Anda di halaman 1dari 12

DAS DAN PENGELOLAAN SUNGAI

“KERUSAKAN WILAYAH DAS KAPUAS”

Jurusan Sipil

Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota

MEITY WULANDARI

D1091131019

TAHUN AJARAN 2016/2017

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS TANJUNGPURA
A. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang di batasi punggung-punggung gunung
dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung
tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama (Asdak, 1995). Karena
DAS dianggap sebagai suatu sistem, maka dalam pengembangannyapun, DAS harus
diperlakukan sebagai suatu sistem. Dengan memperlakukan sebagai suatu sistem dan
pengembangannya bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan, maka sasaran
pengembangan DAS akan menciptaka ciri-ciri yang baik sebagai berikut :

1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi, setiap bidang lahan harus
memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat mendukung kehidupan yang
layak bagi petani yang mengusahakannnya.
2. Mampu mewujudkan, pemerataan produktivitas di seluruh DAS.
3. Dapat menjamin kelestarian sumberdaya air.

Salah satu fungsi utama dari DAS adalah sebagai pemasok air dengan kuantitas dan
kualitas yang baik terutama bagi orang di daerah hilir. Alih guna lahan hutan menjadi lahan
pertanian akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas tata air pada DAS yang akan lebih
dirasakan oleh masyarakat di daerah hilir. Persepsi umum yang berkembang pada saat ini,
konversi hutan menjadi lahan pertanian mengakibatkan penurunan fungsi hutan dalam mengatur
tata air, mencegah banjir, longsor dan erosi pada DAS tersebut. Hutan selalu dikaitkan dengan
fungsi positif terhadap tata air dalam ekosistem DAS (Noordwijk dan Farida, 2004). Fungsi
hutan dalam ekosistem DAS perlu dipandang dari tiga aspek berbeda, yaitu pohon, tanah dan
lansekap (landscape). Vegetasi hutan berfungsi mengintersepsi air hujan, namun laju transpirasi
yang tinggi mengakibatkan perbandingan dengan jenis vegetasi non-irigasi lainnya. Tanah hutan
memiliki lapisan seresah yang tebal, kandungan bahan organik tanah, dan jumlah makro
porositas yang cukup tinggi sehingga laju infiltrasi air lebih tinggi dibandingkan dengan lahan
pertanian. Dari sisi lansekap, hutan tidak peka terhadap erosi karena memiliki filter berupa
seresah pada lapisan tanahnya. Hutan dengan karakteristik tersebut di atas sering disebut mampu
meredam tingginya debit sungai pada saat musim hujan dan menjaga kestabilan aliran air pada
musim kemarau. Namun prasyarat penting untuk memiliki sifat tersebut adalah jika tanah hutan
cukup dalam (e-3m). Dalam kondisi ini hutan akan mampu berpengaruh secara efektif terhadap
berbagai aspek tata air (Noordwijk dan Farida, 2004). Daerah resapan air berperan sebagai
penyaring air tanah. Ketika air masuk ke daerah resapan maka akan terjadi proses penyaringan
air dari partikel-partikel yang terlarut di dalamnya. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan air
dalam tanah sangat lambat dan oleh karenanya memerlukan waktu yang relatif lama. Pada
keadaan normal, aliran air tanah langsung masuk ke sungai yang terdekat (Asdak, 1995).
Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS
menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga berkurang
yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Dengan demikian terlihat bahwa peristiwa
banjir dan kekeringan merupakan fenomena ikutan yang tidak terpisahkan dari peristiwa erosi.
Bersama dengan sedimen, unsur-unsur hara terutama N dan P serta bahan organikpun banyak
yang ikut terbawa masuk ke dalam waduk atau danau (Agus, dkk., 2007).

Daerah Aliran Sungai (DAS) atau catchment, watershed atau drainage area, river basin
semua istilah tersebut semua digunakan untuk menyatakan bagi suatu daerah permukaan tanah
(land surface) dimana air mengalir ke bawah suatu titik di hilir sungai. Dengan demikian konsep
suatu Daerah Aliran Sungai merupakan konsep bagi pembangunan wilayah yang berdasarkan
batas alamiah, yang mampu memadukan aspek fisik, sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air/PPSDA, 2005). Daerah Aliran Sungai
(DAS) dapat dipandang sebagai common good dalam arti kesejahteraan semua pihak saling
tergantung atas jasa yang diberikan oleh suatu DAS yaitu sebagai fungsi hidrologi dan ekologi.
Kesalahan pengelolaan sumber daya alam terutama vegetasi, tanah dan air di wilayah daerah
aliran sungai akan mengakibatkan kemerosotan mutu dan daya dukung sumber daya setempat
(on-site) dan kerugian lain di wilayah hilirnya (off-site). Oleh sebab itu pengelolaan DAS di
daerah hulu harus tepat. Kesalahan dalam pengelolaan DAS pada akhirnya jika tidak segera
ditangani akan menyebabkan daerah aliran sungai menjadi kritis.

Di Indonesia, berdasarkan data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Planologi,


Departemen Kehutanan dan Perkebunan, laju kerusakan hutannya hampir mencapai 1,6 juta ha
per tahun. Laju angka kerusakan ini mengalami peningkatan 3 kali lipat selama kurun waktu 6
tahun. Tingginya angka laju pengundulan hutan ini terutama disebabkan karena kejadian
kebakaran hutan rutin yang melanda hutan-hutan di kawasan pulau Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. FAO (1985) melaporkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia menempati
urutan tertinggi dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Jika proses degradasi
lahan ini terus berlangsung tanpa upaya yang nyata untuk menghentikannya, produktivitas
pertanian akan mengalami penurunan sebesar 15-30 % sampai dengan tahun 2003. Permasalahan
utama dalam pembangunan pengelolaan DAS adalah belum mantapnya institusi dan lemahnya
sistem perencanaan yang komprehensif. Gejala umum yang timbuk dari kondisi di atas antara
lain:

1. masyarakat dalam DAS masih ditempatkan sebagai objek dan bukan subjek
pembangunan.
2. manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati oleh elit-elit tertentu dan belum
terdistribusi secara merata.
3. masyarakat belum mampu untuk berpartisipasi secara nyata dalam proses pembangunan.
4. masyarakat masih menjadi bagian terpisah (eksternal) dari ekosistem DAS.

Kalimantan Barat mempunyai luas 146.807 Km2, merupakan Propinsi terbesar keempat
setelah Papua,Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Secara Administratif memiliki 12
kabupaten/kota yaitu Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang,
Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau,Kabupaten
Sintang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kapuas Hulu,Kota Pontianak dan Kota Singkawang.
Secara geografis terletak diantara garis 2°08’ LU dan 3°08’ LS serta diantara 108°18’ –
114°10’BT dengan batas wilayah administrasi di sebelah Utara berbatasan dengan Serawak
(Malaysia Timur),sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan
dengan Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah dan sebelah Barat berbatasan
dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Dari segi ekosistem, Propinsi Kalimantan Barat
terdapat tidak kurang dari 10 (sepuluh) ekosistem yaitu dari ekosistem pegunungan, berbagai
jenis ekosistem hutan, lahan basah dan ekosistem hutan pantai atau mangrove. Di Kalimantan
Barat sendiri, terdapat 3 daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi urat nadi kehidupan dan
pembangunan propinsi Kalimantan Barat dan masing – masing DAS bermuara di laut. Ketiga
ketiga DAS yang dimaksud terdiri dari:

1. DAS Kapuas, yang memebentang dari Kapuas Hulu Kabupaten sampai ke Kota
Pontianak yang melintasi 5 kabupaten lainnya (Sintang Kabupaten, Melawi Kabupaten,
Sekadau Kabupaten, Sanggau Kabupaten, Landak Kabupaten and Pontianak Kabupaten).
2. DAS Sambas merupakan wilayah yang membentang di Kabupaten Sambas
3. DAS Pawan yang berada di Kabupaten Ketapang.

Luas wilayah hulu (upstream) sungai di kalimantan barat mencapai 3,549,117.26 ha (24.15%)
dari total luas pemanfaatan kawasan hutan di propinsi kalimantan Barat. DAS Kapuas memiliki
kekhususan tersendiri dibandingkan DAS lainnya di Kalimantan Barat. Selain merupakan sungai
terpanjanga di Indonesia (1,086 Km) juga melalui 7 Kabupaten dan 1 Kota, DAS Kapuas
merupakan muara dari 9 sub-DAS yang ada 8 wilayah tersebut dimana 9 sub – DAS yang
dimaksud sebagai berikut:

1. Sub DAS Kapuas Hulu (Kabupaten Kapuas Hulu 1.753.924.000 Ha);


2. Sentarum (Kabupaten Kapuas Hulu 1.162.505.000 Ha);
3. Silat/Manday (Kabupaten Kapuas Hulu 359.690 Ha);
4. Sub DAS Melawi (Kabupaten Melawi & Sintang 2.002.923,70 Ha);
5. Sub DAS Ketungau (Kabupaten Sintang 1.023.336,70 Ha);
6. Sub DAS Sekayam (Kabupaten Sanggau 997.180,90 Ha);
7. Sub Das Sekadau (Kabupaten Sekadau 469.807,40 Ha);
8. Sub Das Landak (Kabupaten Landak 1.098.197,10 Ha)
9. Sub DAS Mendawak (Kabupaten Pontianak, Sanggau, Ketapang 1.170.081,20 Ha).

Namun, belakangan ini sungai Kapuas telah tercemar logam berat dan berbagai jenis
bahan kimia, akibat aktivitas penambangan emas dan perak di bagian tengah sungai ini.
Walaupun telah mengalami pencemaran oleh logam berat, Sungai Kapuas tetap menjadi urat
nadi bagi kehidupan masyarakat (terutama suku Dayak dan Melayu di sepanjang aliran sungai.
Sebagai sarana transportasi yang murah, Sungai Kapuas dapat menghubungkan daerah satu ke
daerah lain di wilayah Kalimantan Barat, dari pesisir Kalimantan Barat sampai ke daerah
pedalaman Putussibau di hulu sungai ini . Dan selain itu, sungai Kapuas juga merupakan sumber
mata pencaharian untuk menambah penghasilan keluarga dengan menjadi nelayan/penangkap
ikan secara tradisional. Sosial Budaya masyarakat Sungai Kapuas perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut mengingat pesatnya kemajuan teknologi dan informasi dapat memengaruhi pola
berpikir masyarakat di sekitar aliran sungai Kapuas.
B. DEFENISI DAS BERDASARKAN FUNGSI

Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan


DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu
pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat
diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air
(debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air
sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi,
yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air,
dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai,
waduk, dan danau.Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang
dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang
diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah
hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.
Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga
keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat
mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan
maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang
panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan
DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas
daerah secara baik. Sebuah DAS yang menjadi bagian dari DAS yang lebih besar dinamakan sub
DAS; merupakan daerah tangkapan air dari anak sungai.

DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem
bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran. Ekosistem tengah
sebagai daerah distributor dan pengatur air, sedangkan ekosistem hilir merupakan pemakai air.
Hubungan antara ekosistem-ekosistem ini menjadikan DAS sebagai satu kesatuan hidrologis. Di
dalam DAS terintegrasi berbagai faktor yang dapat mengarah kepada kelestarian atau degradasi
tergantung bagaimana suatu DAS dikelola. Di pegunungan, di dataran tinggi dan dataran rendah
sampai di pantai dijumpai iklim, geologi, hidrologi, tanah dan vegetasi yang saling berinteraksi
membangun ekosistem. Setiap ekosistem di dalam DAS memiliki komponen hidup dan tak-
hidup yang saling berinteraksi. Memahami sebuah DAS berarti belajar tentang segala proses-
proses alami yang terjadi dalam batas sebuah DAS. Sebuah DAS yang sehat dapat menyediakan:

1. Unsur hara bagi tumbuh-tumbuhan


2. Sumber makanan bagi manusia dan hewan
3. Air minum yang sehat bagi manusia dan makhluk lainnya
4. Tempat berbagai aktivitas manusia dan hewan

Beberapa proses alami dalam DAS bisa memberikan dampak menguntungkan kepada sebagian
kawasan DAS tetapi pada saat yang sama bisa merugikan bagian yang lain. Banjir di satu sisi
memberikan tambahan tanah pada dataran banjir tetapi untuk sementara memberikan dampak
negatif kepada manusia dan kehidupan lain.

C. POTENSI DAS KAPUAS

Dengan status sebagai sungai terpanjang di Indonsia dan Sungai terluas di Kalimantan
Barat, DAS Kapuas mempunyai peran penting melalui potensi yang terdapat di sekitar Sungai
Kapuas. Potensi kekayaan yang dimiliki oleh DAS Kapuas ialah Berupa :

1. Keberagaman Etnis yang berada di sepanjang Sungai Kapuas;


2. Sebagai Sumber kehidupan makhluk hidup yang berada di sekitar Das Kapuas;
3. Sumber mata air DAS Kapuas merupakan wilayah penting di Pulau Kalimantan;
4. Sebagai penyeimbang ciri khas
5. Sebagai Pedoman dalam pengembangan kawasan di kalbar
6. Sebagai Jalur transportasi
7. Lahan gambut yang mampu mengaliri air hingga 50 Km ke wilayah daratan.

Keberagaman etnis yang mendiami sepanjang DAS Kapuas merupakan suatu ciri khas tersendiri
dari bagi Sungai Kapuas ini. Hal ini dapat diartikan bahwa DAS Kapuas sebagai suatu identitas
etnis di masyarakat, karena dari 9 Sub DAS yang bermuara di DAS Kapuas mempunayi berbagai
Sub Suku Dayak, juga Melayu, Cina, Jawa, Bugis, Madura dengan pola penguasaan kawasan
sangat berperan. Sebagai sumber penghidupan ini, karena masyarakat yang berada di sepanjang
Sungai Kapuas sangat lah tergantung dengan fungsi Sungai Kapuas ini. Mulai dari aktivitas
sehari-hari (bercocok Tanam) hingga sebagai MCK. Dengan kondisi pasang – surut menjadi
karakteristik sungai di Kalimantan Barat yang di pengaruhi musim, dimanfaatkan oleh sebagain
masyarakat untuk melakukan penanaman jenis tumbuhan berumur pendek.
Sumber mata air sungai Kapuas yang berada di wilayah perhuluan mempunyai peran
sangat penting dari keberadaan dan keseimbangan Pulau Kalimantan. Karena lokasi sumber mata
air Sungai Kapuas berada 4 kawasan pegunungan dan 3 Taman nasional. Keempat kawasan
pegunungan tersebut ialah Pegununan Schwaneer (Sub Das Melawi, sebagian Sungai Sepauk,
Sekadau, Pawan Hulu), Pegunungan Muller (Sub Das Manday) , Pegunungan Kapuas Hulu
(Sungai Ambaloh, Sungai Kapuas Hulu, Danau Sentarum), Pegunungan Kapuas Tengah (Sungai
Ketungau, Sungau Sekayam, Sebagian Sungai Sepauk). Melalui Sungai Kapuas ini, wilayah
provinsi Kalimantan Barat juga dapat membagi suatu kecirikhasan suatu wilayah yang terbagi ke
dalam suatu kawasan sepanjang DAS Kapuas. Hal ini dapat di lihat dengan karakteristik wilayah
yang berdasarkan geologi dan Sistem Hidrologi yang mempengeruhi sistem Kekayaan SDA
yang berada di jalur DAS Kapuas.

D. PERMASALAHAN DAS KAPUAS

Berdasarkan hasil Inventarisi lahan kritis di Propinsi Kalimantan Barat, terdapat lahan
kritis seluas 9.683.244 ha, terdiri dari 3.995.748 ha didalam kawasan hutan dan 5.687.496. ha di
luar kawasan hutan. Berdasarkan laporan penetapan urutan DAS prioritas DAS Tahun 2009
Propinsi Kalimantan Barat, terbagi kedalan 3 (tiga) prioritas antara lain Prioritas I (4 DAS) DAS
Simbar, Air hitam Kecil, Kapuas dan DAS Sambas. Prioritas II (20 DAS) DAS Pawan, Palo,
Begunjai, Siduk, Jelai, Kendawangan, Mempawah, Simpang, Kuala, Tengar, Pasaguan,
Sebangkau, Selakau, Pulau maya Kalimata, Duri, Melinsun, Satong, Tolak, Air Hitam Besar dan
Raya. Prioritas III (3 DAS) yaitu DAS Pangkalan dua, Penili dan Air Besar.

Di Kalimantan Barat, dalam 4 tahun terakhir ini terdapat pula ancaman yang dihadapi
oleh masyarakat dalam menerapkan inisiatif lokal guna pengelolaan DAS, permasalahan dan
ancaman yang dialami ekosistem disekitar lokasi ini, ialah lebih karena disebabkan oleh rencana
pengembangan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, pertambahan laju jumlah penduduk di dalam
masyarakat juga menjadi suatu ancaman tersendiri dalam pemanfaatan lahan untuk
keberlangsungan kehidupan masyarakatnya, sebagai berikut:
a. Dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit, mulai proses land clearing yang
membutuhkan lahan sangat luas dalam membuka kawasan hutan mengakibatkan
hilangnya keanekaragaman hayati ekosistem di suatu kawasan di dalam 2 wilayah
tersebut;
b. Semakin meningkat terjadinya degradasi kawasan hutan dengan membuka perkebunan
kelapa sawit;
c. Hilangnya sumber ketahanan ekonomi masyarakat setempat, karena sifat perkebunan
yang monokultur dengan hamparan lahan yang luas;
d. Semakin sempitnya ruang kelola masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kehidupan dan
penghidupan sehari-hari, baik itu oleh pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit
maupun karena pertambahan laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali;
e. Semakin hilangnya kearifan lokal yang disebabkan kawasan adat yang dimiliki oleh
masyarakat di buka untuk perkebunan kelapa sawit;
f. Semakin cepatnya proses sedimentasi di alur sungai;
g. Semakin cepatnya proses perubahan iklim yang tidak didukung oleh daya dukung
kawasan di lokasi, karena ancaman banjir di musim hujan semakin cepat dan juga
sebaliknya ancaman kekeringan semakin cepat juga di musim kemarau.

Dalam melihat Ancaman dari DAS Kapuas ini, dapat di bagi menjadi 2 berdasarkan potensi yang
miliki oleh DAS Kapuas ini yang membentang dan mengalir dari Hulu – Hilir, diantaranya :

1. Ancaman Secara Alamiah

a. Aktivitas Kawasan Hulu – Tengah (Pelumpuran, Aktivitas pembukaan lahan,


Penubaan, Keramba ikan karnivora, Penunujukan Konservasi baru)
b. Aktivitas Kawasan Hilir, terjadinya anomali air laut, Intrusi air laut;
c. Aktivitas Kawasan Hulu – Tengah – Hilir yang saling berkaitan dalam
menimbulkan Gangguan terhadap ekologi kelautan (Terumbu Karang / coral)
2. Ancaman Secara Buatan / Sengaja

a. Industri Hulu, Pengembangan Perkebunan kelapa sawit dan pabrik CPO, aktivitas
penebangan hutan, Agroforestry HTI, Pengawetan kayu, PETI, Pertambangan
(emas, bauksit, uranium, batubara, air raksa, dll)
b. Industri Hilir, Pabrik, pelabuhan, bongkar muat di tengah sungai, Pengolahan
barang baku setengah jadi
c. Aktivitas Property, perumahan, perkantoran, showroom, mall, gedung2.
d. Konsumerisme Masyarakat, limbah industri rumah tangga dan limbah rumah
tangga.

Luas areal DAS Kapuas dan Sub DAS Kapuas mencapai 10,040,646 ha atau 69,32% dari total
luas areal 3 DAS di Kalimantan Barat. Kondisi tersebut menunjukkan peran penting dari
keberadaan DAS kapuas sebagai penunjang kehidupan masyarakat yang ada di Kalimantan Barat
dimana terdapat 1,715,310 jiwa yang bergantung hidupnya kepada keberlanjutan DAS Kapuas.
Ketergantungan masyarakat disekitar DAS Kapuas meliputi:

1. Sumber Air Bersih;


2. Transportasi;
3. Sumber income (livelihood) lainnya seperti usaha perikanan;

60% daerah aliran sungai (watershed) di Kalimantan Barat mengalami krisis yang terjadi sebagai
akibat pembukaan dan pengembangan kawasan watershed secara eksploitatif. Kerusakan tersebut
berasal dari berbagai aktifitas seperti:

1. Penambang Emas Tanpa Izin (illegal mining) yang menggunakan mercury;


2. Logging;
3. Forest convertion for large scale oil palm plantation;
4. Aktivitas industri lainnya.
5. Abrasi Pantai
6. Kerusakan Mangrove, Pesisir dan Terumbu Karang
7. Pencurian Pasir dari Pulau Kecil
8. Pencurian Ikan, dsb.
Dipengaruhi oleh berbagai aktivitas yang terjadi di diberbagai wilayah Kalimantan Barat dan
sepanjang DAS Kapuas terdapat beberapa bencana yang selalu mengintai kita, diantaranya :

1. Banjir;
2. Tanah longsor;
3. Menurunnya peran dan fungsi Sungai Kapuas
4. Kekeringan.

Pengelolaan Air yang efektif dimaksud adalah adanya pengelolaan DAS yang berdasarkan
ekosistem DAS dengan melihat nilai–nilai kearifan tradisional (traditional wisdom) yang ada di
masyarakat dalam upaya penyelamatan dan pengelolaan lingkungan yang bersahabat.

E. SARAN
Dalam pengelolaan DAS diperlukan kerjasama dari segala pihak yang terkait, baik dari
pemerintah maupun masyarakat. Keterlibatan secara aktif para pihak (stakeholders) akan
membangun rasa memiliki, memanfaatkan secara arif, dan memelihara sumberdaya secara
bersama-sama. Dalam pengeloaan DAS, sumberdaya manusia (human capital) dalam hal ini
masyarakat merupakan komponen yang memiliki andil dalam upaya konservasi DAS.
Operasionalisasi konsep DAS terpadu sebagai satuan unit perencanaan dalam pembangunan
selama ini masih terbatas pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air, sedangkan
organisasi masih bersifat ad.hoc, dan kelembagaan yang utuh tentang pengelolaan DAS belum
terpola. Agar pengelolaan DAS dapat dilakukan secara optimal, maka perlu dilibatkan seluruh
pemangku kepentingan dan direncanakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan dengan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.

Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan


inputproses- output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut
menjadi output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui
proses yang ada menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadi input bagi sub-
DAS hilir. Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada
masa ke depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input
bagi sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan
penerapan ‘user pays principle’ maupun ‘polluter pays principle’.

REKOMENDASI

Departemen Kehutanan. (2008). Daerah Aliran Sungai Di Kalimantan Barat, Indonesia.

Departemen Kehutanan. 1985. Prosiding Lokakarya Pengelaolaan Daerah Aliran Sungai


Terpadu. Jakarta

Departemen Kehutanan. 1993. Rencana Pengelolaan DAS Terpadu Batanghari. Jakarta.

Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2000. Studi Pendahuluan Penanganan


Konservasi dan Pengembangan Sumberdaya Air di Wilayah Sungai Ciliwung –
Cisadane. Jakarta.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah, Departemen Kimpraswil.


2002. Basin Water Resources Management Unit Component of Java Irigation
Improvement and Water Resources Management Project, Basin Water Resources
Management- Final Report (Central Java and DIY). Jakarta.

Hadi,S. (1996). Metodologi Riset. Yogyakarta: Penerbit UGM

Ouchi,M. (2007). The Study on Countermeasures for Sedimentation in the Wonogiri


Multipurpose DAM Reservoir in the Republic of Indonesia. Indonesia:
Directorate General of Water Resources Ministry of Public Works The Republic
of Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai