
pantai yang tidak memperhatikan kondisi alam sehingga terjadi
pengrusakan pada hutan mangrove yang bisa berfungsi untuk mengatasi
abrasi pantai.

Kondisi lain adalah adanya aktifitas laut yang tinggi di perairan Sulawesi
Barat, yang mengakibatkan terjadinya gelombang laut yang sering
mencapai empat sampai enam meter, mengakibatkan terjadinya abrasi
pantai yang merusak pemukiman warga, kerusakan mangrove dan juga
berdampak pada kerugian materil dan moril.

Kebakaran hutan dan lahan

Pada tahun 2015, issu nasional bahkan menjadi issu dunia adalah
banyaknya peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Di
Sulawesi Barat sendiri, dari enam kabupaten, lima diantaranya
mengalami kebakaran hutan dan lahan. Selain merusak lahan pertanian
warga, kebakaran hutan ini juga merusak ekosistem hutan khususnya
yang berada dalam kawasan hutan lindung.

Dari catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Majene


menerangkan bahwa terdapat 57 titik api di Sulawesi Barat, di antaranya
Kabupaten Mamasa, di Kecamatan Mamasa (6 titik panas), Kecamatan
Messawa (2 titik panas). Kecamatan Nosu (6 titik panas), Kecamatan

Pendahuluan
P - 13
Pana (1 titik panas), Kecamatan Sesena Padang (5 titik panas),
Kecamatan Tabang (3 titik panas) dan Kecamatan Tanduk Kalua 1 titik
panas, Kecamatan Tawalian (4 titik panas). Kemudian Kabupaten
Mamuju, Kecamatan Bonehau (1 titik panas), Kecamatan Kalumpang (3
titik panas), Kecamatan Tommo (3 titik panas). Kabupaten Mamuju
Tengah, Kecamatan Budong-budong (3 titik panas), Kecamatan Karossa
(1 titik panas) dan Kabupaten Polman, Kecamatan Anreapi (2 titik panas),
Kecamatan Binuang (2 titik panas) Kecamatan Polewali (1 titik panas).

Tambang Galian C

Hampir seluruh wilayah di Sulawesi Barat melakukan kegiatan tambang


galian C dengan jenis kegiatan pegambilan material pasir dan batu, baik
di sungai-sungai maupun di tebing-tebing perbukitan yang dekat dengan
pemukiman warga.

Yang menjadi keprihatinan adalah maraknya tambang galian C illegal


yang dilakukan baik oleh pihak swasta maupun oleh kelompok
masyarakat. Hal ini tentunya tidak lepas dari kurangnya pengawasan dari
pemerintah daerah. Di sisi lain, pada sebagian daerah usaha tambang
galian yang dilakukan oleh kelompok masyarakat menjadi sumber utama
dalam menunjang ekonomi keluarga.

Usaha tambang galian yang cukup memprihatinkan adalah pengambilan


pasir dan batu di sungai-sungai yang menjadi sumber utama bahan baku
air minum. Dari hasil pengukuran kualitas air sungai di Sulawesi Barat,
sungai-sungai ini hanya memenuhi kualitas air pada kelas dua. Artinya
bahwa sungai-sungai ini tidak layak untuk dijadikan bahn baku untuk
sumber air minum.

Untuk tambang galian yang menguras sisi tebing perbukitan, sebagian


besar terjadi di Kabupaten Mamuju Utara, Kabupaten Majene dan
Kabupaten Mamasa. Untuk Kabupaten Mamasa sendiri, kegiatan seperti
ini dapat ditemui di sepanjang jalan dari Kecamatan Balla sampai Kota
Mamasa. Kegiatan ini, selain membahayakan pengguna jalan yang
melintas, juga sewaktu-waktu jika terjadi longsor mengakibatkan
terputusnya satu-satunya akses jalan menuju kota Kabupaten Mamasa.

Pendahuluan
P - 14
c. Respon

Sebagai bentuk perhatian pemerintah pada setiap peristiwa bencana yang


terjadi di Provinsi Sulawesi Barat, maka pemerintah daerah baik provinsi dan
kabupaten bersama dengan masyarakat sekitar langsung memberikan
respon pada setiap kejadian dengan mengunjungi lokasi dan memberikan
batuan.

Banjir
Daerah-daerah yang sering dilanda banjir telah dilakukan rehabilitasi
antara lain :
1. Pelaksanaan program normalisasi sungai
2. Reboisasi di daerah hilir untuk hutan-hutan yang gundul akibat
penebangan liar
3. Bekerja sama dengan pemerintah kabupaten melaksanakan
sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya banjir sebagai akibat
dari penggundulan hutan.
4. Memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan penebangan
kayu yang tidak memperhatikan perbaikan kualitas lingkungan.
Abrasi Pantai
Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya
abrasi pantai antara lain :
1. Penanaman mangrove di wilayah yang terkena dampak abrasi.
2. Pembangunan tanggul-tanggul penahan ombak di daerah pesisir
khususnya di sekitar daerah pemukiman.
3. Pembangunan tanggul pemecah ombak di daerah-daerah yang
berpotensi aktifitas laut yang tinggi.
Kebakaran Hutan dan Lahan

Sebagai respon dari Kebakaran Hutan dan lahan di Sulawesi Barat,


Gubernur Sulawesi Barat meminta kepada pihak kepolisian untuk
mengusut dugaan adanya unsur kesengajaan dalam pembakaran hutan
di beberapa tempat. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar
kebakaran hutan di Sulawesi Barat juga dipengaruhi oleh kemarau yang
berkepanjangan.

Pendahuluan
P - 15
Gubernur sudah memerintahkan kepada Badan Penanggulangan
Bencana Daerah dan Kepala Bandara Tampapadang untuk membuka
posko siaga 24 jam dalam menanggapi kejadian kebakaran hutan dan
lahan di Sulawesi Barat.

Untuk perbaikan kawasan hutan dan lahan yang telah terbakar


sepanjang tahun 2015, Pemerintah Daerah melakukan peningkatan
reboisasi dan penghijauan kembali dalam penganggaran tahun 2016.

Tambang Galian C

Untuk menanggulangi maraknya kegiatan usaha dan/atau kegiatan


penambangan galian C di Sulawesi Barat, maka dilakukan koordinasi
lintas sektor dalam melakukan pegawasan, khususnya sektor
pertambangan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditegaskan bahwa
setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki izin lingkungan. Izin lingkungan yang
dimaksudkan adalah dasar untuk menerbitkan izin usaha lainnya.

Namun pada kenyataannya, sering terjadi bahwa izin-izin usaha


pertambangan yang dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan tidak memiliki
izin atau rekomendasi dari lingkungan hidup.

Untuk kegiatan-kegiatan pertambangan yang tidak memiliki izin


lingkungan, dalam pengawasan lapangan telah dilakukan upaya-upaya
untuk menghentikan kegiatan dan melakukan koordinasi dengan pihak
terkait.

I-G PERHITUNGAN INDEKS KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP

Indeks Pencemaran Air

Indeks pencemaran air Provinsi Sulawesi Barat untuk tahun 2015 dihitung
berdasarkan hasil pemantauan kualitas air sungai di 5 (lima) kabupaten.
Pemantauan kualitas air sungai di Kabupaten Mamuju Utara, Mamuju, Polewali
Mandar dan Kabupaten Mamasa di laksanakan oleh Bidang Pengendalian
Pencemaran dan Pengelolaan Limbah BLH Provinsi Sulawesi Barat sedangkan
untuk pemantauan kualitas air sungai di Kabupaten Majene dilaksanakan oleh
BLHP Kabupaten Majene.

Pendahuluan
P - 16
Pemantauan kualitas air sungai di Kabupaten Mamuju Utara dilakukan di sungai
lariang, di Kabupaten Polewali Mandar di sungai Mandar dan di Kabupaten
Mamasa dilakukan di sungai Mamasa. Periode pemantauan ketiga sungai
tersebut 5 kali dalam setahun dengan jumlah titik sampling 6 titik sampling.
Pemantauan kualitas air sungai di Kabupaten Mamuju dilakukan di dua sungai
yaitu sungai karama dan sungai kali mamuju dengan periode pemantauan 2 kali
dalam setahun dengan jumlah titik sampling masing-masing sungai sebanyak 3
titik sampling.

Pemantauan kualitas air sungai di Kabupaten Majene dilaksanakan di 5 sungai,


yaitu sungai Mangge, Sungai Abaga, Sungai Tammerodo, Sungai Deking dan
Sungai Tinambung, dari kelima sungai tersebut hanya dilakukan satu kali
pemantauan dalam setahun. Untuk sungai Deking dilakukan di 2 titik sampling,
yaitu hulu dan hilir dan untuk sungai yang lain hanya dilakukan di satu titik
sampling.

Dari pelaksanaan pemantaun yang dilaksanakan oleh Provinsi maupun


Kabupaten masih kurang baik dari periode pemantauan maupun dari titik
sampling sehingga masih kurang menggambarkan kondisi kualitas air sungai
secara merata seperti dilaksanakan oleh kabupaten Majene yang hanya
melakukan periode pemantauan hanya sekali dalam setahun dengan jumlah titik
sampling setiap sungai hanya satu titik. Jumlah sungai yang dipantau sebanyak
10 sungai dengan jumlah titik sampling sebanyak 102 titik sampling. Tabel
berikut merupakan hasil perhitungan Indeks Pencemaran air per Kabupaten.

Tabel 1.2 : Nilai Indeks Pencemaran Air


No. Provinsi/Kabupaten Nilai IPA
1 Mamuju Utara 55,33
2 Mamuju/Mamuju Tengah 66,67
3 Majene 50,00
4 Polewali Mandar 64,00
5 Mamasa 50,00
6 Sulawesi Barat 57,20
Sumber : Data IKLH 2015

Berdasarkan hasil perhitungan, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas air


sungai dengan tingkat pencemaran paling tinggi adalah Kabupaten Majene dan
Kabupaten Mamasa dengan nilai IPA hanya 50.00. Kualitas air sungai yang masih

Pendahuluan
P - 17
dinyatakan cukup baik adalah Kabupaten Mamuju/Mamuju Tengah dengan nilai
IPA 66,67. Secara keseluruhan kondisi kualitas air sungai di Provinsi Sulawesi
Barat Tahun 2015 sangat kurang dengan nilai IPA 57,20.

Perbandingan nilai IKLH Provinsi Sulawesi Barat selama tiga tahun terakhir dapat
dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.3 : Perbandingan Nilai IPA 2013-2015


No. Provinsi/Kabupaten 2013 2014 2015

1 Kabupaten Mamuju Utara 46.67 30.00 55,33

2 Kabupaten Mamuju/Mamuju Tengah 58.33 88.89 66,67

3 Kabupaten Majene 100.00 33.33 50,00

4 Kabupaten Polewali Mandar 96.67 96.67 64,00

5 Kabupaten Mamasa 90.00 100.00 50,00

6 Provinsi Sulawesi Barat 78.33 69.78 57,20


Sumber : Data IKLH 2015

Berdasarkan tabel tersebut diatas, nilai indeks pencemaran air beberapa


Kabupaten diantaranya Kabupaten Mamuju Utara, Kabupaten Majene pada
Tahun 2015 mengalami kenaikan dibandingkan Tahun 2014 dari kondisi
waspada menjadi sangat kurang akan tetapi kondisi ini masih mengkhawatirkan.
Untuk Kabupaten Polewali Mandar, Mamuju/Mamuju Tengah dan Kabupaten
Mamasa meskipun nilai indeks pencemaran air di tiga kabupaten tersebut lebih
tinggi dari kabupaten Mamasa dan Majene akan tetapi mengalami penurunan
nilai indeks pencemaran air dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Dengan adanya penurunan kondisi kualitas sungai di beberapa kabupaten


mengakibatkan nilai indeks pencemaran air di Tahun 2015 menurun
dibandingkan dengan Tahun 2014, yaitu dari nilai 69,78 menurun menjadi nilai
57,20. Rendahnya indeks pencemaran air di provinsi Sulawesi Barat diakibatkan
karena dari 102 titik sampling yang ada 66 titik sampling yang tercemar ringan
dan satu titik sampling di Kabupaten Mamasa yaitu di Jembatan Malabo Desa
Malabo Kecamatan Tandukkalua Kabupaten Mamasa pada periode pemantauan
ke lima mengalami kondisi cemar sedang. Kondisi cemar sedang ini dipengaruhi
oleh nilai parameter BOD yaitu 24 g/lt jauh melebih baku mutu air sesuai
dengan PP 82 Tahun 2001 yaitu 3 g/lt.

Pendahuluan
P - 18
Indeks Pencemaran Udara
Pemantauan kualitas udara ambien dilaksanakan oleh bidang Pengendalian
Pencemaran dan Pengelolaan Limbah BLH Provinsi Sulawesi Barat. Pengambilan
sampel udara ambien dilaksanakan di 6 Kabupaten se - Sulawesi Barat dengan
tiga titik sampling setiap kabupaten. Di Kabupaten Mamuju Utara pengambilan
sampel udara ambien dilakukan di lokasi Jl. Ir. Soekarno, Jl. H. Andi Depu
(Lapangan Sepakbola) dan Jl. Urip Sumoharjo Pasangkayu.

Di Kabupaten Mamuju Tengah sampling dilakukan di 3 lokasi, antara lain :


Perumahan Mamuju Tengah, Jl. Tumbu Topoyo dan Jl. Poros Mamuju Utara. Untuk
Kabupaten Mamuju sampling udara ambien dilakukan di Jl. Poros Mamuju Utara,
Jl. Pongtiku (komp. BTN Axuri) dan Jl. Gatot Subroto (depan terminal Simbuang). Di
Kabupaten Majene pengaambilan sampel dilakukan di lokasi Jl. Ahmad Yani, Jl.
Jend. Sudirman dan Jl. Ammana Wedang Majene.

Pengambilan sampel di Kabupaten Polewali Mandar dilaksanakan 3 lokasi dalam


kota, yaitu Jl. H. Andi Depu, Jl. Jend. Ahmad Yani (Lampu Merah polewali) dan Jl.
Poros Pinrang Polewali, sedangkan di Kabupaten Mamasa pengambilan sampel
dilakukan di Jl. Poros Mamasa, Jl. Demmajannang dan Jl. Poros Mamasa (Komp.
Perkantoran). Pengambilan sampel udara yang dilakukan oleh Bidang
Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Limbah dilaksanakan pada Bulan
Juni.

Berikut rekap tabel mengenai rerata konsentrasi NO2 dan SO2 tiap kabupaten dan
perhitungan IP dan IPU.

Tabel 1.4 : Nilai Indeks Pencemaran Udara


No. Provinsi/Kabupaten Kon.NO2 Kon.SO2 IPNO2 IPSO2 IPU

1 Kabupaten Mamuju Utara 25,20 50,20 99,11 93,72 96,42


Kabupaten Mamuju, Mamuju
2 12,00 69,17 99,58 91,35 95,46
Tengah
3 Kabupaten Majene 12,00 31,00 99,58 96,13 97,85

4 Kabupaten Polewali Mandar 12,00 31,00 99,58 96,13 97,85

5 Kabupaten Mamasa 12,00 43,67 99,58 94,54 97,06

6 Provinsi Sulawesi Barat 14,20 49,03 99,50 93,87 96,68


Sumber : Data IKLH 2015

Pendahuluan
P - 19
Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai indeks
pencemaran udara Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2015 ini masih cukup
bagus yakni mencapai nilai 96,68. Jika ditinjau berdasarkan masing-masing
kabupaten, maka Kabupaten Majene dan Polewali mandar masih menduduki
peringkat pertama sebagai Kabupaten dengan tingkat pencemaran udara
terendah, sedangkan Kabupaten Mamuju/Mamuju tengah pada peringkat
terakhir.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tingkat pencemaran udara masih sangat


didominasi dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Kesimpulan ini diambil
berdasarkan hasil perhitungan kualitas udara pada lokasi padat kendaraan. Nilai
ini juga ditunjukkan dari indeks per kabupaten yang menempatkan Kabupaten
Mamuju pada posisi terendah yang secara data adalah kabupaten dengan jumlah
kepadatan kendaraan bermotor paling tinggi.

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, indeks pencemaran udara pada


tahun 2015 Provinsi Sulawesi Barat mengalami penurunan dibandingkan dengan
Tahun 2014. Penurunan Indeks Kualitas Udara ini dipengaruhi oleh Penurunan
kualitas udara secara menyeluruh disemua kabupaten. Indeks kualitas udara
terendah di Kabupaten Mamuju dan Mamuju Tengah. Hal ini dipengaruhi oleh
banyaknya peningkatan jumlah kendaraan bermotor.

Berikut perbandingan nilai indeks kualitas udara untuk tahun 2014 dan 2015.

Tabel 1.5 : Perbandingan Indeks Kualitas Udara 2014-2015


No. Provinsi/Kabupaten 2013 2014 2015

1 Kabupaten Mamuju Utara 99.51 97.71 96,42


Kabupaten Mamuju, Mamuju
2 98.18 97.36 95,46
Tengah
3 Kabupaten Majene 99.28 98.28 97,85

4 Kabupaten Polewali Mandar 99.44 97.88 97,85

5 Kabupaten Mamasa 99.58 98.59 97,06

6 Provinsi Sulawesi Barat 99.20 97.43 96,68


Sumber : Data IKLH 2015

Indeks Tutupan Hutan

Pada hakekatnya tutupan hutan dan lahan secara tidak langsung memiliki
kontribusi besar dalam perubahan kualitas air sungai dan pencemaran udara. Jika

Pendahuluan
P - 20
persentase luas hutan masih lebih besar dari total luas wilayah suatu daerah,
dapat disimpulkan bahwa kualitas lingkungan di daerah tersebut masih cukup
baik. Jika kualitas hutan masih terjaga, maka secara tidak langsung ikut menjaga
kualitas air sungai dan tingkat pencemaran udara. Sebaliknya, jika semakin
banyak alih fungsi hutan akan menimbulkan pencemaran air sungai dan udara.

Untuk perhitungan indeks tutupan hutan maka diperlukan data hutan primer dan
hutan sekunder yang kemudian dijumlahkan. Data hutan primer dan hutan
sekunder per Kabupaten se-Provinsi Sulawesi Barat yang diperoleh dari Dinas
Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat (SK. Menhut No. SK.862/MENHUT.II/2014)
yang kemudian dibandingkan dengan luas wilayah administrasi setiap kabupaten
maka dapat diperoleh persentase tutupan hutan setiap kabupaten. Dari hasil
perhitungan persentase Tutupan Hutan maka dapat diperoleh Indeks Tutupan
Hutan per-Kabupaten dengan melakukan konversi persentase yang merupakan
perbandingan luas tutupan hutan dengan luas wilayah menggunakan rumus
perhitungan sebagai berikut :


ITH 100 84 ,3 THx 100 x 50

54 , 3

Berdasarkan rumus diatas, maka Indeks Tutupan Hutan Sulawesi Barat untuk
tahun 2015 menurut kabupaten dan Provinsi dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1.6 : Nilai Indeks Tutupan Hutan


No Kabupaten ITH

1 Mamuju Utara 65,07

2 Mamuju, Mamuju Tengah 77,27

3 Majene 53,17

4 Polewali Mandar 36,56

5 Mamasa 66,79

6 Provinsi Sulawesi Barat 66,96


Sumber : Data IKLH 2015

Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai indeks tutupan hutan
untuk semua daerah di Provinsi Sulawesi Barat mengalami penurunan. Hal ini
ditandai dengan nilai indeks tutupan hutan masih mencapai rata-rata 66,96. Nilai
ini dipengaruhi oleh Indeks Tutupan Hutan di Kabupaten Majene dan Polewali
Mandar yang sangat rendah. Nilai indeks tutupan hutan tertinggi berada di

Pendahuluan
P - 21
Kabupaten Mamuju/Mamuju Tengah mencapai 77,27, sedangkan nilai indeks
tutupan hutan terendah berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni hanya
mencapai 36.56.

Berikut perbandingan Indeks Tutupan Hutan Sulawesi Barat di rinci per


Kabupaten untuk tiga tahun terakhir :

Tabel 1.7 : Perbandingan Indeks Tutupan Hutan 2013-2015


No. Provinsi/Kabupaten 2013 2014 2015

1 Kabupaten Mamuju Utara 99.51 82.33 65,07


Kabupaten Mamuju, Mamuju
2 98.18 82.97 77,27
Tengah
3 Kabupaten Majene 99.28 58.55 53,17

4 Kabupaten Polewali Mandar 99.44 34.37 36,56

5 Kabupaten Mamasa 99.58 71.75 66,79

6 Provinsi Sulawesi Barat 99.20 75.44 66,96


Sumber : Data IKLH 2015

Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk Kabupaten Polewali


Mandar dan Kabupaten Majene mengalami penurunan indeks tutupan lahan yang
sangat signifikan. Kabupaten Polewali Mandar Tahun 2013 mencapai 99.44
sedangkan pada Tahun 2015 mengalami penurunan mencapai 36.56. Di
Kabupaten Majene pada Tahun 2013 indeks tutupan hutannya 99.28 sedangkan
pada Tahun 2015 mengalami penurunan mencapai 53.17. Adanya penurunan
indeks tutupan hutan yang signifikan di semua Kabupaten di Provinsi Sulawesi
Barat mengakibatkan indeks tutupan hutan Provinsi Sulawesi Barat mengalami
penurunan di Tahun 2013 mencapai 99.20 sedangkan di Tahun 2015 turun
menjadi 66,96.

Dari gambaran terebut diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kekritisan


kawasan hutan di Sulawesi Barat makin meningkat. Untuk itu, kegiatan reboisasi
dan penghijauan untuk pemulihan lahan kritis perlu digalakkan.

Indeks Kualitas Lingkungan

Perhitungan Indeks kualitas lingkungan memiliki sifat komparatif yang berarti nilai
satu kabupaten relatif terhadap kabupaten lainnya. Hasil perhitungan indeks
kualitas lingkungan bukan semata-mata untuk melihat peringkat IKLH per-
Kabupaten akan tetapi bagaimana setiap kabupaten saling bersinergi untuk

Pendahuluan
P - 22
memperbaiki kualitas lingkungan sehingga dapat mengangkat kualitas lingkungan
Provinsi Sulawesi Barat.

Indeks kualitas lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Barat dihitung berdasarkan


hasil perhitungan Indeks Pencemaran Air, Indeks Pencemaran Udara dan Indeks
Tutupan Hutan yang masing-masing kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat maka di
peroleh IKLH setiap Kabupaten, dan setiap kabupaten memberikan konstribusi
berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayahnya terhadap total jumlah Provinsi
sehingga diperoleh nilai IKLH Provinsi Sulawesi Barat. Nilai indeks kualitas
lingkungan masing-masing kabupaten diperoleh dengan rumus perhitungan
sebagai berikut :

30% IPA x 30% IPU x 40% ITH


IKLH =
3

Dari rumus perhitungan tersebut diatas, maka Indeks Kualitas Lingkungan untuk
Provinsi Sulawesi Barat dan masing-masing kabupaten dapat dilihat melalui tabel
berikut :
Tabel 1.8 : Nilai Indeks Kualitas Lingkungan Per Kabupaten
No. Provinsi/Kabupaten IPA IPU ITH IKLH

1 Mamuju Utara 16,60 28,92 26,03 71,57

2 Mamuju dan Mamuju Tengah 20,00 28,64 30,91 79,53

3 Majene 15,00 29,36 21,27 65,62

4 Polewali Mandar 19,20 29,36 14,62 63,18

5 Mamasa 15,00 29,12 26,72 70,83


Sumber : Data IKLH 2015

Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa Indeks Kualitas Lingkungan


di Kabupaten Mamuju/Mamuju Tengah menempati peringkat pertama dengan
nilai IKLH 79,53, sedangkan peringkat terakhir adalah Kabupaten Polewali
Mandar dengan nilai IKLH 63,18. Rendahnya nilai IKLH Kabupaten Polewali
Mandar dipengaruhi oleh indeks tutupan hutan yang sangat rendah dibandingkan
dengan luas wilayah kabupaten Polewali Mandar.

Perubahan nilai IKLH setiap kabupaten di pangaruhi oleh perubahan nilai IPA, IPU
da ITH. Penurunan nilai IKLH paling signifikan terdapat di Kabupaten Mamasa, hal
ini dipengaruhi oleh penurunan nilai Indeks Pencemaran Air yang sangat

Pendahuluan
P - 23
signifikan. Dari hasil perhitungan IPA untuk sungai Mamasa, dari 30 titik
pemantauan hanya 1 titik yang memenuhi baku mutu, 28 titik tercemar ringan
dan 1 titik cemar sedang. Di Kabupaten Polewali Mandar penurunan nilai IKLH
juga dipengaruhi oleh turunnya nilai IPA. dari hasil perhitungan nilai IPA
Kabupaten Polman dari 30 titik pemantauan 21 titik yang memenuhi baku mutu,
9 titik cemar ringan.

Selain dari nilai IPA yang rendah, Indeks tutupan hutan di Kabupaten Polewali
Mandar mempunyai nilai yang terendah dibandingkan dengan kabupaten lainnya
di Provinsi Sulawesi Barat. Meskipun ITH di Polman mengalami kenaikan
dibandingkan dengan Tahun 2014 akan tetapi tutupan hutan di Kabupaten
Polewali Mandar masih kurang dibandingkan dengan luas administrasinya. Di
Kabupaten Mamuju/Mamuju Tengah penurunan nilai IKLH dipengaruhi oleh
semua indikator baik air, udara dan tutupan hutan. Untuk Kabupaten Mamuju
Utara dan Majene sedikit mengalami kenaikan karena dipengaruhi oleh naiknya
nilai IPA dibandingkan dengan tahun 2014.

Dari rentang nilai IKLH maka Kabupaten Majene dan Polewali berada pada
kategori kurang. Untuk Kabupaten Mamuju Utara dan Mamasa masuk dalam
kategori cukup dan Kabupaten Mamuju masuk dalam kategori baik. Dengan
melihat hasil ini seharusnya setiap kabupaten yang masuk kategori cukup bahkan
kurang untuk berbuat sesuai dengan proporsi dalam memperbaiki kualitas
lingkungan hidup dan Kabupaten yang sudah masuk dalam kategori baik untuk
tetap mempertahankan kondisi lingkungannya dan juga selalu berupaya untuk
meningkatkan kualitas pada posisi yang unggul.

Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan masing-masing


Kabupaten, maka diperoleh hasil perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan
Provinsi Sulawesi Barat dengan rumus :

PopulasiKa bupaten LuasKabupa ten


5
Luas Pr ovinsi
x
Populasi Pr ovinsi
IKLH _ Pr ovinsi IKLH
Kabupaten 2
i 1

Berdasarkan rumus tersebut diatas, maka diperoleh nilai Indeks Kualitas


Lingkungan Provinsi Sulawesi Barat untuk tahun 2015 sebagai berikut :

Pendahuluan
P - 24
Tabel 1.9 : Perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan Sulbar Tahun 2015
Populasi Luas
IKLH NILAI IKLH
No. Kabupaten Kab/Populasi Kab/Luas
Kab Prov. Prov.
Prov.
1 Mamuju Utara 71,55 0,121 0,177 10,658
Mamuju / Mamuju
2 79,55 0,299 0,469 30,592
Tengah
3 Majene 65,62 0,128 0,053 5,948
4 Polewali Mandar 63,18 0,332 0,123 14,372
5 Mamasa 70,83 0,119 0,178 10,508
IKLH Provinsi Sulbar Tahun 2015 72,08

I-H MANFAAT SLHD DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN DAERAH


Selain menjadi kegiatan wajib yang harus dilaksanakan untuk setiap tahunnya
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 63 ayat (1) sampai
dengan ayat (3), penyusunan SLHD memiliki peranan dalam pengambilan
kebijakan pembangunan daerah pada tahun berikutnya.
Beberapa manfaat dalam pengambilan kebijakan daerah pada tahun 2015 yang
bersumber dari hasil penyusunan SLHD tahun sebelumnya adalah sebagai
berikut :
1. Sebagai bahan dasar dalam penyusunan Peraturan Gubernur Sulawesi Barat
Tentang Baku Mutu Air dan Peraturan Gubernur tentang Jenis Usaha
dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL/UPL.
2. Kebijakan pengalokasian dana untuk penanggulangan abrasi pantai melalui
penanaman mangrove dan bambu.
3. Pengambilan kebijakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan akibat kebakaran
hutan
I-I AGENDA PEGELOLAAN LINGKUNGAN
Kebijakan pembangunan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2015 dituangkan dalam
arah kebijakan umum tahun 2015 di bidang lingkungan hidup yang antara lain
berisikan :
1. Peningkatan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan dan
keanekaragaman hayati yang mendorong sumber pencemaran memenuhi
standar baku mutu;

Pendahuluan
P - 25
2. Penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia pengelola
lingkungan hidup;
3. Membangun kemampuan dalam pelaksanaan koordinasi kebijakan dan
perencanaan pembangunan di bidang lingkungan hidup;
4. Peningkatan partisipasi dan peran serta masyarakat;
5. Peningkatan upaya penegakan hukum lingkungan;
6. Penguatan akses masyarakat terhadap informasi lingkungan hidup.

Pada tahun 2015 ini melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,
pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran untuk bidang pengelolaan
lingkungan hidup sebesar Rp. 21.079.938.500,- serta anggaran pendapatan
dan belanja nasional melalui dana dekonsentrasi bidang lingkungan hidup
sebesar Rp. 1.300.000,-. Dengan demikian, total anggaran pemerintah Provinsi
Sulawesi Barat dalam bidang lingkungan hidup untuk tahun 2015 sebesar Rp.
22.379.938.500,-

Anggara tersebut jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, mengalami


peningkatan yang cukup signifikan, dimana anggaran sebelumnya dari total
dana APBN dan APBD untuk bidang lingkungan hidup hanya sebesar Rp.
10.361.050.000,- atau mengalami peningkatan sebesar Rp. 1.650.643.650,-

Perbandingan anggaran kegiatan di bidang lingkungan hidup untuk tahun 2013


sampai dengan tahun 2015 dapat dilihat pada table berikut ini :

Tabel 1.10 : Perbandingan Anggaran Lingkungan Hidup Tahun 2013 2015


Jumlah Anggaran
No. Sumber Anggaran
Tahun 2015 Tahun 2014 Tahun 2013

1 APBD 21.079.938.500 7.947.000.000 4.210.406.350

2 APBN 1.300.000.000 2.414.050.000 4.500.000.000

3 Bantuan Luar Negeri*) - - -

Total 22.379.938.500 10.361.050.000 8.710.406.350


Sumber : tabel UP-10A Buku Data

Program kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Badan Lingkungan Hidup


Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015 untuk menunjang pembangunan di bidang
lingkungan hidup antara lain :

Pendahuluan
P - 26
1. Kegiatan yang bersumber dari dana APBD :
Program Pengembangan Kinerja Pengelolaan Persampahan
Bimbingan teknis persampahan
Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup.
Koordinasi penilaian kota sehat Adipura
Pengelolaan B3 dan Limbah B3
Pengkajian Dampak Lingkungan
Inventarisasi Usaha Kegiatan Wajib AMDAL/UKL/UPL
Koordinasi Pengawasan Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Pos P3SLH
Kegiatan Pembinaan dan Pengawasan Kualitas Udara Skala Provinsi
Penetapan Baku Mutu Air Provinsi Sulawesi Barat
Updating Draf Peraturan Bidang AMDAL dan Sistem Informasi Data Base
(Aplikasi Data Base Dokumen AMDAL UPL-UKL)
Penyusunan Pergub Baku Mutu Air
Penyusunan Pergub tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
dilengkpi dengan UKL/UPL
Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam
Konservasi Sumber Daya Air dan Pengendalian Kerusakan Sumber-
Sumber Air
Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan dan Konservasi
SDA
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup
Pengembangan Data dan Informasi Lingkungan
Penyusunan Status Lingkungan Hidup Daeah (SLHD) dan IKLH
Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut
Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut
Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup.
Pengembangan Program Program ADIWIYATA (Sekolah Peduli
Lingkungan)
Penyusunan PDRB Hijau Sulawesi Barat

Pendahuluan
P - 27
2. Kegiatan yang bersumber dari dana APBN yakni Program Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Peningkatan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah, antara lain :
Pengawasan dan Pemantauan Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan
Limbah Berbahaya dan Beracun
Pemantauan Kualitas Air Pada Sumber Air Skala Nasional Dan Atau
Merupakan Lintas Batas Negara Dan Atau Prioritas Nasional
Pemantauan Kualitas Udara Lintas Provinsi Dan Atau Lintas Batas Negara
Dan/Atau Prioritas Nasional
Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan sebagaimana yang telah diagendakan
dalam program kerja Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat untuk
tahun 2015, harus dibarengi dengan ketersediaan sumber daya manusia
pengelola lingkungan hidup. Berdasarkan data yang dihimpun dari Sekretariat
Badan lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat, Jumlah pegawai negeri di BLH
Provinsi Sulawesi Barat untuk tahun 2015 ini baru sekitar 47 orang yang terdiri
dari 23 laki-laki dan 24 perempuan. Jumlah ini mengalami pertabahan dari
tahun sebelumnya yakni hanya 43 orang.

Pendahuluan
P - 28
BAB II
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP
DAN KECENDERUNGANNYA

II-A. LAHAN DAN HUTAN


Provinsi Sulawesi Barat merupakan pengembangan dari Provinsi Sulawesi Barat
yang dibentuk pada tahun 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2004 tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Sebagian besar luas daratan
Sulawesi Barat masih tertutupi oleh kawasan hutan, sekitar 69,53 persen atau
sekitar 11.241,05 Km2 dari luas Sulawesi Barat yang mencapai 16.916,72 Km 2.
Kondisi ini memberi gambaran jika sub sektor kehutanan di Sulawesi Barat masih
cukup potensial untuk dikembangkan.
Secara filosofis, wilayah Provinsi Sulawesi Barat termasuk dalam Mandala Geologi
Sulawesi Barat atau merupakan bagian tengah dari Busur Volkanik Sulawesi Barat
yang didominasi oleh batuan-batuan plutonik volkanik Paleogen-Kuarter serta
batuan sedimen dan metamorfik Mezoik tersier.
Sejarah geologi daerah penyelidikan Provinsi Sulawesi Barat dimulai pada zaman
kapur dengan pengendapan Formasi Latimojong (Kls) yang terdiri dari batu sabak,
kuarsit, filit, batu pasir, kuarsa malih, batu lanau malih dan pualam setempat serta
batu lempeng malih.
Formasi Mandar (Tmm) terdiri dari batu pasir, batu lanau dan serpih berlapis baik
serta mengandung lensa lignit yang berumur Miosen Akhir. Tebalnya mencapai
400 meter dan diendapkan dalam lingkungan laut dangkal sampai delta.
Pada lembar Mamuju, formasi ini disebut Formasi Mamuju (Raman dan
Atmawinata 1993) didominasi oleh napal dan batu gamping dengan sisipan tuf,
batu pasir dan konglomerat. Formasi Mamuju diendapkan bersamaan dengan
Anggota Tapalang Formsi Mamuju (Tmmt) yang terdiri dari batugamping terumbu,
batugamping kepingan dan napal. Keduanya menjemari dengan Batuan
Gunungapi Talaya (Tmtv) disusul oleh Formasi Lariang (Tmpl) yang terdiri dari
perselingan antara konglomerat dan batupasir, sisipan dari batu lempung dan
setempa tuf berumur Miosen Akhir Pliosen.
Jenis jenis tanah yang ada di wilayah Sulawesi Barat terdiri dari tanah inceptisol
dan tanah ultisol. Jenis tanah inceptisol terdapat di hampir seluruh wilayah
Sulawesi Barat yakni merupakan tanah muda dengan tingkat perkmbangan lemah

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K-1
yang dicirikan oleh horizon penciri kambik. Tanah ini terbentuk dari berbagi
macam bahan induk yaitu luvium (fluvitil dan marin), batu pasil, batu liat dan batu
gamping. Penyebaran tanah ini terutama di daerah dataran antara erbukitan,
tanggul sungai, rawa belakang sungai, dataran luvial, sebagaian dataran structural
berelief datar, landform structural/tektonik dan dataran/perbukitan volkanik.
Tanah inceptisol memiliki horizon cambic pada horizon B yang dicirikan dengan
adanya kandungan liat yang belum terbentuk dengan baik akibat proses basah
kering dan proses penghanyutan pada lapisan tanah.
Jenis tanah utisol merupakan tanah berwarna kemerahan yang banyak
mengandung lapisan tanah liat dan bersifat asam. Warna tersebut terjadi akibat
kandungan logam, terutama besi dan aluminum yang teroksidasi (weathered soil).
Tanah ini umumnya terdapat di daerah topis pada hutan hujan dan secara alamiah
sangat cocok untuk kultivasi atau penanaman hutan. Selain itu juga merupakan
material yang stabil digunakan dalam konstruksi bangunan. Parameter yang
menentukan persebaran jenis tanah di wilayah Sulawesi Barat adalah jenis
batuan, iklim dan geomorfologi local, sehingga perkebangannya ditentukan oleh
tingkat pelapukan batuan pada kawasan tersebut. Kulaitas tanah mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap intensitas penggunaan lahannya. Tanah-
tanah yang sudah berkembang horizonnya akan semakin intensif digunakan,
terutama untuk kegiatan budidaya.
Lahan dan hutan merupakan sumber perekonomian bagi masyarakat, karena
daerah Provinsi Sulawesi Barat mempunyai kawasan hutan yang cukup luas. Oleh
sebab itu, sumber daya hutan yang berlimpah diharapkan menjadi potensi yang
memiliki nilai ekonomi dan pembangunan bagi semua pihak, sepanjang tetap
memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan untuk pelestarin fungsi hutan.
Produksi hasil hutan non kayu yang cukup banyak di Sulawesi Barat adalah rotan
dan getah pinus masing-masing sebesar 2.566 ton dan 132.359 ton. Luas hutan
di Sulawesi Barat selama ini terpantau di 16 titik pos kehutanan yang tersebar
disemua kabupaten.
Pembahasan lahan dan hutan dilakukan dengan analisis statistik sederhana
dengan perbandingan dengan baku mutu, perbandingan nilai antar lokasi dan
antar waktu serta analisis statistik sederhana dengan membandingkan frekuensi,
maksimum, minimum dan rata-rata melalui pendekatan-pendekatan sebagai
berikut :

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K-2
1. Mengidentifikasi kondisi lahan dan hutan yang terparah untuk dijadikan subjek
utama
2. Mengidentifikasi lahan kritis dibeberapa kabupaten
3. Mengukur tingkat percepatan kerusakan dan perbaikan lahan.
4. Menelaah lebih lanjut aktifitas utama yang menyebabkan perubahan alih
fungsi lahan, seperti :
Konversi lahan dan hutan akibat ekspansi perkebunan
Konversi lahan dan hutan akibat ekspansi pertambangan
Konversi lahan dan hutan akibat ekspansi Galian C
Konversi lahan dan hutan akibat ekspansi Penebangan liar.
Luas wilayah menurut penggunaan lahan utama.
Tutupan lahan merupakan sesuatu yang bersifat dinamis. Perubahan tutupan
lahan baik yang terjadi oleh faktor manusia maupun yang disebabkan faktor alam,
hal ini menjadi dinamika terhadap tutupan lahan. Bentuk dari dinamika tutupan
lahan yang paling sering terjadi adalah penggunaan lahan yang belum
terpakai/lahan kosong, dan juga perubahan fungsi lahan dari fungsi yang satu
menjadi fungsi lainnya atau biasa yang disebut dengan konversi. Pertambahan
penduduk yang semakin tinggi dapat ,mengakibatkan tutupan lahan semakin
tinggi.
Pembagian luas lahan di Provinsi Sulawesi Barat berdasarkan masing-masing
kabupaten dapat dilihat melalui tabel berikut :
Tabel. 2.1 : Luas Penggunaan Lahan Utama Provinsi Sulawesi Barat
Luas Lahan (Ha)
No. Kabupaten Non Lahan
Sawah Perkebunan Hutan Badan Air Total
Pertanian Kering
Mamuju
1 3.391,00 20.347,00 0,00 88.818,00 181.090,00 5.245,00 298.891,00
Utara
Mamuju
2 733,00 39.244,00 0,00 49.048,00 219.423,00 2.344,00 310.792,00
Tengah
3 Mamuju 2.480,00 40.293,00 0,00 65.738,00 371.409,00 3.317,00 483.237,00

4 Majene 1.183,00 6.671,00 0,00 29.987,00 51.472,00 707,00 90.020,00


Polewali
5 6.427,00 24.747,00 0,00 72.361,00 97.837,00 6.907,00 208.279,00
Mandar
6 Mamasa 437,00 4.504,00 0,00 91.345,00 202.874,00 1.293,00 300.453,00

Total 14.651,00 135.806,00 0,00 397.297,00 1.124.105,00 19.813,00 1.691.672,00


Sumber : Tabel SD-1 Buku Data

Berdasarkan Tabel diatas, luas lahan berdasarkan peruntukannya di Provinsi


Sulawesi Barat adalah 1.691.672 hektar. Jika dilihat dari jenis kawasan, maka

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K-3
kawasan hutan menempati urutan tertinggi untuk luas kawasan yakni sekitar
66,45 % dan yang terendah adalah lahan sawah yakni sekitar 0,87 %. Untuk luas
kawasan hutan tertinggi sendiri berada di Kabupaten Mamuju yakni sekitar
371.409 hektar sedangkan yang terendah berada di Kabupaten Majene yakni
sekitar 51.472.00 hektar. Kawasan perkebunan didominasi oleh Kabupaten
Mamasa yakni seluas 91.345 hektar sedangkan yang terkecil adalah Kabupaten
Majene yakni sebesar 29.987
Lahan non pertanian yang terluas berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni
seluas 6.427 hektar sedangkan yang terendah berada di Kabupaten Mamuju
Tengah yakni seluas 733 hektar.
Untuk lahan sawah sendiri, yang terluas berada di Kabupaten Mamuju yakni
seluas 40.293 hektar sedangkan di yang terkecil berada di Kabupaten Mamasa
yakni sekitar 4.504 hektar. Perbandingan luas kawasan hutan menurut
pembagian lahan dapat dilihat pada grafik berikut;
Grafik 2.1 : Persentase Luas Lahan Berdasarkan Penggunaan Lahan Utama di Provinsi
Sulawesi Barat

Sumber : Hasil perhitungan luas lahan.

Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi Atau Statusnya


Berdasarkan data dari materi teknis Perda RTRW Provinsi Sulawesi Barat Tahun
2015-2034, total luas kawasan hutan untuk provinsi Sulawesi Barat adalah
1.124.105 hektar. Berdasarkan pembagian kawasan hutan menurut fungsinya,
hutan lindung merupakan yang terluas yakni mencapai 450.639 hektar disusul
oleh hutan produksi terbatas seluas 334.393 hektar, suaka margasatwa seluas

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K-4
214.099 hektar, hutan produksi seluas 76.910 hektar, hutan produksi konservasi
27.424 hektar serta kawsan wisata seluas 149 hektar.
Luas kawasan hutan tersebut dihitung dari luas kawasan hutan yang berada di
enam Kabupaten yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Penentuan
tapal batas dan pengawasan isi kawasan serta fungsi dan statusnya menjadi
sangat penting guna mengetahui prospek ketahanan tutupan vegetasi Provinsi
Sulawesi Barat terhadap bencana alam.
Grafik 2.2 : Perbandingan luas hutan menurut fungsinya

Sumber : Hasil olah data buku data tabel SD-2

Luas kawasan lindung menurut RTRW dan Tutupan Lahannya.


Rencana Pengembangan Kawasan Lindung Wilayah Provinsi meliputi kawasan
lindung yang ditetapka dalam RTRWN yang terkait dengan wilayah provinsi dan
rencana pengembangan kawasan lindung provinsi yang merupakan kewenangan
provinsi. Kawasan lindung yang ditetapkan dalam RTRWN disebut Kawasan
indung Nasional, kawasan yang tidak diperkenankan dan/atau dibatasi
pemanfaatan ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Dalam RTRW, penentuan kawasan lindung di Sulawesi Barat di dasarkan pada
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 726 tahun 2012 tentang kawasan
hutan dan konservasi perairan. Melengkapi peta tersebut, juga dilakukan analisi
penentuan peruntukan kawasan hutan dalam skala yang lebih detail (1:50000)
berdasarkan data evaluasi, kemiringan lereng, sebaran kawasan rawan banjir
serta kawasan rawan longsor dan gempa.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K-5
Keberadaan dan terpeliharanya kawasan lindung di Sulawesi Barat diniliai sangat
vital. Pada wilayah dengan curah hujan yang tinggi seperti di kebanyakan wilayah
di Sulawesi Barat, kawasan lingkung menjadi penyangga bencana banjir, longsor
dan erosi. Sementara pada wilayah dengan curah hujan yang relatif rendah,
seperti di Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju Utara bagian Utara,
kawasan lindung enjadi penyangga bagi ketersediaan air untuk berbagai
kepentingan.

Meskipun demikian, ada sebagian kecil wilayah yang tersebar di semua


kabupaten di Sulawesi Barat yang secara legalitas-formalnya tercatat sebagai
hutan lindung, akan tetapi dalam kenyataannya sudah sejak lama menjadi
kawasan pemukiman. Jika ditinjau dari bio-geofisik, kawasan-kawasan tersebut
tidak cocok untuk dijadikan hutan lindung karena tidak memberikan fungsi
sebagai kawasan lindung.

Berdasarkan data yang tertuang dalam Perda RTRW Provinsi Sulawesi Barat, luas
kawasan lindung di Sulawesi Barat adalah 1.557.229,50 hektar yang terdiri atas
kawasan perlindungan terhadap kawasan seluas 668.375,10 hektar, kawasan
perlindungan setempat seluas 675.041 hekar dan kawasan suaka alam seluas
213.813,40 hektar. Pembagian kawasan berdasarkan tutupan lahan belum dapat
dihitung secara terperinci baik dari data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat
maupun penjabaran dari Perda RTRW Provinsi Sulawesi Barat.

Luas Tutupan Lahan dalam Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan

Data luas tutupan lahan dalam kawasan hutan dan luar kawasan hutan dirinci
menurut kabupaten berdasarkan data yang tertuang dalam lapiran II-Lapiran IV
Perda Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2015 tentang RTRW Provinsi
Sulawesi Barat Tahun 2015-2034, yang dapat dihitung adalah luas kawasan
hutan yang dirinci sebagai berikut :

Kabupaten Mamuju Utara


Luas tutupan lahan KSA-KPA sebesar 161,31 Ha
Luas tutupan lahan HL sebesar 103.313,49 Ha
Luas tutupan lahan HPT sebesar 55.002,76 Ha
Luas tutupan lahan HP sebesar 2.107,09 Ha
Luas tutupan lahan HPK sebesar 8.998,35 Ha

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K-6
Kabupaten Mamuju Tengah
Luas tutupan lahan KSA-KPA sebesar 50.923,18 Ha
Luas tutupan lahan HL sebesar 16.633,52 Ha
Luas tutupan lahan HPT sebesar 95.944.40 Ha
Luas tutupan lahan HP sebesar 30.019,73 Ha
Luas tutupan lahan HPK sebesar 6.000,25 Ha
Kabupaten Mamuju
Luas tutupan lahan KSA-KPA sebesar 93.698,09 Ha
Luas tutupan lahan HL sebesar 132.707,97 Ha
Luas tutupan lahan HPT sebesar 101.981,13 Ha
Luas tutupan lahan HP sebesar 44.782,69 Ha
Luas tutupan lahan HPK sebesar 11.988,74 Ha
Kabupaten Majene
Luas tutupan lahan HL sebesar 44.649,75 Ha
Luas tutupan lahan HPT sebesar 7.553,33 Ha
Kabupaten Polewali Mandar
Luas tutupan lahan KSA-KPA sebesar 733,9 Ha
Luas tutupan lahan HL sebesar 69.613,21 Ha
Luas tutupan lahan HPT sebesar 24.016,44 Ha
Kabupaten Mamasa
Luas tutupan lahan KSA-KPA sebesar 68.582,04 Ha
Luas tutupan lahan HL sebesar 83.721,19 Ha
Luas tutupan lahan HPT sebesar 49.894,66 Ha
Luas tutupan lahan HPK sebesar 437,10 Ha
Luas Lahan Kritis.
Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif. Meskipun dikelola, produktivitas
lahan kritis sangat rendah, bahkan dapat terjadi hasil produksi yang diterima jauh
lebih sedikit daripada biaya produksinya. Lahan kritis bersifat tandus, gundul, dan
tidak dapat digunakan untuk kegiatan perkebunan dan pertanian, karena tingkat
kesuburannya sangat rendah. Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang
mengalami proses kerusakan fisik, kimia dan biologi karena tidak sesuai
penggunaan dan kemampuannya, yang akhirnya membahayakan fungsi
hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial
ekonomi dan lingkungan.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K-7
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis, adalah sebagai berikut.
1. Genangan air yang terus-menerus seperti di daerah pantai dan rawa-rawa.
2. Kekeringan, biasanya terjadi di daerah bayangan hujan.
3. Erosi tanah atau masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi,
pegunungan, dan daerah miring lainnya.
4. Pengelolaan lahan yang kurang memerhatikan aspek-aspek kelestarian
lingkungan. Lahan kritis dapat terjadi baik di dataran tinggi, pegunungan,
daerah yang miring maupun di dataran rendah.
5. Masuknya material yang dapat bertahan lama ke lahan pertanian, misalnya
plastik. Plastik dapat bertahan 200 tahun di dalam tanah sehingga sangat
mengganggu kelestarian lahan pertanian.
6. Terjadinya pembekuan air, biasanya terjadi di daerah kutub atau pegunungan
yang sangat tinggi.
7. Masuknya zat pencemar (misal pestisida dan limbah pabrik) ke dalam tanah
sehingga tanah menjadi tidak subur.
Berikut tabel luas lahan kritis di Sulawesi Barat dirinci per Kabupaten berdasarkan data
dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat.
Tabel 2.2 : Luas Lahan Kritis Provinsi Sulawesi Barat
No. Kabupaten Kritis (Ha) Sangat Kritis (Ha) Jumlah Total (Ha)

1 Mamuju Utara 1067,00 45,00 1112,00


2 Mamuju Tengah 0,00 0,00 0,00
3 Mamuju 71533,83 0,00 71533,83
4 Majene 19814,00 0,00 19814,00
5 Polewali Mandar 21970,00 0,00 21970,00
6 Mamasa 64033,00 0,00 64033,00
Total 178417,83 45,00 178462,83
Sumber : Tabel SD-5 Buku Data

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa luas lahan kritis di Provinsi
Sulawesi Barat untuk tahun 2015 adalah 178.462, 83 hektar dengan wilayah
terluas berada di Kabupaten Mamuju yakni seluas 71.533,83 hektar. Jumla ini
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni
mencapai 246.517 hektar.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis, adalah sebagai berikut.
1. Genangan air yang terus-menerus seperti di daerah pantai dan rawa-rawa.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K-8
2. Kekeringan, biasanya terjadi di daerah bayangan hujan.
3. Erosi tanah atau masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi,
pegunungan, dan daerah miring lainnya.
4. Pengelolaan lahan yang kurang memerhatikan aspek-aspek kelestarian
lingkungan. Lahan kritis dapat terjadi baik di dataran tinggi, pegunungan,
daerah yang miring maupun di dataran rendah.
5. Masuknya material yang dapat bertahan lama ke lahan pertanian, misalnya
plastik. Plastik dapat bertahan 200 tahun di dalam tanah sehingga sangat
mengganggu kelestarian lahan pertanian.
6. Terjadinya pembekuan air, biasanya terjadi di daerah kutub atau pegunungan
yang sangat tinggi.
7. Masuknya zat pencemar (misal pestisida dan limbah pabrik) ke dalam tanah
sehingga tanah menjadi tidak subur.

Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air

Kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat disebabkan oleh sifat alami
tanah, dapat pula disebabkan oleh kegiatan manusia yang menyebabkan tanah
tersebut terganggu/rusak hingga tidak mampu lagi berfungsi sebagai media untuk
produksi biomassa secara normal. Tata cara pengukuran kriteria baku kerusakan
tanah untk produksi biomassa ini hanya berlaku untuk pengukuran kerusakan
tanah karena tindakan manusia di areal produksi biomassa maupun karena
adanya kegiatan lain diluar areal produksi biomassa yang dapat berdampak
terhadap terjadinya kerusakan tanah untuk produksi biomassa.

Pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa dilakukan


pada areal yang telah ditetapkan dalan rencana RTRW Kabupaten Kota sebagai
kawasan produksi biomassa. Selanjutnya kawasan untuk produksi biomassa
tersebut diidentifikasi untuk mengetahui areal-areal yang berpotensi mengalami
kerusakan tanah berdasarkan dat-data sekunder (peta tematik) atau informasi
yang ada.

Perbandingan dengan baku mutu


Untuk pengukuran erosi dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan oleh
BLHP Kabupaten Majene, untuk melihat pengurangan tebal tanah selama paling
sedikit 1 tahun untuk analisa kerusakan tanah dilahan kering akibat erosi air
sementara hanya dilakukan dengan tebal tanah <20 cm di lokasi Kelurahan

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K-9
Tande, pada kemiringan > 450 dengan estimasi hasil pengukuran sepuluh tahun
1,5 mm atau melebihi baku mutu ambang kritis erosi (>0,2 - <1,3) dan 20 <50
cm di lokasi Lingk. Puawang pada kemiringan >450 dengan estimasi hasil
pengukuran sepuluh tahun 4,2 mm melebihi baku mutu ambang kritis erosi
(1,3-< 4).
Tabel 2.3 : Evaluasi kerusakan lahan di tanah kering akibat erosi
Ambang Kritis Erosi Besaran erosi
No. Tebal Tanah Status Melebihi/Tidak
(PP 150/2000) (mm/10 tahun) (mm/10 tahun)
1 < 20 cm 0,2 - 1,3 1,5 melebihi

2 20 - < 50 cm 1,3 - < 4 4,2 melebihi

3 50 - < 100 cm 4,0 - < 9,0 tad tad

4 100 150 cm 9,0 12 tad tad

5 > 150 cm > 12 tad tad


Sumber : Tabel SD-6 Buku Data
Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering

Kriteria baku yang digunakan untuk menentukan status kerusakan tanah untuk
produksi biomassa didasarkan pada parameter kunci sifat dasar tanah, yang
mencakup sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah. Sifat dasar tanah ini
menentukan kemampuan tanah dalam menyediakan air dan unsur hara yang
cukup bagi kehidupan (pertumbuhan dan perkembangan) tumbuhan. Dengan
mengetahui sifat dasar suatu tanah maka dapat ditentukan status kerusakan
tanah untuk produksi biomassa.

Kriteria baku ini dapat digunakan untuk produksi biomassa tanaman semusim
maupun tanaman keras (perkebunan dan kehutanan). Khusus untuk parameter
ketebalan solum nilai ambang kritis hanya berlaku untuk tanaman semusim,
sedangkan untuk tanaman keras (perkebunan dan kehutanan) nilai ambang kritis
harus disesuaikan dengan kebutuhan jenis tanaman keras tersebut (berdasarkan
evaluasi kesesuaian lahan).

Perbandingan dengan baku mutu

Pada periode pemantauan kualitas tanah tahun 2015 pada Lahan Kering
dilakukan oleh Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar. Untuk
Kabupaten Majene dilakukan di tiga lokasi yakni berada di Desa Lambe, Desa
Pangaleroang dan Desa Talongga. Dari hasil pemantauan di Kabupaten Majene
dapat dijabarkan bahwa parameter yang melebihi baku mutu sesuai dengan

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 10
ketentuan dalam PP 150 tahun 2000 ada tiga parameter yakni Kebatuan
Permukaan, Derajat Peluusan Air dan Jumlah Mikroba. Pada parameter Kebatuan
Permukaan parameter yang melebihi baku mutu berada di Desa Pangaleroang,
untuk parameter Jumlah Mikroba melebihi baku mutu di Desa Lambe dan Desa
Talongga, sedangkan untuk Parameter Derajat Pelulusan Air melebihi baku mutu
di Tiga Desa yang dilakukan pemantauan.

Untuk pemantauan kualitas tanah pada lahan kering di Kabupaten Polewali


Madar, dilakukan di tiga kecamatan yakni Kecamatan Luyo, Tapango dan
Binuang. Pada pemantauan yang di lakukan di Kabupaten Polewali Mandar ada
satu parameter yang melebihi baku mutu sesuali ketentuan dalam PP 150 tahun
2000 yakni parameter redoks yang terjadi di semua lokasi.

Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah.

Pelaksanaan evaluasi kerusakan tanah di lahan kering akibat erosi, berdasarkan


data yang dikumpulkan dari Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan baik di
tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten bahwa sampai saat ini belum pernah
dilakukan pengukuran sehingga belum ada data yang tersedia sebagaimana
standar baku mutu yang telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor
150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi
Biomassa.

Perkiraan Luas Kerusakan Hutan menurut Penyebabnya

Tidak bisa dipungkiri bahwa kerusakan hutan terjadi setiap hari, informasi
tersebut seringkali kita dapatkan dari berbagai macam media seperti televisi,
internet, radio, dan media-media lainnya. Padahal kita tahu semua bahwa
keberadaan hutan sangatlah penting bagi kehidupan didunia ini dianataranya
sebagai paru-paru dunia, mengendalikan bencana alam, rumah bagi flora fauna,
dan masih banyak lagi.

Dan dibawah ini akan dijelaskan secara singkat penyebab kerusakan hutan serta
dampaknya bagi kehidupan dimuka bumi ini.

1. Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan


hutan. Kebakaran hutan sangalah susah untuk diatas, untuk itu kita semua harus

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 11
dapat mengantisipasi agar kejadian tersebut tidak terjadi. Penelitian menunjukan
bahwa sebagian besar kebakaran hutan yang terjadi dikarenakan ulah manusia.

2. Penebangan Hutan Secara Liar

Penyebab kerusakan hutan lainnya yang memilidi andil yang sangat besar adalah
penebangan hutan secara liat atau yang biasa disebut illegal logging. Umumnya
kejadian seperti ini dilatarbelakangi oleh permasalahan ekonomi, untuk itu
Pemerintah diharapkan bisa memberikan solusi dalam permasalahan ini.

3. Penegakan Hukum Yang Lemah

Lemahnya supremasi hukum di Indonesia menjadi penyebab lain dari kerusakan


hutan, hal ini yang membuat pelaku kerusakan hutan tidak jera dan melakukan
perbuatan illegal logging lagi setelah mendapatkan hukuman. Ini juga merupakan
pekerjaan rumah bagi Pemerinta untuk membuat hukum yang baik.

4. Mentalitas Manusia

Sebenarnya penyebab kerusakan hutan yang terjadi selama ini adalah karena
mantalitas sebagian manusia yang menganggap dirinya paling berhak untuk
mengelola hutan. Padahal kenyataan dilapangan banyak amanah yang
disalahgunakan sehingga menjadikan hutan yang semakin hari semakin rusak.

Grafik 2.3 : Luas kerusakan hutan Provinsi Sulawesi Barat.

Sumber : Tabel SD-9 Buku Data

Berdasarkan data yang dihimpun dari masing-masing kabupaten di Provinsi


Sulawesi Barat, Kerusakan hutan di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2015 yang
paling besar disebabkan oleh Perambahan Hutan yakni mencapai 27.505 hektar

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 12
disusul oleh kegiatan penebangan liar, kebakaran hutan dan peladangan
berpindah.

Analisis statistik sederhana

Pada tahun 2015 ini, hampir semua daerah di seluruh Indonesia dilanda
kebakaran hutan yang berkepanjangan. Jika ditelusuri secara mendalam, sebagin
besar kebakaran hutan diakibatkan oleh perambahan hutan untuk alih fungsi
lahan yang tidak mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Pengaruh kemarau panjang yang terjadi pada tahun 2015 ini menjadi salah satu
penyebab kebakaran hutan dari akibat perambahan hutan dan penebangan liar.

Pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi menurut peruntukkannya

Tata Cara Pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi menurut


peruntukannya sebagaimana diatur dala Peraturam Menteri Kehutanan RI Nomor
P-33/Menhut-II/2010 dalam pasal 2 dijelaskan bahwa pelepasan kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat
dilakukan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi. Lebih jauh lagi dijabarkan
dalam Pasal 3 ayat (1) dikatakan bahwa kegiatan pembangunan yang bukan
kegiatan kehutanan antara lain : a. penempatan korban bencana alam; b. waduk
dan bendungan; c. fasilitas pemakaman; d. fasilitas pendidikan; e. fasilitas
keselamatan umum; f. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; g.
kantor Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; h. permukiman dan/atau
perumahan; i. transmigrasi; j. bangunan industri; k. pelabuhan; l. bandar udara; m.
stasiun kereta api; n. terminal; o. pasar umum; p. pengembangan/pemekaran
wilayah; q. pertanian tanaman pangan; r. budidaya pertanian; s. perkebunan; t.
perikanan; u. peternakan; atau v. sarana olah raga.

Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan di berbagai sektor akan


berdampak pada perubahan fungsi hutan. Perubahan fungsi hutan pada
umumnya dipengaruhi oleh perluasan pembangunan akibat dampak dari
pertambahan jumlah penduduk serta perkembangan pada sektor industri,
pertanian, perkebunan, pertambangan dan lain sebagainaya. Untuk menghindari
semakin bertambahanya konversi hutan, maka perlu ditetapka rencana tata ruang
wilayah untuk menentukan luas kawasan hutan yang ditidak dapat dikonversi lagi
untuk peruntukan lainnya. Berdasarkan data yang tertuang dalam Perda Provinsi
Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilyah Provinsi

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 13
Sulawesi Barat Tahun 2015-2034 pada lampiran XVII, perubahan peruntukan
kawasan hutan dibagi menjadi 8 kawasan dengan umlah total 9.295,10 hektar.
Adapun rician pembagian perubahan peruntukan kawasan hutan sebagai berikut :
Grafik 2.4 : Pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi

Sumber : Hasil olah data tabel SD-10 Buku Data

Berdasarkan grafik diatas, pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi yang
terbesar adalah untuk kawasan pertanian yakni seluas 7.314,44 hektar,
sedangkan untuk kawasan industry dan pertambangan, belum mendapatkan
ruang untuk pengembangan kawasan.

Analisis statistik sederhana

Tabel 2.4 : Pelepasan Kawasan Hutan yang dapat dikonversi menurut


peruntukannya.

No. Peruntukan Luas (Ha)

1 Pemukiman 512,51
2 Pertanian 7314,44
3 Perkebunan 9,67
4 Industri 0,00
5 Pertambangan 0,00
6 Lainnya 1458,48
Sumber : Tabel SD-10 Buku Data
Pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi menutut peruntukannya
sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 14
Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Barat tahun 2014 2034 dibagi dalam kategori
sebagai berikut :
Untuk kawasan pemukiman seluas 512,51 hektar
Untuk kawasan pertanian seluas 7.314,44 hektar
Untuk kawasan perkebunan seluas 9,67 hektar
Untuk kawasan lainnya seluas 1.458,48 hektar

II-B. KEANEKARAGAMAN HAYATI

Keanekaragaman hayati adalah istilah yang di gunakan secara umum untuk


derajat keanekaragaman sumberdaya alam hayati, meliputi jumlah maupun
frekuensi dari ekosistem, spesies, maupun gen di suatu daerah.

Pada dasarnya keanekaragaman melukiskan keadaan yang bermacam-macam


terhadap suatu benda yang terjadi akibat adanya perbedaan dalam hal, ukutan,
bentuk, tekstur maupun jumlah, Sedangkan kata hayati itu sendiri berarti sesuatu
yang hidup, jadi Keanekaragaman Hayati bisa di artikan sebagai keanekaragaman
atau keberagaman dari mahluk hidup yang bisa terjadi akibat adanya Perbedan-
perbedaan, di antaranya perbedaan bentuk, ukuran, warna, jumlah tekstur,
penampilan dan juga sifat-sifatnya.

Keanekaragaman Hayati terkadang sering di kenal dengan


sebutan biodiversitas (bahasa Inggris: biodiversity). Aspek yang berbeda dari
keanekaragaman hayati semua memiliki pengaruh yang sangat kuat antara satu
dengan yang lainnya, Kita mulai akan memahami hubungan antara makhluk
hidup dan lingkungan mereka melalui artikel ini dan penjelasan di website
genggaminternet.com. Keanekaragaman juga dapat membantu kita dalam
kehidupan kita sehari-hari. akan tetapi taukah kamu jika gas rumah kaca yang
dihasilkan oleh aktivitas manusia yang menumpuk di atmosfer akan
menyebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi
keanekaragaman hayati di seluruh Dunia.

Keadaan flora dan fauna yang dilindungi.

Provinsi Sulawesi Barat memiliki beragam ekosistem baik yang merupakan


ekosistem buatan maupun ekosistem alami. Keanekaragaman hayati di seluruh
ekosistem yang ada juga sangat tinggi, baik keanekaragaman hayati yang masih
liar maupun yang telah dibudidayakan.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 15
Untuk memuahkan dalam menggambarkan kekayaan sumberdaya hayati, maka
keanekaragaman hayati di Provinsi Sulawesi Barat dikelompokkan menjadi empat
kelompok ekosistem yaitu : Ekosistem hutan, agroekosistem, ekosistem lahan
basah dan ekosistem pessisir dan laut.

Ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya.

Luas wilayah Provinsi Suawesi Barat yang didominasi oleh sebagian besar wilayah
hutan tropis sangat memungkinkan untuk perkembangan keanekaragaman hayati
yang tedapat di dalamnya.

Jenis tubuhan yang mendominasi pada hutan rimba antara lain : kayu alo (litsea
ampala), rambutan hutan (Nephelium lamppaceum), lemo (Ilex pleibrachiata),
Lepto-lepto (Litsea sp), kelong (Artocarpus dosyphyllus), bulieng (Diospyros
buxifolia), kayu bado (Scleichera oleorsa), kayu rita (Alstonia scholaris), jati
(Tectona grandis), Campagi (dalbergia latifolia), sugimanae (Antocephalus
cambada), durian hutan (Durio sp), kasea (Eucalyptus sp), bambo (Bambossa sp),
kayu hitam (Diospyros celebica), dan jenis-jenis lainnya.

Di dalam ekosistem hutan ini, terdapat berbagai jenis tumbuhan yang dapat
menghasilkan berbagai jenis hasil hutan nirkayu seperti : terpentin, getah damar,
madu, rotan dan sebagainya. Selain itu juga terdapat berbgai jenis tumbuhan
yang berkhsiat untuk pengobatan tradisional seperti : berbagi jenis empon-empon
(jahe, kunyit, laos, lempuyang temulawak) dan berbagai jenis tumbuhan lainnya.

Ekosistem hutan di daerh ini juga menjadi habitat berbagai jenis satwa liar, baik
dari jenis mamalia, burung, reptilian maupun serangga.
Tabel 2.5 : Beberapa Tumbuhan Daratan Yang Teridentifikasi

Nama
Nama Ilmiah Persebaran Geografi Status Habitat
Lokal
Pohon Borassus Majene, Polewali Mandar Endemik Daerah kering
Lontar Flabilifer
Eboni Diospyros Mamuju, Mamuju Utara Endemik, Hutan Tropis
Celebia terancam
Pinus Pinus Mamasa Tidak tahu Daerah
Merkusii Pegunungan
Jati Tectona Mamuju, Majene, Polman Terancam Daerah Kering
Grandis
Meranti Shorea sp Mamuju, Mamuju Utara Terancam Hutan Tropis

Bintagur Challophilum Mamuju, Mamuju Utara, Terancam Hutan Tropis


spp Mamasa

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 16
Nama
Nama Ilmiah Persebaran Geografi Status Habitat
Lokal
Durian Durio Mamuju, Majene, Polman, Melimpah Hutan Tropis
zibethinus Mamuju Utara
Kecapi Sandoricum Mamuju, Majene, Polman, Tidak tahu Hutan Tropis
Koetjapee Mamuju Utara
Kemiri Aleurites Mamuju, Majene, Polman, Melimpah Hutan Tropis
Moluccana Mamuju Utara
Nyatoh Palaquium sp Mamuju, Mamuju Utara, Terancam Hutan Tropis
Mamasa
Pulai Alstonia sp Mamuju, Mamuju Utara Terancam Hutan Tropis

Gaharu Gonystylus Mamuju, Mamuju Utara Terancam Hutan Tropis


Bancanus
Kapuk Gossampinus Mamuju, Majene, Poleman Melimpah Lahan
Malabarica Masyarakat
Pinang Pantace Provinsi Sulbar. Tidak tahu Lahan
Triptera Masyarakat

Tabel 2.6 : Beberapa Satwa Daratan yang Teridentifikasi

Nama
Nama Ilmiah Persebaran Geografi Status Habitat
Lokal
Anoa Bubalus Mamuju, Mamasa, Mamuju Terancam dan Hutan
Quarlesi Utara Endemik
Burung Megachepalon Mamuju, Mamuju Utara Terancam dan Pantai
Maleo Maleo Endemik
Babi Babarusa Mamuju, Mamasa, Mamuju Terancam dan Hutan
Hutan Babirusa Utara, Polman Endemik
Kutul Anhinga Provinsi Sulbar Terancam Hutan
Besar Melanogaster
Monyet Mecaca Provinsi Sulbar Terancam Hutan
Tongkeana
Rusa Cervus sp Provinsi Sulbar Terancam Hutan

Burung costumis sp Provinsi Sulbar Melimpah Hutan


Puyuh
Burung Passer Provinsi Sulbar Melimpah Pinggir hutan
Gereja Montanus
Burung Tyto sp Provinsi Sulbar Terancam Pinggir hutan
Hantu
Burung Stertopela Provinsi Sulbar Terancam Pinggir hutan
Tekukur Chinensis
Burung Buce Otidae Mamuju, Mamuju Utara Terancam dan Hutan
Rangkong Endemik
Ular Sanca Phyton sp Provinsi Sulbar Terancam Pinggir hutan
dan Hutan
Kadal Hydrosaurus Provinsi Sulbar Melimpah Pinggir hutan
sp dan Hutan
Tokek Gecko sp Provinsi Sulbar Melimpah Pinggir hutan
Hutan dan Hutan
Kakaktua Proboscciger Mamuju, Mamuju Utara Terancam dan Hutan
Raja Aterimus Endemik

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 17
Nama
Nama Ilmiah Persebaran Geografi Status Habitat
Lokal
Monyet Cynoptecus Provinsi Sulbar Terancam Hutan
Hitam Nigar
Monyet Bumesceus sp Provinsi Sulbar Terancam dan Hutan
Sulawesi Endemik
Kerbau Bubalus Mamuju, Mamasa Endemik Dpelihara
Belang Bubalis dan liar di
hutan
Agroekosistem dan Keanekaragaman Hayati di Dalamnya.

Agroekosistem di Provinsi Sulawesi Barat terdiri dari sawah, lading/huma,


kebun/tegalan, dan pekarangan. Tumbuhan yang berada di dalam agroekosistem
ini sebagian besar merupakan tanaman budidaya, meskipun erdapat pula
tumbuhan liarnya.

Dari berbagai jenis tanaman budidaya yang terdapat atau diusahakan oleh
masyarakat, beberapa jenis tanaman terutama dari tanaman buah-buahan,
keanekaragaman varietas/spesies yang terdapat di daam agroekosistem ini
cukup banyak. Jenis tanaman manga (Mangifera sp) yang terdapat di dalam
agroekosistem ini lebih dari sepuluh jenis. Pisang (Musa sp) juga terdiri atas
banyak varietas/spesies, demikian pula dengan rambutan, durian dan jambu.
Selain itu, terdapat pula jenis tanaman yang berada pada dataran tinggi seperti
markisa yang menjadi identitas wilayah tesebut.

Tabel 2.7 : Beberapa Tumbuhan Agroekosistem yang Terindentifikasi.

Nama
Nama Ilmiah Persebaran Geografi Status Habitat
Lokal
Asam Tamarindus Mamuju, Majene, Polman, Tidak Tahu Lahan
Indicus Mamuju Utara Masyarakat
Durian Durio Mamuju, Mamuju Utara, Melimpah Lahan
Zibethinus Polman, Mamasa Masyarakat
Cempedak Arthocarpus Mamuju, Mamuju Utara Tidak Tahu Lahan
Integer Masyarakat
Jambu Biji Psidium Provinsi Sulbar Melimpah Lahan
Guajava Masyarakat
Kuini Mangifera Mamuju, Majene, Polman, Tidak Tahu Lahan
Odorata Mamuju Utara Masyarakat
Langsat Aglaia Mamuju, Majene, Polman, Melimpah Lahan
Eusiderox Mamuju Utara Masyarakat
Lobi-Lobi Flacourtia Mamuju, Mamuju Utara, Melimpah Lahan
Inermis Polman Masyarakat
Mangga Mangifera Provinsi Sulbar Melimpah Lahan
Indica Masyarakat
Mengkudu Morinda Provinsi Sulbar Melimpah Lahan
Citrifolia Masyarakat

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 18
Nama
Nama Ilmiah Persebaran Geografi Status Habitat
Lokal
Nangka Arthocarpus Provinsi Sulbar Melimpah Lahan
Interophilus Masyarakat
Palapi Phylantus Mamuju, Mamuju Utara Terancam Lahan
Indicus Masyarakat
Rambutan Nephellum Mamuju, Majene, Polman, Melimpah Lahan
Lappaceum Mamuju Utara Masyarakat
Sirsak Annona Mamuju, Majene, Polman, Melimpah Lahan
Muricata Mamuju Utara Masyarakat

Selain jenis tumbuhan, terdapat pula berbagai jenis ternak yang diusahakan dan
dipelihara oleh masyarakat antara lain : sapi, kambing, kuda, babi dan jenis
unggas. Jenis ternak ini, selain diternakkan di lading yang kosong juga sebagian
besar dikandangkan di habitat pekarangan masyarakat.

Ekosistem Lahan Basah dan Keanekaragaman Hayati di Dalamnya

Lahan basah atau wetland (Ingg.) adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh
dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu
sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa
bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke
dalam air tawar, payau atau asin.

Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman


hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan
basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan),
seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan
lain-lain. Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai
dari yang khas lahan basah sepertibuaya, kura-kura, biawak, ular, aneka
jenis kodok, dan pelbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis burung
dan mamalia, termasuk pula harimau dan gajah.

Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang
subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-
lahan pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasipertambakan, maupun --
di Indonesia-- sebagai wilayah transmigrasi. Mengingat nilainya yang tinggi itu, di
banyak negara lahan-lahan basah ini diawasi dengan ketat penggunaannya serta
dimasukkan ke dalam program-program konservasi dan rancangan pelestarian
keanekaragaman hayati semisal Biodiversity Action Plan.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 19
Ekosistem lahan basah yang dimaksud adalah ekosistem perairan tawar umum
dan air payau yang terdiri dari danau, waduk dan rawa. Di wilayah Provinsi
Sulawesi Barat, terdapat sebuah waduk dari hasil bendungan yakni Dam Sekka-
Sekka. Untuk ekosistem sungai yang paling besar adalah ekosistem sungai
Lariang dan Sungai Mamasa. Di dalam ekosistem lahan basah ini, juga terdapat
berbagai jenis ikan dan udang antara lain : ikan mas, tawes, nilem, nila, gabus,
sepat, sidat, wader, udang air tawar dana beberapa jenis lainnnya. Beberapa jenis
ikan air tawar lainnya yang endemic belum dikaji.

Ekosistem Pesisir dan Laut serta Keanekaragaman Hayati di dalamnya.

Di ekosistem pesisir ini masih dapat dijumpai jenis burung pantai seperti bluwok,
bangau tontong, dan cangak laut. Untuk keanekaragaman hayati jenis ikan laut di
selat Makassar yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Barat antara lain :
ikan perepek, ikan bambangan, ikan kerapuh, ikan lencam, ikan kurisi, gulama,
cucut, pari, layang, selar, kuwe, ikan terbang, belanak, teri, japuh, tembang,
lamuru, kembung, cakalang, udang putih, cumi-cumi, tenggiri dan lain sebagainya.
Jenis-jenis ikan ini dapat teridentifikasi berdasarkan hasil tangkapan nelayan di
wilayah ini.

Tabel 2.8 : Beberapa Jenis Satwa Pesisir dan Laut yang Teridentifikasi

Nama Lokal Nama Ilmiah Persebaran Geografi Status Habitat


Burung Pledagis Mamuju, Majene, Polman, Endemik Pantai
Cangak Laut Falcinellus Mamuju Utara
Biawak Varanus sp Mamuju, Majene, Polman, Endemik Pantai
Mamuju Utara
Bangau Putih Bulbucus Mamuju, Majene, Polman, Terancam Hutan Pantai
ibis Mamuju Utara
Bangau Leptotilos Mamuju, Majene, Polman, Terancam Hutan Pantai
Tontong Javanicus Mamuju Utara
Bebek Laut Esacus Mamuju, Majene, Polman, Terancam Pantai
Magnirostris Mamuju Utara
Buaya Muara Crocodillus Mamuju, Mamuju Utara Terancam Muara Sungai
Sianensis
Duyung Dugong Mamuju, Majene, Polman, Terancam Laut
Dugong Mamuju Utara
Lumba- Delphinedae Mamuju, Majene, Polman, Melimpah Laut
Lumba Mamuju Utara
Ibis Roko- Cervis Mamuju, Majene, Polman, Terancam Pantai
Roko Timorensis Mamuju Utara

Berikut ini adalah beberapa contoh jenis flora dan fauna yang berhasil diidentifiasi
di Sulawesi Barat :

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 20
Gambar 2.1 : Beberapa contoh jenis Tanaman yang teridentifikasi

Challophilum spp Borassus Flabilifer

Sandoricum Koetjapee Shorea sp

Gambar 2.2 : Beberapa contoh jenis hewan yang diketahui

Megachepalon Maleo Cervis Timorensis

Varanus sp Crocodillus Sianensis

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 21
Perbandingan Dengan Baku Mutu

Sulawesi Barat untuk melestarikan keanekaragaman hayatinya, maka dilakukan


konservasi terhadap keanekaragaman hayati. Konservasi keanekaragaman hayati
bertolak pada pegelolaan konservasi di tiga level keanekaragaman hayati yaitu :
1. Level ekosistem
2. Level Jenis dan
3. Level Genetik secara terintegrasi dan komprehensip.
Untuk itu tujuan jangka panjang Konservasi Keanekaragaman Hayati harus dapat
menjamin kelestarian fungsi ekosistem esensi sebagai penyangga kehidupan
terutama di luar kawasan konservasi. Pada level speies, konservasi dalam jangka
panjang bertujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan jenis yang diakibatkan
oleh penyebab utama terancamnya jenis dari kepunahan yaitu kerusakan habitat
dan pemanfaatan yang tidak terkendali. Bagi jenis-jenis yang populasinya sudah
dalam kondisi kritis, maka pengelolaannya harus diarahkan pada pemulihan
populasi (population recovery) dengan berbagai cara termasuk perbaikan habitat,
rehabilitasi satwa hasil sitaan serta penangkaran untuk dilepas kembali kealam
(conservation breeding). Pada level genetik, konservasi keanekaragaman hayati
genetik diarahkan pada konservasi insitu di dalam dan di luar konservasi, maupun
konservasi eksitu. Arah pengelolaan sumber daya genetik untuk mendukung
pengembangan budidaya tanaman maupun ternak melalui pengembangan
kultivar-kultivar unggul.

Pemulihan tanaman saat ini ditujukn pada tanaman budidaya seperti pad,
anggrek serta kultivar lainnya. Untuk hewan, upaya penangkaran dan persilangan
dilaukan pada berbagai jenis hewan peliharaan seperti sapi, kambing, kuda dan
ayam. Kebun koleksi plasma yang ada di Indonesia saat ini belum menghasilkan
banyak kultivar unggul baru. Sebenarnya secara tradisional masyarakat Indonesia
telah memiliki pola pelestarian alam yang ekologis, misalnya tidak boleh
menebang pohon beringin, mengambil ikan di lubuk danlain sebagainya. Namun
karena kemajuan teknologi, warisan tradisional tersebut perlahan-lahan mulai
memudar bahkan hilang.

Perbandingan Nilai Antar Lokasi dan Antar Waktu

Ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Provinsi Sulawesi Barat diakibatkan


oleh konversi lahan yang tidak mengindahkan tata ruang untuk kegiatan

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 22
pembangunan. Penting diketahui bahwa kehilangan keanekaragaman hayati kan
merugikan bangsa ini, dan masyarakat Sulawesi Barat pada khususnya mengingat
masih banyak jenis keanekaragaman hayati yang belum diketahui. Jika
keanekaragaman hayati ini rusak, maka peluang untuk memanfaatkan nilai-nilai
tersebit akan hilang, padahal banyak yang bernilai tinggi. Misalnya obat-obatan,
sumber makanan, sumber minyak dan lain sebagainya.

Upaya penyelamatan keanekaragaman hayati bergantung pada inisiatif dan tindak


nyata yang dilakukan oleh masyarakat dan komitmen dari pemerintah untuk
upaya pelestarian. Komitmen ini secara konkrit dapat dituangkan dalam
kebijakan, kegiatan umum, pemanfaatan dan pelestarian.
Beberapa faktor penyebab kepunahan dari keanekaragaman hayati adalah
adanya aktifitas manusia yang tidak bertanggung jawab serta mementingkan diri
sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Perubahan fungsi lahan oleh masyarakat setempat menjadi tempat
pemukiman.
2. Penangkapan dan koleksi tanpa izin dan alasan yang tidak jelas.
3. Terjadinya perubahan sempadan/morfologi sungai
4. Berkurangnya ekosistem mangrove.

Analisis Statistik Sederhana.


Indonesia memiliki kekayaan jenis-jenis keanekaragaman hayati. Tafsiran jumlah
kelompok utama makhluk hidup antara lain : hewan menyusui sebanyak 300
jenis; burung sebanyak 7.500 jenis; reptile sebanyak 2.000 jenis; amfibi sebanyak
1.000 jenis; ikan sebanyak 8.500 jenis; keong sebanyak 20.000 jenis; dan
sebagainya. Beberapa pulau di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang
endemik terutama di Pulau Sulawesi dan Irian. Untuk jenis burung, terdapat
kurang lebih 420 jenis burung yang endemik dan tersebar di 244 lokasi.

Keanekaragaman hayati ini terus menurun dari tahun ke tahun akibat kegiatan
manusia yang tidak mampu menjaga kelestarian keanekarahaman hayati. Hutan
sebagai habitat dari hewan dan tumbuh-tumbuhan sebagian besar telah dialih
fungsikan sebagai lahan perkebunan dan pembangunan. Untuk mengantisipasi
hilangnya beberapa flora dan fauna yang endemic dan terancam punah,
diperlukan kebijakan yang harus dimulai dari pihak pemerintah khsusnya dalam
pembuatan aturan-aturan yang tegas.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 23
Olehnya itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sebaiknya melakukan rencana
perlindungan keanekaragaman hayati yang sistematik dengan membuat atau
menetapkan daerah-daerah kawasan lindung yang mewakili setiap habitat yang
ada di Sulawesi Barat.

Pada umumnya masyarakat mengharapkan potensi jenis flora dan fauna dapat
dipertahankan karena merupakan sumber pemenuhan kebutuhan dan
pendapatan masyarakat jika dikelola dengan baik. Hal sederhana yang dapat
dilakukan adalah rehabilitasi areal yang telah mengalami perubahan fungsi
dengan mengembangkan jenis keanekaragaman hayati lokal yang bernilai
ekonomi.

II-C. AIR

Air merupakan elemen yang sangat signifikan bagi kehidupan mahluk hidup baik
hewan, tumbuhan, dan manusia. Semua memerlukan air untuk membantu
metabolism yang ada didalam tubuh karena hapir tiga perempat dari tubuh
manusia adalah air. Jadi bisa dibayangkan betapa susahnya jika tidak ada air
didunia ini. Air juga penting bagi lingkungan dan kelestarian alam beserta isinya.
Apabila keberadaan air tidak seimbang dengan keberadaan alam maka tidak
akan tercipta keselarasan yang indah. Misalnya air tidak bisa memenuhi
kebutuhan hutan, maka manfaat hutan tidak akan bisa dirasakan oleh mahluk
hidup yang lainnya.

Keberadaan manfaat air bagi kesehatan tubuh sangat penting dimana air adalah
sumber kehidupan. Kemampuan air bisa memperbaiki daya tahan tubuh karena
air dapat menaikkan simpanan glycogen, suatu bentuk dari karbohidrat yang
tersimpan dalam otot dan digunakan sebagai energi saat manusia sedang
beraktifitas atau pun bekerja.

Inventarisasi Sungai.

Provinsi Sulawesi Barat memiliki potensi sumber daya air yang sangat besar
khusunya air sungai. Dari sekian banyak sungai yang berada di Sulawesi Barat,
ada lima sungai yang merupakan sungai besar yakni : Sungai Lariang, Sungai
Karama, Sungai Mandar, Sungai Mamasa dan Sungai Mapilli. Dari kelima sungai
tersebut, tiga diantaranya merupakan sungai lintas provinsi yang bermuara di
Provinsi Sulawesi Barat yakni :

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 24
1. Sungai Lariang (Sungai terpanjang dan terbesar di Pulau Sulawesi). Sungai ini
berhulu di Provinsi Sulawesi Tengah dan bermuara di Kabupaten Mamuju
Utara, Provinsi Sulawesi Barat.

2. Sungai Karama ( Sungai terbesar kedua di Pulau Sulawesi). Sungai ini hulunya
berada di Kabupaten Luwu-Provinsi Sulawesi Selatan, dan bermuara di
Kabupaten Mamuju-Provinsi Sulawesi Barat. Pengelolaan sungai tersebut
sedang dalam proses kerjasama dengan Pemerintah Cina untuk dijadikan
sebagai sumber Pembangkit Listrik bertenaga Air yang terbesar di Indonesia

3. Sungai Mamasa. Sungai ini hulunya berada di Kabupaten Mamasa-Provinsi


Sulawesi Barat dan Bermuara di Provinsi Sulawesi Selatan. Sungai ini juga
menjadi Sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air di PLTA Bakaru dan sekaligus
menjadi pengairan bagi Areal Persawahan di Kabupaten Pinrang dan
Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan.

Selain kelima sungai besar tersebut diatas, masih ada beberapa anak sungai yang
tersebar di masing-masing kabupaten yang menjadi sumber air minum dan
pengairan bagi lahan persawahan. Sebagai contoh : Sungai Kali Mamuju (Sebagai
sumber air PDAM); sungai Madatte, Kabupaten Polewali Mandar (sebagai sumber
air PDAM dan Pengairan untuk persawahan)

Dari sekian banyak sungai yang mengalir di Sulawesi Barat, jumlah sungai
tersebut dibagi kedalam 4 wilayah sungai berdasarkan RTRW Provinsi Sulawesi
Barat sebagaimana tercantum dalam tabel berikut :

Tabel 2.9 : Pembagian Wilayah Sungai di Sulawesi Barat

No. Nama WS Nama DAS Nama Kabupaten

1 WS Palu-Lariang Lariang Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng

Minti Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng

Rio Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng

Letawa Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng

Bambaira Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng

Surumana Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng


WS Kalukku-
2 Saddang Mamasa, Sulbar-Sulsel
Karama
Karama Mamuju

Malunda Majene

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 25
No. Nama WS Nama DAS Nama Kabupaten

Mandar Majene

Babalalang Mamuju

Mapilli Polewali Mandar

3 WS Saddang Saddang Mamasa, Sulbar-Sulsel

Mamasa Mamasa

Galanggang Polewali Mandar

Bone-Bone Mamuju

4 WS Karama Karama Mamuju

Budong-Budong Mamuju Tengah

Karossa Mamuju Tengah

Mamuju Mamuju

Inventarisasi Danau/Waduk/Situ/Embung.

Air tawar yang tersimpan dalam kolam, tambak dan persawahan sifatnya hanya
sementara saja, pada musim kemarau umumnya sudah mengalami kekeringan.
Untuk meningkatkan keterseiaan air tawar pada daerah-daerah yang iklimnya
relatif kering atau mengalami musim kemarau lebih darii enam bulan, maka
pembuatan embung adalah salah satu alternatif untuk mengatasinya. Salah satu
daerah yang menerapkan system ini adalah Kabupaten Majene. Salah satu
kelebihan dari embung jika dibandingkan dengan danau, waduk atau bendungan
adalah airnya tidak mengalir sehingga hanya akan surut oleh peristiwa penguapan
dan perembesan kedalam tanah.

Dari beberapa sungai yang ada di Sulawesi Barat, hanya sebahagian kecil saja
yang dibendung. Bendungan yang terbesar adalah Bendungan Sekka-Sekka yang
berada di Kabupaten Polewali Mandar. Jumlah air yang ditampung pada
umumnya digunakan untuk sumber air minum, pengairan dan perikanan. Selain
beberapa sungai, juga terdapat Chekdam yang fungsinya pada umumnya juga
untuk mengendalikan debit air agar tidak menimbulkan sedimentasi dan banjir.
Selain itu, juga dapat dimanfaatkan untuk hal lain seperti pengairan dan
pengembangan bududaya perikanan.

Berdasarkan data yang terhimpun dari masing-masing kabupaten, jumlah waduk


di Sulawesi Barat mencapai 7 buah yang semuanya berada di Kabupaten Majene,

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 26
sedangkan jumlah embung sebanyak 21 buah yang sebagian besar berada di
Kabupaten Mamasa.

Kualitas Air Sungai.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan


Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dan sesuai dengan ketentuan yang
terdapat pada Pasal 9, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan untuk menetapkan kelas air pada sumber-sumber air (sungai,
danau, waduk) yang ada sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam peraturan
Perundang-Undangan yang ada. Penentuan Staus Mutu Air ini merupakan aspek
yang penting dalam pengelolaan DAS secara berkelanjutan. Dengan penetapan
kelas air secara bersama-sama, maka setiap stakeholder yang terkait akan turut
pula dalam program konservasi yang harus dibuat terhadap suatu sumberdaya air
yang bersangkutan.

Deskripsi tentang kondisi kualitas air sungai sangat diperlukan dalam


hubungannya dengan peruntukan air sungai. Secara umum, terdapat tiga
komponen yang berpengaruh dalam menentukan standar kualitas air yaitu :
parameter fisik air, kimia air dan mikrobiologi air.

Perbandingan dengan Baku Mutu

Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai dilakukan berdasarkan


Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang
Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut dijelaskan antara
lain mengenai penentuan status mutu air dengan metoda indeks pencemaran
(Pollution Index PI).

Menurut definisinya PIj adalah indeks pencemaran bagi peruntukan j yang


merupakan fungsi dari Ci/Lij, dimana Ci menyatakan konsentrasi parameter
kualitas air i dan Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i yang
dicantumkan dalam baku peruntukan air j. Dalam hal ini peruntukan yang akan
digunakan adalah klasifikasi mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 27
Formula penghitungan indeks pencemaran adalah :

dimana:
(Ci/Lij)M adalah nilai maksimum dari Ci/Lij
(Ci/Lij)R adalah nilai rata-rata dari Ci/Lij
Evaluasi terhadap PIj adalah sebagai berikut:
a. Memenuhi baku mutu atau kondisi baik jika 0 PIj 1,0
b. Tercemar ringan jika 1,0 < PIj 5,0
c. Tercemar sedang jika 5,0 < PIj 10,0
d. Tercemar berat jika PIj > 10,0.
Pada prinsipnya nilai PIj > 1 mempunyai arti bahwa air sungai tersebut tidak
memenuhi baku peruntukan air j, dalam hal ini mutu air kelas II. Penghitungan
indeks kualitas air dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Setiap lokasi dan waktu pemantauan kualitas air sungai dianggap sebagai satu
sampel;
b. Hitung indeks pencemaran setiap sampel untuk parameter TSS, DO, COD, BOD,
Total Phospat, Fecal Coli dan Total Coli;
c. Hitung persentase jumlah sampel yang mempunyai nilai PIj > 1, terhadap total
jumlah sampel pada tahun yang bersangkutan.
d. Melakukan normalisasi dari rentang nilai 0% - 100% (terbaik terburuk)
jumlah sampel dengan nilai PIj > 1, menjadi nilai indeks dalam skala 0 100
(terburuk terbaik).
Untuk pengambilan sampel air sungai dipilih dari masing-masing Kabupaten
dengan kriteria bahwa sungai tersebut merupakan sungai lintas kabupaten atau
merupakan sungai prioritas yang akan dikendalikan pencemarannya.
Pemantauan untuk setiap sungai dilakukan 5 kali dalam satu tahun dengan 6 titik
lokasi pengambilan sampel sehingga dihasilkan paling tidak 30 sampel kualitas
air sungai untuk setiap sungai dalam setahun.

Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pencemaran Air (IPA) Sulawesi Barat, maka
dapat disimpulkan bahwa kualitas air sungai dengan tingkat pencemaran paling
tinggi adalah Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamasa dengan nilai IPA hanya
50.00. Kualitas air sungai yang masih dinyatakan cukup baik adalah Kabupaten

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 28
Mamuju/Mamuju Tengah dengan nilai IPA 66,67. Secara keseluruhan kondisi
kualitas air sungai di Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015 sangat kurang dengan
nilai IPA 57,20.

Berikut hasil perhitungan indeks Pencemaran Air di Sulawesi Barat di rinci per
Kabupaten :

Tabel 2.10 : Indeks Pencemaran Air Sulbar 2015

No. Provinsi/Kabupaten Nilai IPA


1 Mamuju Utara 55,33
2 Mamuju dan Mamuju Tengah 66,67
3 Majene 50,00
4 Polewali Mandar 64,00
5 Mamasa 50,00
6 Sulawesi Barat 57,20
Sumber : Laporan IKLH Prov. Sulbar 2015

Berdasarkan data-data pada tabel diatas, maka hasil pengujian kualitas air
sungai di sungai yang dipantau dapat dijabarkan sebagai berikut :

Bahan buangan padat

Yang dimaksud bahan buangan padat adalah adalah bahan buangan yang
berbentuk padat, baik yang kasar atau yang halus, misalnya sampah. Buangan
tersebut bila dibuang ke air menjadi pencemaran dan akan menimbulkan
pelarutan, pengendapan ataupun pembentukan koloidalTerjadinya endapan di
dasar perairan akan sangat mengganggu kehidupan organisme dalam air, karena
endapan akan menutup permukaan dasar air yang mungkin mengandung telur
ikan sehingga tidak dapat menetas. Selain itu, endapan juga dapat menghalangi
sumber makanan ikan dalam air serta menghalangi datangnya sinar matahari.

Pembentukan koloidal terjadi bila buangan tersebut berbentuk halus, sehingga


sebagian ada yang larut dan sebagian lagi ada yang melayang-layang sehingga air
menjadi keruh. Kekeruhan ini juga menghalangi penetrasi sinar matahari,
sehingga menghambat fotosintesa dan berkurangnya kadar oksigen dalam air.

Bahan buangan organik dan olahan bahan makanan

Bahan buangan organik umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau
terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga bila dibuang ke perairan akan

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 29
menaikkan populasi mikroorganisme. Kadar BOD dalam hal ini akan naik. Tidak
tertutup kemungkinan dengan bertambahnya mikroorganisme, dapat
berkembang pula bakteri pathogen yang berbahaya bagi manusia. Demikian pula
untuk buangan olahan bahan makanan yang sebenarnya adalah juga bahan
buangan organic yang baunya lebih menyengat. Umumnya buangan olahan
makanan mengandung protein dan gugus amin, maka bila didegradasi akan
terurai menjadi senyawa yang mudah menguap dan berbau busuk (misal. NH 3).

Bahan buangan anorganik

Bahan buangan anorganik sukar didegradasi oleh mikroorganisme, umumnya


adalah logam. Apabila masuk ke perairan, maka akan terjadi peningkatan jumlah
ion logam dalam air. Bahan buangan anorganik ini biasanya berasal dari limbah
industri yang melibatkan penggunaan unsure-unsur logam seperti timbal (Pb),
Arsen (As), Cadmium (Cd), air raksa atau merkuri (Hg), Nikel (Ni), Calsium (Ca),
Magnesium (Mg) dll.

Kandungan ion Mg dan Ca dalam air akan menyebabkan air bersifat sadah.
Kesadahan air yang tinggi dapat merugikan karena dapat merusak peralatan
yang terbuat dari besi melalui proses pengkaratan (korosi). Juga dapat
menimbulkan endapan atau kerak pada peralatan. Apabila ion-ion logam berasal
dari logam berat maupun yang bersifat racun seperti Pb, Cd ataupun Hg, maka air
yang mengandung ion-ion logam tersebut sangat berbahaya bagi tubuh manusia,
air tersebut tidak layak minum.

Bahan buangan cairan berminyak

Bahan buangan berminyak yang dibuang ke air lingkungan akan mengapung dan
amenutupi permukaan air. Jika bahan buangan minyak mengandung senyawa
yang volatile, maka akan terjadi penguapan dan luas permukaan minyak yang
menutupi permukaan air akan menyusut. Penyusutan minyak ini tergantung pada
jenis minyak dan waktu. Lapisan minyak pada permukaan air dapat terdegradasi
oleh mikroorganisme tertentu, tetapi membutuhkan waktu yang lama.

Bahan buangan berupa panas (polusi thermal)

Perubahan kecil pada temperatur air lingkungan bukan saja dapat menghalau
ikan atau spesies lainnya, namun juga akan mempercepat proses biologis pada
tumbuhan dan hewan bahkan akan menurunkan tingkat oksigen dalam air.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 30
Akibatnya akan terjadi kematian pada ikan atau akan terjadi kerusakan
ekosistem. Untuk itu, polusi thermal inipun harus dihindari. Sebaiknya industri-
industri jika akan membuang air buangan ke perairan harus memperhatikan hal
ini.

Bahan buangan zat kimia


Bahan buangan zat kimia banyak ragamnya, tetapi dalam bahan pencemar air ini
akan dikelompokkan menjadi :
a. Sabun (deterjen, sampo dan bahan pembersih lainnya),
b. Bahan pemberantas hama (insektisida),
c. Zat warna kimia,
d. Zat radioaktif
Deterjen yang berlebihan di dalam air ditandai dengan timbulnya buih-buih sabun
pada permukaan air. Sebenarnya ada perbedaan antara sabun dan deterjen serta
bahan pembersih lainnya. Sabun berasal dari asam lemak (stearat, palmitat atau
oleat) yang direaksikan dengan basa Na(OH) atau K(OH), berdasarkan reaksi
kimia berikut ini : C17H35COOH + Na(OH) C17H35COONa + H2O

Asam stearat basa sabun

Sabun natron (sabun keras) adalah garam natrium asam lemak seperti pada
contoh reaksi di atas. Sedangkan sabun lunak adalah garam kalium asam lemak
yang diperoleh dari reaksi asam lemak dengan basa K(OH). Sabun lemak diberi
pewarna yang menarik dan pewangi (parfum) yang enak serta bahan antiseptic
seperti pada sabun mandi. Beberapa sifat sabun antara lain adalah sebagai
berikut :

1. Larutan sabun mempunyai sifat membersihkan karena dapat mengemulsikan


kotoran yang melekat pada badan atau pakaian
2. Sabun dengan air sadah tidak dapat membentuk busa, tapi akan membentuk
endapan (C17H35COO)2Ca) dengan reaksi :
3. 2 (C17H35COONa) + CaSO4 (C17H35COO)2Ca + Na2SO4
4. Larutan sabun bereaksi basa karena terjadi hidrolisis sebagian.

Sedangkan deterjen adalah juga bahan pembersih sepeti halnya sabun, akan
tetapi dibuat dari senyawa petrokimia. Deterjen mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan sabun, karena dapat bekerja pada air sadah. Bahan
deterjen yang umum digunakan adalah dedocylbenzensulfonat. Deterjen dalam

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 31
air akan mengalami ionisassi membentuk komponen bipolar aktif yang akan
mengikat ion Ca dan/atau ion Mg pada air sadah.
Komponen bipolar aktif terbentuk pada ujung dodecylbenzen-sulfonat. Untuk
dapat membersihkan kotoran dengan baik, deterjen diberi bahan pembentuk
yang bersifat alkalis. Contoh bahan pembentuk yang bersifat alkalis adalah
natrium tripoliposfat. Bahan buangan berupa sabun dan deterjen di dalam air
lingkungan akan mengganggu karena alasan berikut :
a) Larutan sabun akan menaikkan pH air sehingga dapat menggangg kehidupan
organisme di dalam air. Deterjen yang menggunakan bahan non-Fosfat akan
menaikkan pH air sampai sekitar 10,5-11
b) Bahan antiseptic yang ditambahkan ke dalam sabun/deterjen juga
mengganggu kehidupan mikro organisme di dalam air, bahkan dapat
mematikan
c) Ada sebagian bahan sabun atau deterjen yang tidak dapat dipecah
(didegradasi) oleh mikro organisme yang ada di dalam air. Keadaan ini sudah
barang tentu akan merugikan lingkungan.
Namun akhir-akhir ini mulai banyak digunakan bahan sabun/deterjen yang dapat
didegradsi oleh mikroorganisme

Bahan pemberantas Hama

Pemakaian bahan pemberantas hama (insektisida) pada lahan pertanian


seringkali meliputi daerah yang sangat luas, sehingga sisa insektisida pada
daerah pertanian tersebut cukup banyak. Sisa bahan insektisida tersebut dapat
sampai ke lingkungan perairan melalui pengairan sawah, hujan yang jatuh pada
daerah pertanian kemudian mengalir ke sungai atau danau di sekitarnya. Seperti
halnya pada pencemaran udara, semua jenis bahan insektisida bersifat racun
apabila sampai ke dalam lingkungan perairan.

Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk
dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Pembagian kelas air didasarkan pada
gradasi tingkatan baiknya mutu air, dan kemungkinan kegunaanya. Tingkatan
mutu air kelas satu merupakan tingkatan terbaik.
Kualitas Air Danau/Waduk/Situ/Embung.
Waduk adalah tempat penampungan air yang sangat besar yang dibuat dengan
cara membendung aliran sungai. Air yang sudah ditampung dalam waduk lantas

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 32
dimanfaatkan untuk bahan baku air minum, untuk irigasi pertanian, pembangkit
listrik, dan budidaya perikanan. Sedangkan tempatnya yang indah dimanfaatkan
untuk kegiatan pariwisata. Embung adalah kolam buatan untuk menampung air
hujan, sehingga bisa dimanfaatkan pada saat musim kemarau. Embung bisanya
dibuat di daerah pegunungan. Danau adalah cekungan besar yang digenangi oleh
air, dimana seluruh cekungan dikeliling oleh daratan sehingga airnya tidak bisa
mengalir keluar dari danau. Air danau ini berasal dari sungai-sungai di sekitarnya.
Wilayah Sulawesi Barat merupakan daerah yang melintang dan melintasi garis
pantai sebelah Barat di Pulau Sulawesi. Namun demikian, kontur permukaan
tanah di Sulawesi Barat sebagian besar berbukit dan pegunungan. Hanya
beberapa daerah saja yang berada pada daerah datar walaupun secara geografis,
dari enam kabupaten di Sulawesi Barat hanya satu Kabupaten yang tidak berada
di daerah pantai.
Dari data yanag diperoleh dari Bidang Pelestarian Sumber Daya Air pada Dinas
Pekerjaan Umum di Sulawesi Barat serta data yang dihimpun dari masing-masing
kabupaten, untuk wilayah Sulawesi Barat tidak terdapat danau baik danau
alamiah maupun danau buatan, demikian pula dengan waduk. Untuk wilayah
Sulawesi Barat hanya terdapat beberapa Situ dan Embung yang dibuat untuk
menampung cadangan air yang tersebar di beberapa kabupaten.
Dari beberapa waduk yang ada di Provinsi Sulawesi Barat, hanya Kabupaten
Majene yang melakukan analisis kualitas air waduk. Berdasarkan hasil
perhitungan dari uji parameter, dari kedua waduk yang dianalisis semuanya
masih dalam ambang batas dan tidak melebihi baku mutu yang telah ditetapkan
sesuai dengan ketentuan pertauran yang berlaku. Hasil uji analisis kualitas air
waduk di Kabupaten Majene dapat diihat melalui tabel berikut :

Tabel 2.11 : Hasil Uji Kualitas Air Waduk di Kab. Majene


Pameter/Koordinat/ Waktu
Nama Waduk Nama Waduk
Sampling
Nama Lokasi Waduk Tunda Waduk Kalambangan
03.32'53,1" 03.59'23,1"
Koordinat
118.58'60,0" 118.52'86,0"
Waktu Sampling 28/12/2015 21/01/2015

Tempelatur (c) 25 26,7

pH 8,61 9,17

DHL (mg/ L) 21,02 0

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 33
Pameter/Koordinat/ Waktu
Nama Waduk Nama Waduk
Sampling
TDS (mg/ L) 1070 94

TSS (mg/ L) 22 31

DO (mg/ L) 5,6 8,2

BOD (mg/ L) 5,2 1,63

COD (mg/ L) 48 80

NO2 (mg/ L) 0,06 0,05

NO3 (mg/ L) 7,4 0,9

NH3 (mg/ L) 0,53 0,01

Klorin bebas (mg/ L) 0,01 0,01

Fecal coliform (jmlh/100 ml) 93 0

Total coliform (jmlh/100 ml) 93 43


Sumber : Tabel SD-15 Buku Data

Perbandingan dengan baku mutu


Berdasarkan keteentuan yang diatur dalam Permen LH Nomor 1 Tahun 2010
tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air, jika baku mutu air dan tropic
air belum diatur, maka dapat menggunakan baku mutu air kelas II yang diatur
dalam PP 82 Tahun 2001 tentang Penetapan Kelas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.

Berdasarkan ketentuan dalam PP 82 Tahun 2001 pada baku mutu air kelas II,
untuk Waduk Tunda terdapat parameter yang melebihi baku mutu yang
ditetapkan yakni parameter TDS yang mencapai 1070 sedangngkan baku mutu
yang dipersyaratkan maksimal 1000 mg/L. Untuk Waduk Kalambangan, juga
terdapat satu parameter yang melebihi baku mutu yakni pada pH yang mencapai
9,17 sedangkan baku mutu yang dipersyaratkan adalah 6 9.

Kualitas Air Sumur.

Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau bebatuan di bawah
permukaan tanah. Air tanah merupakan salah satu sumber daya air Selain air
sungai dan air hujan, air tanah juga mempunyai peranan yang sangat penting
terutama dalam menjaga keseimbangan dan ketersediaan bahan baku air untuk
kepentingan rumah tangga (domestik) maupun untuk kepentingan industri.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 34
Dibeberapa daerah, ketergantungan pasokan air bersih dan air tanah telah
mencapai 70%.

Perbandingan dengan Baku Mutu


Kualitas air sumur tidak ada yang melewati ambang batas baku mutu kelas I,
sehingga air tanah layak dimanfaatkan. Untuk air minum kandungan total
coliform seharusnya 0, jadi air terlebih dulu diolah sebelum dimanfaatkan.
Residu terlarut tertinggi ditemukan di Desa Kumasari, tingginya hasi residu
dikawatirkan karena adanya pencampuran dengan air laut sehingga membuat
air sumur menjadi payau. Semua air sumur ditemukan dalam keadaan tidak
berbau dan tidak berwarna.
Kandungan Besi masih dibawah angka baku mutu 0.3 mg/L. sementara itu
nilai tertinggi didapatkaan dengan angka 0.286 mg/L di Desa Babana dan di
Desa Gunung Sari 0.267 mg/L. nilai ini menunjukkan bahwa kedua sumur
tersebut mengandung besi dan perlu mendapat perhatian untuk komsumsi
oleh karena adanya besi walaupun masih dibawah ambang batas. Daerah
Motu tempat pengambilan sampel merupakan daerah perkebunan dan potensi
genangan tinggi terutama ketika air hujan. Hal ini mengakibatkan adanya
pengelupasan dan pencucian terhadap zat hara dari tanah yang dapat
meresap kedalam sumur.
Kandungan BOD dalam air sumur masih dibawah ambang batas. Kandungan
BOD tertinggi juga ditemukan di Desa Gunung Sari 1.096 mg/L namun masih
dibawah ambang batas. Faktor genangan dan kurang terlindungnya sumur
mempengaruhi nilai BOD
Hasil pemeriksaan terhadap DO juga mengindikasikan air tanah layak
dimanfaatkan karena DO rata rata diatas dari 6 mg/L hal ini mengindikasikan
bahwa tidak ada pengayaan hara yang menyebabkan air menjadi berbau atau
berwarna.
Nilai fosfat satu satunya hanya terdapat di Motu, dimana faktornya adalah
karena sumur kurang terlindungi dan merupakan daerah genangan air
Total Coliform didefinisakan indikator bakteri pertama yang digunakan untuk
menentukan aman tidaknya air untuk dikonsumsi. Bila Total Coliform dalam air
ditemukan dalam jumlah yang tinggi maka kemungkinan adanya bakteri
patogenik seperti Giardia, dan Cryptosporidium di dalamnya. Menurut
Kepmenkes RI No: 907/Menkes/VII/2002 kadar maksimum Total Coliform

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 35
yang diperbolehkan dalam air minum adalah 0 MPN/100Ml, yang artinya
bahwa keberadaan bakteri ini dalam air minum benar-benar tidak diizinkan.
Dari hasil diatas dimana semua air tanah mengandung total coliform yang
tertinggi 10 mpn/100ml dan terendah 2 mpn/100 ml, terlihat bahwa meskipun
secara baku mutu masih dibawah ambang batas, namun untuk komsumsi air
tanah untuk air minum tidak dapat digunakan secara lansung, melainkan
harus di olah untuk menghilangkan bakteri patogenik.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tebel berikut ini ;
Tabel 2.12 : Hasil Uji Kualitas Air Sumur

Desa Desa Desa Desa


Dusun Desa Desa
Nama Lokasi Gunung Gunung Makmur Makmur
Bulili Babana Kumasari
Sari Sari Jaya I Jaya II

01.1423,7 01.1423,7 01.1987,0 01.1937,6 01.3139,7 02.0710,1 01.4120,8


Koordinat
119.2926,2 119.2926,2 119.2550,9 119.2541,8 119.2555,6 119.1517,7 119.2101,0
Waktu
07/03/2015 31/08/2015 02/03/2015 02/03/2015 27/02/2015 24/02/2015 21/08/2015
Pemantauan
Residu Terlarut
152 152 172 96 194 114 270
(mg/ L)

pH 8 7,52 6,48 6,44 7,03 7,22 7,17

BOD (mg/L) 0,949 1,096 1,011 0,953 0,978 1,075 1,001

COD (mg/L) 4,993 5,77 5,318 5,016 5,149 5,658 5,271

DO (mg/L) 7,47 6,256 6,951 7,563 7,086 6,111 7,159

Total Fosfat sbg P


0,174 0 0,153 0,196 0,185 0,19 0
(mg/L)
NO 3 sebagai N
6,23 2,193 5,378 2,044 9,563 9,785 5,23
(mg/L)
NH3-N (mg/L) 0 0 0 0 0 0,099 0,5

Kadmium (mg/L) 0,0003 0,0003 0,0086 0,0018 0,0003 0,006 0,0139

Tembaga (mg/L) 0,0151 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,019 0,0001

Besi (mg/L) 0,0349 0,267 0 0 0,168 0,286 0,014

Timbal (mg/L) 0,0074 0,0074 0,0074 0,0074 0,0074 0,0074 0,0074

Seng (mg/L) 0,0349 0,0001 0,0231 0,0045 0,0002 0,0044 0,0001

Khlorida (mg/L) 26,412 11,076 20,448 9,798 9,798 19,17 25,134

Fecal coliform
0 0 0 0 0 0 0
(jml/100 ml)
Total coliform
31 172 49 7 10 57 33
(jml/100 ml)
Sumber : Tabel SD-17 Buku Data

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 36
Mengingat tingginya penderita diare tiap tahunnya, maka salah satu penyebab
Penyakit diare adalah menyebarnya mikroorganisme penyebab yang masuk ke
badan air yang dipakai oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
penyebaran penyakit diare dipengaruhi oleh perilaku masyarakat atau sosiosfer.
Penyebaran penyakit ini, seperti penyakit menular saluran pencernaan dapat juga
disebabkan karena tidak terbiasanya mencuci tangan setelah buang air, dan
komunitas masyarakat tidak mementingkan penyediaan fasilitas cuci ini.
Penularan lewat media air, tanah, makanan, dan vektor juga ditentukan oleh
perlakuan dan etik masyarakat terhadap lingkungan disekitarnya
II-D. UDARA
Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat
memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan
antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Berbagai kegiatan
tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke
udara bebas. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai
kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun, dll.
Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan penurunan
kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia.
Berdasarkan meningkatnya tekanan tersebut, maka dilakukan pengukuran
kwalitas udara untuk Provinsi Sulawesi Barat. Kualitas udara di pengaruhi oleh
kendaraan bermotor, pembakaran baik dilahan perkebunan maupun sampah, gas
buang indistri perkebunan sawit dan sumber alami lainnya.

Kualitas Udara Ambien Menurut Lokasi

Salah satu upaya untuk mengurangi tingkat pencemaran udara adalah upaya
untuk menggalakkan penanaman pohon yang akhir-akhir ini dikenal dengan istilah
penanaman satu milyar pohon. Beberapa komponen zat pencemar yang dapat
menimbulkan pencemaran udara antara lain; Particulate Matter (PM10) yaitu
padatan atau likuid udara dalam bentuk asap, debu dan uap yang dapat tinggal
dalam admosfir dalam waktu yang cukup lama; Ozone (O3) adalah bahan
pencemar sekunder yang terbentuk di admosfer dari reaksi fotokimia NOx dan HC;
Carbon Monoxide (CO) adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan
bakar yang tidak sempurna; Carbon Dioxide (CO2) adalah gas yang diemisikan dari
sumber-sumber alamiah dan antropogenik; Nitrogen Oxide (NOx) adalah kontributir

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 37
utama smog dan deposisi asam; Sulfur Dioxide (SO2) adalah gas yang tidak berbau
bila berada pada konsentrasi rendah akan tetapi akan memberikan bau yang
tajam pada konsentrasi pekat; Volatile Organic Compounds (VOCs) adalah
senyawa organic yang mudah menguap dan Timbal (Pb) adalah logam yang sangat
toksik dan menyebabkan berbagai dampak kesehatan terutama pada anak-anak.

Pada tahun 2015, pengukuan kualitas udara dilaksanakan di enam Kabupaten di


Provinsi Sulawesi Barat, 4 diantaranya menggunakan metode Roadside sesaat (1
jam) dan untuk Kabupaten Mamuju menggunakan metode Roadside 24 jam.
Berikut lokasi-lokasi pengukuran kualitas udara di Provinsi Sulawesi Barat.
Tabel 2.13 : Lokasi dan metode pengambilan sampel kualitas udara

No. Kabupaten Lokasi Sampling Keterangan


1 Mamuju 1. Perumahan BTN Axuri Mamuju Metode
2. Depan Lapangan Merdeka Roadside
3. Terminal Simbuang sesaat (1 jam)
2 Mamuju 1. Jl. Poros Mamuju Utara Metode
Utara 2. Depan Bank Mandiri Roadside
3. Jl. Urip Sumoharjo sesaat (1 jam)
3 Mamuju 1. Kompleks Perumahan Metode
Tengah 2. Terminal Penumpang Roadside
3. Jl. Poros Topoyo Mamuju Tengah sesaat (1 jam)
4 Majene 1. Jl. Jend. Sudirman Majene Metode
2. Kompleks Perkantoran Roadside
3. Sekitar Pelabuhan sesaat (1 jam)
5 Polewali 1. Jl. H. Andi Depu - Polewali Mandar Metode
Mandar 2. Jl. Trans Sulawesi - Polewali Mandar Roadside
3. Jl. Jend. A. Yani - Polewali Mandar sesaat (1 jam)
6 Mamasa 1. Jl. Poros Mamasa Toraja Metode
2. Jl. Lapangan Pasar Mamasa Roadside
3. Depan Kantor Bupati Mamasa sesaat (1 jam)
Sumber : Laporan Pemantauan Kualitas Udara
Perbandingan dengan Baku Mutu
Kualitas udara, terutama di kota-kota besar dan metropolitan, sangat dipengaruhi
oleh kegiatan transportasi. Pada tahun 2008 kegiatan transportasi di Indonesia
diperkirakan mengemisikan CO2, CH4, dan N2O masing-masing sebesar 83 juta
ton, 24 ribu ton, dan 3,9 ribu ton.
Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan di 5 ibukota kabupaten dengan
menggunakan metoda passive sampler pada lokasi-lokasi yang mewakili daerah
permukiman, industri, dan padat lalulintas kendaraan bermotor. Sedangkan
parameter yang diukur adalah SO2 dan NO2.
Pengukuran kualitas udara yang dilakukan pada lokasi tersebut dianggap mewakili
kualitas udara tahunan untuk masing-masing parameter. Selanjutnya nilai

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 38
konsentrasi rata-rata tersebut dikonversikan menjadi nilai indeks dalam skala 0
100 untuk setiap ibukota provinsi. Formula untuk konversi tersebut adalah :

Perhitungan nilai indeks pencemaran udara (IPU) dilakukan dengan formula


sebagai berikut:

dimana:
IPU = Indeks Pencemaran Udara
IPNO2 = Indeks Pencemar NO2
IPSO2 = Indeks Pencemar SO2
Tabel 2.14 : Tabel Indeks Pencemaran Udara Sulbar 2015

No. Provinsi/Kabupaten Kon.NO2 Kon.SO2 IPNO2 IPSO2 IPU

1 Kabupaten Mamuju Utara 25,20 50,20 99,11 93,72 96,42

Kabupaten Mamuju,
2 12,00 69,17 99,58 91,35 95,46
Mamuju Tengah

3 Kabupaten Majene 12,00 31,00 99,58 96,13 97,85

Kabupaten Polewali
4 12,00 31,00 99,58 96,13 97,85
Mandar

5 Kabupaten Mamasa 12,00 43,67 99,58 94,54 97,06

6 Provinsi Sulawesi Barat 14,20 49,03 99,50 93,87 96,68


Sumber : Laporan IKLH Sulbar 2015

Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai indeks


pencemaran udara Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2015 ini masih cukup
bagus yakni mencapai nilai 96,68. Jika ditinjau berdasarkan masing-masing
kabupaten, maka Kabupaten Majene dan Polewali mandar masih menduduki
peringkat pertama sebagai Kabupaten dengan tingkat pencemaran udara
terendah, sedangkan Kabupaten Mamuju/Mamuju tengah pada peringkat
terakhir.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 39
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tingkat pencemaran udara masih sangat
didominasi dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Kesimpulan ini diambil
berdasarkan hasil perhitungan kualitas udara pada lokasi padat kendaraan. Nilai
ini juga ditunjukkan dari indeks per kabupaten yang menempatkan Kabupaten
Mamuju pada posisi terendah yang secara data adalah kabupaten dengan jumlah
kepadatan kendaraan bermotor paling tinggi.

Kualitas Air Hujan

Peningkatan gas buang seperti NH3, NO2, SO2 dan aerosol akan mempengaruhi
kadar keasaman air hujan. Arosol dan gas-gas tersebut yang larut dalam udara
dapat dibersihkan dari admosfer melalui proses pembersihan secara kering (dry
deposition) atau secara basah (wet deposition). Menurut Seinfeld J.H. (1986) garis
batas keasaman air hujan adalah 5,6 yang berada dalam garis kesetimbangan
dengan konsentrasi CO2 atmosfer 330ppm. Jika jika kadar keasaman air hujan
dibawah 5,6 maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi hujan asam.

Di samping memantau kualitas udara ambient, salah satu indikator untuk


mengetahui gambaran kualitas udara adalah dengan melihat kualitas air hujan.
Jika di atmosfir banyak terdapat polutan udara seperti gas SO 4, maka PH air hujan
akan menjadi lebih rendah dan bersifat asam. Hal ini akan mengakibatkan
terjadinya hujan asam. Polutan SO4 bersumber dari arang, minyak bakar gas, kayu
dan sebagainya. Sepertiga dari jumlah sulfur yang terdapat di atmosfir merupakan
hasil kegiatan manusia dan kebanyakan dalam bentuk SO2. Sedangkan dua
pertiga bagian lagi berasal dari sumber-sumber alam seperti vulkano dan terdapat
dalam bentuk H2S dan oksida. Masalah yang ditimbulkan oleh bahan pencemar
yang dibuat oleh manusia adalah distribusinya tidak merata sehingga
terkosentrasi pada daerah tertentu.
Data pemantauan kualitas air hujan berasal dari data sekunder dari Kabupaten
Majene. Data kualitas air hujan ini menggambarkan kualitas udara pada wilayah
yang terbebas dari pencemaran udara karena jauh dari sumber pencemar, jauh
dari areal padat transportasi dan industri.
Untuk parameter pH cenderung stabil selama tahun 2015 yaitu berkisar antara
6.35-7,56 dan nilai rata-rata pH adalah 6,92. Untuk keseluruhan parameter yang
diukur hanya pada bulan Januari, Februari, Oktober, Nopember, dan Desember
(Pada awal musim hujan). Berdasarkan pH normal air hujan yaitu 4-8, maka

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 40
kualitas air hujan pada Kec.Banggae berada dalam kondisi baik. Normalnya nilai
pH menunjukkan bahwa kualitas atmosfer di wilayah ini masih baik, yaitu tidak
terjadinya hujan asam yang disebabkan oleh polutan terutama SO 4 . Nilai pH
terendah tercatat pada bulan Oktober yaitu 6.35, sedangkan nilai PH tercatat
tertinggi pada bulan November yaitu sebesar 7,56.
Untuk parameter daya hantar listrik (DHL), hasil pengukuran selama tahun 2015
berkisar yaitu 0,26-0,68 s/cm dengan nilai rata-rata DHL selama tahun 2015
adalah 0,40. Nilai DHL yang tertinggi adalah pada Bulan Februari, yaitu 0,68
s/cm. sedangkan nilai terendahnya adalah pada Bulan Nopember 2015, yaitu
sebesar 0,26 s/cm. Sesuai dengan literatur, daya hantar listrik sangat
dipengaruhi oleh besarnya intensitas air hujan yang turun. Untuk lebih jelasnya,
berikut disajikan tabel dan grafik hasil pemeriksaan kualitas air hujan di
Kabupaten Majene.
Tabel 2.15 : Hasil perhitungan kualitas air hujan
Bulan pH DHL SO4 NO3 Cr NH4 Na Ca2+ Mg2+

Jan 6,75 0,37 tad 0,9 tad 0,03 tad 0,02 0,04

Feb 6,82 0,68 tad 0,7 tad 0,02 tad 0,02 0,03

Mar N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A

Apr N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A

Mei N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A

Jun N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A

Jul N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A

Ags N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A

Sep N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A

Okt 6,35 0,3 tad 0,8 tad 0,01 tad 0,03 0,05

Nop 7,56 0,26 tad 0,5 tad 0,01 tad 0,01 0,03

Des 7,11 0,39 tad 6 tad 0,02 tad 0,01 0,05


Sumber : Data SLHD Kab. Majene

II-E. LAUT, PESISIR DAN PANTAI

Secara geografis, Provinsi Sulawesi Barat sebagian besar berada di daerah pesisir
pantai yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Dari enam Kabupaten
yang ada dalam wilayah Pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat, lima diantaranya
berada pada daerah pesisir pantai. Hanya Kabupaten Mamasa yang berda di
daerah pegunungan.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 41
Salah satu potensi yang dapat dikembangkan dengan kondisi geografis Provinsi
Sulawesi Barat adalah budi daya hasil laut. Salah satunya adalah pengembangan
sub sektor perikanan. Pengembangan perikanan di Sulawesi Barat terdiri dari
perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Pada tahun 2014, produksi perikanan
budidaya mencapai 67.548,70 ton dengan nilai produksi sebesar 720.333,68 juta
rupiah.

Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang cukup unik karena merupakan
tempat pencampuran pengaruh antara darat, laut dan udara yang disebut iklim.
Pada umumnya wilayah pesisir dan estuaria pada khusunya mempunyai tingkat
kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara dan menjadi sumber zat organik yang
penting dalam rantai makanan laut. Namun demikian, perlu dipahami bahwa
sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir ditandai oleh
adanya gradient perubahan sifat ekologi yang tajam, dan karenanya merupakan
wilayah yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan
dengan fluktuasi di luar normal.
Untuk mendukung pengembangan produksi perikanan, sangatlah didukung oleh
terpeliharanya ekositem perikanan dan kelautan. Salah satunya adalah menjaga
kelestrian kualitas air laut khusunya dari pencemaran akibat usaha dan atau
kegiatan manusia baik perorangan maupun kelompok bahkan dunia usaha serta
ditambah lagi dengan rusaknya terumbu karang dan padang lamun yang menjadi
habitat utama perkembangan perikanan dalam laut.
Kualitas Air Laut.
Sebagian besar permukaan bumi di Indonesia adala perairan. Di antaranya adalah
laut. Laut adalah kumpulan air asin yang luas dan berhubbungan dengan
samudera. Air di aut merupakan campuran dari 96,5% air murni dan 3,5% material
lainnya seperti garam, gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak
terlarut. Sifat-sifat fisik air laut ditentukan oleh 96,5% air murni. Air laut dapat
dibedakan antara wilayah laut satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut
dapat di lihat dari suhu, kecerahan dan salinitas.
Perbandingan nilai antar waktu dan antar lokasi

Suhu air laut

Keadaan suhu perairan laut banyak ditentukan oleh penyinaran matahari yang
disebut isolation. Pemanasan di daerah tropic/khatulistiwa akan berbeda dengan

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 42
hasil pemanasan di daerah lintang tengah atau kutub. Oleh karena bentuk bumi
bulat, di daerah tropis sinar matahari jatuh hampir tegak lurus, sedangkan di
daerah kutub umumnya menerima sinar matahari dengan sinaar yang condong.
Sinar jatuh condong bidang jatuhnya akan lebih luas dari pada sinar yang jatuh
tegak. Selain karena faktor kemiringan, di daerah-daerah kutub, banyak sinar yang
dipantulkan kembali ke admosfer sehingga semakin menambah dingin keadaan
suhu di daerah kutub.

Pola suhu di perairan laut pada umumnya makin ke kutub makin dingin dan makin
ke bawah makin dingin. Pada permukaan samudera, umumnya dari khatulistiwa
berangsur-angsur dingin sampai ke laut-laut kutub, di khatulistiwa 280C, pada
laut-laut kutub antara 00 sampai 20 C. panas matahari anya berpengaruh di
lapisan atas saja. Di dasar samudera rata-rata mencapai 20C. Air dingin yang
berasal dai daerah kutub akan mengalir ke daerah khatulistiwa. Laut yang tidak
dipengaruhi arus dingin suhunya akan tinggi.

Kecerahan Air Laut

Kecerahan air laut ditentukan oleh tingkat kekeruhan air itu sendiri yang berasal
dari kandungan sedimen yang dibawa oleh aliran sungai. Pada laut yang keruh,
radiasi sinar matahari yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis tumbuhan laut
akan kurang dibandingkan dengan air laut jernih. Pada perairan laut yang dalam
dan jernih, fotosintesis tumbuhan itu mencapai 200 meter, sedangkan jika keruh
hanya mencapai 15 40 meter. Laut yang jernih merupakan lingkungan yang baik
intuk tumbuhnya terumbu karang dari cangkang binatang atau koral. Air laut juga
menampakkan warna yang berbeda-beda, tergantung pada zat-zat organik
maupun anorganik yang ada.

Salinitas Air Laut

Salinitas atau kadar garam ialah banyaknya garam-garaman yang terdapat dalam
air laut, yang dinyatakan dengan 0/00 atau perseribu. Salinitas umumnya stabil,
walaupun di beberapa tempat terjadi fluktuasi. Laut Mediterania dan Laut merah
dapat mencapai 300/00 - 400/00 yang disebabkan banyak penguapan, sebaliknya
dapat turun dengan drastic jika turun hujan. Laut yang memiliki kadar garam
rendah banyak di jumpai di daerah-daerah yang banyak muara sungainya. Tinggi
rendahnya kadar garam dalam air laut dipengaruhi oleh faktor penguapan, curah
hujan dan banyaknya muara sungai di laut tersebut.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 43
Perbandingan dengan baku mutu
Berdasarkan hasil uji kualitas air laut yang dilakukan pada 7 titik yang tersebar di
dua kabupaten, maka dapat dijabarkan sebagai berikut :
Sampah terdapat pada Pelabuhan Pangali-Ali, Pantai Barane, Pelabuhan Palipi
dan Pantai Malunda.
Parameter TSS di Pantai Malunda melebihi baku mutu yakni mencapai 127
dari 80 maksimal yang dipersyaratkan.
Untuk parameter pH di Pantai Malunda melebihi baku mutu yakni mencapai
9,15 dari baku mutu 6,6 8,5.
Parameter DO di Pantai Pangali-Ali, Barane dan Pasangkayu dibawah ambang
batas yakni <5.
Tabel 2.16 : Kualitas air laut
Pantai Pantai Pelabuhan Pantai Pantai Pantai
Nama Lokasi Baku Mutu TPI Polman
Mampie Malunda Palipi Pangali-Ali Barane Pasangkayu

03.2716,3 03.2601,7 02.5612,0 03.1876,9 01.1051,2


Koordinat tad tad
119.1646,4 119.2018,8 118.5244,1 118.5120,3 119.2018,3
Waktu sampling 09/09/2015 09/09/2015 21/01/2015 21/01/2015 24/7/2015 24/7/2015 03/8/2015
Lokasi Sampling Wonomulyo Polewali Sasende Palipi Pangali-Ali Barane Pasang-kayu
Warna (CU) - Alami Alami Alami Alami Alami Alami Alami
Bau tdk berbau tdk berbau tdk berbau tdk berbau tdk berbau tdk berbau tdk berbau tdk berbau
Kecerahan (M) >3 tad tad jernih jernih jernih jernih 0
Kekeruhan
<5 1,82 tad 1,78 1,91 1,64 1,14 3,5
(NTU)
TSS (mg/l) 80 1,2 4 127 13 10 5 tad
ada ada
Sampah nihil tad tad ada sampah ada sampah nihil
sampah sampah
Lapisan Minyak nihil tad tad nihil nihil nihil nihil nihil
Temperatur
alami 29 28 31,7 29,3 30,2 31 29
(C)
pH (mg/l) 6,6-8,5 7,81 7,76 9,15 7,93 7,2 7,5 8,8
Salinitas (mg/l) alami 34,23 33,44 2,1 2,7 3,48 4,92 3,5
DO (mg/l) >5 6,04 tad 8,57 5,8 3,21 2,6 4,35
BOD5 (mg/l) 20 4,03 tad 0,81 3,35 5,5 6,7 2,52
COD (mg/l) nihil tad tad tad tad tad tad 5,84
Amonia total
0,3 0,206 0,214 2,98 0,03 0,05 0,15 0
(mg/l)
NO2-N (mg/l) 5 tad tad 0,06 0,01 0,02 0,01 0,01
NO3-N (mg/l) 1 0,21 tad 0,3 0,4 0,3 0,4 0,2
PO4-P (mg/l) nihil 0,022 tad 0,15 0,1 0,2 0,3 tad
Sianida (CN-)
0,5 tad tad tad tad tad tad tad
(mg/l)
Sulfida (H2S)
nihil 0,042 0,042 tad tad tad tad tad
(mg/l)
Klor (mg/l) nihil tad tad tad tad tad tad tad
Minyak bumi
1 0,9 tad tad tad tad tad tad
(mg/l)
Fenol (mg/l) 0,002 tad tad tad tad tad tad tad
Pestisida (mg/l) nihil tad tad tad tad tad tad tad
PCB (mg/l) nihil tad tad tad tad tad tad tad
Sumber : Tabel SD-17 Buku Data

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 44
Luas Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang.
Terumbu karang sangat penting untuk keberadaan keberlangsungan ikan atau
lebih sering disebut sebagai rumah ikan, jika rumah ikan sudah rusak, dimanakah
ikan tersebut akan tinggal? Tingginya kerusakan terumbu karang disebabkan oleh
penangkapan ikan oleh nelayan dengan menggunakan putas/bom serta
pengambilan terumbu karang untuk dijual dan dijadikan hiasan dinding rumah
yang dijual dan bahan dasar kosmetik serta tingginya aktifitas laut.

Padahal jika dipandang dari letak geografis, Wilayah Provinsi Sulawesi Barat
beradah di wilayah Pesisir. Oleh karena itu, sektor perikanan merupakan sektor
prospektif dalam peningkatan perekonomian masyarakat. Untuk menunjang minat
masyarakat dalam pengelolaan sektor perikanan, maka diperlukan upaya-upaya
yang dapat mendorong pengembangan pada sektor perikanan.

Produksi dari perikanan yang ada saat ini, masih dapat ditingkatkan dan akan
memberikan penerimaan dan penyerapan tenaga kerja yang maksimal. Saat ini,
manajemen/pengelolaan produksi perikanan belum optimal, yang ditunjukkan
dengan kontribusi ekonomi yang relatif rendah (berbanding terbalik dengan
potensi yang dimiliki). Sehingga untuk menunjang dan meningkatkan produksi
perikanan maka diperlukan program pengembangan yang memperhatikan
dukungan alam bagi setiap jenis perikanan.
Perbandingan nilai antar lokasi
Tabel 2.17 Persentase Luas Terumbu Karang
Luas
Sangat
No. Kabupaten/Kota Tutupan Baik Sedang Rusak
Baik
(Ha)

1 Mamuju Utara 1084,73 18,44 31,92 23,09 26,55

2 Mamuju Tengah 50,00 tad tad 70,00 30,00

3 Mamuju 7735,00 7,76 13,78 25,00 tad

4 Majene 408,53 tad tad 29,52 70,48

5 Polewali Mandar 849,23 tad 56,23 tad 43,77


Sumber : Tabel SD-19 Buku Data

Dari tabel diatas menggambarkan bahwa, persentase kerusakan terumbu karang


pada tahun 2015 berada di Kabupaten Majene yakni sebesar 70,48 persen
terhadap luas tutupannya sedangkan yang paling sedikit berada di Kabupaten
Mamuju Utara yakni hanya sekitar 26,55 persen terhadap luas tutupannya.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 45
Untuk luas tutupan lahan pada terumbu karang paling tinggi berada di Kabupaten
Mamuju yakni mencapai 7.735,00 hektar sedangkan paling sedikit berada di
Kabupaten Majene yang hanya mencapai 408,53 hektar

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka pengelolaan kawasan perikanan yang


dapat dikembangkan antara lain :
a) Pemberian penguatan modal bagi usaha perikanan dalam rangka menunjang
kesinambungan usaha perikanan.
b) Menggalakkan program penggunaan bibit unggul.
c) Menggalakkan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak menggunakan
perlatan yang dapat merusak lingkungan ekosistem laut dalam proses
penangkapan ikan.
d) Memperluas wilayah pemasaran produksi perikanan, baik lokal maupun pasar
ekspor.
e) Pengembangan pusat pengumpul dan distribusi bagi usaha perikanan dengan
memperhatikan jarak minimum (mudah dijangkau).

Luas dan Kerusakan Padang Lamun

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang terletak di daerah pesisir
atau perairan laut dangkal. Keunikan dari tumbuhan lamun dari tumbuhan laut
lainnya adalah adanya perakaran yang ekstensif dan system rhizome. Karena tipe
perakaran ini menyebabkan daun-daun tumbuhan lamun menjadi lebat, dan ini
besar manfaatnya dalam menopang keproduktivan ekosistem padang lamun
(Supriharyono, 2007).

Seperti pada tanaman air lainnya, maka faktor pembatas yang menentukan
kehidupan lamun, secara fisiologis adalah faktor-faktor yang membatasi proses
fotosintesis, yaitu penetrasi cahaya matahari, unsure hara, dan difusi anorganik
karbon. Di samping itu ada faktor lain, seperti suhu air, salinitas, pergerakan air,
juga pentingnya peranannya terhadap kebanyakan tumbuhan makrofita
(Supriharyono, 2007).
Dari 12 jenis lamun yang dikena di Indonesia, 5 jenis diantaranya dijumpai di
pesisir Provinsi Sulawesi Barat. Kelima jenis tersebut adalam Enhalus Acoroides,
Thalassia Hemprichii, Halophila Ovalis, Halodule Uninervis dan Syringodium
Isoetifolium. Meskipun demikian jenis E. Acoroides, T. Hemprichii dan S.
Isoetifolium merupakan jenis yang dominan dengan sebaran yang luas.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 46
Perbandingan Nilai Antar Lokasi

Luas total padang lamun di Indonesia semula diperkirakan 30.000 km 2, tetapi


diperkirakan kini telah menyusut sebanyak 30 40 %. Menyusutnya luas total
padang lamun menunjukkan status dari ekosistem padang lamun ini di Indonesia
wajib konservasi dan segera dilakukan pelestarian. Kerusakan ekosistem lamun
antara lain karena reklamasi dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran,
penangkapan ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), dan tangkap
lebih (over-fishing).

Pembangunan pelabuhan dan industri di Teluk Banten misalnya, telah


melenyapkan ratusan hektar padang lamun. Tutupan lamun di Pulau Pari (DKI
Jakarta) telah berkurang sebanyak 25 % dari tahun 1999 hingga 2004. Kerusakan
lamun juga dapat disebabkan oleh natural stress dan anthrogenik stress.
Kerusakan-kerusakan ekosistem lamun yang disebabkan oleh natural stress
biasanya disebabkan oleh gunung meletus, tsunami, kompetisi dan predasi.
Sedangkan anthrogenik stress bisa disebabkan :

1. Perubahan fungsi pantai untuk pelabuhan atau dermaga.


2. Eutrofikasi (Blooming mikro alga dapat menutupi lamun dalam memperoleh
sinar matahari).
3. Aquakultur (pembabatan dari hutan mangrove untuk tambak memupuk
tambak).
4. Water polution (logam berat dan minyak).
5. Over fishing (pengambilan ikan yang berlebihan dan cara penangkapannya yang
merusak).

Untuk Provinsi Sulawesi Barat, berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan
Perikanan, persentase kerusakan padang lamun terbesar berada di Kabupaten
Mamuju Utara yakni sebesar 41,92 persen, menyusun Kabupaten Mamuju seluas
33,25 persen, Kabupaten Mamuju Tengah 24,06 persen, Kabupaten Majene 6,75
persen dan yang paling rendah di Kabupaten Polewali Mandar yang hanya
mencapai 1,10 persen. Luas padang lamun secara keseluruhan untuk Sulawesi
Barat adalah 2.094,61 Ha atau sekitar 0,06 persen dari total luas padang lamun
di Indonesia.

Perbandingan dengan Baku Mutu

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 47
Grafik 2.5 : Luas dan Persentase Kerusakan Padang Lamun Provinsi Sulawesi Barat

Sumber : Tabel SD-20 Buku Data


Pengelolaan lamun sebagai salah satu ekosistem sangat penting karena manfaat
yang ada sangat beragam, mulai dari sedimentasi, hingga aspek perikanan. Lamun
yang sepertinya tidak begitu produktif dalam bidang pengolahan atau sebagai
bahan mentah industri, belakangan ini kurang diperhatikan, lalu berdampak
kerusakkan pada padang lamun yang tersebar di pesisir. Salah satu upaya
pengelolaan lamun yang sudah ada adalah terbentuknya Undang-Undang No. 27
tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga telah
mengamanatkan perlunya penyelamatan dan pengelolaan padang lamun sebagai
bagian dari pengelolaan terpadu ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

Bentuk pengelolaan lamun yang bisa dilakukan secara nyata adalah mengawasi
pembangunan yang ada di pesisir dan tetap mengelola dengan baik limbah yang
mengalir langsung ke laut. Selain itu, perawatan ekosistem padang lamun yang
bisa dilakukan yaitu membudidayakan dan memonitoring setiap kegiatan
masyarakat yang memerlukan padang lamun sebagai matapencaharian. Lamun,
walaupun tidak terlihat begitu produktif, namun mempunyai manfaat yang lebih
dari yang diperkirakan, karena alam yang terjaga adalah untuk masa depan.

Luas dan Kerapatan Hutan Mangrove

Mangrove hidup di daerah antara level pasang naik tetinggi (maximum spring tide)
sampai level di sekitar atau di atas permukaan laut rata-rata (mean sea level).
Komunitas (tumbuhan) hutan mangrove hidup di daerah pantai terlindung di

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 48
daerah tropis dan subtropis. Mangrove merupakan ekosistem pesisir yang
mempunyai produktivitas hayati yang tinggi.

Mangrove diketahui mempunyai daya adaptasi fisiologis yang sangat tinggi.


Mereka tahan terhadap lingkungan dengan suhu perairan yang tinggi, fluktuasi
salinitas yang luas dan tanah yang anaerob. Salah satu faktor yang penting dalam
adaptasi fisiologis adalah system pengudaraan di akar-akarnya. Tidak semua
tumbuhan yang memperoleh oksigen untuk akar-akarya dari tanah yang
mengandung oksigen, mangrove tumbuh di tanah yang tidak mengandung oksigen
dan harus memperoleh hampir seluruh oksigen untuk akar-akar mereka dari
atmosfer.

Jenis mangrove di Sulawesi Barat : Jenis tumbuhan ini didominasi oleh genera
Rhizophora, Avicenia, Brugueira, Sonneratia. Mangrove ikutan (Associated
Mangrove); merupakan kelompok tumbuhan yang ditemukan tumbuh bersama-
sama komunitas mangrove, tetapi tidak termasuk mangrove karena tumbuhan ini
bersifat lebih kosmopolrt dan memiliki kisaran toleransi yang besar terhadap
perubahan faktor fisik lingkungan seperti suhu, salinitas dan substrat. Jenis
tumbuhan yang tergolong mangrove ikutan adalah waru laut, pandan, ketapang,
jeruju dan Iain-Iain.Vegetasi pantai non Mangrove; merupakan kelompok
tumbuhan yang memiliki ciri adanya zona bentuk pertumbuhan (habitus) secara
horizontal dari daerah intertidal ke arah darat yang terdiri dari tumbuhan menjalar,
semak belukar, perdu, pohon, dimana semakin kearah darat, keragaman jenis dan
habitus pohon akan semakin besar. Jenis vegetasi pantai non mangrove umumnya
terdiri dari tapak kambing, rumput angin, santigi, ketapang, cemara, laut dan
kelapa.egetasi pantai di Kabupaten Mamuju Utara dicirikan dengan tumbuhan
peralihan yang dapat hidup pada kondisi tergenang air laut dan darat.

Tumbuhan mangrove di Sulawesi Barat menyebar di semua pesisir. Jenis


mangrove yang ditemukan ada 7 jenis yaitu Rhizopora Stylosa, R. Mucronata,
Avicennia Alba, Sonneratia Alba, Nypa Fruticans, Bruguiera sp. dan Ceriops sp.
Jenis R. Stylosa, R. Mucronata dan A. Alba merupakan jenis yang dominan dengan
sebaran yang luas, ciri utama dari vegetasi ini adalah memiliki struktur daun yang
rapat, tidak bergetah dan warna dominan hijau pada daun.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 49
Tabel 2.18 : Luas Lokasi, Persetase Tutupan dan Kerapatan Mangrove
No Lokasi Luas Lokasi (Ha) Persentase tutupan (%) Kerapatan (pohon/Ha)

1 Mamuju Utara 402,87 tad 5451,50

2 Mamuju Tengah 64,50 tad tad

3 Mamuju 685,58 5,00 10013,33

4 Majene 168,93 68,00 60,38

5 Polewali Mandar 317,33 55,00 2829,00


Sumber : Tabel SD-21 Buku Data
Perbandingan dengan baku mutu

a. PP RI Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau


Perusakan Laut
b. Kepmen LH Nomor 45 Tahun 1996 tentang Program Pantai Bersih.
c. Kepmen LH Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman
Penentuan Kerusakan Mangrove.
d. Kepmen LH Nomor 12 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Perizinan Pembuangan Air Limbah Ke Laut

Tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan buruk, akan


tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk
mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia di lingkungannya.
Ada empat faktor utama yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove yaitu
(a) frekuensi arus pasang, (b) salinitas tanah, (c) air tanah, dan (d) suhu.

Untuk data tahun 2015, diperkirakan bahwa sekitar 1,8 juta hektar hutan
mangrove di Indonesia mengalami kerusakan atau sekitar atau sekitar 58 persen
dari total 3,1 juta hektar hutan mangrove. Dari 1,8 juta hektar mangrove yang
rusak, 1,4 juta diantaranya berada di luar kawasan hutan dan 400 ribu hektar
lainnya berada dalam kawasan hutan.

II-F. IKLIM

Iklim di Sulawesi Barat memiliki tipe A (Sangat Basah) dan tidak terdapat bulan
kering. Penentuan tipe iklim wilayah digunakan metode dari Schmidt- Ferguson
(1951). Schmidt-Ferguson mengklasifikasikan iklim berdasarkan jumiah rata-rata
bulan kering dan jumlah rata-rata bulan basah. Suatu bulan disebut bulan kering,
jika dalam satu bulan terjadi curah hujan kurang dari 60 mm disebut bulan basah,

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 50
jika dalam satu bulan curah hujannya lebih dan 100 hari Schmidt-Ferguson sering
disebut juga Q model karena didasarkan atas nilai Q. Nilai Q merupakan
perbandingan jumlah rata-rata bulan kering dengan jumlah rata-rata bulan basah
dikalikan dengan 100%.

Curah Hujan Rata-Rata Bulanan.

Hujan di Indonesia ada beberapa macam yang terdiri atas faktor-faktor yang
berbeda, yaitu:
a. Hujan orografis
b. Hujan muson
c. Hujan zenith
Hujan orografis adalah hujan yang terjadi di daerah pegunungan karena awan yang
mengandung banyak uap air mengalami pengembunan ketika tertiup dari laut ke
pegunungan sehingga hujan turun di lereng pegunungan itu. Hujan jenis ini
menghasilkan daerah tangkapan hujan dan daerah bayangan hujan. Contoh
jelasnya adalah Pulau Jawa, yang mana daerah tangkapan hujannya adalah Jawa
bagian utara dan daerah bayangan hujannya adalah Jawa bagian selatan.

Hujan muson adalah hujan yang terjadi karena angin muson yang bertiup rata-rata
enam bulan sekali karena adanya perbedaan tempratur antara daratan dan
lautan. Hujan muson biasanya datang bersamaan dengan bertiupnya angin muson
barat yang banyak mengandung uap air.

Hujan zenit adalah hujan yang penyebabnya adalah suhu yang panas pada garis
khatulistiwa sehingga memicu penguapan air ke atas langit bertemu dengan udara
yang dingin menjadi hujan. Hujan zenit terjadi di sekitar daerah garis khatulistiwa
saja.

Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi curah hujan di


Indonesia adalah:
1. Letak geografis Indonesia (di antara dua samudera dan dua benua, pengaruh
pada hujan muson);
2. Letak astronomis Indonesia (pengaruh pada hujan zenith);
3. Banyaknya pegunungan di Indonesia (pengaruh pada hujan orografis); dan
4. Lama tidaknya penyinaran matahari (pengaruh pada penguapan)

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 51
Grafik 2.6 : Persentase Curah Hujan Rata-Rata Bulanan

Sumber : Olah data Tabel SD-22 Buku Data

Perbandingan nilai antar waktu

Sulawesi Barat terletak pada jalur katulistiwa sehingga memiliki curah hujan yang
cukup tinggi. Namun demikian intesitas hujan pada tahun 2015 dan hampir di
seluruh wilayah Indonesia sangat kurang. Bahkan untuk tahun 2015 ini, terjadi
kemarau panjang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di
berbagai tempat. Berdasarkan grafik diatas, dapat dikatakan bahwa curah hujan
yang tertinggi terjadi pada bulan November dan Desember yang juga
menyebabkan terjadinya banjir di beberapa tempat.

Untuk bulan Januari 2015, curah hujan yang tinggi masih dipengaruhi oleh
keadaan cuaca dari tahun 2014 sampai dengan April 2015. Untuk bulan Mei
sampai dengan bulan Oktober 2015 merupakan hari waktu terpanjang terjadinya
kemarau. Hanya pada bulan juni saja yang masih terjadi hujan denga intensitas
yang agak tinggi.

Suhu Udara Rata-Rata Bulanan.

Suhu udara di Sulawesi Barat bervariasi tiap bulannya dengan interval yang tidak
berbeda jauh. Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi
rendahnya tempat tersebut dari permukaan air laut dan jaraknya dari pantai.
Berdasarkan laporan dari Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 52
Majene pada tahun 2015 suhu udara di Sulawesi Barat berkisar antara 26,7C
hingga 29,1C dengan rata-rata suhu udara sekitar 27,8C.

Perbandingan nilai antar waktu


Grafik. 2.7 : Suhu Udara Rata-Rata Bulanan Provinsi Sulawesi Barat

Sumber : Hasil perhitungan Tabel SD-23 Buku Data


Perbandingan suhu udara rata-rata bulanan di Sulawesi Barat untuk tahun 2015
hampir sama dari bulan Januari sampai dengan Desember. Suhu udara tertinggi di
Bulan Oktober, November dan Desember yakni yakni berkisar antara 28,4 0C
sampai dengan 29,10C sedangkan yang terendah pada bulan Juni 2015. Untuk
bulan lainnya hanya sekitar 270C. untuk bulan Mei 2015, data suhu udara rata-
rata bulanan tidak dapat dideteksi karena adanya kebakaran pada stasiun
meteorologi, klimatologi kelas II Majene.

II-G. BENCANA ALAM

Berdasarkan kondisi geologi wilayah, jenis tanah, dan kondisi fisik lingkungan yang
mempengaruhinya, Sulawesi Barat mempunyai potensi kerawanan bencana, baik
yang disebabkan oleh alam maupun akibat dari pembangunan. Selain itu,
Sulawesi Barat merupakan daerah yang rawan banjir hal ini disebabkan karena
empat dari lima kabupaten yang ada di Sulawesi Barat berada pada daerah pesisir
pantai. Selain bahaya banjir, Provinsi Sulawesi Barat juga berpotensi bahaya
tsunami khusunya di Kabupaten Mamuju, Majene dan Polewali Mandar dengan
kategori run-up 2-5 (berbahaya) seperti yang pernah terjadi di Nanggoro Aceh
Darussalam.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 53
Peta 2.1 : Peta Rawan Gempa dan Resiko Gempa di Sulawesi Barat

Sumber : BPBD Prov. Sulbar

Bencana Banjir, Korban dan Kerugian.


Kondisi wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang meliputi daerah pengunungan dan
dilintasi oleh sungai besar dan kecil yang sangat rawan terhadap bencana banjir
khususnya banjir bandang akibat meluapnya aliran sungai.

Curah hujan yang cukup tinggi pada penghujung tahun 2015 menyebabkan
terjadinya banjir di beberapa daerah. Berdasarkan informasi yang dihimpun, banjir
terparah berada di Desa Lembah Hopo, Kecamatan Karossa Kabupaten Mamuju
Tengah. Banjir bandang yang terjadi ini, selain mengakibatkan rusaknya
infrastruktur daerah juga menyebabkan kerusakan rumah warga. Dari keterangan
yang terhimpun, terdapat 5 warga yang terseret banjir, dan tiga diantaranya
ditemukan dalam keaadaan sudah meninggal.

Berdasarkan data yang dihimpun dari masing-masing kabupaten, bencana banjir


di Sulawesi Barat pada tahun 2015 ini terdapat di tiga kabupaten yakni Kabupaten
Mamuju Utara, Mamuju Tengah dan Kaupaten Mamuju. Sedangkan untuk ketiga
kabupaten lainnya tidak terdapat kejadian banjir sepanjang tahun 2015. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 54
Tabel 2.19 : Bencana Banjir, Korban dan Kerugian
Total Area Jumlah Korban Jumlah Korban Perkiraan
No Kabupaten/Kota
Terendam (Ha) Mengungsi Meninggal Kerugian (Rp.)
1 Mamuju Utara 852 30 N/A 2.400.000.000

2 Mamuju Tengah 21 0 0 145.000.000

3 Mamuju 19 107 0 590000

4 Majene N/A N/A N/A N/A

5 Polewali Mandar N/A N/A N/A N/A

6 Mamasa N/A N/A N/A N/A


Sumber : Tabel BA-1 Buku Data SLHD

Analisis statistik sederhana.

Berdasarkan data yang dihimpun dari masing-masing kabupaten, bencana banjir


terluas berada di kabupaten Mamuju Utara dengan total area yang terendan
mencapai 852 hektar, jumlah penduduk yang mengungsi diperkirakan mencapai
30 keluarga dengan perkiraan kerugian mencapai 2,4 milyar. Bencana banjir di
Kabupaten Mamuju Utara ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain
drainase yang kurang lancar serta adanya penebangan liar sehingga
meningkatkan laju air pada saat musim penghujan tiba.

Untuk di Kabupaten Mamuju, banjir yang terjadi dalam kota di sekitar Karema
Utara akibat kurang berfungsinya drainase serta saluran air lainnya. Hujan Deras
yang turun beberapa jam megakibatkan genangan air akibat drainase yang
tersumbat dengan sampah-sampah yang menyumbat saluran air. Selain itu,
beberapa ruas jalan di Kota Mamuju yang jauh lebih rendah dibandingkan saluran
pembuangan air sehingga drainase tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Bencana Kekeringan, Luas dan Kerugian.

Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam
masa yang berkepanjangan. Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilaah secara
terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim kemarau yang
panjang akan menyebabkann kekeringan karena cadangan air tanah akan habis
akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu
wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertaian dan
ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi keeringan

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 55
merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat
berbeda-beda. Namun, suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula
menyebabkan kerusakan uang signifikan.

Perbandingan dengan baku mutu

Kekeringan menyangkut neraca air antara inflow dan outflow atau antara
presipitasi dan evaportranspirasi. Kekeringan tidak hanya dilihat sebagai
fenomena fisik cuaca saja, tetapi hendaknya juga dilihat sebagai fenomena alam
yang terkait erat dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air.
Bertambahnya jumlah penduduk telah megakibatkan terjadinya tekanan
penggunaan lahan dan air serta menurunnya daya dukung lingkungan. Akibatnya
kekeringan semakin sering terjadi dan semakin meluas. Kekeringan dapat
menimbulkan dampak yang amat luas, kompleks dan juga rentang waktu yang
panjang setelah berakhirnya kekeringan. Dampak yang luas dan berlangsung lama
tersebut disebabkan karena air merupaka kebutuhan pokok dan vital bagi seluruh
makhluk hidup yang tidak dapat digantikan oleh sumberdaya lainnya.

Analisis statiskitk sederhana

Tabel 2.20 : Data Bencana Kekeringan, Luas dan Kerugian


No Kabupaten/Kota Total Area (Ha) Perkiraan Kerugian (Rp)

1 Mamuju Utara 145 tad

2 Mamuju Tengah tad tad

3 Mamuju tad tad

4 Majene 79 394.921.875

5 Polewali Mandar 1.738,42 101.905.200.000

6 Mamasa tad tad


Sumber : Tabel BA-2 Buku Data

Berdasarkan data yang dihimpun dari masing-masing kabupaten, bencana


kekeringan terluas terdapat di Kabupaten Polewali Mandar. Kondisi ini dipengaruhi
oleh kemarau yang berkepanjangan yang terjadi sepanjang tahun 2015. Di
samping itu, Kabupaten Polewali Mandar sebagai kabupaten dengan luas lahan
pertanian yang terluas di Sulawesi Barat. Kekeringan yang berkepanjangan ini
mengakibatkan gagal panen di beberapa daerah di Sulawesi Barat. Untuk
kabupaten Polewali Mandar luas kekeringan mencapai 1.738,42 hektar dengan

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 56
perkiraan kerugian mencapai 101, 9 milyar. Untuk kabupaten Mamuju Utara total
area yang dilanda kekeringan mencapai 145 hektar dan Kabupaten Majene
mencapai 79 hektar.

Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan, Luas dan Kerugian.

Salah satu issu yang cukup mengemuka akhir-akhir ini adanya kebakaran hutan
yang melanda hampir di sebagian besar wilayah Indonesia. Kebakaran hutan
terparah berada di Kepulauan Sumatera dan Kalimantan yang menjadi
perbincangan dunia di tahun 2015.

Untuk wilayah Sulawesi Barat, kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir di
seluruh wilayah Sulawesi Barat yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan.
Untuk wilayah kabupaten Mamuju Utara, Mamuju Tengah dan Mamuju, kebakaran
hutan dan lahan terjadi di beberapa perkebunan sawit milik masyarakat.
Kebakaran ini sempat menjadi issu bagi perusahaan khusunya di Mamuju Tengah
dalam program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan. Untuk wilayah Mamuju
Tengah, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada bulan Agustus 2015
menyebabkan 1 rumah ikut terbakar dan beberapa lahan perkebunan masyarakat
hangus terbakar. Penyebab kebakaran hingga saat ini masih belum diketahui.

Grafik 2.8 : Data Bencana Kebakaran Hutan Tahun 2015

Sumber : Olah Data Tabel BA-3 Buku Data


Bencana Tanah Longsor dan Gempa Bumi, Korban, Kerugian.
Berdasarkan data dari masing-masing daerah, di wilayah Provinsi Sulawesi Barat
sepanjang tahun 2015 bencana gempa bumi yang terjadi sebagai akibat dari

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 57
pengaruh kejadian gempa yang berpusat di Kabupaten Tana Toraja, namun
menimbulkan dampak sampai di Kabupaten Mamuju. Namun demikian,
berdasarkan data yang dihimpun, kejadian ini tidak menimbulkan korban jiwa
tetapi berdampak pada korban materil yakni adanya beberapa rumah yang rusak
di Kecamatan Kalumpang yang berbatasan langsung dengan Tana Toraja.

Untuk bencana tanah longsor, terjadi di dua kabupaten yakni Kabupaten Majene
dan Kabupaten Mamasa. Bencana tanah longsor ini pada umumnya disebabkan
oleh penurunan kualitas tanah serta kountur tanah yang labil sehingga mudah
bergeser saat terjadi hujan lebat. Peristiwa ini lebih diperparah lagi dengan adanya
proyek pelebaran jalan yang kurang memperhatikan kondisi dan struktur tanah
serta kemiringan tanah saat melakukan pengerukan. Untuk Kabupaten Mamasa,
bencana tanah longsor yang terjadi di sebagian jalan poros menuju kota Mamasa,
selain diakibatkan oleh pelebaran jalan, juga sebagian besar akibat pengambilan
material batuan oleh sekelompok masyarakat.

Selain bencana alam yang telah dipaparkan diatas, dari data yang dihimpun dari
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi Barat, beberapa
kejadian bencana alam lainnya yang terjadi di Provinsi Sulawesi Barat dalam tahun
2015 antara lain abrasi pantai dan angin puting beliung.

Perbandingan dengan baku mutu.


Banjir dan tanah longsor sudah menjadi sesuatu yang sangat akrab di telinga kita.
Betapa tidak, hampir setiap tahunnya pada saat musim penghujan tiba, sebagian
besar wilayah di Indonesia dilanda banjir dan tanah longsor. Kota metropolitan
seperti kota Jakarta justru menjadi kota langganan banjir setiap tahunnya.
Selain bahaya bajir, bencana yang sering mengancam Indonesia adalah bencana
tsunami. Peristiwa tsunami terbesar di Indonesia masih terngiang jelas bagi kita
dimana pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi tsunami di Nanggoro Aceh
Darussalam yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia dan kerusakan
material yang tidak terhitung jumlahnya. Hal yang tidak kalah mengerikannya
adalah trauma bagi keluarga-keluarga yang selamat dalam peristiwa tersebut. Hal
ini diakibatkan karena Indonesia berada pada pertemuan dua lempeng benua
(Australia dan Asia) yang merupakan daerah rawan bencana dan berpotensi
tsunami.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 58
Provinsi Sulawesi Barat termasuk dalam daerah rawan banjir berdasarkan sejarah
tsunami di Indonesia. Pada bagian barat Provinsi Sulawesi Barat khusunya
Kabupaten Mamuju, Majene dan Polewali Mandar termasuk dalam daerah rawan
tsunami dengan kategori run up 2-5 (berbahaya).
Perbandingan Nilai Antar Waktu dan Antar Lokasi.
Provinsi Sulawesi Barat merupakan provinsi ke-33 provinsi dari 34 provinsi di
Indonesia. Pada usianya yang baru akan mencapai sebelas tahun ini, tentunya
memerlukan berbagai bentuk perbaikan dan pembangunan untuk mengejar
kesejajaran dengan provinsi-provinsi lainnya. Proses pembangunan tentu saja
menjadi salah satu faktor pendukung perkembangan ekonomi suatu daerah.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses pembangunan tersebut
seringkali tidak memperhitungkan perubahan pada lingkungan hidup. Misalnya
perubahan fungsi hutan dan lahan menjadi lahan untuk pembangunan
pemukiman, perkantoran dan lain sebagainya.
Berdasarkan fakta dan data yang terjadi di lapangan bahwa sebagian besar
bencana alam yang terjadi di Indonesia dan di Sulawesi Barat pada khusunya
diakibatkan karena human eror. Dari catatan bencana banjir dan tanah longsor
yang terjadi sepanjang tahun 2015 ini, sebagian besar diakibatkan oleh
penggundulan hutan dan pengerukan lahan.
Banjir bandang pada tahun 2013 yang terjadi di Kecamatan Sumarorong,
Kabupaten Mamasa adalah akibat dari penggundulan hutan di daerah hulu sungai
sehingga pada saat musim penghujan tiba terjadi longsor dan banjir bandang yang
tentu saja berakibat pada kerugian manusia.
Analisis Statik Sederhana
Bencana alam tampaknya sudah menjadi hal biasa dan tak terpisahkan dalam
kehidupan peduduk Indonesia. Berbagai bencana alam seperti banjir, tanah
longsor, kebakaran hutan dan lahan, serta kekeringan mewarnai kehidupan kita
belakangan ini. Bencana-bencana tersebut pada umumnya mencapai wilayah yang
cukup luas yang tentu saja menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan
yang cukup besar.
Beberapa tahun terakhir ini, bahkan hampir setiap tahun, Provinsi Sulawesi Barat
sering dilanda banjir khusunya banjir bandang ketika musim penghujan tiba.
Seiring dengan berbagai peristiwa tersebut, berbagai persoalan muncul seperti
perubahan pla hidup masyarakat sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan,

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 59
penurunan kualitas lingkungan karena adanya perubahan keseimbangan system
alam, penurunan kualitas air dimana masyarakat sulit mencapatkan air bersih,
gangguan habitat keanekaragaman hayati, terganggunya kegiatan ekonomi,
gangguan transportasi serta gangguan kesehatan dengan munculnya berbagai
macam penyakit.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi
Barat, bencana alam yang terjadi di Provinsi Sulawesi Barat sepanjang tahun 2015
ini didominasi oleh bencana banjir yang diikuti dengan tanah longsor dan
kebakaran hutan. Komponen penyebab terjadinya bencana bajir adalah berkaitan
dengan sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan kesehariannya yang
kurang memperhatikan keseimbangan alam dan lingkungannya. Dampak dari
sikap dan perilaku tersebut adalah akibat dari kurangnya pemahaman dan
pengetahuan serta kesadaran masyarakat dalam menjaga dan melestarikan
fungsi-fungsi lingkungan hidup.
Faktor lain adalah adanya pemanfaatan dan pengalihfungsian hutan dan lahan
yang tidak terkontrol seperti pembangunan perumahan pada daerah resapan air,
pembukaan lahan-lahan perkebunan, reklamasi pantai dan faktor-faktor lain yang
disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah
lingkungan. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah disebabkan oleh
pertambahan jumlah penduduk sehingga menimbulkan tekanan terhadap
lingkungan.
Untuk mencegah semakin meningkatnya bencana alam khusunya banjir dan tanah
longsor, maka dibutuhkan suatu pola pendekatan integralistik dan menyeluruh.
Peristiwa banjir dan tanah longsor terjadi bukan hanya karena satu sebab dan oleh
satu orang pelaku melainkan berbagai faktor penyebab akibat aktivitas manusia
yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu system meta konsep dan
meta disiplin, dimana formalitas dan proses keseluruhan disiplin ilmu dan
pengetahuan sosial dapat dipadukan untuk memecahkan masalah.
Langkah awal yang harus ditempuh adalah mengadakan identifikasi faktor-faktor
penyebab peristiwa bencana banjir dan tanah longsor yang akan dijadikan dasar
pertimbangan dalam menentukan solusi pencegahan dan pemecahan masalah
tersebut.

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya


K - 60
BAB III
TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN

III-A. KEPENDUDUKAN

Penduduk adalah warga Negara yang tinggal dan berdiam di suatu daerah.
Penduduk di Indonesia adalah warga Negara Indonesia dan orang asing yang
tinggal di Indonesia. Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan
jumlah, struktur, umur, jenis kelamin, agama, kelahiran, perkawinan, kehamilan,
kematian, persebaran, mobilitas dan kualitas serta ketahanannya yang
menyangkut politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Pengelolaan kependudukan dan pembangunan keluarga adalah upaya terencana
untuk mengarahkan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga
untuk emwujudkan penduduk yang tumbuh seimbang dan mengembangkan
kualitas penduduk pada seluruh dimensi penduduk. Perkembangan
kependudukan adalah kondisi yang berhubungan dengan perubahan keadaan
kependudukan yang berpengaruh serta dipengaruhi oleh keberhasilan
pembangunan yang berkelanjutan.
Kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan nonfisik yang
meliputi derajat kesehatan, pendidikan, ekerjaan, produktifitas, tingkat social,
ketahanan, kemandirian dan kecerdasan sebagai ukuran dasar untuk
mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang
beriman, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan dan hidup secara layak.
Luas Wilayah, Jumlah Peduduk, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk
Sebagai daerah yang baru dengan sejumlah potensi yang dimilikinya, Sulawesi
Barat memiliki daya tarik tersendiri bagi sejumlah imigran untuk memilih daerah
ini sebagai tempat tinggal baru. Setelah hampir 12 tahun sejak dibentuk pada
tahun 2004, Jumlah penduduk Sulawesi Barat sampai dengan tahun 2015
mencapai 1.258.090 jiwa dengan rincian penduduk laki-laki sebanyak 630.903
jiwa dan selebihnya adalah penduduk perempuan sebanyak 627.187 jiwa.
Penduduk Usia Kerja (PUK) didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15
tahun ke atas. Penduduk Usia Kerja terdiri dari Angkatan Kerja dan Bukan
Angkatan Kerja. Mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja adalah penduduk
yang bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan Bukan Angkatan

Tekanan Terhadap Lingkungan


T-1
Kerja adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melakukan
kegiatan lainnya.
Pada tahun 2015, tingkat pengangguran terbuka di tingkat Sulawesi Barat sebesar
2,14 persen. Jika dirinci menurut kabupaten, tingkat pengangguran terendah
berada di Kabupaten Mamuju, sekitar 1,02 persen sebaliknya TPT tertinggi di
Kabupaten Mamasa sebesar 3,37 persen. Pada tahun yang sama, jika dilihat dari
segi lapangan usaha, sebagian besar penduduk Sulawesi Barat bekerja disektor
pertanian berjumlah 314.290 orang atau sekitar 57,27 persen dari jumlah
penduduk yang bekerja.
Tabel 3.1 : Jumlah Penduduk, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk
Jumlah Pertumbuhan Kepadatan
No. Kabupaten Luas (km2)
Penduduk Penduduk (%) Penduduk (%)
1 Mamuju Utara 2988,91 152505 3,15 51
2 Mamuju Tengah 3107,92 118188 2,78 38
3 Mamuju 4832,37 258984 2,80 54
4 Majene 900,20 161132 1,59 179
5 Polewali Mandar 2082,79 417472 1,29 200
6 Mamasa 3004,53 149809 1,66 50

Total 16916,72 1258090 13,27 571,94


Sumber : Tabel DE-1 Buku Data
Analisis statistik sederhana
Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa penduduk terbesar di Provinsi
Sulawesi Barat berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni sebanyak 417.472
jiwa atau sekitar 33,18 persen dari total jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Barat,
disusul oleh Kabupaten Mamuju sebanyak 258.984 jiwa, Kabupaten Majene
sebesar 161.132 jiwa, Kabupaten Mamuju Utara sebesar 152.505 jiwa,
Kabupaten Mamasa sebesar 149.809 jiwa dan paling terkecil berada di
Kabupaten Mamuju Tengah yakni hanya sekitar 118.188 jiwa atau sekitar 9,39
persen.

Jika dilihat dari laju pertumbuhan penduduk, Kabupaten Mamuju Utara justru
menempati urutan pertama yakni sebesar 3,15 persen disusul oleh Kabupaten
Mamuju dan Mamuju Tengah masing-masing sebesar 2,8 persen Kabupaten
Mamasa sebesar 1,66 persen, Kabupaten Majene sebesar 1,59 persen dan
terakhir adalah Kabupaten Polewali Mandar yakni hanya sekitar 1,29 persen.

Tekanan Terhadap Lingkungan


T-2
Dari segi kepadatan penduduk, maka Kabupaten Polewali Mandar menjadi
kabupaten terpadat yakni terdapat sekitar 200 jiwa per kilometer persegi, disusul
oleh Kabupaten Majene yakni sekitar 179 jiwa per kilometer persegi, Kabupaten
Mamuju sekitar 54 jiwa per kilometer persegi, Kabupaten Mamuju Utara sekitar 51
jiwa per kilometer persegi, Kabupaten Mamasa sekitar 50 jiwa perkilometer
persegi, sedangkan yang terkecil adalah Kabupaten Mamuju Tengah yakni hanya
terdapat sekitar 38 jiwa per kilometer persegi.

Penduduk Laki-Laki dan Perempuan


Jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki di Kabupaten Mamuju Utara,
Mamuju Tengah, Mamuju, Polewali Mandar dan Mamasa lebih banyak dari jumlah
penduduk perempuan, namun di Kabupaten Majene dan Polewali Mandar, jumlah
penduduk perempuan jauh lebih banyak. Jika dihitung secara keseluruhan, rasio
jumlah penduduk di Sulawesi Barat di atas 100, yakni jumlah penduduk laki-laki
lebih banyak dari penduduk perempuan, walaupun hanya seleisih sedikit.
Grafik 3.1 :Grafik perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan

Sumber : Olah Data Tabel DE-2 Buku Data

Analisis statistik sederhana

Menurut data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat pada hasil
intercept data 2014, jumlah penduduk laki-laki di Sulawesi Barat sebanyak
630.090 jiwa sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 627.187 jiwa.
Jika dilihat per kabupaten, jumlh penduduk laki-laki terbanyak berada di
Kabupaten Mamuju Utara, Mamuju Tengah, Mamuju dan Mamasa sdangkan untuk
Kabupaten Majene dan Polewali Mandar justru sebaliknya. Perbandingan jumlah

Tekanan Terhadap Lingkungan


T-3
penduduk laki-laki dan perempuan yang paling signifikan berada di Kabupaten
Polewali Mandar yakni mencapai 9.510 jiwa sedangkan yang terendah berada di
kabupaten Mamasa yakni haya mencapai 2005 jiwa. Namun demikian, jika dilihat
dari segi persentase perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan, Kabupaten
Mamuju Utara mencapai 3,93 persen, Mamuju Tengah 3,33 persen, Majene 2,43
persen, Polewali Mandar 2,28 persen, Mamuju 2,01 persen dan Mamasa 1,43
persen.

Provinsi Sulawesi Barat dalam program nasional sejak dulu menjadi salah satu
wilayah yang dijadikan tujuan transmigrasi. Hal ini disebabkan karena luas wilayah
jika dibandingkan dengan jumlah penduduk masih tergolong daerah yang belum
terlalu padat. Perkembangan yang tidak sepesat Provinsi Induknya yakni Sulawesi
Selatan seolah-olah tidak menjadi tujuan utama bagi sebagian besar penduduk di
luar Sulawesi Barat untuk mengadu nasib dan berinvestasi di wilayah ini. Dilain
pihak, Sulawesi Barat yang baru dimekarkan dari Sulawesi Selatan, juga menjadi
tujuan untuk mencari lapangan pekerjaan

Migrasi penduduk Sulawesi Barat cukup sigifikan berada di Kabupaten Mamuju


disusul oleh Kabupaten Mamuju Utara, Polewali Mandar, Majene Mamasa dan
Mamuju Tengah. Menyadari hal tersebut, maka pemerintah mulai melakukan
pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan sumber daya daerah dan
sekaligus menarik para inverstor lokal, nasional bahkan inverstor asing untuk
berinvestasi. Pembangunan infrastruktur dan perbaikan sarana jalan, perbaikan
jembatan dan pembangunan sekolah-sekolah tinggi semakin digalakkan sehingga
penduduk Sulawesi Barat dalam melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi
tidak perlu lagi jauh-jauh keluar dari Sulawesi Barat. Salah satu perguruan tinggi
yang sedang digalakkan di Provinsi Sulawesi Barat adalah Universitas Sulawesi
Barat (Unsulbar)

Jumlah Penduduk di Wilayah Pesisir dan Laut


Pola pemukiman yang ada di Provinsi Sulawesi Barat mempengaruhi jumlah
penduduk yang bermukim di suatu daerah. Pada umumnya pola pemukiman di
Provinsi Sulawesi Barat menganut sistem pemukiman memanjang atau linear
yakni mengikuti jalan, sungai dan garis pantai. Hal ini disebabkan karena
penduduk Sulawesi Barat sebagian bersar bermukim di daerah pesisir pantai
mengingat garis pantai yang cukup panjang yakni mencapai 677 kilometer. Dari

Tekanan Terhadap Lingkungan


T-4
enam kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Barat, lima diantaranya berada di
daerah pesisir. Hanya Kabupaten Mamasa saja yang berada pada daerah dataran
tinggi dan pegunungan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja
dan Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 3.2 : Jumlah Penduduk di wilayah pesisir dan pantai

Jumlah Rumah
No. Kabupaten Jumlah Desa Jumlah Penduduk
Tangga

1 Majene 48 101640 17744

2 Polewali Mandar 28 104867 22792

3 Mamuju 32 tad tad

4 Mamuju Utara 29 10452 2422

5 Mamuju Tengah 46 56266 12947


Sumber : Tabel DE-3 Buku Data
Berdasarkan tebel tersebut diatas, jumlah penduduk terbanyak yang bermukim di
daerah pesisir berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni mencapai 22.792
rumah tangga. Hal ini tidak lepas dari komposisi jumlah penduduk di Sulawesi
Barat yang mayoritas berada di Kabupaten Polewali Mandar dan sebagian besar
berada di daerah pesisir. Sedangkan untuk Kabupaten Mamuju Utara, dari 29
Desa dan Kelurahan yang berada di daerah pesisir hanya sekitar 2.422 keluarga
yang bermukin di daerah pesisir. Hal ini dipegaruhi oleh pola hidup masyarakat
lokal yang masih tergantung pada kehidupan dengan system peladangan
berpindah yang menempati sebagian besar hutan lindung, khususnya kepada
masyarakat Suku Binggi yang merupakan penduduk asli di Kabupaten Mamuju
Utara.
Perbandingan dengan Baku Mutu
Pertambahan jumlah penduduk di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
meningkat, namun tidak dibarengi dengan peperataan jumlah penduduk di
masing-masing daerah. Berdasarkan data statistik saat ini adalah jumlah
penduduk terpadat di Indonesia berada di Jakarta sebagai pusat ibukota
sedangkan jumlah penduduk paling sedikit berada di Provinsi Papua dan Papua
Barat. Venomena ini diakibatkan karena terjadinya proses urbanisasi pada setiap
tahunnya. Proses urbanisasi ini sendiri diakibatkan karena pemerataan
pembangunan di Indonesia pada umunya tidak seimbang. Jika dibandingkan

Tekanan Terhadap Lingkungan


T-5
peningkatan pembangunan di wilayah timur dan barat Indonesia, maka dapat
dikatakan bahwa pembangunan di wilayah timur Indonesi kurang di perhatikan
baik dari segi pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana maupun dari segi
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Provinsi Sulawesi Barat sebagai Provinsi termuda di Indonesia masih tergolong
wilayah dengan jumlah penduduk yang masih relatif kurang jika dibandingkan
dengan provinsi lainnya khusunya dari Provinsi induknya yaitu Sulawesi Selatan.
Perbandingan Nilai Antar Waktu dan Antar Lokasi
Badan Pusat Statistik telah membuat beberapa skenario proyeksi penduduk
Indonesia (Tahun 2000-2025) mulai dari yang paling rendah sampai yang paling
tinggi dengan berdasar pada hasil sensus penduduk pada tahun 2000. Proyeksi ini
dibuat dengan metode komponen berdasarkan asumsi tentang kecenderungan
fertilitas, moraltas serta perpindahan penduduk antar provinsi yang paling
memungkinkan untuk 25 tahun kedepan (dihitung sejak tahun 2000). Untuk
proyeksi penduduk perkotaan dilakukan dengan metode Urban Rural Growth
Difference (URGD) yaitu dengan menggunakan selisih pertumbungan penduduk di
daerah perkotaan dan pedesaan.
Tahap pertama adalah dengan melalukan proyeksi jumlah penduduk Indonesia
kemudian proyeksi jumlah penduduk per provinsi. Jika proyeksi jumlah penduduk
per provinsi ini dijumlahkan, maka hasilnya tidak akan sama dengan proyeksi
penduduk di Indonesia. Oleh karena itu, untuk menyamakannya perlu dilakukan
literasi dengan jumlah penduduk Indonesia sebagai patokan. Jika hasil proyeksi
tersebut telah dicapai, maka harus dibarengi dengan pemerataan pembangunan
sehingga proses pemerataan penduduk antar Provinsi dapat tercapai.

Analisis Statistik Sederhana

Jika dianalisis menurut metode statistik, maka jumlah penduduk di Provinsi


Sulawesi Barat berdasarkan pengelompokan umur, didapatkan bahwa penduduk
terbanyak berada pada kelompok umur 15-39 tahun yakni sebanyak 528.044 jiwa
dan paling sedikit perada pada kelompok umur 65 tahun keatas yakni sebanyak
50.082 jiwa. Jika melaihat data statistic berdasarkan kelompok umur tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa potensi sumber daya manusia di Sulawesi Barat
untuk masa yang akan datang sangat besar jika dapat di kembangkan melalui

Tekanan Terhadap Lingkungan


T-6
peningkatan sumber daya manusia yang dapat bersang dengan provinsi- provinsi
lain yang sudah berkembang.

Grafik 3.2 : Perbandingan penduduk menurut umur di Sulawesi Barat

Sumber : Olah Data Tabel DE-2B dan DE-2C

Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Menurut Tingkat Pendidikan


Perkembangan penduduk di suatu daerah dapat dipengaruhi oleh kualitas
penduduk yaitu pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi dan keamanan. suatu
wilayah yang mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat pesat tanpa
diimbangi dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau pendidikan akan
berdampak pada kehidupan perekonomian penduduk, selain itu dapat
menurunkan produktifitas pangan yang dapat menimbulkan krisis lingkungan
hidup yang meliputi krisis air, krisis pangan, krisis tempat tinggal dan krisis
terhadap lahan produksi pangan.
Selain itu, suatu wilayah dengan pertambahan penduduk yang sangatpesat dapat
menyebabkan timblnya masalah-masalah pendidikan, pengangguran, kesenjangan
social dan masalah-masalah lainnya. Dengan pertambahan penduduk, maka
fasilitas penunjang juga harus ikut meningkat semisal pendidikan. Jika di suatu
wilayah, fasilitas pendidikan kurang terpenuhi, maka akan menyebabkan tingkat
pendidikan rendah yang secara tidak langsung menjadi sumber dampak
pengangguran. Jika pengangguran semakin meningkat, maka tingkat
perekonomian akan semakin menurun yang secara tidak langsung berpengaruh
pula terhadap peningkatan kemiskinan.

Tekanan Terhadap Lingkungan


T-7
Grafik 3.3 : Perbandingan Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Menurut Tingkat
Pendidikan

Sumber : Olah Data Tabel DS-1 Buku Data


Penduduk Provinsi Sulawesi Barat tercatat sebanyak 1.258.090 jiwa yang tersebar
di enam kabupaten dengan populasi terbanyak berada di Kabupaten Polewali
Mandar. Berdasarkan hasil analisa data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Barat, mayoritas jumlah penduduk di Provinsi Sulawes Barat berada pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah, disusul oleh penduduk yang tidak sekolah dan
selebihnya yang tingkat pendidikan diploma sampai Strata Tiga menempati urutan
terakhir. Berdasarkan data ini, menunjukkan bahwa animo masyarakat di Sulawesi
Barat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi masih sangat
kurang.
III-B. PERMUKIMAN

Pengertian dasar permukiman dalam UU No.1 tahun 2011 adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang
kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.

Permukiman merupakan suatu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam


kehidupan manusia. Dari deretan lima kebutuhan hidup manusia pangan,
sandang, permukiman, pendidikan dan kesehatan, nampak bahwa permukiman
menempati posisi yang sentral, dengan demikian peningkatan permukiman akan
meningkatkan pula kualitas hidup.

Tekanan Terhadap Lingkungan


T-8
Saat ini manusia bermukim bukan sekedar sebagai tempat berteduh, namun lebih
dari itu mencakup rumah dan segala fasilitasnya seperti persediaan air minum,
penerangan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Pengertian ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sumaatmadja (1988) sebagai berikut:
Permukiman adalah bagian permukaan bumi yang dihuni manusia meliputi
segala sarana dan prasarana yang menunjang kehidupannya yang menjadi satu
kesatuan dengan tempat tinggal yang bersangkutan.

Pola permukiman dibagi dalam beberapa bentuk antara lain pola memanjang
(linear), pola terpusat dan pola tersebar. Untuk provinsi Sulawesi Barat, pola
pemukiman yang paling banyak di jumpai adalah pola memanjang atau linear. Pola
ini sejalan dengan kondisi geografis Sulawesi Barat yang berada pada garis pantai
dengan panjang pantai mencapai 677 kilometer, dengan peta wilayah memanjang
dari utara ke selatan pulau Sulawesi. Hanya sebagian kecil saja yang
menggunakan pola terpusat khusunya yang tinggal di daerah pegunungan seperti
Kabupaten Mamasa. Pola pemukiman tersebar pada umumnya pada daerah-
daerah transmigrasi seperti di sebagian wilayah Kabuaten Mamuju dan Mamuju
Utara

Jumlah Rumah Tangga Miskin

Grafik 3.4 : Grafik Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin per Kabupaten

Sumber : Olah data tabel SE-1 Buku Data

Tekanan Terhadap Lingkungan


T-9
Kemakmuran suatu daerah dapat diukur dati tingkat kesejahteraan penduduk
yang tinggal di dalamnya. Tingkat kesejahteraan penduduk dapat diukur dari
persentase total jumlah penduduk berbanding jumlah penduduk miskin dalam
daerah tersebut. Dari data yang dihimpun dari Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Barat
diketahui bahwa Jumlah Penduduk Miskin terbanyak berada di Kabupaten
Polewali Madar.

Perbandingan antara jumlah penduduk dengan jumlah penduduk miskin untuk


masing-masing Kabupaten dapat dilihat lebih rinci melalui grafik di bawah ini :

Analisis Statistik Sederhana

Berdasarkan tabel diatas, jumlah keluarga miskin di Kabupaten Polewali Mandar


mencapai 37.231 keluarga atau sekitar 39,76 persen dari total jumlah kepala
keluarga di Polewali Mandar. Jika dibandingkan dengan jumlah kepala keluarga di
Sulawesi Barat, maka Jumlah keluarga miskin di Polewali Mandar mencapai 13,25
persen. Jumlah keluarga miskin terendah berada di Kabupaten Mamuju Tengah
yakni hanya mencapai 2.722 keluarga atau sekitar 10,40 persen dari total jumlah
kepala keluarga di Mamuju Tengah. Jika dibandingkan dengan jumlah keluarga di
Sulawesi Barat, jumlah keluarga miskin di Mamuju Tengah hanya mencapai 0,97
persen.

Grafik 3.5 : Persetase Jumlah Keluarga Miskin Terhadap Jumlah Kepala Keluarga
Menurut Kabupaten

Sumber : Tabel SE-1D Buku Data

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 10
Perbandingan Nilai Antar Lokasi

Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Mamuju Utara sebanyak 6.319 jiwa atau
sekitar 17,64 persen dari total jumlah KK di Mamuju Utara.
Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Mamuju Tengah sebanyak 2.722 jiwa atau
sekitar 10,40 persen dari total jumlah KK di Mamuju Tengah.
Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Mamuju sebanyak 8.319 jiwa atau sekitar
14,46 persen dari total jumlah KK di Mamuju.
Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Majene sebanyak 9.666 jiwa atau sekitar
29,48 persen dari jumlah KK di Majene.
Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Polewali Mandar sebanyak 37.231 atau
sekitar 39,76 persen dari jumlah KK di Polewali Mandar.
Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Mamasa sebanyak 11.033 atau sekitar
31,56 persen dari jumlah KK di Mamasa.
Jika dihitung secara keseluruhan, maka jumlah keluarga miskin di Provinsi
Sulawesi Barat sebanyak 75.290 jiwa atau sekitar 26,80 persen dari jumlah KK di
Sulawesi Barat.
Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum
Menurut WHO, jumlah pemakaian air bersih rumah tangga per kapita sangat
terkait dengan resiko kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan higienis.
Rerata pemakaian air bersih per individu adalah rerata pemakaian air bersih per
rumah tangga dalam sehari dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Rata-
rata pemakaian individu ini kemudian dikelompokkan menjadi : <5 liter per orang
per hari; 5-19,9 liter per orang per hari; 20 49,9 liter per orang per hari; 50
99,9 liter per orang per hari dan 100 liter per orang per hari. Berikut adalah
grafik perbandingan penggunaan air bersih per rumah tangga untuk masing-
masing Kabupaten di Sulawesi Barat.
Keadaan geografis Provinsi Sulawesi Barat yang berada pada daerah tropis
mengakibatkan sebagian besar penduduk yang bermukim di satu wilayah
menggunakan air sumur. Penggunaan air sumur tertinggi khususnya berada di
Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamuju. Berdasarkan data tersebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat pada saat
musim kemarau tiba maka sebagian besar penduduk kesulitan untuk
mendapatkan air bersih karena sumur-sumur yang selama ini dimanfaatkan
mengalami kekeringan.

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 11
Untuk penggunaan air dari sarana PDAM pada umumnya hanya di daerah
perkotaan. Menurut catatan dari Badan Pusat Statistik dalam buku Sulbar Dalam
Angka 2015 masih ada kabupaten yang belum menggunakan sarana air bersih
dari PDAM yaitu Kabupaten Mamuju Utara.
Grafik 3.6 : Grafik perbandingan Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum Per
Kabupaten se-Sulawesi Barat

Sumber : Tabel SE-2 Buku Data

Menurut WHO, jumlah pemakaian air bersih rumah tangga per kapita sangat
terkait dengan risiko kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan higiene.
Rata-rata pemakaian air bersih individu adalah rata-rata jumlah pemakaian air
bersih rumah tangga dalam sehari, dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga.
Analisis Statistik Sederhana
Kabupaten Mamuju Utara :
o Pengguna air ledeng 0 KK
o Pengguna air sumur 18.858 KK
o Pengguna air sungai 3.259 KK
o Pengguna air hujan 994 KK
o Pengguna air kemasan 10.797 KK
o Lainnya 1.908 KK

Kabupaten Mamuju :
o Pengguna air ledeng 3.238 KK
o Pengguna air sumur 37.309 KK
o Pengguna air sungai 5.065 KK
o Pengguna air hujan 3.183 KK
o Pengguna air kemasan 19.355 KK
o Lainnya 15.568 KK

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 12
Kabupaten Majene :
o Pengguna air ledeng 6.512 KK
o Pengguna air sumur 9.337 KK
o Pengguna air sungai 1.568 KK
o Pengguna air hujan 0 KK
o Pengguna air kemasan 6.767 KK
o Lainnya 8.604 KK

Kabupaten Polewali Mandar :


o Pengguna air ledeng 9.422 KK
o Pengguna air sumur 43.635 KK
o Pengguna air sungai 10.414 KK
o Pengguna air hujan 224 KK
o Pengguna air kemasan 9.402 KK
o Lainnya 20.550 KK

Kabupaten Mamasa :
o Pengguna air ledeng 1.751 KK
o Pengguna air sumur 1.698 KK
o Pengguna air sungai 7.906 KK
o Pengguna air hujan 252 KK
o Pengguna air kemasan 522 KK
o Lainnya 22.828 KK

Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat BAB


Menurut hasil riset dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, sebagian besar
penduduk Provinsi Sulawesi Barat memiliki fasilitas buang air besar (BAB). Hanya
saja bentuk dan model yang bermacam-macam tergantung dari lokasi tempat
tinggal dan tingkat kesejahteraan penduduk itu sendiri. Menurut join monitoring
program WHO/Unicef, akses sanitasi dapat dikatakan baik bila rumah tngga
menggunakan sarana pembuangan air besar dengan jenis sarana jamban leher
angsa. Dari kriteria tersebut diatas, Provinsi Sulawes Barat dengan akses sanitasi
baik baru mencapai 30%. Angka tersebut masih jauh di bawah angka nasional
yang mencapai 46%. Jika ditinjau menurut kabupaten, maka seluruh kabupatan di
Sulawesi Barat masih di bawah angka nasional.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat,
penggunaan tempat BAB sendiri, persentase terbesar berada di Kabupaten
Polewali Mandar namun dibarengi dengan persentase rumah tangga yang tidak
memiliki tempat BAB dengan jumlah yang cukup tinggi. Data ini tidak terlepas dari
persentase jumlah penduduk di Sulawesi Barat pada masing-masing Kabupaten.

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 13
Grafik 3.7 : Perbandingan jumlah rumah tangga dan fasilitas tempat BAB

Sumber : Tabel SP-8 Buku Data

Analisis statistik sederhana

Dari data statistik dapat dijabarkan bahwa jumlah rumah tangga yang tidak
memiliki fasilitas tempat BAB di Kabupaten Polewali Mandar sebanyak 30.695
rumah tangga, Kabupaten Mamasa sebanyak 16.069 Rumah Tangga, Kabupaten
Mamuju sebanyak 19.902 Rumah Tangga, Kabupaten Mamuju Utara sebanyak
15.293 rumah tangga dan Kabupaten Mamuju Tengah sebanyak 8.462 rumah
tangga.

Untuk lebih jelasnya dapat dijabarkan melalui tabel berikut :


Tabel 3.3 : Tabel jumlah rumah tangga dan faslitas tempat BAB

No. Kabupten Sendiri Bersama Umum Tidak Ada

1 Mamuju Utara 17.937 1.212 0 15.293

2 Mamuju Tengah 17.057 944 0 8.462

3 Mamuju 34.797 110 5 19.902

4 Majene 20.811 6.110 133 10.395

5 Polewali Mandar 62.680 5.855 0 30.695

6 Mamasa 2.0852 1.919 569 16.069


Sumber : Tabel SP-8 Buku Data

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 14
Perkiraan Timbulan Sampah Per Hari
Masalah sampah bukan hanya melanda Kota Besar, akan tetapi juga daerah dan
kota kecil. Masalahnya adalah upaya untuk mewujudkan pengelolaan sampah
terpadu dari tempat sampah, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir
terkendala pada kemampuan Pemerintah dalam Menyediakan infrastruktur
persampahan.
Tabel 3.4 : Perkiraan timbulan Sampah Per Hari

No Kabupaten Jumah Penduduk Timbulan Sampah

1 Mamuju Utara 152.505 16,95

2 Mamuju Tengah 118.188 13,13

3 Mamuju 258.984 28,78

4 Majene 161.132 17,90

5 Polewali Mandar 417.472 46,39

6 Mamasa 149.809 16,65


Sumber : Tabel SP-9 Buku Data

Perkiraan jumlah timbulan sampah rumah tangga per hari sangat dipengaruhi oleh
aktifitas dalam rumah tangga itu sendiri. Semakin banyak konsumsi terhadap
penggunaan barang/material rumah tangga, maka jumlah timbulan sampah yang
dihasilkan akan semakin banyak.
Untuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat, Perkiraan timbulan sampah per hari paling
banyak di Kabupaten Polewali Mandar, disusul oleh Mamuju, Majene, Mamuju
Utara, Mamasa dan Mamuju Tengah. Perbandingan ini sangat dipengaruhi oleh
jumlah penduduk dan aktifitas harian dari masyarakat khususnya yang hidup di
daerah perkotaan.
III-C. KESEHATAN
Keberadaan fasilitas pelayanan kesehatan sampai pada daerah terpencil masih
sangat dibutukan sehingga mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat
termasuk bagi yang kurang mampu, disampaing itu keberadaannya sangat
diperlukan untuk menunjang program pembangunan di bidang kesehatan.
Status kesehatan menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan suau
masyarakat. Berbagai faktor dapat mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat
antara lain program pelayanan kesehatan dan perilaku pola hidup sehat., faktor

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 15
keturunan dan lingkungan. Faktor yang sangat mempengaruhi derajat kesehatan
manusia adalah faktor lingkungan manusia itu sendiri (HL. Blume). Kenyataan ini
menunjukkan bahwa diperlukan upaya untuk penyehatan lingkungan hidup
manusia yaitu dengan menggalakkan program sanitasi lingkungan. Sanitasi
lingkungan ini terutama yang berhubungan dengan air, tanah dan udara. Kegiatan
ini dapat berupa penyehatan air minum, pembuangan dan engolahan air limbah
serta sampah rumah tangga, pemberantasan penyakit, sanitasi dan penyehatan
lingkungan.
Indikator derajat kesehatan masyarakat ini pula sangat berpengaruh terhadap
angka kesakitan (morbidity), pola penyakit yang menonjol, tingkat kematian
(mortality), penyakit-penyakit yang berbasis lingkungan yang tentu saja
berpengaruh terhadap usia harapan hidup.
Jenis Penyakit Utama Yang Diderita Penduduk
Pertumbuhan penduduk yang tinggi sebenarnya membawa beberapa keuntungan,
di antaranya adalah ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. Namun, jika
pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak dibarengi oleh kebijakan pemerintah
yang baik dalam menghadapi masalah ini, maka pertumbuhan penduduk yang
tinggi hanya akan membawa dampak yang buruk bagi suatu Negara. Adapun
dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari pertumbuhan penduduk yang tinggi
adalah tingkat kesehatan masyarakat. Jika pertumbuhan penduduk tidak
dibarengi dengan fasilitas layanan kesehatan yang memadai, maka akan berakibat
terhadap meningkatnya penyakit utama yang dapat diderita penduduk. Jika angka
kesehatan semakin berkurang, maka akan berdampak terhadap meningkatnya
angka kematian penduduk.
Demikian pula sebaliknya, angka kematian dalam suatu wilayah dapat dipengaruhi
oleh jenis penyakit yang diderita oleh penduduk dalam wilayah tersebut, khusunya
pada penyakit yang tegolong penyakit kronis dan menular.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, penyakit utama
yang diderita penduduk paling banyak adalah penyakit ISPA, dibarengi dengan
infeksi akut lain pada saluran pernafasan bagian atas, grastitis, penyakit alergi dan
diare.
Analisis Statistik Sederhana
Berdasarkan data diatas, setelah diakumulasi maka dapat dihitung perentase
penyakit utama yang diderita penduduk di Sulawesi Barat sebagai berikut :

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 16
o ISPA 28, 27 %
o Infeksi akut lain pada saluran pernapasan atas 19,33 %
o Grastitis 14,61 %
o Penyakit kulit alergi 9,98 %
o Diare 9,28 %
o Hypertensi 6,28 %
o Penyakit Cacingan 4,78 %
o Luka akibat kecelakaan 3,98 %
o Penyakit lain pada saluran pernapasan atas 3,32 %
o Gangguan gigi dan jaringan penyangga lainnya 0,18 %

Grafik 3.8 : Jenis penyakit utama yang diderita penduduk

Sumber : Tabel DS-2 Buku Data

Perkiraan Volume Limbah Padat dan Limbah Cair dari Rumah Sakit.
Berbagai aktifitas yang diakukan dalam kegiatan rumah sakit tentunya berdampak
pada limbah yang dihasilkan, baik limbah padat maupun limbah cair. Semakin
banyak aktifitas dari kegiatan rumah sakit tersebut, maka volume limbah yang
dihasilkan akan semakin meningkat. Limbah padat dan limbah cair yang
dihasilkan, selain ditimbulkan oleh kegiatan rumah sait itu sendiri, juga
ditimbulkan oleh para pengunjung dan penjaga pasien di setiap rumah sakit.
Untuk Provinsi Sulawesi Barat, dari delapan rumah sakit yang tersebar di lima
Kabupaten, baru empat rumah sakit yang memiliki data lengkap tentang jumlah
limbah padat dan limbah cair yang dihasilkan sedangkan rumah sakit lainnya belu
dapat diperoleh data yang maksimal.
Data yang diperoleh dari masing-masing Kabupaten, timbulan sampah dan
perkiraan limbah cair dari rumah sakit hanya didapatkan dari RSUD Kabupaten
Mamuju, RS Mitra Manakarra Mamuju, RSUD Provinsi Sulawesi Barat dan RSUD

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 17
Kabupaten Majene. Untuk kabupaten lainnya, data-data limbah rumah sakit belum
dilakukan pendataan secara terperinci, baik oleh instansi yang bersangkutan,
maupun dari Badan Lingkungan Hidup Kabupaten.
Tabel 3.5 : Data rumah sakit dan jumlah limbah yang dihasilkan
Volume Volume Volume Volume
Tipe/Kelas Limbah Limbah Limbah Limbah B3
No. Nama Rumah Sakit
Rumah Sakit Padat Cair Padat B3 Cair
(m3/hari) (m3/hari) (m3/hari) (m3/hari)

1 RSU Regional Mamuju C 0,45 12,60 1,50 0,90

RSUD Kabupaten Mamuju


2 D tad tad tad tad
Utara

3 RSUD Kabupaten Mamuju D 12,88 16,44 1,22 1,00

RS Mitra Manakarra -
4 D 0,03 0,60 0,20 1,00
Mamuju

5 RSUD Kabupaten Majene C 1,56 2,00 0,45 0,60

RSUD Kabupaten Polewali


6 C tad tad tad tad
Mandar
Rumah Sakit Banua
7 D tad tad tad tad
Mamase-Mamasa

8 RSUD Minake-Mamasa D tad tad tad tad


Sumber : Tabel SP-10 Buku Data
Analisis statistik sederhana
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah volume limbah yang
dihasilkan di setiap rumah sakit sangat dipengaruhi oleh jumlah pasien yang
dilayani oleh rumah sakit tersebut. Baik sebagai pasien yang berstatus rawat
nginap maupun rawat jalan. Dari data kunjungan pasien di Sulawesi Barat, rumah
sakit terpadat adalah RSUD Polewali dan RSUD Mamuju. Hal ini disebabkan
karena lokasi dari kedua rumah sakit tersebut menjadi titik rujukan dari berbagai
daerah. Berdasarkan data yang terhimpun dari statistik Sulawesi Barat, jumlah
pasien yang berkunjung di RSUD Polewali pada tahun 2015 yakni 11.733 pasien
rawat nginap dan 39.361 pasien rawat jalan. Jumlah ini sedikit meningkat dari
tahun sebelumnya yakni 10.383 pasien rawat nginap dan 31.777 pasien rawat
jalan.

III-D. PERTANIAN
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan
manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber
energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 18
sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa dipahami orang sebagai
budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta
pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa
pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan,
seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekadar ekstraksi semata, seperti
penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.
Sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi yang cukup besar
dalam kegiatan perekonomian di Sulawesi Barat. Sekitar setengah perekonomian
Sulawesi Barat didominasi oleh sektor pertanian khususnya pada tanaman
pangan.
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi tanaman pangan Provinsi Sulawesi Barat
terus meningkat. Produksi padi khususnya, jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya produksi padi mengalami peningkatan. Berbeda dengan produksi
padi, tanaman palawija kurang memperlihatkan peningkatan yang cukup baik. Dari
beberapa komoditas di Sulawesi Barat, hanya tanaman jagung yang mengalami
peningkatan produksi.
Bila dilihat berdasarkan lapangan pekerjaan utama, sektor pertanian merupakan
sektor yang paling dominan dalam menyerap tenaga kerja. Hal ini menunjukkan
bahwa perekonomian Sulawesi Barat masih bercirikan agraris.
Luas lahan sawah menurut frekuensi penanaman dan hasil produksi per hektar.
Grafik 3.9 : Luas Lahan Sawah dan Frekuensi Penanaman

Sumber : Tabel SE-7 Buku Data

Frekuensi penanaman padi di Sulawesi Barat dipengaruhi oleh intensitas curah


hujan, mengingat rata-rata persawahan di Sulawesi Barat masih tergolong sawah

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 19
tadah hujan. Sawah irigasi yang dapat dikelola dan berfungsi dengan baik berada
di Kabupaten Polewali Mandar.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi
Sulawesi Barat, Luas lahan dengan frekuensi penanaman 2 kali setahun jika
dibandingkan dengan 1 kali setahun jauh lebih banyak. Untuk penanaman dengan
frekuensi 2 kali setahun mencapai 38.830 hektar sedangkan untuk yang hanya
sekali setahun sebanyak 31.849 hektar. Mengingat system pengairan pertanian
yang ada di Sulawesi Barat, maka untuk frekuensi penanaman 3 kali tidak dapat
dilaksanakan di Sulawesi Barat. Selaun faktor pengairan, juga dipengaruhi oleh
faktor jenis bibit yang digunakan.

Luas lahan dan produksi perkebunan besar dan rakyat menurut jenis tanaman.
Dari data yang dihimpun dari dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat, lahan
produksi perkebunan besar di Sulawesi Barat didominasi oleh perkebunan Kelapa
Sawit yang tersebar di tiga Kabupaten yakni Kabupaten Mamuju, Kabupaten
Mamuju Tengah dan Kabupaten Mamuju Utara. Komoditi lainnya yang saat ini
menjadi kebanggan Provinsi Sulawesi Barat adalah pengembangan perkebunan
kakao yang lebih dikenal dengan istilah Gernas Kakao.

Grafik 3.10 : Produksi perkebunan besar dan rakyat menurut jenis tanaman

Sumber : Olah Data Tabel SE-3

Analisis statistik sederhana

Berdasarkan data dari dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat, komoditas hasil
perkebunan didominasi oleh Perkebunan Kelapa Sawit yang tahun 2015 ini

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 20
mencapai 289.841 ton/ha setiap tahunnya. Produksi perkebunan selanjutnya
adalah komoditas kakao yang mencapai 88.462 ton/ha per tahun, kelapa dalam
40.188 ton/ha per tahun serta komoditas kopi sebesar 6.361 ton/ha per tahun.
Untuk komoditas lainnya rata-rata di bawah lima ribu ton/ha per tahunnya.

Penggunaan pupuk untuk tanaman padi dan palawija menurut jenis pupuk.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Barat, penggunaan
pupuk terbanyak menurut jenis tanaman untuk tahun 2015 adalah pupuk urea
dan NPK untuk tanaman padi. Selain penggunaan pupuk urea pada tanaman padi,
penggunaan yang cukup banyak juga pada tanaman jagung. Jenis pupuk yang
paling sedikit dgunakan adalah pupuk organik. Untuk meningkatkan produktifitas
tanaman yang mendukung program peyelamatan lingkungan adalah meningkatnya
penggunaan pupuk organik, selain meningkatkan kesuburan tanah juga sangat
baik untuk kesehatan. Namun pada kenyataan, bahwa penggunaan pupuk organik
tersebut pada tahun 2015 justru pengalami penurunan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya.
Grafik 3.11 : Penggunaan Pupuk untuk tanaman padi dan palawija

Sumber : Olah data tabel SE-4 Buku Data

Analisis statistik sederhana


o Penggunaan pupuk urea selama tahun 2015 sebanyak 27.885 ton atau naik
dibandingkan dengan tahun 2014 yakni 24.169 ton untuk komoditas padi,
jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar dengan penggunaan
terbanyak pada tanaman padi yakni sebesar 17.566 ton atau sekitar 69,03%
dari total penggunaan.

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 21
o Penggunaan pupuk SP.36 selama tahun 2015 sebanyak 8.189 ton mengaami
peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelunya yakni hanya
mencapai 1.793 ton untuk komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi
kayu dan ubi jalar dengan penggunaan terbanyak pada tanaman padi yakni
sebesar 3.531 ton atau sekitar 69,77% dari total penggunaan.
o Penggunaan pupuk ZA selama tahun 2015 sebanyak 4.075 ton untuk
komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar dengan
penggunaan terbanyak pada tanaman padi yakni sebesar 3.337 ton atau
sekitar 81,88% dari total penggunaan.
o Penggunaan pupuk NPK selama tahun 2015 sebanyak 27.304 ton atau
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni hanya sekitar 14.133 ton
untuk komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar
dengan penggunaan terbanyak pada tanaman padi yakni sebanyak 17.566 ton
atau sekitar 88,54% dari total penggunaan.
o Penggunaan pupuk organik selama tahun 2015 sebanyak 1.021 ton untuk
komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar dengan
penggunaan terbayak pada tanaman padi yakni sebesa 417 ton atau sekitar
40,84% dari total penggunaan.

Luas Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian.

Perubahan lahan pertanian di Sulawesi Barat didasarkan pada Peraturan Daerh


Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Sulawesi Barat Tahun 2014 2034. Berdasarkan grafik perhitungan,
dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2015 ini, perubahan penggunaan lahan
pertanian menjadi lahan tanah kering menempati posisi paling tinggi yakni
mencapai 57.535 hektar sedangkan untuk perkebunan seluas 52.303 hektar.
Perubahan lahan pertanian menjadi lokasi indstri menempati urutan paling sedikit
yakni hanya sekitar 3 hektar disusul oleh fasilitas umum dan sekolah yakni seluas
12 hektar.

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, perubahan lahan pertanian pada


tahun 2015 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Keadaan ini
diakibatkan oleh peralihan kegiatan masyarakat dari pertanian menjadi
perkebunan khusunya di wilayah Kabupaten Mamuju dan Mamuju Tengah.

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 22
Grafik 3.12 : Perubahan penggunaan lahan pertanian

Sumber : Olah data tabel SE-5 Buku Data

Jumlah hewan ternak menurut jenis ternak.

Pembangunan peternakan di Provinsi Sulawesi Barat dapat digambarkan secara


makro dengan jumlah populasi ternak saat ini, seperti grafik diatas. Untuk lebih
meningkatkan jumlah populasi ternak dapat dilaksanakan dengan program
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit ternak dan program peningkatan
produksi hasil peternakan. Berdasarkan grafik diatas, jumlah hewan ternak
didominasi oleh ternak kambing yakni sebanyak 223.963 ekor dengan jumlah
terbanyak berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni sebanyak 160.663 ekor.
Ternak yang paling sedikit adalah sapi perah yakni hanya mencapai 55 ekor saja,
sedangkan untuk ternak domba, menurut data yang tercantum dalam Buku Sulbar
Dalam Angka 2015 belum ada di Sulawesi Barat.

Tabel 3.6 : Jumlah Hewan Ternak Per Kabupaten di Sulawesi Barat


Sapi Sapi
No. Kabupaten Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
Perah Potong
1 Mamuju Utara 0 8538 33 109 6512 N/A 3802
Mamuju
2 0 6156 104 32 5856 N/A 23997
Tengah
3 Mamuju 0 17090 622 87 10981 N/A 27401

4 Majene 0 14609 139 187 39008 N/A 0


Polewali
5 14 33242 472 1799 157774 N/A 2307
Mandar
6 Mamasa 0 5926 6293 2329 635 N/A 71978
Sumber : Tabel SE-8 Buku Data

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 23
Jika dibandingkan dengan pertumbuhan hewan ternak di Sulawesi Barat dari
tahun 2014, semua jenis hewan ternak mengalami peningkatan jumlah pada
tahun 2015 khususnya pada ternak babi dan kerbau.
Jumlah hewan unggas menurut jenis unggas.
Unggas (bahasa Inggris: poultry) adalah jenis hewan ternak kelompok burung yang
dimanfaatkan untuk daging dan telur atau bulunya. Umumnya merupakan bagian
dari ordo Galliformes (seperti ayam dan kalkun), dan Anseriformes (seperti bebek).
Kata unggas juga umumnya digunakan untuk burung pedaging seperti di atas.
Lebih luasnya, kata ini juga dapat digunakan untuk daging burung jenis lain
seperti merpati. Bagian paling berdaging dari burung adalah otot terbang
pada dada, serta otot jalan pada segmen pertama dan kedua pada kakinya.
Grafik 3.13 : Jumlah hewan unggas menurut jenisnya

Sumber : Tabel SE-9 Buku Data


Berdasarkan data yang tercantum dalam tabel diatas, tercatat bahwa hewan
unggas di Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2015 yang terbanyak adalah ayam
kampung yakni mencapai 4.593.907 ekor dengan jumah terbanyak di Kabupaten
Polewali Mandar. Angka ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang
mencapai 5.041.197 ekor. Posisi kedua adalah ternak ayam pedaging sebanyak
1.900.007 ekor dengan jumlah terbanyak berada di Kabupaten Polewali Mandar.
Untuk ternak itik dan ayam petelur masing-masing 411.770 ekor dan 134.544
ekor.
Berdasarkan data tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa konsumsi kebutuhan
daging unggas di Sulawesi Barat masih dominan memilih ayam kampung
dibandingkan dengan ayam pedaging dan unggas lainnya. Namun demikian,

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 24
jumlah hewan ternak untuk tahun 2015 mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan tahun 2014.

III-E. INDUSTRI

Industri Pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan


mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan
sehingga menjadi barang jadi/ setengah jadi,dan atau barang yang kurang nilainya
menjadi barang menjadfi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat
kepada pemakai akhir. Termasuk dalam kegiatan ini adalah jasa industri dan
pekerjaan perakitan (assembling).
Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang
melakukan kegiatan ekonomi,bertujuan menghasilkan barang dan jasa, terletak
pada suatu bangunan atau bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai
catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada
seorang atau lebih yang bertanggung jawab atas usaha tersebut. Industri
Pengolahan dikelompokkan ke dalam 4 golongan berdasarkan benyaknya pekerja
yaitu:
1) Industri Besar (100 orang pekerja atau lebih),
2) Industri Sedang/ Menengah (20-99 orang pekerja),
3) Industri Kecil (5-19 orang pekerja),
4) Industri Mikro (1-4 orang pekerja).
Jumlah Jenis Industri/Kegiatan Usaha.
Sektor industri dapat dibedakan atas industri besar, sedang dan kecil. Nilai output
dari indusrti skala besar dan sedang pada tahun 2007 yang tercatat sebesar
258.321.000.000 rupiah dengan nilai tambah atas harga pasar sebesar
319.063.000.000 rupiah. Perkembangan industri dengan usaha bisnis yang
cukup pesat di Sulawesi Barat merupakan salah satu sumber pendapatan asli
daerah, yang juga berpotensi untuk mengurangi angka pengangguran. Salah satu
potensi terbesar untuk mengurangi tingkat pengangguran adalah pengembangan
industri skala kecil yang berorientasi pada industri rumah tangga.
Pengumpulan data industri besar dan sedang dilakukan melalui Survei Industri
Besar dan Sedang dilaksanakan setiap tahun secara lengkap ( sensus). Survei
Industri Besar dan Sedang mencakupsemua perusahaan industri yang mempunyai
tenaga kerja 20 orang atau lebih.

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 25
Berikut klasifikasi industri di Sulawesi Barat yang dapat diidentifikasi :
Tabel 3.7 : Data industri di Sulawesi Barat
Beban
Beban Beban
Beban Limbah
Produksi Limbah Limbah
No. Jenis Industri Limbah TSS Minyak dan
(Ton/Tahun) BOD COD
(Ton/Tahun) Lemak
(Ton/Tahun) (Ton/Tahun)
(Ton/Tahun)

1 Aneka Industri 3875043 7872,91 60514,45 0,03 332,56

2 Industri Kecil N/A N/A N/A N/A N/A

Industri Mesin dan


3 N/A N/A N/A N/A N/A
Logam Dasar

4 Industri Kimia Dasar N/A N/A N/A N/A N/A

Sumber : Tabel SP-1 Buku Data


Berdasarkan data tersebut diatas, pengelompokan industri menurut SK Menteri
Perindustrian Nomor 19/M/I/1986 untuk wilayah Sulawesi Barat tergolong kedalam
aneka industri. Dari data yang dihimpun, jumlah beban limbah BOD yang terakumulasi
selama satu tahun mencapai 7.872,91 ton per tahun sedangkan CODnya mencapai
60.514,45 ton per tahun. Data ini bersumber dari hasil perhitungan beban pencemaran
untuk industri pabrik kelapa sawit.
III-F. PERTAMBANGAN

Pertambangan sangat berpengaruh pada lingkungan alam dan komunitas lokal.


Keuntungan secara ekonomi biasanya akan datang seiring dengan biaya untuk
kepeningan lokal dan biaya lingkungan di sekitar area pertambangan.
Keseimbangan ekonomi, lingkungan dan sosial menjadi pokok pembicaraan dalam
pembangunan berkelanjutan di pertambangan. Para ahli tertarik di bidang ini
karena banyak aktivitas pertambangan yang tidak berkelanjutan dan membuat
kerusakan secara sosial maupun lingkungan.

Pertambangan berkelanjutan meruapakan usaha pertambangan yang menjaga


dan mempertahankan kelestarian alam. Pertambangan berkelanjutan dapat
menjadi solusi bagi kerusakan lingkungan yang terjadi akibat praktek
pertambangan konvensional. Kearifan lokal dalam pertambangan adalah
penggunaan teknik ekstraksi bahan-bahan tambang yang tidak merusak dan tidak
mencemaari lingkungan.

Provinsi Sulawesi Barat memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah.
Keadaan inilah yang banyak menarik investor untuk menanamkan investasinya di

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 26
Sulawesi Barat, baik investo lokal, nasional maupun mancanegara. Salah satu
sektor yang menjadi tujuan para investor di Sulawesi Barat adalah dari segi
potensi pertambangan.

Kegiatan pertambangan di Sulawesi Barat, berdasarkan hasil pendataan dari


dinass Pertambangan, Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulawesi Barat
menggambarkan bahwa potensi sumber daya alam dari bahan galian atau
pertambangan di Sulawesi Barat memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Jika
potensi sumber daya alam ini dapat dikembangkan, maka tentu saja akan
berpengaruh terhadap peningkatan perekonomian di Sulawesi Barat. Namun yang
harus menjadi perhatian dalam pembuakaan suatu tambang adalah dampak yang
ditimbulkan terhadap lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Luas Areal dan Produksi Pertambangan menurut jenis bahan galian.
Tabel 3.8 : Jumlah Perusahaan Penambang dan Jenis Bahan Galian di Sulawesi Barat
Produksi
No. Nama Perusahaan Jenis Bahan Galian Luas Areal (Ha)
(Ton/Tahun)

1 PT. Aneka Tambang Emas 6547,00 tad

2 PT. Egi Zeolit Indonesia Zeolit 7800,00 tad

3 PT. Monazite Two Zirkon 8288,00 tad


PT. Celebes Mineral
4 Kaolin 14752,00 tad
Resources
5 PT. Pritifindo Dwikridatama Mika 25000,00 tad
PT. Manakrra Mineral
6 Batuan tad tad
Resources
7 CV. Karya Bersama Batuan 1,00 tad

8 PT. Tambang Sekarsa Adaya Batubara 9690,00 tad

9 PT. Kreative Jaya Batubara 9120,00 tad

10 PT. Rumaju Energi Utama Batubara 9120,00 tad


PT. Surya Sanjago
11 Batubara 7500,00 tad
Bersaudara
12 PT. Pelopor Lestari Jaya Mineral Logam 7235,00 tad

13 PT. Hasta Krida Mega Buana Emas 6404,00 tad

14 PT. Aphasko Utama Jaya Batuan 25,00 tad


PT. Pertambangan
15 Batuan 12,50 tad
Membangun Pasangkayu
16 CV. Maju Bersama Batuan tad tad

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 27
Produksi
No. Nama Perusahaan Jenis Bahan Galian Luas Areal (Ha)
(Ton/Tahun)

17 PT. Putra Harapan Matra Batuan 25,00 tad

18 IPR Rahmat Saleh Batuan 0,50 tad


PT. Garismas Multi
19 Batuan 25,00 tad
Manunggal
20 CV. Ratri Kencana Batuan 5,00 tad

21 IPR Amir Fatta Batuan 1,00 tad

22 PT. Randomayang Batuan 25,00 tad

23 CV. Merlina Jaya Batuan 15,00 tad

24 PT. Mamuang Batuan 5,00 tad

25 PT. Letawa Batuan 5,00 tad

26 PT. Pasangkayu Batuan 5,00 tad

27 PT. Surya Raya Lestari I Batuan 5,00 tad

28 PT. Tanjung Sarana Lestari Batuan 11,00 tad

29 CV. Sarudu Jaya Batuan 2,00 tad


PT. Sumber Pelita Timur
30 Batuan 4107,00 tad
Nusantara
PT. Bosowa Tambang
31 Batuan 25,00 tad
Indonesia
32 PT. Bumi Karsa Batuan 2,04 tad

33 PT. Bukit Bahari Indah Batuan 1,97 tad

34 PT. Nindiya Karya Batuan 2,16 tad

35 PT. Bumi Karsa Batuan 0,50 tad

36 PT. Aneka Tambang Mineral Logam 24926,00 tad

37 PT. Agung Jaya Kencana Sirtu 8,00 tad

38 CV. Batu Indah Sirtu 5,00 tad

39 CV. Karya Mandala Lestari Sirtu 20,00 tad

40 PT. Passokkorang Sirtu 5,00 tad

41 PT. Mamuju Indah Perkasa Sirtu 20,00 tad


PT. Bintang Gunung Sentosa
42 Sirtu 20,00 tad
Mandiri

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 28
Produksi
No. Nama Perusahaan Jenis Bahan Galian Luas Areal (Ha)
(Ton/Tahun)

43 PT. Karya Mandala Putra Sirtu 20,00 tad

44 PT. Hutama Surya Perdana Sirtu 5,00 tad

45 PT. Dwitri Sapta Karya Sirtu 20,00 tad

46 CV. Diana Jaya Sirtu 6,00 tad

47 PT. Isco Polman Resources Bijih Besi 943,00 tad


PT. Hendrix Internasional
48 Bijih Besi 1790,00 tad
Mineral
49 PT. Risda Utama Bersatu Bijih Besi 764,00 tad

50 PT. Bumi Pertiwi Makmur Bijih Besi 4475,00 tad

51 PT. Isco Polman Resources Galena 199,00 tad

52 PT. Inti Karya Polman Galena 830,00 tad


Sumber : Olah Data Tabel SE-6 Buku Data

Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral
Provinsi Sulawesi Barat, tercatat sebanyak 52 Perusahaan Penambang yang masih
beroperasi dan tersebar di enam Kabupaten dengan bahan galian terdiri dari
Emas, Mineral Logam, Bijih Besi, Bijih Mangan, Logam Dasar, Batubara, Biji
Tembaga, Batuan Dasit, Timbal dll. Salah satu sumber mata pencaharian untuk
meningkatkan taraf ekonomi masyarakat yang paling banyak dilakukan saat ini
adalah usaha pertambangan rakyat. Jenis pertambangan yang diklola oleh rakyat
antara lain; penambangan pasir, penambangan batu gunung, penambangan batu
kali, galian urugan tanah, galian tanah liat, penambangan pasir batu dan batu
pecah (cipping) dan lain sebagainya. Mengingat lokasi penambangan yang tersebar
dan cukup luas serta berpindah-pindah, maka data mengenai luasan lokasi
penambangan yang dilakukan oleh masyarakat didak dapat dirinci secara jelas.
Perbandingan Nilai Antar Waktu dan Antar Lokasi
Dari hasil olah data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulawesi
Barat, tercatat bahwa dari 126 perusahaan pertambangan yang masih beroperasi
pada tahun 2013 mengalami penurunan pada tahun 2015 yakni hanya sekitar 52
perusahaan saja. Hal ini dipengaruhi oleh pembangunan di Sulawesi Barat,
khususnya pembangunan infrastruktur jalan yang sudah semakin berkurang
karena sebagian besar jalan sudah diselesaikan. Dengan sendirinya, usaha

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 29
pertambangan untuk jenis bahan galian pasir batu, dan batu pecah (cipping)
menjadi berkurang.
Analisis Statistik Sederhana
Untuk lebih mengetahui kandungan potensi sumber daya alam di Provinsi Sulawesi
Barat, maka dibutuhkan penelitian yang lebih dalam, mengingat daerah ini banyak
yang belum dieksplorasi. Informasi dari adanya penelitian akan menjadi informasi
awal untuk melakukan kajian terhadap kandungan sumber daya alam yang dimiliki
oleh Sulawesi Barat. Penelitian tersebut wajib dilakukan baik untuk mengetahui
potensi sumber daya alam itu sendiri namun yang terpenting adalah dapat
mengetahui peringatan dini terhadap dampak yang akan ditimbulkan dari hasil
pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Potensi dampak yang ditimbulkan dari sebuah kegiatan pertambangan adalah
adanya perubahan fungsi llingkungan hidup, dampak ekonomi, dampak sosial, dan
yang terpenting adalah dampak kesehatan masyarakat yang bemukim di sekitar
lokasi pertambangan. Oleh karena itu diperlukan persyaratan yang tegas dalam
setiap kegiatan dan atau usaha yang berdapak terhadap lingkungan hidup
sebagaimana yang telah damanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentng Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
mempersyaratkan tentang izin lingkungan, yang kemudian dijabarkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan.
Dari total luas Provinsi Sulawesi Barat yakni 16.916,71 kilometer persegi, 411,15
hektar diantaranya dikelola sebagai lahan tambang yang berskala besar. Besarnya
luasan lokasi eksplorasi pertambangan saat ini dapat menjadi acuan bagi
pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dalam penentuan kebijakan umum pada
sektor pertambangan khusunya dalam hal dampak yang akan ditimbulkan dari
setiap kegiatan dan atau usaha pertambangan. Berdasarkan data dan peristiwa
yang terjadi bahwa rata-rata kasus wilayah konsensi tambang adalah sumbangan
angka kemiskinan bagi penduduk lokal, kekerasan dan pelanggaran HAM serta
ancaman kerusakan lingkungan hidup.
III-G. ENERGI

Berdasarkan hasil proyeksi Badan Pusat Statistik tahun 2015 bahwa penduduk
Provinsi Sulawesi Barat hingga akhir tahun 2013 berjumlah 1.234.251 jiwa yang
tersebar di lima kabupaten. Dari total jumlah penduduk terdapat sekitar 275.568
kepala keluarga. Dari total jumlah kepala keluarga di Sulawei Barat ini bermukim

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 30
secara tersebar di enam kabupaten. Pemukiman pada enam kabupaten di
Provinsi Sulawesi Barat yang tersebar dan bervariasi berakibat pada status sosial
masyarakat yang bermukim di suatu tempat. Kondisi ini secara tidak langsung
berpengaruh pada penggunaan energi dari sumber daya alam yang dimiliki.

Jumah kendaraan menurut jenis kendaraan dan bahan bakar yang digunakan.
Transportasi adalah kegiatan memindahkan atau mengangkut orang dan atau
barang dari suatu tempat ke tempat lainnya, dengan menggunakan sarana
pembantu berupa kendaraan. Dalam pengembangan wilayah, transportasi
mempunyai peranan sangat penting, yaitu untuk mempermudah terjadinya
interaksi antar wilayah. Dengan semakin mudahnya proses interaksi antar wilayah
akan memberikan dampak terhadap kondisi ekonomi, sosial dan kewilayahan
(membuka keterisolasian suatu wilayah).

Tabel 3.9 : Jumlah Kendaraan Menurut Jenis dan Bahan Bakar yang digunakan
No Jenis Kendaraan Bensin Solar

1 Beban 15 25

2 Penumpang pribadi 10235 tad

3 Penumpang umum 1628 355

4 Bus besar pribadi N/A N/A

5 Bus besar umum N/A tad

6 Bus kecil pribadi 25 9

7 Bus kecil umum 53 185

8 Truk besar N/A 105

9 Truk kecil tad 255

10 Roda tiga 515 N/A

11 Roda dua 55401 N/A


Sumber : Tabel SP-2 Buku Data
Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Barat bahwa hingga
tahun 2015 jumlah kendaraan di Sulawesi Barat saat ini mencapai 68.806 unit
yang dibagi dalam beberapa jenis kendaraan. Dari jumlah total kendaraan tersebut
diatas jika ditinjau dari jenis kendaraan, maka kendaraan roda dua (motor)
menempati urutan pertama terbanyak yankni sekitar 80,52% dari total jumlah

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 31
kedaraan atau sekitar 55.401 unit, dan yang paling sedikit adalah kendaraan bus
kecil pribadi yang hanya mencapai 0,05% atau sekitar 34 unit saja.

Jika dilihat dari segi penggunaan bahan bakar, maka dapat dismpulkan bahwa
98,64% kendaraan di Sulawesi Barat berbahan bakar Bensin sedangan selebihnya
1,36% berbahab bakar solar.

Konsumsi BBM untuk sektor Industri menurut BBM yang digunakan.


Pada bulan November 2015, pemerintah telah melakukan beberapa kali
melakukan perubahan terhadap harga Bahan Bakar Minyak. Pengaruh perubahan
harga BBM ini tidak berdampak bagi kinerja sektor industri di Indonesia. Pengaruh
perubahan harga bahan bakar minyak hanya sekitar 2,5 sampai tiga persen
terhadap biaya produksi.
Berdasarkan olah data yang tertuang dalam Buku Sulbar Dalam Angka 2015,
klasifikasi industri dibagi dalam enam sektor. Nilai pemakaian bahan bakar yang
dapat dihimpun hanya pada penggunaan jenis BBM solar dengan penggunaan
terbanyak pada jenis industry berkode 10. Jika dijumlah secara keseluruhan,
pemakaian BBM jenis solar untuk sektor industri selama satu tahun dapat
mencapai harga 2,8 milyar.
Untuk jenis bahan bakar lainnya seperti LPG, Minyak Bakar, Minyak Tanah, Gas,
Batubara dan Biomassa belum ada catatan penggunaan. Hal ini dipengaruhi oleh
penggunaan LPG dan Minyak Tanah lebih banyak digunakan oleh sektor industri
skala kecil dan industri rumahan.
Tabel 3.10 : Nilai Pemakaian Bahan Bakar berdasarkan Klasifkasi Industri
Klasifikasi Minyak Minyak Minyak
No. LPG Solar Gas Batubara Biomassa
Industri Bakar Diesel Tanah
Kimia
1 N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A
dasar
Mesin dan
2 Logam N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A
Dasar
Industri
3 N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A
Kecil
Aneka
4 N/A N/A N/A 2827008,09 N/A N/A N/A N/A
Industri
Sumber : Tabel SP-3 Buku Data

Konsumsi BBM untuk keperluan rumah tangga.


Berdasarkan kebijakan pemerintah secara nasional dengan konversi penggunaan
bahan bakar minyak tanah ke LPG 3 kilogram, untuk provinsi Sulawesi Barat dapat
dikatakan cukup berhasil. Hal ini dapat digambarkan melalui penggunaan bahan

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 32
bakar untuk memasak yang saat ini mencapai 35,05 persen dari total penggunaan
bahan bakar. Penggunan bahan bakar yang terbanyak pada jenis kayu bakar yakni
mencapai 61,12 persen. Hal ini diakibatkan jumlah penduduk di Sulawesi Barat,
sebagian besar bermukim di daerah pedesaan dengan tingkat perekonomian
menengah kebawah.
Tabel 3.11 : Data penggunaan Bahan Bakar untuk Memasak
Minyak
No. Kabupaten LPG Briket Kayu Bakar lainnya
Tanah

1 Mamuju Utara 15015 1465 N/A 15198 3088

2 Mamuju Tengah tad tad N/A tad tad

3 Mamuju 32074 633 N/A 47105 1266

4 Majene 13607 332 N/A 17233 900

5 Polewali Mandar 33583 707 N/A 57866 841

6 Mamasa 2313 1225 N/A 31030 87


Sumber :Olah Data Tabel SP-4 Buku Data

Untuk pengembangan bahan bakar briket di Sulawesi Barat sampai saat ini belum
dikembangkan. Potensi lainnya yakni jenis bahan bakar biomassa yang ada di
Kabupaten Mamuju Utara saat ini dikembangkan untuk pebangkit tenaga listrik
dengan menggunakan limbah cangkang kelapa sawit untuk konsumsi perusahaan
kelapa sawit.

III-H. TRANSPORTASI

Dalam rangka memberikan pelayanan umum transportasi kemasyarakat,


Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat telah melakukan perbaikan serta
pembangunan jalan dan jembatan. Demikian juga dengan sarana dan prasarana
lainnya yang berkaitan dengan lalu lintas dijalan raya. Hal ini sesuai dengan
Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Dalam pengembangan jaringan transportasi darat, pemerintah Provinsi Sulawesi
Barat telah melakukan penetapan kelas jalan dan pembangian jalan menurut
kewenangannya. Demikian pula dengan pembangunan sarana transportasi
perairan, saat ini Provinsi Sulawesi Barat sedang melaksanakan pembangunan
Pelabuhan Internasional Domestik dan Pelabuhan Perikanan.
Untuk pengembangan jaringan transportasi udara, saat ini Pemerintah Provinsi
Sulawesi Barat sedang melakukan perbaikan dan perluasan bandar udara Tampa

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 33
Padang sebagai Bandara Utama dan membangun Bandar Udara Alternatif di
Kecamatan Sumarorong, Kabupaten Mamasa yang saat ini sedang dalam proses
pembangunan.
Perkiraan volume limbah padat berdasarkan sarana transportasi.
Sarana transportasi merupakan salah satu sumber limbah padat yang cukup besar
jumlahnya. Selain karena jumlah penumpang yang datang dan pergi di setiap
terminal angkutan, juga diakibatkan oleh adanya pedangang kaki lima yang
menyediakan berbagai macam kebutuhan para calon penumpang di setiap
terminal angkutan.
Berdasarkan hasil pantauan lapangan, sarana transportasi yang menghasilkan
limbah cukup banyak adalah transportasi darat. Hal ini disebabkan oleh sebagian
besar terminal di Sulawesi Barat berda di sisi lain dari pasar tradisional setempat.
Tabel 3.12 : Sarana angkutan Darat,Air dan Udara beserta data volume limbah padat
Volume
Nama Tempat Sarana Tipe/Jenis/ Luas
No. Lokasi Limbah Padat
Transportasi Klasifikasi Kawasan (Ha)
(m3/hari)
Lembang Baurung-
1 Terminal induk B 1 3
Majene
2 Terminal induk B Lutang - Majene 1 3
3 Terminal pembantu TP Battayang - Majene 0,5 2
4 Terminal Regional A Simbuang 2 0,1
5 Terminal Pasar Baru C Mamuju 1 1
6 Terminal Pasar Tarailu TP Sampaga 0,25 tad
7 Terminal Topoyo C Topoyo-Mamuju 0,25 tad
Pasangkayu-
8 Terminal Pasangkayu C 5,5 tad
Mamuju Utara
9 Terminal induk A Tipalayo-Polewali 3 tad
Wonomulyo-
10 Terminal Wonomulyo TP tad tad
Polewali
11 Terminal Polewali C Polewali tad tad
12 Terminal Mamasa B Mamasa 1,35 tad
13 Pelabuhan Feri Penyebrangan Simboro-Mamuju 3 0,3
14 Pelabuhan Mamuju Regional Mamuju 1 0,1
15 Pelabuhan Belang-Belang Utama Kalukku 9 1
16 Pelabuhan Tappalang Lokal Mamuju tad tad
17 Pelabuhan Kalukku Lokal Mamuju tad tad
18 Pelabuhan Sampaga Lokal Mamuju Tengah tad tad
Pelabuhan Budong-
19 Lokal Mamuju Tengah 2 tad
Budong
20 Pelabuhan Ambo Lokal Mamuju Tengah tad tad
21 Pelabuhan Pompongan Lokal Mamuju Tengah tad tad
22 Pelabuhan Salissingan Lokal Mamuju Tengah tad tad
23 Pelabuhan Tanjung Bakau Regional Pasangkayu 22 0,95
24 Pelabuhan Bonemanjeng Lokal Sarudu 5,04 0,584
Pelabuhan lokal desa
25 Lokal Sarudu 0,5 0,4
Sarudu
26 Pelabuhan Palipi pengumpan Majene 1 0,1

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 34
Volume
Nama Tempat Sarana Tipe/Jenis/ Luas
No. Lokasi Limbah Padat
Transportasi Klasifikasi Kawasan (Ha)
(m3/hari)
27 Pelabuhan Pamboang Lokal Majene tad tad
28 Pelabuhan Malunda Lokal Majene tad tad
29 Pelabuhan Sendana Lokal Majene tad tad
30 Pelabuhan Majene Penyebrangan Majene 0,4 tad
31 Pelabuhan Silopo pengumpul Polewali Mandar 2,30 tad
32 Pelabuhan Labuang Lokal Polewali Mandar tad tad
33 Pelabuhan Tinambung Lokal Polewali Mandar tad tad
34 Bandara Tampa Padang Kelas II Kalukku 235 1
35 Bandara Sumarorong Perintis Sumarorong 96 0,03
Sumber : Tabel SP-5 Buku Data

Sarana Terminal Kendaraan Penumpang Umum. (darat)

Terminal angkutan darat di Provinsi Sulawsi Barat berjumlah 12 terminal.


Berdasarkan pembagian tipe terminal, Terminal Simbuang dan Terminal Tipalayo
digolongkan dalam terminal Tipe A yakni terminal angkutan yang dapat melayani
angkutan umum lintas daerah dan lintas provinsi. Untuk terminal lutang, terminal
Mamasa, terminal Wonomulyo dan terminal Lembang Baurung dikategorikan
sebagai terminal Tipe B, Terminal Topoyo Tipe E dan terminal Tarailu dan Pasar
Sentral Mamuju sebagai terminal pembantu.

Sarana Pelabuhan Laut, Sungai dan Danau

Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi yang sebagian besar wilayahnya berada di
pesisir pantai dengan panjang garis pantai 677 kilometer, tentu saja memiliki
saranan pelabuhan laut sebagai ala transportasi khususnya untuk
menghubungkan Provinsi Sulawesi Barat dengan Provinsi lain di pulau-pulau
maupun sebagai sarana perhubungan antar pulau-pulau kecil di Sulawesi Barat.
Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Barat, terdapat 21
sarana pelabuhan laut dan sungai.

Dari ke 21 sarana pelabuhan tersebut, 1 diantaranya merupakan pelabuhan


internasional namun masih dalam tahap pembangunan. Selain sarana pelabuhan
internasional, terdapat pula sarana pelabuhan ikan sebagai pelabuhan nasional.

Sarana Pelabuhan Udara


Saat ini Provinsi Sulawesi Barat sedang mengembangakan pembangunan di sektor
perhubungan khususnya perhubungan udara. Pembangunan dan perluasan
bandara Tampa Padang menjadi prioritas utama pemerintah dalam

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 35
pengembangan infrastruktur perhubungan udara dengan luas mencapai 40
hektar.

Untuk kondisi saat ini, Bandara Tampa Padang baru bisa digunakan untuk
pesawat boeing dengan kapasitas penumpang maksimal 100 orang. Untuk
aktivitas penerbangan, Bandara Tampa Padang saat ini baru melayani 1 kali
penerbangan dalam satu hari mengingat jumlah penumpang yang masih kurang.

Selain Bandar udara Tampa Padang, saai ini juga sedang dibangun Bandar udara
alternative di Kabupaten Mamasa yang berlokasi di Kecamatan Sumarorong.
Pembangunan bandara ini sejalan dengan program pemerintah daerah untuk
menjadikan Kabupaten Mamasa sebagai daerah tujuan wisata di Sulawesi Barat.
Untuk mempermudah akses bagi para wisatawan baik lokal, domestik maupun
mancanegara maka diperlukan sarana yang memadai dan mudah untuk bisa
sampa di tujuan.

Perbandingan Nilai Antar Waktu dan Antar Lokasi


Sarana transportasi merupakan sarana pendukung utma dalam proses
pembanguan di suatu wilayah khusunya bagi daerah yang sedang dalm tahap
perkembangan di berbagai sektor. Pembangunan di berbagai sektor tidak dapat
berjalan dengan efektif jika tidak didukung oleh sarana infrastruktur jalan,
transportasi laut/perairan dan transportasi udara.
Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda di Indonesia saat ini sedang
dalam proses pembangunan dan perbaikan sarana trnsportasi. Berdasarkan data
dari Dinas Perhubungan, Komuniksi dan Informatika Provinsi Sulawesi Barat
bahwa saat ini Pemerintah Daerah sedang mlakukan pembangunan dan perluasan
Bandar Udara Tampa Padang sebagai saranan utama dalam transportasi udara.
Selain Bandar Udara Tampa Padang, saat ini juga sedang dikembangkan Bandar
Udara Sumarorong di Kabupaten Mamasa yang proyek pembangunannya baru
dimulai pada tahun 2012.
Untuk sektor perhubungan laut, saat ini sedang dilakukan pembangunan dan
perluasan Pelabuhan Belang-Belang di Kecamatan Papalang Kabupaten Mamuju
yang akan dijadikan sebagai sarana pelabuhan Internasional. Untuk sarana
transportasi darat, pembangunan jalan dan jembatan untuk tahun 2015
khususnya jalan trans Sulawesi sudah mencapai 90%. Jika dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya jauh lebih baik. Sebagai contoh bahwa jalur transportasi

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 36
darat dari Kabupaten Mamuju ke Mamuju Utara yang selama ini ditempuh 8-10
jam, saat ini sudah dapat ditempuh dalam waktu 4-5 jam saja.
Analisis Statistik Sederhana
Pertambahan jumlah penduduk suatu daerah harus diibangan dengan
pembangunan infrastruktur yang memadai. Salah satunya adalah sarana
transportasi. Untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat di suatu wilayah
maka diperlukan akses yang mudah untuk memperlancar pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, pembangunan sarana transportasi darat, laut dan udara menjadi
sangat penting.
Jika dihitung berdasarkan analisa sederhana, dapat dikatakan bahwa
pembangunan infrastruktur sarana transportasi di Sulawesi Barat sudah cukup
memadai. Dan untuk pengembangannya pada tahun 2013 yang akan dating akan
dibuka akses jalan untuk menghubungkan antara Provinsi Sulawesi Barat dengan
Provinsi Sulawesi Selatan melalui jalur Kabupaten Mamasa yang berbatasan
langsung dengan Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan.
Untuk sarana transportasi udara, pada tahun 2013 ini Bandar Udara Tampa
Padang sudah dapat melayani pesawat boeing dengan kapasitas penumpang
sampai 150 orang. Ini dapat dibuktikan dengan adanya perluasan bandara dan
penambahan panjang landasan pacu.
III-I. PARIWISATA
Pariwisata di Indonesia merupakan sektor ekonomipenting di Indonesia. Pada
tahun 2009, pariwisata menempati urutan ketiga dalam hal
penerimaan devisasetelah komoditi minyak dan gas bumi serta minyak kelapa
sawit.[1] Berdasarkan data tahun 2014, jumlah wisatawan mancanegara yang
datang ke Indonesia sebesar 9,4 juta lebih atau tumbuh sebesar 7.05%
dibandingkan tahun sebelumnya.
Sekitar 59% turis berkunjung ke Indonesia untuk tujuan liburan, sementara 38%
untuk tujuan bisnis. Singapura dan Malaysia adalah dua negara dengan catatan
jumlah wisatawan terbanyak yang datang ke Indonesia dari wilayah ASEAN.
Sementara dari kawasan Asia(tidak termasuk ASEAN) wisatawan RRC berada di
urutan pertama disusul Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan India. Jumlah
pendatang terbanyak dari kawasan Eropa berasal dari Negara Britania Raya
disusul oleh Belanda, Jerman dan Perancis

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 37
Pengelolaan kepariwisataan, kebijakan nasional, urusan pemerintahan di bidang
kebudayaan dan kepariwisataan di Indonesia diatur oleh Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia.
Perkiraan volume limbah padat berdasarkan lokasi objek wisata, Jumlah
Pengunjung dan luas kawasan.
Salah satu daya tarik wisatawan baik mancanegara maupun dalam negeri adalah
poteni pariwisata yang dimiliki oleh suatu daerah. Selain menjadi suatu
kebanggaan tersendiri bagi daerah tersebut, juga menjadi salah satu sumber
pendapatan asli daerah. Provinsi Sulawesi Barat dengan luas wilayah mencapai
16.916,71 kilometer persegi memiliki potensi pariwisata yang cukup banyak.
Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Provinsi Sulawesi
Barat, terdapat kurang lebih 139 lokasi objek wisata yang tersebar di enam
Kabupaten yang terbagi dalam berbagai jenis objek wisata.

Tabel 3.13 : Jumlah Objek Wisata di Sulawesi Barat di Rinci Per Kabupaten
Jumlah
Luas Volume
Jenis Obyek Pengunjung
No. Nama Obyek Wisata Kawasan Limbah Padat
Wisata (orang per
(Ha) (m3/Hari)
tahun)
Peninggalan
1 Kuburan Tua Pasa'bu 243 0,004 12,15
Sejarah
2 Pasir Putih Tanjung Ngalo Wisata Bahari 2140 2,000 107,00

3 Gua Dungkait Wisata Alam 541 1,000 27,05

4 Air Terjun Lebani Wisata Alam 3641 tad 182,05


Peninggalan
5 Kuburan Tua Raja Dungkait 214 0,004 10,70
Sejarah
6 Air Panas Pangsiangang Wisata Alam 2461 tad 123,05

7 Pemandian Alam So'do Wisata Alam 325 tad 16,23

8 Bone Tanga Wisata Alam 251 1,000 12,55


Wisata
9 Rumah Adat 364 5,000 18,20
Budaya
10 Air Terjun Tamasapi Wisata Alam 5426 1,000 271,30

11 Anjoro Pitu Wisata Alam 13687 3,000 684,35


Peninggalan
12 Kuburan Tua Tosalama 4568 0,001 228,40
Sejarah
Peninggalan
13 Kuburan Tua Lasalaga 2412 0,002 120,60
Sejarah
Peninggalan
14 Kuburan Tua Tonileo 3117 0,003 155,85
Sejarah
Peninggalan
15 Kuburan Puatta Karama 4637 0,0025 231,85
Sejarah

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 38
Jumlah
Luas Volume
Jenis Obyek Pengunjung
No. Nama Obyek Wisata Kawasan Limbah Padat
Wisata (orang per
(Ha) (m3/Hari)
tahun)
Peninggalan
16 Kuburan Tua Langga Turu' 1745 0,0045 87,25
Sejarah
17 Air Panas Padang Panga' Wisata Alam 8698 2,000 434,90

18 Gua Padang Panga' Wisata Alam 4354 2,000 217,70

19 Pantal Rangas Wisata Alam 12687 3,000 634,35

20 Gua Saletto Wisata Alam 2105 1,000 105,25

21 Pantai Lombang - Lombang Wisata Bahari 112647 4,000 5632,35

22 Gua Belang - Belang Wisata Alam 524 1,000 26,20


Peninggalan
23 Benteng Kassa' 617 0,5 30,85
Sejarah
Keunikan
24 Kayu Eboni Raksasa 585 1,000 29,25
Alam
25 Air Terjun Panao/Sondoang Wisata Alam 5381 1,000 269,05

26 Pantai Samalon Wisata Bahari 2734 1,000 136,70


Keunikan
27 Tambang Emas Tradisional 1612 1,000 80,60
Alam
28 Pantai Dato Wisata Bahari 5645 2,000 282,25

29 Air Terjun Biolo Wisata Alam 6725 tad 336,25

30 Air Terjun Salu Ma'dinging Wisata Alam 4532 tad 226,60

31 Perkebunan Kelapa Sawit Agro Wisata 1125 35,000 56,25


Wisata
32 Situs Minangga Sipakko 935 tad 46,75
Budaya
Peninggalan
33 Kuburan Prasejarah 2115 1,000 105,75
Sejarah
Danau Kawah Gunung
34 Wisata Alam 247 1,000 12,35
Panasuan
Peninggalan
35 Penyimpanan Mayat 135 1,000 6,75
Sejarah
36 Air Terjun Taranusi Wisata Alam 7575 1,000 378,75

37 Air Panas Maiso Wisata Alam 9642 1,000 482,10

38 Gua Nenek Pulao Wisata Alam 258 tad 12,90

39 Gua Tambulan Wisata Alam 173 tad 8,65

40 Polo Pantai Wisata Bahari 12 2,000 0,60

41 Pantai Pangkang Wisata Bahari 3612 tad 180,60

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 39
Jumlah
Luas Volume
Jenis Obyek Pengunjung
No. Nama Obyek Wisata Kawasan Limbah Padat
Wisata (orang per
(Ha) (m3/Hari)
tahun)

42 Pantai Kombiling Wisata Bahari 17 tad 0,85

43 Perkebunan Jeruk Agro Wisata 421 tad 21,05


Peninggalan
44 Benteng Kayu Mangiwang 263 1,000 13,15
Sejarah
Wisata
45 Rumah Adat Topoyo 145 tad 7,25
Budaya
46 Air Terjun Batu Parigi Wisata Alam 3275 tad 163,75

47 Pantai Kambunong Wisata Bahari 7345 tad 367,25

48 Pantai Kire Wisata Bahari 5434 tad 271,70


Peninggalan
49 Benteng Towani 2170 0,5 108,50
Sejarah
Peninggalan
50 Kuburan Raja Langga 315 0,5 15,75
Sejarah
51 Tanjung Batu Oge Wisata Bahari 1025 tad 51,25

52 Pulau Karampuang Wisata Bahari 302205 2,000 15110,25

53 Pulau Bakengkeng Wisata Bahari 121635 1,000 6081,75

54 Air Terjun Arjuna Wisata alam tad 2,000 tad

55 Air Terjun Nagaya Wisata alam tad 1,000 tad

56 Batu Kapal Wisata alam tad 1,000 tad

57 Goa Gambalusu Wisata alam tad tad tad

58 Goa Lawa Wisata alam tad 5,000 tad

59 Goa Martasari Wisata alam tad tad tad

60 Gua Ape Wisata alam tad 2,000 tad

61 Pantai Baliri Wisata bahari tad 1,500 tad

62 Pantai Batu Oge Wisata bahari tad 3,000 tad

63 Pantai Cinoki Wisata bahari tad 6,000 tad

64 Pantai Kasalai Wisata bahari tad tad tad

65 Pantai Labuang Wisata bahari tad tad tad

66 Pantai Salukaili Wisata bahari tad 4,000 tad

67 Pantai Sarjo Wisata bahari tad 2,000 tad

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 40
Jumlah
Luas Volume
Jenis Obyek Pengunjung
No. Nama Obyek Wisata Kawasan Limbah Padat
Wisata (orang per
(Ha) (m3/Hari)
tahun)

68 Perkebunan Kelapa Sawit Wisata Agro tad tad tad


Wisata
69 Situs Suku Bunggu tad tad tad
budaya
70 Tanjung Bakau Wisata bahari tad 2,000 tad

71 Tanjung Kaluku Wisata bahari tad 3,000 tad

72 Permandian sungai Teppo Wisata Alam 240 0,5 Ha 12,00

73 Permandian Udhuhun Pokki Wisata Alam 200 0,5 Ha 10,00

74 Permandian Sungai Tubo Wisata Alam 700 2 Ha 35,00


Permandian air Panas
75 Wisata Alam 210 0,5 Ha 10,50
Makula Limboro
76 Air terjun Mario dan Takulilia Wisata Alam 220 1 Ha 11,00

77 Air Terjun Orongan Puawang Wisata Alam 350 0,5 Ha 17,50

78 Wai Makula Tinggas Wisata Alam 220 0,5 Ha 11,00

79 Pantai Pasir Putih Leppe Wisata Bahari 370 1 Ha 18,50

80 Pantai Pasir Putih Tamo Wisata Bahari 340 1 Ha 17,00

81 Pantai Pasir Putih Barane Wisata Bahari 810 1,5 Ha 40,50

82 Pantai Pasir Putih Dato Wisata Bahari 340 0,5 Ha 17,00

83 Pantai Luaor Wisata Bahari 345 1,5 Ha 17,25

84 Pantai Rewataa tara ujung Wisata Bahari 260 2 Ha 13,00

85 Pantai Baluno Wisata Bahari 235 1,5 Ha 11,75


Pantai Pasir Putih Bonde-
86 Wisata Bahari 240 3 Ha 12,00
bonde
Wisata
87 Makam Raja-raja Ondongan 90 0,5 Ha 4,50
Sejarah
Wisata
88 Makam Syekh Abdul Mannan 70 0,25 Ha 3,50
Sejarah
Wisata
89 Makam Suryodilogo 70 0,25 Ha 3,50
Sejarah
Wisata
90 Benteng Ammana wewang 80 0,25 Ha 4,00
Sejarah
Wisata
91 Makam Puang Tobarani 1454 0,576 72,70
budaya
Wisata
92 Makam Syekh Al Ma'aruf 10969 0,500 548,45
budaya
Wisata
93 Makam Todilaling 5442 0,250 272,10
budaya

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 41
Jumlah
Luas Volume
Jenis Obyek Pengunjung
No. Nama Obyek Wisata Kawasan Limbah Padat
Wisata (orang per
(Ha) (m3/Hari)
tahun)
Wisata
94 Makam Tosalama Beluwu 2155 192,000 107,75
budaya
95 Pantai Mampie Wisata bahari 38705 3,600 1935,25

96 Pantai Palippis Wisata bahari 830 3,000 41,50


Permandian Alam Limbong
97 Wisata alam 2300 1,500 115,00
Sitido
98 Pulau Tangnga Wisata bahari 5000 2,000 250,00
Permandian Alam Wisata
99 Wisata bahari 5255 500,000 262,75
Biru
Makam KH. Muh. Tahir Imam Wisata
100 6478 0,030 323,90
Lapeo budaya
Wisata
101 Makam tosalama Lampoko 410 0,290 20,50
budaya
Air Terjun dan Panorama
102 Wisata alam tad tad tad
Alam Gunung Mambulilling
103 Air Terjun Liawan Wisata alam tad 2,000 tad

104 Air Terjun Parak Wisata alam tad tad tad

105 Air Terjun Sambabo Wisata alam tad tad tad


Arung Jeram Sungai
106 Wisata alam tad tad tad
Mamasa
Wisata
107 Batu Kumila tad 0,075 tad
budaya
108 Batu Laledong Wisata alam tad 0,010 tad
Kuburan Tua Paladan Wisata
109 tad 0,050 tad
Demmatande budaya
Kuburan Tua Tedong- Wisata
110 tad 0,050 tad
Tedong budaya
Wisata
111 Mummi tad tad tad
budaya
Pemandangan Alam Buntu
112 Wisata alam tad 1,250 tad
Mussa
Perkampungan Tradisional Wisata
113 157 tad 7,85
Balla Peu budaya
114 Permandian Air Panas Kole Wisata alam tad 0,060 tad
Permandian Air Panas
115 Wisata alam tad 0,250 tad
Malimbong
Permandian Air Panas Rante
116 Wisata alam tad 0,060 tad
Katoan
Permandian Air Panas
117 Wisata alam tad 0,140 tad
Rante-Rante
Permandian Air Panas
118 Wisata alam tad 0,030 tad
Uhailanu
Wisata
119 Rumah Adat Buntu Kasisi tad tad tad
budaya

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 42
Jumlah
Luas Volume
Jenis Obyek Pengunjung
No. Nama Obyek Wisata Kawasan Limbah Padat
Wisata (orang per
(Ha) (m3/Hari)
tahun)
Wisata
120 Rumah Adat Indona Orobua tad 0,500 tad
budaya
Wisata
121 Rumah Adat Rambusaratu 150 0,500 7,50
budaya
Rumah Adat Tomakaka Wisata
122 tad tad tad
Makuang budaya
Wisata
123 Tondok Sirenden tad 0,000 tad
budaya
Sumber : Tabel SP-6 Buku Data

Objek wisata terbanyak berada di Kabupaten Mamuju yakni sebanyak 53 objek


wisata. Dan yang paling sedikit adalah Kabupaten Polewali Mandar yakni hanya
sebanyak 11 lokasi. Dari berbagai jenis objek wisata di Sulawesi Barat, pada
umumnya didominasi oleh objek wisata alam dan bahari. Hal ini dipengaruhi oleh
luas wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang cukup luas serta panjang pantai yang
mencapai 677 kilometer dengan berbagai pulau-pulau kecil yang berpotensi
sebagai daerah tujuan wisata. Untuk Kabupaten Mamuju Tengah, objek wisata
yang tercantum dan dapat didentifikasi masih bergabung dengan Kabupaten
Mamuju Tengah.

Perkiraan beban limbah padat dan cair berdasarkan Sarana Hotel/ Penginapan.
Sebagai daerah baru yang sedng berkembang, maka Provinsi Sulawesi Barat saat
ini sedang membangunan berbagai sarana prasarana penunjang di berbagai
aspek dan salah satunya adalah industri perhotelan. Selain sebagai sarana untuk
kegiatan-kegiatan internal Provinsi Sulawesi Barat, juga sebagai saran penginaan
bagi tamu-tamu yang berkunjung di Sulawesi Barat. Dengan ketersediaan sarana
perhotelan di setiap kabupaten, maka dengan sendirinya akan menambah minat
orang untuk datang berkunjung ke daerah tersebut.
Salah satu sarana sektor pariwisata adalah tersedianya penginapan bagi para
wisatawan luar yang datang berkunjung di daerah tujuan wisata. Ketersediaan
jumlah sarana hotel atau penginapan dalam suatu wilayah sangat ditentukan oleh
persentase tingkat hunian setiap tahunnya. Jika jumlah hotel/penginapan jauh
lebih banyak dari tingkat hunian, tentu saja akan berdampak pada kerugian pihak
pengelola.
Tersedianya sarana objek wisata dan hotel/penginapan di suatu daerah, tentu saja
mamberikab kontribusi yang sagat besar bagi daerah tersebut. Hal positif daeri

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 43
banyaknya objek wisata serta sarana hotel dan penginapan adalah pertambahan
jumlah pendapatan asli daerah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa semakin
banyak jumlah objek wisata dan hotel/penginapan akan berdampak pula terhadap
limbah yang dihasilkan yang akan mengakibatkan pencemaran di lokasi tersebut
jika tidak dikelolah dengan baik.
Oleh karena itu, pemerintah daerah harus menetapkan kebijakan-kebijakan terkait
pengelolaan sarana dan prasarana pariswisata sehingga tidak menimbulkan
persalan baru. Salah satunya adalah semua kegiatan dan atau usaha di sektor
paariwisata harus memiliki dokumen pengelolaan lingkungan sehingga dalam
pengelolaannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan yang diraih tetapi juga
dapat memperhatikan pengelolaan di sekitarnya.
Grafik 3.14 : Daftar grafik hotel/penginapan dan beban pencemaran di Sulawesi Barat
dirinci per Kabupaten

Sumber : Tabel SP-7 Buku Data

III-J. LIMBAH B3
Salah satu dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pembangunan di berbagai
sektor adalah limbah yang tergolong dalam kategori berbahaya dan beracun.
Untuk mengendalikan dampak pencemaran dari linbah bahan berbahaya dan
beracun, Kementerian Lingkungan Hidup telah melakukan berbagai upaya dalam
menangani masalah tersebut.
Selain dari segi regulasi, juga digalakkan berbagai program yang dapat
meminimalisir terjadinya pencemaran dari limbah bahan berbahaya dan beracun.
Salah satunya adalah program penilaian peringkat kinerja perusahaan yang kini

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 44
menjadi salah satu program unggulan pemerintah dalam meningkatkan kinerja
perusahaan khususnya untuk meminimalisir penyalahgunaan limbah bahan
berbahaya dan beracun yang dihasilkan.
Perusahaan yang mendapat izin untuk mengelola Limbah B3
Tabel 3.14 : Perusahaan yang mendapat izin mengelolah Limbah B3
No. Nama Perusahaan Jenis Kegiatan/Usaha Jenis Izin Nomor

Perkebunan dan Pabrik


Izin penyimpanan Nomor 692 Tahun
1 PT. Pasangkayu Pengolahan Kelapa
sementara 2012
Sawit
Perkebunan dan Pabrik
Izin penyimpanan Nomor 691 Tahun
2 PT. Letawa Pengolahan Kelapa
sementara 2012
Sawit
Perkebunan dan Pabrik
Izin penyimpanan Nomor 214 Tahun
3 PT. Unggul WTL Pengolahan Kelapa
sementara 2013
Sawit
Perkebunan dan Pabrik
PT. Unggul WTL, Izin penyimpanan Nomor 431 Tahun
4 Pengolahan Kelapa
PMKS Agribaras sementara 2012
Sawit
Perkebunan dan Pabrik
PT. Suryaraya Lestari Izin penyimpanan Nomor 690 Tahun
5 Pengolahan Kelapa
I sementara 2012
Sawit
Perkebunan dan Pabrik
PT. Suryaraya Lestari Izin penyimpanan 188.45/203/KPTS/
6 Pengolahan Kelapa
II sementara IV/2013
Sawit
Perkebunan dan Pabrik
PT. Manakarra Izin penyimpanan 188.45/307/KPTS/
7 Pengolahan Kelapa
Unggul Lestari sementara V/2013
Sawit
Sumber : Tabel SP-11 Buku Data
Dari berbagai macam dan jenis perusahaan yang ada di Sulawesi Barat, hanya
beberapa perusahaan saja yang sudah mendapatkan izin untuk mengelola limbah
bahan berbahaya dan beracun yang dihasilkan. Namun dari semua izin yang
dikeluarkan baik oleh Kementerian Lingkungan Hidup maupun oleh Pemerintah
Kabupaten masing-masing, perusahaan yang ada di Sulawesi Barat ini baru
mendapatkan izin untuk penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya dan
beracun.
Provinsi Sulawesi Barat sampai saat ini belum ada satu pun perusahaan yang
diberikan kewenangan untuk mengolah, mengumpul atau memusnahkan limbah
bahan berbahaya dan beracun yang dihasilkan. Oleh karena itu, untuk mencegah
adanya pencemaran lB3 yang dihasilkan, maka seluruh limbah B3 yag dihasilkan
dikirmkan kepada perusahaan-perusahaan yang sudah mendapatkan izin dari
Kementerian Linkgungan Hidup untuk mengolah, memanfaatkan, mengumpul
atau memusnahkan LB3 tersebut.

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 45
Dalam pengangkutan limbah B3 yang dihasilkan oleh setiap kegiatan dan atau
usaha, maka peruashaan pengangkut juga harus mendapatkan izin dari
Kementerian Perhubungan atas rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup
dengan jumlah dan jenis kendaraan yang digunakan beserta nomor plat
kendaraan telah dicantumkan dalam izin yang diberikan.

Untuk Provinsi Sulawesi Barat, sampai saat ini belum ada perusahaan yang
mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk
mengangkut LB3 dari Sulawei Barat. Oleh karena itu, perusahaan yang digunakan
dalam pengangkutan LB3 adalah PT. Multazam yang berdomisili di Makassar
Sulawesi Selatan yang telah mendapatkan rekomendasi dari Kementerian
Lingkungan Hidup serta Izin dari Kementerian Perhubungan.

Tekanan Terhadap Lingkungan


T - 46
BAB IV
UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN

IV-A. REHABILITASI LINGKUNGAN

Pembangunan berwawasan lingkungan adalah suatu keharusan yang harus


dilaksanakan unuk mewujudkan lingkungan hidup yang bersih, hijau, nyaman dan
produktif untuk mempertahankan fungsi lingkungan demi generasi di masa
mendatang. Yang tak kalah pentingnya adalah untuk mengimbangi kekhawatiran
terhadap issu global warming yang saat ini sedang mengemuka. Oleh karena itu,
pembangunan berwawasan lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam
menetukan kebijakan suatu daerah.

Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru yang saat ini kondisi lingkungannya
masih tergolong baik harus diertahankan bahkan ditingkatkan. Hal ini dapat
terwujud apabila didukung dengan komitmen dari semua pihak baik pemerintah,
swasta maupun masyarakat di Sulawesi Barat pada umumnya.

Lingkungan tidak semata-mata sebatas penghijauan yang terkait rehabilitasi hutan


dan taman kota, namun dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan, harus diseimbangkan dengan pembangunan lainnya di
berbagai sektor antara lain, sektor industri, pertambangan, pertumbuhan ekonomi
dan yang paling pokok adalah pertumbuhan penduduk.

Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi

Mengingat persoalan lingkungan yang saat ini semakin kompleks akibat


perkebangan zaman, maka program rehabilitasi dan perbaikan kondisi lingkungan
sangat diperlukan. Salah satu program yang dapat dilaksanakan adalah
rehabilitasi lingkungan melalui kegiatan penghijauan dan reboisasi khususnya
pada wilayah-wilayah yang tergolong sebagai lahan kritis.

Berdasarkan data yang dihimpun dari dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat,
jumlah realisasi kegiatan penghijauan sebanyak 1.254.737 pohon dengan luas
sebaran sebanyak 1.727,9 hektar. Jumlah ini sangat jauh dari jumlah tahun
sebelumnya yang mencapai 2.454.561 pohon dengan luas 5.527,48 hektar.
Untuk kegiatan reboisasi pada lokasi sekitar 4.990 hektar namun tidak dapat
diperoleh data jumlah pohon yang ditanam

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U-1
Tabel 4.1 : Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi
Luas Luas
Realisasi Realisasi Jumlah Realisasi Realisasi
No Kabupaten
Penghijauan Pohon Reboisasi Jumlah Pohon
(Ha) (Ha)
1 Mamuju Utara 335,90 224611,00 1175,00 tad

2 Mamuju Tengah 120,00 48000,00 75,00 tad

3 Mamuju 82,00 66500,00 540,00 tad

4 Majene 205,00 47000,00 300,00 tad

5 Polewali Mandar 220,00 80600,00 800,00 tad

6 Mamasa 765,00 788026,00 2100,00 tad


Sumber : Tabel UP-1 Buku Data

Perbandingan antar waktu dan antar lokasi

Berdasarkan tabel diatas, Wilayah terluas dalam program penghijauan untuk


tahun 2015 adalah Kabupaten Mamasa yakni seluas 765 hektar, jika dibandingkn
dengan tahun sebelumnya sedikit mengalami peningkatan yakni hanya mencapai
106,16 hektar. Untuk wilayah yang paling kecil berada di Kabupaten Mamuju
yakni hanya sekitar 82 hektar saja. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
jumlah ini mengalami penurunan yang sangat signifikan dimana pada tahun 2014
mencapai 3.534 hektar dengan jumlah pohon sebanyak 1.525.201.

Selain kegiatan penghijauan, maka program reboisasi juga menjadi salah satu
bentuk kegiatan untuk pemulihan kondisi lingkungan khususnya bagi hutan yang
telah mengalami kerusakan. Kegiatan reboisasi untuk tahun 2015 ini mencapai
4.990 hektar.

Kegiatan Fisik Lainnya oleh instansi dan masyarakat.

Selain pemulihan lingkungan melalui program penghijauan dan reboisasi khusunya


bagi hutan-hutan yang sudah mengalami pengundula dan kerusakan, maka perlu
dilakukan perbaikan dan pemulihan lingkungan pada wilayah lainnya. Antara lain
adalah kegiatan penanaman mangrove untuk wilayah pesisir yang mengalami
abrasi pantai dengan tujuan untuk perlindungan dan konservasi sumber daya
alam serta pencegahan kerusakan wilayah pesisir.

Berikut beberapa kegiatan fisik perbaikan kualitas lingkungan untuk tahun 2015
sebagaimana tercantum dalam tabel berikut :

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U-2
Tabel 4.2 : Kegiatan Fisik Perbaikan Lingkungan
No. Nama Kegiatan Lokasi Kegiatan Pelaksana Kegiatan
1 Pengadaan tong sampah Pasangkayu, Kab. Mamuju CV. Ardan Matra
sebanyak 70 unit Utara
2 Tutupan Lahan dengan Kabupaten Mamuju CV. Tamamaung Jaya, CV. Dimas Al
Mangrove Pada Kegiatan (Kecamatan Mamuju, Gala, CV. Empat Tujuh, CV. Hasan
Pengelolaan dan Rehabilitasi Tapalang Barat, Kalukku Famili, CV. Masaleh Putra, CV. Metro
Ekosistem Pesisir dan Laut dan Papalang) Manakarra, CV. Bantaya
Kamangkasarang, CV. Karampuang
Lestari
3 Tutupan Lahan dengan Kabupaten Mamuju Tengah CV. Arya Tiga Putra, CV. Sumber
Mangrove Pada Kegiatan (Kecamatan Budong- Pratama, CV. Telaga Biru, CV. Riya
Pengelolaan dan Rehabilitasi Budong, Karossa, Topoyo Global Solution, CV. Pandora Perkasa,
Ekosistem Pesisir dan Laut dan Pangale) CV. Padang Mawalle Group.
4 Tutupan Lahan dengan Kabupaten Mamuju Utara CV. Karya Tiga Putra, CV. Gading
Mangrove Pada Kegiatan (Kecamatan Dapurang, Kamangkasarang, CV. Badai Pratama,
Pengelolaan dan Rehabilitasi Sarudu, Baras, Lariang, CV. Zamrud Oryza, CV. Gading Savana,
Ekosistem Pesisir dan Laut Tikke Raya, Pedongga, CV. Rely Mulia, CV. Bangun Persada,
Pasangkayu, Bambalamotu, CV. CK Sari, CV. Tiga Putra, CV.
Bambaira dan Sarjo) Cappaga Putra Kire, CV. Bumi Tipalayo,
CV. Jaya Buana, CV. Iankidi Abadi, CV.
Karya Sulindo, CV. Mattapa, CV. Fajar,
CV. Antara 99, CV. Dafid, CV. Mattoari,
CV. Anugerah Permata Aqilah, CV.
Polewari Mannasa
5 Tutupan Lahan dengan Kabupaten Majene CV. Rimuku Bhakti, CV. Matoari, CV.
Mangrove Pada Kegiatan (Kecamatan Malunda, Tubo Antara 99, CV. Dafid, CV. Dimas Al Gala,
Pengelolaan dan Rehabilitasi Sendana, Tammerodo, CV. Fajar, CV. Empat Tujuh.
Ekosistem Pesisir dan Laut Sendana, Pamboang,
Banggae, Banggae Timur)
6 Tutupan Lahan dengan Kabupaten Polewali Mandar CV. Sumber Pratama dan CV Golden
Mangrove Pada Kegiatan (Kecamatan Binuang dan Mariase)
Pengelolaan dan Rehabilitasi Campalagian)
Ekosistem Pesisir dan Laut
7 Tutupan Lahan dengan Kabupaten Mamuju CV. Hasan Famili, CV. Palewori
Bambu daerah sumber- (Kecamatan Tapalang, Mannassa dan CV. Indra Cipta Sarana)
sumber air Pada Kegiatan Tommo dan Sinyonyoi)
Konservasi Sumber Daya Air
dan Pengendalian
Kerusakan Sumber-sumber
Air
8 Tutupan Lahan dengan Kabupaten Majene CV. Fadillah, CV. Golden Mariase, CV.
Bambu daerah sumber- (Kecamatan Malunda, Tubo, Rafli, CV. Cahaya Halim, CV. Retno
sumber air Pada Kegiatan Tammerodo, Sendana dan Bhakti Persada, CV. Dafid, CV. Dimas Al
Konservasi Sumber Daya Air Pamboang) Gala, CV. Antara 99, CV. Bumi Tipalayo,
dan Pengendalian CV. Mutiara Biru, CV. Jaya Buana, CV.
Kerusakan Sumber-sumber Iankidi Abadi, CV. Sumber Pratama, CV.
Air Panca Niaga, CV. Zamrud Oryza, CV.
Anugerah Permata Aqilah dan CV.
Mattapa
9 Tutupan Lahan dengan Kabupaten Polewali Mandar CV. Masaleh Putra, CV. Karya Tiga
Bambu daerah sumber- (Kecamatan Tinambung, Putra, CV. Matoari, CV. Rifqi Putra, CV.
sumber air Pada Kegiatan Limboro, Balanipa, Fajar, CV. Empat Tujuh, CV. Nurfadilah
Konservasi Sumber Daya Air Campalagian, Mapilli, Konstruksi dan CV. Tamamaung Jaya
dan Pengendalian Wonomulyo, Luyo dan
Kerusakan Sumber-sumber Tubbi Taramanu)
Air

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U-3
No. Nama Kegiatan Lokasi Kegiatan Pelaksana Kegiatan
10 Tutupan Lahan dengan Kabupaten Mamasa CV. Asri Sejahtera Mandiri, CV. Cahaya
Bambu daerah sumber- (Kecamatan Mamasa, Gunung, CV. Rafara, CV. Radithya
sumber air Pada Kegiatan Tawalian, Sesena Padang, Rezky Gemilang, CV. Admi Karya, CV.
Konservasi Sumber Daya Air Sumarorong dan Fatihah dan CV. Sinar Muda Mandiri
dan Pengendalian Tandukalua')
Kerusakan Sumber-sumber
Air

11 Pembuatan Demplot Kehati Desa Adolang, Kecamatan CV. Zamrud Oryza


Pamboang, Kabupaten
Majene
12 Stimulus Tanaman Kayu Desa Ako, Kecamatan CV. Jaya Buana
Eboni Pasangkayu, Kabupaten
Mamuju Utara
13
Pemicuan Jamban Sehat 6 kabupaten Tim PJS Kabupaten dan Propinsi (Dinas
(PJS) Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat)
Sumber : Tabel UP-2 Buku Data

Berdasarkan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan perbaikan fisik
lingkungan untuk tahun 2015 ini di titik beratkan pada penutupan lahan baik
lahan-lahan yang sudah kritis maupun untuk pencadangan sumber daya air.

IV-B. AMDAL, UKL/UPL

Implikasi akibat eksploitasi sumber daya alam oleh kegiatan dan atau usaha
adalah kerusakan lingkungan hidup sementara instrument kebijakan lingkungan
hidup terutama aspek kelembagaan dan sumber daya manusia belum memadai
untuk mengimbangi tingginya intesitas kerusakan lingkungan. Salah satu alternatif
yang dapat dilakukan adalah penerapan istrumen AMDAL-UKL/UPL secara lebih
tegas khusunya bagi rencana kegiatan dan atau usaha yang berdampak terhadap
lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun tidak jarang
penerapan AMDAL-UKL/UPL untuk setiap rencana dan atau kegiatan malah
dijadkan komoditi ungglan bagi beberapa perusahaan konsultan sebagai suatu
sumber penghasilan.
Dokumen izin lingkungan
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 36 ayat (1) dan pasal 40
ayat (1) serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 yang pada intinya memuat bahwa setiap
kegiatan dan atau usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup,
wajib memiliki izin lingkungan sebagai dasar untuk menerbitkan izin-izin lainnya.

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U-4
Adapun jenis usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki izin lingkungan
termasuk skala dan besaran kapasitasnya dapat lebih jelasnya diatur dalam
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 5 Tahun 2010.
Pada tahun 2015 ini, Badan Hidup Provinsi Sulawesi Barat berkonsentrasi untuk
menyelesaikan pembahasan dokumen dari beberapa jenis usaha dan/atau
kegiatan yang telah beroperasi sebelum dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2009
tentang PPLH. Berikut beberapa dokumen lingkungan yang ditetapkan pada tahun
2015 yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat.
Tabel 4.3 : Dokumen Izin Lingkungan
Jenis
No. Kegiatan Pemrakarsa
Dokumen
1 UKL-UPL Pembangunan T/L 150 kV Mamuju-Pasangkayu dan PT. PLN (Persero) UIP
Gardu Induk Terkait, di Kabupaten Mamuju (Kecamatan XIII
Mamuju, Kalukku, Papalang dn Kecamatan Sampaga);
Kabupaten Mamuju Tengah (Kecamatan Pangale,
Budong-Budong, Tobadak, Topoyo,dan Kecamatan
Karossa); Kabupaten Mamuju Utara (Kecamatan
Dapurang, Sarudu, Baras, Lariang, Tikke Raya,
Pedongga dan Kecamatan Pasangkayu) Provinsi
Sulawesi Barat
2 DELH Pembangunan Ruas Jalan Nasional di Provinsi Sulawesi Balai Besar Pelaksanaan
Barat Sepanjang 669,49 Kilo Meter. Jalan Nasional VI
Makassar.
3 DELH Kegiatan Operasional Pelabuhan Penyeberangan PT. ASDP Indonesia
Mamuju Ferry Cabang Balikpapan.
4 DELH Kegiatan Operasional Pelabuhan Pulau Ambo Mamuju Kantor Unit
Penyelenggara
Palabuhan Kelas III
Mamuju Ditjen
Perhubungan Laut
Kementerian
Perhubungan RI
5 DELH Kegiatan Operasional Pelabuhan Pulau Popongan Kantor Unit
Mamuju Penyelenggara
Palabuhan Kelas III
Mamuju Ditjen
Perhubungan Laut
Kementerian
Perhubungan RI
Sumber : Tabel UP-3 Buku Data

Pengawasan Izin Lingkungan (Amdal, UKL/UPL, SPPL)


Dalam pasal 71 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dikatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya, berkewajiban melakukan pengawasan
terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
ketentuan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam hal melakukan pengawsan lingkungan, maka Gubernur selaku

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U-5
kepala pemerintahan di tingkat provinsi dapat mendelegasikan kewenangannya
dalam melakukan pengawasan kepada pejabat atau instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Merujuk pada ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, maka pemerintah daerah
Provinsi Sulawesi Barat melalui Badan Lingkungan Hidup melakukan pengawasan
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Berikut hasil pengawasan pada beberapa
perusahaan yang berada dalam wilayah Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat :
Tabel 4.4 : Hasil Pengawasan Izin Lingkungan
Nama
No. Perusahaan/ Waktu (tgl/bln/thn) Hasil Pengawasan
Pemrakarssa
1 PT. Tanjung 24 Agustus 2015 Berdasarkan hasil pemantauan RKL-RPL dilapangan PT.
Sarana Lestari Tanjung Sarana Lestari, dianggap telah taat hukum dan
ketentuan yang berlaku.
2 PT. Unggul 28 Agustus 2015 Berdasarkan hasil pemantauan RKL-RPL dilapangan PT.
Widya Teknologi Unggul Widya Teknologi Lestari, dianggap telah taat
Lestari hukum dan ketentuan yang berlaku.
3 PT. Pasangkayu 20 Agustus 2015 Berdasarkan hasil pemantauan RKL-RPL dilapangan PT.
Pasangkayu, dianggap telah taat hukum dan ketentuan
yang berlaku.
4 PT. Mamuang 25 Agustus 2015 Berdasarkan hasil pemantauan RKL-RPL dilapangan PT.
Mamuang, dianggap telah taat hukum dan ketentuan yang
berlaku.
Sumber : Tabel UP-5 Buku Data

Berdasarkan tabel tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam rangka
melakukan pengawasan terhadap setiap usaha dan atau kegitan yang berdampak
terhadap lingkungan hidup baik secara langsung maupun tidak langsung, maka
Pemerintah Provinsi Suawesi Barat melalui Badan Lingkungan Hidup secara rutin
melakukan pengawasan bagi perusahaan.

Dari hasil pengawasan oleh bidang Amdal dan Tata Lingkungan, Badan
Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat, secara umum dapat dikatakan bahwa
semua perusahaan yang telah dipantau telah menerapkan ketentuan yang
tercantum dalam dokumen Amdal-UKL/UPL yang telah ditetapkan.

Selain pengawasan aktif yang dilakukan oleh Bidang Amdal dan Tata Lingkungan,
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat melalui program Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara rutin setiap tahunnya melakukan
pengawasan terhadap penaatan perusahaan dalam mengelola lingkungan melalui
kegiatan penilaian peringkat kinerja perusahaan (Proper).

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U-6
IV-C. PENEGAKAN HUKUM

Dalam proses penegakan hukum lingkungan, ada dua prinsip dasar yang
diterapkan oleh pemerintah yakni Command and Control (atur dan awasi) dan self
monitoring (awasi diri sendiri). Pada proses command and control, pemerintah
menetapkan dan mengawasi pelaksanaan dari peraturan-peraturan dan standar
yang harus dipatuhi. Pada self monitoring, pelaku kegiatan wajib untuk melakukan
pengawasan dan pemantauan dalam pengelolaan kegiataan yang dilakukan
khusunya dampak yang ditimbulkan dan melaporkannya kepada pihak
pemerintah.

Untuk megatasi permasalahan-permasaah lingkungan baik yang ditimbulkan oleh


kegiatan dan atau usaha yang berdampak terhadap lingkungan dan masyarakat
sekitarnya, maka selaun aturan yang telah ditetapkan, pemerintah Provinsi
Sulawesi Barat melalui Badan Lingkungan Hidup telah membentuk Pos Pelayanan
Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup sejak tahun 2008.
Namun disadari bahwa daam pelaksanaan dan pengelolaannya belum dapat
berjalan maksimal. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan sumber daya
manusia dalam pengelolaan Pos P3SLH tersebut. Disamping itu, adanya
kecenderungan masuarakat untuk enggan melaporkan setiap indikasi terjadinya
pengrusakan dan atau pencemaran lingkungan.
Status Pengaduan Masyarakat
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2010 telah diatur
tentang mekanisme dan tata cara penyelesaian pengaduan dan sengketa
lingkungan hidup yang mempersyaratkan bahwa pejabat yang melakukan
pengawasan terhadap ketaatan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak
penting terhadap lingkungan hidup adalah pejabat PPLH. Namun hingga saat ini, di
Provinsi Sulawesi Barat belum ada pejabat PPLH yang telah ditetapkan oleh
Gubernur walaupun sudah ada beberapa orang yang telah mengikuti diklat.
Untuk mengantisipasi kekosongan dalam melakukan pengawasan dan
penanganan pengaduan lingkungan hidup, mengacu pada Undang-Undang nomor
32 Tahun 2009 pada pasal 71 ayat (2); dalam hal melakukan pengawasan,
Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dapat melimpahkan kewenangannya kepada
pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perindungan dan atau
pengelolaan lingkungan hidup.

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U-7
Berikut beberapa pengaduan masyarakat yang dapat dihimpun sepanjang tahun
2015 dan sebagian besar telah diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.
Tabel 4.5 : Status Pengaduan Masyarakat

No. Masalah Yang Diadukan Status


1 Pengambilan Sirtu di Gentungan, Kabupaten Mamuju Sudah Diselesaikan dengan
musyawarah
2 Penambangan Pasir di Dusun Martajaya, Kabupaten Mamuju Utara Kegiatan dihentikan
3 Pemotongan Hewan di Pasangkayu, Mamuju Utara Kegiatan dihentikan
4 Pengerukan Sungai di Desa Wulai, Mamuju Utara Kegiatan dihentikan
5 Pengerukan Tanah dan Pembuatan Jetty di Desa Doda, Mamuju Utara Kegiatan dihentikan
6 Pembuatan arang dari batok kelapa di Keluarahan Pasangkayu, Kegiatan dihentikan
Mamuju Utara
7 Penambangan liar di Desa Randomayang, Mamuju Utara Kegiatan dihentikan
8 Penimbunan Saluran Air Pembuangan Drainase, samping hotel Diselesaikan dengan
d'Maleo Mamuju musyawarah dan mufakat
9 Pembuangan tanah Urugan ke Sungai Mamasa Dibuatkan rekomendasi
tindak lanjut
10 Kebakaran hutan dan lahan di Kecamatan Pangale, Mamuju Tengah Dibuatkan rekomendasi
tindak lanjut
11 Kebakaran hutan dan lahan di Polewali Mandar Dibuatkan rekomendasi
tindak lanjut
12 Pengambilan Pasir di Kecamatan Tikke, Mamuju Utara Diselesaikan dengan
musyawarah
13 Pembukaan Pertambangan Pasir di Kecamatan Tikke, Mamuju Utara Dibuatkan rekomendasi
14 Pengambilan Sirtu di Sungai Tinambung, Polewali Mandar Dibuatkan rekomendasi
tindak lanjut
15 Pengambilan Sirtu di Sungai Adolang, Kabupaten Majene Kegiatan Dihentikan
16 Penambangan Pasir di Desa Tubo, Kabupaten Majene Kegiatan dihentikan
17 Penambangan sirtu di Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa Disarankan untuk menjaga
kualitas lingkungan
Sumber : Tabel UP-5 Buku Data

Jika ditinjau dari segi status pengaduan masyarakat, dari sebelas jenis kasus yang
diadukan oleh masyarakat di masing-masing Kabupaten, semuanya dapat
dinyatakan selesai. Sebagaiman tahun-tahun sebelumnya, dari 17 kasus yang
diterima sepanjang tahun 2015, kasus yang paling banyak menyita perhatian
publik adalah pengambilan sirtu di sungai-sungai untuk pembangunan
infrastruktur yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan setempat.

Dalam rangka mengoptimalisasikan pelaksanaan pengeloaan Pos Pelayanan


Pengaduan dan Penyelesaian Lingkungan Hidup, maka diperlukan sarana dan
prasarana yang memadai serta peningkatan sumber daya manusia dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Di lain pihak, partisipasi masyarakat, LSM dan
stakeholders lainnya sangat dibutuhkan dalam mendukung terciptanya lingkungan

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U-8
hidup yang nyaman produktif dan berkelanjutan untuk masa depan generasi
mendatang.
IV-D. PERAN SERTA MASYARAKAT
Dalam meningkatkan perlindungan dan pegelolaan lingkungan hidup, diperlukan
partisipasi dari semua pihak khusunya peran serta masyarakat dalam mendukung
program pemerindah dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup. Dengan
diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah,
maka permasalahan lingkungan hidup di daerah sebahagian besar menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah dalam
menjalankan pembangunan harus membangun kerjasama yang sinergi dengan
pihak swasta, dan masyarakat. Tanpa dukungan dan partisipasi dari pihak luar,
maka program pemeritah tidak akan bias berjalan dengan baik.
Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup

Tabel 4.6 : Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan Hidup

No. Nama LSM Alamat


1 Forum Daerah Aliran Sungai Jl. Abd. Syakur Mamuju
2 Forum Kajian Lingkungan Hidup Manakarra Jl. Andi Maksum Dai No. 30 Mamuju
(FKLM)
3 GEMPAR Mamuju
4 Green World Jl. Pendidikan, Tatoa-Mamasa
5 Hijau Hitam Institute Desa Kabiraan, Kecamatan Ulumanda Kabupaten
Majene
6 Kelompok Kerja Peduli Lingkungan (KKLPH) Jl. Ahmad Yani No. 66 Majene
7 Lembaga Indonesia Bangkit (Gesit) Jl. Dr. Ratulangi No. 98 Mamuju
8 Lembaga Pemerhati Sosial Masyarakat dan Jl. Abd. Waris dg Tompo No. 12 Majene
LH (LPSM-LH)
9 Lembaga Rakyat Pro Demokrasi (LR Prodem) Jl. Emmy Saelan Mamuju
10 Lingkar Study Demokrasi (LSD) Jl. Emmy Saelan Mamuju
11 LSM Pedul Lingkungan dan Kelautan (LSM- Komp. BTN Pelopor Leppe Indah Blok M8 No. 6
PLK) Majene
12 LSM Pemerdayaan Sosial dan Lingkungan Jl. Nelayan No. 110 Mamuju
Hidup
13 LSM Pesisir BTN Graha Pelabuhan Mamuju
14 LSM Bumi Hijau Jl. Maccerinnae Mamuju
15 Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup serta Jl. Yonggang Majene
Pengelolaan dan Pengembangan Pertanian
(MPL-P3)
16 Walhi Sulbar Jl. WR Monginsidi No. 32 Majene
17 Yanmarindo Jl. Abd. Waris dg Tompo No. 5 Majene
18 Yayasan Gunung Sahara Jl. Abd. Syukur Rahim Majene
19 Yayasan Pemerhati Pembangunan Indonesia Jl. Syamsuddin No. 6 Majene
20 Yayasan Salili Mandar Jl. Jend. Sudirman Majene
21 YPMMD Desa Puttada, Kecamatan Sendana, Kabupaten
Majene
Sumber : Tabel UP-6 Buku Data

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U-9
Untuk mendukung program pemerintah dalam perbaikan kualitas lingkungan,
salah satu unsur yang mempunyai peranan penting dalam pengelolaannya adalah
Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Untuk
Provinsi Sulawesi Barat, Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang
lingkungan hidup masih sangat terbatas.

Berdasarkan data yang dihimpun dari masing-masing Kabupaten, LSM Lingkungan


hidup di Kabupaten Mamuju Utara sebagai Kabupaten yang memiliki perusahaan
yang cukup besar dari sektor perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit,
belum memiliki LSM lingkungan hidup. Untuk Kabupaten Mamasa, terdata hanya
satu LSM Lingkungan Hidup.
Penerima Penghargaan Lingkungan Hidup
Sebagai wujud apresiasi pemerintah kepada orang atau kelompok yang telah
berjasa di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Maka
pemerintah berkewajiban memberikan penghargaan sesuai dengan jasa-jasa yang
telah disumbangkan terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat


memberikan penghargaan kepada mereka yang telah berjasa dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang secara seremonial diserahkan dalam
rangka memperingati hari lingkungan hidup seduani di tingkat Provinsi Sulawesi
Barat. Selai itu, kepada mereka yang dinyatakan layak untuk diajukan ke tingkat
Nasional, juga diajukan untuk dapat memperoleh penghargaan lingkungan hidup.

Kegiatan ini dimaksudkan bukan sekedar memberikan apresiasi, akan tetapi


untuk mendorong masyarakat lain baik secara individu maupun kelompok untuk
terlibat aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Berikut beberapa penerima penghargaan lingkungan hidup tahun 2015 baik di


tingkat provinsi maupun nasional.
Tabel 4.7 : Penerima Penghargaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat
Nama Orang Tahun
No. Nama Penghargaan Pemberi Penghargaan
/Kelompok/Organisasi Penghargaan
Menteri Lingkungan Hidup
1 PT. Pasangkayu Peringkat Proper Hijau 2015
dan Kehutanan RI
Menteri Lingkungan Hidup
2 PT. Letawa Peringkat Proper Hijau 2015
dan Kehutanan RI
Menteri Lingkungan Hidup
3 PT. Unggul Agribaras Peringkat Proper Biru 2015
dan Kehutanan RI

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U - 10
Nama Orang Tahun
No. Nama Penghargaan Pemberi Penghargaan
/Kelompok/Organisasi Penghargaan
Menteri Lingkungan Hidup
4 PT. Unggul WTL Peringkat Proper Biru 2015
dan Kehutanan RI
Menteri Lingkungan Hidup
5 PT. Surya Raya Lestari Peringkat Proper Hijau 2015
dan Kehutanan RI
Menteri Lingkungan Hidup
6 PT. Surya Raya Lestari II Peringkat Proper Biru 2015
dan Kehutanan RI
PT. Manakarra Unggul Menteri Lingkungan Hidup
7 Peringkat Proper Biru 2015
Lestari dan Kehutanan RI

8 SMP PT. Pasangkayu Adiwiyata Nasional Menteri LHK dan Mendiknas 2015

9 SD Negeri 01 Pasangkayu Adiwiyata Nasional Menteri LHK dan Mendiknas 2015

SD Negeri 029 Inpres


10 Adiwiyata Nasional Menteri LHK dan Mendiknas 2015
Sumberjo
Pemerintah Kabupaten Penyusun SLHD
11 Gubernur Sulawesi Barat 2015
Majene Terbaik Pertama
Pemerintah Kabupaten Penyusun SLHD
12 Gubernur Sulawesi Barat 2015
Polewali Mandar Terbaik Kedua
Pemerintah Kabupaten Penyusun SLHD
13 Gubernur Sulawesi Barat 2015
Mamuju Terbaik Ketiga
Sekolah Adiwiyata
14 SMP PT. Pasangkayu Gubernur Sulawesi Barat 2015
Provinsi
Sekolah Adiwiyata
15 SMA Neg. 1 Sendana Gubernur Sulawesi Barat 2015
Provinsi
SD Negeri 02 Kampung Sekolah Adiwiyata
16 Gubernur Sulawesi Barat 2015
Baru Provinsi
Sekolah Adiwiyata
17 SMKN 3 Majene Gubernur Sulawesi Barat 2015
Provinsi
SD Negeri 029 Inpres Sekolah Adiwiyata
18 Gubernur Sulawesi Barat 2015
Sumberjo Provinsi
Sekolah Adiwiyata
19 SMA Negeri 3 Polewali Gubernur Sulawesi Barat 2015
Provinsi
Sekolah Adiwiyata
20 SMP Negeri 3 Polewali Gubernur Sulawesi Barat 2015
Provinsi
Sekolah Adiwiyata
21 MAN Polman Gubernur Sulawesi Barat 2015
Provinsi
Sekolah Adiwiyata
22 SD Negeri 066 Pekkabata Gubernur Sulawesi Barat 2015
Provinsi
Sekolah Adiwiyata
23 SMA Negeri 1 Polewali Gubernur Sulawesi Barat 2015
Provinsi
Sumber : Tabel UP-7 Buku Data

Kegiatan Sosialisasi Lingkungan Hidup

Dalam mendorong partisipasi masyarakat serta meningkatkan kemampuan


aparatur dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka
diperlukan penyuluhan dan sosialiasi kepada masyarakat serta pelatihan-
pelatihan kepada aparatur pengelola lingkungan. Dalam tahun 2015, pemerintah

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U - 11
Provinsi Sulawesi Barat melalui Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat
dan beberapa Instansi Terkait Lingkungan Hidup telah melakukan berbagai
kegiatan sosialisasi baik kepada masyarakat maupun terhadap aparat
pemerintah sebagai pengambil kebijakan mengenai pentingnya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.

Berikut beberapa kegiatan sosialiasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi


Sulawesi Barat dalam tahun anggaran 2015 baik yang bersumber dari Anggaran
Belanja Daerah maupun melalui dana Dekonsetrasi.

Tabel 4.8 : Pelaksanaan Sosialisasi Tahun Anggaran 2015


Waktu
No. Nama Kegiatan Instansi Penyelenggara Kelompok Sasaran Penyuluhan
(Bulan/tahun)
1 Sosialisasi dan BLH Provinsi Anggota Komisi Penilai Amdal, April 2015
pembinaan Lisensi Tim Teknis Komisi Penilai
Komisi Penilai Amdal dan Sekretariat Komisi
Amdal di Penilai Amdal Kabupaten
Kabupaten Polewali Polewali Mandar
Mandar
2 Sosialisasi dan BLH Provinsi Anggota Komisi Penilai Amdal, April 2015
pembinaan Lisensi Tim Teknis Komisi Penilai
Komisi Penilai Amdal dan Sekretariat Komisi
Amdal di Penilai Amdal Kabupaten
Kabupaten Majene Polewali Mandar
3 Pelatihan Fasilitator Dinas Kesehatan Propinsi Dinas Kesehatan Kabupaten April 2015
STBM (Sanitasi Sulawesi Barat dan Puskesmas di 6 kabupaten
Total Berbasis
Masyarakat)
4 Pelatihan Dinas Kesehatan Propinsi Dinas Kesehatan Kabupaten Juni 2015
Pengawasan Sulawesi Barat dan Puskesmas
Kualitas Air
5 Sosialisasi Proper Bid. Pengendalian Perusahaan dan Rumah Sakit Juli 2015
Pencemaran dan
Pengelolaan Limbah BLH
Prov. Sulbar
6 Sosialisasi Disbun Provinsi Poktan Kakao di Desa Ako kec. Agustus 2015
Pembinaan Petani Pasangkayu Kab. Mamuju
pemakai Air Utara
7 Sosialisasi / Bimtek Bid. Pengendalian Hotel, Rumah Sakit/ November 2015
Pengelolaan B3 Pencemaran dan Puskesmas, Bengkel, Instansi
dan LB3 Pengelolaan Limbah BLH Terkait,
Prov. Sulbar Perusahaan/Wiraswasta
8 Sosialisasi Rendah Disbun Provinsi Poktan Kakao di Desa Bebanga Nopember 2015
Emisi Karbon Kec. Kalukku Kab. Mamuju
9 Advokasi dan Dinas Kesehatan Propinsi Lintas Sektor (Kelautan & Nopember 2015
Sosialisasi Pasar Sulawesi Barat Perikanan, Perdagangan,
Sehat Perindustrian & Koperasi,
Bappeda, PMD)

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U - 12
Waktu
No. Nama Kegiatan Instansi Penyelenggara Kelompok Sasaran Penyuluhan
(Bulan/tahun)
10 Orientasi Dinas Kesehatan Propinsi Pengelola Program Kesling Desember 2015
Pengelolaan Sulawesi Barat Dinkes Kab, RSUD Kabupaten
Limbah Medis di dan Propinsi, BLH Kabupaten
Fasiltas Pelayanan dan Propinsi
Kesehatan
11 Pelatihan Dinas Kesehatan Propinsi Dinas Kesehatan Kabupaten Desember 2015
Penyusunan Sulawesi Barat
Rencana Kerja
Pengamanan Air
Minum (RK-PAM)
12
Evaluasi Hygiene Dinas Kesehatan Propinsi Dinas Kesehatan Kabupaten Desember 2015
Sanitasi Pangan Sulawesi Barat dan Puskesmas
Sumber : Tabel UP-8 Buku Data

IV-E. KELEMBAGAAN

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2014, maka pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam mengatur
dan mengelola daerah masing-masing. Agar pelaksanaan pembangunan daerah
dapat berjalan optimal, maka diperlukan penguatan kelembagaan baik dari segi
kapasitas maupun dari segi sumber daya manusia yang mengelolanya.

Produk hukum bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Provinsi Sulawesi Barat yang terbentuk sejak Tahun 2004 berdasarkan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2004 telah menetapkan berbagai kebijakan daerah
untuk meberikan proteksi terhadap kegiatan pembangunan. Salah satunya adalah
di bidang lingkungan hidup. Berdasarkan amanah yang tercantum dalam undang-
undang bahwa setiap daerah berhak untuk mengatur daerah masing-masing
melalui peraturan-peraturan daerah yang lebih spesifik menurut keadaan daerah
masing masing.

Di bidang lingkungan hidup, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat telah menetapkan


berbagai peraturan daerah terkait kebijakan pembangunan yang mengarah
terhadap pengelolaan linkgungan. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Nomor
4 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagai
tindak lanjut dari penyusunan Peraturan Daerah tersebut, maka sesuai dengan
ketentuan, maka pemerintah wajib segera menyusun peraturan pelaksanaannya.
Untuk itu, pada tahun 2015 ini, Pemerintah Provinsi melalui Badan Lingkungan
Hidup menetapkan dua Peraturan Gubernur.

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U - 13
Berikut daftar produk hukum yang telah ditetapkan dalam kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Sulawesi Barat :

Tabel 4.9 : Produk Hukum Bidang Lingkungan Hidup


Jenis Produk
No. Nomor Tahun Tentang
Hukum
1 Peraturan 25 Tahun 2015 2015 Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
Gubernur dilengkapi dengan Dokumen UKL/UPL
2 Peraturan 34 Tahun 2015 2015 Baku Mutu Air
Gubernur
3 Keputusan 98/HK.SB/30/II/2015 2015 Pelimpahan sebagian kewenangan
Gubernur pengenaan sanksi administratif terhadap
pelanggaran izin lingkungan kepada Kepala
BLH Provinsi Sulawesi Barat
4 Keputusan 101/HK.SB/30/III/2015 2015 Pembentukan Tim Pembina dan Penilai
Gubernur Adiwiyata Provinsi Sulawesi Barat
5 Keputusan 285/HK.SB/30/III/2015 2015 Pembentukan tim penyusun rancangan
Gubernur pergub tentang jenis usaha dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan
dokumen UKL/UPL
6 Keputusan 478/HK.SB/30/V/2015 2015 Izin lingkungan rencana kegiatan
Gubernur pembangunan gardu T/L 150 KV Mamuju
dan gardu induk terkait oleh PT. PLN IUP
XIII
7 Keputusan 188.4/580/Sulbar/VIII/2015 2015 Pembentukan tim penilai profil pengelolaan
Gubernur tutupan vegetasi kabupaten danlam rangka
program MIH Provinsi Sulawesi Barat
Tahun 2015
8 Keputusan 188.4/629/Sulbar/IX/2015 2015 Pembentukan Tim Penyusun Status
Gubernur Lingkungan Hidup Daerah Provinsi
Sulawesi Barat Tahun 2015
Sumber : Tabel UP-12 Buku Data

Anggaran Pengelolaan Lingkungan Hidup

Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan,


maka dibutuhkan dukungan dana yang memadai untuk memperbaiki kualitas
lingkungan hidup. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran
yang cukup untuk pengelolaan lingkungan hidup.

Anggaran pengelolaan lingkungan hidup bersumber dari Anggaran Pendapatan


Belanja Daerah dan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional pada Pos Anggaran
Lingkungan Hidup yang diaokasikan untuk kegiatan Standar Pelayanan Minimal
mendapatkan porsi yang cukup tinggi.

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat dilihat bahwa anggaran pengelolaan


linkgungan hidup yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U - 14
mengalami peningkatan yang cukup signifikan akan tetapi anggaran yang
bersumber dari APBN untuk tahun 2015 ini mengalami penirunan yang sangat
signifikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini :

Tabel 4.10 : Perbandingan Anggaran Lingkungan Hidup Tahun 2013 2015


Jumlah Anggaran
No. Sumber Anggaran
Tahun 2015 Tahun 2014 Tahun 2013

1 APBD 21079938500 7947000000 4210406350

2 APBN 1300000000 2414050000 4500000000

3 Bantuan Luar Negeri*) N/A N/A N/A

Total 22379938500 10361050000 8710406350


Sumber : tabel UP-10A Buku Data

Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa anggaran di bidang


pengelolaan lingkungan hidup dari tahun ke tahun mengalami peningkatan,
khususnya pada alokasi anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi di tahun 2015 ini yakni
hampir mencapai 150 persen. Namun demikian, pada anggaran yang bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja nasional mengalami penurunan lebih dari
100 persen.

Berikut grafik perbandingan anggaran pengelolaan di bidang lingkungan hidup


dalam tiga tahun terakhir.
Grafik 4.1 : Perbandingan anggaran pengelolaan lingkungan tahun 2013 2015

Sumber : Olah Data Tabel UP-10 Buku Data

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U - 15
Sebagai wujud dari bentuk pelayanan keada masyarakat, pelaksanaan kinerja
pemerintahan dapat diukur dari standar pelayanan minimal yang dilakukan dalam
setiap kegiatan. Sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan, maka
dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, terdapat empat
komponen yang harus dilaksanakan sebagai wujud dari standar pelayanan
minimal bidang lingkungan hidup antara lain : Kualitas Air, Kualitas Udara, Tutupan
Lahan dan Penegakan Hukum Lingkungan.
Untuk anggaran Lingkungan Hidup tahun 2015 yang dialokasikan untuk kegiatan
Standar Pelayanan Minimal dapat dijabarkan melalui tabel berikut :
Tabel 4.11 : Anggaran Lingkungan Hidup untuk kegiatan SPM
Jumlah Anggaran Julah Anggaran
No. Sumber Anggaran Peruntukan Anggaran
Sebelumnya Tahun Berjalan

1 APBD Pemantauan Kualitas Air Sungai 43000000 41230000

APBD Pemantauan Kualitas Udara 90000000 90320000

APBD Pengelolaan Pos P3SLH 104710000 64900000

APBD SPM Bidang Lingkungan Hidup 140678000 N/A

2 APBN Pemantauan Kualitas Air Sungai 290979000 310800000

APBN Pemantauan Kualitas Udara 461952000 411945000

3 Bantuan Luar Negeri N/A N/A N/A


Sumber : Tabel UP-10 Buku Data

Jumlah Personil Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup menurut Tingkat


Pendidikan
Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan di bidang lingkungan hiudp, maka
diperlukan tenaga yang memadai. Hingga saat ini, jumlah personil institusi
lingkungan hidup belum memadai. Untuk memenhi standar pelayanan
sebagaimana diatur dalam proporsional jumlah pegawai negeri sipil pada setiap
instansi bahwa setiap seksi membawahi 3 orang staf, maka jumlah personil Badan
Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat seharusnya berjumlah minimal 50
orang, namun hingga tahun 2015 jumlah personil Badan lingkungan hidup baru
mencapai 45 orang.
Jika ditinjau dari segi kualitas pendidikan, aparatur pengeelola lingkungan hidup di
Provinsi Sulawesi Barat, sebanyak 62,22 persen berpendidikan S1, 17,78 persen
berpendidikan SLTA dan sederajat, 13,33 persen berpendidikan S2 dan 6,67

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U - 16
persen berpendidikan diploma, sedangkan untuk pendidikan S3 untuk jumlah
seluruh pegawai aparatur di Provinsi Sulawesi Barat masih sangat terbatas.
Berikut komposisi personil institusi pengelola lingkungan hidup di Sulawesi Barat
hingga akhir tahun 2015.
Grafik 4.2 : Jumlah Personil Institusi Lingkungan Hidup

Sumber : BLH Prov. Sulbar

Jumlah staf Fungsional Bidang Lingkungan Hidup dan staf yang telah mengikuti
diklat.
Berdasarkan struktur organisasi Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat,
sampai saat ini belum ada staf Lingkungan Hidup yang menduduki jabatan
fungsional. Hal ini disebabkan karena belum adanya panduan untuk penetapan
staf fungsional di bidang lingkungan hidup.
Untuk PPNS dan PPLH dari jumlah staf yang ada, beberapa diantaranya sudah
mengikuti beberapa pendidikan dan pelatihan, khusunya PPLH namun belum
secara resmi dilantik menjadi pejabat PPLH. Dari data yang terhimpun, sudah ada
9 Staf yang telah mengikuti diklat PPLH dan PPNS namun belum ada yang
ditetapkan sebagai pejabat fungsional.

Upaya Pengelolaan Lingkungan


U - 17
Daftar Pustaka

Kementerian Lingkungan Hidup. (2013). Panduan Penyusunan Status Lingkungan


Hidup Daerah 2013-2015. Jakarta: Sekretariat Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

Daniel C. Esty, C. K. (2008). Environmental Performance Index. New Haven: Yale


Center for Environmental Law and Policy.

VCU Center for Environmental Studies. (2000, December 6). Virginia Environmental
Quality Index. Dipetik March 10, 2009, dari Virginia Commonwealth
University: http://www.veqi.vcu.edu/index.htm

Supriharyono. (2007). Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir


dan Laut Tropis. Penerbit Pustaka Pelajar Jakarta.

Gupta, T.R. & Foster, J.H. (1975). Economic Criteria for Freshwater Wetland Policy
in Massachusetts. American Journal of Agricultural Economics.

Dahuri, dkk. (2001). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta.

Gufron & Kordi, (2011). Ekosistem Padang Lamun, Fungsi Potensi dan
Pengelolaan. Rineka Cipta, Jakarta.

Himnasurai Untama, (2012). Pengelolaan Padang Lamun. Himpunan Mahasiswa


Manajemen Sumberdaya Perairan (Himnasurai), Universitas
Antakusuma Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Santoso Budi, (1999). Ilmu Lingkungan Industri, Universitas Guna Darma, Depok :
https://agungborn91.wordpress.com/2010/11/05/dampak-
pertumbuhan-penduduk-terhadap-pendidikan-anak-anak/

Kementerian Lingkungan Hidup. (2009). Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009


Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup RI. Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup. (1999). Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun


1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup. (2001). Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun


2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup. (2003). Keputusan Menteri Negara Lingkungan


Hidup Nomor 115 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status
Mutu Air. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Bappeda Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Perda Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1
Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi
Barat 2015-2034. Mamuju: Bidang Fisik dan Sarana Prasaranan
Wilayah.

BPS Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Sulawesi Barat Dalam Angka 2015. Mamuju :
Sekretariat BPS Provinsi Sulawesi Barat.

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. (1997). Keputusan Kepala Bapedal


Nomor 107 Tahun 1997 Tentang Perhitungan dan Pelaporan serta
Informasi Indeks Standar Pencemar Udara. Jakarta: Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2012). Profil Kehati Provinsi
Sulawesi Barat. Mamuju: Bidang Pengendalian Kerusakan dan
Konservasi SDA

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Laporan Pelaksanaan


Pos P3SLH Provinsi Sulawesi Barat. Mamuju: Bidang Penaatan dan
Komunikasi Lingkungan.

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Laporan Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. Mamuju: Bidang Penaatan
dan Komunikasi Lingkungan.

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Laporan Koordinasi


Pengawasan Lingkungan dan Pengelolaan Pos P3SLH Provinsi Sulawesi
Barat. Mamuju: Bidang Penaatan dan Komunikasi Lingkungan.

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Laporan Pemantauan


Kualitas Air Sungai. Mamuju: Bidang Pengendalian Pencemaran dan
Pengelolaan Limbah

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Laporan Pemantauan


Kualitas Udara Perkotaan. Mamuju: Bidang Pengendalian Pencemaran
dan Pengelolaan Limbah
BIDANG PENAATAN DAN KOMUNIKASI LINGKUNGAN
BADAN LINGKUNGAN HIDUP
PROVINSI SULAWESI BARAT TAHUN 2015

Anda mungkin juga menyukai