Anda di halaman 1dari 31

TUGAS BESAR HIDROLOGI DAN SUMBER DAYA AIR

EVALUASI DAYA DUKUNG DAS CITARUM HULU SUB DAS


MAJALAYA
Desen Pengampu:
Dr. Dyah Marganingrum, S.T., M.T.

Disusun Oleh:
1. Ibrahim Kusuma Ardhi (252018004)
2. Hisyam Azmi S. (252018013)
3. Rizki Mauludin (252018093)
4. Mochamad Maulvi F. (252018121)
5. Badrul Faizin (252018123)
6. Ilham Dwi Putra (252018125)

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis
dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan (PP No.37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai). Daerah Aliran Sungai memiliki peran yang sangat penting bagi siklus
hidrologi, kemampuannya menjaga dan menjadi tempat untuk mengalirkan air
dari hulu ke hilir sebagai sumber kehidupan menjadi jaminan yang akan
menyatukan komponen biotik dan abiotik dalam menjaga keseimbangan
lingkungan. Adanya Daerah Aliran Sungai yang terawat dapat meminimalisirkan
kerusakan alam, karena lingkungannya yang terjaga. Banyaknya kebutuhan
manusia dan kondisi alam yang dinamis membuat lingkungan dapat berubah
sewaktu – waktu, terutama karena bencana. Bencana seringkali mengganggu
struktur atau keseimbangan alam yang akan mempengaruhi siklus hidrologi, salah
satunya yaitu banjir.
Faktor manusia dan faktor alam merupakan faktor yang mempengaruhi kerusakan
DAS. Faktor alam merupakan faktor yang disebabkan oleh alam, dapat berupa
terjadinya bencana alam seperti gunung meletus dan tanah longsor, sedangkan
faktor manusia merupakan faktor yang berasal dari manusia, manusia merupakan
faktor yang sangat berpengaruh terhadap ekosistem DAS. Kegiatankegiatan
manusia dalam memanfaatkan lahan DAS seringkali melampaui batas. Kegiatan–
kegiatan manusia yang dapat mengganggu fungsi DAS adalah penebangan pohon
yang berlebihan atau penggundulan hutan, pembangunan pemukiman, alih fungsi
lahan hutan menjadi lahan perkebunan dan lahan pertanian. Pertumbuhan jumlah
penduduk juga mempengaruhi penggunaan lahan. Pertumbuhan penduduk yang
semakin hari semakin meningkat menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan
sebagai sarana bermukim. Kebutuhan akan lahan sebagai sarana bermukim
penduduk menjadi kebutuhan yang vital untuk saat ini. Kegiatan pembangunan
yang dilakukan manusia seringkali tidak memperhatikan 2 daya dukung
lingkungan, sehingga mengakibatkan degradasi lahan, dan menurunkan kondisi
fisik lahan tersebut, disisi lain sumber daya alam utama yaitu tanah dan air
keduanya tersebut mudah mengalami kerusakan atau degradasi.
Kondisi ekosistem DAS merupakan salah satu isu nasional dalam beberapa tahun
terakhir. Hal ini dikarenakan salah satu variabel terjadinya banjir adalah kondisi
DAS yang kritis. Pentingnya DAS sebagai satu unit perencanaan dan pengelolaan
sumber daya alam yang telah diterima oleh berbagai pihak baik di tingkat nasional
maupun tingkat regional, merupakan kesatuan ekosistem yang mencangkup
hubungan timbal balik sumberdaya alam dan lingkungan DAS dengan kegiatan
manusia guna kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. DAS Bagian
hulu cenderung memiliki tingkat kerawanan akan terjadinya kekritisan lahan,
mengingat wilayah yang memiliki kemiringan lereng lebih besar dari 8% yang
cenderung miring hingga curam akan memungkinkan terjadinya erosi dan
menurunkan tingkat kesuburan tanah karena material unsur hara yang hilang oleh
air.
1.2 Tinjauan Pustaka

A .Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (Watershed) didefinisikan sebagai suatu wilayah


daratan yang menerima air hujan, menampung dan mengalirkannya melalui satu
sungai utama ke laut dan atau ke danau. Satu DAS, biasanya dipisahkan dari
wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah alam topografi (seperti
punggung bukit dan gunung. Suatu DAS terbagi lagi ke dalam sub DAS yang
merupakan bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui
anak sungai ke sungai utamanya (Dirjen Reboisasi & Rehabilitasi Lahan, 1998).
Asdak (2002) dalam Arini (2005) menyatakan pengertian DAS sebagai suatu
wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung
yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke
laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah
Tangkapan Air (DTA) atau Water Catchment Area yang merupakan suatu
ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan
vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam.
DAS merupakan suatu wilayah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya
merupakan satu kesatuan ekosistem, termasuk didalamnya hidrologi dengan
sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi sebagai penerima, penampung
dan penyimpan air yang berasal dari hujan dan sumber lainnya. Sungai atau aliran
sungai sebagai komponen utama DAS didefinisikan sebagai suatu jumlah air yang
mengalir sepanjang lintasan di darat menuju ke laut sehingga sungai merupakan
suatu lintasan dimana air yang berasal dari hulu bergabung menuju ke satu arah
yaitu hilir (muara). Sungai merupakan bagian dari siklus hidrologi yang terdiri
dari beberapa proses yaitu evaporasi atau penguapan air, kondensasi dan
presipitasi (Haslam 1992 dalam Arini 2005).
Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki beberapa karakteristik yang dapat
menggambarkan kondisi spesifik antara DAS yang satu dengan DAS yang
lainnya. Karakteristik itu dicirikan oleh parameter yang terdiri atas (Dephutbun
1998):
1. Morfometri DAS yang meliputi relief DAS, bentuk DAS, kepadatan drainase,
gradien sungai, lebar DAS dan lain-lain
2. Hidrologi DAS, mencakup curah hujan, debit dan sedimen
3. Tanah.
4. Geologi dan geomorfologi
5. Penggunaan lahan
6. Sosial ekonomi masyarakat di dalam wilayah DAS.

Dalam mempelajari ekosistem DAS, biasanya terbagi atas daerah hulu, tengah
dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu, tengah dan hilir dicirikan oleh halhal
sebagai berikut (Asdak 2002 dalam Arini 2005):
1. Daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, memiliki kerapatan drainase
tinggi, kemiringan lereng besar (> 15%), bukan merupakan daerah banjir,
pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan jenis vegetasi umumnya
merupakan tegakan hutan.
2. Daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, memiliki kerapatan
drainase kecil, kemiringan lereng sangat kecil (< 8%), di beberapa tempat
merupakan daerah banjir (genangan), pemakaian air ditentukan oleh bangunan
irigasi, jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria
yang didominasi oleh hutan bakau atau gambut
3. Daerah tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik
DAS yang berbeda antara hulu dan hilir. Mengacu pada pengertian DAS dalam
uraian tersebut, maka di dalam suatu DAS, terdapat berbagai komponen
sumberdaya, yaitu sumberdaya alam (natural capital) (terdiri dari
udara/atmosphere, tanah dan batuan penyusunnya, vegetasi, satwa), sumberdaya
manusia/human capital (beserta pranata institusi formal maupun informal
masyarakat/social capital)) dan sumberdaya buatan/man made capital yang satu
sama lainnya saling berinteraksi (interaction) (Putro et al., 2003).
Dalam pengelolaannya, suatu DAS memerlukan konsep pengelolaan yang tidak
hanya terbatas pada batasan wilayah pembangunan atau administrasi, 9 melainkan
berdasarkan pada batasan wilayah ekologi. Namun dalam kenyataannya, kegiatan
pengelolaan DAS seringkali dibatasi oleh batasanbatasan politis atau administrasi
(negara, provinsi, kabupaten) dan kurang dimanfaatkannya batas-batas ekosistem
alamiah. Asdak (2002) dalam Pradityo (2011) menyatakan bahwa beberapa
aktivitas pengelolaan DAS yang diselenggarakan di daerah hulu seperti kegiatan
pengelolaan lahan yang mendorong terjadinya erosi, pada gilirannya akan
menimbulkan dampak di daerah hilir (dalam bentuk pendangkalan sungai atau
saluran irigasi karena pengendapan sedimen yang berasal dari erosi di daerah
hulu). Peristiwa degradasi lingkungan seperti di atas jelas akan mengabaikan
penetapan batasbatas politis sebagai batas pengelolaan sumberdaya alam.
B. Konsep Dasar Hidrologi

Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan air bumi,


terjadinya peredaran dan agihannya, sifat-sifat kimia dan fisikanya, dan reaksinya
dengan lingkungannya termasuk hubungannya dengan makhluk hidup
(International Glossary of Hydrology dalam Seyhan, 1990). Konsep dasar
mengenai ilmu hidrologi sangat berkaitan dengan siklus hidrologi. Daur atau
siklus hidrologi diberikan batasan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air
dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Presipitasi dalam segala
bentuk (salju, hujan batu es, hujan dan lainlain) jatuh ke atas vegetasi, batuan
gundul, permukaan tanah, permukaan air dan saluran-saluran sungai (presipitasi
saluran).

Air yang jatuh pada vegetasi mungkin diintersepsi (yang kemudian


berevaporasi dan/atau mencapai 10 permukaan tanah dengan menetes saja
maupun sebagai aliran batang) selama suatu waktu atau secara langsung jatuh
pada tanah (through fall) khususnya pada kasus hujan dengan intensitas tinggi dan
lama. Sebagian besar presipitasi berevaporasi selama perjalanannya dari atmosfer
dan sebagian pada permukaan tanah. Sebagian dari presipitasi yang membasahi
permukaan tanah akan berinfiltrasi ke dalam tanah dan bergerak menurun sebagai
perkolasi ke dalam mintakat jenuh di bawah muka air tanah. air ini secara
perlahan berpindah melalui akifer ke saluran-saluran sungai. Beberapa air yang
berinfiltrasi bergerak menuju dasar sungai tanpa mencapai muka air tanah sebagai
aliran bawah permukaan. Air yang berinfiltrasi juga memberikan kehidupan pada
vegetasi sebagai lengas tanah. Beberapa dari lengas ini diambil oleh vegetasi dan
transpirasi berlangsung dari stomata daun.
Setelah bagian presipitasi yang pertama yang membasahi permukaan tanah dan
berinfiltrasi, suatu selaput air yang tipis dibentuk permukaan tanah yang disebut
detensi permukaan/lapis air. Selanjutnya detensi permukaan menjadi lebih tebal
(lebih dalam) dan aliran air mulai dalam bentuk laminer. Dengan bertambahnya
kecepatan aliran, aliran air menjadi turbulen (deras). Air yang mengalir disebut
sebagai limpasan permukaan. Selama perjalanannya menuju dasar sungai, bagian
dari limpasan permukaan akan disimpan pada depresi permukaan yang disebut
sebagai cadangan depresi. Akhirnya limpasan permukaan mencapai saluran sungai
dan menambah debit sungai. Air pada sungai mungkin berevaporasi secara
langsung ke atmosfer atau mengalir kembali ke dalam laut dan selanjutnya
berevaporasi. Kemudian air ini nampak kembali pada permukaan bumi sebagai
presipitasi. (Seyhan, 1990)

C. Penutupan dan Penggunaan Lahan

Selama ini pengertian lahan sering diartikan sama dengan istilah tanah,
dalam kenyataannya lahan memiliki pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan
dengan tanah. Tanah merupakan benda alami yang heterogen dan dinamis,
merupakan interaksi hasil kerja antara iklim dan jasad hidup terhadap suatu bahan
induk yang dipengaruhi oleh relief dan waktu (Arsyad, 1989).
Menurut Aldrich dalam Arini (2005) menyatakan lahan sebagai material dasar
dari suatu lingkungan (situs) yang diartikan berkaitan dengan sejumlah
karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi.
Lebih lanjut dijelaskan, lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah,
iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi
potensi penggunaannya, termasuk di dalamnya adalah akibatakibat kegiatan
manusia baik masa lalu maupun sekarang seperti reklamasi di daerah pantai,
penebangan hutan, dan akibat-akibat lain yang merugikan seperti erosi dan
akumulasi garam (Harjdjowigeno dalam Ismail, 2004).

Pengetahuan mengenai penggunaan dan penutupan lahan sangat dibutuhkan


terutama dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang melibatkan
sumberdaya alam. Istilah penutupan lahan (land cover) berkaitan erat dengan jenis
kenampakan yang ada di permukaan bumi sedangkan penggunaan lahan (land
use) lebih berkaitan erat dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Hal
yang sama dikemukakan oleh Jamulya & Soenarto dalam Trenggono et al. (1999)
bahwa penggunaan lahan sebagai setiap bentuk dan 12 intervensi (campur tangan)
manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik
material dan spiritual.
Burley dalam Lo (1995) menjelaskan penutupan lahan sebagai konstruksi
vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut
seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Terdapat tiga
kelas yang tercakup dalam penutupan lahan yaitu :
1. struktur fisik yang dibangun oleh manusia;
2. fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan
binatang;
3. tipe pembangunan.
Lillesand & Kiefer (1990) dalam Pradityo (2011) menyatakan bahwa yang
menjadi dasar dalam membedakan antara penutupan lahan dan penggunaan lahan
adalah bahwa Informasi penutupan lahan dapat dikenal secara langsung dengan
menggunakan penginderaan jauh yang tepat, informasi tentang kegiatan manusia
pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari
penutupan lahannya. Ukuran minimum suatu daerah yang dapat dipetakan dalam
kelas penggunaan lahan atau penutupan lahan tergantung pada solusi dan resolusi
foto udara atau citra satelit.
Data mengenai penutupan lahan dapat diperoleh dengan melakukan klasifikasi
citra, dimana masing-masing kenampakan yang terdapat didalam citra dapat
diklasifikasikan menjadi kelas-kelas penutupan lahan. Klasifikasi lahan
merupakan penyusunan lahan ke dalam kelas-kelas yang dipengaruhi oleh faktor
karakteristik lahan, kualitas lahan, pengaruh dari pengelolaan pertanian,
penggunaan lahan, potensi 13 penggunaan lahan, kelayakan penggunaan lahan.
Contoh pengelompokan tipe penggunaan atau penutupan lahan adalah sebagai
berikut:
1. Lahan perkotaan atau bangunan, terbentuk oleh daerah yang digunakan
secara intensif dan banyak lahan yang tertutup oleh struktur. Apabila obyek
mempunyai lebih dari satu kategori, maka harus diambil kategori yang utama.
2. Lahan pertanian, dapat diartikan sebagai lahan yang penggunaannya
terutama untuk menghasilkan makanan dan serabut.
3. Lahan hutan, daerah yang kepadatan tajuk pohonnya (persentase penutup
tajuk) 10% atau lebih, batang pohonnya dapat menghasilkan kayu atau produksi
kayu lainnya dan mempengaruhi iklim atau tata air lokal.

4. Air, terdiri dari sungai, kanal, danau, waduk, teluk, muara.


5. Lahan basah, daerah yang permukaan air tanahnya padat, dekat atau di atas
permukaan lahan hampir sepanjang tahun.
6. Lahan gundul, lahan yang kemampuannya terbatas untuk mendukung
kehidupan dan vegetasi atau penutup lainnya kurang dari sepertiga luas
daerahnya.

Lo (1995) menjelaskan bahwa salah satu faktor penting dalam menentukan


kesuksesan pemetaan penggunaan lahan dan penutupan lahan terletak pada
pemilihan skema klasifikasi yang tepat dirancang untuk suatu tujuan tertentu.
Skema klasifikasi yang baik harus sederhana didalam menjelaskan setiap kategori
penggunaan lahan dan penutupan lahan. Selanjutnya, pemetaan penutupan dan
penggunaan lahan membutuhkan keputusan bijak yang harus 14 dibuat dan peta
hasil tidak dapat dihindari mengandung beberapa derajat informasi yang
digeneralisasi menurut skala dan tujan aplikasinya.

D. Intensitas Hujan

Perhitungan debit banjir dengan metode rasional memerlukan data


intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang
terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi (Loebis 1992).
Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Durasi
adalah lamanya suatu kejadian hujan. Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya
berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas.
Hujan yang meliputi daerah luas, jarang sekali dengan 24 intensitas tinggi, tetapi
dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan
yang tinggi dengan durasi panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti
sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit.
Sri Harto (1993) menyebutkan bahwa analisis IDF memerlukan analisis
frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman data hujan.
Jika tidak tersedia waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau
disebabkan oleh karena alatnya tidak ada, dapat ditempuh cara-cara empiris
dengan mempergunakan rumus-rumus eksperimental seperti rumus Mononobe
(Suyono dan Takeda 1993).
Intensitas hujan adalah volume rata-rata curah hujan yang
terjadiselamasatu unit waktu (mm/jam). Intensitas hujan juga bisa diekspresikan
sebagai intensitas sesaat atau intensitas rata-rata selama kejadian hujan. Untuk
mendapatkan intensitas hujan selama waktu t digunakan rumus Mononobe
sebagai berikut :
I= R24 24 24 t 2 3 (2.22)
I = Intensitas Hujan (mm/jam)
R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
t = Lama waktu hujan (jam)

E. Debit Air

Debit adalah volume aliran yang mengalir melalui sungai per satuan
waktu. Besarnya biasanya dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3
/detik) (Soewarno 1991 dalam Pradityo 2011). Data debit air sungai berfungsi 25
memberikan informasi mengenai jumlah air yang mengalir pada waktu tertentu.
Oleh karena itu, data debit air berguna untuk mengetahui cukup tidaknya
penyediaan air untuk berbagai keperluan (domestik, irigasi, pelayaran, tenaga
listrik, dan industri) pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai), pengendalian
sedimen, prediksi kekeringan, dan penilaian beban pencemaran air.
Dilihat dari segi fisik DAS, Asdak (1995) dalam Pradityo (2011)
menyebutkan bahwa indikator normal tidaknya suatu DAS ditentukan diantaranya
oleh nisbah debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin). Kondisi fisik
DAS dianggap baik apabila nisbah Qmax/Qmin relatif stabil dari tahun ke tahun,
sedangkan kondisi DAS dianggap mulai terganggu apabila nisbah Qmax/Qmin
terus naik dari tahun ke tahun. Tutupan hutan berpengaruh terhadap tinggi-
rendahnya debit air.

Asdak (1995) dalam Pradityo (2011)menyatakan bahwa tutupan hutan


dapat menghasilkan debit yang rendah disebabkan oleh meningkatnya stabilitas
tanah karena tingginya kapasitas infiltrasi, adanya perlindungan dari tutupan tajuk
pohon, tingginya konsumsi air tanah oleh akar pohon. Hal-hal tersebut
memberikan keuntungan bagi daerah yang memiliki tutupan hutan, yakni
perlindungan terhadap bahaya banjir pada saat musim hujan.

Chow (1964) dalam Raharjo (2009) menyatakan bahwa salah satu metode
yang digunakan dalam menetukan nilai debit berdasarkan pada faktor-faktor fisik
lahan dikenal dengan metode rasional. Dalam metode rasional variabelvariabelnya
adalah koefisien aliran, intensitas hujan dan luas.
Q = 0,278 C I A
Q : Debit rancangan (m3 /det)
C : Koefisien aliran
I : Intensitas hujan (mm/jam)
A : Luas DAS (km2 )

F. Aliran Dasar (Baseflow)

Aliran dasar (baseflow) menjadi salah satu komponen penting dalam


hidrograf.Aliran dasar (baseflow) terjadi ketika air hujan meresap ke dalam tanah
sampaimencapai ambang batas jenuh dan waktu yang diperlukan air bawah tanah
(groundwater) untuk melepas air ke sungai. Aliran dasar ini juga sering disebut
dengan aliran musim kering. Hal tersebut dikarenakan pada saat musim kering
pun aliran ini masih tetap berlangsung. Menurut Indarto (2010), aliran dasar
berasal dari air hujan yang terinfiltrasi dan masuk ke dalam sub DAS menjadi
cadangan air tanah dan perlahan-lahan akan mengalir keluar bergabung dengan
25 sungai. Aliran dasar berguna dalam suplai air dalam jangka panjang yang
menjaga air tetap ada di sungai sepanjang waktu. Baseflow teramati sebagai debit
di sungai ketika musim kemarau jika tidak terjadi hujan. Aliran dasar digunakan
sebagai salah satu ukuran aktivitas dinamis air tanah pada sebuah Daerah Aliran
Sungai (DAS), sedangkan proporsi aliran dasar dari total aliran sungai digunakan
sebagai suatu indeks kemampuan DAS dalam menyimpan dan melepaskan air
selama periode kering. Untuk nilai indeks aliran dasar (baseflow idex/BFI) yang
tinggi mendeskripsikan bahwa dalam suatu DAS memiliki pola aliran yang lebih
stabil dan mampu mempertahankan aliran sungai selama periode kering dan
ketika nilai Baseflow index (BFI) semakin besar maka semakin baik persediaan
air dalam DAS begitu juga sebaliknya (Tallaksen,1995).

G.Neraca Air
Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara
jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah
hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu. Menurut Doorenbos
dan Pruitt (1977) dalam perhitungan neraca air, hujan satu titik dan hujan
wilayah dapat menggunakan nilai rata-rata selama beberapa tahun
pengamatan atau menggunakan peluang melampaui nilai tertentu. Setelah
sampai di permukaan perjalanan air hujan akan ditentukan oleh karakteristik
permukaan yang meliputi sifat fisik tanah, penutupan vegetasi dan
karakteristik air permukaan pada badan air seperti sungai dan cekungan yang
menyimpan air. Akhirnya, sebagai keluaran dalam perhitungan neraca air
adalah limpasan dan evapotranspirasi.
Evapotranspirasi adalah kombinasi antara evaporasi dan penguapan
oleh vegetasi. Evapotranspirasi disebut juga pemakaian konsumtif air untuk
menunjukkan jumlah air yang dikonsumsi oleh tanaman. Berdasarkan
ketersediaan energi dan air, evapotranspirasi yang terjadi pada permukaan
tanah terbagi atas evapotranspirasi potensial (PE) dan evapotranspirasi aktual
(AE). Konsep neraca air dalam suatu DAS dirumuskan oleh Seyhan (1977)
sebagai berikut :
P = R + AE ± Δ St .......(1)
dimana ;
P = curah hujan
R = limpasan permukaan
AE = evapotranspirasi aktual
Δ St = perubahan simpanan

H. Evatransporasi

Evapotranspirasi adalah keseluruhan jumlah air yang berasal dari


permukaan tanah, air, dan vegetasi yang diuapkan kembali ke atmosfer oleh
adanya pengaruh faktor–faktor iklim dan fisiologi vegetasi. Dengan kata lain,
besarnya evapotranspirasi adalah jumlah antara evaporasi (penguapan air berasal
dari permukaan tanah), intersepsi (penguapan kembali air hujan dari permukaan
tajuk vegetasi), dan transpirasi (penguapan air tanah ke atmosfer melalui vegetasi)
( Kodoati dan Rustam, 2008).
Evapotranspirasi adalah kombinasi proses kehilangan air dari suatu lahan
bertanaman melalui evaporasi dan transpirasi. Evaporasi adalah proses dimana air
diubah menjadi uap air (vaporasi, vaporization) dan selanjutnya uap air tersebut
dipindahkan dari permukaan bidang penguapan ke atmosfer (vapor removal).
Evaporai terjadi pada berbagai jenis permukaan seperti danau, sungai lahan
pertanian, tanah, maupun dari vegetasi yang basah. Transpirasi adalah vaporisasi
di dalam jaringan tanaman dan selanjutnya uap air tersebut dipindahkan dari
permukaan tanaman ke atmosfer (vapor removal). Pada transpirasi, vaporisasi
terjadi terutama di ruang antar sel daun dan selanjutnya melalui stomata uap air
akan lepas ke atmosfer. Hamper semua air yang diambil tanaman dari media
tanam (tanah) akan ditranspirasikan, dan hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan
tanaman (Allen et al. 2008).
 Metode Thorntwaite
Menurut Karyanto (2012) menjelaskan bahwa Thornthwaite telah
mengembangkan suatu metode untuk memperkirakan besarnya evapotranspirasi
potensial dari data klimatologi. Evapotranspirasi potensial (PET) tersebut
berdasarkan suhu udara rerata bulanan dengan standar 1 bulan 30 hari, dan lama
penyinaran matahari 12 jam sehari. Metode ini memanfaatkan suhu udara sebagai
indeks ketersediaan energi panas untuk berlangsungnya proses ET dengan asumsi
suhu udara tersebut berkorelasi dengan efek radiasi matahari dan unsur lain yang
mengendalikan proses ET.
Rumus dasar:
ETP = 1,6 (10 t/I)a
keterangan:
PET = evapotranspirasi potensial bulanan (cm/bulan)
T = temperatur udara bulan ke-n (OC)
I = indeks panas tahunan
a = koefisien yang tergantung dari tempat
Harga a dapat ditetapkan dengan menggunakan rumus:
a = 675 ´ 10-9 ( I3 ) – 771 ´ 10-7 ( I2 ) + 1792 ´ 10-5 ( I ) + 0,49239
Jika rumus tersebut diganti dengan harga yang diukur, maka:
PET = evapotranspirasi potensial bulanan standart (belum disesuaikan dalam cm).
Karena banyaknya hari dalam sebulan tidak sama.

I. Presipitasi

Hujan (Presipitasi)adalah faktor utama yang mengendalikan berlansgsungnya


daur hidrologi dalam suatu wilayah DAS. Terjadinya hujan karena adanya
perpindahan massa uap air ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya
beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat
tersebut, karena akumulasi uap air pada suhu yang rendah maka terjadilah proses
kondensasi, dan pada gilirannya massa uap air tersebut jatuh sebagai air hujan.
Namun demikian, mekanisme berlangsungnya hujan melibatkan tiga faktor utama.
Dengan kata lain, akan terjadi hujan apabila berlangsung tiga kejadian (C. Asdak,
2002) sebagai berikut:
1. Kenaikan massa uap air ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer
menjadi jenuh.
2. Terjadi kondensasi atas partikel-partikel uap air di atmosfer.
3. Partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk
kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut ( sebagai hujan ) karena grafitasi.
Hujan sangat dipengaruhi oleh iklim dan keadaan topografi daerah., sehingga
keadaanya sangat berbeda untuk masing-masing daerah. Menurut Sri Harto
(1985),Linsley, dkk (1986), tipe hujan sering dibedakan menurut faktor penyebab
terangkatnya udara yang mengakibatkan hujan adalah sebagai berikut:

1. Hujan Konvektif (convective), bila terjadi ketidak seimbangan udara


karena panas setempat, dan udara bergerak keatas dan berlaku proses adiabatik.
Biasanya merupakan hujan dengan intensitas tinggi, dan terjadi dalam waktu yang
relatif singkat, didaerah yang relatif sempit.
2. Hujan Siklon (cyclonic), bila gerakan udara ke atas terjadi akibat adanya
udara panas yang bergerak diatas lapisan udara yang lebih padat dan lebih dingin.
Hujan jenis ini biasanya terjadi dengan intensitas sedang, mencakup daerah yang
luas dan berlangsung lama.
3. Hujan Orografik (orographic rainfall), terjadi karena udara bergerak ke
atas akibat adanya pegunungan. Akibatnya , terjadi dua daerah yang disebut
daerah hujan dan daerah bayangan hujan. Sifat hujan ini dipengaruhi oleh sifat
dan ukuran pegunungan.

Menurut Sri Harto (1985),Linsley, dkk (1986), data hujan yang diperlukan
dalam analisa hidrologi ada 5 unsur yang harus ditinjau, yaitu :
1. Intensitas I, adalah laju hujan = tinggi hujan persatuan waktu, misalnya :
mm/menit, mm/jam, mm/hari.
2. Lama waktu (duration) t, adalah lamanya curah hujan (durasi) dalam
menit atau jam.
3. Tinggi hujan d, adalah jumlah atau banyaknya hujan yang dinyatakan
dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm.
4. Frekuensi, adalah frekuensi kejadian, dinyatakan dengan waktu ulang
(return period ) T, misalnya sekali dalam T tahun.
5. Luas, adalah luas geografis curah hujan.
Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses
hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) akan dialihragamkan
menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran
antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater)
Sri Harto (1985),Linsley, dkk (1986).
Menurut Sri Harto (1981), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
presipitasi diantara lain berupa :
1. Adanya uap air di atmosphere
2. Faktor-faktor meteorologis
3. Lokasi daerah
4. Adanya rintangan misal adanya gunung.
Instrumen pengukur hujan (raingauge) menurut Sri Harto (1981) ada dua
jenis yaitu penakar hujan biasa (manual raingauge), dan penakar hujan otomatik
(automatic raingauge). Alat-alat tersebut harus dipasang sesuai dengan aturan
yang ditetapkan oleh WMO (World Meteorological Organization) atau aturan
yang disepakati secara nasional di suatu Negara.

J. Metode Thiessen Poligon

Rata-rata terbobot (weighted average), masing-masing stasiun hujan


ditentukan luas daerah pengaruhnya berdasarkan poligon yang dibentuk
(menggambarkan garis-garis sumbu pada garis-garis penghubung antara dua
stasion hujan yang berdekatan). Cara ini diperoleh dengan membuat poligon yang
memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan.
Dengan demikian tiap stasiun penakar Rn akan terletak pada suatu poligon
tertentu An. Dengan menghitung perbandingan luas untuk setiap stasiun yang
besarnya = An/A, dimana A adalah luas daerah penampungan atau jumlah Cara
ini untuk daerah yang tidak seragam dan variasi CH besar Sosrodarsono (2003).
Menurut Shaw (1985) dalam Mahbub, (2002) cara ini tidak cocok untuk daerah
bergunung dengan intensitas CH tinggi. Dilakukan dengan membagi suatu
wilayah (luasnya A) ke dalam beberapa daerah-daerah membentuk poligon (luas
masing-masing daerah ai). Menurut Sosrodarsono (2003), secara matimatik ditulis
persamaan sebagai berikut :

Dimana :
d = tinggi curah hujan rata-rata wilayah
di = tinggi curah hujan di stasiun hujan ke-i
A = luas wilayah
Ai = luas daerah pengaruh stasiun hujan ke-i
n = banyaknya stasiun hujan
pi = bobot luas pengaruh stasiun hujan ke-i

1.3 Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diulas sebelumnya maka
rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. bagaimana persebaran tingkat kekritisan lahan yang terjadi di Sub Daerah
Aliran Sungai Majalaya ?,dan
2. bagaimana pengelolaan alternatif lahan yang diterapkan di area lahan kritis di
Sub Daerah Aliran Sungai majalaya?.

1.4 Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini
adalah :
1. Mengetahui ketersediaan air di sekitar Sub-DAS Majalaya dengan
menggunakan metode neraca air INPUT-OUTPUT
2. Mengetahui kebutuhan air penduduk sekitar Sub-DAS Majalaya
3. Mengetahui daya dukung sumberdaya air sekitar Sub-DAS Majalaya

1.5 Kegunaan Penelitian


Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai pengembangan dari ilmu geografi khususnya Sistem Informasi
Geografi untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan lahan kritis di
lingkup Sub DAS pada stasiun cibereum, paseh, dan ciparay
2. Memberikan informasi berbasis keruangan (spasial) tingkat persebaran
kekritisan lahan di Sub DAS pada stasiun cibereum, paseh, ciparay ,dan
3. Dapat menjadi masukan untuk pemerintah atau pihak-pihak yang
berkepentingan dalam usaha pengembangan penataan lahan serta pengambilan
keputusan dalam kebijakan pengembangan wilayah, khususnya wilayah yang ada
di sekitar Sub DAS majalaya.
BAB II
METODE PENGERJAAN

Pengumpulan data
A. Pengertian penelitian kuantitatif
Penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang spesifikasinya
adalah sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga
pembuatan desain penelitiannya. Definisi lain menyebutkan penelitian kuantitatif
adalah penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari
pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari
hasilnya. Demikian pula pada tahap kesimpulan penelitian akan lebih baik bila
disertai dengan gambar, table, grafik, atau tampilan lainnya. Namun bukan berarti
penelitian kuantitatif bersih dari data yang berupa informasi kualitatif. Penelitian
kuantitatif ini menekankan pada hasil survey sedangkan penelitian kualitatif yang
menekankan pada studi kasus.
B. Tujuan penelitian kuantitatif
Tujuan Penelitian Kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-
model matematis, teori-teori dan hipotesis yang dikaitkan dengan fenomena alam.
Penelitian kuantitatif banyak digunakan untuk menguji suatu teori, untuk
menyajikan suatu fakta atau mendeskripsikan statistik, untuk menunjukkan
hubungan antarvariabel, dan ada pula yang bersifat mengembangkan konsep,
mengembangkan pemahaman atau mendeskripsikan banyak hal, baik itu dalam
ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
C. Ciri-ciri penelitian kuantitatif
1. Cara samplingnya berlandaskan pada asas random.
2. Instrumen sudah dipersiapkan sebelumnya dan di lapangan tinggal pakai.
3. Jenis data yang diperoleh dengan instrumen-instrumen sebagian besar berupa
angka atau yang diangkakan.
4. Teknik pengumpulan datanya memungkinkan diperoleh data dalam jumlah
banyak dan dalam waktu yang relatif singkat.
5. Teknik analisis yang dominan adalah teknik statistik.
6. Sifat dasar analisis penelitian deduktif dan sifat penyimpulan mengarah ke
generalisasi.
D. Langkah-Langkah pada penelitian kuantitatif
Pada prinsipnya penelitian kuantitatif adalah untuk menjawab masalah. Masalah
adalah penyimpangan dari apa yang seharusnya dengan apa yang terjadi
sesungguhnya. Dari hal tersebut maka kita dapat melakukan beberapa langkah
penelitian untuk menjawab masalah tersebut, antara lain :
1. Tahap Konseptual
Merumuskan dan membatasi masalah, meninjau kepustakaan yang relevan,
mendefinisikan kerangka teoritis, merumuskan hipotesis. Tahap ini termasuk
merenungkan, berpikir, membaca, membuat konsep, revisi konsep, teoritisasi,
bertukar pendapat, konsul dengan pembimbing, dan penelusuran pustaka.
Mengeksploitasi, perumusan, dan penentuan masalah yang akan diteliti. Penelitian
kuantitatif dimulai dengan kegiatan menjajaki permasalahan yang akan menjadi
pusat perhatian peneliti dan kemudian peneliti mendefinisikan masalah penelitian
dengan jelas.
Melengkapi Data
1. Fase Perancangan dan Perencanaan
Memilih rancangan penelitian, mengidentifikasi populasi yang diteliti,
mengkhususkan metode untuk mengukur variabel penelitian, merancang rencana
sampling, mengakhiri dan meninjau rencana penelitian, melaksanakan pilot
penelitian dan membuat revisi.
2. Fase Empirik
Pengumpulan data, penyiapan data untuk analisis atau mengumpulkan data
penelitian dari lapangan.
Uji Konsistensi , Homogenitas, Analisis
1. Fase Analitik
Mengolah dan menganalisis data hasil penelitian. Data yang dikumpulkan dari
lapangan diolah dan dianalisis untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan, yang
diantaranya kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis penelitian.
2. Fase Diseminasi
Pada tahap akhir, agar hasil penelitian dapat dibaca, dimengerti dan diketahui oleh
masyarakat luas, maka hasil penelitian tersebut disusun dalam bentuk laporan
hasil penelitian.
BAB III.
3.1 Tabel Data
Stasiun Kecamatan
Cibeureum Kertasari & Pacet
Paseh Ibun, Paseh & Pacet
Ciparay Majalaya, Ciparay, Arjasari & Pacet
Tabel 1.1 tabel pembagian kecamatan berdasarkan daerah polygon per stasiun

Polygon Luas ( m2) Luas ( Km2)


Ciparay Sub-Das Majalaya 6141620,604645 6,141621
Paseh Sub-Das Majalaya 96620078,416655 96,620078
Cibereum Sub-Das 2692921,352953 2,692921
Majalaya
Total 105454620,4 105,4546
Tabel 1.2 tabel luas daerah

Tahun Qmin ( m3/s)


2010 1,27
2011 1,92
2012 2
2013 6,45
2014 4,83
Rata-rata 3,294

Tabel 1.3 debit minimum

Suhu
Tahuna Rata-
n (⸰C) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des rata
22,9387 23,1785 23,1774 24,6433 24,1064 22,9096 23,2967 22,9233 23,2548 23,2933 22,9580 23,3275
2010 1 7 2 3 5 23,25 8 7 3 4 3 6 4
23,3322 23,4714 23,6032 23,4266 23,6290 23,2833 22,8193 23,0096 23,3966 24,1161 22,9333 23,9633 23,4153
2011 6 3 3 7 3 3 5 8 7 3 3 3 7
23,0677 23,5642 23,7258 23,5482 23,2387 23,3233 22,5967 23,2225 24,2032 23,3366 23,3387 23,4355
2012 4 9 1 8 1 3 7 8 24,06 3 7 1 1
23,4290 23,4107 23,4107 23,7633 23,5096 23,6333 22,5645 23,2064 23,8076 23,7321
2013 3 1 1 3 8 3 2 5 9 25,525 24,15 24,375 2
23,5464 24,6521 24,7392 25,3416 24,8548 23,5966 23,1966 23,7766 24,3580 23,5423 23,7580 24,0313
2014 3 7 9 7 4 7 23,0129 7 7 6 1 6 1

Tabel 1.4 Tabel suhu tahunan dan rata-rata

indeks Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Indeks
penyinaran penyinaran
bulanan (i) tahunan (I)
2010 10,038 10,197 10,196 11,189 10,822 10,245 10,019 10,276 10,268 10,248 10,274 10,051 123,823
2011 10,3 10,393 10,481 10,363 10,499 10,267 9,595 10,085 10,342 10,828 10,034 10,724 123,911
2012 10,123 10,455 10,564 10,444 10,237 10,294 9,812 10,227 10,79 10,887 10,303 10,304 124,44
2013 10,364 10,352 10,352 10,589 10,419 10,503 9,791 10,216 10,619 11,8 10,851 11,005 126,861
2014 10,443 11,195 11,255 11,672 11,334 10,477 10,087 10,209 10,594 10,993 10,44 10,586 129,285
Rata-rata 125,664
Tabel 1.5 Tabel indeks penyinaran bulanan

Debit
DAS
Majal Ma Me Ag Se Ok No Rata-
aya Jan Feb r Apr i Jun Jul u p t v Des rata
8,6 20, 19, 12, 11, 10, 1, 1, 8, 13, 16, 10,97
2010 4 05 18 39 76 09 7,8 5 17 81 49 85 75
2011 6,5 5,5 6,7 8,7 9,3 3,1 2,4 1, 1, 1, 1,0 4,1 4,291
2 5 9 9 4 2 4 5 17 15 1 2 667
6,1 8,2 5,9 3,9 2,4 2, 2, 2, 7,3 13, 6,089
2012 6 7 9,1 9,3 5 5 6 36 19 44 4 55 167
11, 18, 13, 32, 19, 16, 13, 9, 7, 7, 14, 14,61
2013 97 86 66 6 79 03 91 52 4 96 9,1 55 25
6,5 8,0 6,7 8,2 3,0 1,7 0, 1, 3, 8,6 15, 5,698
2014 2 4,3 9 3 3 8 1 92 18 63 7 32 333
Rata- 8,333
Rata   833
Tabel 1.6 Tabel Debit Sub-Das Majalaya

3.2 Perhitungan

 Bf = Qmin rata-rata / Luas DAS (Qmin = debit sungai minimum)


3,294
=
92953325,73
= 3,543 x 10-8
 Evapotranspirasi (ET)
I = 125,664
a = (675x10-9)(125,6643)-(771x10-7)(125,6642)+0,0179(125,664)+0,492=2,863
23,327 .10 2,863
ET(2010) = 1,62( ) = 9,555 cm
125,664
23,415 .10 2,863
ET(2011) = 1,62( ) = 9,623 cm
125,664
23,435 .10 2,863
ET(2012) = 1,62( ) = 9,647 cm
125,664
23,732. 10 2,863
ET(2013) = 1,62( ) =10,001 cm
125,664
24,031. 10 2,863
ET(2014) = !,62( ) =10,366 cm
125,664
ET Rata-rata = 9.838 cm

 Intensitas Hujan Wilayah Rata-Rata


Tahun Stasiun Ciparay Stasiun Paseh Stasiun Cibereum
(mm/jam) (mm/jam) (mm/jam)

2010 14,02983333 14,67333333 19,5175


2011 13,10516667 10,80166667 12,777
2012 - 11,095 7,401666667
2013 13,2205 14,25 8,466667
2014 11,77683333 21,45833333 8,658333
Rata-Rata 13,03308333 14,45566667 11,36423333

n n
A 1 di
d=∑ A
= ∑ P1d1
i=1 i=1

( 2,692921×11,364 ) + ( 96,620078 ×14,455 )+(6,141621× 13,033)


=
105,4546 K
= 14,032 mm/Hari
 Direct Runoff

Q=fxCxAxI
Q = 0,2778 x 0,77 x 301,939 Km2 x 14,032 mm/Hari
Q = 906,278 m3/s

 Neraca Air
ΔS = P-(R+ET+Bf)
= 14,032 mm/hari - ( 906,278m3/s + 9,8384 + 3,543 x 10-8)
= - 902,084 mm/hari
 Kebutuhan Air
Kebutuhan air = Jumlah Penduduk per wilayah stasiun x kebutuhan air seorang
per hari ( liter / orang / hari )
Kebutuhan air (St. Ciparay) = 486.397 x 100 = 48.639.700 lt/hari
Kebutuhan air (St. Paseh ) = 312.346 x 100 = 31.234.600 lt/hari
Kebutuhan air ( St. Cibeureum ) = 168.522 x 100 = 16.852.200 lt/hari
Kebutuhan Rata-rata = 32.242.166,67 lt/hari
Total = 96726500 lt/ hari

3.3 Analisis
Wilayah Das Citarum Hulu Sub-Das Majalaya berada pada Kabupaten
Bandung. Data hujan diambil dari 3 titik dengan Sub-Das yang berbeda yaitu titik
Cibeureum ( Sub-Das Cibangoak), titik Ciparay ( Sub-Das Cirasea) dan Titik
Paseh ( Sub-Das Majalaya). Daerah sub-das dibagi menjadi 3 wilayah dengan
methode polygon thiessen. Terdapat 7 kecamatan yang berada disekitar Sub-Das
Majalaya dan disekitas titik lokasi hujan yaitu Kecamatan Arjasari ,Majalaya
,Ibun, Paseh, Pacet, Kertasari, dan Ciparay. Jumlah penduduk rata-rata dari ke-7
kecamata per-lima tahun sebanyak 108.957 jiwa. Pengukuran neraca air bertujuan
untuk mengetahui ketersediaan air dengan metode neraca air input-output. Neraca
air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di
atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan
dan kurun waktu tertentu. Untuk waktu yang kami tinjau adalah tahun 2010-
2014. Ketersediaan air kemudian dibandingkan dengan kebutuhan air. Hasil
perhitungan ketersediaan air pada sub-das Majalaya memiliki nilai -902,084
mm/hari. Hasil tersebut menunjukkan daya dukung air sumber daya air di lokasi
tersebut defisit. Dari hasil perhitungan presipitasi (Intensitas hujan) menunjukan
nilai intensitas hujan rata-rata per 5 tahun sebesar 14,032 mm/Hari, nilai direct
runoff sebesar 906,278 m3/detik yang dihitung dengan rumus Q = d.C.A.I, nilai
koefisien limpasan didapat dari tabel koefisien limpasan metode rasional.
Berdasarkan kondisi topografinya DAS Citarum Hulu terdiri atas daerah datar
(lereng 0,8%) yang meliputi areal seluas 108.728 ha (46,6%), berombak (lereng
8,15%) seluas 44.482 ha (19,1%), bergelombang (lereng 15,25%) seluas 48.322
ha (20,7%), berbukit (lereng 25-40%) seluas 28.019 ha (1,6%), dan bergunung
(lereng >40%) seluas 3.771 ha (1,6%). Penggunaan lahan DAS Citarum Hulu
tahun 2010 didominasi oleh lahan sawah (28%) baik sawah tadah hujan ataupun
sawah irigasi. Penggunaan lahan kedua adalah permukiman (20%), yang diikuti
oleh pertanian lahan kering seperti tegalan atau ladang (19%), kebun
campuran/perkebunan (12%), hutan tanaman (11%), hutan sekunder dan primer
lahan kering (5%), dan semak belukar sekitar 1%. Konversi lahan hutan menjadi
lahan pertanian dan konversi turunannya ke penggunaan lahan lainnya sangat
intensif. Dilihat dari topografi Das Citarum hulu, sub-das Citarum Majalaya yang
mengalami penurunan luas hutan dan perkebunan serta peningkatan luas
pemukiman. Nilai Evapotranspirasi dari ketiga stasiun memiliki nilai rata-rata per-
5 tahun sebesar 9,838 cm. nilai indeks penyinaran rata-rata per 5 tahun dari ketiga
stasiun adalah 125,644. Dari data tersebut dapat menghitung nilai direct runoff.
Kemudian ketersediaan air dibandingkan dengan kebutuhan, kebutuhan air dapat
dihitung dengan cara jumlah penduduk x kebutuhan minimal sehari-hari. Jumlah
rata-rata kebutuhan dari ketiga stasiun adalah sebesar 32.242.166,67 lt/hari.
kebutuhan minimal sehari-hari sebesar 100 lt/orang/hari, nilai tersebut mengacu
terhadap tabel klasifikasi kota yang mengacu pada jumlah penduduk, dan jumlah
penduduk dari 3 polygon disekitar sub-das Majalaya memiliki jumlah penduduk
dalam rentang 100.000-500.000 jiwa sehingga dapat diklasifikasikan kedalam
kota besar dengan kebutuhan minimum 100lt/orang/hari. Hasil ketersediaan air
(ΔS) senilai -902,084 mm/hari, hal ini menunjukkan ketersediaan air tidak
memenuhi kebutuhan air (defisit) hal ini disebabkan karena nilai direct runoff atau
limpasan permukaan yang tinggi, limpasan permukaan adalah aliran air yang
mengalir di atas permukaan karena penuhnya infiltrasi tanah.

BAB IV
4.1 Kesimpulan
Ketersediaan air di wilayah Das Citarum Hulu Sub-Das Majalaya memiliki
nilai defisit/minus sebesar -902,084 mm/hari. Jumlah ketersediaan air yang defisit
dan tidak mencukupi kebutuhan air untuk penduduk di wilayah Das Citarum Hulu
Sub-Das Majalaya dipengaruhi oleh curah hujan, kemiringan lahan, dan vegetasi.
Wilayah Das Citarum Hulu (termasuk Sub-Das Majalaya) mengalami penurunan
luas hutan dan perkebunan diiringi naiknya luas pemukiman menurut Bapenas
2012. Hal tersebut dapat menurunkan kemampuan infiltrasi tanah sehingga
menyebabkan nilai limpasan langsung (direct runoff) tinggi yang dapat
mengurangi ketersediaan air. Nilai direct runoff yang didapat dari pengukuran
sebesar 906,278 m3/s sehingga menyebabkan ketersediaan air defisit. Agar
ketersediaan air setidaknya dapat mencukupi atau mengurangi volume limpasan
air pemrukaan dapat dilakukan dengan beberapa cara untuk mengelola air hujan
seperti dengan pembuatan drainase, sumur resapan, dan biopori.

4.2 Saran
 Drainase
Untuk mengurangi volume air limpasan perlu membuat drainase, drainase
berfungsi untuk mengontrol kualitas air tanah. Bukan hanya mengontrol kualitas
air tanah namun drainase juga dapat berfungsi sebagai berikut :
a. Mengeringkan daerah becek dan genangan air.
b. Mengendalikan akumulasi limpasan air hujan yang berlebihan.
c. Mengendalikan erosi, kerusakan jalan, dan kerusakan infrastruktur.
d. Mengelola kualitas air.
 Sumur Resapan
Selain dengan membuat drainase, dapat juga membuat sumur resapan, Sumur
resapan adalah suatu untuk untuk meresapkan air hujan dengan tujuan menambah
cadangan air tanah. Pembangunan sumur resapan adalah salah satu
usaha untuk pelestarian sumber daya air tanah, perbaikan kualitas lingkungan,
untuk
menambah jumlah air yang masuk ke dalam tanah sehingga dapat menjaga
kesetimbangan hidrologi air tanah dan mempertinggi muka air tanah, mengurangi
limpasan permukaan (run off) dan erosi tanah.
 Biopori
Biopori adalah lubang-lubang kecil di tanah yang terbentuk akibat aktivitas
organisme dalam tanah seperti cacing atau pergerakan akar-akar dalam tanah.
Lubang tersebut akan berisi udara dan menjadi jalur untuk mengalirnya air. Jadi
air hujan tidak langsung masuk ke saluran pembuangan air, tetapi meresap ke
dalam tanah melalui lubang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai