Anda di halaman 1dari 23

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Daerah Aliran Sungai
2.1.1.1 Definisi Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang
tersusun atas komponen-komponen biofosik dan sosial (human systems) yang
dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain (Dharmawan
et al. 2005). Menurut Manan (1976) sebagaimana dikutip Dharmawan et al.
(2005), DAS didefinisikasn sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh topografi
pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung bukit atau gunung yang
menangkap curah hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya melalui
saluran-saluran pengaliran ke suatu titik (outlet) yang umumnya berada di muara
sungai biasa atau danau.
Menurut Kartodihardjo et al. (2004), definisi DAS dari sudut pandang
institusi bukan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS,
batas yurisdiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun bentuk-bentuk
aturan perwakilan yang diperlukan dalam pengambilan keputusan seputar cara-
cara yang digunakan (teknologi), melainkan bagaimana para pihak mempunyai
kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkan aturan main diantara mereka,
termasuk kesepakatan dalam penggunaan teknologi itu sendiri, sehingga
masing-masing pihak mempunyai kepastian hubungan yang sejalan dengan
tujuan yang telah ditetapkan.
Pendefinisian DAS dalam konsep daur hidrologi sangat diperlukan
terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya
didistribusikan melalui beberapa cara. Chay Asdak (2002) sebagaimana dikutip
Dephut (2003c), menjelaskan konsep daur hidrologi DAS bahwa air hujan
langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian,
evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit
aliran. Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari: manusia,
hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen
8

tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri,
namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem
ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan
dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu
komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak
yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan
timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal.

2.1.1.2 Kesatuan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai


Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang
diterima, geologi yang mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang
dimaksud termasuk kapasitas DAS menurut Farida et al. (2005) untuk: (1)
mengalirkan air; (2) menyangga kejadian puncak hujan; (3) melepas air secara
bertahap; (4) memelihara kualitas air; dan (5) mengurangi pembuangan massa
(seperti tanah longsor). Aktivitas yang mempengaruhi komponen DAS di bagian
hulu akan mempengaruhi kondisi DAS bagian tengah dan hilir. Batas DAS secara
administratif hanya dapat tercakup dalam satu kabupaten hingga melintas batas
provinsi dan negara. Suatu DAS yang sangat luas dapat terdiri dari beberapa sub
DAS yang kemudian dapat dikelompokkan lagi menjadi DAS bagian hulu, DAS
bagian tengah dan DAS bagian hilir (Dephut 2003 c). Fungsi dari setiap sub DAS
tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, DAS bagian hulu dapat diindikasikan dari kondisi tutupan
vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah
hujan. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah dengan lanskap pegunungan
dengan variasi topografi, mempunyai curah hujan yang tinggi dan sebagai daerah
konservasi untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak
terdegradasi. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi
perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu
akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit
dan transport sedimen sistem aliran airnya.
Kedua, DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air
sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial
9

dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air,
kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada
prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.
Ketiga, DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai
yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan
ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan
menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian,
air bersih, serta pengelolaan air limbah. Bagian hilir merupakan daerah
pemanfaatan yang relatif landai dengan curah hujan yang lebih rendah. Semakin
ke hilir, mutu air, kontinuitas, kualitas dan debit akan semakin berkurang
kualitasnya dibandingkan dengan DAS bagian hulu. Hal ini terjadi karena badan
air di hulu tercemari oleh kegiatan-kegiatan manusia baik domestik maupun
industri, sehingga badan air di bagian hilir mengalami kondisi dan kualitas yang
kurang baik. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan
baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di
bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS di bagian hilir,
baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi
masyarakat secara keseluruhan.

2.1.1.3 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai


Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk mengendalikan
hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala
aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem
serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan manusia.
Prinsip dasar dalam pengelolaan DAS yaitu “satu DAS, satu perencanaan, satu
pengelolaan”. Dengan prinsip ini pengelolaan DAS dilakukan dengan pendekatan
ekosistem dengan asas keterpaduan, kemanfaatan, kelestarian, dan keadilan
(Sumampouw et al. t.t).
Pengelolaan DAS menurut Dephut (2008) adalah upaya dalam mengelola
hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air
dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan
manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan
10

kelestarian ekosistem DAS. Mengacu pada penelitian Citanduy, pengelolaan DAS


dalam konteks yang lebih luas dipandang sebagai suatu sistem sumberdaya,
satuan pengembangan sosial ekonomi dan satuan pengaturan tata ruang wilayah
yang dijalankan berdasarkan prinsip konservasi sumberdaya (resources
sustainability) yang mengandung makna keterpaduan antara prinsip produktivitas
dan konservasi sumberdaya (sustainability = productivity + conservation of
resources) dalam mencapai tujuan-tujuan pengelolaan DAS (Dharmawan et al
2005). Tujuan-tujuan pengelolaan DAS tersebut menurut Dephut (2008) meliputi:
1. Lahan yang produktif dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukungnya;
2. DAS yang mempunyai tutupan vegetasi tetap yang memadai dan aliran (debit)
air sungai stabil dan jernih tanpa ada pencemaran air;
3. Kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif para pihak termasuk masyarakat
di dalam pengelolaan DAS semakin lebih baik;
4. Kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
Ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS sebagaimana dinyatakan oleh
(Dephut 2008) meliputi :
1. Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan
barang dan jasa serta kelestarian lingkungan;
2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk
memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan;
3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan,
rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi);
4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait
dengan konservasi tanah dan air;
5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS.
Pengelolaan DAS selama ini memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga
pengelolaan DAS hanya bekerja pada batas wilayah administratif masing-masing.
Pedoman yang digunakan lembaga-lembaga terkait untuk mengelola DAS pun
berbeda-beda. Umumnya pengelolaan DAS yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga yang ada hanya berupa rehabilitasi dan konservasi. Program-program
tersebut hanya akan muncul jika telah terjadi deforestasi dan degradasi pada DAS.
11

2.1.1.4 Kerusakan Ekosistem Daerah Aliran Sungai


Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan
vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan
DAS dalam menyimpan air. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di
Indonesia sekitar 50 persen dari luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal
yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-
2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun, sedangkan lahan-lahan kritis dan sangat
kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30,2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat
kritis dan 6,9 juta ha kritis), serta erosi dari daerah pertanian lahan kering yang
padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th)
sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun (Dephut
2008).
Menurut Kartodihardjo et al. (2004), rusaknya SDA disebabkan antara lain
oleh: (1) berbagai kegiatan pembangunan yang lebih menitik-beratkan pada
produksi komoditas (tangible product); (2) lemahnya institusi (dalam arti aturan
main maupun organisasi) yang tujuannya mencegah rusaknya sumberdaya yang
berupa stock (dan menghasilkan intangible product) seperti bentang alam,
watershed, danau, kawasan lindung dan pantai-laut-pulau kecil; (3) lemahnya
institusi yang tugasnya melakukan penyelesaian konflik dan penataan penguasaan,
pemilikan serta pemanfaatan sumber-sumber agraria. Perkembangan
pembangunan yang masih tertuju pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
kesempatan kerja akan senantiasa mengeksploitasi sumberdaya alam sebagai
faktor produksi yang diperlukan. Orientasi ekonomi pada komoditas (barang)
sumberdaya alam ini dalam kondisi lemahnya institusi publik yang mengaturnya
akan mengabaikan fungsi sumberdaya alam sebagai daya dukung kehidupan
(jasa).
Dalam 20 tahun terakhir, jumlah DAS kritis di Indonesia meningkat dari
22 menjadi 60 (Sumampouw et al. t.t). Buku Laporan Status Lingkungan Hidup
Indonesia (SLHI) tahun 2007 mencatat ada 60 DAS kritis yang menduduki
prioritas utama. Sebuah DAS disebut kritis dan masuk kategori prioritas utama
bila seluruh parameter penilaian memperlihatkan hasil di bawah standar. Salah
12

satu parameternya adalah tutupan lahan di sekitar DAS. Singkatnya, setiap tahun
jumlah DAS kritis terus bertambah.

Tabel 2.1 DAS Kritis di Indonesia


Daerah Aliran Sungai Kritis di Indonesia
Kategori Jumlah
Prioritas 1 60
Prioritas 2 222
Prioritas 3 176
Sumber: (Sumampouw et al t.t)

Kondisi kritis DAS ini ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS


untuk menyimpan air. Dampaknya adalah meningkatnya frekuensi banjir, erosi,
sedimentasi dan longsor pada musim hujan serta kekeringan pada musim
kemarau. Peningkatan jumlah DAS kritis ini menimbulkan kerugian materi dan
jiwa. Saat ini, kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan
sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan
ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor yaitu antara
wilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah, dimana sumberdaya
alam ditempatkan sebagai sumber PAD (Dephut 2006).
Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi
masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan
dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat
kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan
mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan)
bukan kepedulian terhadap lingkungan, sehingga sering terjadi perambahan hutan
di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di
perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS. Bentuk kerusakan ekologi
ini didominasi oleh kerusakan hutan yang berdampak pada kerusakan DAS
(Dephut 2008).

2.1.2 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu


2.1.2.1 Konsep Pengelolaan Kolaboratif Daerah Aliran Sungai
Menurut Gray (1989) sebagaimana dikutip Means et al. (2005), kolaborasi
adalah suatu proses dimana dua pemangku kepentingan atau lebih yang berbeda
13

kepentingan dalam suatu persoalan yang sama menjajagi dan bekerjasama melalui
perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan
bersama. Suporahardjo (2005) menyebutkan pendekatan kolaborasi sering disebut
sebagai “jembatan” (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya.
Sebagai jembatan penyeberangan yang berfungsi mengintegrasikan batas-batas
yang dibatasi oleh geografi, kepentingan dan persepsi, Straus (2002) sebagaimana
dikutip Suporahardjo (2005), menyatakan pendekatan kolaborasi juga dikenal
sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadversarial
approach) untuk penyelesaian masalah dan konflik. Dalam prakteknya kolaborasi
banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik
multi pihak.
Chrislip dan Larson (1994) sebagaimana dikutip Suporahardjo (2005),
menyatakan bahwa strategi kolaborasi berhasil dilaksanakan karena sembilan
faktor berikut:
1. Waktunya tepat dan kebutuhan yang jelas;
2. Didukung oleh kelompok pemangku kepentingan yang kuat;
3. Keterlibatan yang luas (mengupayakan keterlibatan banyak peserta dari
berbagai sektor);
4. Kredibilitas dan keterbukaan proses;
5. Komitmen dan keterlibatan level atas, pemimpin yang bervisi;
6. Mendukung atau menyetujui penetapan kewenangan atau kekuasaan (power);
7. Mengatasi ketidakpercayaan dan skeptisme;
8. Kepemimpinan yang kuat terhadap proses;
9. Keberhasilan sementara;
10. Bergerak ke kepedulian yang lebih luas.
Salah satu pendekatan kolaboratif yang dapat dilakukan dalam
pengelolaan DAS adalah pengelolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan DAS
secara terpadu adalah rangkaian upaya yang memperlakukan DAS sebagai suatu
kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir dengan pendekatan lintas sektor dan
lintas wilayah administrasi pemerintahan secara partisipatif, koordinatif,
integratif, sinkron dan sinergis guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS
(Dephut 2009).
14

Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau


aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal
sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam
menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang
dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja
DAS secara keseluruhan. Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk
terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air
sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi
kesejahteraan manusia (Dephut 2003c). Beberapa hal yang mengharuskan
pengelolaan DAS diselenggarakan secara terpadu (Dephut 2006) adalah:
1. Terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan (multi sektor) dalam pengelolaan
sumberdaya dan pembinaan aktivitasnya;
2. Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup berbagai
bidang kegiatan;
3. Batas DAS tidak selalu bertepatan dengan batas wilayah administrasi
pemerintahan;dan
4. Interaksi daerah hulu sampai hilir yang berdampak negatif maupun positif
sehingga memerlukan koordinasi antar pihak.
Prinsip-prinsip yang harus menjadi dasar acuan dalam pengelolaan DAS
terpadu adalah sebagai berikut:
1. Pengelolaan DAS dilakukan dengan memperlakukan DAS sebagai satu
kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir, satu perencanaan dan satu sistem
pengelolaan;
2. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan multipihak, koordinatif, menyeluruh dan
berkelanjutan;
3. Pengelolaan DAS bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi yang dinamis
dan sesuai dengan karakteristik DAS;
4. Pengelolaan DAS dilaksanakan dengan pembagian tugas dan fungsi, beban
biaya dan manfaat antar multipihak secara adil;
5. Pengelolaan DAS berdasarkan akuntabilitas para pemangku kepentingan.
Secara garis besar ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS terpadu
meliputi:
15

1. Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan


barang dan jasa serta kelestarian lingkungan;
2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk
memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan;
3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan,
rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi);
4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait
dengan konservasi tanah dan air; dan
5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS.
Pelaksanaan pengelolaan kolaboratif DAS, harus mengacu pada semboyan
“Satu Kelola DAS, Satu Rasa, Satu Aksi dengan Sejuta Manfaat”. Satu Kelola
DAS, Satu Rasa dan Satu Aksi dapat diartikan sebagai berikut (Sumampouw et al.
t.t):
1. Satu Kelola DAS: suatu area pengelolaan daerah aliran sungai skala kecil yang
ditentukan berdasarkan karakter bentang alam.
2. Satu Rasa: bahwa pemilihan pengelolaan suatu area satu kelola DAS skala
kecil didasarkan pada munculnya isu bersama, kepentingan bersama, kedekatan
budaya, dan tema bersama (contoh tema konservasi, hijau bersih sehat,
perlindungan sumber air dan lain-lain).
3. Satu Aksi: suatu rencana aksi pengelolaan bersama dan terpadu yang
merupakan hasil dari proses partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan
terhadap pentingnya satu kelola DAS yang diwujudkan dalam bentuk aksi
nyata.
4. Sejuta Manfaat: bahwa pengelolaan DAS membawa berbagai hasil serta
dampak positif bagi kehidupan manusia secara utuh, terutama yang
menyangkut hubungan manusia dengan alamnya.

2.1.2.2 Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris Daerah Aliran Sungai


Pengertian kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara
anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan
bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu
organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat
16

berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian
perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama
(Djogo et al. 2010). Menurut Ostrom (1986) sebagaimana dikutip Djogo et al.
(2010), menerangkan bahwa kelembagaan adalah aturan dan rambu-rambu
sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat
untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama
lain.
Menurut Soekanto (1999) sebagaimana dikutip Manik et al. (2010),
fungsi kelembagaan antara lain: (1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk
bertingkah laku; (2) menjaga keutuhan masyarakat; dan (3) sebagai sistem
pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari
masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Ekawati (2008) sebagaimana
dikutip Manik et al. (2010), menyebutkan salah satu kegiatan untuk mendorong
keterpaduan dalam pengelolaan DAS adalah pembentukan kelembagaan
pengelolaan DAS.
Partisipasi masyarakat secara umum merupakan suatu proses yang
melibatkan masyarakat. Canter (1989) sebagaimana dikutip Arimbi (1993),
mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan
interaksi antara dua kelompok atau sebagai proses dimana masalah-masalah
dan kebutuhan lingkungan dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab,
secara sederhana hal ini didefinisikannya sebagai feed forward information
(komunikasi dari Pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan
feed back information (komunikasi dari masyarakat ke Pemerintah atas
kebijakan). Menurut Arimbi (1993), partisipasi masyarakat merupakan instrumen
untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), tujuan yang dimaksudkan
adalah terkait dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik yang menentukan
kesejahteraan manusia. Keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau sering
disebut partisipasi sangat menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan
pengelolaan DAS termasuk rehabilitasi hutan dan lahan.
Nasdian (2004) memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif yang
diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka
sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)
17

dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat
dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah
dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua,
partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah
mereka sendiri. Sementara itu, Cohen dan Uphoff (1977) sebagaimana dikutip
Intania (2003) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu:
1. Tahap pengambilan keputusan (perencanaan) yang diwujudkan dengan
keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat;
2. Tahap pelaksanaan dengan wujud nyata partisipasi berupa:
1. Partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran;
2. Partisipasi dalam bentuk sumbangan materi; dan
3. Partisipasi dalam bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek;
3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan
partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain
itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka
semakin besar manfaat proyek yang dirasakan berarti proyek tersebut berhasil
menangani sasaran; dan
4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini
dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan
bagi pelaksanaan proyek selanjutnya.
Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan berarti
adanya tindakan nyata yang dilakukan masyarakat dalam berbagai upaya
pengendalian dampak lingkungan. Peran masyarakat dalam pengendalian
dampak lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No.
23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi: setiap orang
mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan
kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta
dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tahap
perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Selanjutnya,
Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dilakukan melalui
beberapa cara, yakni: (1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat
18

dan kemitraan; (2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan


masyarakat; (3) menumbuhkan rasa tanggap masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial; (4) memberikan saran dan pendapat, dan; (5) menyampaikan
informasi dan/atau menyampaikan laporan.
Partisipasi masyarakat merupakan faktor terpenting dalam
pembangunan, sehingga hampir semua negara mengakui adanya kebutuhan
akan partisipasi dalam semua proses pembangunan. Hal ini terlihat dengan
munculnya konsep pembangunan dari bawah yang melibatkan peran serta
masyarakat (bottom up) untuk mengimbangi modus konsep pembangunan dari
atas (top down) (Zulkarnain dan Dodo1989). Kesadaran dalam berpartisipasi ini
sangat penting artinya, terutama bila dikaitkan dengan perawatan atau
pengelolaan hasil pembangunan. Betapa pentingnya partisipasi dari seluruh
masyarakat, hal ini dikarenakan: (1) partisipasi masyarakat merupakan suatu alat
guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan masyarakat
setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek
akan gagal; (2) masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program
pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan
perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek
tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; (3)
merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam
pembangunan masyarakat mereka sendiri. Sentosa (1990) sebagaimana dikutip
Atmanto (1995), mengemukakan beberapa unsur penting dari partisipasi sebagai
berikut:
1. Komunitas yang menumbuhkan pengertian yang efektif;
2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh
pengertian;
3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan;
4. Spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh;
5. Menumbuhkan kesadaran; dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang
lain; dan
6. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama.
19

Anggota kelembagaan partisipatoris DAS sendiri dapat terdiri dari


perwakilan tiga kelompok utama dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu
kelompok pemerintah atau pemerintah daerah, kelompok dunia usaha dan
kelompok masyarakat. Kelompok pemerintah terkait dengan perencanaan
pembangunan, pengelolaan hutan dan lahan pertanian, pertambangan, perikanan,
sumberdaya air dan lingkungan hidup. Dunia usaha (swasta) bisa berupa badan
usaha milik pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta yang berkepentingan
dengan pengelolaan DAS. Perwakilan masyarakat bisa berupa pakar dari
Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian, LSM yang berkepentingan terhadap
pengelolaan DAS serta individu-individu/tokoh yang memberikan perhatian
terhadap pengelolaan (pemanfaatan/pelestarian) ekosistem DAS.
Melalui kelembagaan DAS maka akan terbangun komunikasi dan jejaring
kerja (networking) diantara para pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS.
Masing-masing pihak bisa memperoleh manfaat, peran, tanggung jawab dan
membangun komitmen untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan melestarikan DAS (Dephut 2003a). Kriteria untuk
efektivitas kelembagaan sendiri adalah seberapa baik suatu organisasi berjalan
dibandingkan dengan seperangkat standarnya sendiri. Kelembagaan DAS dapat
dikatakan efektif bila output yang direncanakan, efek yang diharapkan, dan
dampak yang dimaksudkan dapat tercapai.
Mengacu pada penelitian DAS Citanduy ukuran tingkat keberlanjutan
kelembagaan dapat dinilai berdasarkan variabel-variabel: (1) peran serta anggota;
(2) pelayanan terhadap anggota; (3) manfaat lembaga bagi anggota; (4) good
governance; dan (5) kompleksitas. Tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas
lokal juga dianalisis melalui faktor-faktor sebagai faktor penentu yang
mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal. Adapun determinan
faktor sebagai variabel-variabel independen dalam studi DAS Citanduy, meliputi:
(1) kepemimpinan; (2) pendidikan anggota; (3) aturan tertulis; (4) aturan tidak
tertulis; (5) ukuran kelembagaan; (6) intervensi pemerintah yang berdampak
positif; (7) intervensi pemerintah yang berdampak negatif; (8) ketersediaan
prasarana dan sarana umum; (9) jejaring kerjasama antar kelembagaan; (10) usia
20

kelembagaan; (11) proses pendirian kelembagaan; dan (12) kecukupan anggaran


(Dharmawan et al. 2005).
Menurut Fukuyama sebagaimana dikutip Nasdian (2004), keberlanjutan
kelembagaan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
tersebut terdiri dari (1) kepemimpinan; (2) pendidikan; dan (3) anggaran,
sedangkan faktor eksternal terdiri dari (1) kebijakan; (2) pemerintah lokal; dan (3)
insentif. Aksi kelembagaan di DAS Citanduy ini memfokuskan pada konstruksi
”Wadah Pengelolaan Bersama” yang terbagi menjadi tiga aras yaitu: (1)
internasional dan nasional; (2) supra lokal (antar provinsi/kabupaten/kota); dan (3)
komunitas lokal. Selain itu, kelembagaan pengelolaan DAS harus berlandaskan
kepada membangun kemitraan antar tiga “ruang kekuasaan”: civil society, state
dan private sector. Prinsip yang digunakan oleh kelembagaan pengelolaan DAS
antara lain:
1. Kelembagaan tersebut merupakan manifestasi dari “sharing” seluruh
pemangku kepentingan, dimana peranan masing-masing pemangku
kepentingan dalam kelembagaan tersebut (pola hubungan) dapat ditelaah
secara kritis dari analisis pihak-pihak terkait. Telaah dianggap penting untuk
menetapkan kedudukan organisasi atau badan yang melaksanakan fungsi
hubungan kelembagaan tersebut.
2. Fokus “pekerjaan” kelembagaan tersebut adalah kepada aktivitas yang
partisipatif dan diperkirakan secara operasional dapat didukung dan difasilitasi
oleh beragam kebijakan central and local government.
3. Kelembagaan tersebut baik secara konseptual maupun operasional mampu
mengimplementasikan kaidah-kaidah desentralisasi dan otonomi daerah yang
telah ditetapkan pada satuan daerah tingkat dua atau kabupaten/kota (UU
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah). Prinsip ini penting untuk
mendukung aksi-aksi kolektif partisipatif dan sampai sejauh mana
kabupaten/kota dan/local government mampu membiayai beragam
implementasi dari aktivitas partisipatif tersebut.
Pada penelitian DAS di Lampung, NTT dan DAS di Bhima India, terbukti
bahwa kelembagaan DAS yang diinisiasi oleh LSM dan NGO setempat jauh lebih
baik dan memiliki tingkat keberlanjutan yang tinggi dibandingkan kelembagaan
21

yang diinisiasi dan dibangun oleh pemerintah setempat (Hadi et al. 2006). Hal ini
dikarenakan posisi LSM dan NGO tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas
dan posisi tawar-menawar masyarakat lokal agar setara dengan para pemangku
kepentingan yang ada. Berdasarkan studi kasus geo-ekologis dan sosial ekonomi
DAS Citanduy, maka dapat diidentifikasi bahwa wilayah hilir adalah wilayah
yang memiliki tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal tertinggi,
sedangkan kelembagaan konservasi merupakan kelembagaan dengan tingkat
keberlanjutan tertinggi di wilayah hulu dan tengah DAS Citanduy (Dharmawan et
al. 2005)

2.1.3 Pembangunan Daerah Aliran Sungai Berkelanjutan


Definisi tentang pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh
komisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan World Commission on
Environment and Development (WCED) adalah “pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan
generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri” (Arifin 2001).
Menurut Sugandhy (2007), pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
Paradigma pembangunan yang terjadi selama ini oleh beberapa pihak
bahwa lingkungan adalah untuk pembangunan ekonomi (eco-developmentalism),
lingkungan untuk manusia (eco-humanis), dan lingkungan untuk lingkungan (eco-
environmentalism). Namun apa yang terjadi selama tiga dekade adalah
pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan ekonomi. Paradigma
pembangunan yang berkelanjutan merupakan perpaduan dari tiga pandangan di
atas, dimana pembangunan hendaknya ditujukkan untuk kesejahteraan masyarakat
(termasuk di dalamnya pembangunan di dalam bidang ekonomi) dan kelestarian
lingkungan hidup (Purba 2002).
Dilihat dari sudut pandang DAS, hal yang menjadi dasar pemikiran
pengelolaan DAS adalah “Sustainable Resources Use Management” atau
22

Pengelolaan yang Berkelanjutan, artinya, setiap upaya perlindungan, rehabilitasi,


dan adaptasi yang dilakukan, hendaknya dapat dilembagakan dalam bentuk
organisasi masyarakat (community organization). Bentuk ini sudah mulai muncul
dalam wujud forum-forum DAS dan terbentuknya kelompok masyarakat yang
bertindak langsung melakukan perlindungan dan rehabilitasi lahan DAS
(Sumampouw et al. t.t). Prinsip penting dari pengelolaan sumberdaya yang
berkelanjutan adalah:
1. Pentingnya Modal Sosial (social capital), dalam bentuk pendanaan mandiri
ataupun pendanaan bersama antara publik dengan pemerintah;
2. Modal Organisasi Masyarakat (modality in community organization) dalam
bentuk pengorganisasian masyarakat yang mandiri;
3. Adanya alih pengetahuan (transfer of knowledge) dari pelaku-pelaku yang
memiliki cerita sukses dan kreatif dalam penanganan satuan kelola daerah
aliran sungai;
4. Pentingnya kehendak politik (political will) dari pemerintah daerah serta lintas
sektoral yang tidak lagi didasarkan atas pertimbangan batas wilayah melainkan
lebih bertumpu pada pertimbangan batas ekosistem.
Menurut Kartodihardjo et al. (2004), pengelolaan DAS dikatakan telah
efektif jika tujuan manajemen dapat dicapai bersamaan dengan peningkatan
kesejahteraan sosial masyarakat penghuninya. Keberhasilan pengelolaan DAS
akan lebih mudah jika:
1. Sumberdaya di dalam DAS menghasilkan manfaat yang besar;
2. Peluang pendapatan masyarakat lokal sejalan dengan aktivitas rehabilitasi
DAS;
3. Hak atas lahan (tenureship) jelas, terjamin dan terdistribusi secara adil;
4. Ada insentif bagi mereka yang bersedia mengorbankan manfaat jangka
pendeknya (manfaat individu) untuk memperoleh manfaat jangka panjang
(manfaat sosial); dan
5. Ada kerjasama antar pemangku kepentingan pengelolaan DAS.
Pengelolaan DAS harus dilihat sebagai suatu kesatuan alamiah yang terdiri
dari wilayah hulu, tengah dan hilir, dalam konteks pengelolaan “One River, One
Plan, One Management”. Sejarah perkembangan konsep Pengelolaan
23

Pembangunan keberlanjutan dalam konteks DAS adalah bagaimana antara sub


hulu, tengah, hilir DAS terdapat kesamaan visi dan misi, dimana tidak hanya hulu
saja yang berperan dalam menjaga kelestarian DAS namun sub tengah maupun
hilir pun berkontribusi dalam menjaga kelestarian DAS melalui kolaborasi yang
dilakukan aktor-aktor terkait yaitu pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, maupun
akademisi turut dilibatkan. Prinsip keberlanjutan (sustainability) menjadi acuan
dalam mengelola DAS, yakni fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial budaya dari
berbagai sumberdaya dalam DAS dapat terjamin secara berimbang.

2.2 Kerangka Pemikiran


Gambar 2.1 menjelaskan bahwa kerusakan yang terjadi di hulu DAS
Citarum (Sub DAS Cikapundung) selama ini lebih disebabkan oleh pemangku
kepentingan yang mengelola DAS. Pemangku kepentingan tersebut terdiri dari
tiga aktor utama yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Kerusakan yang
terjadi di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) akan mempengaruhi sub
DAS lainnya yaitu bagian tengah dan hilir Sungai Cikapundung. Untuk itu
diperlukan suatu upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS
Cikapundung) dalam rangka menjaga keberlangsungan ekosistem DAS yang baik.
Salah satu upaya tersebut adalah dengan membentuk kelembagaan partisipatoris
yang anggotanya terdiri dari masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai yang
juga merupakan anggota dari 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung. Dengan
terbentuknya kelembagaan partisipatoris maka upaya penyelamatan hulu DAS
Citarum (Sub DAS Cikapundung) menjadi lebih cepat karena seluruh pihak baik
pemerintah, swasta dan akademisi turut mendukung serta bahu-membahu untuk
mempercepat pemulihan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dengan
mengajak seluruh pihak khususnya masyarakat bantaran Sungai Cikapundung
untuk senantiasa berpartisipasi dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum
(Sub DAS Cikapundung) karena selama ini masyarakat tersebutlah yang
berhubungan langsung dengan sungai.
Kegiatan-kegiatan penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS
Cikapundung) yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris secara intensif dan
terus menerus inilah yang akhirnya dapat menyadarkan masyarakat di sekitar
24

bantaran Sungai Cikapundung (baik itu di hulu maupun di tengah Sungai


Cikapundung) untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan ekosistem di DAS
guna mencegah bencana yang terjadi seperti banjir dan longsor di hilir.

Keterlibatan Pemangku
Kepentingan

 Masyarakat
 Swasta
 Pemerintah

Kerusakan Hulu DAS Tengah DAS Hilir DAS

Perubahan Sikap dan


Penyelamatan Hulu DAS Warga di Hulu Perilaku, Warga di Hulu DAS
Citarum (Sub DAS Sungai Citarum (Sub DAS
Cikapundung) oleh Cikapundung Cikapundung) terhadap
Kelembagaan Partisipatoris Lingkungan Hidup

 Aksi Kali Bersih  Tingkat Pengetahuan


 Aksi Tanam Pohon  Tingkat Membuang
 Pengolahan Sampah/Limbah ke Sungai
Sampah/Limbah  Tingkat Keterlibatan
 Penyuluhan dan Warga di
Warga dalam Penghijauan
Tengah
Penyadaran Warga
Sungai  Tingkat Gotong Royong
Cikapundung

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Keterangan:
: Mempengaruhi
: Tidak diteliti lebih lanjut
: Terdapat hubungan
: Kualitatif
: Kuantitatif
25

2.3 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Semakin tinggi upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS
Cikapundung) oleh kelembagaan partisipatoris maka akan semakin tinggi
tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat untuk menjaga dan
melestarikan Sungai Cikapundung.
2. Semakin tinggi tingkat keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan
melestarikan Sungai Cikapundung maka tingkat kerusakan di hulu DAS
Citarum (Sub DAS Cikapundung) akan semakin rendah.

2.4 Definisi Konseptual


1. Keterlibatan pemangku kepentingan adalah keikutsertaan pemangku
kepentingan yang terdiri dari masyarakat, pemerintah dan juga swasta dalam
mengelola sumberdaya alam sehingga berkontribusi dalam menghasilkan
kerusakan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung), berikut penjelasan
dari masing-masing pemangku kepentingan tersebut.
i. Masyarakat adalah sekelompok orang yang saling berinteraksi antara
individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut atau suatu
komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain) yang
terkait dalam pengelolaan ekosistem hulu DAS Citarum (Sub DAS
Cikapundung).
ii. Swasta adalah organisasi atau lembaga non pemerintah yang memiliki
kepentingan dalam ekosistem hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung)
guna mencapai keuntungan bagi organisasinya.
iii. Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan dan wewenang
lebih dalam mengelola hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) di
wilayahnya dan memiliki peran yang sangat penting untuk membuat dan
menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu yang terkait
kelestarian ekosistem DAS di daerahnya.
2. Kerusakan hulu DAS adalah ketidakberfungsian bagian hulu DAS sebagai
penyedia oksigen dan perlindungan serta fungsi tata air bagi DAS bagian
26

tengah dan hilir. Hal ini ditandai dengan banyaknya lahan kritis di daerah hulu
dan banyaknya industri-industri sehingga dapat mengakibatkan bencana banjir
dan longsor di hilir.
3. Bagian tengah DAS adalah bagian DAS yang didasarkan pada fungsi
pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi
kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari
kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka
air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai,
waduk, dan danau.
4. Bagian hilir DAS adalah bagian DAS yang didasarkan pada fungsi
pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi
kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan
kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait
untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.
5. Penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) adalah upaya-
upaya yang dilakukan guna mengembalikan fungsi DAS bagian hulu sebagai
daerah penyangga air dan daerah hijau.
6. Kelembagaan partisipatoris DAS adalah seperangkat ketentuan yang mengatur
masyarakat, mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang
terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan, pengelolaan dan pelestarian
sumberdaya alam (DAS) secara partisipatif terkait perencanaan, hingga
pelaksanaannya serta dengan sarana dan prasarana dari kelompok itu sendiri.
7. Aksi kali bersih adalah kegiatan untuk mengambil sampah dan limbah di
sepanjang aliran sungai guna membersihkan sungai agar tidak tercemar dan
tidak menimbulkan bencana banjir di hilir.
8. Aksi tanam pohon adalah kegiatan untuk menanam berbagai jenis pohon di
daerah kritis di sepanjang DAS guna sebagai penyangga dan penyuplai air
serta sebagai pencegah banjir di DAS bagian tengah dan hilir.
9. Pengolahan sampah/limbah adalah kegiatan mendaur ulang sampah baik itu
organik dan non organik agar dapat diamanfaatkan kembali menjadi barang
yang dapat bernilai atau bermanfaat kembali.
27

10. Penyuluhan dan penyadaran warga adalah proses penyebarluasan informasi,


ilmu pengetahuan kepada masyarakat sebagai upaya mencegah masyarakat
khususnya masyarakat di DAS agar tidak menggunakan sungai sebagai tempat
pembuangan limbah/sampah. Penyuluhan dan penyadaran warga ini dilakukan
dengan aksi langsung bersama masyarakat di sekitar DAS.
11. Warga di hulu Sungai Cikapundung adalah warga yang tinggal di daerah hulu
Sungai Cikapundung.
12. Warga di tengah Sungai Cikapundung adalah warga yang tinggal di daerah
tengah Sungai Cikapundung.
13. Kesadaran masyarakat di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) adalah
sejauh mana masyarakat yang berada di sepanjang Sungai Cikapundung
mengerti akan pentingnya fungsi kawasan hulu sebagai daerah tangkapan air
dan penyangga sehingga tidak lagi melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
mencemari ataupun merusak sungai namun sebaliknya melakukan kegiatan-
kegiatan yang dapat melestarikan DAS.

2.5 Definisi Operasional


Tingkat kesadaran masyarakat dinilai dari beberapa aspek, antara lain:
1. Tingkat pengetahuan adalah kognisi/pengetahuan yang dimiliki oleh warga
mengenai sampah, sungai, penghijauan dan gotong royong. Tinggi rendahnya
tingkat pengetahuan responden dapat diukur dari baik/tidaknya pengetahuan
responden terkait sampah, sungai, penghijauan, dan gotong royong.
a. Rendah: jika responden tidak dapat membedakan jenis sampah, serta jika
responden menjawab kurang/tidak penting kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan sungai, penghijauan, dan gotong royong, skor 0
b. Tinggi: jika responden dapat membedakan jenis sampah, serta jika
responden menjawab penting kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
sungai, penghijauan, dan gotong royong, skor1
2. Tingkat membuang sampah/limbah ke sungai adalah sejauh mana warga tidak
membuang atau menyalurkan sampah/limbah rumah tangganya ke aliran
sungai. Perubahan perilaku responden dalam membuang atau menyalurkan
sampah/limbah rumah tangganya dapat diukur dari kemana responden
28

tersebut biasa membuang sampah/limbah rumah tangganya setelah adanya


kelembagaan partisipatoris di daerahnya.
a. Sangat buruk: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah
rumah tangganya ke sungai di daerahnya, skor 0
b. Buruk: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah
tangganya dengan cara dibakar, skor 1
c. Baik: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah
tangganya dengan cara dikubur, skor 2
d. Sangat baik: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah
rumah tangganya menggunakan TPS, skor 3
3. Tingkat keterlibatan warga dalam penghijauan adalah keikutsertaan
masyarakat yang berada di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS
Cikapundung) untuk melakukan aksi tanam pohon di daerah atau kawasan-
kawasan kritis. Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan penghijauan
dapat diukur dari hadir/tidak hadirnya responden dalam setiap kegiatan
penghijauan yang diadakan di daerahnya
a. Tidak pernah: jika responden tidak pernah sama sekali terlibat dalam
setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 0
b. Jarang: dalam satu tahun responden hanya terlibat satu hingga dua kali
kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 1
c. Kadang-kadang: dalam satu tahun responden terlibat lebih dari dua kali
dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 2
d. Selalu: responden selalu terlibat dalam setiap kegiatan penghijauan yang
diadakan di daerahnya, skor 3
4. Tingkat keterlibatan warga dalam gotong royong adalah tingkat kerjasama
antar masyarakat sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dalam
kegiatan-kegiatan yang dapat menjaga kelestarian sumberdaya alam
khususnya DAS. Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan gotong royong
dapat diukur dari hadir/tidak hadirnya responden dalam setiap kegiatan
gotong royong yang diadakan di daerahnya.
a. Tidak pernah: responden tidak pernah sama sekali terlibat dalam setiap
kegiatan gotong royong yang diadakan di daerahnya, skor 0
29

b. Jarang: dalam enam bulan responden hanya terlibat satu hingga dua kali
dalam setiap kegiatan gotong royong yang diadakan di daerahnya, skor 1
c. Kadang-kadang: dalam enam bulan responden terlibat lebih dari dua kali
dalam setiap kegiatan gotong-royong yang diadakan di daerahnya, skor 2
d. Selalu: responden selalu terlibat dalam setiap kegiatan gotong royong yang
diadakan di lingkungan tempat tinggalnya, skor 3

Anda mungkin juga menyukai