BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri,
namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem
ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan
dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu
komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak
yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan
timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal.
dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air,
kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada
prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.
Ketiga, DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai
yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan
ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan
menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian,
air bersih, serta pengelolaan air limbah. Bagian hilir merupakan daerah
pemanfaatan yang relatif landai dengan curah hujan yang lebih rendah. Semakin
ke hilir, mutu air, kontinuitas, kualitas dan debit akan semakin berkurang
kualitasnya dibandingkan dengan DAS bagian hulu. Hal ini terjadi karena badan
air di hulu tercemari oleh kegiatan-kegiatan manusia baik domestik maupun
industri, sehingga badan air di bagian hilir mengalami kondisi dan kualitas yang
kurang baik. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan
baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di
bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS di bagian hilir,
baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi
masyarakat secara keseluruhan.
satu parameternya adalah tutupan lahan di sekitar DAS. Singkatnya, setiap tahun
jumlah DAS kritis terus bertambah.
kepentingan dalam suatu persoalan yang sama menjajagi dan bekerjasama melalui
perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan
bersama. Suporahardjo (2005) menyebutkan pendekatan kolaborasi sering disebut
sebagai “jembatan” (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya.
Sebagai jembatan penyeberangan yang berfungsi mengintegrasikan batas-batas
yang dibatasi oleh geografi, kepentingan dan persepsi, Straus (2002) sebagaimana
dikutip Suporahardjo (2005), menyatakan pendekatan kolaborasi juga dikenal
sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadversarial
approach) untuk penyelesaian masalah dan konflik. Dalam prakteknya kolaborasi
banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik
multi pihak.
Chrislip dan Larson (1994) sebagaimana dikutip Suporahardjo (2005),
menyatakan bahwa strategi kolaborasi berhasil dilaksanakan karena sembilan
faktor berikut:
1. Waktunya tepat dan kebutuhan yang jelas;
2. Didukung oleh kelompok pemangku kepentingan yang kuat;
3. Keterlibatan yang luas (mengupayakan keterlibatan banyak peserta dari
berbagai sektor);
4. Kredibilitas dan keterbukaan proses;
5. Komitmen dan keterlibatan level atas, pemimpin yang bervisi;
6. Mendukung atau menyetujui penetapan kewenangan atau kekuasaan (power);
7. Mengatasi ketidakpercayaan dan skeptisme;
8. Kepemimpinan yang kuat terhadap proses;
9. Keberhasilan sementara;
10. Bergerak ke kepedulian yang lebih luas.
Salah satu pendekatan kolaboratif yang dapat dilakukan dalam
pengelolaan DAS adalah pengelolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan DAS
secara terpadu adalah rangkaian upaya yang memperlakukan DAS sebagai suatu
kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir dengan pendekatan lintas sektor dan
lintas wilayah administrasi pemerintahan secara partisipatif, koordinatif,
integratif, sinkron dan sinergis guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS
(Dephut 2009).
14
berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian
perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama
(Djogo et al. 2010). Menurut Ostrom (1986) sebagaimana dikutip Djogo et al.
(2010), menerangkan bahwa kelembagaan adalah aturan dan rambu-rambu
sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat
untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama
lain.
Menurut Soekanto (1999) sebagaimana dikutip Manik et al. (2010),
fungsi kelembagaan antara lain: (1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk
bertingkah laku; (2) menjaga keutuhan masyarakat; dan (3) sebagai sistem
pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari
masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Ekawati (2008) sebagaimana
dikutip Manik et al. (2010), menyebutkan salah satu kegiatan untuk mendorong
keterpaduan dalam pengelolaan DAS adalah pembentukan kelembagaan
pengelolaan DAS.
Partisipasi masyarakat secara umum merupakan suatu proses yang
melibatkan masyarakat. Canter (1989) sebagaimana dikutip Arimbi (1993),
mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan
interaksi antara dua kelompok atau sebagai proses dimana masalah-masalah
dan kebutuhan lingkungan dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab,
secara sederhana hal ini didefinisikannya sebagai feed forward information
(komunikasi dari Pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan
feed back information (komunikasi dari masyarakat ke Pemerintah atas
kebijakan). Menurut Arimbi (1993), partisipasi masyarakat merupakan instrumen
untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), tujuan yang dimaksudkan
adalah terkait dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik yang menentukan
kesejahteraan manusia. Keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau sering
disebut partisipasi sangat menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan
pengelolaan DAS termasuk rehabilitasi hutan dan lahan.
Nasdian (2004) memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif yang
diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka
sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)
17
dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat
dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah
dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua,
partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah
mereka sendiri. Sementara itu, Cohen dan Uphoff (1977) sebagaimana dikutip
Intania (2003) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu:
1. Tahap pengambilan keputusan (perencanaan) yang diwujudkan dengan
keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat;
2. Tahap pelaksanaan dengan wujud nyata partisipasi berupa:
1. Partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran;
2. Partisipasi dalam bentuk sumbangan materi; dan
3. Partisipasi dalam bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek;
3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan
partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain
itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka
semakin besar manfaat proyek yang dirasakan berarti proyek tersebut berhasil
menangani sasaran; dan
4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini
dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan
bagi pelaksanaan proyek selanjutnya.
Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan berarti
adanya tindakan nyata yang dilakukan masyarakat dalam berbagai upaya
pengendalian dampak lingkungan. Peran masyarakat dalam pengendalian
dampak lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No.
23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi: setiap orang
mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan
kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta
dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tahap
perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Selanjutnya,
Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dilakukan melalui
beberapa cara, yakni: (1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat
18
yang diinisiasi dan dibangun oleh pemerintah setempat (Hadi et al. 2006). Hal ini
dikarenakan posisi LSM dan NGO tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas
dan posisi tawar-menawar masyarakat lokal agar setara dengan para pemangku
kepentingan yang ada. Berdasarkan studi kasus geo-ekologis dan sosial ekonomi
DAS Citanduy, maka dapat diidentifikasi bahwa wilayah hilir adalah wilayah
yang memiliki tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal tertinggi,
sedangkan kelembagaan konservasi merupakan kelembagaan dengan tingkat
keberlanjutan tertinggi di wilayah hulu dan tengah DAS Citanduy (Dharmawan et
al. 2005)
Keterlibatan Pemangku
Kepentingan
Masyarakat
Swasta
Pemerintah
Keterangan:
: Mempengaruhi
: Tidak diteliti lebih lanjut
: Terdapat hubungan
: Kualitatif
: Kuantitatif
25
tengah dan hilir. Hal ini ditandai dengan banyaknya lahan kritis di daerah hulu
dan banyaknya industri-industri sehingga dapat mengakibatkan bencana banjir
dan longsor di hilir.
3. Bagian tengah DAS adalah bagian DAS yang didasarkan pada fungsi
pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi
kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari
kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka
air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai,
waduk, dan danau.
4. Bagian hilir DAS adalah bagian DAS yang didasarkan pada fungsi
pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi
kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan
kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait
untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.
5. Penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) adalah upaya-
upaya yang dilakukan guna mengembalikan fungsi DAS bagian hulu sebagai
daerah penyangga air dan daerah hijau.
6. Kelembagaan partisipatoris DAS adalah seperangkat ketentuan yang mengatur
masyarakat, mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang
terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan, pengelolaan dan pelestarian
sumberdaya alam (DAS) secara partisipatif terkait perencanaan, hingga
pelaksanaannya serta dengan sarana dan prasarana dari kelompok itu sendiri.
7. Aksi kali bersih adalah kegiatan untuk mengambil sampah dan limbah di
sepanjang aliran sungai guna membersihkan sungai agar tidak tercemar dan
tidak menimbulkan bencana banjir di hilir.
8. Aksi tanam pohon adalah kegiatan untuk menanam berbagai jenis pohon di
daerah kritis di sepanjang DAS guna sebagai penyangga dan penyuplai air
serta sebagai pencegah banjir di DAS bagian tengah dan hilir.
9. Pengolahan sampah/limbah adalah kegiatan mendaur ulang sampah baik itu
organik dan non organik agar dapat diamanfaatkan kembali menjadi barang
yang dapat bernilai atau bermanfaat kembali.
27
b. Jarang: dalam enam bulan responden hanya terlibat satu hingga dua kali
dalam setiap kegiatan gotong royong yang diadakan di daerahnya, skor 1
c. Kadang-kadang: dalam enam bulan responden terlibat lebih dari dua kali
dalam setiap kegiatan gotong-royong yang diadakan di daerahnya, skor 2
d. Selalu: responden selalu terlibat dalam setiap kegiatan gotong royong yang
diadakan di lingkungan tempat tinggalnya, skor 3