Anda di halaman 1dari 14

Implementasi IWRM (Integrated Water Resources Management)

pada Sungai Walanae


Gambaran Umum Sungai Walanae

Hidrologi
Sungai Walanae berhulu di Pegunungan Bonto Tangui-
Bohonglangi di perbatasan Kabupaten Bone dengan
Kabupaten Gowa serta Kabupaten Maros. Sungai ini
kemudian mengalir sekira 180 Km dari selatan ke utara
menuju Aluvial Danau Tempe dan berbelok ke timur hingga
bermuara ke Teluk Bone di Kabupaten Bone. Nama
Walanae diambil dari nama sebuah dusun di Desa Pattuku,
Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Namun diwilayah
hilir, Sungai Walane lebih dikenal dengan nama Sungai
Cenranae.

Daerah Aliran Sungai


Sungai Walanae merupakan sungai utama di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Walanae. DAS Walanae adalah salah satu
dari 17 DAS yang dikelola BP DAS Jeneberang-Walanae.
DAS Walanae termasuk dalam kategori DAS prioritas I
(satu) dengan luas wilayah yang meliputi Kabupaten Bone,
Kabupaten Enrekang, Kabupaten Luwu, Kabupaten Maros,
Kabupaten Pinrang, Kabupaten Sidrap, Kabupaten
Soppeng, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Wajo.
DAS Walanae terdiri dari 7 (tujuh) Sub DAS, yaitu; Batu
Puteh, Malanroe, Mario, Minraleng, Sanrego, dan Walanae.

Anak Sungai
Sungai Walanae mempunyai sejumlah anak sungai yang
cukup besar yaitu:
1. Sungai Hulo
2. Sungai Camba
3. Sungai Mallawa
4. Sungai Lawo
5. Sungai Ullaweng
6. Sungai Tellulimpo
7. Sungai Pattuka
8. Sungai Mario
9. Sungai Malanroe
10. Sungai Billa
11. Sungai Opo
12. Sungai Unyi
13. Sungai Sanrego
14. Sungai Talabangi
.
YOOGYARTA, SATUHARAPAN.COM -- Masalah air di Indonesia, dari waktu ke waktu, menjadi
polemik yang semakin serius untuk disikapi. Tarik-menarik kepentingan antara pemerintah,
swasta, dan rakyat membuat polemik menjadi semakin besar. Menurut Prof. Dr. Ir. Budi
Santoso Wignyosukarto (Akademisi UGM), salah satu solusi yang bisa mereduksi polemik
tersebut adalah penerapan konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) atau
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.

Pernyataan Prof. Budi ini disampaikan dalam Seminar Nasional “Keadilan Air Menuju
Pembangunan Berkelanjutan” pada Kamis (9/4) bertempat di Wisma Joglo, Jalan Laksda
Adisucipto Km.6, Yogyakarta. Seminar yang dihelat oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air
(KRuHA) ini bertujuan untuk memproyeksikan kondisi dan kebijakan pengelolaan dan
pelayanan hak air di Indonesia di masa depan, terutama setelah pembatalan UU No. 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air.

Konsep IWRM ini kini menjadi sesuatu yang sangat penting mengingat saat ini pertumbuhan
penduduk dan perekonomian sudah sedemikian pesat sehingga kebutuhan akan air juga
semakin tinggi. Selain penduduk dan perekonomian, tekanan terhadap sumber daya air juga
datang dari berbagai faktor lain, seperti urbanisasi, globalisasi, variabilitas iklim, dan
perubahan iklim.

“Sekarang kita bisa melihat bahwa dari tahun ke tahun tekanan terhadap sumber daya air
semakin tinggi. Faktor pertambahan penduduk, peningkatan perekonomian, urbanisasi,
globalisasi, variabilitas iklim, hingga perubahan iklim adalah berbagai faktor yang memberi
tekanan terhadap kelestarian air. Jika kita tidak sanggup untuk mengelola sumber daya air
seiring dengan semakin kerasnya tekanan terhadapnya, maka keberlangsungan sumber daya
air ini akan mengancam anak cucu kita di kemudian hari,” jelas Prof. Budi.

Ancaman nyata terhadap sumber daya air tersebut seharusnya diimbangi dengan tata kelola
air yang baik. Hal yang perlu dilakukan adalah mengintegrasikan lembaga-lembaga yang
selama ini bertanggung jawab, terutama dalam hal perizinan, dalam hal tata kelola air di
Indonesia. Prof. Budi menilai bahwa banyaknya lembaga yang mengurus tentang air justru
membuat masalah tersendiri. Menurut Prof Budi faktor, koordinasi dari pelembagaan dan
manajemen pengelolaan air yang dimaksud meliputi pengelolaan tanah dan air, air tanah
dan permukaan, serta kepentingan hulu dan hilir.

“Kita lihat bahwa untuk mengakses air tanah kita harus meminta izin dari ESDM, air
permukaan izin ke PU, dan untuk mengakses air yang ada di hutan, kita juga harus meminta
izin dari Kehutanan. Ini seharusnya terintegrasi sebagai satu sumber daya alam,” ujar Prof.
Budi.

Prof. Budi meyakini bahwa jika konsep IWRM ini bisa diterapkan di Indonesia, maka upaya
untuk memaksimalkan hasil secara ekonomis dan kesejahteraan sosial, menyangkut soal air
ini, akan bisa tercapai tanpa mengorbankan keberlangsungan ekosistem vital. Selain itu, jika
konsep ini diterapkan, maka akan mampu memupuk keberlangsungan sumber daya air
sekaligus membuat kesetaraan antara pemangku kepentingan karena adanya sistem yang
terintergrasi atau terpadu.
Pada tahun 1980an ada wacana bahwa pengembangan dan pengelolaan sumber daya air berbasis
pada daerah aliran sungai, sehingga timbul ide untuk mengelola satu sungai dalam satu manajemen
(one river one management). Selanjutnya pada tahun 1990an konsep keberlanjutan (sustainability)
menjadi bagian dari pembangunan berbagai sektor, termasuk dalam pengembangan sumber daya air.
Gagasan pengelolaan sumber daya air secara terpadu/Integrated Water Resources Management
(IWRM) dan berkelanjutan tertuang dalam Prinsip-Prinsip Dublin tahun 1992, Agenda 21 Chapter 18
UNCED Tahun 1992. Kemudian Global Water Partnership (GWP) melalui Techical Advisory
Committee (TAC) padat tahun 2000 merumuskan tentang konsep dan panduan IWRM. Sejak saat itu
setiap Negara di dunia mulai secara intensif melaksanakan konsep IWRM tersebut, termasuk
Indonesia. Makalah ini merupakan review dari upaya dan progres implementasi IWRM di Indonesia.
Progres signifikan telah dicapai adalah dalam bentuk peraturan perundangan, pengelolaan sumber
daya air berbasis wilayah sungai (WS), terbentuknya Tim/Wadah Koordinasi baik pada tingkat
nasional, daerah dan WS, serta Balai Wilayah Sungai (BWS) sebagai unit kerja yang melaksanakan
IWRM. Akan tetapi tantangan yang amat berat implementasi IWRM dimasa datang adalah berkaitan
dengan regulasi sehubungan dengan dibatalkanya seluruh norma UU No. 7 tahun 2004 oleh
Makamah Konstitusi (MK) pada tanggal 18 Februari tahun 2015, dan kembali menggunakan UU No.
11 tahun 1974 yang sudah tidak sesuai dengan kondisi pengelolaan sumber daya air saat ini.

Kata kunci: sumber daya air, pengelolaan, terpadu, implementasi IWRM, UU 7 tahun 2004.

1. PENDAHULUAN
Pengembangan dan pengelolaan sumber daya air dikenal sudah sangat lama, dimasa silam
pengembangan sumber daya air diartikan sebagai usaha pemanfaatan sumber air untuk memenuhi
kebutuhan tertentu saja (hanya satu tujuan), misalnya untuk kebutuhan irigasi atau untuk air minum
dengan pedekatan pengelolaan sumber daya air menekankan pada bagaimana agar kebutuhan air
dapat terpenuhi. Pendekatan seperti ini ditandai oleh pembangunan fasilitas baru untuk memenuhi
penambahan kebutuhan, misalnya: pembangunan bendungan, saluran-saluran air, instalasi fasilitas
air bersih dan lain sebagainya. Pendekatan seperti ini kemudian dirasa dapat mengakibatkan
persoalan baru seperti: penggunaan air secara berlebihan, pemanfaatan modal kurang efisien,
pencemaran terhadap lingkungan, eksplorasi sumber air tidak terkontrol dan sebagainya.

Pada era 1980an sudah mulai diwacanakan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air
berbasis pada daerah aliran sungai (river catchment), sehingga timbul idea untuk mengelola satu
sungai dalam satu manajemen (one river one management). Dengan munculnya konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada tahun 1987, maka pada tahun 1990an
konsep keberlanjutan (sustainability) mulai berkembang dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari pembangunan berbagai sektor, termasuk dalam pengembangan sumber air. Sehingga
pengembangan sumber daya air menjadi jauh lebih kompleks dari pada hanya pembangunan fasilitas
untuk memenuhi kebutuhan air. Gagasan pengelolaan sumber daya air secara luas kemudian
dibahas dalam International Conference on Water and the Environment di Dublin tahun 1992, dengan
keluarnya rekomendasi Prinsip-Prinsip Dublin (Dublin Principles), antara lain:

a. Air tawar adalah terbatas dan mudah berubah, dan sangat esensial untuk melangsungkan
kehidupan, pembangunan dan lingkungan

b. Pengembangan sumberdaya air harus berdasar atas pedekatan partisipasi, dengan mengikut
sertakan para pemakai air, para perencana dan para pemegang kebijakan pada semua tingkatan

c. Peran wanita merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam perencanaan, pengelolaan,
dan pelestarian sumber daya air

d. Air mempunyai nilai ekonomis dalam semua tingkat pemanfaatan dan harus diperhitungkan
sebagai ‘economic good’.

Selanjutnya pada United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) Tahun 1992
di Rio de Jeneiro telah menghasilkan Agenda 21 Chapter 18 yang merupakan panduan dalam
mengembangkan dan mengelola sumber daya air secara terpadu dan berlanjut, yang menekankan
bahwa pengembangan dan pengelolaan sumber daya air secara terpadu dan berkelanjutan.
Kemudian Global Water Partnership (GWP) melalui Techical Advisory Committee (TAC) merumuskan
lebih rinci tentang konsep dan panduan tentang IWRM, sejak itu setiap negara di dunia mulai secara
intensif membuat berbagai konsep dan persiapan untuk melaksanakan konsep IWRM tersebut,
termasuk Indonesia. Paper ini merupakan hasil review dari berbagai literatur tentang berbagai usaha
yang telah dilaksanakan di Indonesia untuk mengimplementasikan konsep Pengelolaan Sumber Daya
Air Secara Terpadu/ Integrated Water Resources Management (IWRM) yang merupakan cita-cita
umat manusia untuk melestarikan sumber daya air yang sangat terbatas tersebut.

2. KONSEP DAN LANGKAH MEWUJUDKAN IWRM


Pengelolaan sumber daya air secara terpadu sesungguhnya tidak terlepas dari arahan dan
rekomendasi dari Agenda 21 dan Chapter 18 dari UNCED tahun 1992 di Rio de Jeneiro, Brasil.
Arahan tersebut selanjutnya dijadikan panduan dalam menyusun konsep IWRM oleh Techical
Advisory Committee (TAC) dari Global Water Partnership (GWP) yang berkedudukan di Stockolom,
Swedia. Konsep IWRM selanjutnya dituangkan dalam Background Paper No 4 tahun 2000 yang
menyatakan bahwa IWRM didefinisikan sebagai: suatu proses yang mengintegrasikan pengelolaan
air, lahan, dan sumber daya terkait lainnya secara terkoordinasi, dalam rangka memaksimalkan
resultan ekonomi dan kesejahteraan sosial secara adil tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem
yang vital (Norken, 2002).

Selanjutnya Agarwal, Anil et. al., 2000 dalam Norken, 2003) menguraikan bahwa integrasi dalam
IWRM menekankan pada integrasi dari natural system dan integrasi dari human system. Integrasi
natural system menyangkut integrasi pengelolaan air tawar dan kawasan pantai, integrasi
pengelolaan lahan dan air, integrasi pengelolaan air permukaan dan air tanah, integrasi pengelolaan
kuantitas dan kualitas sumberdaya air, dan integrasi pengelolaan kawasan hulu dan hilir. Sedangkan
integrasi human system meliputi pengarusutamaan sumber daya air, integrasi antar sektor dalam
kebijakan pembangunan nasional, pengaruh pengembangan sumber air terhadap sistem ekonomi
makro, integrasi dalam pembuatan kebijakan, integrasi dari semua stakeholders dalam perencanaan
dan pembuatan keputusan, integrasi dalam pengelolaan air minum dan air limbah, serta integrasi
penglolaan air untuk berbagai kebutuhan. IWRM sesungguhnya adalah konsep pengelolaan sumber
daya air yang bersifat menyeluruh dan holistik, yang berbasis pada daerah aliran sungai atau wilayah
sungai (river basin). Wilayah sungai dalam hal ini dapat dilihat sebagai satu kesatuan wilayah
pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi antara hulu dan hilir, kuantitas dan kualitas, air
permukaan dan air tanah, serta tata guna lahan dan penggunaan sumber air secara praktis.

Demikian juga dengan aquifer (cekungan air tanah), yang merupakan suatu wilayah yang dibatasi
oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan,
pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Baik wilayah sungai maupun cekungan air tanah
(aquifer) sudah seharusnya dikelola secara terpadu, dengan prinsip bahwa sumber daya air harus
dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk
mewujudkan keberlanjutan sumber daya air serta untuk kesejahteraan masyarakat, yang merupakan
prinsip dasar dari IWRM.

Norken (2002) menguraikan bahwa upaya untuk mewujudkan IWRM dimulai tahun 1999 sejak
dimulainya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan sosial politik di Indonesia. Salah satu
kebijakan yang sangat penting dilakukan pada saat itu adalah keluarnya Keputusan Presiden No. 9
tahun 1999, tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan
Kelestarian Daerah Aliran Sungai yang terdiri dari 9 Menteri dengan tugas pokok adalah menyusun
kebijakan berkaitan dengan kelestarian, keterpaduan dan koordinasi dalam pemeliharaan daerah
aliran sungai. Atas bantuan Bank Dunia, salah satu program yang dilakukan dan sangat mendukung
dalam mewujudkan konsep IWRM di Indonesia adalah penguatan kelembagaan dan peraturan
perundangan untuk mendukung implementasi pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan
berkeadilan.

Selanjutnya Norken (2003) menguraikan bahwa reformasi institusional berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya air dimulai dengan ide pembentukan Dewan Nasional Sumberdaya Air tahun 2000
ditingkat nasional sebagai institusi yang bertanggung jawab tentang penetuan arah kebijakan
pengembangan sumber daya air di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya di tingkat nasional
Presiden membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air yang merupakan realisasi dari
pembentukan Dewan tersebut (Kepres No: 123 Tahun 2001), yang terdiri dari 13 Menteri dan Menteri
Negara yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga merangkap anggota.
Tim ini telah merumuskan arahan kebijakan nasional sumber daya air (Kepmen No:Kep-
14/M.Ekon/12/2001) yang telah sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh Bank Dunia. Dibidang
regulasi, ide perubahan Undang Undang (UU) No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang sudah
dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, dilakukan dengan penyiapan Rancangan
UU Tentang Sumberdaya Air, yang kemudian disyahkan sebagai menjadi UU No. 7 tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, sehingga usaha untuk mewujudkan regulasi dalam medukung pelaksanaan
pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air secara terpadu dan berkelanjutan tahap demi tahap
dapat dilaksanakan, termasuk penyiapan peraturan-peraturan dan instrumen lain yang dibutuhkan
untuk mendukung IWRM (UU No. 7 tahun 2004 sudah tidak berlakuk sejak 18 Februari 2015).

3. REGULASI PENDUKUNG IWRM


Dengan ditetapkanya rancangan UU tentang Sumber Daya Air menjadi UU No. 7 tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air, merupakan langkah yang sangat penting bagi perkembangan pengelolaan sumber
daya air di Indonesia UU tesebut telah diakui oleh The United Nations World Water Assessment
Programme, UNESCO tahun 2009 sebagai referensi dalam mengiplementasikan IWRM di Indonesia
(Hassing, et.al., 2009). UU tersebut dianggap sudah sangat kompresensif dalam mengatur berbagai
hal tentang pokok-pokok dalam pengelolaan sumber daya air secara terpadu (IWRM), yang
merupakan pengganti dari UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Beberapa hal dalam yang
merupakan penting dalam UU No. 7 tahun 2004 yang memberikan arahan keterpaduan dalam
penelolaan sumber daya air sesuai dengan prinsip prinsip IWRM adalah:

a. Pasal 1 ayat 7: Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan,
memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.

b. Pasal 2: Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan
umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.

c. Pasal 3: Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup
dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.

d. Pasal 11 ayat 1: Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang
kehidupan disusun pola pengelolaan sumber daya air.

e. Pasal 11 ayat 2: Pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disusun
berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah.

f. Pasal 85 ayat 1: Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektor dan lintas
wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat
sumber daya air.

Pasal-pasal tersebut di atas sangat jelas bahwa UU No.7 tahun 2004 telah meletakkan dasar regulasi
yang sangat kuat didalam mengelola sumber daya air dengan prinsip-prinsip keterpaduan dalam
pengelolaan sumber daya air. Setelah diundangkanya UU No. 7 tahun 2004, Pemerintah Republik
Indonesia berupaya menyusun berbagai peraturan yang merupakan turunan dari UU tersebut guna
dapat melaksanakannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam pasal-pasalnya.
Beberapa contoh peraturan pemerintah dan peraturan lain yang telah dibuat dalam mendukung
pelaksanaan UU No. 7 tahun 2004, antara lain:

a. PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi.

b. PP No. 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.

c. PP No. 42 tahun 2008 tentang Air Tanah.

d. PP No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

e. Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 tahun 2008 tentang Dewan Sumber Daya Air.

f. Perpres No. 33 tahun 2011 tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air.

g. Keputusan Presiden RI No. 6 tahun 2009, tentang Dewan Sumber Daya Air Nasional.

h. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 11A/PRT/M/2006, tentang Kriteria dan Penetapan
Wilayah Sungai.
i. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No : 13/PRT/M/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai
Wilayah Sungai

j. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai

k. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 268/KPTS/M/2010 tentang Pola Pengelolaan Sumber
Daya Air Wilayah Sungai Brantas, dan lain lain.

Dari contoh-contoh berbagai peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah sudah ada upaya yang
luar biasa yang telah dilakukan sejak tahun 1999 untuk membangun regulasi guna mendukung UU
No.7 tahun 2004 yang merupakan undang-undang untuk memberikan arahan dalam
mengimplementasikan IWRM di Indonesia, walaupun masih perlu didukung oleh peraturan-peraturan
yang lebih operasional di tingkat pemerintah provinsi maupun peraturan ditingkat kabupaten/kota
(Perda) agar implementasi IWRM dapat sejalan dengan kondisi daerah setempat sesuai dengan
kearifan lokal yang ada pada masing-masing daerah. Hassing, et.al., (2009) mencatat bahwa UU
No.7 tahun 2004 yang dibuat oleh pemerintah Indonesia merupakan salah satu praktek baik dan
referensi dalam melaksanakan IWRM di dunia.

4. WILAYAH SUNGAI DAN PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI


Wilayah Sungai. Salah satu hal yang sangat penting yang menjadi arahan dalam pengelolaan sumber
daya air dalam Agenda 21 Chapter 18 dari Deklarasi UNCED Rio de Jeneiro tahun 1992 yang antara
lain menyatakan bahwa: pengelolaan sumber daya air harus mempertimbangkan kebutuhan
melindungi keterpaduan ekosistem serta mencegah degradasi dan berbasis pada wilayah sungai
(drainage basin). Selanjutnya The International Hydrological Programme of UNESCO, and the
Network of Asian River Basin Organizations (NARBO), 2009, menjelaskan pengelolaan sumber daya
air berbasis pada wilayah sungai (river basin level), akan memungkinkan pengelolaan secara praktis
berkaitan dengan integrasi hulu dan hilir, kuantitas dan kualitas , air permukaan dan air tanah serta
tata guna lahan, sehingga wilayah sungai merupakan satu hal yang sangat prinsip dalam IWRM.
Untuk itu dalam UU No. 7 tahun 2004 sangat tegas diatur bahwa: Wilayah Sungai (WS) adalah
kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau
pulau-pulau kecil yang luasnya kurang atau sama dengan 2000 km2. Dari sini dapat diartikan bahwa
WS sebagai satuan pengelolaan sumber daya air bisa terdiri dari satu daerah aliran sungai (DAS),
bisa lebih dari satu DAS, bahkan bisa merupakan pulau atau pulau-pulau dengan luas tidak lebih dari
2000 km2.

Selanjutnya WS sendiri sesuai dengan PP No.42 tahun 2008 dapai berupa:

a. WS dalam satu kabupaten/kota;

b. WS lintas kabupaten/kota;

c. WS lintas provinsi;

d. WS lintas negara; dan

e. WS strategis nasional

Berdasarkan aturan tersebut selanjutnya Pemerintah telah menetapkan wilayah sungai yang
membagi seluruh wilayah Rebuplik Indonesia, melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI No.
11A/PRT/M/2006, tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai dan diperbaharui melalui
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, dengan jumlah
wilayah sungai ditetapkan sebanyak 131 Wilayah Sungai (WS) yang terdiri dari 5 WS Lintas Negara,
29 WS Lintas Provinsi, 29 WS Srategis Nasional, 53 WS Lintas Kabupaten/Kota dan 15 WS Dalam
Satu Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Peta seluruh Wilayah Sungai
seperti terlihat pada Gambar 1,
berikut. Gambrar 1. Peta Wilayah Sungai di Indonesia (Sumber: http://sda.pu.go.id:8181/sda/peta_ws.php)
Dengan telah ditetapkanya WS tersebut, maka pengelolaan sumber daya air secara terpadu (IWRM),
menjadi lebih jelas, baik wilayah pengelolaan maupun kewenangan pemerintah, dari pemerintah
pusat sampai pada pemerintah daerah berserta stakeholders dalam menyusun, merumuskan dan
mentetapkan kebijakan, pola pengelolaan, merencanakan serta melaksanakan pengelolaan sumber
daya air pada masing-masing wilayah sungai.

Pengelolaan Wilayah Sungai


Dalam PP No.42 tahun 2008 pasal 4 ayat 1 diatur bahwa, pengelolaan sumber daya air
diselenggarakan dengan berlandaskan pada:
a. Kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

b. Wilayah sungai dan cekungan air tanah yang ditetapkan.

c. Pola pengelolaan sumber daya air yang berbasis wilayah sungai.

Dalam hal kebijakan pengelolaan sumber daya air, baik ditingkat nasional maupun provinsi serta
tingkat kabupaten/kota, penyusunan dan perumusan dilakukan oleh masing-masing wadah koordinasi
(Dewan Sumber Daya Air) pada tingkat nasional, provinsi serta kabupaten/kota, sedangkan
penetapan dilakukan oleh Presiden, Gubernur dan Bupati/Wali Kota sesuai dengan kewenangannya.
Wadah koordinasi/Dewan Sumber Daya Air Nasional atau nama lain di tingkat provinsi serta
kabupaten/kota, merupakan lembaga yang mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah
dan stakeholders dalam bidang sumber daya air, sehingga keanggotaannya terdiri dari unsur
pemerintah dan non pemerintah, dengan tujuan agar kebijakan yang dirumuskan dapat menampung
berbagai keinginan para stakeholders.

Sementar tugas dan wewenang pemerintah dalam pengelolaan wilayah sungai dapat diuraikan
sebagai berikut: Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat meliputi:
a. Menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;

b. Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai
lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

c. Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah
sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

d. Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

e. Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai
lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

f. Mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan
pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan
wilayah sungai strategis nasional;

g. Mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan,


penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air
tanah lintas negara;
h. Membentuk dewan sumber daya air nasional, dewan sumber daya air wilayah sungai lintas
provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah sungai strategis nasional;

i. Memfasilitasi penyelesaian sengketa antarprovinsi dalam pengelolaan sumber daya air;

j. Memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.

Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi meliputi:


a. Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional
sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;

b. Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;

c. Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota
dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;

d. Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota

e. Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan
memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;

f. Mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan
pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota

g. Mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan,


penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.

h. Membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat provinsi dan/atau pada
wilayah sungai lintas kabupaten/kota;

i. Memfasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air;

j. Memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah
kabupaten/kota.

Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota meliputi:


a. Menetapkan kebijakan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan
kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan
memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;

b. Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;

c. Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;

d. Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/kota

e. Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota
dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;

f. Mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan
pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota

g. Mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan,


penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah dalam satu kabupaten/kota.

h. Membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat kabupaten/kota dan/atau
pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
i. Memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di wilayahnya.

Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya air selanjutnya pemerintah membentuk unit
pelaksana teknis yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan sumber daya air dalam
perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi sumber
daya air, pengembangan sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya
rusak air pada wilayah sungai, yang bernama Balai Wilayah Sungai (BWS) yang bertanggung jawab
kepada Direktur jenderal Sumber Daya Air, dibawah Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia.

5. PELAKSANAAN IWRM BERBASIS WS

Institusi pelaksana pengelola WS


Balai Wilayah Sungai (BWS) merupakan Unit Kerja telah dibentuk oleh pemerintah dalam
melaksanakan pengelolaan sumber daya air berbasis wilayah sungai melakukan tugas pokok sebagai
berikut:
a. Penyusunan pola dan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai.

b. Penyusunan rencana dan pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai.

c. Pengelolaan sumber daya air yang meliputi konservasi sumber daya air, pengembangan sumber
daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai.

d. Penyiapan rekomendasi teknis dalam pemberian ijin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan
dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai.

e. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air pada wilayah sungai.

f. Pengelolaan sistem hidrologi.

g. Melaksanakan penyelenggaraan data dan informasi sumber daya air.

h. Melaksanakan fasilitasi kegiatan tim koordinasi pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai.

i. Melaksanakan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air.

Dari uraian tugas pokok dan fungsi, jelas sekali bahwa BWS merupakan ujung tombak dalam
mewujudkan pelaksanaan IWRM di Indonesia, dan saat ini seluruh BWS telah melaksanakannya.
Keberhasilan BWS dalam mewujudkan IWRM sangat bergantung dari kemampuan untuk
melaksanakan tugas yang diembannya, yang sudah sangat sesuai dengan prinsip-prinsip IWRM yang
digariskan secara global dan universal.

Progres implementasi IWRM berbasis WS


Hingga saat ini, walaupun melalui perjalanan panjang sejak munculnya gagasan untuk mewujuddkan
IWRM di Indonesia, progres yang signifikan telah dicapai adalah telah tebaginya dengan jelas WS
yang ada di Indonesia, serta terbentuknya Tim/Wadah Koordinasi baik pada tingkat nasional, provinsi,
WS serta Unit Kerja BWS. Disamping itu telah mulai tersusunnya Pola Pengelolaan Sumber Daya Air
serta Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air dengan melakuan koordinasi pada berbagai sektor dan
telah melibatkan berbagai stakeholders, sehingga berbagai hasil perencanaan memang sudah
merupakan kesepakatan dan keinginan berbagai pihak dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip
IWRM. Hal ini tidak lepas, dari usaha pemerintah dalam mereformasi institusional dan regulasi yang
ada sebelumnya. Walaupun demikian, masih sangat disadari bahwa untuk mengimplementasikan
IWRM di Indonesia memerlukan waktu yang sangat panjang, mengingat luasnya wilayah yang dimilki
serta kompleksnya masalah pengelolaan sumber daya air yang dihadapi oleh Pemerintah Republik
Indonesia.

Tantangan implementasi IWRM di masa datang.


Tantangan klasik dalam implementasi IWRM di Indonesia secara umum tentu berkaitan dengan hal-
hal yang selama ini dihadapi seperti: aspek financial dalam mewujudkan rencana, sumber daya
manusia dalam menjalankan berbagai aspek pengelolaan sumber daya air, tuntutan transparansi dan
akuntabilitas dalam medukung good governance, pesatnya dinamika pembangunan di berbagai
sektor yang menuntut dukungan penyediaan sumber daya air, perlunya penyempurnaan berbagai
peraturan pendukung terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam upaya untuk
menampung berbagai aspek kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air. Sementara yang
akan menjadi tantangan yang amat berat dalam implementasi IWRM kedepan adalah dibatalkanya
seluruh norma UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air oleh Makamah Konstitusi (MK) pada
tanggal 18 Februari tahun 2015, dan dikembalikan untuk menggunakan UU No. 11 tahun 1974 yang
sama sekali sudah tidak sesuai dengan kondisi pengelolaan sumber daya air saat ini. Hal ini menurut
hemat Penulis merupakan pukulan yang amat berat, karena proses panjang dalam mewujudkan dan
upaya pelaksanaan UU tersebut tiba-tiba seluruhnya dibatalkan, sehingga merupakan kemunduran
yang sangat luar biasa dalam upaya mewujudkan IWRM yang menjadi cita-cita sebagian besar
penduduk dunia, mengingat ketersediaan sumber daya air yang terbatas.

6. KESIMPULAN
Dari uraian di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan:
a. IWRM merupakan suatu proses yang mengintegrasikan pengelolaan air, lahan, dan sumber daya
terkait lainnya secara terkoordinasi, dalam rangka memaksimalkan resultan ekonomi dan
kesejahteraan sosial secara adil tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem yang vital.

b. UU No. 7 tahun 2004 yang memberikan arahan keterpaduan dalam penelolaan sumber daya air
sesuai dengan prinsip prinsip IWRM.

c. Dengan telah ditetapkanya WS di Indonesia, maka pengelolaan sumber daya air secara terpadu
(IWRM), menjadi lebih jelas, baik wilayah pengelolaan maupun kewenangan pemerintah, berserta
stakeholders dalam menyusun, merumuskan dan mentetapkan kebijakan, pola pengelolaan,
merencanakan serta melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada masing-masing WS.

d. Progres signifikan yang telah dicapai adalah telah tebaginya dengan jelas WS yang ada di
Indonesia, serta terbentuknya Tim/Wadah Koordinasi baik pada tingkat nasional, provinsi, serta BWS
sebagai unit kerja yang melaksanakan IWRM.

e. Tantangan yang amat berat dalam implementasi IWRM dimasa datang adalah dibatalkanya seluruh
norma UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air oleh Makamah Konstitusi (MK) pada tanggal
18 Februari tahun 2015, dan kembali untuk menggunakan UU No. 11 tahun 1974 yang sama sekali
sudah tidak sesuai dengan kondisi pengelolaan sumber daya air saat ini.

UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada rekan rekan
Anggota Grup Riset Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pengelola Program Studi
Magister Teknik Sipil Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan masukan
dan dorongan sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapka.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (1974). Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan.

Anonim, (1992). Fresh Water, Agenda 21, Chpter 18, UNCED Rio de Jeneiro, Brasil.

Anonim, (1999). Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 9 tahun 1999, tentang Pembentukan
Tim Koordinasi Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai.

Anonim, (2001). Keputusan Presiden Republik Indonesia No 123 Tahun 2001 Tim Koordinasi
Pengelolaan Sumberdaya Air. Anonim, 2004, Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (tidak berlaku sejak 18 Februari 2015).

Anonim, 2008, PP No. 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (tidak berlaku sejak 18
Februari 2015).

Anonim, (2006). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No : 13/PRT/M/2006 tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Balai Wilayah Sungai

Anonim, (2012). Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai
Agarwal , A, delos Angeles M. S., Bhatia R., Chéret, I., Davila-Poblete, Sonia., Falkenmark, M.,
Villarreal, F. G., Jønch-Clausen, T., Kadi, M. A., Kindler, J., Rees, J., Roberts, P., Rogers, Miguel , P.,
Solanes, dan Wright, A. (2000). Integrated Water Resources Management, Technical Advisory
Committee (TAC) Background Papers No.4, Global Water Partnership (GWP), Stockholom.

Hassing, J., Ipsen, N., Clausen, T. J., Larsen, H., dan Lindgaard-Jørgensen, P. (2009). Integrated
Water Resources Management in Action, The United Nations World Water Assessment Programme,
UNESCO, Paris

Norken, I N., (2002). Water Supply and Wastewater Reuse for Urban Areas, the Role of Risk Analysis:
Case Studies in Bali Island, Ph.D Thesis, University of Manchester Institute of Science and
Technology, Manchester, Inggris.

Norken, I N., (2003). Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Air Secara Terpadu dan
Berkelanjutan (Satu Tantangan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia), FT Universitas
Udayana, Denpasar.

The International Hydrological Programme of UNESCO, and the Network of Asian River Basin
Organizations (NARBO), (2009). Introduction to the IWRM Guidelines at River Basin Level, The
United Nations World Water Assessment Programme, UNESCO, Paris

Ketika dunia dikejutkan dengan fakta bahwa, setiap delapan detik seorang anak
meninggal dunia karena penyakit terkait air dan 80% penyakit di negara
berkembang disebabkan karena kontaminasi air (data UNEP). Kemudian, sekitar dua
juta ton limbah dibuang ke sungai dan danau setiap harinya, satu liter limbah dapat
mencemari delapan liter air bersih, dan jika pencemaran air terus berlanjut, dunia
akan kehilangan 18.000 km3 air bersih pada 2050 (UN World Water Development
Report, 2009). Maka tercetus konsepsi pengelolaan terpadu SDA yang berbasis DAS
ataupun wilayah sungai dikenal oleh masyarakat internasional dengan istilah
Integrated Water Resources Management (IWRM) atau dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan sebutan Pengelolaan Terpadu Sumber Daya Air.
IWRM adalah proses yang mengutamakan fungsi koordinasi dan pengelolaan air,
tanah dan sumber daya terkait guna memaksimalkan hasil secara ekonomis dan
kesejahteraan sosial dalam pola yang tidak mengorbankan keberlangsungan
ekosistem vital (Global Water Partnership-Technical Advisory Committee, 2000).
Organisasi ini telah merumuskan definisi dan interpretasi IWRM, yaitu “Suatu proses
yang mengintegrasikan pengelolaan air, lahan, dan sumber daya terkait lainnya
secara terkoordinasi dalam rangka memaksimalkan resultan ekonomi dan
kesejahteraan sosial secara adil tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem yang
vital”. IWRM didasarkan pada pemahaman bahwa sumber daya air merupakan
komponen yang tidak terpisahkan dari ekosistem, sumber daya alam, dan baik sosial
dan ekonomi.
Prinsip pengelolaan terpadu ini dikembangkan sebagai respons terhadap pola
pengelolaan SDA yang selama ini dilakukan secara terfragmentasi. Rumusan IWRM
tersebut kemudian dikerucutkan lagi dalam pertemuan Global Water Partnership-
South East Asia, 2004 menjadi sebagai berikut: “Co-ordinated management of
resources in natural environmental (water, land, flora, fauna) based on RIVER BASIN
as geographical unit, with objective of balancing man’s needs with necessity of
conserving resources to ensure their sustainability”.
Konsep IWRM ini membawa paradigma baru yaitu lebih mengutamakan keterpaduan
lintas sektor, keterpaduan pengelolaan, keterpaduan lingkungan dan keterpaduan
antar individu. Konsep ini memilih pendekatan bottom up ketimbang top down dan
mendorong pengelolaan sumber daya secara multi sektor serta multi disiplin.
Pendekatan terpadu pada pengelolaan sumber daya air akan mengedepankan
kemajuan penggunaan sumber daya air, dan memupuk keberlangsungan sumber
daya air dan kesetaraan sesama pemangku kepentingan. Dalam Agenda 21 UN
Conference on Environment and Development, Rio de Janeiro, 1992, dicetuskan
bahwa pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh dan terpadu lintas sektor
dalam kerangka kebijakan sosial ekonomi nasional adalah sungguh penting.
Karena air adalah elemen vital yang menunjang kehidupan dan pembangunan. Maka
pengelolaan berkesinambungan harus mempertimbangkan faktor sosial ekonomi dan
lingkungan. IWRM adalah proses utama dimana berbagai faktor terhubung, sehingga
memungkinkan pengambilan keputusan dari berbagai level dalam kerangka
koordinasi dan perencanaan lintas sektor dari berbagai kalangan terkait.
Prinsip utama IWRM, sesuai dengan prinsip Dublin 1991 adalah pembangunan dan
pengelolaan Sumber Daya Air harus berdasarkan pendekatan partisipatif melibatkan
berbagai pengguna, perencana dan pembuat kebijakan di semua tingkat.
Konsep IWRM atau pengelolaan sumber daya air terpadu kemudian diadopsi
pemerintah Indonesia dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Disebutkan dalam pasal 3 UU SDA bahwa ”Sumber daya air dikelola secara
menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup...”. Lebih lanjut dalam pasal
85 ayat 1 UU SDA menyebutkan, ”Pengelolaan sumber daya air mencakup
kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak
untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air.” Kemudian
pasal 85 ayat 2 menyebutkan, ”Pengelolaan sumber daya air dilakukan melalui
koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para
pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.”
Sesuai amanat undang-undang itu, maka pendekatan pengelolaan sumber daya air
terpadu dilakukan untuk membenahi permasalahan Citarum. Pendekatan
penanganan terpadu Sungai Citarum merupakan yang pertama di Indonesia.
Hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan penangana terpadu ini cukup banyak
terutama terkait kepentingan antar sektor yang masih menonjol.
Ekohidrolik berasal dari kata ecological hydraulics yaitu konsep yang mengembangkan unsur ekologi
atau lingkungan dalam pengelolaan sungai. Konsep ini merupakan salah satu bagian dari pengelolaan
sumber daya air terpadu. Sebagaimana uraian Naiman et al. (2007) bahwa dalam pengelolaan
sumber daya air terpadu (IWRM) terdapat empat konsep yaitu hydroecology, aquatic ecohydrology,
ecohydraulics dan environmental flows. Adapun definisi ecohydraulic adalah konsep atau kajian yang
mengintegrasikan antara proses fisik dan respon ekologi pada sungai, estuaria dan lahan basah.
Herricks dan Suen (2003) menguraikan bahwa ekohidrolik merupakan konsep yang mengintegrasikan
prinsip-prinsip ekologi dalam analisa hidrolika lingkungan yang memperhitungkan keberadaan
organisme pada saluran. Selanjutnya Dong (2004) menguraikan bahwa konsep ekohidrolik yang
mengintegrasikan rekayasa hidrolika dengan ekologi. Konsep ini menguraikan tentang pengaruh
rekayasa hidrolika pada sistem ekologi sungai, syarat kesehatan dan keberlanjutan ekosistem akuatik.
Dalam penanggulangan banjir secara ekohidrolik, maka komponenkomponen daerah aliran sungai
dipandang sebagai suatu kesatuan sistem ekologi dan hidrolik secara integral. Berbeda dengan
pengelolaan sungai secara konvensional yang hanya memandang daerah aliran sungai sebagai sistim
hidrolik sehingga air diharapkan mengalir secepatnya ke daerah hilir.

Pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting sebagai akibat terjadinya penurunan
kualitas lingkungan DAS yang disebabkan oleh pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak ramah
lingkungan. Oleh karena itu pengelolaan DAS harus diselenggarakan melalui perencanaan,
pelaksanaan, peran serta, pemberdayaan masyarakat, pendanaan, monitoring dan evaluasi,
pembinaan dan pengawasan serta pendayagunaan sistem informasi pengelolaan DAS. Untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih pelaksanaan program antar lembaga dan terwujudnya
prinsip efisiensi dan efektivitas dalam mewujudkan pengelolaan DAS yang baik perlu
adanya keterpaduan kelembagaan Pengelolaan DAS dengan peran serta dan
pemberdayaan potensi masyarakat. Pengembangan kelembagaan pengelolaan Daerah Aliran Sungai
yang dilakukan dengan kerjasama, koordinasi, integrasi, singkronisasi dan sinergi lintas sektor dan
antar wilayah di dalam DAS sangat mendesak untuk segera dilakukan karena tingkat kerusakan
semakin meningkat dari tahun ke tahun.Untuk dapat terlaksananya pengelolaan DAS secara
terpadu, maka rencana pengelolaan DAS harus dibuat oleh pemerintah atau pemerintah daerah di
setiap tingkatan dengan memperhatikan dan melibatkan peran serta masyarakat baik
perorangan/pribadi maupun forum koordinasi pengelolaan DAS dan dilaksanakan oleh pemerintah
bersama dengan masyarakat. Penguatan dan peningkatan kapasitas Forum Koordinasi Pengelolaan
DAS dan kelompok masyarakat peduli DAS perlu dilakukan secara periodik dan berkelanjutan
untuk berperan serta dalam pengelolaan DAS secara maksimal. Selain itu perlu adanya sosialisasi
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS dan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 413.2/8162/PMD tertanggal 07 Oktober 2014Â perihal Pedoman Umum
Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat oleh BPDAS bekerjasama dengan Forum Koordinasi
Pengelolaan DAS kepada seluruh stakeholders yang terkait dengan Pengelolaan DAS.

Tujuan penelitian ” Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten”


adalah tersedianya informasi kelembagaan pengelolaan DAS lintas kabupaten,
sebagai dasar formulasi kelembagaan pengelolaan DAS tingkat propinsi. Metodologi
penelitian dengan model analisis deskriptip kualitatif kepada institusi terkait
pengelolaan DAS lintas kabupaten. Ruang Lingkup penelitian tahun 2012 adalah
mendapatkan informasi tentang system kelembagaan pengelolaan DAS lintas
kabupaten di DAS Serayu, sebagai dasar pengelolaan sistem kelembagaan
pengelolaan DAS lintas provinsi. Hasil dari kajian ini adalah Pengelolaan DAS lintas
Kabupaten melibatkan banyak pihak, baik insatansi/lembaga tingkat Provinsi,
Lembaga Swasta dan Lembaga Masyarakat maupun SKPD-SKPD Kabupaten sebagai
pelaksananya bekerjasama dengan instansi/lembaga tingkat provinsi. Berdasarkan
tugas pokok dan fungsinya, lembaga yang berperan aktif dalam mengkoordinir
instansi/lembaga pengelolaan DAS lintas kabupaten di DAS Serayu, adalah Dinas
Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (koordinator). Lembaga yang berperan aktif dalam
perencanaan antara lain Bapeda Provinsi, BPDAS Serayu Opak Progo, BBWS Serayu
Opak. Lembaga yang berperan aktif dalam pelaksanaan, yaitu Dinas Kehutanan
Provinsi bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten; Dinas Pertanian Provinsi
bekerjasama dengan Dinas Pertanian Kabupaten; Badan Lingkungan Hidup Provinsi
bekerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten. Lembaga yang aktif dalam
monitoring dan evaluasi: semua lembaga/dinas yang mempunyai kegiatan terkait
pengelolaan DAS. Sesuai PP 37 tahun 2012 tentang pengelolaan DAS, bahwa lembaga
yang khusus menangani pengelolaan DAS adalah Forum koordinasi pengelolaan DAS
(Forum DAS) Provinsi sebagai wadah koordinasi antar stakeholder yang terkait
pengelolaan DAS lintas kabupaten. Sebaiknya Forum DAS Provinsi mempunyai
sekretariat tetap yang didukung oleh pengurus independen yang konservasionis dan
dibiayai oleh APBD Provinsi. Sistem Kelembagaan pengelolaan DAS lintas kabupaten
di DAS Serayu yang sesuai adalah gabungan polycentric dan monocentric. Artinya
kelembagaan pengelolaan DAS dilakukan secara kolaborasi dan koordinasi antara
instansi/lembaga/dinas di provinsi dengan SKPD kabupaten yang sesuai dengan
tugas pokoknya masing-masing, diarahankan oleh koordinator.

Anda mungkin juga menyukai