ASRIANI ABUBAKAR
Asriani Abubakar
NIM G24090053
ABSTRAK
ASRIANI ABUBAKAR
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Program Sarjana Meteorologi Terapan
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Pendugaan Aliran Perrnukaan Berdasarkan Karakteristik Daerah
Aliran Sungai WaIanae, Sulawesi Selatan
Nama : ASliani Abubakar
NIM : G24090053
Disetujui oleh
Pembimbing
Asriani Abubakar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai 3
Daerah Aliran Sungai (DAS) 3
Karakterisitik Daerah Aliran Sungai 5
Limpasan Permukaan (runoff) 7
Metode Soil Conservation Service (SCS) 8
METODE 9
Bahan 9
Alat 9
Prosedur Analisis Data 10
Analisis Karakteristik dan Morfometri DAS 10
Analisis Curah Hujan Wilayah 11
Perhitungan Limpasan Permukaan dan Koefisien Limpsan 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae 12
Karakteristik Curah Hujan dan Debit DAS Walanae 14
Analisis Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Limpasan Permukaan dan
Aliran Permukaan 16
Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) DAS Walanae 16
Limpasan Permukaan (run off) dan Koefisien Limpasan Permukaan 17
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 22
RIWAYAT HIDUP 29
DAFTAR TABEL
1 Morfometri (faktor sungai) DAS Walanae Hulu 12
2 Morfometri (faktor areal) DAS Walanae Hulu 12
3 Nilai KRS DAS Walanae Hulu 16
4 Luas Kelompok Hidrologi Tanah DAS Walanae tahun 2010 16
5 Aliran permukaan dan koefisien limpasan DAS Walanae 18
DAFTAR GAMBAR
1 Batas DAS 4
2 Pola pengaliran sungai 6
3 Orde Sungai Metode Strahler 10
4 Kemiringan lereng DAS Walanae 14
5 Pola distribusi curah hujan rata-rata bulanan DAS Walanae 15
6 Perbandingan debit aliran dan curah hujan DAS Walanae Hulu 15
7 Kelompok hidrologi tanah (KHT) DAS Walanae tahun 2010 17
8 Korelasi debit observasi (pengukuran) dan limpasan permukaan DAS
Walanae tahun 2005 (a) dan 2010 (b) 19
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kriteria Kategori AMC 22
2 Karakteristik nilai Rb 22
3 Karakteristik nilai kerapatan indeks sungai(Dd) 22
4 Tingkat kelas lereng 23
5 Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) 23
6 Kriteria nilai CN berdasarkan tipe penggunaan lahan 23
7 Perhitungan CN DAS Walanae tahun 2005 24
8 Perhitungan CN DAS Walanae tahun 2010 24
9 Debit bulanan Bendung Sanrego 24
10 Debit bulanan Ujung Lamuru 25
11 Curah hujan bulanan Stasiun Bance 25
12 Curah hujan bulanan Stasiun Palattae 26
13 Curah hujan bulanan Stasiun Tapale 26
14 Peta ordo sungai Walanae Hulu 27
15 Peta sub DAS Walanae 28
PENDAHULUAN
Latar Belakang
DAS Walanae termasuk dalam kategori DAS prioritas I (satu) dengan luas
wilayah 478.932,72 Ha dan mencakup wilayah adminstrasi Kabupaten Maros,
Bone, Wajo dan Soppeng dengan sungai utama Sungai Walanae yang bermuara di
Teluk Bone. Pada saat banjir, aliran Sungai Walanae dapat masuk ke Danau
Tempe yang menyebabkan peningkatan tinggi muka air di Danau Tempe
(umumnya terjadi ketika terdapat peningkatan tinggi muka air Sungai Bila).
Sedimentasi di Danau Tempe per tahun adalah 1-3 cm. Akibat sedimentasi ini,
danau mengalami pendangkalan dan menyebabkan terjadinya bencana banjir di
musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Pendangkalan yang terjadi pada
Danau Tempe secara alami diakibatkan oleh sedimentasi yang dibawa oleh inlet
sungai yang bermuara di Danau Tempe seperti Sungai Lawo, Sungai Batu-batu,
Sungai Belokka, dan Sungai Walanae. Terjadinya pendangkalan tersebut
mengakibatkan penurunan kapasitas tampung pada danau, sehingga memicu
terjadinya bencana banjir di daerah tersebut (BPDAS Je’neberang Walanae 2010).
Peran DAS Walanae sangat penting dalam sistem tata air di Kabupaten
Bone, Soppeng, Wajo, dan Maros. Kondisi penutupan lahan yang semakin terbuka
dan tingginya sedimentasi mengakibatkan meluapnya sungai Walanae dan
pendangkalan di Danau Tempe. Berdasarkan data dari Dinas PSDA Sulsel, tingkat
sedimentasi di Sungai Walanae sebesar 210.131 mg/ltr dengan tingkat erosi rata-
rata tiap sub DAS sebesar 68.804,67 ton/tahun. Penelitian ini menggunakan
metode SCS-CN (Soil Conservation Service-Curve Number). Metode SCS pada
penelitian ini akan digunakan untuk melihat seberapa besar limpasan permukaan
yang terjadi di DAS Walanae yang mempertimbangkan faktor yang umum sangat
berpengaruh pada kemampuan suatu DAS untuk melimpaskan debit, yaitu tipe
penggunaan lahan. Adanya perubahan penutupan atau penggunaan di suatu
wilayah dalam DAS akan mempengaruhi karakteristik debit puncak dan limpasan
permukaannya.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem hidrologi adalah suatu proses pergerakan air secara terus menerus
dari atmosfer yang kemudian dalam bentuk presipitasi jatuh ke bumi melalui
berbagai peristiwa dan proses masuk ke dalam saluran atau sungai, mengalir
kembali ke laut dan menguap kembali ke udara (Seyhan 1990). Menurut Ward
dan Robinson (1990) siklus hidrologi menyediakan konsep pengantar yang
bermanfaat dalam menggambarkan hubungan antara presipitasi dan aliran sungai
yang dapat dinyatakan dalam berbagai cara.
Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah sebagian akan masuk
(terserap) ke dalam tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap
ke dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan
tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke
tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air
infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan
membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban air tanah telah cukup
jenuh maka air hujan yang baru masuk akan bergerak secara lateral (horizontal)
untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah
(subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Alternatif lainnya, air hujan
yang masuk ke dalam tanah tersebut akan bergerak vertikal ke tanah yang lebih
dalam dan menjadi bagian dari air tanah (groundwater). Air tanah tersebut,
terutama pada musim kemarau akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau atau
tempat penampungan air alamiah lainnya (baseflow) (Asdak 2001).
6. Pola paralel adalah pola pengaliran yang sejajar. Pola pengaliran semacam
ini menunjukkan lereng yang curam.Beberapa wilayah di pantai barat
Sumatera memperlihatkan pola pengaliran parallel.
7. Pola annular, pola pengaliran cenderung melingkar seperti gelang; tetapi
bukan meander. Terdapat pada daerah berstruktur dome (kubah) yang
topografinya telah berada pada stadium dewasa. Daerah dome yang
semula (pada stadium remaja) tertutup oleh lapisan-lapisan batuan
endapan yang berselang-seling antara lapisan batuan keras dengan lapisan
batuan lembut.
Morfometri DAS adalah pengukuran bentuk dan pola DAS yang dapat
dilihat dari suatu peta. Gordon (1992) menjelaskan bahwa parameter dalam
morfometri DAS saling berhubungan satu sama lain, sehingga seringkali salah
satu parameter dapat dijadikan pewakil parameter lainnya. Respon hidrologi dari
suatu DAS terhadap masukan curah hujan dijelaskan pula oleh Asdak (2001) yang
menyatakan bahwa beberapa parameter morfometri DAS seperti luas, kemiringan
lereng, bentuk, kerapatan drainase dapat berpengaruh terhadap besaran dan timing
dari hidrograf aliran yang dihasilkannya. Pengaruh luasan DAS terhadap bentuk
hidrograf aliran adalah pada waktu konsentrasi aliran air di daerah outlet dimana
semakin besar luas DAS, maka semakin banyak pula curah hujan yang diterima
namun semakin lama waktu konsentrasi aliran air untuk mencapai debit
puncaknya. Sehingga bentuk hidrograf dari DAS yang mempunyai luasan yang
besar cenderung menjadi lebih panjang.
Kemiringan lereng DAS mempengaruhi cepat lambatnya laju limpasan
yang kemudian dapat mempercepat respon DAS terhadap curah hujan yang terjadi.
DAS yang memiliki topografi relatif datar akan menghasilkan limpasan yang
lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang memiliki topografi yang miring.
Bentuk DAS mempengaruhi laju limpasan dan waktu konsentrasi aliran di daerah
outlet, sehingga dari faktor bentuk DAS ini dapat menghasilkan bentuk hidrograf
yang berbeda antara DAS yang mempunyai bentuk yang memanjang dan sempit
dengan DAS yang berbentuk cenderung membulat dan lebar. DAS yang
memanjang dan sempit cenderung menurunkan laju limpasan sehingga waktu
7
konsentrasi untuk mencapai debit puncak di daerah outlet cenderung lebih lama
daripada DAS yang membulat dan lebar. Kerapatan drainase sangat berpengaruh
dalam menentukan kecepatan limpasan di DAS. Hubungannya adalah semakin
tinggi kerapatan drainase maka semakin besar kecepatan limpasan untuk curah
hujan yang sama di DAS. Oleh karena itu, DAS dengan kerapatan drainase tinggi,
maka debit puncaknya akan tercapai dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan
dengan DAS dengan kerapatan drainase rendah (Asdak 2001).
METODE
Bahan
Alat
Dd
d
d : dimensi fraktal jaringan hidrologi sungai
Perhitungan morfometri (faktor sungai dan areal) diperoleh dari peta DEM
(Digital Elevation Model) berdasarkan ketinggian DAS Walanae Hulu. Tabel 1
menunjukkan bahwa DAS Walanae di bagian hulu terdiri dari sungai sampai orde
empat dengan luas DAS 439.6 Km2. Orde sungai adalah posisi percabangan alur
sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai di dalam suatu DAS. Jumlah
segmen tiap ordo yang lebih tinggi akan lebih sedikit dibanding dengan jumlah
segmen ordo sebelumnya. Rasio percabangan (Rb) rata-rata DAS Walanae Hulu
adalah 2.8. Indeks rasio percabangan rata-rata DAS Walanae hulu < 3, indeks ini
menujukkan alur sungai pada DAS Walanae hulu akan mempunyai kenaikan
muka air banjir dengan cepat dengan penurunan yang berjalan cepat pula
(Hidayah 2008). Selain itu nilai Rb pada DAS Walanae ini berpengaruh terhadap
debit puncak suatu aliran hidrograf, nilai Rb yang kecil akan menyebabkan aliran
permukaan yang bergerak secara cepat dan waktu tenggang menjadi singkat dan
debit puncak aliran hidrograf menjadi bertambah besar.
Kerapatan jaringan sungai menggambarkan kapasitas penyimpanan air
permukaan oleh suatu DAS. Kerapatan jaringan sungai suatu DAS dinyatakan
dengan nilai Dd (Km/Km2) yang diperoleh dari perbandingan antara jumlah
panjang semua sungai di dalam DAS dengan luas DAS. Semakin tinggi tingkat
kerapatan aliran sungai, berarti semakin banyak air yang dapat tertampung di
badan-badan sungai. Kerapatan aliran sungai DAS Walanae Hulu adalah 1,9
Km/Km2. Nilai kerapatan aliran sungai pada DAS Walanae termasuk ke dalam
klasifikasi indeks sedang (0,25-10 Km/Km2) yang alur sungainya melewati batuan
dengan resistensi yang lebih lunak sehingga angkutan sedimen yang terangkut
aliran akan lebih besar. Jika nilai kerapatan aliran sungai lebih kecil dari 1
mile/mile2 (0,62 Km/Km2), maka DAS akan mengalami penggenangan,
sedangkan jika nilai kerapatan aliran sungai lebih besar dari 5 mile/mile2 (3,10
Km/Km2), maka DAS akan sering mengalami kekeringan. Kerapatan drainase
sangat berpengaruh dalam menentukan kecepatan limpasan di DAS.
Hubungannya adalah semakin tinggi kerapatan drainase maka semakin besar
kecepatan limpasan untuk curah hujan yang sama di DAS. Oleh karena itu, DAS
dengan kerapatan drainase tinggi, maka debit puncaknya akan tercapai dalam
waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan DAS dengan kerapatan drainase
rendah (Hidayah 2008).
Kemiringan lereng DAS mempengaruhi cepat lambatnya laju limpasan
yang kemudian dapat mempercepat respon DAS terhadap curah hujan yang terjadi.
DAS yang memiliki topografi relatif datar akan menghasilkan limpasan yang
lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang memiliki topografi yang miring
(curam). Tingkat kelerengan atau kemiringan lahan DAS Walanae umumnya
terdiri dari datar (landai) 1449 Km2, bergelombang 83 Km2, berbukit miring 770
Km2, agak curam 61 Km2, dan curam 2103 Km2. Kemiringan lereng di hulu DAS
Walanae didominasi oleh kelas yang cenderung berbukit hingga curam,
sedangkan di hilir DAS relatif landai. Persentase kemiringan lereng DAS Walanae
47% merupakan daerah yang curam, hal ini mempengaruhi daya resapan air hujan
ke dalam tanah. Semakin besar kemiringan lereng peresapan air hujan ke dalam
tanah menjadi lebih kecil sehingga limpasan permukaan dan erosi menjadi besar.
14
DAS Walanae adalah salah satu dari 17 DAS yang dikelolah BPDAS
Jeneberang - Walanae. Secara geografi terletak antara 3º 59’03” – 5º 8’45” LS dan
119º 47’09” – 120º 47’03” BT dan secara administratif berada dalam wilayah
Kabupaten Maros, Bone, Soppeng dan Wajo dengan luas DAS 478.932,72 Ha.
DAS Walanae terdiri dari 7 sub DAS, yaitu : Sanrego, Minraleng dan Batu Puteh
yang terletak dibagian hulu sungai ; Malanroe, Mario dan Walanae Tengah
terletak dibagian tengah sungai ; serta Walanae Hilir yang terletak dihilir sungai.
Klasifikasi iklim di wilayah DAS Walanae tergolong tipe B/C atau agak basah,
karena wilayahnya yang luas maka curah hujan di DAS Walanae bervariasi
menurut titik pengukuran di kabupaten.
Curah hujan yang digunakan adalah curah hujan jumlah bulanan dalam
empat tahun pengukuran yang terletak dibagian hulu DAS Walanae. Data curah
hujan diambil dari dua stasiun penakar curah hujan sepanjang DAS Walanae yang
berkaitan dengan data debit aliran sungai yang digunakan. Perhitungan curah
hujan menggunakan metode rata-rata aritmatika dengan menjumlahkan curah
hujan pengukuran di setiap stasiun dan membaginya dengan jumlah stasiun
penakar. Pola curah hujan pada DAS Walanae berdasarkan data curah hujan dari
BBWS Pompengan – Je’neberang menunjukkan tipe lokal, yaitu pola yang
dicirikan dengan satu puncak musim hujan yang merupakan kebalikan dari pola
hujan tipe muson. Puncak musim hujan DAS Walanae Hulu sepanjang periode
2007-2010 terlihat pada curah hujan bulanan tertinggi yang terjadi pada bulan Mei
hingga Juli (Gambar 6). Curah hujan tertinggi pada bulan Mei-Juli secara
berurutan adalah 2007 (281 mm ; 522 mm; 392 mm), 2008 (654 mm; 417 mm;
19), 2009 (174 mm; 236 mm; 300 mm), dan 2010 (411 mm; 780 mm; 573).
15
1000
Gambar 5 Pola distribusi curah hujan DAS Walanae hulu tahun 2007-2010
30
25 y = 0.294x + 4.631
R² = 0.243
20
Debit (m3/s)
15
10
0
0 10 20 30 40 50
Curah hujan (mm)
Gambar 6 Perbandingan debit aliran dan curah hujan bulanan DAS Walanae
Hulu
Dalam penentuan baik buruknya kondisi suatu DAS, dapat dilihat dari
nilai debit pengukuran pada DAS tersebut berdasarkan acuan nisbah antara debit
maksimum dan debit minimum yang disebut dengan koefisien regim sungai
(KRS). Apabila nilai nisbah KRS relatif kecil (<50) maka DAS dapat dikatakan
dalam kondisi baik, dan begitupun sebaliknya (RLPS 2009).
16
yang tinggi pada area tersebut. Sebaliknya nilai CN yang tinggi menunjukkan
bahwa telah terjadi penurunan kualitas tanah dalam menyimpan air, sehingga air
yang jatuh ke permukaan tanah lebih banyak menjadi aliran permukaan dan
berpengaruh langsung pada penurunan debit .
60
50
y = 0.320x - 1.759
R² = 0.618
Q SCS (m3/s)
40
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120
Q Obs (m3/s)
(a)
400
350
300
Q SCS (m3/s)
250
200
150 y = 0.561x + 29.29
R² = 0.727
100
50
0
0 100 200 300 400 500 600 700
Q Obs (m3/s)
(b)
Gambar 8 Korelasi debit observasi (pengukuran) dan limpasan
permukaan DAS Walanae tahun 2005 (a) dan 2010 (b)
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Afrina DP. 2013. Pemanfaatan data pengindraan jauh untuk analisis perubahan
lahan dan curah hujan terhadap aliran permukaan di DAS Ciliwung [skripsi].
Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Arsyad S. 2010. Pengawetan Tanah dan Air, Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Asdak C. 2001. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta
(ID) : Gadjah Mada University Press.
Bhola PK dan Singh A. 2010. Rainfall-Runoff Modeling of River Kosi Using
SCS-CN Method And Ann [Tesis]. Rourkela Department of Civil
Engineering National Institute of Technology Rourkela.
[BPDAS] Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Je’neberang-Walanae. 2010.
Laporan Karakteristik DAS Je’neberang-Walanae 2010, BPDAS
Jeneberang-Walanae. Makassar.
Gordon BD. 1992. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen Bagian I.
Jakarta (ID) : PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Hidayah R. 2008. Analisis Morfometri Sub Daerah Aliran Sungai Karangumus
dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis [skripsi]. Samarinda (ID) :
Universitas Mulawarman.
Kodoatie RJ dan Rustam Syarif. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta (ID) : ANDI.
Murtiono UH. 2008. Kajian Model Estimasi Volume Limpasan Permukaan, Debit
Puncak Aliran, dan Erosi Tanah dengan Model Soil Conservation Service
(SCS), Rasional, dan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE),
Studi Kasus di DAS Keduang, wonogiri. J Forum Geografi. 22(2):169-185.
[RLPS] Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009. Pedoman Monitoring
dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta (ID) : Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial.
Seyhan E. 1990.Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada
University Press.
Soewarno.1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengelolaan Data Aliran Sungai
(Hidrometrik). Bandung (ID) : Penerbit Nova.
Soewarno.1995. Hidrologi : Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid 1.
Bandung (ID) : Penerbit Nova.
Sosrodarsono S. dan K. Takeda. 2003. Hidrologi Untuk Pengairan. Cetakan ke
sembilan. Jakarta (ID) :Pradayana Paramita.
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta (ID) :
Penerbit Andi.
Triatmodjo B. 2010. Hidrologi Terapan. Yogyakarta (ID) : Beta Offset.
Ward, R.C dan Robinson. 1990. Principles os Hidrology. 3rd edition. London :
Mc Grow-Hill Book Company.
22
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP