Anda di halaman 1dari 40

PENDUGAAN ALIRAN PERMUKAAN BERDASARKAN

KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI WALANAE,


SULAWESI SELATAN

ASRIANI ABUBAKAR

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pendugaan Aliran


Permukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah Aliran Sungai Walanae, Sulawesi
Selatan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014

Asriani Abubakar
NIM G24090053
ABSTRAK

ASRIANI ABUBAKAR. Pendugaan Aliran Permukaan Berdasarkan


Karakteristik Daerah Aliran Sungai Walanae, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh
HIDAYAT PAWITAN.

Pengaruh respon hidrologis berupa limpasan permukaan yang terjadi pada


daerah aliran sungai (DAS) Walanae dapat diketahui melalui besar kecilnya nilai
curah hujan yang jatuh di sepanjang DAS dan karakteristik biofisik DAS tersebut.
Ketika hujan yang terjadi adalah kecil atau sedang, aliran permukaan hanya terjadi
di daerah yang impermeabel dan jenuh di dalam suatu DAS atau langsung jatuh di
atas permukaan air. Morfometri DAS yang diamati pada DAS Walanae adalah
pola jaringan sungai, orde sungai, kerapatan aliran, rasio percabangan dan
kemiringan lereng. Kondisi DAS Walanae dapat diketahui dengan menghitung
koefisien regim sungai (KRS), yang merupakan nisbah antara debit maksimum
dan minimum. Nilai KRS yang diperoleh tahun 2007 = 229 ; 2008 = 276 ; 2009 =
245 ; dan 2010 = 340. Nilai tersebut menunjukkan bahwa DAS Walanae telah
mengalami gangguan atau kerusakan dibagian hulu DAS, karena nilai KRS >120
dan cenderung mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Analisis pendugaan aliran permukaan DAS Walanae menggunakan
metode Soil Conservation Service (SCS), diperoleh dengan menghitung nilai
curve number (CN) DAS. Berdasarkan hasil analisis, kemampuan DAS Walanae
pada tahun 2010 dalam melimpaskan air lebih tinggi (154,29 m3/s) dibandingkan
pada tahun 2005 (13,32 m3/s). Nilai limpasan yang besar ini berdasarkan nilai CN
DAS yang besar pula, ketika nilai CN besar maka limpasan permukaan yang
dihasilkan akan menjadi besar.

Kata kunci : curve number, limpasan permukaan, metode SCS, morfometri


ABSTRACT

ASRIANI ABUBAKAR. Surface Runoff Estimation Based on Characteristics of


The Walanae River Basin, South Sulawesi. Supervised by HIDAYAT PAWITAN.

Influence of hydrological response of surface runoff which occurred in


Walanae Watershed can be known through large or small values of rainfall along
river basin and the biophysical characteristics of river basin. When rainfall is
small or moderate, surface runoff only occurred in region that impermeable and
saturated in a river flow area / or direct falls on surface of the water.
Morphometric observed in the riverbank of Walanae is the pattern river network,
river order, flow drainage density, the ratio of river branching, and slope degree.
Conditions of Walanae basin can be represented by calculating the coefficient of
riverflow regim, which is the ratio between maximum and minimum discharges.
The value of the river regim coefficients that obtained for each year respectively
are; 2007 = 229; 2008 = 276; 2009 = 245; and 2010 = 340. These values indicate
that the river basin Walanae has experienced degradation or malfunction of
upstream watersheds, because the value of the coefficient of regim river >120 and
tend to increase each year.
Estimation analysis of watershed surface runoff of Walanae using method of
Soil Conservation Service (SCS), is obtained by calculating the curve number of
the river basin. Based on the analysis results, surface runoff capability of
watershed Walanae in 2010 is higher (154.29 m3/s) than in 2005 (13.32 m3/s).
This large runoff values is caused by current curve number of this large
watershed. Larger value of curve number resulting larger value of surface runoff.

Keywords: curve number, morphometric, surface runoff, SCS method


PENDUGAAN ALIRAN PERMUKAAN BERDASARKAN
KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI WALANAE,
SULAWESI SELATAN

ASRIANI ABUBAKAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Program Sarjana Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Pendugaan Aliran Permukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah
Aliran Sungai Walanae, Sulawesi Selatan
Nama : Asriani Abubakar
NIM : G24090053

Disetujui oleh

Prof. Dr.Ir. Hidayat Pawitan M.Sc.E


Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Tania June M.Sc


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Pendugaan Aliran Perrnukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah
Aliran Sungai WaIanae, Sulawesi Selatan
Nama : ASliani Abubakar
NIM : G24090053

Disetujui oleh

Prof. Dr.lr. Hidayat Pawitan M.Sc.E

Pembimbing

;' Dt.'Tr. Tania June MSc


..~ ~ :ketua Departemen
-

anggal Lulus: 0 5 MAR 20 14


PRAKATA

Alhmadulillahi Robbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada


Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan
judul Pendugaan Aliran Permukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah Aliran
Sungai Walanae, Sulawesi Selatan berhasil diselesaikan. Skripsi ini merupakan
tugas akhir yang penulis buat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen
Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Keluarga besar khususnya Bapak, Ibu, dan Adik (Ardi) tercinta atas
segala doa, kasih sayang dan dukungannya selama ini yang tak terkira.
2. Bapak Prof. Dr.Ir. Hidayat Pawitan M.Sc.E selaku dosen pembimbing
atas segala bimbingan, saran, dan arahannya.
3. Bapak Ir Bregas Budianto, Ass.Dpl selaku pembimbing akademik.
4. Bapak Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.Si dan Bapak Dr. Rahmat
Hidayat selaku penguji sidang tugas akhir penulis.
5. Seluruh Dosen dan staf Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB
sebagai tempat menimba ilmu bagi penulis.
6. Seluruh staf Dinas Kehutanan Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(BPDAS) Je’neberang dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)
Pompengan-Je’neberang yang telah membantu selama proses
pengumpulan data.
7. Seluruh staf pengajar dan rekan-rekan (teman, adik dan kakak) di
GUPPI SAMATA atas dukungan, semangat serta doa yang tak ternilai
yang selalu diberikan.
8. Teman-teman seperjuangan (GFM 46 dan CSS 46) atas suka duka yang
mewarnai kebersamaan selama di Institut Pertanian Bogor.
9. Kak Ikrima atas bantuan dan bimbingannya dalam pengolahan data
penelitian penulis.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan
yang telah diberikan selama penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Maret 2014

Asriani Abubakar
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai 3
Daerah Aliran Sungai (DAS) 3
Karakterisitik Daerah Aliran Sungai 5
Limpasan Permukaan (runoff) 7
Metode Soil Conservation Service (SCS) 8
METODE 9
Bahan 9
Alat 9
Prosedur Analisis Data 10
Analisis Karakteristik dan Morfometri DAS 10
Analisis Curah Hujan Wilayah 11
Perhitungan Limpasan Permukaan dan Koefisien Limpsan 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae 12
Karakteristik Curah Hujan dan Debit DAS Walanae 14
Analisis Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Limpasan Permukaan dan
Aliran Permukaan 16
Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) DAS Walanae 16
Limpasan Permukaan (run off) dan Koefisien Limpasan Permukaan 17
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 22
RIWAYAT HIDUP 29
DAFTAR TABEL
1 Morfometri (faktor sungai) DAS Walanae Hulu 12
2 Morfometri (faktor areal) DAS Walanae Hulu 12
3 Nilai KRS DAS Walanae Hulu 16
4 Luas Kelompok Hidrologi Tanah DAS Walanae tahun 2010 16
5 Aliran permukaan dan koefisien limpasan DAS Walanae 18

DAFTAR GAMBAR
1 Batas DAS 4
2 Pola pengaliran sungai 6
3 Orde Sungai Metode Strahler 10
4 Kemiringan lereng DAS Walanae 14
5 Pola distribusi curah hujan rata-rata bulanan DAS Walanae 15
6 Perbandingan debit aliran dan curah hujan DAS Walanae Hulu 15
7 Kelompok hidrologi tanah (KHT) DAS Walanae tahun 2010 17
8 Korelasi debit observasi (pengukuran) dan limpasan permukaan DAS
Walanae tahun 2005 (a) dan 2010 (b) 19

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kriteria Kategori AMC 22
2 Karakteristik nilai Rb 22
3 Karakteristik nilai kerapatan indeks sungai(Dd) 22
4 Tingkat kelas lereng 23
5 Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) 23
6 Kriteria nilai CN berdasarkan tipe penggunaan lahan 23
7 Perhitungan CN DAS Walanae tahun 2005 24
8 Perhitungan CN DAS Walanae tahun 2010 24
9 Debit bulanan Bendung Sanrego 24
10 Debit bulanan Ujung Lamuru 25
11 Curah hujan bulanan Stasiun Bance 25
12 Curah hujan bulanan Stasiun Palattae 26
13 Curah hujan bulanan Stasiun Tapale 26
14 Peta ordo sungai Walanae Hulu 27
15 Peta sub DAS Walanae 28
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah aliran sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu


hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung
bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut
atau danau. Kondisi fisik DAS yang hingga saat ini telah mengalami gangguan
(kerusakan) yang menyebabkan semakin tingginya frekuensi banjir, kekeringan,
dan tanah longsor. Perlu adanya pengelolaan DAS berupa upaya manusia dalam
mengatur hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di
dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian
ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia
secara berkelanjutan (PP RI No 37 tahun 2012).
Perubahan penggunaan lahan dapat secara signifikan mengubah jumlah
dan tipe pencemaran pada sebuah sistem sungai. Kerusakan lahan merupakan
faktor utama penyebab besarnya erosi pada suatu DAS. Kerusakan lahan dapat
menganggu pasokan/ketersediaan air untuk air baku air minum dan kegiatan
domestik, kegiatan PLTA, pertanian, industri dan sebagainya. Semakin besar
kawasan ruang terbuka hijau dikonversi menjadi bangunan-bangunan beton
permanen, semakin besar aliran permukaan yang muncul. Hal inilah yang
menjadi penyebab terjadinya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim
kemarau.
Hujan yang terjadi pada suatu wilayah menyebabkan air hujan yang jatuh
di atas permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah sebagai infiltrasi. Namun
karena kemampuan tanah dalam menyerap air terbatas, sehingga tidak semua air
tersebut masuk ke dalam tanah, sebagian air hujan akan melimpas di atas
permukaan tanah. Aliran air hujan di permukaan ini akan mengalir ke tempat yang
lebih rendah hingga sampai ke sungai atau parit. Curah hujan yang tidak mampu
terinfiltrasi oleh tanah akan mengalir di atas tanah dan biasa disebut dengan
limpasan permukaan. Besar kecilnya aliran permukaan dipengaruhi oleh faktor
yang berkaitan dengan iklim (khususnya curah hujan), dan faktor-faktor yang
berkaitan dengan karakteristik daerah alirah sungai.
Luas lahan kritis dalam DAS merupakan salah satu indikasi tingkat
kekritisan suatu DAS. Di Indonesia lahan kritis masih terus berkembang dan telah
mencapai 77,8 juta ha (Departemen Kehutanan 2007) yang tersebar di dalam
kawasan hutan sekitar 51 juta ha dan di luar kawasan hutan kurang lebih seluas
26,8 juta ha. Semakin luasnya lahan kritis dalam DAS dan jumlah DAS prioritas
yang masih besar, menunjukkan sistem pengelolaan DAS yang diterapkan sampai
dengan saat sekarang masih belum efektif. Perkembangan politik, sosial,
ekonomi, kelembagaan maupun teknologi yang dinamis yang belum mampu
diimbangi dengan sistem pengelolaan yang ada sekarang. Dinamika politik yang
utama berpengaruh terhadap sistem pengelolaan DAS dengan adanya kewenangan
otonomi pemerintahan daerah (UU No 32 tahun 2004).
2

DAS Walanae termasuk dalam kategori DAS prioritas I (satu) dengan luas
wilayah 478.932,72 Ha dan mencakup wilayah adminstrasi Kabupaten Maros,
Bone, Wajo dan Soppeng dengan sungai utama Sungai Walanae yang bermuara di
Teluk Bone. Pada saat banjir, aliran Sungai Walanae dapat masuk ke Danau
Tempe yang menyebabkan peningkatan tinggi muka air di Danau Tempe
(umumnya terjadi ketika terdapat peningkatan tinggi muka air Sungai Bila).
Sedimentasi di Danau Tempe per tahun adalah 1-3 cm. Akibat sedimentasi ini,
danau mengalami pendangkalan dan menyebabkan terjadinya bencana banjir di
musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Pendangkalan yang terjadi pada
Danau Tempe secara alami diakibatkan oleh sedimentasi yang dibawa oleh inlet
sungai yang bermuara di Danau Tempe seperti Sungai Lawo, Sungai Batu-batu,
Sungai Belokka, dan Sungai Walanae. Terjadinya pendangkalan tersebut
mengakibatkan penurunan kapasitas tampung pada danau, sehingga memicu
terjadinya bencana banjir di daerah tersebut (BPDAS Je’neberang Walanae 2010).
Peran DAS Walanae sangat penting dalam sistem tata air di Kabupaten
Bone, Soppeng, Wajo, dan Maros. Kondisi penutupan lahan yang semakin terbuka
dan tingginya sedimentasi mengakibatkan meluapnya sungai Walanae dan
pendangkalan di Danau Tempe. Berdasarkan data dari Dinas PSDA Sulsel, tingkat
sedimentasi di Sungai Walanae sebesar 210.131 mg/ltr dengan tingkat erosi rata-
rata tiap sub DAS sebesar 68.804,67 ton/tahun. Penelitian ini menggunakan
metode SCS-CN (Soil Conservation Service-Curve Number). Metode SCS pada
penelitian ini akan digunakan untuk melihat seberapa besar limpasan permukaan
yang terjadi di DAS Walanae yang mempertimbangkan faktor yang umum sangat
berpengaruh pada kemampuan suatu DAS untuk melimpaskan debit, yaitu tipe
penggunaan lahan. Adanya perubahan penutupan atau penggunaan di suatu
wilayah dalam DAS akan mempengaruhi karakteristik debit puncak dan limpasan
permukaannya.

Perumusan Masalah

Limpasan permukaan yang terjadi pada DAS Walanae dipengaruhi oleh


beberapa faktor, yaitu berupa faktor curah hujan dan faktor daerah aliran sungai
yang menyatakan sifat-sifat fisik DAS (penggunaan lahan, topografi, jenis tanah
dan pola pengaliran).

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mempelajari karakteristik


biofisik DAS Walanae dan menduga debit limpasan permukaan berdasarkan data
debit dan curah hujan.

Manfaat Penelitian

Hasil perhitungan yang dilakukan pada penelitian terkait morfometri dan


debit limpasan DAS Walanae dapat memberikan gambaran terkait karakteristik
DAS Walanae dalam keadaan baik atau telah mengalami gangguan (kerusakan).
3

Ruang Lingkup Penelitian

Analisis karakteristik daerah aliran sungai (DAS) ini dilakukan di DAS


Walanae dengan luas 4466 Km2. Aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah
karakteristik DAS berdasarkan faktor fisik dan meteorologis DAS itu sendiri.
Selain itu, dilakukan analisis pengaruh curah hujan di DAS Walanae terhadap
limpasan permukaan dengan menggunakan metode Soil Conservation Services
(SCS).

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai

Sistem hidrologi adalah suatu proses pergerakan air secara terus menerus
dari atmosfer yang kemudian dalam bentuk presipitasi jatuh ke bumi melalui
berbagai peristiwa dan proses masuk ke dalam saluran atau sungai, mengalir
kembali ke laut dan menguap kembali ke udara (Seyhan 1990). Menurut Ward
dan Robinson (1990) siklus hidrologi menyediakan konsep pengantar yang
bermanfaat dalam menggambarkan hubungan antara presipitasi dan aliran sungai
yang dapat dinyatakan dalam berbagai cara.
Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah sebagian akan masuk
(terserap) ke dalam tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap
ke dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan
tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke
tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air
infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan
membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban air tanah telah cukup
jenuh maka air hujan yang baru masuk akan bergerak secara lateral (horizontal)
untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah
(subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Alternatif lainnya, air hujan
yang masuk ke dalam tanah tersebut akan bergerak vertikal ke tanah yang lebih
dalam dan menjadi bagian dari air tanah (groundwater). Air tanah tersebut,
terutama pada musim kemarau akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau atau
tempat penampungan air alamiah lainnya (baseflow) (Asdak 2001).

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (Watershed) yang umumnya disingkat DAS pada


dasarnya merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami,
yang batas daratnya merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan. Satu atau
lebih DAS dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya ≤ 2000 km2 membentuk satu
kesatuan wilayah pengelolaan SDA yang disebut Wilayah Sungai/River Basins
(Pasal 1 UU No. 7/2004). DAS di beberapa tempat di Indonesia berperan sangat
penting sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi
dan pemanfaatan sumber daya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi
4

belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi


meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan
kekeringan.
DAS adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung atau
pegunungan dimana air yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir menuju
sungai utama pada suatu titik atau stasiun yang ditinjau. DAS ditentukan dengan
menggunakan peta topografi yang dilengkapi dengan garis-garis kontur. Garis-
garis kontur dipelajari untuk menentukan arah dari limpasan permukaan.
Limpasan berasal dari titik-titik tertinggi dan bergerak menuju titik-titik lebih
rendah dalam arah tegak lurus dengan garis-garis kontur. Daerah yang dibatasi
oleh garis yang menghubungkan titik-titik tertinggi tersebut adalah DAS. Air
hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau,
sedang yang jatuh di luarnya akan mengalir ke sungai lain di sebelahnya
(Triatmodjo 2010).
DAS suatu area di permukaan bumi di dalamnya terdapat sistem
pengaliran yang terdiri dari satu sungai utama (main stream) dan beberapa anak
cabangnya (tributaries) yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air dan
mengalirkan air melalui satu keluaran (outlet) (Soewarno 1995). Luas masing-
masing DAS berbeda-beda, ada yang kecil dan ada yang luas. DAS yang luas
terdiri dari dari beberapa sub DAS, dan sub DAS ini terdiri dari beberapa sub-sub
DAS, tergantung banyaknya anak sungai dari cabang sungai yang merupakan
bagian dari suatu sistem sungai utama. DAS mempunyai karakteristik yang
berkaitan erat dengan unsur utamanya, seperti tata guna lahan, topografi,
kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik DAS tersebut dalam merespon
curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap
besar kecilnya aliran air sungai (Asdak 2001).

Gambar 1 Batas DAS hingga sub DAS (Strahler, 1957)


5

Karakterisitik Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai suatu daerah


yang dibatasi oleh topografi alami, dimana semua air hujan yang jatuh didalamnya
akan mengalir melalui suatu sungai dan keluar melalui outlet pada sungai tersebut,
atau merupakan satuan hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan
fisik-biologi dan satuan kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan
pengelolaan sumber daya alam (Suripin 2001). DAS memiliki karakteristik yang
berbeda-beda, perbedaan ini ditentukan oleh banyak faktor, antara lain adalah
bentuk dan ukuran DAS, pola drainase serta profil melintang dan gradien
memanjang sungai yang sangat mempengaruhi debit sedimen yang terjadi pada
DAS tersebut (Sosrodarsono dan Takeda 2003). Berdasarkan karakteristik
morfologi dan aliran sungainya, DAS dapat dibagi menjadi bagian hulu dan
bagian hilir. Daerah hulu sungai (upland catchment) memiliki ciri berlereng
curam, batasnya jelas, curah hujan tinggi dan evapotranspirasi rendah. Sedangkan
daerah hilir sungai (lowland catchment) dicirikan oleh banjir pada saat hujan lebat,
pada daerah yang curah hujannya agak kurang maka banjir jarang terjadi dan
secara umum pemukiman dan pengelolaan lahan lebih intensif, pepohonan jarang,
gradien sungai dan erosi rendah. Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS)
meliputi beberapa variable yang dapat diperoleh melalui pengukuran langsung,
data sekunder, peta dan dari data penginderaan jauh (remote sensing) (Seyhan,
1990) menyatakan bahwa karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS)
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: faktor lahan (ground factor), yang
meliputi topografi, tanah, geologi, geomorfologi dan faktor vegetasi dan
penggunaan lahan.
Adapun Pola-pola aliran sungai menurut Soewarno (1991) yaitu:
1. Pola trellis, yaitu pola yang letak anak-anak sungai yang paralel menurut
strike atau topografi yang paralel. Anak-anak sungai bermuara pada sungai
induk secara tegak lurus. Pola pengaliran trellis mencirikan daerah
pegunungan lipatan (folded mountains).
2. Pola rektanguler, dicirikan oleh induk sungainya memiliki kelokan-
kelokan ± 90o, arah anak-anak sungai (tributary) terhadap sungai induknya
berpotongan tegak lurus. Biasanya ditemukan di daerah pegunungan
patahan (block mountains).
3. Pola dendritik, yaitu pola sungai yang anak-anak sungainya (tributaries)
cenderung sejajar dengan induk sungainya. Anak-anak sungainya
bermuara pada induk sungai dengan sudut lancip. Model pola dendritis
seperti pohon dengan tatanan dahan dan ranting sebagai cabang-cabang
dan anak-anak sungainya.
4. Pola radial sentripugal, pola pengaliran beberapa sungai di mana daerah
hulu sungai-sungai itu saling berdekatan seakan terpusat pada satu titik
tetapi muaranya menyebar masing-masing ke segala arah.
5. Pola radial sentripetal, kebalikan dari pola radial yang menyebar dari satu
pusat, pola sentripetal ini justru memusat dari banyak arah. Pola ini
terdapat pada satu cekungan (basin), dan biasanya bermuara pada satu
danau.
6

6. Pola paralel adalah pola pengaliran yang sejajar. Pola pengaliran semacam
ini menunjukkan lereng yang curam.Beberapa wilayah di pantai barat
Sumatera memperlihatkan pola pengaliran parallel.
7. Pola annular, pola pengaliran cenderung melingkar seperti gelang; tetapi
bukan meander. Terdapat pada daerah berstruktur dome (kubah) yang
topografinya telah berada pada stadium dewasa. Daerah dome yang
semula (pada stadium remaja) tertutup oleh lapisan-lapisan batuan
endapan yang berselang-seling antara lapisan batuan keras dengan lapisan
batuan lembut.

Gambar 2 Pola pengaliran sungai (Strahler, 1957)

Morfometri DAS adalah pengukuran bentuk dan pola DAS yang dapat
dilihat dari suatu peta. Gordon (1992) menjelaskan bahwa parameter dalam
morfometri DAS saling berhubungan satu sama lain, sehingga seringkali salah
satu parameter dapat dijadikan pewakil parameter lainnya. Respon hidrologi dari
suatu DAS terhadap masukan curah hujan dijelaskan pula oleh Asdak (2001) yang
menyatakan bahwa beberapa parameter morfometri DAS seperti luas, kemiringan
lereng, bentuk, kerapatan drainase dapat berpengaruh terhadap besaran dan timing
dari hidrograf aliran yang dihasilkannya. Pengaruh luasan DAS terhadap bentuk
hidrograf aliran adalah pada waktu konsentrasi aliran air di daerah outlet dimana
semakin besar luas DAS, maka semakin banyak pula curah hujan yang diterima
namun semakin lama waktu konsentrasi aliran air untuk mencapai debit
puncaknya. Sehingga bentuk hidrograf dari DAS yang mempunyai luasan yang
besar cenderung menjadi lebih panjang.
Kemiringan lereng DAS mempengaruhi cepat lambatnya laju limpasan
yang kemudian dapat mempercepat respon DAS terhadap curah hujan yang terjadi.
DAS yang memiliki topografi relatif datar akan menghasilkan limpasan yang
lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang memiliki topografi yang miring.
Bentuk DAS mempengaruhi laju limpasan dan waktu konsentrasi aliran di daerah
outlet, sehingga dari faktor bentuk DAS ini dapat menghasilkan bentuk hidrograf
yang berbeda antara DAS yang mempunyai bentuk yang memanjang dan sempit
dengan DAS yang berbentuk cenderung membulat dan lebar. DAS yang
memanjang dan sempit cenderung menurunkan laju limpasan sehingga waktu
7

konsentrasi untuk mencapai debit puncak di daerah outlet cenderung lebih lama
daripada DAS yang membulat dan lebar. Kerapatan drainase sangat berpengaruh
dalam menentukan kecepatan limpasan di DAS. Hubungannya adalah semakin
tinggi kerapatan drainase maka semakin besar kecepatan limpasan untuk curah
hujan yang sama di DAS. Oleh karena itu, DAS dengan kerapatan drainase tinggi,
maka debit puncaknya akan tercapai dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan
dengan DAS dengan kerapatan drainase rendah (Asdak 2001).

Limpasan Permukaan (runoff)

Hujan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya


aliran permukaan. Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume
aliran permukaan. Intensitas hujan yang tinggi akan memungkinkan tingginya
aliran permukaan yang terjadi. Menurut Arsyad (2006) proses terjadinya aliran
permukaan adalah curah hujan yang jatuh di atas permukaan tanah pada suatu
wilayah pertama-tama akan masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi setelah
ditahan oleh tajuk pohon sebagai air intersepsi. Infiltrasi akan berlangsung
terus selama air masih berada di bawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus
berlangsung dan kapasitas lapang telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan
tersebut akan tetap terinfiltrasi yang selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan
sebagian digunakan untuk mengisi cekungan atau depresi permukaan tanah
sebagai simpanan permukaan (depression storage), selanjutnya setelah simpanan
depresi terpenuhi, kelebihan air tersebut akan menjadi genangan air yang disebut
tambatan permukaan (detention storage). Sebelum menjadi aliran permukaan
(over land flow), kelebihan air hujan diatas sebagian menguap atau terevaporasi
walaupun jumlahnya sangat sedikit.
Limpasan permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan. Bagian penting dari
limpasan dalam kaitannya dengan rancang bangun pengendali limpasan adalah
besarnya debit puncak (peak flow) dan waktu tercapainya debit pucak, volume dan
penyebaran limpasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan permukaan
dapat dikelompokkan ke dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan
karakteristik DAS. Lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan
mempengaruhi laju dan volume limpasan. Pengaruh DAS terhadap limpasan
adalah melalui bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi, dan keadaan tata guna
lahan (Asdak 2001).
Seyhan (1990) menjelaskan rangkaian air yang memberikan kontribusi
kepada debit sungai sebagai berikut :
1. Curah hujan di saluran (channel precipitation) merupakan curah hujan
yang jatuh langsung pada permukaan air di sungai utama dan anak-anak
sungai yang umumnya termasuk dalam limpasan permukaan. Curah hujan
yang langsung pada sungai merupakan bagian yang sangat kecil dari curah
hujan itu.
2. Limpasan permukaan air adalah yang mencapai sungai tanpa mencapai
permukaan air tanah, yakni curah hujan yang dikurangi sebagian dari
besarnya infiltrasi. Limpasan permukaan menurut Seyhan dibagi dalam
dua sumber yaitu air yang mengalir di atas permukaan tanah dan air yang
8

menginfiltrasi dan mencapai lapisan yang impermeabel, kemudian


sebagiannya mengalir ke sungai (limpasan bawah permukaan).
3. Aliran dasar (base flow). Aliran ini adalah air yang terinfiltrasi ke dalam
tanah, mencapai permukaan air tanah dan bergerak menuju sungai.
Sosrodarsono dan Takeda (2003) menjelaskan elemen–elemen daerah
aliran sungai yang berhubungan dengan daerah limpasan, yaitu :
1. Kondisi penggunaan tanah (landuse). Daerah hutan sulit mengadakan
limpasan permukaan karena kapasitas infiltrasinya besar. Sebaliknya
terjadi apabila daerah tersebut dikosongkan dan dibangun, maka kapasitas
infiltrasi akan turun karena pemampatan permukaan tanah.
2. Daerah pengaliran. Debit banjir yang diharapkan persatuan daerah
pengaliran itu adalah berbanding terbalik dengan daerah pengaliran jika
karakteristik-karakteristik yang lain itu sama.
3. Kondisi topografi dalam daerah pengaliran. Corak, elevasi, gradien, arah
dari daerah pengaliran mempunyai pengaruh terhadap sungai dan hidrologi
daerah pengaliran tersebut.
4. Jenis tanah. Bentuk butir-butir tanah, corak dan cara mengendap adalah
faktor-faktor yang menentukan kapasitas infiltrasi.
5. Faktor-faktor lainnya seperti karakteristik jaringan sungai, daerah
pengaliran yang tidak langsung, dan drainase buatan.

Metode Soil Conservation Service (SCS)

Metode SCS awalnya diperkenalkan oleh US Soil Conservation Service


(sekarang Natural Resources Conservation Service, NRCS). Metode ini terdiri
dari komponen kondisi fisik DAS seperti penutupan lahan dan jenis tanah.
Kondisi penutupan lahan dan jenis tanah tersebut direpresentasikan oleh indeks
curve number (CN). Metode SCS umumnya digunakan untuk DAS dengan luas
yang besar. Komponen yang digunakan dalam metode ini terlalu banyak,
terkadang data yang dibutuhkan tidak ada sehingga butuh asumsi yang harus
dibuat (Arsyad 2010).
Metode SCS merupakan hasil pengamatan curah hujan selama bertahun-
tahun dan melibatkan banyak daerah pertanian di Amerika Serikat. Metode ini
berlaku untuk DAS lebih kecil dari 13 km2 dengan rata-rata kemiringan lahan
kurang dari 30% (Asdak 2001). Dinas konservasi tanah Amerika atau US Soil
Conservation Service mengembangkan suatu metode yang mengaitkan
karakteristik DAS seperti tanah, vegetasi, dan tata guna lahan dengan bilangan
kurva limpasan permukaan (run off curve number) yang menunjukkan potensi air
aliran untuk curah hujan tertentu.
Menurut Arsyad (2010), bilangan kurva aliran permukaan merupakan
pengaruh hidrologi bersama antara tanah, penggunaan lahan, perlakuan terhadap
lahan, keadaan hidrologi dan kandungan air tanah sebelumnya. Metode bilangan
kurva aliran permukaan menunjukkan penaksiran aliran permukaan dari sejumlah
curah hujan, data tanah, dan penutup tanah. Sedangkan, hujan lebih dihitung
berdasarkan informasi bilangan kurva aliran permukaan dan kapasitas timbunan
lengas tanah awal (IA). Curve number menunjukkan potensi terjadinya limpasan.
Angka CN bervariasi dengan selang antara 0–100 dimana nilai ini dipengaruhi
9

oleh kondisi kelompok hidrologi tanah (KHT), AMC (Antecedent Moisture


Condition), penggunaan lahan dan cara bercocok tanam (Murtiono 2008).
Persamaan yang digunakan dalam penentuan besarnya volume limpasan
dengan metode SCS adalah sebagai berikut :

Nilai S dapat diperoleh berdasarkan persamaan :

Metode SCS untuk menentukan laju puncak aliran permukaan


dikemukakan oleh Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat yang semula
dikembangkan untuk curah hujan seragam (Arsyad 2010). Prinsip dasar
perhitungan hidrograf satuan sintetik dengan metode ini adalah perhitungan
bilangan kurva (curve number) aliran permukaan dan hujan dengan asumsi jatuh
di DAS menyebar merata (Seyhan 1990). Pendekatan metode ini mengasumsikan
bahwa volume curah hujan total dialokasikan untuk:
a. Initial abstraction (Ia) yaitu jumlah infitrasi yang harus dipenuhi sebelum
aliran dimulai.
b. Retensi (S) yaitu jumlah hujan yang jatuh setelah initial abstraction
terpenuhi tetapi tidak menambah aliran yang terjadi.
c. Direct Runoff (Q).

METODE

Bahan

Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah


1. Data curah hujan DAS Walanae tahun 2007-2010 stasiun Tapale dan
Palattae (Sumber : Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Je’neberang).
2. Data curah hujan stasiun Bance tahun 2005 dan 2010 (Sumber : Balai
Besar Wilayah Sungai Pompengan Je’neberang).
3. Data penggunaan lahan DAS Walanae tahun 2005 dan 2010 (Sumber :
Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kehutanan Je’neberang
Walanae).
4. Data debit pengukuran DAS Walanae hulu di Bendung Sanrego tahun
2007-2010 (Sumber : Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan
Je’neberang).
5. Data debit pengukuran Ujung Lamuru tahun 2005 dan 2010 (Sumber :
Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Je’neberang).

Alat

Seperangkat komputer dengan aplikasi spreadsheet dan perangkat lunak


untuk mengolah data citra Landsat.
10

Prosedur Analisis Data

Analisis Karakteristik dan Morfometri DAS


a. Penentuan Orde Sungai
Orde sungai adalah nomor urut setiap segmen sungai terhadap sungai
induknya. Metode penentuan orde sungai yang digunakan adalah Metode Strahler.
Aliran sungai yang paling ujung dan tidak memiliki anak sungai disebut orde
pertama. Apabila dua aliran dengan orde sama bertemu maka akan terbentuk anak
sungai dengan orde setingkat lebih tinggi. Apabila dua anak sungai yang berbeda
orde bertemu maka orde pertemuan anak sungai tersebut adalah orde paling besar.

Gambar 3 Penentuan Orde Sungai (Strahler, 1957)

b. Perhitungan Rasio Percabangan dan Rasio Panjang Sungai


Secara matematis, perhitungan rasio percabangan dab rasio panjang
sebagai berikut:
Rb Rp

N(u) : Jumlah segmen sungai berorde u


P(u) : Panjang rata-rata orde sungai berorde u

c. Perhitungan Kerapatan DAS dan Dimensi Fraktal


Kerapatan DAS merupakan perbandingan antara jumlah panjang semua
sungai di dalam DAS dengan luas DAS.

Dd

Dd: kerapatan jaringan sungai (km/km2)


Lu: jumlah panjang semua sungai di dalam DAS (km)
Au: luas DAS (km2)
11

Persamaan dimensi fraktal sebagai berikut :

d
d : dimensi fraktal jaringan hidrologi sungai

Analisis Curah Hujan Wilayah


Curah hujan yang digunakan merupakan curah hujan yang mewakili
bagian hulu dan tengah pada DAS Walanae. Curah hujan yang diolah sebagai data
adalah curah hujan rata-rata dari jumlah tiap bulannya dengan periode 2007-2010.
Metode yang digunakan dalam pengolahan data curah hujan ini adalah Metode
rata-rata aritmatika. Metode ini cocok diterapkan apabila jumlah stasiun banyak
dan tersebar secara merata. Untuk setiap stasiun diberi bobot yang sama, yaitu
dengan menjumlahkan curah hujan pengukuran di setiap stasiun perbulannya dan
membaginya dengan jumlah stasiun penakar.

Perhitungan Limpasan Permukaan dan Koefisien Limpsan


Dinas konservasi tanah Amerika atau US Soil Conservation Service
mengembangkan suatu metode yang mengaitkan karakteristik DAS seperti tanah,
vegetasi, dan tata guna lahan dengan bilangan kurva limpasan permukaan (Run
Off Curve Number) yang menunjukkan potensi air aliran untuk curah hujan
tertentu. Menurut Arsyad (2010), bilangan kurva aliran permukaan merupakan
pengaruh hidrologi bersama antara tanah, penggunaan lahan, perlakuan terhadap
lahan, keadaan hidrologi dan kandungan air tanah sebelumnya. Metode bilangan
kurva aliran permukaan menunjukkan penaksiran aliran permukaan dari sejumlah
curah hujan, data tanah, dan penutup tanah.

Persamaan yang digunakan dalam penentuan besarnya volume limpasan


dengan metode SCS adalah sebagai berikut :
dan

Pendugaan aliran permukaan dan koefisien limpasan pada DAS Walanae


menggunakan data penutupan lahan tahun 2005 dan 2010. Kelompok hidrologi
tanah pada DAS Walanae adalah kelompok hidrologi tanah C dan D yang
digunakan untuk menghitung curve number di DAS Walanae. Selain itu,perlunya
dilakukan perhitungan koefisien limpasan karena kondisi distribusi curah hujan
yang tidak merata di DAS Walanae.

S : perbedaan antara curah hujan dan limpasan permukaan (mm)


C : koefisien limpasan permukaan
Q : limpasan permukaan bulanan (mm)
P : curah hujan bulanan (mm)
CN : curve number penggunaan lahan
12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae

Analisis morfometri DAS dilakukan untuk melihat kepekaan DAS saat


mengubah hujan menjadi limpasan permukaan. Morfometri sendiri merupakan
istilah yang digunakan untuk menyatakan keadaan jaringan alur sungai secara
kuantitatif pada suatu DAS. Sifat yang khas dari suatu DAS dapat dilihat dari
morfometri DASnya. Respon hidrologi dari suatu DAS terhadap masukan curah
hujan dijelaskan oleh Asdak (2001) yang menyatakan bahwa beberapa parameter
morfometri DAS seperti luas, kemiringan lereng, bentuk, kerapatan drainase dapat
berpengaruh terhadap besaran dan timing dari hidrograf aliran yang dihasilkannya.
Pengaruh luasan DAS terhadap bentuk hidrograf aliran adalah pada waktu
konsentrasi aliran air di daerah outlet, dimana semakin besar luas DAS maka
semakin banyak pula curah hujan yang diterima namun semakin lama waktu
konsentrasi aliran air untuk mencapai debit puncaknya.
Aliran sungai dalam suatu DAS dihubungkan oleh suatu jaringan dimana
arah cabang dan anak sungai mengalir menuju sungai induk yang lebih besar dan
membentuk suatu pola tertentu. Pola yang terbentuk mengikuti kondisi topografi,
geologi, iklim, vegetasi yang terdapat di dalam DAS tersebut. Pola aliran DAS
Walanae umumnya merupakan pola dendritik, yaitu pola sungai dimana anak-
anak sungainya (tributaries) cenderung sejajar dengan induk sungainya. Anak-
anak sungainya bermuara pada induk sungai dengan sudut lancip. Model pola
dendritik seperti pohon dengan tatanan dahan dan ranting sebagai cabang-cabang
dan anak-anak sungainya. Pola ini biasanya terdapat pada daerah berstruktur datar,
atau pada daerah batuan yang sejenis (homogen) dengan penyebaran yang luas
(Soewarno 1991).

Tabel 1 Morfometri (faktor sungai) DAS Walanae Hulu


Jumlah Panjang
Rasio Panjang Rasio
segmen total
Ordo percabangan rata-rata panjang
ordo segmen
(Rb) (Km) (Rp)
(Nu) (Km)
1 1018 2.2 418 0.4 -
2 455 2.8 184 0.4 0.4
3 165 3.4 133 0.8 0.7
4 49 - 104 2.1 0.8
1687 2.8 839 0.9 0.6

Tabel 2 Morfometri (faktor areal) DAS Walanae Hulu


Variabel
Luas DAS (Km2) 439.6
Kerapatan drainase
1.9
(Km/Km2)
13

Perhitungan morfometri (faktor sungai dan areal) diperoleh dari peta DEM
(Digital Elevation Model) berdasarkan ketinggian DAS Walanae Hulu. Tabel 1
menunjukkan bahwa DAS Walanae di bagian hulu terdiri dari sungai sampai orde
empat dengan luas DAS 439.6 Km2. Orde sungai adalah posisi percabangan alur
sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai di dalam suatu DAS. Jumlah
segmen tiap ordo yang lebih tinggi akan lebih sedikit dibanding dengan jumlah
segmen ordo sebelumnya. Rasio percabangan (Rb) rata-rata DAS Walanae Hulu
adalah 2.8. Indeks rasio percabangan rata-rata DAS Walanae hulu < 3, indeks ini
menujukkan alur sungai pada DAS Walanae hulu akan mempunyai kenaikan
muka air banjir dengan cepat dengan penurunan yang berjalan cepat pula
(Hidayah 2008). Selain itu nilai Rb pada DAS Walanae ini berpengaruh terhadap
debit puncak suatu aliran hidrograf, nilai Rb yang kecil akan menyebabkan aliran
permukaan yang bergerak secara cepat dan waktu tenggang menjadi singkat dan
debit puncak aliran hidrograf menjadi bertambah besar.
Kerapatan jaringan sungai menggambarkan kapasitas penyimpanan air
permukaan oleh suatu DAS. Kerapatan jaringan sungai suatu DAS dinyatakan
dengan nilai Dd (Km/Km2) yang diperoleh dari perbandingan antara jumlah
panjang semua sungai di dalam DAS dengan luas DAS. Semakin tinggi tingkat
kerapatan aliran sungai, berarti semakin banyak air yang dapat tertampung di
badan-badan sungai. Kerapatan aliran sungai DAS Walanae Hulu adalah 1,9
Km/Km2. Nilai kerapatan aliran sungai pada DAS Walanae termasuk ke dalam
klasifikasi indeks sedang (0,25-10 Km/Km2) yang alur sungainya melewati batuan
dengan resistensi yang lebih lunak sehingga angkutan sedimen yang terangkut
aliran akan lebih besar. Jika nilai kerapatan aliran sungai lebih kecil dari 1
mile/mile2 (0,62 Km/Km2), maka DAS akan mengalami penggenangan,
sedangkan jika nilai kerapatan aliran sungai lebih besar dari 5 mile/mile2 (3,10
Km/Km2), maka DAS akan sering mengalami kekeringan. Kerapatan drainase
sangat berpengaruh dalam menentukan kecepatan limpasan di DAS.
Hubungannya adalah semakin tinggi kerapatan drainase maka semakin besar
kecepatan limpasan untuk curah hujan yang sama di DAS. Oleh karena itu, DAS
dengan kerapatan drainase tinggi, maka debit puncaknya akan tercapai dalam
waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan DAS dengan kerapatan drainase
rendah (Hidayah 2008).
Kemiringan lereng DAS mempengaruhi cepat lambatnya laju limpasan
yang kemudian dapat mempercepat respon DAS terhadap curah hujan yang terjadi.
DAS yang memiliki topografi relatif datar akan menghasilkan limpasan yang
lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang memiliki topografi yang miring
(curam). Tingkat kelerengan atau kemiringan lahan DAS Walanae umumnya
terdiri dari datar (landai) 1449 Km2, bergelombang 83 Km2, berbukit miring 770
Km2, agak curam 61 Km2, dan curam 2103 Km2. Kemiringan lereng di hulu DAS
Walanae didominasi oleh kelas yang cenderung berbukit hingga curam,
sedangkan di hilir DAS relatif landai. Persentase kemiringan lereng DAS Walanae
47% merupakan daerah yang curam, hal ini mempengaruhi daya resapan air hujan
ke dalam tanah. Semakin besar kemiringan lereng peresapan air hujan ke dalam
tanah menjadi lebih kecil sehingga limpasan permukaan dan erosi menjadi besar.
14

Gambar 4 Peta kemiringan lereng DAS Walanae

Karakteristik Curah Hujan dan Debit DAS Walanae

DAS Walanae adalah salah satu dari 17 DAS yang dikelolah BPDAS
Jeneberang - Walanae. Secara geografi terletak antara 3º 59’03” – 5º 8’45” LS dan
119º 47’09” – 120º 47’03” BT dan secara administratif berada dalam wilayah
Kabupaten Maros, Bone, Soppeng dan Wajo dengan luas DAS 478.932,72 Ha.
DAS Walanae terdiri dari 7 sub DAS, yaitu : Sanrego, Minraleng dan Batu Puteh
yang terletak dibagian hulu sungai ; Malanroe, Mario dan Walanae Tengah
terletak dibagian tengah sungai ; serta Walanae Hilir yang terletak dihilir sungai.
Klasifikasi iklim di wilayah DAS Walanae tergolong tipe B/C atau agak basah,
karena wilayahnya yang luas maka curah hujan di DAS Walanae bervariasi
menurut titik pengukuran di kabupaten.
Curah hujan yang digunakan adalah curah hujan jumlah bulanan dalam
empat tahun pengukuran yang terletak dibagian hulu DAS Walanae. Data curah
hujan diambil dari dua stasiun penakar curah hujan sepanjang DAS Walanae yang
berkaitan dengan data debit aliran sungai yang digunakan. Perhitungan curah
hujan menggunakan metode rata-rata aritmatika dengan menjumlahkan curah
hujan pengukuran di setiap stasiun dan membaginya dengan jumlah stasiun
penakar. Pola curah hujan pada DAS Walanae berdasarkan data curah hujan dari
BBWS Pompengan – Je’neberang menunjukkan tipe lokal, yaitu pola yang
dicirikan dengan satu puncak musim hujan yang merupakan kebalikan dari pola
hujan tipe muson. Puncak musim hujan DAS Walanae Hulu sepanjang periode
2007-2010 terlihat pada curah hujan bulanan tertinggi yang terjadi pada bulan Mei
hingga Juli (Gambar 6). Curah hujan tertinggi pada bulan Mei-Juli secara
berurutan adalah 2007 (281 mm ; 522 mm; 392 mm), 2008 (654 mm; 417 mm;
19), 2009 (174 mm; 236 mm; 300 mm), dan 2010 (411 mm; 780 mm; 573).
15

2007 2008 2009 2010

1000

Curah hujan (mm)


800
600
400
200
0
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulan

Gambar 5 Pola distribusi curah hujan DAS Walanae hulu tahun 2007-2010

Analisis regresi linier sederhana menunjukkan korelasi antara data curah


hujan bulanan dan debit aliran di DAS Walanae yang bertujuan untuk melihat
derajat hubungan keeratan. Nilai R2 yang diperoleh dibagian hulu adalah 0.243.
Hal tersebut menjelaskan bahwa hanya sekitar 20% curah hujan di hulu DAS
berpengaruh terhadap pergerakan debit aliran yang terjadi di hulu DAS Walanae.

30

25 y = 0.294x + 4.631
R² = 0.243
20
Debit (m3/s)

15

10

0
0 10 20 30 40 50
Curah hujan (mm)

Gambar 6 Perbandingan debit aliran dan curah hujan bulanan DAS Walanae
Hulu

Dalam penentuan baik buruknya kondisi suatu DAS, dapat dilihat dari
nilai debit pengukuran pada DAS tersebut berdasarkan acuan nisbah antara debit
maksimum dan debit minimum yang disebut dengan koefisien regim sungai
(KRS). Apabila nilai nisbah KRS relatif kecil (<50) maka DAS dapat dikatakan
dalam kondisi baik, dan begitupun sebaliknya (RLPS 2009).
16

Tabel 3 Perhitungan nilai KRS Walanae Hulu


Qmaksimum Qminimum
Tahun KRS
(m3/s) (m3/s)
2007 15.19 6.65 229
2008 26.52 9.59 276
2009 14.33 5.85 245
2010 26.54 7.82 340

Data yang digunakan merupakan data debit harian rata-rata tahunan.


Selama periode tahun 2007-2010 nilai KRS Walanae hulu cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi DAS Walanae
hulu dalam kondisi yang kurang baik (mengalami kerusakan), karena curah hujan
yang turun lebih banyak menjadi limpasan permukaan dibandingkan yang mengisi
persediaan air tanah pada DAS Walanae hulu. Nilai KRS yang tinggi
menunjukkan bahwa kisaran nilai limpasan permukaan yang terjadi ketika musim
hujan adalah besar (banjir), sedangkan pada musim kemarau limpasan permukaan
yang terjadi sangat kecil atau menunjukkan kekeringan. Kondisi ini menunjukkan
bahwa daya resapan lahan suatu DAS/Sub DAS kurang mampu menahan dan
menyimpan air hujan yang jatuh, sehingga air yang menjadi limpasan permukaan
banyak yang terus masuk ke sungai dan terbuang ke laut akibatnya ketersediaan
air di DAS/Sub DAS saat musim kemarau sedikit (RLPS 2009).

Analisis Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Limpasan Permukaan dan


Aliran Permukaan

Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) DAS Walanae


Kelompok hidrologi tanah (Soil Hydrology Group/SHG) menunjukkan
potensi infiltrasi tanah setelah mengalami keadaan basah pada kurun waktu
tertentu (Asdak 2006). KHT DAS Walanae tahun 2010 terdiri atas kelompok C
dan D yang ditunjukkan pada Gambar 7, dengan KHT terbesar adalah D dengan
luas 3624 Km2. Persentase luas KHT D adalah 81% dari luas keseluruhan DAS
Walanae, sedangkan untuk KHT C seluas 841 Km2. KHT C dan D memiliki laju
infiltrasi yang berkisar antara 0-4 mm/jam, nilai laju infiltrasi yang tergolong kecil
dan menunjukkan bahwa tanah di DAS Walanae berpotensi sangat baik dalam
melimpaskan air dan buruk dalam menginfiltrasikan air. Rendahnya kemampuan
tanah dalam menyerap air pada KHT D menyebabkan perlunya kewaspadaan
yang dapat menimbulkan terjadinya genangan/banjir di wilayah tersebut saat
hujan dengan intensitas tinggi (Afrina 2013).
Tabel 4 Luas Kelompok Hidrologi Tanah DAS Walanae tahun 2010
Laju
Luas
KHT 2 % Infiltrasi
(Km )
(mm/jam)
C 841 19 1-4
D 3642 81 0-1
17

Gambar 7 Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) DAS Walanae tahun 2010

Limpasan Permukaan (run off) dan Koefisien Limpasan Permukaan


Besarnya aliran permukaan dapat menjadi kecil jika curah hujan tidak
melebihi kapasitas infiltrasi. Selama hujan yang terjadi adalah kecil atau sedang,
aliran permukaan hanya terjadi di daerah yang impermeabel dan jenuh di dalam
suatu DAS atau langsung jatuh di atas permukaan air. Apabila curah hujan yang
jatuh jumlahnya lebih besar dari jumlah air yang dibutuhkan untuk evaporasi,
intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi dan cadangan depresi, maka barulah bisa
terjadi aliran permukaan. Apabila hujan yang terjadi kecil, maka hampir semua
curah hujan yang jatuh terintersepsi oleh vegetasi yang lebat (Kodoatie dan
Syarief 2005).
Pendugaan aliran permukaan menggunakan metode SCS diperoleh dengan
menghitung nilai CN (curve number) DAS. Nilai CN pada DAS ini mirip dengan
nilai C (koefisien limpasan). Perhitungan nilai CN DAS didapatkan dari nilai CN
masing-masing tipe penggunaan lahan yang dikalikan dengan luas tiap
penggunaan lahan untuk tahun 2005 dan 2010. Nilai CN ini digunakan untuk
menghitung nilai S, yang menggambarkan perbedaan antara curah hujan dan
limpasan. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan retensi, yaitu jumlah hujan
yang jatuh setelah initial abstraction terpenuhi tetapi tidak menambah aliran yang
terjadi.
Perolehan nilai Q (debit) menggunakan SCS menghasilkan nilai yang
semakin kecil dan merupakan kebalikan dari besarnya curah hujan. Nilai Q ini
menunjukkan jumlah curah hujan lebih yang menjadi aliran permukaan. Nilai CN
mengindikasikan potensial aliran permukaan. Kondisi area yang baik ditandai
dengan rendahnya nilai CN sehingga CN yang rendah menandakan pula infiltrasi
18

yang tinggi pada area tersebut. Sebaliknya nilai CN yang tinggi menunjukkan
bahwa telah terjadi penurunan kualitas tanah dalam menyimpan air, sehingga air
yang jatuh ke permukaan tanah lebih banyak menjadi aliran permukaan dan
berpengaruh langsung pada penurunan debit .

Tabel 5 Aliran permukaan dan koefisien limpasan DAS Walanae


2005 2010
Bulan CH CN Qscs CH CN Qscs
S C S C
(mm) DAS (mm) (mm) DAS (mm)
Jan 74 29 0.4 197 146 0.7
Feb 348 280 0.8 150 102 0.7
Mar 177 117 0.7 186 135 0.7
Apr 168 109 0.6 114 69 0.6
May 188 127 0.7 304 249 0.8
Jun 78 32 0.4 634 575 0.9
80 65 83 52
Jul 75 30 0.4 578 520 0.9
Aug 43 9 0.2 315 260 0.8
Sep 39 7 0.2 342 286 0.8
Oct 32 4 0.6 391 335 0.9
Nov 52 15 0.6 307 252 0.8
Dec 142 86 0.6 105 61 0.6
Rataan 0.5 0.8

Pendugaan debit aliran DAS Walanae diperoleh dengan memanfaatkan


data penutupan lahan DAS Walanae tahun 2005 dan 2010. Nilai CN merupakan
representasi dari penutupan lahan, kelembaban tanah, dan jenis tanah. Nilai CN
tahun 2010 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005, hal tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan DAS Walanae pada tahun 2010 dalam
melimpaskan air lebih tinggi. Nilai S menunjukkan besarnya air yang terinfiltrasi
yang dipengaruhi oleh faktor CN DAS, semakin besar nilai CN DAS maka nilai S
semakin kecil dan air yang dilimpaskan lebih banyak. Pendugaan limpasan
permukaan dengan metode SCS menghasilkan nilai Q yang semakin kecil seiring
besarnya nilai curah hujan. Peningkatan nilai limpasan permukaaan dari tahun
2005 dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai limpasan yang besar ini berdasarkan nilai
CN DAS yang besar pula, ketika nilai CN besar maka limpasan permukaan yang
dihasilkan akan menjadi besar.
Koefisien aliran permukaan (C) merupakan nisbah antara besarnya aliran
permukaan terhadap besarnya curah hujan (Asdak 2001). Nilai C berkisar antara
0-1 dan menunjukkan kondisi fisik suatu DAS. Nilai koefisien limpasan
merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS.
Semakin besar nilai C maka kondisi fisik DAS tersebut semakin terganggu
sehingga semakin banyak air hujan yang menjadi aliran permukaan.
19

Nilai rata-rata C bulanan DAS Walanae mengalami peningkatan dari


tahun 2005 ke 2010, hal tersebut menggambarkan kondisi DAS Walanae kurang
baik atau telah mengalami kerusakan. Selain itu, nilai C ini juga menyatakan
bahwa jumlah curah hujan yang jatuh pada permukaan DAS Walanae lebih
banyak dari curah hujan yang diperlukan sehingga terjadi limpasan. Ketika nilai C
mengalami peningkatan yang mendekati 1, maka akan terjadi aliran debit air yang
semakin besar oleh saluran drainase.

60

50
y = 0.320x - 1.759
R² = 0.618
Q SCS (m3/s)

40

30

20

10

0
0 20 40 60 80 100 120
Q Obs (m3/s)

(a)
400
350
300
Q SCS (m3/s)

250
200
150 y = 0.561x + 29.29
R² = 0.727
100
50
0
0 100 200 300 400 500 600 700
Q Obs (m3/s)

(b)
Gambar 8 Korelasi debit observasi (pengukuran) dan limpasan
permukaan DAS Walanae tahun 2005 (a) dan 2010 (b)

Data debit pengukuran yang digunakan merupakan data debit observasi


tahun 2005 dan 2010 di Ujung Lamuru. Hasil regresi linier debit observasi dan
pendugaan limpasan permukaan (Q SCS) menunjukkan nilai koefisien
determinasi (R2) yaitu 0.62 (2005) dan 0.72 (2010). Nilai R2 ini merupakan
gambaran limpasan permukaan yang terjadi akibat curah hujan yang turun di
sekitar DAS Walanae. Korelasi antara observasi dan dugaan pada tahun 2005 dan
2010 merepresentasikan sebagian besar aliran limpasan permukaan pendugaan
SCS mempunyai niai yang lebih kecil dari nilai debit observasinya.
20

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Analisis morfometri DAS yang dilakukan pada DAS Walanae menunjukkan


bahwa DAS Walanae merupakan DAS yang memiliki pola aliran dendritik
dengan luas daerah aliran 439,62 Km2 dibagian hulu DAS. Nilai rasio
percabangan DAS Walanae hulu berada pada indeks <3 yang menggambarkan
alur sungai pada DAS Walanae mempunyai kenaikan dan penurunan nuka air
yang cepat. Nilai kerapatan DAS Walanae termasuk indeks sedang yang berarti
kemampuan DAS Walanae dalam menampung air cukup banyak. Kerapatan
drainase sangat berpengaruh dalam menentukan kecepatan limpasan di DAS.
Hubungannya adalah semakin tinggi kerapatan drainase maka semakin besar
kecepatan limpasan untuk curah hujan yang sama di DAS. Topografi DAS
Walanae didominasi oleh kemiringan lereng curam dengan persentase 47 % dari
keseluruhan luas DAS Walanae yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa DAS
Walanae cenderung menghasilkan limpasan permukaan yang cukup besar dari
bagian hilir hingga tengah DAS.
Klasifikasi iklim di wilayah DAS Walanae tergolong tipe B/C atau agak
basah, karena wilayahnya yang luas maka curah hujan di DAS Walanae bervariasi
menurut titik pengukuran di kabupaten. Pola curah hujan pada DAS Walanae
berdasarkan data curah hujan dari BBWS Pompengan – Je’neberang tahun 2007-
2010 menunjukkan tipe lokal, yaitu pola yang dicirikan dengan satu puncak
musim hujan yang merupakan kebalikan dari pola hujan tipe muson. Curah hujan
bulanan tertinggi terjadi pada bulan Mei-Juni-Juli. Curah hujan tertinggi pada
bulan Mei-Juli secara berurutan adalah 2007 (281 mm ; 522 mm; 392 mm), 2008
(654 mm; 417 mm; 19), 2009 (174 mm; 236 mm; 300 mm), dan 2010 (411 mm;
780 mm; 573). Pendugaan debit aliran DAS Walanae diperoleh dengan
memanfaatkan data penutupan lahan DAS Walanae tahun 2005 dan 2010. Nilai
CN tahun 2010 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005, hal tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan DAS Walanae pada tahun 2010 dalam
melimpaskan air lebih tinggi. Pendugaan limpasan permukaan dengan metode
SCS menghasilkan nilai Q yang semakin kecil seiring besarnya nilai curah hujan.
Nilai limpasan yang besar ini berdasarkan nilai CN DAS yang besar pula, ketika
nilai CN besar maka limpasan permukaan yang dihasilkan akan menjadi besar.

Saran

Pendugaan limpasan permukaan (Q) yang digunakan berdasrkan nilai CN


sebaiknya didapatkan dari hasil pengukuran di lapang secara langsung dan
kondisi AMC yang diasumsikan normal, hal tersebut seharusnya disesuaikan
dengan keadaan tanah (kering atau basah) yang terjadi di lapang.
21

DAFTAR PUSTAKA

Afrina DP. 2013. Pemanfaatan data pengindraan jauh untuk analisis perubahan
lahan dan curah hujan terhadap aliran permukaan di DAS Ciliwung [skripsi].
Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Arsyad S. 2010. Pengawetan Tanah dan Air, Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Asdak C. 2001. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta
(ID) : Gadjah Mada University Press.
Bhola PK dan Singh A. 2010. Rainfall-Runoff Modeling of River Kosi Using
SCS-CN Method And Ann [Tesis]. Rourkela Department of Civil
Engineering National Institute of Technology Rourkela.
[BPDAS] Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Je’neberang-Walanae. 2010.
Laporan Karakteristik DAS Je’neberang-Walanae 2010, BPDAS
Jeneberang-Walanae. Makassar.
Gordon BD. 1992. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen Bagian I.
Jakarta (ID) : PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Hidayah R. 2008. Analisis Morfometri Sub Daerah Aliran Sungai Karangumus
dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis [skripsi]. Samarinda (ID) :
Universitas Mulawarman.
Kodoatie RJ dan Rustam Syarif. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta (ID) : ANDI.
Murtiono UH. 2008. Kajian Model Estimasi Volume Limpasan Permukaan, Debit
Puncak Aliran, dan Erosi Tanah dengan Model Soil Conservation Service
(SCS), Rasional, dan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE),
Studi Kasus di DAS Keduang, wonogiri. J Forum Geografi. 22(2):169-185.
[RLPS] Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009. Pedoman Monitoring
dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta (ID) : Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial.
Seyhan E. 1990.Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada
University Press.
Soewarno.1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengelolaan Data Aliran Sungai
(Hidrometrik). Bandung (ID) : Penerbit Nova.
Soewarno.1995. Hidrologi : Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid 1.
Bandung (ID) : Penerbit Nova.
Sosrodarsono S. dan K. Takeda. 2003. Hidrologi Untuk Pengairan. Cetakan ke
sembilan. Jakarta (ID) :Pradayana Paramita.
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta (ID) :
Penerbit Andi.
Triatmodjo B. 2010. Hidrologi Terapan. Yogyakarta (ID) : Beta Offset.
Ward, R.C dan Robinson. 1990. Principles os Hidrology. 3rd edition. London :
Mc Grow-Hill Book Company.
22

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kriteria kategori AMC


∑ CH 5 hari
AMC Keterangan
sebelumnya (mm)
I < 35.6 Kering
II 35.6 – 53.3 Normal
III >53.3 Basah
Sumber : McQuen (1989)

Lampiran 2 Karakteristik nilai Rb


No Rb Keterangan
1 <3 Kenaikan muka air banjir dengan cepat, sedangkan
penurunnya berjalan cepat.
2 3-5 Kenaikan muka air banjir tidak terlalu cepat,
sedangkan penurunannya berjalan tidak terlalu
cepat juga (sedang).
3 >5 Kenaikan muka air banjir dengan cepat, sedangkan
penurunannya berjalan lambat (abnormal).
Sumber : (Soewarno 1991)

Lampiran 3 Karakteristik nilai kerapatan indeks sungai (Dd)


No Dd (km/km2) Kelas kerapatan Keterangan
1 < 0.25 Rendah Alur sungai melewati batuan dengan
resistensi keras, maka angkutan sedimen
yang terangkut aliran sungai lebih kecil
jika dibandingkan pada alur sungai yang
melewati batuan dengan resistensi yang
lebih lunak, apabila kondisi lain yang
mempengaruhinya.
2 0.25 – 10 Sedang Alur sungai melewati batuan dengan
resistensi yang lebih lunak, sehingga
angkutan sedimen yang terangkut aliran
akan lebih besar.
3 10 – 25 Tinggi Alur sungai melewati batuan dengan
resistensi yang lunak, sehingga angkutan
sedimen yang terangkut aliran akan lebih
besar.
4 >25 Sangat tinggi Alur sungai melewati batuan yang kedap
air. Keadaan ini akan menunjukkan
bahwa air hujan yang menjadi aliran akan
lebih besar jika dibandingkan suatu
daerah dengan D rendah melewati batuan
yang permebelitas besar.
Sumber : (Soewarno 1991)
23

Lampiran 4 Tingkat kelas lereng


No Relief Lereng
1 Datar 0-3%
2 Berombak/landai 3-8%
3 Bergelombang/Agak miring 8-15%
4 Berbukit/miring 15-30%
5 Agak curam 30-45%
6 Curam 45-65%
7 Sangat curam >65%
Sumber : Arsyad (2000).

Lampiran 5 Kriteria Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) menurut US SCS 1972


Laju Infiltrasi
KHT Keterangan
(mm/jam)
Potensi aliran permukaan rendah,
A termasuk tanah liat berpasir dengan solum 8 – 12
dalam dan permeabilitas cepat.
Potensi aliran permukaan agak rendah,
B seperti pada kelompok A tetapi bersolum 4–8
dangkal dan permeabilitas sedang – tinggi.
Potensi aliran permukaan agak tinggi,
C tekstur berliat, solum dalam, kandungan 1–4
liat tinggi dan permeabilitas rendah.
Potensi aliran permukaan tinggi, tekstur
D berliat, solum dangkal, kandungan liat 0–1
tinggi dan permeabilitas rendah.
Sumber : Arsyad (2000).

Lampiran 6 Kriteria nilai CN berdasarkan penggunaan lahan pada AMC II


HSG
Penggunaan lahan
A B C D
Hutan 25 55 70 77
Semak belukar 36 60 73 79
Rumput/tanah kosong 39 61 74 80
Tegalan/Ladang 49 69 79 84
Kebun/Perkebunan 45 66 77 83
Pemukiman 74 83 89 91
Gedung 98 98 98 98
Sawah irigasi 61 73 81 84
Sawah tadah hujan 61 73 81 84
Air tawar 100 100 100 100
Rawa 75 80 85 90
Sumber: BPDAS Ciliwung-Cisadane
24

Lampiran 7 Perhitungan CN DAS Walanae tahun 2005


Penutupan Lahan A (Km2) CN CN DAS S
Hutan 796 77
Sawah 519 84
Semak Belukar 501 79
Kebun Campuran 406 83 80 65.21
Pemukiman 49 91
Lahan Terbuka 93 80
Semak Belukar 763 77

Lampiran 8 Perhitungan CN DAS Walanae tahun 2005


Penutupan Lahan A (Km2) CN CN DAS S
Badan Air 54 100
Hutan 230 77
Rawa 58 90
Pemukiman 9 91
Kebun Campuran 2576 83
83 52.19
Sawah 1088 84
Savana 38 80
Semak Belukar 390 79
Lahan Terbuka 23 80
Tambak 25 100

Lampiran 9 Debit bulanan (m3/s) Bendung Sanrego


Bulan 2007 2008 2009 2010
Jan 11.23 12.14 12.85 14.22
Feb 14.21 10.65 14.29 10.09
Mar 8.10 16.84 10.80 11.69
Apr 10.95 13.57 12.21 9.87
May 7.06 27.50 12.00 14.08
Jun 8.50 27.73 8.07 19.88
Jul 5.13 12.91 7.83 7.63
Aug 5.34 7.24 5.54 12.15
Sep 5.28 6.77 4.26 21.46
Oct 5.68 8.18 3.57 14.07
Nov 8.31 12.27 4.43 20.73
Dec 15.10 11.43 5.09 10.44
25

Lampiran 10 Debit bulanan (m3/s) Ujung Lamuru


Bulan 2005 2010
Jan 70 100
Feb 110 104
Mar 68 109
Apr 118 25
May 66 314
Jun 33 609
Jul 19 285
Aug 8 247
Sep 9 302
Oct 12 172
Nov 17 283
Dec 34 121

Lampiran 11 Curah hujan bulanan (mm) Stasiun Bance

Bulan 2005 2010


Jan 74 197
Feb 348 150
Mar 177 186
Apr 168 114
May 188 304
Jun 78 634
Jul 75 578
Aug 43 315
Sep 39 342
Oct 32 391
Nov 52 307
Dec 142 105
26

Lampiran 12 Curah hujan bulanan (mm) Sstasiun Palattae


Bulan 2007 2008 2009 2010
Jan 171 173 92 61
Feb 88 74 130 162
Mar 106 201 104 258
Apr 165 415 113 199
May 305 736 81 418
Jun 437 505 126 844
Jul 409 228 293 583
Aug 97 160 130 601
Sep 58 79 61 243
Oct 95 303 90 226
Nov 86 78 272 168
Dec 103 158 184 112

Lampiran 13 Curah hujan bulanan (mm) Sstasiun Tapale


Bulan 2007 2008 2009 2010
Jan 146 138 97 79
Feb 130 78 0 151
Mar 43 144 268 107
Apr 237 250 112 171
May 257 571 66 403
Jun 606 329 145 715
Jul 375 161 307 563
Aug 10 188 0 328
Sep 45 60 0 253
Oct 76 306 27 351
Nov 111 226 62 343
Dec 161 81 22 111
27

Lampiran 14 Peta Ordo Sungai Walanae Hulu


28

Lampiran 10 Peta Sub DAS Walanae


29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 23 September 1991.


Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangn
Bapak Abu Bakar dan Ibu Anisah Tasar. Tahun 2009 penulis
lulus dari SMA GUPPI Samata dan pada tahun yang sama
penulis lolos seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Kementrian
Agama dan penulis diterima di Departemen Geofisika dan
Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis cukup aktif dalam
menjalani dan mengikuti berbagai organisasi intra kampus salah satunya
HIMAGRETO (Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi), IKAMI Sul-SelBar
(Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia-Sulawesi Selatan Barat) , dan
beberapa event kepanitiaan. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi diluar
kampus yaitu CSS MoRA. Penulis juga ikut berpartisipasi dalam IPB Goes to
Field (IGTF) 2012 di Demak, Jawa Tengah pada bulan Juni selama satu bulan,
dengan tema kegiatan “Pengukuran Kadar Salinitas pada Lahan Ex-Tambak,
Demak”. Gelar sarjana sains IPB dapat diperoleh penulis setelah menyelesaikan
skripsi dengan judul Pendugaan Aliran Permukaan Berdasarkan Karakteristik
Daerah Aliran Sungai Walanae, Sulawesi Selatan di bawah bimbingan Prof. Dr.Ir.
Hidayat Pawitan M.Sc.E.

Anda mungkin juga menyukai