Anda di halaman 1dari 27

1

Tugas Pengelolaan Ekosistem Hutan dan DAS

Medan, April 2013

MEKANISME SUBSIDI HULU-HILIR PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Dosen Pembimbing: Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D.

Oleh: Marisi Intan Retno W Riston Sitindaon Ijon Dearma Saragih Sukma Gika Fergina Bungaran Naibaho Jonyal Sitanggang

101201096 101201107 101201117 101201123 101201131 101201137

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul Mekanisme Subsidi Hulu-Hilir Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Makalah ini ditulis sebagai salah satu syarat mengikuti mata kuliah Pengelolaan Hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D. yang telah memberikan materi pembelajaran sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis juga menyadari masih banyak terdapat kekurangan di dalam makalah ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun guna penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan,

April 2013

Penulis

PENDAHULUAN
Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik-hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang kompleks. DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu: bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran. Ekosistem tengah sebagai daerah distributor dan pengatur air, sedangkan ekosistem hilir merupakan pemakai air. Hubungan antara ekosistem-ekosistem ini menjadikan DAS sebagai satu kesatuan hidrologis. Di dalam DAS terintegrasi berbagai faktor yang dapat mengarah kepada kelestarian atau degradasi tergantung bagaimana suatu DAS dikelola. Kerusakan kondisi hidrologis DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya dan pemukiman yang tidak terkendali, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali menjadi penyebab peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan produktivitas lahan, percepatan degradasi lahan, dan banjir. Kondisi hutan, dilihat dari penutupan lahan/vegetasi, mengalami perubahan yang cepat dan dinamis, sesuai perkembangan pembangunan dan perjalanan waktu. Faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut antara lain pertambahan penduduk dan pembangunan di luar sektor kehutanan yang sangat pesat memberi pengaruh besar terhadap meningkatnya kebutuhan lahan hutan dan produk-produk dari hutan. Kondisi demikian diperparah dengan adanya perambahan hutan dan terjadinya kebakaran hutan yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan hutan alam tropika di Indonesia. Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti pemukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS.

Kerusakan hutan tersebut, menjadi penyebab terjadinya penurunan kualitas DAS. Sebagai akibatnya, kestabilan ekosistem terganggu dan menimbulkan dampak negatif terhadap peran hutan sebagai penyangga kehidupan termasuk dalam menjaga stabilitas tata air. Penerapan pendekatan one river - one plan - one management tidak mudah diwujudkan mengingat banyak pihak yang terkait dan berkepentingan dalam pengelolaan DAS. Rehabilitasi DAS terutama yang kondisinya kritis dengan pendekatan pengelolaan DAS terpadu menjadi kunci penting untuk memperbaiki kondisi DAS. Di dalam pengelolaan DAS, bagian hulu hingga hilir menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. DAS mampu menjadi sumber pendapatan masyarakat hilir dan menjadi sumber ketersediaan ikan dan bahan makanan ataupun bahan lainnya yang harganya dapat dijangkau. Di dalam pengelolaan DAS terpadu, perlu adanya mekanisme subsidi hulu-hilir, sebagai salah satu solusi atas perbedaan distribusi spasial sebagai akibat dari kesenjangan pendapatan di daerah hulu DAS dengan hilirnya. Tujuan Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme subsidi hulu-hilir sebagai salah satu solusi atas perbedaan distribusi spasial sebagai akibat dari kesenjangan pendapatan di daerah hulu DAS dengan hilirnya.

PEMBAHASAN
Definisi DAS Daerah aliran sungai (DAS) merupakan ruang di mana sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air, berada dan tersimpan serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai wilayah, DAS juga dipandang sebagai ekosistem dari daur air, sehingga DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7 Tahun 2004). Dengan demikian DAS merupakan satuan wilayah alami yang memberikan manfaat produksi serta memberikan pasokan air melalui sungai, air tanah, dan atau mata air, untuk memenuhi berbagai kepentingan hidup, baik untuk manusia, flora maupun fauna. Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS sebagai A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet. Sementara itu IFPRI (2002) menyebutkan bahwa A watershed is a geographic area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each others interests. Dari defenisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan

outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun (Bappenas, 2012). Konsep daur hidrologi DAS menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran.

Gambar 1. Daur hidrologi DAS

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu

seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Chay Asdak, 2002). Definisi DAS Berdasarkan Fungsi Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik. Untuk memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan perlu disusun sistem perencanaan pengelolaan DAS yang obyektif dan rasional. Perencanaan pengelolaan DAS bersifat dinamis karena dinamika proses yang terjadi di dalam DAS, baik proses alam, politik, sosial ekonomi kelembagaan, maupun teknologi yang terus berkembang. Pemanfaatan air bagi kehidupan antara lain untuk

kebutuhan irigasi, pertanian, industri, konsumsi rumah tangga, wisata, transportasi sungai, dan kebutuhan lainnya. Namun, air yang dihasilkan dari DAS juga bisa merupakan ancaman bencana seperti banjir dan sedimentasi hasil angkutan partikel tanah oleh aliran air. Potensi air yang dihasilkan dari suatu DAS perlu dikendalikan melalui serangkaian pengelolaan sehingga ancaman bencana banjir pada musim penghujan dapat ditekan sekecil mungkin dan jaminan pasokan air pada musim langka hujan (kemarau) tercukupi secara berkelanjutan. Sejalan dengan prinsip tersebut maka salah satu tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan daya dukung DAS (UU No. 41 Tahun 1999). Pengelolaan lahan yang produktif dengan memperhatikan asas konservasi dan ekologi tata air perlu disusun dalam suatu sistem perencanaan dalam satuan pengelolaan DAS. Perkembangan penduduk seiring dengan waktu menjadikan pengelolaan DAS sepertinya tanpa akhir. Pengelolaan DAS merupakan suatu usaha yang terus berjalan, karena faktor alam maupun faktor buatan manusia selalu ada dan berubah setiap waktu (Sheng, 1986 dan 1990). Pertambahan penduduk mengakibatkan peningkatan penyediaan kebutuhan pangan, termasuk air, dan papan. Sementara itu lapangan kerja masih terbatas sehingga jumlah masyarakat petani semakin bertambah dan belum bisa beranjak dari lapangan kerja pertanian. Dengan demikian pemilikan dan luas lahan garapan semakin sempit, sehingga tekanan penduduk terhadap lahan untuk pertanian semakin berat. Tekanan berat tercermin dari pemanfaatan lahan yang melampaui batas kemampuannya serta penyerobotan lahan non pertanian. Akibat lanjut adalah pendapatan dari bidang pertanian semakin rendah. Pengelolaan DAS dalam pelaksanaannya melibatkan banyak stakeholders (para pihak) dan pengambil keputusan, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan berbagai tujuannya, sehingga pendekatan multidisiplin merupakan keharusan esensial. Kegiatan dalam pengelolaan DAS harus melibatkan institusi pemerintah dari berbagai bidang atau sektor serta berbagai kelompok masyarakat. Akan tetapi terlalu banyak pelibatan unsur atau elemen dalam perencanaan dan pengambilan keputusan menjadikan hasil akhir yang kurang efisien/optimal dan kurang memuaskan. Partisipasi kelembagaan dalam

pengelolaan DAS perlu dibatasi pada komunitas yang secara langsung berpengaruh dan berkaitan. Sistem pembangunan nasional yang telah diatur dalam sistem peraturan perundangan dapat diacu sebagai dasar penyusunan perencanaan pengelolaan DAS, yaitu dengan melibatkan berbagai unsur kelembagaan secara efisien. Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu Daerah aliran sungai (DAS), yang dipandang sebagai ekosistem tata air dan digunakan sebagai unit pengelolaan sumberdaya alam vegetasi, tanah dan air yang rasional, merupakan wilayah daratan dengan batas alam berupa punggungpunggung bukit sehingga tidak selalu bisa berhimpitan dengan batas administrasi pemerintahan. Dengan demikian perbedaan batas wilayah tersebut tidak perlu dipertentangkan tetapi perlu ditata keselarasannya, agar keterkaitan antar wilayah administrasi dalam satuan DAS bisa terhubung secara serasi melalui jalinan daur hidrologi. Penggunaan DAS sebagai satuan wilayah pengelolaan adalah untuk memberikan pemahaman secara rasional dan obyektif bahwa setiap kegiatan yang dilakukan di suatu tempat (on site) di bagian hulu DAS memiliki dampak atau implikasi di tempat lain (off site) di bagian hilir DAS; atau sebaliknya bahwa pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah hilir merupakan hasil dari daerah hulu yang secara daerah otonomi atau administrasi berbeda wilayah pengelolaannya. Jumlah DAS di Indonesia sangat banyak dengan luasan yang sangat beragam dan terletak pada hamparan wilayah administrasi yang berada dalam satu kabupaten, lintas kabupaten maupun lintas provinsi, bahkan lintas negara. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 511/Menhut- V/2011 tentang Penetapan Peta Daerah Aliran Sungai disebutkan bahwa jumlah DAS di Indonesia meliputi 17.088 DAS dengan ukuran luas sangat beragam mulai kurang dari 100 ha hingga lebih dari empat juta hektar. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2009 2014 ditetapkan DAS yang berada dalam kondisi kritis dan memerlukan prioritas penanganan mencakup 108 DAS (Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 328/Menhut-II/2009). Wilayah DAS tidak selalu dan bahkan tidak pernah berhimpitan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan, akan tetapi sistem perencanaan pengelolaan DAS harus memiliki kompatibilitas atau

10

keselarasan dengan sistem pemerintahan daerah otonomi, sistem perencanaan pembangunan nasional, dan sistem tata ruang wilayah yang menggunakan satuan wilayah administrasi. Dengan penselarasan ini akan bisa dicapai 2 (dua) tujuan pengelolaan DAS, dari aspek ekonomi (produksi) dan aspek lingkungan (perlindungan) secara terintegrasi (Brooks, et al., 1990). DAS merupakan prosesor dari setiap masukan yang berupa hujan dan intervensi manusia (manajemen) untuk menghasilkan luaran yang berupa produksi, limpasan dan sedimen. Daerah aliran sungai juga dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi yang terdiri dari komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi dalam suatu kesatuan. Hubungan antara berbagai komponen berlangsung dinamis untuk memperoleh keseimbangan secara alami. Dinamika keseimbangan tersebut bisa menuju ke arah baik atau ke arah buruk, yang kondisinya sangat dipengaruhi oleh besarnya intervensi manusia terhadap sumberdaya alam dan proses interaksi alam sendiri. Oleh karena itu, dalam daerah tangkapan air atau DAS terjadi hubungan timbal balik antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya alam yang mempengaruhi kelestarian sumberdaya alam tersebut. Hubungan timbal balik ini tidak hanya setempat (onsite) tetapi juga di tempat lain (offsite), sehingga diperlukan sistem pengelolaan menyeluruh dari hulu sampai hilir. Menurut Dixon (1986), pengelolaan DAS didefinisikan sebagai proses formulasi dan implementasi dari suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut sumberdaya alam dan manusia dalam suatu DAS dengan memperhitungkan kondisi sosial, politik, ekonomi dan faktor-faktor institusi yang ada di DAS dan di sekitarnya untuk mencapai tujuan sosial yang spesifik. Sedang dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012, pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS bukan hanya hubungan antar biofisik, tetapi juga merupakan pertalian dengan faktor ekonomi dan kelembagaan. Dengan demikian perencanaan pengelolaan DAS perlu mengintegrasikan faktor-faktor biofisik,

11

sosial ekonomi dan kelembagaan untuk mencapai kelestarian berbagai macam penggunaan lahan di dalam DAS yang secara teknis aman dan tepat, secara lingkungan sehat, secara ekonomi layak, dan secara sosial dapat diterima masyarakat (Brooks, et al., 1990). Selain itu pengelolaan DAS juga bertujuan untuk mencegah kerusakan (mempertahankan daya dukung) dan memperbaiki yang rusak (pemulihan daya dukung). Perencanaan pengelolaan DAS dengan ciri-ciri DAS yang masih alami dan kondisi seperti hutan masih dominan, satwa masih baik, lahan pertanian masih kecil, belum ada pencatat hidrometri, dan HPH disiapkan untuk beroperasi memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS. Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang buruk. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Pengelolaan DAS terpadu meliputi : a. Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai. b. Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan program-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta

mekanismenya.

12

c. Keterpaduan program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah. d. Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses evaluasi dan monitoring. e. Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan. Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun. Pengelolaan DAS melibatkan berbagai ragam penggunaan lahan dengan berbagai pemangku dan pihak terkait serta pengambil keputusan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Oleh karena itu pengelolaan DAS dengan menggunakan pendekatan multi-disiplin merupakan keharusan. Kegiatan harus melibatkan institusi pemerintah dari berbagai disiplin atau sektor dan melibatkan berbagai kelompok masyarakat serta pelaku pasar. Mengingat wilayah DAS tidak selalu sama dengan wilayah administrasi, sering ditemukan kendala dalam pelaksanaan pengelolaan DAS baik bentuk kegiatannya maupun penentuan lokasinya. Hal ini terjadi karena di dalam wilayah DAS terdapat berbagai sumberdaya alam (vegetasi, tanah, dan air), sehingga ada beberapa sektor dan kepentingan yang masuk. Di samping itu, ada perbedaan prioritas pengelolaan dari masing-masing daerah administrasi. Oleh karena itu, sistem perencanaan pengelolaan DAS yang dibangun harus kompatibel dengan sistem perencanaan nasional/daerah dan selaras dengan kelembagaan terkait. Mengingat pengelolaan DAS bersifat multisektor, maka dalam perencanaannya akan melibatkan seluruh parapihak terkait (stakeholders). Istilah stakeholder sudah sangat populer, yang secara sederhana sering dinyatakan sebagai para pihak atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu rencana atau kegiatan. Berdasarkan kekuatan, posisi dan pengaruh para pihak

13

terhadap suatu rencana, para pihak dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok (ODA, 1995) sebagai berikut: a. Stakeholder utama (primer), yaitu yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program dan proyek, sehingga harus ditempatkan sebagai penentu dalam proses pengambilan keputusan. Selanjutnya disebut sebagai pengguna jasa lingkungan meliputi

masyarakat umum, pedagang, pengusaha pariwisata, PDAM, Industri hilir, petani/pengusaha perkanan, petani/pekebun, peternak, perusahaan pulp, perusahaan pembangkit tenaga listrik. b. Stakeholder pendukung (sekunder), yaitu yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program dan proyek, tetapi memiliki kepedulian sehingga turut berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. Selanjutnya disebut sebagai penyedia jasa lingkungan seperti perusahaan pembangkit tenaga listrik, kegiatan industri hilir, perkebunan, PDAM, dsb. c. Stakeholder kunci, yaitu yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder yang dimaksud adalah unsur eksekutif dan legislatif. Selanjutnya disebut sebagai pengatur jasa lingkungan meliputi Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten, Bappenas, Kementrian Kehutanan, Kementrian Pekerjaan Umum, Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementrian Lingkungan Hidup, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

14

Dalam penyusunan rencana pengelolaan DAS yang kompatibel dengan RPJM/D, maka ada 4 (empat) kelompok pihak yang terlibat dalam penyusunan rencana yakni pemerintah, masyarakat, swasta, dan relawan yang secara ringkas diilustrasikan pada Gambar 2. Masyarakat

Relawan: LSM, PT, Media, dll

Swasta/Pelaku Bisnis

Pemerintah

Gambar 2. Para pihak terkait perencanaan pengelolaan DAS

Pihak masyarakat dan swasta sebagai pihak utama karena memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, sehingga harus ditempatkan sebagai penentu dalam proses pengambilan keputusan. Dengan keterlibatan masyarakat dan swasta dalam penyusunan rencana pengelolaan DAS

menunjukkan bahwa rencana pengelolaan ada kombinasi antara rencana yang bersifat top-down dan bottom-up. Untuk itu, keterlibatan masyarakat dan swasta di sini lebih mengarah pada rencana kegiatan yang bersifat operasional. Pihak sukarelawan (LSM, perguruan tinggi, media dll) sebagai pihak pendukung karena meskipun tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, tetapi memiliki kepedulian sehingga turut berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. Mekanisme Subsidi Hulu-Hilir Dalam ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting

15

terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Contoh keterkaitan antara bagian hulu dengan hilir diantaranya adalah : (a). bagian hulu mengatur aliran air yang dimanfaatkan oleh penduduk di bagian hilir, (b). erosi yang terjadi di bagian hulu menyebabkan sedimentasi dan banjir di hilir, dan (c). bagian hilir umumnya menyediakan pasar bagi hasil pertanian dari bagian hulu. Bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi. Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat

16

dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir. Menurut Asdak (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut : 1. Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan. 2. Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau kebijakan yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana

program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa negative externalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan DAS bagi : (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan (sectoral externalities). 3. Dalam kerangka konsep externalities, maka pengelolaan sumberdaya alam dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor (organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan tersebut. Pada penanganan DAS bagian hulu diarahkan pada kawasan budidaya (pertanian) karena secara potensial proses degradasi lebih banyak terjadi pada kawasan ini. Untuk itu agar proses terpeliharanya sumberdaya tanah (lahan) akan terjamin, maka setiap kawasan pertanian atau budidaya tersedia kelas-kelas

17

kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari. Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun adminstratif, yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan

mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta penyediaan pendanaan, yang dapat dijabarkan oleh Gambar 3 berikut. Pengelolaan Ekosistem DAS

Hulu-Hilir DAS

Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Batas Ekologi/Administrasi

Kelembagaan

Teknologi

Pendanaan

Gambar 3. Model Pengelolaan DAS

Selama ini metodologi perencanaan DAS secara terpadu kurang memperhatikan aspek-aspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan, misalnya antara kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri, kepentingan daya dukung lingkungan (ecological demands). Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi SDA berupa penambangan, dan eksploitasi hutan

menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu DAS yang menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air pada musim kemarau. Ketika air hujan turun

18

pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang seringkali menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran air menjadi sangat kecil bahkan pada beberapa kasus sungai tidak terdapat aliran air. Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan lahan menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya proses degradasi tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas air. Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini oleh karenanya merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang didasarkan pada data akademis maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Dengan beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa perlindungan dan penggunaan DAS secara berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka kerja (framework). Dalam penyusunan rencana kegiatan pengelolaan DAS perlu

mengintegrasikan dengan rencana tata ruang dan penatagunaan tanah, mempertimbangkan hubungan daerah hulu dan daerah hilir, serta aspek penanggungan biaya bersama (cost sharing). Seperti telah dikemukakan di muka bahwa batas ekosistem DAS tidak selalu sama (coincided) dengan batas administratif. Satu wilayah administratif secara geografis dapat terletak pada satu wilayah DAS atau sebaliknya.

19

Apabila hal ini terjadi, diperlukan identifikasi tentang wilayah administratif yang termasuk/tidak termasuk dalam DAS yang menjadi kajian. Disamping itu, adanya keterkaitan biofisik antara hulu dan hilir DAS perlu juga dilakukan identifikasi, penentuan lokasi, kategori dan bentuk aktifitas pihak pihak yang berkepentingan dalam suatu DAS. Selanjutnya, dirumuskan kebijakan pengelolaan DAS yang telah mempertimbangkan mekanisme, regulasi dan pengaturan kelembagaan yang akan menerapkan prinsip-prinsip insentif dan disinsentif terhadap pihak pihak yang berkepentingan sesuai dengan kategori dan kedudukannya dalam perspektif prinsip pembiayaan bersama (cost sharing principle). Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu DAS dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan adanya biaya dari pihak pihak yang berkepentingan yang mendapat manfaat sebagai akibat adanya kegiatan tersebut. Dalam mekanisme tersebut diperlukan kejelasan akan bentuk jasa lingkungan, wilayah, komunitas, dan institusi di hulu DAS sebagai produsen jasa lingkungan, dalam hal ini masyarakat pengelola sumber daya alam dan sebagaai hilirnya adalah konsumen atau penggunan jasa lingkungan. Dengan mekanisme ini terjadi interaksi di antara pihak pihak yang berkepentingan di daerah hulu, tengah dan hilir DAS. Pada kondisi belum jelasnya seluruh aspek di tingkat hulu dan hilir, siapa, bagaimana, dimana, dan apa saja jasa lingkungan yang diproduksi dan dikonsumsi, peran pemerintah sebagai pengguna tak langsung atas jasa-jasa lingkungan sangatlah signifikan sehingga regulasi pemberian insentif bagi masyarakat penyedia jasa lingkungan seharusnya menjadi prioritas tataran pemerintah yang bersangkutan. Perencanaan DAS tidak dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral saja, keterkaitan antar sektor yang mewakili masing-masing sub-DAS, dari sub-DAS hulu hingga ke hilir perlu menjadi fokus perhatian dengan berpegang pada prinsip one river one management. Keterkaitan antar sektor meliputi perencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada tingkat koordinasi semua instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing resources), dimana pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya. Berdasarkan hal

20

tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir. Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input-proses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut menjadi output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui proses yang ada menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadi input bagi sub-DAS hilir. Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada masa ke depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan penerapan user pays principle maupun polluter pays principle. Prinsip bahwa pengguna sumber daya alam harus membayar harga penuh untuk sumber daya alam dan pasokan mereka. Pengguna membayar prinsipnya adalah prinsip bahwa semua biaya yang terkait dengan penggunaan sumber daya harus, jika memungkinkan, dimasukkan dalam harga barang dan jasa (termasuk jasa pemerintah) yang dihasilkan dari penggunaan. Contoh dengan menggunakan TPA, seseorang menggunakan sumber daya. Di bawah prinsip pengguna membayar, harga untuk membuang sampah ke TPA harus mencakup biaya penuh terkait dengan penggunaan lahan untuk tempat pembuangan sampah. Biaya ini mungkin termasuk, misalnya, biaya pembelian tanah dan membangun TPA, dan biaya kesempatan untuk menggunakan tanah sebagai tempat pembuangan sampah. Dalam menentukan apa biaya yang terkait dengan penggunaan sumber daya, jumlah yang diterima dari pemerintah sebagai subsidi, pembayaran insentif, hibah atau pembayaran serupa, yang lain yang akan mengurangi biaya, harus dikesampingkan. Dalam kondisi seperti saat ini, tersedianya mekanisme dan instrument insentif/disinsentif yang dapat mengatur ketimpangan hubungan hulu-hilir sangat diperlukan bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara lestari. Bentuk-bentuk instrument insentif-disinsentif tersebut perlu diterjemahkan dalam arti luas tidak dalam ukuran ekonomi saja seperti bantuan dana, subsidi, dan permodalan. Artinya, insentif yang digunakan juga dapat berupa; kepastian

21

penguasaan tanah dan sumberdaya alamnya, sarana publik seperti kesehatan, pendidikan, serta sarana publik lainnya, fasilitas pemberdayaan kelompok masyarakat dalam bentuk satuan masyarakat yang sesuai dengan pola pengelolaannya, pengurangan atau pengecualian pajak, subsidi silang dsb bagi produsen jasa lingkungan. Dalam aliran mekanisme insentif/disinsentif, beberapa hal penting yang harus menjadi pertimbangan dalam alokasi dan distribusi insentif/disinsentif diantaranya adalah: (1) insentif haruslah murah terutama bagi penyedia, artinya beban untuk menyediakan insentif jangan sampai meningkatkan harga barang dan jasa lingkungan sehingga menyulitkan konsumen, (2) di sisi lain alokasi insentif harus tepat sasaran, tepat wilayah dan tepat guna bagi penerima insentif, sehingga tetap menjadi insentif bukan disinsentif bagi penyedia jasa lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Perlu disepakati secara mendasar bahwa ekosistem DAS terdiri atas berbagai sub-ekosistem yang saling berinteraksi. Oleh karenanya, pengelolaan salah satu sumberdaya alam atau buatan di dalam DAS secara sektoral diyakini akan menghadapi berbagai kendala dan kegagalan. Kebijakan pengelolaan irigasi perlu diintegrasikan dengan kebijakan pengelolaan sektor lainnya termasuk hutan yang berfungsi hidro-orologis bagi kelangsungan pasokan air irigasi. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika Mekanisme Insentif-Disinsentif perlu

diaplikasikan ke dalam kebijakan pengelolaan kedua sektor tersebut dalam satu kesatuan DAS sebagai bio-region pembangunan. Hasil yang diperoleh dari pembangunan irigasi selayaknya juga turut dimanfaatkan oleh masyarakat dan institusi di hulu yang turut berperan dalam menjaga kestabilan pasokan air melalui pengelolaan ekosistem hutan yang dilakukannya. Sebagai sebuah contoh pengelolaan DAS terpadu melalui mekanisme subsidi hulu-hilir, disajikan sebuah Ringkasan Disertasi Doktor Maria Ratnaningsih (www.pps.ui.ac.id) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Harus Dilakukan Secara Terpadu Dengan Memperhitungkan Harga Air Sebagai Bentuk Pembayaran Jasa Lingkungan. Kerusakan hutan dan perubahan tata guna lahan yang terjadi di daerah aliran sungai (DAS) merupakan akibat pengelolaan DAS yang dilakukan berdasarkan sektor dan wilayah. Pengelolaan DAS sebagai suatu

22

ekosistem belum memperhitungkan keterkaitan balas jasa lingkungan antara hulu dan hilir. Akibatnya DAS rusak, tingkat erosi dan sedimentasi tinggi, fungsi tata air terganggu sehingga ketersediaan air untuk berbagai kebutuhan tidak terpenuhi. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik ekonomi maupun sosial. Benturan kepentingan antar pengguna air telah menciptakan premanisme air seperti yang terjadi di Kabupaten Indramayu. DAS Cimanuk meliputi areal seluas 3.584 km2 mencakup wilayah Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, dan Indramayu. Luas lahan kritis di DAS Cimanuk mencapai 131.384 hektar atau sekitar 36,6% dari luas DAS dengan rasio debit di sungai Cimanuk mencapai 251. Tingginya rasio ini menunjukkan tingkat kerusakan DAS yang tinggi. Tidak adanya harga jasa lingkungan menyebabkan sistem perekonomian tidak memiliki kontrol untuk mengendalikan pemanfaatan lingkungan yang cenderung berlebihan. Koreksi kegagalan pasar jasa lingkungan di DAS melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan (diterapkan dengan pendekatan kebijakan harga air) diharapkan mampu mengatasi masalah ketersediaan air. Dana yang berasal dari pembayaran ini dialokasikan untuk membiayai perbaikan kondisi ekosistem DAS melalui pengelolaan DAS terpadu agar fungsi tata air berkelanjutan. Dr. Ratna menuliskan bahwa dalam penelitiannya ini menggunakan harga air sebagai indikator pembayaran jasa lingkungan hutan sebagai fungsi tata air. Ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menilai harga air yaitu kesediaan membayar harga air, menilai harga air sebagai faktor produksi, dan dengan pendekatan full cost pricing yang memasukkan unsur biaya penggunaan sumber daya alam dan biaya lingkungan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa petani bersedia untuk membayar harga air yang digunakan dalam produksi pertanian padi sebesar Rp. 96,- per m3. Harga air yang dihitung berdasarkan nilai produksi marjinal di sektor pertanian bervariasi berdasarkan pendekatan full cost pricing antara Rp. 2.060,- hingga Rp. 3.371,- per m3. Dalam penerapannya perbedaan harga air dapat diatasi dengan memberikan subsidi silang antara harga air di sektor pertanian dengan harga air di sektor lain maupun dengan subsidi pemerintah. Yang penting untuk diperhatikan adalah harga air tetap diusahakan

23

sesuai dengan harga berdasarkan full cost pricing untuk menjaga efisiensi penggunaan air. Mengingat pengelolaan DAS Cimanuk terpadu menyangkut penerapan pembayaran jasa lingkungan melalui mekanisme pembayaran harga air, maka diperlukan fungsi kontrol dan transparansi yang kuat dalam pelaksanaannya. Lembaga penelitian maupun LSM yang mempunyai kemampuan sebagai lembaga mediasi harus dilibatkan dalam mekanisme pengelolaan ini. Keberadaan DAS Cimanuk dan pemanfaatan harus tidak lagi dipandang hanya sebagai hak tetapi juga sebagai kewajiban masyarakat untuk mengelola secara bersama agar fungsi ekosistem DAS dapat berkelanjutan. Contoh lain, dalam pengelolaan DAS Cidanau membangun kesamaan visi dan misi dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan di DAS Cidanau secara terintegrasi dalam kerangka pembangunan bekelanjutan yang didasarkan pada konsep one river, one plan and one management. Upaya pelestarian lingkungan dengan konsep ini dapat menjadi terobosan baru dalam teknik konservasi lingkungan yang berkelanjutan berdasarkan prinsip hubungan hulu-hilir yang saling menguntungkan antara penyedia di hulu dan pengguna jasa lingkungan di hilir. Sebagai solusi untuk melestarikan lingkungan di DAS Cidanau, khususnya sumber daya air, maka digagaslah model hubungan hulu-hilir dengan transaksi Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) atau Payment for Environmental Service. Pendekatan konsep ini merupakan suatu bentuk instrumen ekonomi berupa pembayaran insentif yang bertujuan untuk mengendalikan dampak negatif lingkungan melalui mekanisme pasar. Mekanisme pasar pasar tercermin pada proses transaksi (tukar menukar jasa) antara penyedia jasa dan pengguna jasa lingkungan dengan posisi setara dan sukarela. Konsep pembayaran jasa lingkungan ini diharapkan dapat menjadi program alternatif dan strategis dalam rangka mengurangi tingkat kerusakan lingkungan dan tingkat kemiskinan masyarakat. Dengan adanya konsep dan mekanisme yang disepakati serta didukung berbagai pihak, maka PT. Krakatau Tirta Industri (PT. KTI) sebagai pemanfaat utama sumberdaya alam dalam bentuk air baku dari Sungai Cidanau, bersedia membayar sejumlah uang sebagai bentuk implementasi dari konsep pembayaran jasa lingkungan dalam bentuk kompensasi atau insentif dan kepada

24

masyarakat hulu di wilayah DAS Cidanau. PT. KTI bersedia untuk melakukan pembayaran selama 5 (lima) tahun dengan nilai Rp. 175.000.000,00/tahun untuk dua tahun pertama dan Rp. 200.000.000,00/tahun untuk tahun-tahun berikutnya dengan luas lahan seluas 50 ha. Nilai tersebut 2.765.000,00/ha/tahun hingga Rp. 3.160.000,00/ha/tahun. Penerima transaksi pembayaran jasa lingkungan adalah masyarakat hulu yang dipilih berdasarkan kondisi lahan yang kritis dan berpengaruh terhadap fungsi hutan dan tata air di DAS Cidanau serta kondisi sosio-kapital masyarakat yang tepat. Berdasarkan kriteria teresebut, dipilihlah Desa Citaman dan Cibojong kemudian menyusul Desa Kadu Agung dan Cikumbueun. Desa-desa tersebut akan menerima pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp. 1.200.000,00 /ha/tahun. Ketentuannya, lahan masyarakat yang berhak menerima pembayaran jasa lingkungan harus memiliki jumlah tanaman tidak kuang dari 500 batang poho tiap hektar lahannya pada tahun pertama dan tidak kurang dari 200 pohon pada akhir tahun ke-lima. setara dengan Rp.

25

KESIMPULAN
Daerah aliran sungai (DAS), yang dipandang sebagai ekosistem tata air dan digunakan sebagai unit pengelolaan sumberdaya alam vegetasi, tanah dan air yang rasional, merupakan wilayah daratan dengan batas alam berupa punggungpunggung bukit sehingga tidak selalu bisa berhimpitan dengan batas administrasi pemerintahan. Dengan demikian perbedaan batas wilayah tersebut tidak perlu dipertentangkan tetapi perlu ditata keselarasannya, agar keterkaitan antar wilayah administrasi dalam satuan DAS bisa terhubung secara serasi melalui jalinan daur hidrologi. Penggunaan DAS sebagai satuan wilayah pengelolaan adalah untuk memberikan pemahaman secara rasional dan obyektif bahwa setiap kegiatan yang dilakukan di suatu tempat (on site) di bagian hulu DAS memiliki dampak atau implikasi di tempat lain (off site) di bagian hilir DAS; atau sebaliknya bahwa pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah hilir merupakan hasil dari daerah hulu yang secara daerah otonomi atau administrasi berbeda wilayah pengelolaannya. Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir. Perencanaan DAS tidak dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral saja, keterkaitan antar sektor yang mewakili masing-masing sub-DAS, dari sub-DAS hulu hingga ke hilir perlu menjadi fokus perhatian dengan berpegang pada prinsip one river one management. Keterkaitan antar sektor meliputi perencanaan

26

APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada tingkat koordinasi semua instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing resources), dimana pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir. Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input-proses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut menjadi output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui proses yang ada menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadi input bagi sub-DAS hilir. Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada masa ke depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan penerapan user pays principle maupun polluter pays principle. Prinsip bahwa pengguna sumber daya alam harus membayar harga penuh untuk sumber daya alam dan pasokan mereka. Pengguna membayar prinsipnya adalah prinsip bahwa semua biaya yang terkait dengan penggunaan sumber daya harus, jika memungkinkan, dimasukkan dalam harga barang dan jasa (termasuk jasa pemerintah) yang dihasilkan dari penggunaan. Selanjutnya, dirumuskan kebijakan pengelolaan DAS yang telah mempertimbangkan mekanisme, regulasi dan pengaturan kelembagaan yang akan menerapkan prinsip-prinsip insentif dan disinsentif terhadap pihak pihak yang berkepentingan sesuai dengan kategori dan kedudukannya dalam perspektif prinsip pembiayaan bersama (cost sharing principle). Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu DAS dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan adanya biaya dari pihak pihak yang berkepentingan yang mendapat manfaat sebagai akibat adanya kegiatan tersebut. Dalam mekanisme tersebut diperlukan kejelasan akan bentuk jasa lingkungan, wilayah, komunitas, dan institusi di hulu DAS sebagai produsen jasa lingkungan,

27

dalam hal ini masyarakat pengelola sumber daya alam dan sebagaai hilirnya adalah konsumen atau penggunan jasa lingkungan. Dengan mekanisme ini terjadi interaksi di antara pihak pihak yang berkepentingan di daerah hulu, tengah dan hilir DAS. Pada kondisi belum jelasnya seluruh aspek di tingkat hulu dan hilir, siapa, bagaimana, dimana, dan apa saja jasa lingkungan yang diproduksi dan dikonsumsi, peran pemerintah sebagai pengguna tak langsung atas jasa-jasa lingkungan sangatlah signifikan sehingga regulasi pemberian insentif bagi masyarakat penyedia jasa lingkungan seharusnya menjadi prioritas tataran pemerintah yang bersangkutan. Dalam aliran mekanisme insentif/disinsentif, beberapa hal penting yang harus menjadi pertimbangan dalam alokasi dan distribusi insentif/disinsentif diantaranya adalah: (1) insentif haruslah murah terutama bagi penyedia, artinya beban untuk menyediakan insentif jangan sampai meningkatkan harga barang dan jasa lingkungan sehingga menyulitkan konsumen, (2) di sisi lain alokasi insentif harus tepat sasaran, tepat wilayah dan tepat guna bagi penerima insentif, sehingga tetap menjadi insentif bukan disinsentif bagi penyedia jasa lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai