Anda di halaman 1dari 196

Rekayasa Sungai dan Rawa

Jurusan T. Sipil UNTAD

BAB I
PENDAHULUAN

P
ekerjaan sungai termasuk salah satu pekerjaan yang tertua
di dunia. Menurut ahli sejarah Herodotus, bendungan tertua
telah dibangun di sungai Nil oleh Raja Menes, raja pertama
di Mesir, pada tahun 3200 tahun sebelum Masehi. Ia juga
menyebutkan bahwa pada Zaman Kerajaan Pertengahan ( 2160 -
1788 tahun sebelum Masehi) banjir sungai Nil telah dikendalikan
dengan danau-danau buatan manusia. Salah satu danau buatan
yang dikagumi adalah danau Moeris yang mempunyai ukuran
keliling 450 mil ( 725 km ), yang kurang lebih sama dengan
panjang garis pantai Negeri Mesir.
Namun pengembangan sungai di zaman dahulu itu tidak
direncanakan dan dibangun oleh sarjana-sarjana teknik, melainkan
hanya oleh para teknisi yang menerapkan kemahiran perkiraan
nalurinya serta mengikuti aturan-aturan hukum ibu jari dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Sebenarnya barulah
pada masa Leonardo Da Vinci (Tahun 1500 Masehi) dimulainya
penerapan pengembangan ilmu teknik yaitu setelah diterimanya
pendapat bahwa curah hujan adalah sumber dari aliran sungai.
Sedangkan pengembangan ilmu pengetahuan teknik secara
tertib barulah dimulai dengan didirikannya Ecole des Ponts et
Chaussees di Paris pada tahun 1760. Namun sampai dengan tahun
1850 sebenarnya perencanaan-perencanaan teknis masih
didasarkan terutama pada hukum ibu jari yang dikembangkan dari
pengalaman dan dengan faktor keamanan yang amat tinggi.

1
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Sementara itu di Indonesia, menurut prasasti Tugu yang


ditemukan di desa Tugu terletak 24 km sebelah timur Kota Jakarta di
Kabupaten Bekasi, diketahui bahwa pada zaman kerajaan
Tarumanegara di bawah Raja Purnawarman dalam pertengahan
pertama abad ke 6 (sesudah tahun 528 Masehi) telah dilakukan
penggalian sebuah saluran pada Sungai Chandrabhaga (sekarang
Sungai Bekasi) setelah sungai itu melampaui ibu kota yang masyhur
(maksudnya ibu kota Tarumanegara yang terletak kira-kira di Kota
Bekasi sekarang) sebelum masuk ke laut. Penggalian itu
diselesaikan selama 21 hari. Saluran baru dengan air jernih
bernama Sungai Gomati mengalir sepanjang 6122 busur melampaui
asrama pendeta raja yang dipepundi sebagai leluhur bersama para
Brahmana.
Dari cerita tersebut dapat ditafsirkan bahwa saluran buatan
yang tertua di Indonesia adalah Sungai Gomati di Bekasi itu yang
dibuat pada abad ke 6 dan berfungsi untuk menyediakan air bagi
asrama pendeta dan mengalirkan banjir Sungai Bekasi ke laut.
Masih tentang pengembangan di zaman dahulu adalah
sebagaimana dituturkan dalam inskripsi Kalagen yang dikeluarkan
oleh Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan di lembah Brantas
dalam tahun 1037 Masehi, bahwa Sri Maharaja memerintahkan
penduduk tanah pertanian semua bekerja untuk kepentingan
negara dengan membuat tambak di Waringin Sapta, yaitu tempat di
bengawan (Brantas) yang selalu diterobos (banjir) dan belum
pernah dapat ditundukkan. Pekerjaan ini telah diselesaikan dengan
baik oleh Sri Maharaja sehingga menjadi sempurna dan kuat dan
jalan air yang menerobos telah ditutup.

2
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Namun pengembangan teknik yang modern rupanya baru


diterapkan dengan digalinya terusan Mokervaart dari sungai
Cisadane ke Sungai Angke di tahun 1680. Nampaknya terusan
tersebut berfungsi untuk menambah persediaan air di Jakarta,
untuk penggelontoran kota bawah dan untuk lalu lintas air.
Sedangkan pembuatan terusan banjir (banjir kanaal) dari Sungai
Ciliwung dikerjakan kemudian oleh Prof. Ir. Van Breen di tahun 1918.
Pengaturan banjir Sungai Brantas di Mlirip Mojokerto sudah
diperhatikan sejak pembangunan bendung Lengkong tahun 1852-
1857 yang selanjutnya diikuti dengan normalisasi sungai Porong di
sekitar tahun 1910. Pengaturan banjir Cimanuk dengan saluran
Rambatan dilakukan tahun 1880. Pengaturan-pengaturan banjir di
daerah Demak (Serang, Wulan dan Babalan) serta kolmotase rawa
di dataran Juana telah dimulai sejak akhir abad ke 19. Demikian
pula dengan pembuatan tanggul pada berbagai sungai di Jawa.
Teknologi baru dalam penanggulangan banjir telah dikembangkan
dengan pengukuran debit banjir sejak tahun 1882 (di Sungai
Brantas), pembuatan peta-peta topografi sejak 1885, pengumpulan
data curah hujan sejak 1879 dan penetapan debit banjir dengan
metode Melchior di tahun 1895.
Tetapi penanganan sungai secara lebih sistematis barulah
dapat diselenggarakan sesudah tahun 1950 dan kemudian
memasuki jenjang teknologi yang lebih maju lagi sejak Pelita I. Pada
dewasa ini terdapat 308 buah sungai (dan wilayah sungai) di
seluruh Indonesia yang telah ditangani termasuk 17 buah
diantarannya yang menonjol yaitu sungai-sungai : Krueng Aceh,
Arakundo, Wampu, Ular, Bah Bolon, Ciliwung, Citarum, Cimanuk-
Cisanggarung, Citanduy, Serayu, Kedu Selatan, Pemali Comal,

3
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Jratunseluna, Kali Progo, Bengawan Solo, Brantas dan Jeneberang.


Namun mengingat jumlah seluruh sungai di Indonesia adalah 1288
buah, maka penanganan tersebut baru mencakup lebih kurang 30
% sehingga masih perlu ditingkatkan di waktu-waktu yang akan
datang.
Dalam hubungan itu sangatlah diperlukan peningkatan baik
dalam penguasaan Teknik Sungai maupun dalam jumlah dan mutu
tenaga ahli guna menanganinya.

Tabel 1.1. Sungai-sungai di Indonesia


Pulau Sungai Luas Daerah Aliran Panjang (km)
(km2)
Citarum 5.969 250
Bengawan 16.000 350
Solo
Jawa
Brantas 12.000 320
Cimanuk 9.650 182
Ciasem 691 68
Asahan 6.000 100
Kampar 31.000 285
Sumatera Batanghari 42.446 635
Musi 55.584 553
Seputih 7.289 275
Barito 23.100 900
Kalimantan Kapuas Besar - 1.143
Mahakam - 775
Rarona 2.300 75
Sulawesi Waranae 3.190 -
Sadang 1.080 175

1.1. Pengertian Teknik Sungai

4
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Teknik Sungai mencakup hal-hal yang bersangkutan dengan


karakteristik dan kegunaan sungai, hidrolika sungai, survey sungai,
model sungai dan pekerjaan sungai.

1.1.1. Karakteristik dan Kegunaan Sungai

Pengenalan karakteristik sungai mempelajari masalah-


masalah alur sungai, daerah aliran sungai, hubungan antara curah
hujan dan limpasan serta besarnya hasil sedimen. Sedangkan
pengenalan kegunaan sungai meliputi kegunaan untuk lalu-lintas
air, pembangkitan listrik tenaga air, penyediaan air bersih,
pemberian air irigasi dan masalah perencanaan umum dan
peraturan perundang-undangan.

1.1.2. Hidrolika Sungai

Hidrolika sungai mempelajari gerakan air, pengangkutan


sedimen, morfologi sungai dan kualitas air sungai. Dalam gerakan
air tercakup pengetahuan mengenai aliran tetap (steady flow),
aliran tidak tetap (non steady flow) dan aliran air limbah.
Pengangkutan sedimen mempelajari sifat-sifat sedimen,
pergerakan dan pengangkutannya, bentuk dasar dan kekasaran
alur, rumus-rumus pengangkutan dan aspek-aspek tidak tetap (non
steady aspects) yang merupakan penghubung dengan masalah
morfologi sungai. Sedangkan morfologi sungai itu sendiri mencakup
pengetahuan tentang bentuk sungai termasuk pembentukan

5
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

meander, profil memanjang sungai, belokan-belokan, percabangan


sungai dan masuknya anak sungai ke sungai induk.

1.1.3. Survey Sungai

Survey sungai bermaksud mengetahui riwayat sungai, untuk


mengetahui bagaimana sungai dapat memenuhi kebutuhan
manusia dan menyelidiki kemungkinan mengendalikan sungai baik
dalam keadaan normal maupun pada keadaan luar biasa. Tiap
survey mencakup pengumpulan data, pengolahan dan analisanya
serta perumusan kesimpulannya. Survey sungai mencakup kegiatan
pengukuran, pemotretan udara dan pemetaan, pengamatan tinggi
muka air dan pengolahan datanya, pengukuran kedalaman dan
penggambaran dasar sungai, pengukuran debit dan penetapan
besarnya debit serta evaluasi data debit berdasar statistik,
hubungan antara tinggi muka air dengan debit, pengukuran
sedimen dan penelitian kualitas air.

1.1.4. Model Sungai

Perbaikan sungai memerlukan penyelidikan yang berhati-hati


karena pengaruh campur tangan manusia tidak mudah
diperkirakan, terlebih-lebih dengan cara kuantitatif. Untuk
memberikan informasi semacam itu dapat dipakai teknik model
yang terdiri dari 2 macam, yaitu :
a. Model matematik (atau model numerik)

6
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

b. Model skala (atau model fisik).


Untuk model yang pertama, informasi diperoleh dari perhitungan,
sedangkan pada model yang kedua diperoleh dari pengukuran.
Model matematik pada sungai dapat diterapkan untuk aliran tetap
pada dasar sungai yang kuasi tetap (quasy steady river bed), untuk
aliran tidak tetap pada dasar sungai yang sama, dan untuk aliran
pada dasar sungai yang bergerak (mobile river bed). Model skala
diterapkan untuk dasar tetap (fixed bed models) dan dasar
bergerak (mobile bed models) serta pada model bangunan-
bangunan air.

1.1.5. Pekerjaan Sungai

Pekerjaan sungai mencakup pengaturan dasar sungai,


pengendalian aliran sungai, pengendalian tinggi muka air sungai,
pengendalian kualitas air sungai dan pekerjaan sungai untuk
berbagai tujuan. Termasuk dalam pengaturan dasar sungai adalah
perbaikan sungai dengan pengaruh temporer seperti pengerukan
dan bangunan-bangunan pengaturan sungai yang bersifat
sementara, juga modifikasi dasar sungai rendah (low water bed),
pengaturan alur sungai, bangunan-bangunan pengatur yang
bersifat permanen seperti lindungan tebing, tanggul, krib, dinding
pemisah aliran dan bendung-bendung penutup pada cabang sungai.
Pengendalian aliran sungai dilakukan dengan pembangunan waduk-
waduk guna mengatur aliran menurut waktu yang dikehendaki,
yaitu menyimpan air pada waktu berlebihan di musim hujan dan
melepaskannya pada waktu kekurangan di musim kemarau.

7
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Pengendalian tinggi muka air dilakukan dengan membangun


bendung, baik bendung tetap maupun bendung gerak.
Pengendalian kualitas air mencakup penetapan kriteria
kualitas air untuk berbagai kegunaan seperti air kota dan air
industri, pertanian, kehidupan di air, rekreasi dan estetika. Kriteria
tersebut akan menetapkan standar kualitas air yang sesuai dengan
peruntukannya. Berdasarkan kriteria tersebut maka dilakukan
pengendalian kualitas air, baik di luar maupun di dalam alur sungai.
Dalam pekerjaan sungai untuk berbagai tujuan tercakup
pekerjaan pengendalian banjir dan pembuangan air dari dataran
banjir, lalu lintas air, pembangkitan tenaga listrik, penyediaan air
bersih, pembuangan limbah, persilangan sungai dengan jalan raya-
jalan kereta api-pipa-kabel dan saluran-saluran, konservasi tanah
dan pemanfaatan bahan endapan, pelestarian alam dan rekreasi
serta pembangunan proyek-proyek serbaguna.
Keseluruhan uraian di atas memberikan gambaran mengenai
cakupan teknik sungai secara umum dan memberikan pengertian
yang lengkap mengenai teknik sungai beserta penerapannya pada
pemanfaatan sungai bagi kehidupan manusia.

1.2. Pengembangan Teknik Sungai di Indonesia

Seperti telah disebutkan, pekerjaan sungai di Indonesia telah


bermula dari zaman kerajaan Tarumanegara di abad ke 6 Masehi.
Dibandingkan dengan pekerjaan irigasi, dapat dicatat bahwa
saluran irigasi yang diperkirakan tertua di Indonesia adalah saluran
Harinjing (sekarang sungai Serinjing) di Kediri yang dibuat oleh para
Pendeta Wulangi pada zaman Raja Empu Sindok dari Kerajaan

8
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Ishana di abad ke-10. Jadi pekerjaan sungai telah terlebih dahulu


mulai. Namun dalam perkembangannya, pekerjaan irigasi telah
maju demikian pesat sehingga menjadikan Indonesia (waktu itu
Hindia Belanda) negara termaju di bidang irigasi sebelum Perang
Dunia ke 2, sedangkan pekerjaan sungai tertinggal di belakang.
Walaupun demikian dapat dicatat beberapa pekerjaan sungai
yang telah menonjol dalam periode sebelum Perang Dunia ke-2
tersebut.

1.2.1. Periode Sebelum Perang Dunia ke-2

Pekerjaan sungai banyak diarahkan kepada pemanfaatan air


sungai untuk berbagai keperluan. Banyak bangunan-bangunan air
dibangun pada sungai-sungai namun dengan maksud utama
menyadap air untuk irigasi ataupun pembangkit listrik tenaga air.
Disamping itu terdapat pula bangunan-bangunan fasilitas lalu-lintas
sungai.
Namun tidak sedikit pula bangunan-bangunan sungai yang
telah dibuat untuk pengendalian dan pengaturan sungai seperti
saluran-saluran banjir dan pintu-pintu pengatur banjir, sudetan,
bendung penutup anak-anak sungai, bangunan pelimpah, tanggul-
tanggul dan waduk-waduk tunggu (retarding basins).
Beberapa bangunan sungai yang terkenal adalah sebagai
berikut :
1. Waduk-waduk irigasi : Prijetan (1917), Setu Patok
(1926), Gunung Rawa (1926), Gembong (1933), Pacal (1933),
Penjalin (1934), Mala-hayu (1940).

9
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

2. Bendung-bendung irigasi : Lengkong (1857), Glapan


(1859), Sedadi (1886), Pekalen (1886), Congkar (1905),
Kepulungan (1908), Cangkuwang (1910, Jati (1912), Danawarih
(1912), Rentang (1917), Pamarayan (1921), Walahar (1925),
Suko-sewu (1929), Rancasumur (1930) dan Pasar Baru (1930).
3. Saluran-saluran banjir dan pintu-pintu pengatur banjir :
di Jakarta, Surabaya, Semarang, K. Brantas, Bengawan Sala, K.
Serang dan Cimanuk.
4. Sudetan : di Bengawan Sala, dan K. Brantas.
5. Bendung-bendung penutup : di Cimanuk dan K. Brantas.
6. Bangunan pelimpah : di K. Brantas dan Citanduy.
7. Tanggul-tanggul : di K. Brantas, Bengawan Sala, K.
Tuntang, K. Serang, K. Serayu, Citanduy, Cimanuk dan Citarum.
8. Waduk-waduk tunggu : di K. Brantas, Bengawan Sala, K.
Serang/K. Juana, K. Ngrowo dan Citanduy (sekaligus bermaksud
untuk kolmatase daerah-daerah rawa).
9. Pusat-pusat listrik tenaga air : di Cianten (Kracak),
Cimanuk (Parakan Kondang), Cilaki (Plengan dan Lamajan),
Tuntang (Jelok), dan K. Kanta (Mendalan dan Siman).
10. Bangunan-bangunan lalu lintas sungai : di K. Brantas/K.
Surabaya.
Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya mempunyai
kualitas yang cukup baik dan masih dapat berfungsi pada umur
yang sudah lanjut. Hal tersebut menunjukan bahwa
pembangunannya telah didukung oleh teknologi yang cukup maju
pada zamannya.

10
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

1.2.2. Periode Sesudah Perang Dunia ke-2 Sampai Sebelum


Pelita I

Perkembangan pekerjaan persungaian cukup


menggembirakan dengan dimulainya pembangunan besar pada
sungai-sungai sebagai berikut :
1. Citarum : pembangunan bendungan besar Jatiluhur.
2. K. Brantas : pembangunan bendungan-bendungan besar
Karangkates (pada K. Brantas) dan Selorejo (pada K. Konto
anak sungai K. Brantas). Pembangunan terowongan Tulung
Agung Selatan dan Parit Raya. Perbaikan / peningkatan
tanggul.
3. Citanduy : perbaikan / peningkatan tanggul.
4. Cimanuk : perbaikan / peningkatan tanggul.
5. B. Sala : perbaikan / peningkatan tanggul.
6. Gunung Kelud, G. Merapi dan G. Agung : penanggulangan
akibat letusan.
7. Di tempat-tempat lain : pembangunan bendungan-bendungan
besar (Cacaban, Darma, Sempor, Riam Kanan) dan
bendungan kecil (tersebar), pembuatan dan perbaikan /
peningkatan tanggul-tanggul, normalisasi dan perbaikan
sungai serta pembuatan bangunan-bangunan pemanfaatan
sungai untuk berbagai keperluan.
Yang menonjol pada periode ini ialah dimulainya proyek-
proyek serbaguna yang kecuali akan memanfaatkan sungai juga
sekaligus mengendalikannya.
Perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek besar telah
memberi kesempatan berkembanganya kemampuan tenaga-tenaga

11
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

ahli di bidang teknik sungai dan membantu pengembangan teknik


tersebut lebih lanjut.

1.2.3. Periode Mulai Pelita I Sampai Sekarang

Mulai Pelita I (1969) pekerjaan pengembangan persungaian


lebih terarah. Di dalam kebijaksanaan Dep. P.U. ditetapkan sebagai
tujuan pertama dalam Pelita I ialah menunjang peningkatan
produksi pangan, terutama beras dengan peningkatan dan
perluasan irigasi dan pengendalian banjir.
Sesuai dengan itu di bidang pengairan/sumber daya air
ditetapkan program antara lain pengamanan daerah produksi beras
terhadap bahaya banjir dan bencana-bencana lain (antara lain
letusan gunung berapi) serta melakukan perencanaan
pengembangan wilayah sungai guna mempersiapkan pembangunan
pengairan/sumber daya air jangka panjang dan menyeluruh.

BAB II
KARAKTERISTIK DAN
PEMANFAATAN SUNGAI

2.1. Pengertian Sungai

12
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

S
ungai merupakan bagian terendah di permukaan bumi
dalam bentuk alur memanjang dari sebelah hulu (atas)
menuju ke sebelah hilir (bawah). Sungai merupakan sistem
alur alam, dapat terdiri dari satu atau lebih alur-alur yang bertemu
atau bercabang. Dengan kondisi fisik alami seperti diatas, sungai
akan menjadi terminal dari perjalanan gerakan air di sungai
(kuantitas dan kualitas), beserta interaksinya dengan tampang
basah sungai, sangat dipengaruhi oleh perjalanan menuju ke sungai
tersebut.
Sedangkan menurut Pedoman Perencanaan Hidrologi dan
Hidraulik Untuk Bangunan di Sungai, Sungai adalah wadah atau
penampung dan penyalur alamiah dari aliran air dengan segala
yang terbawa dari DPS (Daerah Pengaliran Sungai) ke tempat yang
lebih rendah dan berakhir di laut. Dalam pengertian/definisi yang
lain, sungai adalah sistem pengaliran air mulai dari mata air sampai
muara dengan dibatasi kanan kirinya serta sepanjang
pengalirannya oleh daerah sempadan.
Mulai dari mata airnya di bagian yang paling hulu di daerah
pegunungan dalam perjalanannya ke hilir di daerah dataran, aliran
sungai secara berangsur-angsur berpadu dengan banyak sungai
lainnya, sehingga lambat laun tubuh sungai menjadi semakin besar.
Kadang-kadang sungai yang bermuara di sebuah danau atau di
pantai laut terdiri dari beberapa cabang. Apabila sungai semacam
ini mempunyai lebih dari dua cabang, maka sungai yang paling
penting, yakni sungai yang daerah pengalirannya, panjangnya dan
volume airnya paling besar disebut sungai utama (main river),
sedangkan cabang-cabang lainnya disebut anak sungai (tributary).
Kadang-kadang sebelum alirannya berakhir di sebuah danau atau

13
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

pantai laut, sungai membentuk beberapa buah cabang yang disebut


cabang sungai (enffluent).
Secara hidrologis, jumlah air atau debit aliran di sungai akan
dipengaruhi oleh sifat penutupan permukaan lahan. Untuk lahan
dengan penutupan berupa vegetasi (baik perkebunan, hutan atau
sawah) umumnya akan menyebabkan distribusi air yang lebih
merata sepanjang tahun, dimana musim hujan tidak terlalu besar
dan musim kemarau tidak terlalu kering. Sebaliknya untuk lahan
dengan sifat penutupan yang relatif kurang mampu meresap air
(pemukiman industri, sarana transportasi, dll) sifat aliran di sungai
akan kurang merata sepanjang tahun. Apabila selama di permukaan
air berinteraksi dengan lahan yang mudah tererosi, maka air yang
masuk ke sungai, akan membawa banyak kandungan sedimen.
Pencemaran yang tidak dikendalikan di lahan pada kiranya akan
terbawa masuk ke sungai.
Sumber daya sungai tidak saja dilihat dari kandungan dan
pola ketersediaan air di sungai tersebut, melainkan juga sumber
daya sedimen yang dimilikinya. Dengan demikian usaha
pemanfaatan sungai didefinisikan sebagai usaha-usaha untuk
memanfaatkan sumber alam di sungai tersebut yaitu air dan
sedimen. Ilmu Teknik Sungai diharapkan dapat berperan dalam
usaha mengendalikan cara/teknologi pemanfaatan sumber daya
sungai, sehingga pengaruh negatif yang timbul adalah sekecil
mungkin.

14
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

2.2. Perilaku Sungai

Sungai adalah suatu saluran drainase yang terbentuk secara


alamiah. Akan tetapi disamping fungsinya sebagai saluran drainase
(alam) dan dengan adanya air yang mengalir di dalamnya, sungai
menggerus tanah dasarnya secara terus-menerus sepanjang masa
exsistensinya dan terbentuklah lembah-lembah sungai. Volume
sedimen yang sangat besar yang dihasilkan dari keruntuhan tebing-
tebing sungai di daerah pegunungan dan tertimbun di dasar sungai
tersebut, terangkut ke hilir oleh aliran sungai. Karena di daerah
pegunungan kemiringan sungainya curam, gaya tarik aliran airnya
cukup besar. Tetapi setelah aliran sungai mencapai dataran, maka
gaya tariknya sangat menurun. Dengan demikian beban yang
terdapat dalam arus sungai berangsur-angsur diendapkan. Karen itu
ukuran butiran sedimen yang mengendap di bagian hulu sungai
lebih besar dari pada di bagian hilirnya.
Dengan terjadinya perubahan kemiringan yang mendadak
pada saat alur sungai ke luar dari daerah pegunungan yang curam
dan memasuki dataran yang lebih landai, maka pada lokasi ini
terjadi proses pengendapan yang sangat intensif yang
menyebabkan mudah berpindahnya alur sungai dan terbetuk apa
yang disebut kipas pengendapan. Pada lokasi tersebut sungai
bertambah lebar dan dangkal, erosi dasar sungai tidak lagi dapat
terjadi, bahkan sebaliknya terjadi pengendapan yang sangat
intensif. Dasar sungai secara terus menerus naik, dan sedimen yang
hanyut terbawa arus banjir, bersama dengan luapan air banjir
tersebar dan mengendap secara luas membentuk dataran alluvial.

15
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Pada daerah dataran yang rata alur sungai tidak stabil dan apabila
sungai mulai membelok, maka terjadilah erosi pada tebing belokan
luar yang berlangsung sangat intensif, sehingga terbentuklah
meander.

Gambar 2.1. Proses Meander Sungai

Meander semacam ini umumnya terjadi ruas-ruas sungai di


dataran rendah dan apabila proses meander berlangsung terus,
maka pada akhirnya terjadi sudetan alam pada dua belokan luar
yang sudah sangat dekat dan terbentuklah sebuah danau
berbentuk tanduk sapi.
Di dekat muara air menjadi tidak deras dan intensitas
pengendapan sangat meningkat, lebih-lebih dengan adanya air asin
di muara tersebut dan terjadilah pengendapan dalam volume yang
sangat besar. Dataran yang terjadi di muara sungai, bentuknya
sangat berbeda satu dengan lainnya tergantung dari keadaan
sungai dan laut/danau tempat bermuaranya sungai-sungai tersebut
dan tergantung dari tingkat kadar sedimen berbutir halus yang
terdapat di dalam air sungai. Apabila volume sedimen yang hanyut
besar jumlahnya, sedang laut atau danaunya dangkal dan
gelombangnya tidak besar atau arusnya tidak deras, maka akan

16
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

terbentuk delta. Proses pembentukan delta berlangsung dalam


kurun waktu yang lama dan bertahun-tahun.

Gambar 2.2. Pembentukan Delta

2.3. Pola Aliran

Sungai didalam semua DPS (Daerah Pengaliran Sungai)


mengikuti suatu aturan yaitu bahwa aliran sungai dihubungkan oleh
suatu jaringan satu arah dimana cabang dan anak sungai mengalir
ke dalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola
tertentu. Pola itu tergantung dari pada kondisi topografi, geologi,
iklim, vegetasi yang terdapat di dalam DPS yang bersangkutan.
Secara keseluruhan kondisi tersebut akan menentukan
karakateristik sungai di dalam bentuk polanya. Beberapa pola aliran
yang terdapat di Indonesia, antara lain :
a. Radial, pola ini biasanya dijumpai di daerah lereng gunung api
atau daerah dengan topografi berbentuk kubah, misalnya
sungai di lereng G. Semeru di Propinsi Jawa Timur, G. Merapi
di Propinsi D.I. Yogyakarta, G. Ijen di Propinsi Jawa Timur, G.
Slamet di Propinsi Jawa Tengah.

17
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

b. Rektanguler, terdapat di daerah batuan kapur, misalnya di


daerah G. Kidul di Propinsi D.I. Yogyakarta.
c. Trellis, biasanya dijumpai pada daerah dengan lapisan
sedimen di daerah pegunungan lipatan, misalnya di daerah
pegunungan lipatan di Sumatra Barat dan di Jawa Tengah.
d. Dendritik, pola ini pada umumnya terdapat pada daerah
dengan batuan sejenis dan penyebarannya luas. Misalnya
suatu daerah ditutupi oleh endapan sedimen yang luas dan
terletak pada suatu bidang horizontal di daerah rendah
bagian timur Sumatera dant Kalimantan.

Pola aliran dari suatu DPS dapat merupakan petunjuk awal


tentang jenis dan struktur batuan yang ada.

18
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 2.3. Sketsa Pola Aliran Sungai

2.4. Keterkaitan Sungai Dengan DPS

Sungai mempunyai fungsi utama menampung curah hujan


dan mengalirkannya sampai ke laut atau danau. Daerah dimana
sungai memperoleh air merupakan daerah tangkapan hujan yang
biasanya disebut dengan daerah pengaliran sungai (DPS). Dengan
demikian DPS merupakan daerah dimana semua airnya mengalir ke
dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini umumnya
dibatasi oleh batas topografi, yang berarti ditetapkan berdasarkan
aliran air permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasar air bawah
tanah karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan
musim dan tingkat kegiatan pemakaian.
Nama sebuah DPS ditandai dengan nama sungai yang
bersangkutan dan dibatasi oleh titik kontrol, yang umumnya
merupakan setasiun hidrometri. Setiap DPS besar merupakan
gabungan dari beberapa DPS sedang/sub DPS dan sub DPS adalah
gabungan dari Sub DPS kecil-kecil.
Penetapan batas DPS sangat diperlukan untuk menetapkan
batas-batas DPS yang akan dianalisis. Penetapan ini mudah
dilakukan dari peta topografi untuk bagian sungai di sebelah hulu,
akan tetapi untuk bagian-bagian sungai di sebelah hilir, dekat
pantai sering tidak terlalu mudah.

19
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Peta topografi merupakan peta yang memuat semua


keterangan tentang suatu wilayah tertentu, baik jalan, kota, desa,
sungai, jenis tutup-tumbuhan, tata guna lahan lengkap dengan
garis-garis kontur. Dari peta yang dimiliki, ditetapkan titik-titik
tertinggi di sekeliling sungai utama (main stream) yang
dimaksudkan, dan masing-masing titik tersebut dihubungkan satu
dengan lainnya sehingga membentuk garis utuh yang bertemu
ujung pangkalnya. Garis tersebut merupakan batas DPS di titik
kontrol tertentu. Penetapan titik-titik tertinggi hendaknya dilakukan
dengan hati-hati, terutama sekali di daerah dataran rendah, karena
pada umumnya di daerah tersebut sangat sulit ditemukan titik
tertinggi yang memisahkan dua buah DPS (Sub DPS) yang
berdekatan. Demikian pula di daerah dimana sungai telah mulai
bercabang-cabang banyak (umumnya di daerah pesisir).
Pengecekan hendaknya dilakukan beberapa kali untuk menyakinkan
bahwa garis tersebut betul-betul merupakan batas DPS tertentu,
hendaknya (sebaiknya) dilakukan pengecekan ulang, apakah DPS
tersebut benar-benar dapat diandalkan.

2.4.1. Bentuk Daerah Pengaliran Sungai

Pola sungai menentukan bentuk suatu DPS. Bentuk DPS


mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan aliran sungai,
yaitu berpengaruh terhadap kecepatan terpusatnya aliran. Setelah
DPS ditentukan garis batasnya, maka bentuk DPS-nya dapat
diketahui. Pada umumnya dapat dibedakan menjadi empat bentuk
DPS, yaitu :
a. Memanjang

20
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

b. Radial
c. Paralel
d. Komplek
Sebagian garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
A. Bentuk Memanjang
Biasanya induk sungainya akan memanjang dengan anak-anak
sungai langsung masuk ke induk sungai. Kadang-kadang
berbentuk seperti bulu burung. Bentuk ini biasanya akan
menyebabkan debit banjirnya relatif kecil karena perjalanan
banjir dari anak sungai berbeda-beda waktunya.

B. Bentuk Radial
Bentuk ini terjadi karena arah alur sungai seolah-olah memusat
pada satu titik sehingga menggambarkan adanya bentuk radial,
kadang-kadang gambaran tersebut berbentuk kipas atau
lingkaran. Sebagai akibat dari bentuk tersebut maka waktu yang
diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru arah alur
sungai memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Apabila
terjadi hujan yang sifatnya merata di seluruh DPS akan
menyebabkan terjadi banjir besar.

C. Bentuk Paralel
DPS ini dibentuk oleh dua jalur sub DPS yang bersatu di bagian
hilirnya. Apabila terjadi banjir di daerah hilir biasanya setalah di
sebelah hilir titik pertemuan kedua alur sungai sub DPS tersebut.

D. Bentuk Komplek
Merupakan gabungan dasar dua atau lebih bentuk DPS.

21
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 2.4. Sketsa Bentuk DPS

22
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

2.4.2. Morfometri Daerah Pengaliran Sungai

Morfometri DPS adalah istilah yang digunakan untuk


menyatakan keadaan jaringan alur sungai secara kuantitatif.
Keadaan yang dimaksud untuk analisa aliran sungai antara lain
meliputi :
a. Luas
b. Panjang dan lebar
c. Kemiringan
d. Orde dan tingkat percabangan sungai
e. Kerapatan sungai
Secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut ini.
A. Luas
Garis batas antara DPS ialah punggung permukaan bumi yang
dapat memisahkan dan membagi air hujan ke masing-masing
DPS. Garis Batas tersebut ditentukan berdasar perubahan kontur
dari peta topografi, sedangkan luas DPS-nya dapat diukur
dengan alat planimeter. Skala peta yang digunakan akan
mempengaruhi ketelitian perhitungan luasnya. Sebagai contoh
skala peta 1 : 250.000 dengan interval kontur 50 meter dapat
memberikan hasil yang teliti jika luas DPS-nya lebih dari 40 km 2
dengan kesalahan yang diizinkan sekitar 5%. Dengan demikian
semakin kecil luas DPS yang dihitung, diperlukan peta Topografi
dengan skala semakin besar. Tabel 2.1. memberikan batasan
penggunaan peta topografi yang diperlukan untuk menghitung
luas DPS.

23
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Tabel 2.1. Batasan Penggunaan Peta Topografi Untuk


Menghitung Luas DPS

No. Skala Peta Luas DPS Minimal Interval


(km2) Kontur
1 1 : 250.000 40 50
2 1 : 250.000 25 40
3 1 : 100.000 7 25
4 1 : 50.000 1.6 25
5 1 : 25.000 0.4 12.5
6 1 : 20.000 0.25 10
7 1 : 10.000 0.07 5

Di Indonesia pengukuran luas dari suatu DPS kadang-kadang


sulit dilakukan karena adanya jaringan irigasi yang masuk atau
keluar dari suatu DPS. Dengan demikian penentuan batas harus
ditentukan oleh seorang Hidrolog yang paham bentuk tentang
lokasi DPS dimaksud. Di banyak daerah seperti di Jawa, Bali, dan
Lombok, dimana lahan persawahan cukup luas maka perlu
ketelitian di dalam penentuan batas DPS. Perlu dipertimbangkan
juga tentang volume aliran sungai yang mengalir masuk atau
keluar dari suatu DPS. Apabila di dalam suatu DPS volume aliran
total untuk periode satu tahun terutama disebabkan oleh volume
banjir, sedangkan volume aliran yang keluar atau masuk saluran
irigasi lebih kecil, maka batas DPS tersebut cukup ditentukan
berdasarkan batas alami saja. Data luas DPS sangat berguna di
dalam analisis data aliran sungai, misalnya saja perhitungan
tinggi aliran tebal sedimen dan sebagainya.

24
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

B. Panjang dan Lebar


Panjang DPS adalah sama dengan jarak datar dari muara sungai
ke arah hulu sepanjang sungai induk. Lebar DPS dihitung
berdasarkan luas DPS dibagi panjangnya.

C. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng antara dua lokasi ketinggian dapat dihitung
dengan persamaan berikut ini :
Id = i/w
Dengan :
Id = kemiringan lereng (m/km)
I = interval kontur (m)
w = a/e
a = luas bidang diantara dua kontur (km2)
e = panjang rata-rata dua kontur (km)

D. Orde dan Tingkat Percabangan Sungai


Alur sungai di dalam suatu DPS dapat dibagi dalam beberapa
orde sungai. Orde sungai adalah posisi percabangan alur sungai
di dalam urutannya terhadap induk sungai di dalam suatu DPS.
Dengan demikian semakin banyak jumlah orde sungai akan
semakin luas pula DPS-nya dan akan semakin panjang pula alur
sungainya.
Berdasarkan cara Strahler alur sungai paling hulu yang tidak
mempunyai cabang disebut dengan orde pertama, pertemuan
antara dua orde pertama disebut dengan orde kedua,
pertemuan orde pertama dengan orde kedua juga disebut orde
kedua. Demikian seterusnya sampai pada sungai utama ditandai
dengan nomor orde yang paling besar. Untuk jelasnya dapat

25
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

ditunjukan pada sketsa Gambar 2.5. Pemberian nomor orde


harus menggunakan peta topografi atau photo udara skala
besar, ini dimaksudkan agar semua alur sungai orde pertama
masih terbaca walaupun hanya berfungsi mengalirkan air pada
saat musim hujan saja. Berdasarkan jumlah alur sungai untuk
suatu orde akan dapat ditentukan angka indeknya yang
menyatakan tingkat percabangan sungai (bifurcation ratio).
Indek tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut :
Rb = Nu/Nu+1
Dengan :
Rb = Indek tingkat percabangan sungai
Nu = Jumlah alur sungai untuk orde ke-u
Nu+1 = Jumlah alur sungai untuk orde ke u+1
Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan oleh Strahler dapat
disimpulkan bahwa :
1. Apabila nilai Rb lebih kecil dari 3 maka pada alur sungai
tersebut akan mempunyai kenaikan muka air banjir dengan
cepat, sedangkan penurunnya berjalan dengan lambat.
2. Apabila nilai Rb lebih besar dari 5 maka pada alur sungai
tersebut mempunyai kenaikan muka air banjir dengan cepat,
demikian juga penurunnya akan berjalan dengan cepat.
3. Apabila nilai Rb diantara 3 dan 5 maka pada alur sungai
tersebut mempunyai kenaikan dan penurunan muka air banjir
yang tidak terlalu cepat atau tidak terlalu lambat.
Pada umumnya peta topografi skala besar belum tersedia untuk
seluruh wilayah Indonesia dan keadaan ini akan menyulitkan di
dalam pemberian nomor orde sungai menurut cara Strahler.

26
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Penggunaan peta topografi dengan skala yang berbeda akan


memberikan nomor orde sungai yang berbeda walaupun alur
sungainya sama. Nomor orde sungai ke satu dapat diberikan
pada alur sungai yang berbeda sebagai akibat perbedaan skala
peta yang digunakan.

Gambar 2.5. Sketsa Orde Sungai (Strahler, 1979)

27
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

E. Kerapatan Sungai
Kerapatan sungai adalah suatu angka indek yang menunjukan
banyaknya anak sungai di dalam suatu DPS. Indek tersebut
dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut :
Dd = L / A
Dengan
Dd = Indek kerapatan sungai (km/km2)
L = Jumlah panjang sungai termasuk panjang anak-anak
sungainya (km)
A = Luas DPS (km2)
Ada suatu batasan yang menyatakan besarnya indek kerapatan
sungai, yaitu apabila nilai Dd :
1. kurang dari 0.25 km/km2 maka disebut rendah
2. 0.25 10 km/km2, disebut sedang
3. 10 25 km/km2, disebut tinggi
4. lebih dari 25 km/km2, disebut sangat tinggi
Berdasarkan angka batasan tersebut dapat diperkirakan suatu
gejala yang berhubungan dengan aliran sungai, gejala yang
dimaksud antara lain :
1. Jikan nilai Dd rendah, alur sungai melewati batuan dengan
resistensi keras, maka angkutan sedimen yang terangkut
aliran sungai lebih kecil jika dibandingkan pada alur sungai
yang melewati batuan dengan resistensi yang lebih lunak,
apabila kondisi lain yang mempengaruhi sama.
2. Jika nilai Dd sangat tinggi, alur sungainya melewati batuan
yang kedap air. Keadaan ini akan menunjukan bahwa air hujan
yang menjadi aliran akan lebih besar jika dibandingkan suatu

28
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

daerah dengan Dd rendah melewati batuan yang


permebilitasnya besar.

2.5. Sungai dan Siklus Hidrologi

Keberadaan sungai tidak dapat dilepaskan dari siklus hidrologi


yang merupakan awal terbentuknya alur-alur sungai kecil di bagian
hulu dan dapat menjelaskan sumber dari aliran sungai.
Dalam konsep hidrolgi, matahari merupakan sumber tenaga
bagi alam untuk melakukan penguapan yang berasal dari
permukaan bumi. Penguapan dapat terjadi baik dari muka tanah,
permukaan pohon-pohonan dan permukaan air (water body).
Penguapan yang terjadi dari permukaan air dikenal dengan
penguapan (free water evaporation, evaporation), sedangkan
penguapan yang terjadi dari permukaan pohon-pohonan dikenal
dengan transpirasi (transpiration). Sebagai akibat terjadinya
penguapan, maka akan terbentuk awan yang apabila keadaan
klimatologisnya memungkinkan, awan dapat terbawa ke darat dan
dapat terbentuk menjadi awan pembawa hujan (rain cloud). Hujan
baru akan terjadi apabila berat butir-butir air hujan tersebut telah
lebih besar dari gaya tekan udara ke atas. Dalam keadaan
klimatologis tertentu, maka air hujan yang masih melayang
tersebut dapat teruapkan kembali menjadi awan. Air hujan yang
sampai ke permukaan tanah yang disebut hujan, dan dapat diukur.
Hujan yang terjadi tersebut sebagian juga akan tertahan oleh
mahkota pohon-pohonan yang selanjutnya akan diuapkan kembali.
Air yang jatuh di permukaan tanah terpisah menjadi dua bagian,
yaitu bagian yang mengalir di permukaan yang selanjutnya

29
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

menjadi aliran limpasan (overland flow) yang selanjutnya dapat


menjadi limpasan (run-of), yang seterusnya merupakan aliran
sungai dan ke laut. Aliran-limpasan sebelum mencapai saluran dan
sungai, mengalir dan tertahan di permukaan tanah dalam
cekungan-cekungan, dan sampai jumlah tertentu merupakan
bagian air yang hilang karena proses infiltrasi, yang disebut sebagai
tampungan-cekungan (depression storage).
Bagian lainnya masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi
(infiltration). Dengan struktur geologi yang memungkinkan, maka
dapat terjadi aliran mendatar yang disebut aliran antara (interflow,
subsurface flow). Bagian air ini juga mencapai sungai dan/laut.
Bagian lain dari air yang terinfiltrasi dapat diteruskan sebagai air
perkolasi yang mencapai akuifer (aquifer, ground water storage). Air
ini selanjutnya juga mengalir sebagai aliran air tanah mencapai
sungai/laut.
Memperhatikan proses daur hidrologi tersebut, sebenarnya
aliran air yang ada di sungai terdiri dari empat unsur penting,
yaitu :
a. Air yang berasal langsung dari hujan (channel rainfal)
b. Limpasan permukaan
c. Aliran antara
d. Aliran air tanah.
2.5.1. Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut


:
R=PEA
Dengan :

30
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

R = Run Of (aliran permukaan)


P = Presipitasi (curah hujan)
E = Evaporasi
A = Akumulasi

Gambar 2.6. Siklus Hidrologi

2.5.2. Presipitasi

Untuk suatu basin di Indonesia, variasi musiman dapat


mempunyai curah hujan sebesar :
1. Musim basah : 2000 3000 mm
2. Musim kering : < 50 mm
Sedangkan variasi tahunan di Indonesia umumnya berkisar
antara 2000 3000 mm per tahun. Dengan demikian dapat
dibayangkan batapa besarnya debit sungai-sungai di Indonesia
pada musim hujan, serta betapa keringnya pada musim kemarau.
Hujan maksimum untuk daerah dengan dua musim akan terjadi

31
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

sekitar 1-2 bulan sesudah matahari mencapai ketinggian


maksimum.

Gambar 2.7. Sketsa Prediksi Hujan Maksimum Pada Suatu


Musim

2.5.3. Akumulasi

Jenis akumulasi air dapat dipisahkan menjadi :


a. Akumulasi air tanah, besarnya tergantung pada kemiringan
daerah aliran sungai, struktur antara lapis tanah, dan struktur
butir tanah.
b. Akumulasi air permukaan berupa cekungan-cekungan di
permukaan, baik alami maupun buatan (waduk).
c. Akumulasi air dalam bentuk salju atau es (di Indonesia tidak
banyak).
Pengaruh adanya akumulasi tersebut terhadap debit sungai
diperlihatkan pada gambar berikut :

32
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 2.8. Pengaruh Akumulasi Pada Sungai

2.5.4. Evaporasi

Besarnya evaporasi (penguapan) akan mempengaruhi


terhadap besarnya koefisien pengaliran () akan kecil. Dengan
adanya penguapan maka praktis koefisien pengaliran tidak mungkin
= 1. Koefisien pengaliran akan = 0 apabila terdapat sungai
dipadang pasir, atau sungai dibawah tanah, dimana curah hujan
yang jatuh akan langsung masuk ke bawah.

2.6. Macam Sungai Berdasarkan Akuifer

Berdasarkan sumber air dan kondisi akuifer, maka sungai


dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu :

33
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

a. Sungai perennial , yaitu sungai-sungai yang kondisi


akuifernya (aquifer) sedemikian sehingga baik selama musim
hujan maupun selama musim kemarau, masih dapat
memberikan sumbangan aliran dasar ke dalam sungai. Secara
diagramatik, dapat digambarkan muka air akuifer selalu
berada di atas dasar sungai baik dalam musim hujan maupun
musim kemarau.
b. Sungai intermitten, yaitu sungai-sungai yang keadaan
akuifer lebih buruk, sehingga pada saat musim kemarau
(selama musim kemarau atau beberapa bulan dalam musim
kemarau dan awal musim penghujan) tidak dapat
memberikan sumbangan aliran dasar ke dalam aliran sungai.
Secara diagramatik ditunjukan bahwa kalau dalam musim
hujan muka air akuifer masih berada di atas dasar sungai,
maka di musim kemarau, muka air tersebut telah berada di
bawah dasar sungai.
c. Sungai ephemeral, yaitu sungai-sungai yang akuifernya tidak
mampu memberikan sumbangan berupa aliran dasar ke
dalam sungai, karena muka air akuifer selalu berada di bawah
dasar sungai, baik selama musim hujan maupun musim
kemarau. Dengan demikian di sungai hanya terdapat aliran
pada saat terjadi hujan saja, dan aliran hanya terdiri dari dua
komponen saja, yaitu limpasan permukaan dan (mungkin
juga) aliran antara.

Didalam pengertian teknik sungai ini, yang dimaksud dengan


sungai adalah sungai jenis perennial dimana kondisi sungai selalu
mengalirkan air, baik pada waktu musim hujan maupun musim

34
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

kemarau. Dalam kasus-kasus tertentu kondisi sungai bisa


mengalami penurunan permukaan air atau kenaikan permukaan air
(banjir dalam kondisi ekstrem).

musim hujan

musim kering
Q (m3/dt)

T (jam)

Gambar 2.9. Sungai Perennial

musim hujan

musim kering
Q (m3/dt)

t (jam)

35
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 2.10. Sungai Intermitten

sepanjang tahun
Q (m3/dt)

t (jam)

Gambar 2.11. Sungai Ephemeral

2.7. Bentuk Sungai


Bentuk sungai adalah tidak tetap, selalu berubah sesuai
dengan karakteristika alami yang merupakan faktor penting dalam
kontribusi pembentukan sungai. Karakteristika alami tersebut
adalah iklim dan fisiografi daerah di wilayah sungai yang ditinjau,
yang secara pembagian besar terdiri dari :
a. Topografi daerah aliran sungai.
b. Formasi batuan (erosilitas tampang basah).
c. Iklim river basin/catchment area/daerah tangkapan hujan,
serta vegetasi river basin.
Perubahan bentuk akan lebih mungkin terjadi karena adanya
kegiatan pengaturan ataupun pemanfaatan sungai, misalnya :

36
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

a. Scouring/gerusan pada pilar jembatan.


b. Erosi pada bagian bawah/hilir bendungan.
c. Garis pembendungan karena adanya pemanfaatan bantaran
sungai, sehingga tampang basah sungai menjadi berkurang.
Tampang melintang sungai terdiri dari :
a. Dasar sungai yang dalam dan yang dangkal, yang bila airnya
surut akan diisi dengan gugus-gugus endapan.
b. Tanggul-tanggul alam pada kedua sisi.
c. Bantaran banjir atau flood plain penampung luapan banjir
yang akan tergenang pada saat sungai meluap.

Gambar 2.12. Skema Tampang Lintang Suatu Sungai Alluvial.

Peraturan mengenai sempadan sungai/bantaran sungai dapat


ditemukan pada Kepres No. 32/1990 dan PP No. 47/1997 yang
menetapkan bahwa lebar sempadan pada sungai besar di luar
permukiman minimal seratus meter (100 m) dan pada anak sungai
besar minimal 50 meter di kedua sisinya. Sedang di daerah
permukiman, lebar bantaran adalah sekedar cukup untuk dibangun
jalan inspeksi (10 15 meter). Sementara itu PP No. 47/1997

37
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

menetapkan bahwa lebar sempadan sungai bertanggul di luar


daerah permukiman adalah lebih dari 5 meter sepanjang kaki
tanggul. Sedang lebar sempadan sungai yang tidak bertanggul di
luar permukiman dan lebar sempadan sungai bertanggul dan tidak
bertanggul di daerah permukiman ditetapkan berdasarkan
pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh pejabat berwenang.
Dalam Undang-Undang N0. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
tidak dijelaskan besarnya garis sempadan sungai.
Secara teknis sebenarnya ada perbedaan antara sempadan
sungai dan bantaran sungai. Bantaran sungai adalah daerah pinggir
sungai yang tergenangi air saat banjir (flood plain). Bantaran sungai
bisa juga disebut bantaran banjir, sedangkan sempadan sungai
adalah daerah bantaran banjir ditambah lebar longsoran tebing
sungai (sliding) yang mungkin terjadi, ditambah lebar bantaran
ekologis dan lebar keamanan yang diperlukan kaitannya dengan
letak sungai (misal areal permukiman-non permukiman). Sempadan
sungai (terutama di daerah bantaran banjirnya) merupakan daerah
ekologi dan sekaligus hidraulis sungai yang penting. Sempadan
sungai tidak dapat dipisahkan dengan badan (alur) sungai karena
secara hidraulis dan ekologis merupakan satu kesatuan. Secra
hidraulis sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir yang
berfungsi memberi kemungkinan luapan air banjir ke samping
kanan-kiri sungai sehingga kecepatan air ke hilir dapat dikurangi,
energi air dapat diredam di sepanjang sungai, erosi tebing dan erosi
dasar sungai dapat dikurangi secara simultan.

38
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 2.13. Lebar Bantaran Sungai


Ke arah memanjang, sebuah sungai dapat dibagi menjadi
beberapa bagian yang berbeda sifat-sifatnya, yaitu :
a. Hulu sungai berarus deras dan turbulent atau torrential river
yang dapat berupa sungai jeram atau rapids river atau sungai
jalin atau braided river.
b. Sungai alluvial.
c. Sungai pasang surut atau tidal river.
d. Muara sungai atau estuary.
e. Mulut sungai atau tidal inlet yaitu bagian laut yang langsung
berhubungan dengan muara dimana terjadi interaksi antara
gelombang laut dan aliran air yang keluar masuk melewati
muara.
f. Delta sungai yang berupa dataran yang terbentuk oleh
sedimentasi di dalam muara dan mulut sungai. Delta ini perlu
ditinjau karena berpengaruh terhadap sifat-sifat sungai
dimana delta ini terbentuk di dalam muaranya.

39
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

2.7.1. Bagian Hulu Sungai (Torrent)


Topografi daerah hulu sungai terdiri dari lereng-lereng yang
curam dan kondisi geologinya terdiri dari lapisan batuan dasar atau
bedrock yang belum lapuk, atau permukaan yang lapuk telah
terkikis oleh runof yang deras. Air hujan yang jatuh di sini akan
cenderung mengumpul membentuk galur-galur kecil atau rill. Galur-
galur ini kemudian mengalir memasuki lipatan-lipatan topogarfis
dan membentuk aliran deras dan turbulent atau torrent river.
Curamnya kelandaian aliran, menyebabkan tingginya kecepatan
aliran yang mempunyai daya gerus dan kapsitas transpor sedimen
yang sangat besar. Akibatnya adalah :
a. Arus akan menggerus dasar sungai dan membentuk alur
dengan aliran yang deras. Hasil erosi alur bersama dengan
luruhan-luruhan tebingnya akan terhanyut. Secara bertahap
alur akan bertambah panjang karena membentuk erosi gully
atau backwards erosion dan dasarnya cenderung makain
melandai.
b. Waktu terkumpulnya aliran ke dalam alur atau concentration
time akan sangat singkat sehingga hidrograf debit alurnya
akan cepat mencapai puncak. Tetapi karena besarnya
kecepatan aliran didalamnya, hidrografnya pun akan cepat
surut kembali. Hidrografnya akan sangat tajam yang
menggambarkan sifat alirannya yang berupa banjir bandang
atau flash flood.
c. Aliran debit pada bagian sungai ini akan bersifat dilatant yaitu
kepekatan atau kosentrasi sedimen di dalam alirannya ke
arah hilir akan bertambah besar.

40
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 2.14. Bagian Hulu Sungai

Alur bagian atas hulu sungai ini semula berbentuk V, dan


merupakan rangkaian jeram-jeram aliran yang deras sehingga
disebut alur jeram atau rapids (river) dan penuh bongkahan
sedimen berdiameter besar. Sedimen jenis ini tertinggal di dalam
alur pada saat banjir bandang menyurut dengan cepat. Material
yang berukuran lebih kecil akan terhanyut lebih ke hilir karena
bagian alur yang bertebing curam. Aliran masih terpusat sehingga
kecepatannya cukup tinggi walaupun pada debit kecil karena
sempitnya dasar alur. Karena sifat banjirnya, bagian hulu sungai
juga disebut flashy river.

41
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Makin ke hilir, kelandaian aliran akan makin kecil. Daya gerus


terhadap dasar akan berkurang dan kosentrasi sedimen yang
dikandungnya cukup besar dengan akibat :
1. Kapasitas transpor aliran akan mengecil.
2. Sedimen yang terbawa dari hulu akan mengendap
sebagian membentuk daratan kipas endapan atau alluvial
fan pada lereng yang masih cukup terjal atau memenuhi
lembahnya yang makin lebar.

Karena makin lebar oleh kikisan terhadap tebing-tebingnya,


tampang lintang alur akan berbentuk U atau trapesium. Tetapi
karena kelandaian aliran yang mengecil ditambah sifat batuan
dasar yang masih keras akan timbul hal-hal sebagai berikut (pada
saat datang debit besar) :
1. Akan banyak material dengan berbagai ukuran terbawa dari
bagian sungai jeram hulu.
2. Aliran tidak mampu menggerus dasar alur lebih dalam ke
bawah, untuk mencapai kedalaman setimbang (he).
3. Penyesuaian luas tampang aliran akan terjadi dengan
melebarnya alur dengan menggerus ke arah horizontal
dataran kipas alluvial dan atau permukaan lembah yang
sudah lapuk, sehingga terbentuk aliran yang dangkal, lebar
dan deras.

Hidrograf alur bagian ini juga masih cukup tajam, banjirnya masih
bersifat banjir bandang. Pada saat debit kecil akan terjadi :
1. Debit akan mengecil dengan cepat begitu presipitasi pada
daerah hulunya berhenti.

42
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

2. Sedimen dari berbagai ukuran yang terbawa dari hulu akan


diletakan mengendap berserakan dan berbaur membentuk
gugusan sedimen selebar alur.
3. Debit tidak lagi cukup memenuhi seluruh lebar alur dan akan
mengalir di sela-sela gugusan sedimen yang berserakan
membentuk garis-garis arus yang saling jalin menjalin atau
braiding di dalamnya. Bagian alur hulu ini disebut sungai jalin
atau braided river.

2.7.2. Bagian Sungai Alluvial


Dalam alirannya ke hilir yang lebih landai memasuki bagian
sungai alluvial, butir-butir sedimen dari bagian hulu yang lembut
akan terbawa. Karena kecepatannya yang tinggi benturan dan
geseran material yang terbawa alirannya menghasilkan butir-butir
yang lebih halus. Material ini adalah produk fragmentasi dari butir-
butir yang besar ketika mengalir di ruas hulu sungai.
1. Pada waktu aliran mencapai dataran yang landai dan rendah
kecepatan alirannya akan menjadi sangat berkurang,
menyebabkan banyak sedimen mengendap.
2. Pada saat debit menjadi besar, kapasitas alurnya akan tidak
cukup untuk melewatkannya, sehingga sering terjadi
peluapan atau overbank flow dimana air banjir akan
menggenangi bantaran sungainya. Bersama luapan ini akan
terbawa sejumlah sedimen yang berbutir halus.

Bila (sebagian) banjir kemudian surut kembali ke dalam alur akan


terjadi:
1. Sebagian air akan tetap menggenang membentuk rawa atau
danau retardasi banjir, yang akan menjadi komponen alam

43
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

pengatur debit sungai itu dan sangat berpengaruh pada


bentuk hidrografnya. Makin ke hilir, volume retardasi akan
semakin besar sehingga hidrograf sungainya akan semakin
melandai.
2. Sebagian material sedimen yang terbawa luapan air banjir
akan tetap tertinggal pada bantaran sungai membentuk dan
meninggikan bantaran menjadi dataran alluvial yang subur.
Sebagian akan berhenti mengendap di kedua tepi sepanjang
alur membentuk tanggul alam atau natural levee.
3. Sebagian besar material sedimen memasuki alur kembali dan
bergabung dengan sedimen yang tetap mengalir bersama
debit di dalamnya. Bagian ini yang kemudian membentuk
sifat-sifat sungai alluvial yaitu sungai yang mengalir pada
dataran yang diendapkannya sendiri.
Di dalam proses perkembangan alaminya, ruas sungai alluvial
hulu yang berbatasan dengan bagian hulu sungai akan tergerus
dasarnya menjadi lebih rendah dan disebut ruas tergerus atau
degrading type. Hasil erosinya akan diendapkan pada ruas paling
hilir dari bagian sungai alluvial yaitu ruas pengendapan atau
aggrading type dimana dasar sungainya akan makin meninggi. Di
tengah alurnya biasanya terbentuk beting-beting endapan yang
letaknya berubah ubah oleh banjir.
Kedua ruas dibatasi oleh bagian dimana terjadi
kesetimbangan dinamik dari dasar sungai yaitu stable type.
Tetapi dengan adanya rekayasa manusia terhadap sungai dan
pada DPS-nya, akan terjadi perubahan yaitu misalnya pada faktor-
faktor jumlah dan degradasi sedimen yang memasuki aliran sungai,
serta debit sungainya yang juga mengubah kapasitas angkut

44
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

sedimen. Padahal faktor-faktor ini menjadi pembentuk ruas-ruas


seperti diatas. Sungai akhirnya akan mempunyai pembagian ruas-
ruas menjadi tipe-tipe diatas yang tidak jelas batas-batasnya.
Sebagai contoh dengan dibuatnya sebuah bendungan di hulu
sungai, akan menyebabkan bagian ini berubah menjadi ruas dengan
tipe pengendapan dan di hilirnya menjadi ruas dengan tipe
tergerus.
Secara umum sungai alluvial akan berubah dari arah aliran
lurus membentuk lintasan yang berkelok-kelok terdiri dari rangkaian
meander. Karena suatu sebab terjadi pembelokan arah aliran
sehingga akan terjadi arah aliran yang akan menuju tebing dan
membentuk arus spiral sehingga terjadi gerusan tebing. Proses
pembelokan ini biasanya dimulai oleh pengaruh percepatan Coriolis
yang kemudian makin berkembang.

2.7.3. Sungai Pasang Surut


Sungai alluvial sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu :
1. Bagian hulu sungai alluvial yang tidak terkena pengaruh
pasang surut air laut atau non tidal .
2. Bagian hilir sungai alluvial yang terpengaruh oleh pasang
surut air laut atau tidal reach.

Di bagian sungai pasang surut atau tidal reach ini selalu


terjadi perubahan periodik ketinggian muka airnya karena pengaruh
pasang surut. Air laut akan memasuki pada saat pasang naik atau
flood tide dan mengalir kembali ke laut pada waktu surut atau ebb
tide. Bagian sungai pasang surut ini mempunyai panjang yang
berubah ubah sesuai musim dan sangat ditentukan oleh debit air

45
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

tawar dari hulu dan periode pasang surut astronomis yaitu pasang
surut air laut yang disebabkan oleh gaya tarik surya dan bulan yang
saling bekerja sama dengan gravitasi bumi karena jaraknya lebih
dekat, gaya tarik bulan lebih berpengaruh. Dikenal dua macam
ketinggian pasang, yaitu :
1. Pasang sempurna atau spring tide yang terjadi karena
superposisi gaya gravitasi bumi dan bulan pada saat
purnama terhadap air laut sebagai ketinggian pasang
maksimum.
2. Pasang perbani atau neap tide yang terjadi karena
superposisi gaya gravitasi bumi dan bulan terhadap air laut
pada kedudukan bulan perbani sebagai ketinggian pasang
minimum.
Siklus pasang surut dapat terjadi apabila :
1. Satu kali dalam 24 jam yang disebut diurnal tide. Pasang
jenis ini biasanya tidak terlalu tinggi dan tidak beraturan dan
terjadi diantaranya pada perariran di Indonesia, Karibia, dan
Teluk Meksiko.
2. Dua kali dalam 24 jam yang disebut semi diurnal tide yang
terjadi pada pantai-pantai samudra Atlantik dan Hindia.

Pasang astronomis akan menjalar ke bagian hilir sungai alluvial


dan mempengaruhi perubahan muka air di situ. Bersama dengan
variasi debit yang datang dari hulu sungai, panjang jarak pengaruh
air pasang ke arah hulu itu dapat digambarkan sebagai berikut :
Pada saat debit sungai dari hulu minimum, pengaruh air
pasang akan mencapai jarak Lb ke hulu sungai. Pada saat terjadi
debit besar dari hulu jauhnya jarak pengaruh pasang naik hanya

46
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

mencapai LA dari garis pantai. LA dan LB adalah tidal reach atau


jarak pengaruh pasang ke hulu sesuai dengan debit dari hulu
pada saat tertentu. Untuk suatu debit tertentu dari hulu, akan
terjadi pembagian ruas pada tidal reach menjadi :
1. Ruas dimana terjadi penyusupan atau intrusi air asin. Arah
aliran di sini akan dapat mempunyai dua arah.
2. Ruas dimana arah aliran adalah seperti I, tetapi tetap berair
tawar.
3. Ruas dengan arah aliran tetap ke hilir tetapi dengan
kecepatan menunjukan perubahan siklis sesuai dengan fase
pasang pada saat itu. Makin tinggi fase pasang akan makin
kecil kecepatan aliran di dalamnya.

47
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 2.15. Pengaruh Debit Dari Hulu Terhadap Jarak


Pengaruh Pasang Ke Hulu

Pada saat naiknya pasang atau flood tide debit air tawar dari
hulu akan mengalami perlawanan sehingga akan terjadi :
1. Di ruas II bagian sungai pasang surut aliran akan
melambat karena terjadi empangan atau backwater positif
oleh air pasang.
2. Pada ruas I akan terjadi dua arah aliran yaitu air tawar
akan mengalir ke hilir pada lapisan air asin yang menyusup
dibawahnya dan mengalir ke arah hulu.

48
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Aliran pasang ke hulu akan menimbulkan :


1. Backwater atau empangan pada ruas II yang akan
menyebabkan terjadi pengendapan butiran sedimen dasar
yang kasar karena kecepatan aliran mengecil.
2. Butiran sedimen yang lebih halus akan diendapkan di ruas I.
3. Karena pengaruh air asin, pada ruas I akan timbul
penggumpalan atau flokulasi beberapa butir sedimen layang
yang lembut menyatu jadi butir-butir yang lebih besar. Proses
penggumpalan ini menurut penelitian akan mulai terjadi pada
air dengan kandungan garam yang telah mencapai 5000 ppm
atau lebih.

Pada saat aliran surut kembali atau ebb tide terjadi proses sebagai
berikut :
1. Pada ruas I terjadi penyatuan aliran air tawar dan air asin
yang masuk pada saat air pasang, bersama sama mengalir ke
hilir dengan debit dan kapasitas transpor sedimen yang lebih
besar.
2. Pada ruas II terjadi surutan atau backwater negatif sehingga
endapan yang timbul di situ pada saat air pasang akan
tergerus dan terbawa ke hilir.
3. Sedimen dasar yang diangkut dari ruas II bersama dengan
sedimen dasar yang telah mengendap pada ruas I ini akan
terbawa ke muara sungai. Hal yang sama juga terjadi pada
sedimen layang yang belum sempat menggumpal dan
mengendap pada ruas I ini.
Pada musim kemarau debit air tawar dari hulu kecil, demikian
juga jumlah kandungan sedimen yang dibawahnya, dan hanya pada

49
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

musim hujan banyak pasokan sedimen yang terbawa oleh debit


yang besar ke bagian sungai ini. Tetapi tingkat erosi besar yang
terjadi oleh surutnya air ke hilir akan berlangsung setiap hari. Maka
akan selalu terjadi erosi pada alur sungai pasang surut ini sampai
terjadi kesetimbangan. Hal ini akan menyebabkan kedalaman
sungai (h) akan menjadi besar dari pada bagian sungai alluvial di
hulunya. Proses pembentukan meander akan terhambat karena
eksistensi arus spiral pembentuknya terganggu. Karena itu bagian
sungai tidak berkelok-kelok seperti sungai alluvial di hulu.

2.7.4. Muara Sungai (Estuary)


Pada muara sungai, alur akan berbatasan dengan laut pada
garis pantai. Pada muara, seperti halnya pada ruas I sungai pasang
surut, terjadi dua arah aliran :
a. Debit air tawar dari hulu ke hilir, dan
b. Air laut pada saat pasang naik ke arah hulu.

Pada umumnya kondisi sifat alurnya terutama dipengaruhi


oleh pasang surut yang keluar masuk melewatinya. Sifat aliran pada
muara sungai sangat tergantung pada bentuk bukaan mulut dan
alurnya, yaitu :
1. Pada muara yang berubah ubah lebar dan dalamnya, atau
terdapat percabangan dan pulau-pulau kecil, maka air di
dalamnya pada saat pasang naik akan berubah dengan cepat
yaitu menurun pada pelebaran dan meninggi pada
penyempitan.
2. Pada muara dengan bukaan dan alur yang sempit, gelombang
pasang akan cepat lenyap dan pada saat surut muka airnya
hampir serentak turun disepanjang alurnya.

50
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

3. Pada bukaan dan alur yang lebar dan dangkal serta arus yang
kuat, akan terjadi hydraulic bore di situ, yaitu muka aliran air
yang hampir vertikal.
4. Muara dengan bukaan berbentuk trompet sangat ideal untuk
navigasi karena pada saat air pasang naiknya muka air di
dalam alur hampir mendekati harisontal.

Gambar 2.16. Bentuk-Bentuk Bukaan Muara Sungai

A. Bore atau Muka Aliran Curam


Gelombang pasang menjalar dengan kecepatan yang berubah
ubah tergantung pada kedalaman air dan ketinggian pasang. Makin
besar kecepatan menjalar puncak gelombang dibanding terhadap
kakinya akan menyebabkan permukaan gelombang meninggi dan
makin tegak secara bertahap sampai mendekati vertikal
membentuk bore.

51
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar. 2.17. Perjalanan Bore

Tampang aliran di hulu yang makin mengecil dengan cepat


akan makin merangsang terbentuknya bore.
Persamaan yang sering digunakan untuk menghitung
kecepatan menjalar bore, yaitu :
1. Menurut Doodson :
e = 1+ B/2d. (g.d)1/2 - v
2. Menurut Gibson :
e = (2g) (d+B)2/(2d+B) - v
3. Menurut Lamb :
e = g (d+B)(2d +B)/2d1/2 - v
dengan :
e = kecepatan menjalar bore
B = tinggi bore
d = kedalaman air
v = kecepatan aliran

52
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Dari rumus-rumus ini dapat diambil kesimpulan bahwa apabila


kecepatan aliran membesar, ketinggian bore akan mengecil.

B. Pengendapan dan Penggerusan Pada Muara


Proses pengendapan dan penggerusan di dalam muara akan
dipengaruhi oleh aliran dari hulu dan pasang surutnya air laut yang
masuk ke dalamnya.
1. Pada saat surut :
a. Sedimen dasar yang terbawa kedalam dan mengendap
pada dasar bagian sungai pasang surut akan terbawa
kedalam muara, termasuk juga sedimen layang yang telah
menggumpal dan mengendap menjadi sedimen dasar.
b. Penggumpalan sedimen layang akan berlanjut dan
sebagian akan mengendap di dalam muara dan sebagian
lagi terus terbawa ke laut.
c. Aliran air surut di dalam muara ini akan memasuki laut dan
pada saat itu kecepatan alirannya akan mengencil
mendekati nol. Sedimen yang terbawa dari hulu akan
diendapkan di dalam muara.
d. Muara akan mendangkal sehingga tidak mampu
melewatkan debit besar berikutnya kecuali dengan
menambah lebarnya dan inilah yang akan terjadi
kemudian.
2. Pada saat pasang naik :
a. Air pasang akan membawa serta ke dalam muara sedimen
layang yang menggumpal di laut, untuk diendapkan di
dalam muara dan makin menambah tinggi endapan.

53
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

b. Hanyutan sedimen sekunder yang terbawa arus littoral


kedepan bukaan muara akan ikut terbawa masuk oleh
pasang naik dan menambah hebatnya proses
pengendapan.

Proses yang diuraikan pada No.1 dan 2 akan terjadi sehari


sekali pada daerah dengan pasang diunal dan sehari dua kali pada
daerah dengan pasang semi diurnal.
Pendangkalan akan berlangsung cepat sampai terjadi
kesetimbangan baru. Tetapi pada saat datang debit dari hulu yang
lebih besar, kondisi setimbang muara ini tidak mampu melewatkan
sehingga akan terjadi :
1. Limpasan banjir pada endapan dasar pada muara sambil
meninggalkan sebagian material yang dibawanya dan
berakibat bertambah tebalnya endapan sehingga muncul
pada muka air pada saat air surut kembali.
2. Terbentuknya alur-alur aliran baru pada endapan muara. Alur-
alur baru ini akan mempunyai muara masing-masing dan
menjadi jalan aliran air pasang naik ke hulu dan saat surutnya
nanti. Aliran surut ini akan membawa serta sedimen dan
diendapkan pada muara-muaranya.
3. Sebagian aliran debit banjir akan melimpas ke luar alur muara
dan membentuk cabang-cabang aliran dengan muara masing-
masing yang akan berfungsi sebagai sungai-sungai baru dan
mendapatkan jatah debit beserta angkutan sedimennya. Alur-
alur cabang itu juga akan berfungsi sebagai jalan masuk
keluarnya air pasang surut ke hulu.

54
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

2.7.5. Proses Pembentukan Delta


Proses pengendapan dan penggerusan di dalam muara
sungai seperti diuraikan diatas akan membentuk gugus-gugus
endapan yang berupa pulau-pulau kecil yang berkembang makin
luas dan makin tinggi yang menjadi embryo delta.
Dengan terbentuknya muara-muara baru pada cabang-
cabang baru maka proses pembentukan embryo delta ini akan juga
berlangsung di dalamnya.

Gambar 2.18A. Proses Pembentukan Delta

Proses ini akan terus berlanjut sehingga akan makin banyak


embryo-embryo delta terbentuk, dan masing-masing menjadi makin
luas dan makin tinggi dan akhirnya menyatu menjadi dataran delta
yang luas dan menjorok kelepas pantai yaitu delta positif. Hal ini
dapat berlangsung apabila keempat syarat seluruhnya dapat
dipenuhi, yaitu :

55
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

1. Tersedia cukup material pembentuknya berupa sedimen


baik sedimen primer dari hulu sungai dan atau sedimen
sekunder yang dibawa arus laut ke tempat tersebut.
2. Dasar laut dilepas pantai didepan muara cukup dangkal.
3. Energi pasang surut di tempat tersebut tidak cukup kuat
untuk mengikis embryo-embryo delta yang terbentuk.
4. Endapan pembentuk embryo-embryo delta tidak
terbawa pergi oleh arus laut.
Delta biasanya berkembang menjadi salah satu dari dua bentuk ini :
1. Memanjang atau membujur/elongate ke lepas pantai misalnya
berbentuk cakar bebek atau duck foot delt, apabila
bercabang-cabang dengan ujung-ujung membulat/lobate,
atau berbentuk lidah bila tidak bercabang. Apabila ujung delta
tidak membulat akan berbentuk cakar burung/birds foot.
Delta elongate terjadi apabila sebagian besar sedimen
pembentuknya adalah lumpur atau mud. Jenis delta ini akan
cepat mengalami subsidensi apabila direklamasi.
2. Membusur atau arcuate atau membentuk kipas/fan shaped
apabila sebagian besar sedimen pembentuknya berbutir lebih
kasar, dasar pantai yang dangkal cukup lebar.
3. Delta yang melebar ke kiri dan ke kanan muara/cuspate
dengan ujung runcing atau berbentuk bulan sabit, Delta ini
terbentuk pada dasar pantai dangkal yang tidak terlalu lebar.

56
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 2.18B. Beberapa Macam Bentuk Delta

57
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 2.18B. Delta Negatif di Dalam Muara

Apabila salah satu atau lebih dari keempat faktor tidak


terpenuhi, hanya akan terjadi gugus-gugus endapan di dalam
muara yang melebar yang disebut delta negatif atau high-
destructive delta. Pada jenis ini, sedimen akan diendapkan sebagai
gugus-gugus beting pasir atau sand bars di dalam mulut sungai
maupun muara yang akan menjadi sangat melebar. Apabila energi
pasang surut di situ besar, endapan akan dibentuk menjadi gugus
yang berpola linear mengarah ke luar mulut sungai, sedang lumpur
dan silt akan diendapkan di hulu gugus-gugus liner ini.

58
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Didalam delta negatif ini pulau-pulau yang terbentuk akan


tidak cukup besar maupun tinggi, bahkan sering hanya berupa
gugus-gugus beting pasir atau shoal di dalam muara yang sangat
lebar. Ada beberapa pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh kondisi
di atas, yaitu :
1. Pada terjadinya gelombang badai laut di depan muara
tersebut, ada kemungkinan badai itu memasuki muara
dimana delta negatif itu terbentuk, dan menyusup lebih jauh
ke arah hulu. Dasar muara di situ dangkal dan penampang
makin menyempit, sehingga akan dapat terbentuk bore yang
makin menyusup ke hulu akan makin tinggi dan dapat
melimpasi tebing dan tanggul pengaman dan menimbulkan
bencana banjir.
2. Pendangkalan dasar dan beting-beting pasir rendah yang
tenggelam dan tidak nampak di saat pasang naik, akan dapat
menjadi ancaman terhadap kelancaran navigasi di muara
tersebut.

2.8. Pembagian Profil Memanjang Sungai Secara Sederhana

Sedangkan secara sederhana alur sungai dapat dibagi


menjadi tiga bagian saja, yaitu :
a. Bagian hulu, merupakan daerah sumber erosi karena pada
umumnya alur sungai melalui daerah pegunungan, perbukitan
atau lereng gunung api yang kadang-kadang mempunyai
cukup ketinggian dari muka laut. Pada bagian hulu kemiringan
lereng sangat besar sehingga pada waktu hujan turun
sebagian dari air akan merembes dan sebagian lagi akan
mengalir membawa partikel-partikel tanah sehingga

59
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

menimbulkan erosi. Alur sungai yang terjadi biasanya


mempunyai lembah yang curam dan melalui banyak terjunan
dan jeram. Penampang melintang berbentuk V dengan materi
alur sungai terdiri dari batuan cadas, kerikil dan tanah. Alur
sungai bagian hulu biasanya mempunyai kecepatan aliran
yang lebih besar dari pada bagian hilir, sehingga pada saat
banjir material hasil erosi yang diangkut tidak saja partikel
sedimen yang halus akan tetapi juga pasir, kerikil bahkan
batu.
b. Bagian tengah, merupakan bagian peralihan dari bagian hulu
dan hilir. Kemiringan dasar sungai lebih landai sehingga
kecepatan aliran relatif lebih kecil dari pada bagian hulu.
Umumnya penampang sungai berbentuk V dan bentuk U
sehingga daya tampungnya masih mampu menerima aliran
banjir. Merupakan daerah keseimbangan antara proses erosi
dan pengendapan yang sangat bervariasi dari musim ke
musim. Apabila alur sungai datang dari daerah pegunungan
mendadak memasuki daerah dataran biasanya sedimen
diendapkan di daerah perubahan kemiringan lereng dasar
sungai. Bentuk endapan yang terjadi melebar ke arah hulu
dengan material yang kasar terdapat dibagian hulu secara
bertahap semakin halus ke arah hilir, bentuk demikian sering
disebut dengan kipas alluvial. Pada daerah demikian alur
sungai sering berpindah tempat karena cepatnya proses
pengendapan. Apabila aliran sungai berasal dari daerah
gunung api biasanya membawa pasir lepas dan kadang-
kadang dapat terendap di seberang tempat sepanjang alur
sungai tergantung kecepatan aliran. Pada saat banjir

60
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

endapan tersebut dapat terangkut, apabila banjir menyusut


proses pengendapan terjadi lagi. Dengan adanya dua proses
yang telah diuraikan diatas, maka alur sungai akan
mengalami perubahan, kadang-kadang perubahan itu terjadi
pada periode yang sangat singkat, sehingga bentuk alurnya
menjadi pola berjalin (braided).
c. Bagian hilir, biasanya melalui daerah pedataran yang
terbentuk dari endapan pasir halus sampai kasar, lumpur,
endapan organik dan jenis endapan lainnya yang sangat labil.
Alur sungai berbelok-belok yang disebut dengan meander.
Bentuk alur demikian banyak dijumpai di daerah pedataran
sebelah timur Pulau Sumatera. Endapan itu pada umumnya
mempunyai sifat lembek. Alur sungai yang melalui daerah
pedataran mempunyai kemiringan dasar sungai yang landai
sehingga kecepatan alirannya menjadi lambat, keadaan ini
memungkinkan menjadi lebih mudah terjadi proses
pengendapan. Apabila terjadi banjir biasanya akan melimpas
daerah kiri-kanan alur, sehingga membentuk dataran banjir
(flood plain) dan kadang-kadang dapat juga membentuk
tanggul alam (natural levees) sepanjang alur sungai.
Dibeberapa tempat dipasang tanggul buatan dengan maksud
agar aliran banjir tidak meluap dan juga untuk
mempertahankan kecepatan pada tingkat tertentu agar masih
mempunyai kemampuan untuk mengangkut ke arah hilir.
Apabila bentuk alur sungainya berbelok-belok dapat
menyebabkan terjadinya erosi pada sisi luar palung sungai
dan daerah endapan terjadi pada sisi dalam. Kedua proses

61
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

tersebut akan menyebabkan perpindahan alur sungai


sehingga alur lama akan menjadi danau kecil (oxbow lake).

Gambar 2.19. Sketsa profil Memanjang Alur Sungai

2.9. Pemanfaatan Sungai

Berbagai jenis usaha pemanfaatan sungai dapat


dideskripsikan sebagai berikut :
1. Usaha pemanfaatan sungai, misalnya :
a. Pembangkit listrik tenaga hidro
b. Navigasi
c. Penyediaan air untuk irigasi
d. Penyediaan air untuk air baku (non irigasi)
2. Pengaruh negatif pemanfaatan sungai antara lain :
a. Banjir dan genangan
b. Pendangkalan muara

62
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

c. Pencemaran air (oleh limba padat ataupun cair), karena


kurangnya jumlah air untuk pengenceran.
Dibawah ini akan diberikan contoh penanganan sungai untuk tujuan
pengendalian banjir antara lain adalah :
a. Perbaikan saluran : penggalian atau pengerukan dasar sungai
sehingga muka air dapat turun.
b. Membuat tanggul : melindungi daerah kanan-kiri sungai dari
air sungai yang meluap.
c. Membuat saluran banjir atau sudetan pada daerah meander :
debit dapat terbagi/mengecil.
d. Membangun waduk : menampung air dalam jumlah yang
besar sehingga banjir di hulu dapat dikurangi.
Sedangkan contoh kegiatan pemanfaatan sungai yang ditujukan
untuk penyediaan air (irigasi dan non irigasi) antara lain adalah :
a. Perbaikan saluran : mempertahankan kapasitas sungai seperti
debit rencana.
b. Membuat tanggul dan perlindungan tebing (terutama di
daerah belokan untuk mencegah erosi).
c. Membuat waduk : sebagai tempat penampungan air dan
pengaturan/ pengalokasian air.
d. Membuat bendung : mempermudah pengaturan air.

Tolok ukur manfaat dan pengaruh negatif untuk berbagai jenis


kegiatan pemanfaatan sungai yang lain, misalnya :
1. Irigasi, tolok ukur manfaat : ketersediaan air dengan jumlah
dan waktu serta kualitas yang tepat. Pengaruh negatif :
pencemaran air dari pupuk/pestisida di sawah (N,P,K, dsb),
menyuburkan enceng gondok, ikan-ikan banyak yang mati.

63
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

2. Navigasi, tolok ukur manfaat : ketersediaan air dengan


kedalaman yang memenuhi syarat. Pengaruh negatif :
pencemaran air dari bahan bakar kendaraan air, pengerukan
yang berlebihan untuk mencapai kedalaman tertentu
menyebabkan peningkatan instrusi air laut.
3. Tenaga hidro, tolok ukur : ketersediaan air dengan debit dan
beda tinggi tertentu. Pengaruh negatif : peningkatan
temperatur air menyebabkan turunnya kandungan O 2, ikan-
ikan (hewan air) akan mati, juga semua biota air lainnya.
4. Suplai air, tolok ukur : ketersediaan air dengan jumlah dan
kualitas yang memenuhi syarat. Pengaruh negatif :
pengambilan air terlalu banyak dapat meningkatkan intrusi air
laut, lebih jauh lagi dapat menyebabkan kekeringan.
5. Suplai sedimen, tolok ukur : ketersediaan sedimen (sebagai
bahan bangunan) dalam jumlah yang cukup. Pengaruh negatif
: sedimen yang berlebihan dapat mengurangi kapasitas
sungai (banjir), pengambilan sedimen yang berlebihan dapat
menyebabkan erosi.
Pemanfaatan sungai untuk tujuan pemenuhan kebutuhan air
irigasi dan suplai air biasanya dilakukan dengan membangun
bendung, dengan dampak negatif secara umum berupa degradasi
pada bagian sungai di sebelah hilir bangunan bendung tersebut.

64
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

BAB III
HIDRAULIKA SUNGAI
3.1. Tipe Aliran Saluran Terbuka
3.1.1. Umum

Salah satu fenomena umum yang dijumpai pada


permasalahan sungai dengan tipe pengaliran sub kritik adalah
fenomena pembendungan (back water). Sebelum mengkaji ulang

65
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

tentang fenomena pembendungan di sungai, beberapa uraian yang


perlu digunakan sebagai landasan pemahaman adalah :
1. Elemen terpenting dari sungai adalah air dan sedimen,
besarnya berubah-ubah tergantung waktu dan tempat.
2. Aliran pada sungai umumnya unsteady atau tidak tetap,
berarti bergantung pada waktu (Q/t 0). Apabila variasinya
kecil maka pada beberapa tinjauan hidraulik praktek aliran
sering dianggap steady, terutama dalam menentukan
kapasitas bangunan sungai.
3. Aliran pada sungai umumnya tiga dimensi (besar dan arah
aliran akan bervariasi dari suatu titi-ke titik yang lain). Untuk
penyederhanaan, sering dicari harga rata-ratanya, sehingga
aliran dapat satu dimensi atau dua dimensi.

Dalam berbagai tinjauan hidraulika sungai, beberapa


penyederhanaan terhadap persamaan hidraulika saluran terbuka
sering harus dilakukan. Hal ini tetap harus dilakukan sebelum
melakukan analisis praktis terhadap sungai yang ditinjau. Analisis
praktis hanya akan memberikan hasil yang dapat
dipertanggungjawabkan setelah kajian analistik (dengan berbagai
penyederhanaan) dilakukan. Salah satu penyederhanaan analisis
tersebut adalah melalui penyederhanaan dimensi aliran, yang
secara umum dapat dipisahkan seperti berikut.

66
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 3.1. Sketsa Dimensi Aliran

1. Aliran dua dimensi pada kedalaman rata-rata, misal V


(r,)
Kecepatan akan bervariasi pada arah longitudinal dan
transversal.
2. Aliran dua dimensi pada lebar rata-rata, misal V (z, )
atau V (z,r)
Kecepatan air akan bervariasi pada arah longitudinal dan
vertikal.
3. Aliran satu dimensi, pada tampang basah rata-rata
Kecepatan air akan bervariasi pada arah memanjang aliran. Pada
berbagai tinjauan hidraulika, aliran satu dimensi ini masih
banyak digunakan.

3.1.2. Persamaan Dasar

67
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Persamaan dasar aliran sungai akan merupakan persamaan-


persamaan untuk konservasi massa dan konservasi momentum.

1. Konservasi Massa (persamaan Kontinuitas)


Dapat ditinjau bahwa aliran tidak mampu mapat di dalam
suatu pias saluran terbuka untuk menjabarkan persamaan
kontinuitas, seperti pada Gambar 3.2. Pada saluran tersebut tidak
terjadi aliran masuk atau keluar menembus dinding saluran dan
alirannya adalah permanen. Apabila debit yang lewat pada
penampang potongan 3-3 besarnya sama dengan Q dan
mempunyai kedalaman aliran h pada t, maka besarnya aliran
netto yang lewat pada pias tersebut selama waktu t dapat
didefinisikan sebagai :
Q x Q x Q
Q Q t xt
x 2 x 2 x

Apabila luas penampang dipotong 1-1 adalah A dengan lebar muka


air T, maka jumlah pertambahan volume pada pias tersebut selama
t adalah :

A x t
t

Gambar 3.2. Kontinuitas Aliran Dalam Suatu Pias

68
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Prinsip kontinuitas menyatakan bahwa jumlah pertambahan


volume sama dengan besarnya aliran netto yang lewat pada pias
tersebut, sehingga dengan menggabungkan kedua persamaan
diatas, akan diperoleh persamaan sebagai berikut :
Q A
0
x t
Pada aliran tetap (steady) luas penampang basah tidak berubah
selama t, sehingga integrasi persamaan tersebut menghasilkan :
Q = konstan atau
Q1 = Q2 A1V1 = A2V2

2. Konservasi Momentum (Persamaan Momentum)


Hukum Newton II tentang gerakan menyatakan bahwa
besarnya perubahan momentum persatuan waktu pada suatu
persamaan adalah sama dengan besarnya resultante semua gaya-
gaya yang bekerja pada pias tersebut.
F = PQ.V
Berdasarkan Gambar 3.3., maka persamaan konservasi momentum
tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
P1 P2 + W Sin - Ff Fa = PQ (V2-V1)
Dengan :
P = tekanan hidrostatis
W = berat volume pada pias (1) (2)
So = kemiringan dasar saluran
Fa = tekanan udara pada muka air bebas
Ff = gaya geser yang terjadi akibat kekasaran dasar

69
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 3.3. Penerapan Dalil Momentum

Persamaan momentum sangat besar kegunaannya terutama


pada hitungan di suatu pias yang mengalami kehilangan energi,
misalnya pada loncat air. Pada keadaan tersebut prinsip konservasi
energi sudah tidak dapat dipakai lagi.

3.1.3. Aliran Steady (Permanen)


A. Distribusi vertikal kecepatan aliran

Dinamika aliran sungai sangat dipengaruhi oleh tegangan


geser di dekat dasar, dimana secara teoritis, pemahaman tegangan
geser yang terjadi dapat dilakukan dengan mengasumsikan :
1. Aliran steady, atau derivasi ke waktu = 0
2. Aliran uniform, atau derivasi ke arah searah aliran = 0
3. Aliran dua dimensi (pada arah vertikal dan tangential).
Dari asumsi atau anggapan tersebut muncul beberapa
persamaan distribusi vertikal kecepatan aliran, diantaranya
menurut Von Karman, Logaritmik, serta Power Law, seperti disajikan
pada gambar berikut.

70
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 3.4. Distribusi Vertikal Kecepatan Aliran

1. Von Karman

z
1 1
u z z h
u 1 1 0 ln
k h h z
1 1 0
h

2. Power Law
1
u z n

un
k h

3. Logaritmik
u z
un ln
k z o

Dengan :
U* = ghl = kecepatan geser, terletak pada 10 15%
kedalaman aliran (diukur dari dasar)
z = elevasi dari dasar

71
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

h = kedalaman air
k = konstanta Von Karman = 0,4
v
zo (untuk hidraulik licin)
9u

= k/30 (untuk hidraulik kasar)


v = angka kental kinematik
k = kekasaran dasar.

B. Koefisien Kekasaran C - Chezy dan n Manning

Untuk pertimbangan praktis (hidraulik kasar) dan profil lebar


(lebar sungai lebih besar dari 6 kali kedalaman rerata), tahanan
terhadap aliran atau koefisien Chezy adalah :
12 R m 12
C 18 log
k det ik
Umumnya cara penentuan k pada persamaan diatas sangat sulit,
sehingga muncul rumus Manning :
1 23 12
V R I
n
1 16
Karena VC R.I maka C R , dengan n adalah angka kekasaran
n
Manning.
Untuk sungai nilai n Manning berkisar antara 0,025 0,040
(satuan m1/3 detik), contoh lengkap besarnya nilai n Manning dapat
dilihat pada Tabel 3.1.

72
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Tabel 3.1. Nilai Koefisien n Manning Untuk Berbagai Kondisi Sungai

73
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

C. Aliran Non-Uniform (tidak seragam)

74
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Aliran tidak seragam mempunyai arti fisik suatu aliran dimana


kemiringan memanjang mua airnya dari satu tempat ke tempat lain
(arah memanjang) tidak sama. Aliran tidak seragam merupakan
suatu aliran yang banyak dijumpai pada sungai/saluran alam,
termasuk fenomena pembendungan.

D. Klasifikasi Aliran Secara Umum

Didalam praktek, banyak dijumpai berbagai kondisi atau tipe


aliran, yang umumnya dimulai dari bagian sungai yang paling terjal,
sampai bagian sungai yang paling landai. Perilaku pola aliran sangat
tergantung pada kondisi atau tipe alami sungai tersebut, misalnya
pengaruh penempatan bangunan melintang sungai (bendung,
check dam, ataupun groundsill) akan memberikan respon profil
muka air yang berlainan satu dengan yang lain. Pada Tabel 3.2.
akan diperlihatkan klasifikasi tipe aliran di sungai sesuai klasifikasi
aliran saluran terbuka menurut Fluid Mechanics and Hidraulics.

75
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Tabel 3.2. Klasifikasi Aliran Pada Saluran Terbuka

76
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

3.2. Pembendungan (backwater)

77
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Kenaikan elevasi muka air di sungai dapat disebabkan oleh


berbagai sebab, baik alami ataupun campur tangan manusia.
Secara analitis, parameter yang terpengaruh adalah hambatan
terhadap aliran (resistance to flow), dimana pada suatu besaran
debit yang sama, pertambahan hambatan terhadap aliran akan
menyebabkan pengurangan besaran kecepatan aliran, serta
kenaikan elevasi permukaan air. Kenaikan elevasi permukaan
tersebut sering disebut fenomena pembendungan atau backwater.
Fenomena pembendungan merupakan contoh praktis aliran tidak
seragam, dapat terjadi misalnya karena pembendungan sungai,
baik secara buatan (misal bendung pengairan), ataupun secara
alami (antara lain pasang surut di muara sungai, dan belokan
sungai). Kurva pembendungan atau profil muka air sungai pada
fenomena pembendungan atau profil muka air sungai pada
fenomena pembendungan umumnya diselesaikan dengan
pendekatan persamaan dibawah ini dengan sketsa pembendungan
pada Gambar 3.5. Penyelesaian persamaan tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa metode, antara lain metode langkah
standar (standard step), ataupun penyelesaian persamaan diferensi
parsial ordo dua metod Runge Kutta.

78
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 3.5. Sketsa Penggal dan Tampang Sungai


dengan Kurva Pembendungan
Pada tampang 1 dan 2 terdapat hubungan persamaan energi yang
dituliskan dalam sistem metrik (meter, kilogram, second) :
V22 V2
Y2 Y1 1
2g 2g
x1 x 2
4 4

1 2 2 P Y2 3 1 P(Y1 ) 3 1
n Q 2 2 So
2 A Y2 A Y2 A(Y1 ) A (Y1 )

Dengan :
P = keliling basah (m2)
A = luas tampang saluran (m)
= koefisien Corriolis
n = angka kekasaran Manning
V = kecepatan aliran
Q = debit aliran
g = percepatan karena gravitasi
So = kemiringan dasar saluran

3.3. Transpor Sedimen

79
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Sumber utama dari material yang menjadi endapan fluvial


adalah pecahan dari batuan kerak bumi. Peristiwa ini disebut
dengan disintregrasi yang prosesnya dapat secara fisik atau kimia.
Sebagai akibat proses tersebut adalah terbentuknya butiran tanah
dengan berbagai macam sifat yang berbeda, tergantung dari
keadaan iklim, topografi, jenis batuan, waktu dan organisme.
Tingkat terkikisnya permukaan tanah tidak hanya tergantung pada
ukuran partikelnya akan tetapi juga tergantung pada sifat fisik
bahan organik dan anorganik yang terikat bersama partikel
tersebut. Apabila partikel tanah tersebut terkikis dari permukaan
bumi atau palung sungai maka material yang dihasilkan akan
bergerak atau berpindah menurut arah aliran yang membawanya
menjadi angkutan sedimen.
Pengetahuan mengenai angkutan sedimen yang terbawa oleh
aliran sungai dalam kaitannya dengan besar aliran sungai akan
mempunyai arti penting bagi kegiatan pengembangan dan
manajement sumber daya air, konservasi tanah dan perencanaan
bangunan pengamanan sungai. Pengetahuan mengenai sedimen
akan memungkinkan untuk dilakukannya pengukuran sedimen yang
melayang terbawa aliran ataupun sedimen yang bergerak di dasar
sungai. Adanya gejala komplek pada peristiwa sedimentasi akan
menyebabkan sulitnya untuk melakukan pengukuran dan analisa
data mengenai sedimen.
Proses penghancuran atau pelapukan batuan dasar ini terjadi
oleh beberapa sebab. Pelapukan mengubahnya menjadi butir-butir
pecahan yang lebih kecil yang kemudian terangkut oleh aliran air
memasuki sungai dan terbawa sebagai sedimen pembentuk
dataran alluvial apabila terbawa luapan banjir ke luar alur dan tetap

80
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

tertinggal di luar alur setelah air surut kembali ke dalamnya, atau


terus terbawa ke muara dan mengendap membentuk dataran
delta.
Diperlukan waktu yang lama untuk sebutir sedimen mencapai
dan mengendap pada muara sungainya.Sedimen tersebut akan
mengalami proses pengendapan dan penggerusan berulang-ulang
sebelum kemudian mencapai muara sungai.
Fokus pada siklus erosi adalah angkutan sedimen hasil erosi
yang berlangsung di dalam sungai. Disini hulu sungai berfungsi
sebagai bagian pengumpul, bagian tengahnya sebagai pengangkut
dan bagian hilirnya sebagai pengendap sedimen hasil erosi dari
DPS-nya.
Bagian tengah dan bawah sungai juga disebut sebagai bagian
sungai alluvial, yaitu bagian dimana sungai itu mengalir pada
endapan yang dibentuknya sendiri, sehingga memiliki kebebasan
membentuk dasar dan alurnya sesuai kebutuhan saat itu.
Penyebab pelapukan secara alami dapat digolongkan sebagai
berikut :
1. Mekanis, pergantian suhu, baik dari musim ke musim lain
maupun harian dari siang ke malam dan sebaliknya, akan
menyebabkan batuan dasar mengalami muai susut yang
kemudian akan menimbulkan retak dan pecah menjadi bagian-
bagian dan butir-butir yang lebih kecil. Disamping perubahan
suhu, tetesan hujan yang jatuh langsung ke atas permukaan
tanah tanpa dihambat oleh tajuk atau canopy vegetasi akan
mempunyai dampak yang cukup besar untuk mampu
menghancurkan permukaan tanah menjadi pecahan-pecahan
yang lebih kecil. Tiupan angin yang membawa serta butir-butir

81
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

pasir dan debu dapat juga menjadi pengikis pada batuan-batuan


yang dilandanya, menimbulkan abrasi dan erosi.
2. Organis, akar-akar ganggang, lumut, kerakap dan tumbuhan
lainnya dalam proses pertumbuhannya akan memasuki pori-pori
dan celah-celah batuan dasar dan kemudian dapat
menyebabkan pelapukan batu-batuan dasar.
3. Zat-zat kimia, yang terdapat di alam, misalnya asam
belerang, asam klorida dan asam-asam lain, bersenyawa dengan
mineral di dalam batuan dasar membentuk garam-garam yang
mudah terlarut air hujan hingga menyebabkan pelapukan dan
menimbulkan korosi.
4. Disamping ketiga sebab alami di atas, aktivitas kehidupan
manusia misalnya pertanian, pelaksanaan konstruksi dan
penambangan bahan-bahan galian akan mampu menimbulkan
pelapukan pada batuan dasar maupun relief muka bumi.

Hasil-hasil pelapukan itu kemudian akan terangkut oleh aliran


air kedalam alur-alur aliran atau torrents untuk selanjutnya dibawa
menuju sungai, danau atau laut, atau diendapkan pada lembah
sungai dan meninggikan daratan di lokasi tersebut.

3.3.1. Pengangkutan Hasil Lapukan


Tingkat erosi dinyatakan dalam ketebalan permukaan tanah
DPS yang akan terkikis dengan satuan mm/thn atau ton/ha/thn.
Klasifikasi erosi dapat dibagi menjadi :
1. 0 1,5 mm/thn atau 0 30 t/ha/th dianggap normal
2. 1,5 3 mm/thn atau 30 60 t/ha/thn tingkat erosi sub kritis
3. 3 5 mm/thn atau 60 100 t/ha/thn tingkat erosi kritis

82
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

4. lebih dari 5 mm/thn atau > 100 t/ha/thn adalah tingkat erosi
super kritis.
Hasil lapukan ini terutama akan diangkut oleh air dan
prosesnya dapat dibedakan menjadi :
a. Erosi permukaan atau sheet erosion yaitu kikisan yang
terjadi terhadap lapisan permukaan tanah hasil pelapukan, oleh
surface runoff.
b. Erosi galur atau riil erosion yaitu perkembangan erosi
permukaan dimana aliran mulai membentuk galur-galur kecil dan
aliran cenderung terkumpul, semakin membesar volume maupun
kecepatan alirannya, dan mengiris permukaan tanah dan
membentuk galur-galur.

Gambar 3.6. Sketsa Erosi Galur

c. Erosi gully/pangkal alur atau backwards erosion. Makin


lama galur-galur akan berkembang membentuk alur yang
semakin besar, karena erosi yang ditimbulkan oleh
bertambahnya debit yang melewatinya. Erosi ini akan mengikis

83
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

dasar dan pangkal alur untuk menambah panjangnya, dalam


usahanya mencapai kelandaian aliran stabil atau stable slope.

Gambar 3.7. Sketsa Erosi Gully


d. Erosi tebing, lapisan yang terbentuk dari hasil lapukan
yang membentuk lereng akan mengalami luruhan permukaan
ataupun longsoran lereng yang cukup tebal akibat gravitasi yang
bekerja sama dengan aliran air permukaan maupun air tanah.
Pada lerng yang hampir datar 1 - 10 hasil erosinya akan
teronggok pada kaki lereng membentuk kipas atau fan timbunan
luruhan.

Gambar 3.8. Erosi Tebing Pada Lereng Datar

Pada lereng yang tidak terjal, 10 - 25 , luruhan akan


membentuk onggokan timbunan berbentuk kerucut di kaki
lereng.

84
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 3.9. Erosi Tebing Pada Lereng Tidak Terjal

Pada lereng > 25 luruhnya akan membentuk onggokan


timbunan berupa lereng yang lebih landai dari lereng aslinya.

Gambar 3.10. Erosi Tebing Pada Lereng Terjal

e. Erosi alur atau channel erosion


Walaupun pada kejadian sesungguhnya di dalam alam ini banyak
faktor-faktor yang menimbulkan komplikasi, erosi alur ini
umumnya terjadi pada waktu sungai/alur masih muda yaitu
diwaktu terbentuknya alur deras atau torrent, kecepatan aliran di
dalamnya cukup deras karena curamnya kelandaian dasar
sehingga aliran akan mempunyai daya gerus dan kapasitas
angkut sedimen yang sangat besar. Dasar aliran akan tergerus
menjadi dalam dengan akibat tebingnya akan longsor sehingga
alur melebar. Aliran akan mengangkut hasil gerusan dasar,

85
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

longsoran tebingnya maupun hasil erosi lembahnya yang


terbawa masuk bersama air runoff. Secara bertahap panjang alur
akan bertambah karena terjadinya erosi ujung alur/gully.
Kelandaian aliran akan mengecil disertai mengecilnya kapasitas
angkut dan tingkat penggerusan sehingga tercapai lereng
setimbang atau stabel slope. Pada tahap berikutnya tebing akan
makin tergerus sehingga alur melebar, dan memberikan ruang
bagi aliran air yang akan mulai membentuk rangkaian kelokan
atau meander dengan bantuan atau pengaruh percepatan
Coriolis terhadap aliran air.

Pada kondisi ini terjadi lembah sungai yang telah dewasa atau
mature. Pada kondisi akhir, apabila dapat tercapai teoritik
kelandaian aliran akan sangat kecil, sehingga aliran tidak lagi
mempunyai kapasitas angkut, tetapi sebelum kondisi ini tercapai di
alam, akan selalu terjadi proses geologi membentuk relief baru
muka bumi.

Gambar 3. 11. Erosi Alur

86
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

3.3.2. Tipe Angkutan Sedimen


Ada tiga macam angkutan sedimen yang terjadi di dalam alur
sungai, yaitu :
a. Wash load atau sedimen cuci yang terdiri dari partikel-partikel
lanau dan debu yang terbawa masuk ke dalam sungai dan
tetap tinggal melayang sampai mencapai laut, atau genangan
air lainnya. Sedimen jenis ini hampir tidak mempengaruhi
sifat-sifat sungai, walaupun jumlahnya mungkin yang
terbanyak dibanding jenis-jenis lainnya terutama pada saat-
saat permulaan musim hujan datang. Jenis sedimen ini
berasal dari proses pelapukan atau weathering process
permukaan tanah DPS yang terutama terjadi pada musim
kemarau sebelumnya.
b. Suspended load, atau sedimen layang terutama terdiri dari
pasir halus yang melayang di dalam aliran karena tersangga
oleh turbulensi aliran air. Pengaruhnya terhadap sifat-sifat
sungai tidak begitu besar. Tetapi apabila terjadi perubahan
kecepatan aliran, jenis ini dapat berubah menjadi angkutan
jenis ketiga. Gaya gerak bagi angkutan jenis ini adalah
turbulensi aliran dan kecepatan aliran itu sendiri. Disini
dikenal kecepatan pungut atau pick up velocity. Untuk
besar butiran tertentu bila kecepatan pungutnya dilampaui,
material akan melayang. Tetapi apabila kecepatan aliran yang
mengangkut mengecil dibawah kecepatan pungutnya,
material akan tenggelam kedasar aliran.
c. Bed load, adalah angkutan dasar dimana material dengan
besar butiran-butiran yang lebih besar akan bergerak

87
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

menggelincir atau translate, menggelinding atau rotate satu


diatas lainnya pada dasar sungai, gerakannya mencapai
kedalaman tertentu dari lapisan dasar sungai. Tenaga
penggeraknya adalah gaya seret drag force atau tractive
force dari aliran terhadap partikel-partikel itu. Aliran memiliki
suatu kapasitas angkut tertentu yang selalu dapat dan harus
dipenuhi oleh dasar sungai yang merupakan pemasok
material angkutan dasar ini. Terjadi suatu hubungan yang unik
antara debit sungai (Q) dan kapasitas angkut (T), sedemikian
hingga apabila Q mengecil, gaya seretnya mengecil pula,
kapasitas angkutnya-pun akan mengecil dan segera
berpengaruh pada dasar aliran.

Gambar 3.12. Gerakan Butiran Didalam Saluran Terbuka Menurut


Hjulstrom

Dasar sungai akan berfungsi sebagai pemasok dan tandon


dari material sedimen yang akan diangkut atau diendapkan oleh

88
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

aliran sesuai dengan naik atau turunnya kapasitas angkut aliran air
terhadap sedimen.

Gambar 3.13. Skema Kosentrasi Sedimen

3.3.3. Persamaan Angkutan Dasar


Sedimen merupakan sumber daya sungai dengan tingkat
potensi pada urutan kedua setelah air. Keberadaan sumber daya
sedimen dapat bermula dari pelapukan dan erosi lapisan batuan,
baik di sistem lahan maupun di sistem sungai, ataupun bermula
dari suplai gunung api aktif. Dalam kasus tertentu, fenomena
longsoran dapat merupakan sumber sedimen pada suatu sungai.
Besarnya transpor sedimen di sungai sangat dipengaruhi oleh
berbagai hal, baik alam maupun oleh campur tangan manusia.
Teori-teori yang dikembangkan untuk analisis transpor sedimen di
sungai umumnya bersifat murni dan ideal, yang penerapannya
secara praktis sangat terbatas. Pengaruh hadirnya bangunan sungai
sangat mewrnai pola kapasitas transpor sedimen (STC = Sediment
Transport Capacity). Pengertian kapasitas transpor sedimen dalam
hidraulika sungai adalah kapasitas dari sungai tersebut untuk

89
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

melewatkan sejumlah sedimen, sehubungan dengan karakter


pengaliran dan karakter sedimen pada suatu penggal sungai yang
ditinjau.
Prinsip dasar pemahaman apakah suatu sungai berada pada
fase erosi, seimbang, ataukah pengendapan, adalah didasarkan
pada besarnya transpor sedimen pada beberapa ruas atau penggal
sungai. Dalam suatu ruas sungai, akan tercapai kondisi seimbang
(stabil) apabila jumlah sedimen yang masuk ke dalam ruas tersebut
(T1) sama dengan jumlah sedimen yang terangkut keluar dari ruas
tersebut (T2). Sebaliknya apabila T1 lebih besar dari pada T2 yang
terjadi adalah pengendapan, sedangkan apabila T1 lebih kecil dari
pada T2 maka yng terjadi adalah erosi. Beberapa rumus transpor
sedimen yang dianggap pioneer dari rumus-rumus transpor
sedimen yang ada sekarang antara lain adalah :
1. Du Bois (1897)
2. Meyer-Peter & Muller (1934)
3. Shield (1937)
4. Eisntein (1950)
5. Frijlink (1952)
Sebagai contoh persamaan yang dihasilkan oleh Einstein untuk
menyatakan besarnya transpor sedimen pada suatu ruas sungai
disajikan dalam bentuk grafik non-dimensional - *. Dengan
menghitung besarnya parameter , selanjutnya akan dihitung
besarnya *, dan ditulis ke dalam hubungan persamaan dibawah ini.
d 35 Tb
Grafik Einstein
RS s (g d 35 )1,5
0,5

Dengan :
= parameter intensitas aliran

90
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

= apparent relative density = (s - w)/ w


w = rapat massa air (kg/m3)
s = rapat massa sedimen (kg/m3)
= ripple factor (C/Cd90)1,5
C = koefisien Chezy
Cd90 = koefisien Chezy pada kondisi kekasaran dasar d90
R = radius hidraulik
S = kemiringan garis energi
D35 = diameter ukuran butir, mm
* = parameter intensitas angkutan dasar, diperoleh dari
diagram Gambar 3.14, setelah nilai diperoleh
Tb = angkutan sedimen sungai per satuan lebar per satuan
waktu (n/m.detik)

Gambar 3.14. Hubungan Antara - *, menurut Einstein

Di dalam praktek analisis angkutan dasar sungai, kesulitan yang


dihadapi antara lain cara pengambilan sampling sedimen dasar

91
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

sungai untuk penetapan diameter butir yang mewakili analisis.


Selain itu angkutan sedimen sungai tidak hanya dalam bentuk
angkutan dasar saja, melainkan ada yang dalam bentuk angkutan
suspensi (suspended load) serta angkutan wash load. Apabila
tersedia data hasil pengamatan yang dilakukan dengan metoda
yang handal serta jumlah pengamatan yang relatif banyak, maka
untuk suatu sungai dapat disajikan kurva yang menunjukan
hubungan antara besarnya angkutan dasar dengan angkutan
suspensi maupun wash load. Bahkan sering informasi tentang
karakteristika angkutan sedimen di suatu sungai disajikan dalam
bentuk kurva hubungan antara debit sungai dengan debit sedimen
total.

92
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

BAB IV
SURVEY SUNGAI
4.1. Pengertian Umum

Survey sungai, pada umumnya bertujuan untuk mengenal


dan memahami perilaku sungai, mencari data kemungkinan
pemanfaatan sungai dan meneliti kemungkinan pengendalian
sungai pada kondisi normal dan ekstrem. Survey sungai juga dapat
dilakukan untuk suatu tujuan khusus, misalnya untuk menyelidiki
suatu problem sungai yang berkaitan dengan hidraulik dan
morfologi sungai.
Setiap survey terdiri dari langkah-langkah :
a. Pengumpulan data
b. Pengolahan dan analisis data
c. Penyimpulan hasil survey

93
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Ketiga langkah tersebut saling terkait. Kualitas hasil survey


ditentukan oleh kualitas tiga langkah tersebut. Setiap langkah yang
direncanakan dan dilaksanakan dengan baik akan memberikan
hasil survey yang baik pula. Sebaiknya, satu langkah yang tidak
direncanakan atau tidak dilaksanakan dengan baik tidak akan
menjamin perolehan hasil survey yang memuaskan.

4.2. Faktor Pengaruh dalam Survey Sungai

Perencanaan dan pelaksanaan survey harus memperhatikan


faktor-faktor berikut :
a. Luas daerah survey
b. Keragaman data yang diperlukan
c. Kerapatan titik pengukuran
d. Frekuensi pengukuran
e. Periode atau jangka waktu pengukuran
f. Waktu pengukuran dalam kaitannya dengan regim sungai
g. Akurasi pengukuran
h. Metode pengolahan data

Faktor pertama diatas, yaitu luas daerah survey, pada


dasarnya ditentukan oleh panjang ruas sungai yang menjadi daerah
studi. Namun perlu diperhatikan bahwa muka air dan perubahan
morfologi ruas sungai yang dijadikan lokasi studi tersebut dapat
dipengaruhi oleh kondisi di hilir maupun di hulunya. Oleh karena itu,
ruas sungai yang disurvey dapat lebih panjang dari pada ruas
sungai yang distudi.

94
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Hampir di setiap studi mengeni sungai diperlukan pembuatan


peta sungai dan pengumpulan data informasi mengenai regim
sungai, elevasi muka air, elevasi dasar sungai, debit transpor
sedimen, dan kemungkinan juga kualitas air. Aspek yang terakhir
ini, dalam kaitannya dengan jembatan, tidak diperlukan untuk
ditinjau. Akurasi peta dan pengukuran, serta jumlah data yang perlu
diperoleh, bergantung pada sifat dan tujuan studi. Survey untuk
studi tahap perancangan awal berbeda dengan survey untuk studi
tahap perancangan akhir.
Kerapatan titik pengukuran ditentukan dari panjang ruas
sungai yang disurvey, waktu yang dialokasikan untuk survey, dan
kemampuan tim survey. Data hasil survey terdahulu dapat dipakai
tetapi keandalannya perlu diteliti ulang dengan seksama. Dalam hal
debit sungai, umumnya data curah hujan tersedia dengan panjang
data yang cukup namun untuk waktu sebelum waktu data debit.
Dengan adanya teori hidrologi yang telah berkembang, data curah
hujan dapat ditransformasikan menjadi data debit.
Akurasi pengukuran dapat diperoleh dengan memperhatikan
setiap kemungkinan sumber kesalahan dalam survey. Dengan cara
ini, pengukuran dapat dilakukan dengan cara yang tepat sehingga
akurasi setiap langkah pengukuran, dan dengan demikian akurasi
seluruh pengukuran, dapat dipertahankan.
Kesalahan dalam survey sungai dibedakan menjadi kesalahan
sistematik dan kesalahan random (stokastik). Kedua kesalahan
tersebut dapat bersumber dari instrumen yang dipakai atau dari
metode pengukuran dan pengolahan data. Apabila sumber
kesalahan diketahui, maka akurasi pengukuran dapat
diperkirakan/dihitung. Pada dasarnya, akurasi pengukuran dapat

95
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

diperoleh apabila dilakukan perawatan dan kalibrasi instrumen


dengan baik, pengawasan alat ukur, titik bantu, dan titik tetap
(bench mark), pencegahan kesalahan petugas dengan pemberian
petunjuk dan instruksi yang jelas, demikian juga pemakaian formulir
standar.

4.3. Jenis Survey Sungai

Survey sungai sangat bervariasi, tergantung tujuan dan data


yang diperlukan. Jenis survey yang umum dilakukan antara lain
adalah :
1. Pemetaan
2. Pengukuran dasar sungai
3. Pengamatan duga muka air
4. Pengukuran kecepatan arus
5. Pengukuran sedimen
6. Pengamatan kualitas air sungai.

4.3.1. Pemetaan Sungai

Pemetaan topografi sungai dimaksudkan untuk mendapatkan


peta sungai yang berupa : peta situasi serta gambar tampang
memanjang dan melintang sungai. Pemetaan ini umumnya
dilakukan melalui pengukuran situasi, sipat datar, dan pengukuran
kedalaman sungai. Pengukuran situasi dimaksudkan untuk
memperoleh peta situasi di kedua sisi alur sungai. Lebar kawasan di

96
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

kedua sisi sungai yang dipetakan bergantung pada keperluan. Pada


pemetaan situasi tersebut sekaligus dilakukan pengikatan titik basis
sounding terhadap titik tetap yang dipakai sebagai titik referensi
geometri. Pengukuran sipat datar dilakukan untuk mengikatkan
elevasi muka air dan dasar sungai terhadap titik tetap referensi
geometrik.
Pengukuran kedalaman sungai merupakan bagian terpenting
dalam pengukuran tampang melintang dan tampang memanjang
sungai. Pengukuran kedalaman sungai ini dikenal sebagai sounding.
Untuk sungai yang sangat dangkal, dimana orang masih dapat
berdiri di sungai tanpa kesulitan, sounding dapat dilakukan dengan
pengukuran sipat datar. Pada pengukuran ini, seperti halnya
pengukuran sipat datar umumnya, dasar sungai ditetapkan dengan
pengukuran beda tinggi umumnya, dasar sungai ditetapkan dengan
pengukuran beda tinggi antara titik sounding dengan titik referensi
ketinggian yang telah ditetapkan. Instrumen utama yang dipakai
dalam pengukuran sipat datar adalah alat ukur sipat datar
(waterpas) dan bak ukur. Cara pengukuran ini dapat dikatakan
merupakan pengukuran langsung, dimana elevasi dasar sungai
dapat diketahui tanpa pengamatan duga muka air.
Untuk sungai-sungai yang dalam, pengukuran beda tinggi
tidak dapat dilakukan. Untuk kondisi ini, dasar sungai diukur
sebagai beda tinggi antara dasar sungai dan muka air. Instrumen
yang dipakai adalah sebuah batang kayu berskala, seperti papan
duga. Di bagian ujung bawah batang tersebut diberi plat untuk
menjaga agar batang tidak melesak kedalam dasar sungai dan juga
sebagai alas agar batang dapat berdiri tegak. Pembacaan batang
ukur pada dasarnya adalah pembacaan duga muka air. Oleh karena

97
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

itu, pada sounding cara ini, pengamatan duga muka air harus
dilakukan selama pekerjaan sounding. Batang ukur dapat juga
diganti dengan tali atau rantai ukur yang diberi beban di ujung
bawahnya. Pada praktek sounding, cara pengukuran ini dikenal
dengan nama colokan.
Untuk sungai-sungai yang lebih dalam lagi dan juga sungai
dengan kecepatan arus besar, kedua cara diatas tidak mungkin
dilakukan. Pada kondisi ini, sounding dilakukan dengan instrumen
yang prinsip kerjanya adalah perambatan gelombang suara.
Instrumen ini dikenal sebagai echo sounder. Dengan cara ini,
kedalaman dasar sungai diukur berdasarkan waktu tempuh
gelombang suara dari instrumen (yang dipancarkan melalui
transducer) kedasar sungai dan kembali ke instrumen. Pada praktek
sounding, cara ini sering masih dilengkapi dengan cara sounding
dengan batang ukur. Hal ini dilakukan di bagian-bagian sungai yang
dangkal, misalnya dibagian pinggir, dimana tidak cukup ruang
untuk transducer atau untuk manuver kapal.

98
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.1. Peta Batimetri S. Mahakam, Kalimantan Timur

99
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.2. Contoh Gambar Tampang Melintang S. Mahakam

100
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.3. Gambar Tampang Memanjang S. Mahakam

101
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

4.3.2. Pengamatan Duga Muka Air

A. Cara Pengamatan dan Manfaat Data Duga Muka Air


Duga muka air diamati dengan dua cara, yaitu dengan
pengamatan langsung atau pencatatan automatik. Pengmatan
langsung dilakukan dengan peralatan duga muka air atau sering
disebut dengan papan duga (staf gauge) atau peilschaal.
Pemilihan cara pengamatan ditentukan berdasarkan faktor
teknik dan ekonomi. Sebagai contoh, apabila diperlukan data
menerus (kontinu), maka diperlukan cara pengamatan dengan
pencatat automatik. Demikian pula apabila lokasi stasiun
pengamatan sangat terpencil, maka pemakaian pencatat automatik
perlu dipertimbangkan. Sebaliknya apabila data duga muka air
cukup berupa data harian dan lokasi stasiun pengamatan berada di
dekat pemukiman, maka cukup dipakai pengamatan dengan papan
duga.
Pengamatan duga muka air dengan cara pembacaan
langsung papan duga sangat murah dilaksanakan. Papan duga
cukup murah dan mudah pemasangannya. Namun perlu diingat
bahwa cara pengamatan langsung ini memiliki banyak
kemungkinan kesalahan, terutama kesalahan pembacaan oleh
petugas (human errors), baik kesalahan ketelitian maupun waktu
pembacaan. Oleh karena itu, pengamatan duga muka air dengan
papan duga memerlukan petugas yang disiplin dan teliti.
Data duga muka air bermanfaat antara lain sebagai berikut :
1. Pembuatan hidrograf, yaitu grafik hubungan antara
duga muka air terhadap waktu untuk satu periode tahun

102
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

hidrologi. Satu seri hidrograf tahun-tahun berurutan dapat


disusun menjadi kurva durasi yang menunjukan probabiliti
kejadian suatu duga muka air tertentu, atau dengan bantuan
kurva ukur (rating curve) menunjukan probabiliti kejadian suatu
nilai debit tertentu. Perbandingan hidrograf-hidrograf dari
berbagai stasiun pengamatan sepanjang ruas sungai dapat
dipakai untuk menunjukan perjalanan dan deformasi gelombang
banjir.
2. Pembuatan kurva ukur debit, yaitu grafik hubungan
antara duga muka air dengan debit. Kurva ukur debit ini
merupakan kombinasi antara data duga muka air terhadap
waktu dengan data debit terhadap waktu.
3. Peramalan banjir, baik debit maupun duga muka air
banjir. Debit dan duga muka air banjir diperlukan untuk
keperluan perancangan perlindungan tebing dan pilar jembatan.
Duga muka air banjir juga diperlukan untuk penetapan elevasi
dasar jembatan dimana jembatan harus aman terhadap
terjangan dan genangan air banjir.
4. Kepeluan lain misalnya : dalam manajemen air.

B. Penempatan Stasiun Pengamatan


Stasiun pengamatan duga muka air sebaiknya ditempatkan di
lokasi dimana diperkirakan akan terjadi perubahan debit secara
mendadak, misalnya di hilir percabangan atau pertemuan sungai,
atau dimana diperkirakan terjadi perubahan muka air. Jarak antar
stasiun dalam satu ruas sungai umumnya cukup jauh, dapat
mencapai puluhan kilometer.

103
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Penempatan stasiun pengamatan duga muka air dilakukan


dengan pertimbangan faktor-faktor berikut ini :
1. Stasiun pengamatan duga muka air tidak boleh
ditempatkan tepat di hulu pertemuan sungai. Di tempat ini
pengaruh pembendungan (backwater efect) menyebabkan
hubungan antara debit dan duga muka air tidak selalu tetap
sehingga kurva ukur debit yang diperoleh tidak memadai.
2. Stasiun pengamatan duga muka air tidak boleh
ditempatkan di ruas sungai dimana diperkirakan terjadi
degradasi atau agradasi akibat percepatan atau perlambatan
aliran sungai. Perubahan dasar sungai mempengaruhi muka air
sehingga hubungan debit dan duga muka air akan terganggu.
3. Stasiun pengamatan duga muka air sebaiknya
ditempatkan di ruas sungai yang relatif lurus untuk menghindari
adanya ketidaknormalan kemiringan muka air (kemiringan muka
air tegak lurus as sungai), terutama pada saat terjadi banjir.
Apabila stasiun pengamatan duga muka air terpaksa
ditempatkan di belokan sungai, maka perlu diusahakan
penempatannya di dekat kedua tebing sungai sehingga yang
diukur adalah duga muka air rata-rata di tampang sungai
tersebut.
4. Panjang/kedalaman alat pengamat harus mampu
mengukur seluruh kemungkinan variasi duga muka air.
5. Referensi tinggi duga muka air sebaiknya terikat
terhadap titik tetap (becnhmark) yang berlaku di sungai
tersebut.
6. Stasiun pengamatan duga muka air harus dapat
dicapai dengan mudah bahkan pada waktu terjadi banjir.

104
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

7. Stasiun pengamatan duga muka air sebaiknya


tidak ditempatkan di lokasi dimana angin, turbulensi, dan
gelombang cukup besar sehingga menyulitkan
pengamatan/pembacaan.

C. Instrumen
Instrumen pengamat duga muka air sangat beragam jenisnya
dengan kenampakan dan cara pengoperasian yang beragam pula.
Jenis instrumen yang dimaksud adalah :
1. Papan duga (staf gauge, peilschaal)
2. Pelampung (float gauge) dengan berbagai variasinya
antara lain : jenis rantai (chain gauge), kawat (wire gauge),
anchor tape gauge.
3. Tekanan air (pneumatic gauge).
4. Elektro-magnetik (electro-magnetic gauge).
5. Pencatat automatik (automatic water level recorder-
AWLR)

C.1. Papan Duga


Papan duga merupakan instrumen pengamat duga muka air
yang paling sederhana. Papan duga umumnya berupa plat dengan
skala ukur yang ditempelkan di tempat yang kuat, misalnya dinding,
tiang, atau pilar jembatan. Untuk mencegah ketidaktelitian
pembacaan akibat gerak muka air oleh gelombang, papan duga
ditempatkan di suatu tabung gelas atau pipa pralon yang diberi
perforasi.
Papan duga kadang ditempatkan dalam posisi miring,
misalnya di tebing sungai. Dengan cara ini, papan duga tidak

105
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

mengganggu lalu lintas kapal atau tertabrak batang atau sampah


yang lewat. Namun demikian, posisi papan duga miring menyulitkan
pembacaan muka air, terutama pada kondisi muka air yang selalu
bergerak karena gelombang.
Meski ketelitian pembacaan sangat bergantung pada petugas,
papan duga merupakan satu-satunya instrumen pengamat duga
muka air yang dapat dibaca langsung dan dapat dilakukan setiap
saat.

Gambar 4.4. Skema Pengamatan Duga Muka Air Dengan Papan


Duga

C.2. Pelampung (Float gauge)


Jenis instrumen pengamat duga muka air pelampung antara
lain adalah chain gauge, wire gauge, dan achor gauge. Prinsip
instrumen ini adalah pelampung yang ditempatkan di muka air,
yang bergerak sesuai gerak muka air. Pembacaan dilakukan pada
skala yang berada di darat.

106
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.5. Instrumen Pengamat Duga Muka Air Jenis Wire Gauge

C.3. Tekanan (pneumatic gauge)


Jenis instrumen pengamat duga muka air yang berdasarkan
tekanan air antara lain adalah jenis diafragma dan jenis gelembung
air.
Pada jenis instrumen dengan diafragma terdapat diafragma
metal yang ditempatkan pada elevasi/kedalaman tertentu dalam
aliran. Tekanan air terhadap diafragma menunjukan tinggi kolom air
diatas diafragma. Diafragma dihubungkan dengan sebuah
manometer melalui pipa metal. Skala manometer dikalibrasikan
menjadi duga muka air. Mengingat sistem instrumen seluruhnya
tertutup, maka perubahan temperatur dan tekanan udara dapat
mengakibatkan kesalahan.
Jenis instrumen dengan gelembung udara didasarkan pada
pengukuran tekanan yang diperlukan untuk melawan tekanan air
sehingga terbentuk gelembung udara. Dibandingkan dengan jenis
instrumen dengan diafragma, instrumen ini memiliki keunggulan
yaitu tidak berpengaruhnya temperatur dan tekanan udara. Akan

107
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

tetapi apabila terjadi perubahan muka air yang cepat, keandalan


instrumen ini berkurang.

Gambar 4.6. Instrumen Pengamat Duga Muka Air Pneumatik Jenis


(a) Diafragma dan (b) Gelembung Udara

C.4. Elektro-Magnetik (electro-magnetic gauge)


Instrumen pengamat duga muka air elektro-magnetik
didasarkan pada prinsip echo-sounding terbalik. Pada echo-
sounding, gelombang elektromagnetik dikirimkan ke dasar sungai,
sedang pada instrumen ini, gelombang elektro-magnetik dikirimkan
ke permukaan air. Suatu oskilator berfrekuensi tinggi ditempatkan di
kedalaman tertentu dibawah muka air di dalam suatu sumur atau
tabung penenang. Gelombang elektro-magnetik dari oskilator ini
dikirimkan di permukaan air yang akan dipantulkan oleh permukaan
air dan diterima kembali oleh oskilator. Selang waktu tempuh

108
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

gelombang elektro-magnetik tersebut dari sejak pengiriman sampai


penerimaan pantulan kemudian diubah menjadi duga muka air.

Gambar 4. 7. Instrumen Pengamat Duga Muka Air Jenis Elektro-


Magnetik

C.5. Pencatat Muka Air Automatik (automatic water level


recorder-AWLR)
Jenis-jenis instrumen pengamat duga muka air di atas, kecuali
papan duga, dapat dikembangkan menjadi pencatat muka air
automatik. Selain jenis pneumatik, pengamatan duga muka air
dilakukan melalui sumur atau pipa penenang yang meredam
fluktuasi muka air akibat gelombang atau turbulensi. Kedalaman
sumur penenang harus mencakup duga muka air minimum dan
maksimum. Jenis instrumen pneumatik terutama dipakai di tempat-
tempat dimana pembuatan sumur penenang sangat mahal, atau
dimana diperkirakan alur sungai akan bergeser.
Lubang atau intake yang menghubungkan sumur penenang
dan sungai harus dirancang cukup kecil sehingga fluktuasi muka air

109
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

di sungai teredam, namun harus cukup besar sehingga perubahan


muka air yang cepat masih dapat terekam dengan baik dan
terhindar dari kemungkinan tertutup sedimen.

Gambar 4.8. Skema Pengamatan Duga Muka Air dengan AWLR

Instrumen perekam data duga muka air berupa sistem analog


atau digital. Sistem perekaman ini umumnya dapat berjalan secara
automatik dalam waktu yang cukup lama, antara 1 minggu sampai
3 bulan. Selama waktu tersebut, tidak diperlukan penggantian
kertas atau pena perekam.
Sistem perekam analog menyajikan grafik atau kurva
kenaikan atau penurunan nyata muka air terhadap waktu.
Perekaman berlangsung pada selembar kertas yang digulungkan
pada suatu silinder yang digerakan oleh jam. Satu putaran silinder
merupakan satu periode pengamatan antara 1 minggu sampai 3
bulan.

110
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Pada saat ini, dikenal sistem telemetering dimana data duga


muka air dari stasiun pengamatan di tempat terpencil dan jauh
dikirimkan ke kantor melalui transmisi kabel, telephone, atau radio.
Transmisi data dapat dilakukan secara kontinu atau pada saat-saat
tertentu berdasarkan perintah dari kantor.

111
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.9. Instrumen Pengamatan Duga Muka Air Automatik


(AWLR)

C.5.1. Pengolahan Data


Pengolahan data pengamatan duga muka air umumnya
menyangkut pemilahan duga muka air minimum dam maksimum
bulanan atau tahunan, serta hitungan duga muka air rata-rata untuk
periode tertentu. Data duga muka air selanjutnya dapat diolah
untuk mendapat hidrograf atau kurva durasi duga muka air.
Hidrograf merupakan grafik plot data duga muka air terhadap
waktu yang umumnya mencakup satu tahun hidrologi tertentu.
Suatu hidrograf mencerminkan informasi regime sungai selama
tahun hidrologi tersebut. Apabila di suatu stasiun pengamatan
terdapat beberapa hidrograf untuk suatu seri tahun-tahun yang
berurutan, maka dapat diketahui probabilitasnya kejadian suatu
nilai duga muka air tertentu disamai atau dilampaui.
Analisa probabilitas suatu duga muka air disamai atau
dilampaui dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah
dengan menunjukan variasi duga muka air yang terjadi pada suatu
hari tertentu selama beberapa tahun yang ditinjau. Contoh analisis
dengan cara ini ditunjukan dengan Gambar 4.11. Dari gambar
tersebut dapat diketahui hal-hal sebagai berikut :
1. Duga muka air rata-rata setiap harinya selama tahun-
tahun yang ditinjau adalah sesuai dengan kurva dengan
probabilitas 50 %.

112
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

2. Pada suatu tertentu, misal 1 Mei, duga muka air rata-rata


adalah 1,5 m; probabilitas duga muka air lebih rendah dari pada
0,75 m adalah 10 %; dan lebih rendah dari pada 2,5 m adalah
90%.
Cara analisis kedua adalah dengan pembuatan kurva durasi duga
muka air yang dapat memberikan estimasi probabilitas kejadian
berbagai nilai duga muka air. Estimasi ini didasarkan pada jumlah
hari dalam seri tahun yang ditinjau nilai duga muka air tersebut
dilampaui, dibagi dengan jumlah tahun dalam seri tersebut. Sebagai
contoh analisis cara ini diperlihatkan pada Gambar 4.12. Dari
gambar tersebut dapat diketahui bahwa selama 75% dari jumlah
tahun data, duga muka air di stasiun yang ditinjau adalah lebih
rendah dari pada 2,75 m selama 165 hari atau lebih.

Gambar 4.10. Contoh Hidrograf Duga Muka Air.

113
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

114
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.11. Contoh Kurva Probabilitas Duga Muka Air

115
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.12. Contoh Kurva Durasi Duga Muka Air

C.5.2. Akurasi
Ketidaktelitian dan kesalahan dalam pengamatan duga muka
air disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
1. Ketidakcermatan rancangan dan pemasangan instrumen
(pelampung, kawat penggantung, pena, kertas, dan sebagainya).
2. Ketidak-cermatan perawatan instrumen dan stasiun.
3. Perubahan temperatur dan kelembaban udara yang dapat
mengurangi akurasi instrumen.

116
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

4. Kesalahan petugas (human error) misalnya; kesalahan atau


ketidaktepatan pembacaan, pemasangan pena, kertas, dan
pelampung, dan sebagainya.

Ketelitian yang dapat diharapkan dari pengamatan duga


muka air dengan instrumen automatik berkisar antara 1- 2 cm,
terutama dengan pemakaian sumur atau pipa penenang. Ketelitian
pengamatan dengan papan duga berkisar antara 1- 5 cm, bahkan
dapat kurang pada kondisi muka air dengan gelombang.
Ketelitian yang diperlukan bergantung pada pemakaian data
duga muka air. Ketelitian 1- 2 cm telah memadai untuk keperluan
pembuatan hidrograf, kurva durasi duga muka air, dan kurva ukur
debit. Untuk keperluan penentuan kemiringan muka air, ketelitian
yang diperlukan berkisar antara 0,1 0,5 cm, sedangkan untuk
keperluan navigasi ketelitian yang diperlukan cukup 5 10 cm.

4.3.3. Pengukuran Kecepatan Arus

1. Cara Pengukuran
Pengukuran kecepatan arus dimaksudkan untuk mendapatkan
nilai debit. Kecepatan arus juga diperlukan untuk keperluan studi
model, baik model fisik maupun model matematik. Untuk keperluan
penentuan debit, pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut :
a) Cara kecepatan-luas (velocity-area- method). Luas
tampang aliran ditentukan dari pemetaan (sounding), kecepatan
rata-rata ditentukan dari pengukuran kecepatan aliran di titik-
titik pengukuran yang tersebar di seluruh tampang. Debit

117
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

kemudian dihitung dengan persamaan Q = ( u.A s ). Pengukuran


kecepatan aliran harus dilakukan pad kondisi aliran permanen.
b) Cara kapal gerak (moving-boat method). Apabila cara
pertama diatas tidak dapat dilaksanakan, misal tampang sungai
terlalu lebar atau aliran bersifat tak permanen, maka cara kapal
gerak dapat dilakukan. Dalam cara ini, kapal bergerak tegak
lurus as sungai sambil melakukan sounding dan di titik-titik
tertentu melakukan pengukuran besar dan arah kombinasi
kecepatan aliran dan laju kapal. Setiap pengukuran kecepatan
dilakukan dengan currentmeter di kedalaman tetap. Dengan cara
ini, luas tampang dan kecepatan rat-rata dapat diketahui dan
debit dapat dihitung. Cara ini disebut juga cara kecepatan-luas
dinamik (dynamic velocity-area method).
c) Cara kemiringan-luas (slope-area method). Cara ini dipakai
untuk menghitung debit maksimum banjir pada suatu kejadian
banjir. Prinsip cara ini adalah pengukuran kemiringan muka air
berdasarkan duga muka air di dua atau lebih stasiun serta luas
tampang aliran pada saat banjir tersebut. Dengan
memperkirakan koefisien kekasaran dasar, maka kecepatan rata-
rata dapat dihitung dan selanjutnya debit dapat ditentukan.
Ketelitian cara hitungan debit ini rendah.
d) Cara dilusi (dilution method). Cara ini dilakukan dengan
mengalirkan suatu zat terencer (tracer) di stasiun hulu dan
sampai diambil di stasiun hilir pada waktu-waktu tertentu. Debit
aliran dapat ditentukan berdasarkan jumlah zat terencer yang
dialirkan dan kosentrasi zat tersebut di stasiun hilir. Pada cara ini
disyaratkan zat terencer telah tersebar merata di stasiun hilir.
Hal ini membatasi pemakaian cara dilusi. Di daerah pegunungan

118
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

atau di daerah torrent, dimana aliran sangat turbulen, cara ini


dapat memberikan hasil yang sangat teliti.
Pengukuran-pengukuran hidraulik untuk penentuan debit,
umumnya dilakukan dalam satu rangkaian seri pengukuran untuk
beberapa duga muka air. Pengukuran tampang sungai harus
dilakukan tegak lurus arah arus dan lokasi pengukuran harus dipilih
dimana arus terdistribusi merata di seluruh tampang. Disamping
itu, pengamatan duga muka air harus dilakukan di dekat tempat
tersebut dan pengamatan dilakukan selama pengukuran debit.
Pemilihan cara dan instrumen pengukuran ditentukan oleh
kondisi setempat dan ketelitian yang diinginkan. Dalam
mempertimbangkan pemilihan instrumen, beberapa aspek berikut
perlu diperhatikan :
a) Ketersediaan sumber listrik untuk pengoperasian
instrumen.
b) Ketersediaan cuku cadang.
c) Kemampuan personel untuk melakukan
perbaikan minor dan keberadaan bengkel setempat untuk
perbaikan besar.
d) Fasilitas untuk kalibrasi instrumen.
e) Dimensi dan berat instrumen, terutama dalam
kaitannya dengan ukuran kapal survey.

2. Instrumen
a. Pelampung , merupakan instrumen pengukur kecepatan
arus yang paling sederhana. Kecepatan arus diukur dengan
waktu yang ditempauh pelampung antara dua titik dengan jarak
tertentu. Contoh beberapa jenis pelampung untuk pengukuran
kecepatan arus disajikan pada gambar dibawah ini.

119
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.13. Contoh Beberapa Jenis Pelampung


Untuk Pengukuran Kecepatan Arus

Kelemahan pelampung permukaan adalah bahwa instrumen ini


hanya mengukur kecepatan arus permukaan dan sangat
terpengaruh angin. Instrumen yang lebih baik adalah pelampung
bawah permukaan. Berbagai jenis pelampung memiliki faktor
konversi 0,85 0,95 untuk mengubah kecepatan arus terukur
dan kecepatan arus rata-rata.

b. Currentmeter bandul (pendulum currentmeter), terdiri


dari bandul yang digantungkan pada kabel. Pada waktu
dimasukan kedalam arus, bandul akan terdorong dan kabel akan
membentuk sudut terhadap vertikal. Besar sudut menunjukan
kecepatan arus di titik dimana bandul berada. Kabel yang berada
di bawah permukaan air akan melengkung akibat tekanan arus.
Hal ini harus dipertimbangkan dalam penentuan kecepatan arus.
Di setiap titik pengukuran, pembacaan kecepatan arus harus
menunggu sampai bandul stabil. Arah kecepatan arus diukur
dengan sudut simpangan bandul terhadap bidang horizontal.
Besaran kecepatan arus yang dapat diukur dengan instrumen ini

120
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

bergantung pada jenis bandul. Dengan bandul yang baik,


instrumen ini dapat mengukur kecepatan arus 0,05 3,5 m/s.

c. Currentmeter Mangkuk dan Baling-Baling (cup-and


propeller-type currentmeter), dimana prinsip dasarnya adalah
perbandingan antara kecepatan arus lokal dan kecepatan sudut
rotor. Jumlah putaran rotor diukur dengan sirkuit listrik. Aliran
listrik akan terputus-putus dan ini dialirkan ke instrumen
penghitung (counter) akustik atau listrik. Ada dua jenis
currentmeter ini, yaitu jenis sumbu vertikal atau jenis mangkuk
dan sumbu horizontal atau jenis baling-baling. Pada pengukuran,
currentmeter ditempatkan pada batang besi atau digantungkan
pada kabel. Pada aliran dangkal, batang besi dapat dipakai,
sedang pada sungai besar dengan aliran dalam, diperlukan kabel
untuk menahan currentmeter. Apabila aliran cukup dalam dan
kecepatan arus besar, diperlukan pemberat untuk menahan
currentmeter agar simpangan terhadap bidang vertikal sekecil
mungkin. Mengingat arah arus berfluktuasi, maka sumbu
currentmeter umumnya sedikit menyimpang dari arah arus
sebenarnya. Oleh karena itu, perbandingan antara kecepatan
sudut rotor dan komponen u cos kecepatan arus harus tidak
bergantung pada simpangan yang besar. Namun demikian
instrumen jenis ini telah dibuat oleh pabrikan sedemikian hingga
bahkan untuk kecepatan arus 6 m/s dan simpangan smpai 50,
perbandingan antara dan u cos dapat dipertahankan dengan
kesalahan kurang dari pada 1%. Instrumen currentmeter jenis ini
membutuhkan kalibrasi yang teliti, dan kalibrasi umumnya telah
dilakukan oleh pabrikan. Kalibrasi currentmeter tipe mangkuk

121
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

dan baling-baling harus dilakukan di laboraturium, tidak dapat di


lakukan di lapangan.

Gambar 4. 14. Contoh Currentmeter Jenis Mangkuk

3. Penentuan Debit
a. Cara kecepatan luas (velocity area method)
Penentuan debit cara kecepatan luas didasarkan pada
persamaan debit berikut :
m
Q b jh ju j
i 1

122
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Persamaan diatas menunjukan bahwa tampang aliran dibagi


menjadi sejumlah m pias dengan lebar b j, kedalaman rata-rata hj
dan kecepatan rata-rata dianggap uj. Pemilahan tampang aliran
menjadi pias-pias sangat penting. Teoritis, hasil hitungan debit yang
teliti akan didapat apabila setiap pias memiliki debit yang sama.
Akan tetapi, karena debit tiap pias tidak diketahui sebelumnya,
maka pemilahan pias dilakukan dengan cara pendekatan. Oleh
karena itu, umumnya dilakukan pemilahan tampang aliran menjadi
pias-pias dengan lebar yang seragam.

Gambar 4.15. Pias-Pias Dalam Hitungan Debit Cara kecepatan Luas

Kecepatan arus rata-rata ditentukan dengan tiga cara, yaitu


cara titik (point method), cara integrasi, dan cara semi integrasi.
Point method dilakukan dengan pengukuran kecepatan arus di
beberapa titik di setiap vertikal, pada waktu-waktu tertentu.
Umumnya jumlah titik pengukuran di setiap vertikal adalah 3,5,
atau lebih bergantung pada kedalaman aliran dan ketelitian yang
diperlukan. Untuk 3 titik pengukuran, pengukuran dilakukan di
kedalaman 0,2h, 0,6h, dan 0,8h, dan kecepatan rata-rata di vertikal
dihitung dengan persamaan berikut :
u i 14 (u 0,2h 2u 0,6h u 0,8h )

Cara integrasi dilakukan dengan pengukuran kecepatan arus di


setiap vertikal dengan currentmeter yang digerakkan sepanjang

123
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

vertikal dengan kecepatan konstan 2 4 cm/s. Kelemahan cara ini


adalah tidak diperolehnya informasi mengenai distribusi kecepatan
arus arah vertikal. Kelemahan ini dapat dihapus dengan cara semi-
integrasi dimana kecepatan arus diukur di setiap interval 0,2m
dalam selang waktu yang pendek. Dalam kedua cara ini, jumlah
putaran rotor menunjukan besaran debit yang melalui pias dalam
vertikal yang ditinjau.
Ketelitian penentuan debit dengan cara kecepatan luas ini
dipengaruhi oleh kesalahan yang terjadi. Dalam cara ini, 3 besaran
yang lebar, kedalaman, dan kecepatan arus diukur. Pengukuran
lebar dan kedalaman mengandung kesalahan random sampling,
sedang kesalahan pengukuran kecepatan arus bersumber pada
kesalahan random sampling, fluktuasi kecepatan, dan cara hitungan
kecepatan rata-rata.
Berdasarkan penelitian, faktor-faktor berikut ini berpengaruh
terhadap ketelitian penentuan debit dengan cara kecepatan luas.
1. Jumlah vertikal, paling tidak diperlukan 20 vertikal untuk
setiap tampang pengukuran. Hal ini berlaku baik untuk
sungai lebar maupun sungai kecil.
2. Jumlah titik pengukuran di setiap vertikal. Titik pengukuran
yang hanya 1 harus dihindari. Semakin banyak jumlah titik
pengukuran di setiap vertikal, akan didapat kecepatan rata-
rata yang lebih mendekati nilai sebenarnya. Namun demikian
jumlah titik pengukuran tidak banyak berpengaruh terhadap
kesalahan total dalam penentuan debit.
3. Waktu (lama) pengukuran, umumnya waktu pengukuran di
setiap titik adalah 30 detik. Apabila jumlah titik pengukuran di

124
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

suatu vertikal lebih dari 4, waktu pengukuran dapat


diperpendek, tetapi minimum 10 detik.

b. Cara kapal gerak (moving-boat method)


Pada pengukuran kecepatan arus cara kapal gerak ini, kapal
survey bergerak sepanjang jalur yang berimpit dengan garis
tampang sungai. Pengukuran dilakukan di interval tertentu
sepanjang jalur tersebut tanpa kapal berhenti. Data yang diukur
terdiri dari kombinasi kecepatan kapal dan kecepatan arus, sudut
yaitu arah kombinasi kecepatan relatif terhadap garis tampang, dan
kedalaman dasar sungai. Besar dan arah kecepatan yang diukur
adalah kecepatan pada kedalaman tertentu, misalnya 1 m dibawah
permukaan. Lokasi (koordinat) titik-titik pengukuran ditentukan
dengan hitungan atau pengukuran langsung misal dengan optik
atau elektro-magnetik.
Kecepatan terukur vtot adalah penjumlahan vektor kecepatan
relatif kapal v terhadap dasar sungai dan kecepatan arus u normal
terhadap tampang sungai di titik pengukuran. Kecapatan arus u
dihitung dari pengukuran vtot dan dengan persamaan berikut :
u v tot sin

Gambar 4.16. Vektor Kecepatan Kapal dan Arus

125
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Untuk mendapat ketelitian yang memadai dari pengukuran


kecepatan arus cara kapal gerak ini, maka pengukuran di setiap
tampang dilakukan dengan beberapa kali, biasanya 5 6 kali,
lintasan.

c. Cara Kemiringan-Luas (slope-area method)


Ketelitian hasil dari cara-cara pengukuran ini jauh dibawah
cara-cara pengukuran yang lain. Oleh karena itu, cara ini hanya
dipakai apabila cara-cara lain tidak memungkinkan atau apabila
hasilnya hanya dipakai sebagai pendekatan awal.
Tempat pengukuran harus dipilih di ruas sungai yang memiliki
aliran seragam. Dengan demikian ruas sungai dipilih yang memiliki
tampang seragam, aliran bebas dari halangan dan gangguan, dan
tidak dipengaruhi oleh efek pembendungan. Hal ini untuk menjamin
berlakunya asumsi bahwa kemiringan muka air pada saat banjir
paralel terhadap kemiringan garis energi. Apabila tempat semacam
itu tidak dijumpai, maka gradien/kemiringan yang terukur harus
dimodifikasi sedemikian hingga kemiringan tersebut hanya
diakibatkan oleh gesekan dasar dan tebing.
Selain itu, panjang ruas sungai tempat pengukuran harus
memenuhi beberapa kriteria, antara lain :
1. lebih daripada 75 kali kedalaman rata-rata sungai
2. lebih daripada 5 kali lebar sungai
3. lebih daripada 300 m
Ditambah dengan kriteria bahwa beda duga muka air sepanjang
ruas sungai harus lebih besar daripada 0,15 m. Langkah hitungan
debit adalah sebagai berikut : pertama, luas Aj dan radius hidraulik
Rj setiap seksi tampang sungai (j = 1,2,...,n) ditetapkan

126
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

berdasarkan data tampang dan duga muka air. Pembagian tampang


menjadi seksi-seksi dilakukan sedemikian hingga koefisien
kekasaran dasar Cj di setiap seksi dapat dianggap konstan.
Persamaan debit di setiap seksi dihitung dengan persamaan Chezy
sebagai berikut :

Gambar 4.17. Pembagian Tampang Sungai Menjadi seksi-Seksi

Q j u jA j C jA jR j2i
1 1
2

Persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut :

Q j K j i
1
2

Faktor Kj yang umum disebut conveyance, dapat dipandang sebagai


kapasitas angkut tampang Aj mengingat kesebandingannya dengan
Qj. Debit seluruh tampang dihitung dengan persamaan berikut :
n
Qi K
1
2
j
j1

Apabila tampang sungai di bagian hulu dan hilir ruas pengukuran


berbeda, maka conveyance rata-rata dinyatakan dengan rata-rata
geomatrik faktor K1 dan K2. Hal ini didasarkan pada anggapan
bahwa conveyance berubah secara teratur antara tampang hulu
dan hilir. Dengan demikian, debit total adalah :

127
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Q K1 K 2i

Ketelitian cara kemiringan luas sangat bergantung pada ketelitian


perkiraan koefisien kekasaran dasar. Untuk perkiraan kekasaran
dasar yang memadai, pengalaman memegang peran yang penting.
Koefisien kekasaran dasar dipengaruhi oleh sand dunes di sungai
alluvial, serta rintangan dan vegetasi di bantaran banjir. Nilai
koefisien kekasaran dasar dapat sangat bervariasi untuk sungai
yang sama. Dalam praktek, umumnya debit dihitung di beberapa
ruas sungai dan kemudian hasilnya dirata-ratakan.

d. Cara Dilusi (dilution method)


Cara dilusi terdiri dari dua jenis, yaitu cara dilusi konstan
(constant rate injection method) dan cara dilusi integrasi
(integration or sudden injection method).
1. Constant-Rate Injection Method
Cara ini dilakukan dengan mengalirkan campuran zat (tracer)
dengan laju konstan ke dalam aliran di sepanjang tampang sungai
di sisi hulu. Di sisi hilir, sampel air diambil pada waktu-waktu
tertentu. Setelah kosentrasi tracer di sisi hilir konstan, debit sungai
dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Q=N
Dengan :
= laju injeksi tracer di sisi hulu
N = rasio kosentrasi tracer di dalam campuran yang dialirkan
di hulu C1 terhadap kosentrasi tracer di dalam sampel air
di hilir C2
Apabila pada awal pengukuran telah terdapat kosentrasi tracer di
dalam aliran C0, maka N didefinisikan sebagai berikut :

128
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

C1
N
C2 C0

Dalam cara ini, dianggap bahwa debit adalah konstan selama


pengukuran. Untuk membatasi waktu injeksi (umumnya 10 15
menit) dan jumlah tracer yang perlu diinjeksikan, maka panjang
ruas pengukuran harus sependek yang masih memungkinkan.
Namun sebaliknya, ruas pengukuran harus cukup panjang untuk
memungkinkan terjadinya percampuran tracer secara sempurna di
seluruh tampang sungai.
Mengingat keterbatasan ini, maka cara dilusi hanya sesuai
dipakai di sungai kecil dimana percampuran tracer dapat
berlangsung dengan baik.

2. Integration or Sudden Injection Method


Dalam cara ini, injeksi campuran tracer dilakukan dalam
waktu yang singkat. Debit sungai dihitung dengan persamaan
berikut :
V
Q t
Ct C0
0 C1 dt

Dengan :
V = volume campuran tracer yang diinjeksikan
C1 = kosentrasi tracer dalam campuran
C0 = kosentrasi tracer dalam sampel air di hulu lokasi
penginjeksian
Ct = kosentrasi tracer dalam sampel air di hilir selama waktu
dt

129
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Integrasi dapat dilakukan dengan pengukuran langsung. Ct


ditentukan dari sampel yang diambil sebelum tracer lewat dan
sampel yang diambil setelah seluruh tracer lewat titik pengukuran.
Cara yang lain adalah dengan pengambilan sampel secara menerus
selama periode tertentu dan menghitung nilai kosentrasi rata-
ratanya.
Pemakaian cara dilusi untuk pengukuran debit sungai terbatas
pada sungai-sungai di daerah pegunungan.

4.3.4. Pengukuran Sedimen

A. Umum
Informasi mengenai transpor sedimen di sungai diperlukan
untuk studi permasalahan morfologi sungai. Transpor sedimen
diklasifikasikan menurut asal/sumber sedimen, yaitu material dasar
dan wash load, serta menurut mekanisme transpor, yaitu transpor
sedimen dasar (bed load) dan transpor sedimen suspensi
(suspended load).
Dalam kaitannya dengan instrumen pengukur transpor
sedimen, maka pembedaan antara transpor sedimen dasar dan
suspensi sangat penting. Masing-masing jenis transpor sedimen
tersebut memiliki prosedur pengukuran sendiri. Sebaliknya,
pembedaan antara material dasar dan wash load berperan dalam

130
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

studi fenomena morfologi sungai. Informasi mengenai material


dasar penting untuk studi erosi-sedimentasi, sedang informasi
mengenai wash load penting untuk studi sedimentasi di tempat-
tempat dimana kecepatan arus berkurang sedemikian sampai
partikel halus dapat mengendap, misal di reservoir dan hulu
bendung.
Pada umumnya, transpor sedimen dasar mudah dihitung
tetapi sulit diukur. Sebaliknya, transpor sedimen suspensi mudah
diukur tetapi sulit dihitung.
B. Pengukuran Transpor Sedimen Dasar
1. Umum
Transpor sedimen dasar umumnya diukur sebagai berat per
satuan waktu dan per satuan lebar sungai. Untuk memperoleh laju
transpor sedimen dasar, diukur berat material sedimen dasar yang
melewati suatu lokasi dengan tampang sungai tertentu selama
waktu tertentu. Cara pengukuran sedimen dasar ada dua, yaitu cara
langsung dan tak langsung.
Dalam pengukuran transpor sedimen dasar, dijumpai
beberapa kesulitan yang mengurangi ketelitian hasil pengukuran,
antara lain :
a. Instrumen pengukur sedimen mengakibatkan
terganggunya aliran yang menyebabkan perubahan perilaku dan
intensitas sedimen.
b. Sulit untuk mempertahankan instrumen tetap lurus
vertikal dan tegak lurus dengan arah aliran.
c. Instrumen umumnya tidak dapat mengukur semua
fraksi butir sedimen dasar, dari yang terkasar sampai terhalus.

131
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Mengingat kesulitan tersebut, beberapa hal berikut harus


dipertimbangkan dalam pengukuran transpor sedimen dasar, yaitu :
a. Instrumen harus dikalibrasi dan efisiensi alat harus ditetapkan
secara pasti. Efisiensi adalah rasio antara sedimen dasar
terukur terhadap sedimen dasar sesungguhnya.
b. Pengukuran sebaiknya dilakukan di beberapa titik di setiap
tampang pengukuran dan merupakan pengukuran jangka
panjang mengingat sedimen dasar berubah-ubah di setiap
titik setiap waktu.
c. Pengukuran harus dilakukan dengan hati-hati sehingga
material dasar sungai dan sedimen suspensi tidak ikut
terukur.
d. Bentuk dasar sungai berpengaruh terhadap cara pengukuran.
e. Pada dasarnya, tebal lapis dimana sedimen dasar bergerak
tidak mudah untuk diketahui. Tebal lapis ini berbeda untuk
setiap sungai. Umumnya, tebal lapis ini paling tidak sama
dengan diameter butir terbesar.
2. Pengukuran Langsung
Pengukuran transpor sedimen dasar secara langsung dapat
dilakukan dengan instrumen-instrumen jenis berikut ini :
a. Jenis Keranjang (box and basket type)
Instrumen jenis ini terdiri dari kotak atau keranjang dimana
sedimen terkumpul, rangkap penyangga dan kabel penggantung,
dan sirip. Pengukuran dilakukan dengan menurunkan instrumen ke
dasar sungai dimana setelah menyentuh dasar sungai, pintu
keranjang terbuka dan pencatat waktu mulai bekerja. Air dan
sedimen akan masuk kedalam keranjang dan karena kecepatan
aliran berkurang, akan mengendap di dalam keranjang. Setelah

132
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

beberapa saat, pintu ditutup dan kemudian instrumen yang berisi


sedimen dasar diangkat. Sedimen selanjutnya ditimbang secara
hati-hati. Instrumen yang termasuk jenis keranjang antara lain :
Munlhofer sampler, Born sampler, Karolyl sampler, VUV sampler,
dan Arnhem sampler. Instrumen yang terakhir ini dikenal sebagai
Bedload Transport Meter of Arnhem (BTMA)

Gambar 4.18. Munlhofer Sampler

133
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.19. Karolyl Sampler

Gambar 4.20. VUV Sampler

134
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.21. Bedload Transport Meter of Arnhem (BTMA)

b. Jenis Panci (pan-type)


Instrumen jenis ini terdiri dari sebuah panci dengan dasar dan
dua dinding. Pada sebagian instrumen jenis ini, pada pancinya
terdapat baffle untuk menahan laju aliran sehingga sedimen
mengendap di panci. Instrumen jenis ini jarang dipakai dan
pemakaiannyapun terbatas untuk pengukuran di sungai dengan
kosentrasi sedimen rendah dan kecepatan aliran kecil.
c. Jenis Perangkap (pit-type)
Prinsip instrumen jenis ini adalah suatu cekungan di dasar
sungai dimana sedimen terperangkap, mengendap di cekungan
tersebut. Selanjutnya sedimen yang terkumpul diambil/diisap terus
menerus dengan pompa. Dengan demikian pengukuran sedimen
dasar dilakukan secara menerus. Ketelitian pengukuran dengan

135
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

instrumen jenis ini cukup tinggi. Contoh instrumen pengukur


sedimen dasar jenis perangkap disajikan pada gambar berikut.

Gambar 4.22. Pit Sampler

3. Pengukuran Tak Langsung


a. Dengan Pengukuran Material Dasar
Penetapan laju transpor sedimen dasar dengan cara
pengukuran material dasar didasari oleh anggapan bahwa hitungan
laju sedimen perlu didukung oleh informasi mengenai material
dasar. Oleh karena itu, pada pengukuran transpor sedimen cara ini,
sampel material dasar diambil pada berbagai duga muka air.
Berbagai instrumen pengambil material dasar sungai memiliki
kelemahan, yaitu tidak-terambilnya butir halus material dasar. Jenis

136
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

instrumen pengambil material dasar antara lain jenis keruk


(grabbing sampler) dan pipa bor. Contoh instrumen yang termasuk
jenis keruk antara lain adalah jenis skop (scoop), Van Veen Sampler,
dan US BM-54 atau US BM-60. jenis skop dan Van Veen sampler
dipakai untuk sungai dengan kedalaman kurang daripada 6 m.
Untuk sungai yang lebih dalam, pengambilan sampel sulit
dilaksanakan dengan US BM-54 atau US BM-60. Instrumen ini
dikembangkan oleh the Interagency Committiee On Water
Resources.

Gambar 4.23. Grab Sampler : (a) Scoop dan (b) Dredges

Gambar 4.24. US BM-60

137
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

b. Dengan Pengamatan Dasar Sungai


Pengukuran transpor sedimen dasar dilakukan dengan
mengamati perubahan dasar sungai (berforms) selama kurun waktu
tertentu. Cara ini dapat dipakai pada sungai dengan kecepatan
aliran kecil dimana angka froude-nya kurang daripada 1 (N F < 1).
Pada kondisi ini, berlaku persamaan sebagai berikut :
H
q s (1 m)c B C
2
Dengan :
m = porositas dasar sungai
cB = kecepatan rata-rata perubahan dasar sungai
H = tebal rata-rata dasar sungai
C = konstanta integrasi, dapat dianggap nol

C. Pengukuran Sedimen Suspensi


1. Umum
Transpor sedimen suspensi umumnya diukur sebagai volume
sedimen suspensi per satuan waktu dan per satuan lebar sungai.
Dari sampel air bercampur sedimen, kosentrasi sedimen dapat
dihitung dan dengan mengetahui debit sungai, maka laju transpor
sedimen suspensi adalah :
qss = Cq
Dengan :
qss = laju transpor sedimen suspensi
C = kosentrasi sedimen suspensi
q = debit sungai
Kesulitan yang sering dijumpai dalam pengukuran transpor sdimen
suspensi antara lain adalah terganggunya aliran pada saat

138
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

pengukuran dengan adanya instrumen. Untuk membatasi gangguan


tersebut, instrumen memiliki nozzle untuk memasukan aliran air ke
dalam instrumen. Kecepatan aliran di dalam nozzle harus sama
dengan kecepatan aliran di sungainya. Selain itu, pada saat
pengukuran instrumen harus tetap lurus vertikal dan tegak lurus
terhadap arah aliran. Beberapa faktor berikut ini perlu diperhatikan
dalam pengukuran transpor sedimen suspensi, yaitu :
a. Pengukuran sebaiknya dilakukan dalam rentang
waktu yang cukup mengingat sedimen suspensi berubah-ubah.
Material sedimen berada dalam kondisi suspensi sebagai akibat
agaya komponen kecepatan tutbulen.
b. Pengukuran harus dilakukan dengan hati-hati
sehingga sedimen dasar tidak ikut terukur.
c. Lokasi dan jumlah titik maupun pias-vertikal
pengukuran harus ditetapkan dengan mengingat ketelitian hasil
yang diinginkan. Pedoman dalam penetapan lokasi ini antara lain
adalah :
1. satu vertikal di tengah sungai
2. satu vertikal di bagian terdalam
3. vertikal di 1/4, 1/2, dan 3/4 lebar sungai
4. vertikal di 1/6, 1/2, dan 5/6 lebar sungai
5. empat atau lebih vertikal dengan jarak yang sama
6. vertikal di titik tengah seksi-seksi yang memiliki debit
sama besar
d. Pemilihan cara pengukuran di suatu vertikal antara cara point
integration atau depth-integration harus ditentukan dengan
mempertimbangkan informasi yang dikehendaki, apakah laju
sedimen rata-rata ( dengan cara depth-integration) atau

139
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

distribusi vertikal sedimen suspensi (dengan cara point-


integration).
e. Pengukuran transpor sedimen suspensi harus dibarengi dengan
pengukuran debit sungai.
f. Perlu diperhatikan bahwa fraksi sedimen yang diukur adalah
seluruh material yang tersuspensi, baik fraksi suspensi dan
material dasar dan washload.

2. Pengukuran Sesaat
Cara pengukuran sesaat (instantaneous sampling) transpor
sedimen suspensi cukup sederhana, yaitu dengan penurunan
instrumen di kedalaman tertentu dan kemudian sampel
air+sedimen ditangkap. Instrumen untuk pengukuran cara ini ada
dua jenis, yaitu jenis horizontal da vertikal. Jenis vertikal dikenal
dengan nama Botol Nansen.

140
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4. 25. Vertical Instantaneous Sampler

141
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.26. Horizontal Instantaneous Sampler

3. Pengukuran Terintegrasi
Pengukuran transpor sedimen suspensi cara terintegrasi
terdiri dari 2 cara. Cara pertama adalah cara integrasi titik (point-
integration) yaitu dengan mengambil sampel di satu titik tertentu
selama waktu tertentu. Cara kedua adalah cara integrasi menerus
(depth-integration) yaitu dengan mengambil sampel dimana
instrumen dijalankan di seluruh kedalaman. Instrumen untuk
pengukuran sedimen suspensi dengan kedua cara tersebut terdiri
dari wadah (container), nozzle, lubang pelepas udara, dan tutup
masuk dan keluar.

a. Point-Integration sampling

Prinsip pengukuran transpor sedimen suspensi dengan cara


point-integration digambarkan pada Gambar 4.27, dimana botol
ditempatkan di titik dimana sampel akan diambil. Botol sampler

142
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

akan terisi perlahan-lahan dan hanya sedikit mengganggu aliran.


Apabila botol sampler dapat dimasukan kedalam aliran dengan
cepat, maka tidak diperlukan katup buka-tutup, dan sebaliknya
apabila botol tidak dapat dimasukan ke titik pengukuran dengan
cepat, maka diperlukan katup buka-tutup. Instrumen lain untuk
pelaksanaan pengukuran dengan cara point integration ini antara
lain adalah Balon Gluschkoff, US P-46R, US P-61 dan single-stage
sampler. Ketiga instrumen yang terakhir dikembangkan oleh the
interagency committee on water resources.
Balon Gluschkoff terbuat dari balon karet dan pipa. Cara kerja
instrumen alat ini adalah dengan memasukannya ke dalam titik
pengukuran, kemudian pipa diarahkan ke aliran. Sebelum balon
terisi penuh, pipa diputar sehingga aliran kedalam balon terhenti,
dan waktu pengisian direkam. Laju transpor sedimen dan debit
kemudian dapat dihitung.

Gambar 4. 27. Point-Integration Sampling dengan


(a) Botol, dan (b) Balon Gluschkoff

143
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

US P-46R dan US P-61 terbuat dari perunggu, berbentuk


seperti kapal selam dengan sirip belakang, nozzle, dan botol
penampung sampel. Berat instrumen ini adalah sekitar 60 kg.
Single-stage suspended-load sampler terdiri dari botol yang
dilengkapi dengan tutup dan 2 buah pipa, satu sebagai pipa masuk
dan yang lain sebagai pelepas udara. Instrumen ini dimasukan
untuk pengambilan sampel secara automatik, tanpa perlu ditunggui
oleh petugas.

Gambar 4.28. Point-Integration Sampler US P-61

144
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.29. Single-Stage Suspended-Load sampler

b. Depth-Integration Sampling

145
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Prinsip pengukuran transpor sedimen suspensi dengan cara


depth-integration sampling mirip dengan cara point-integrtion
sampling, hanya instrumennya tidak dilengkapi dengan katup buka
tutup. Instrumen mulai mengambil sampel saat dimasukkan
kedalam air dan berhenti pada saat keluar dari air. Selama itu,
instrumen mengukur kosentrasi rata-rata sedimen suspensi.
Instrumen menempuh seluruh kedalaman sungai dengan kecepatan
konstan.
Beberapa instrumen depth-integration sampling telah
dikembangkan oleh the Interagency Committee on Water Resources
yaitu US DH-48, US DH-59, dan US D-49 adalah yang terberat, yaitu
sekitar 40 kg. Di lain pihak, US DH-48 sangat ringan, sekitar 2,5, kg,
dan terbuat dari aluminium.

146
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.30. Depth-Integrating sampler US DH-48

Selain instrumen di atas, sering pula dipakai Delf Bottle untuk


pengukuran sedimen suspensi. Instrumen ini terdiri dari pipa
berdiameter 31 cm, nozzle berdiameter 2,2 cm, dan tabung dimana
sedimen mengendap.

147
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 4.31. Depth-Integrating Sampler Delf Bottle

4. Pengukuran Menerus
Prinsip pengukuran transpor sedimen suspensi cara ini adalah
bahwa air yang mengandung partikel suspensi akan lebih keruh.
Kosentrasi partikel tersebut dapat diukur dengan instrumen yang
memancarkan cahaya yang kemudian diterima oleh photocell di sisi
yang berlawanan. Pembacaan dilakukan dengan ammeter yang
telah dikalibrasi.

D. Pengukuran Transpor Sedimen Total


1. Pengertian
Transpor sedimen total umumnya didapat dari penjumlahan
transpor sedimen dasar dan sedimen suspensi. Dengan demikian

148
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

salah satu cara untuk mengetahui transpor sedimen total adalah


dengan mengukur transpor sedimen dasar dan transpor sedimen
suspensi. Namun demikian, mengingat kelemahan-kelemahan
dalam pengukuran kedua jenis transpor sedimen tersebut, maka
penentuan transpor sedimen total tidak hanya sekedar
penjumlahan transpor sedimen dasar dan sedimen suspensi.

2. Pengukuran Tak Langsung

Pengukuran tak langsung dilakukan dengan cara sebagai


berikut :
a. Mengambil sampel material dasar sungai dan
menghitung transpor sedimen dasar dan transpor sedimen
suspensi untuk setiap fraksi ukuran butir material dasar. Transpor
sedimen total adalah penjumlahan transpor sedimen dasar dan
sedimen suspensi.
b. Mengukur transpor sedimen dasar dan
menghitung (analitik) transpor sedimen suspensi.
c. Mengukur transpor sedimen suspensi dan
menghitung sedimen dasar.

3. Pengukuran Dengan Tracer


Pelacakan partikel-pertikel yang diberi tanda dalam suatu
campuran sedimen dan air dapat memberi gambaran informasi
mengenai pergerakan sedimen. Pergerakan pertikel-pertikel yang
ditandai dipelajari dan diukur. Hasilnya kemudian dipakai sebagai
dasar penetapan transpor sedimen secara kualitatif ataupun
kuantitatif.

149
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Cara pelaksanaan pengukuran transpor sedimen total dengan


pelacakan tracer terdiri dari langkah-langkah berikut :
a. pemilihan jenis tracer yang sesuai
b. pemberian tanda pada partikel sedimen dengan tracer
c. pertikel sedimen yang telah ditandai dimasukan
kedalam air
d. setelah beberapa waktu, partikel-partikel sedimen telah
menyebar dan kemudian dilakukan pengambilan sampel
e. dilakukan interpretasi, baik kualitatif maupun
kuantitatif, terhadap data penyebaran partikel sedimen yang
telah ditandai diatas.
Jenis tracer yang dipakai harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
a. karakteristik tracer dan sedimen harus identik
b. pemberian tracer tidak boleh terlalu mengganggu/mengubah
proses transpor sedimen
c. perilaku tracer harus dapat diukur
d. perilaku tracer harus menunjukan perilaku sedimen, dalam
arti perilaku sedimen harus dapat disimpulkan berdasarkan
perilaku tracer
e. selain persyaratan teknis di atas, tracer harus pula memenuhi
persyaratan biaya dan lingkungan, antara lain biaya
pembuatan tidak boleh terlalu tinggi dan tidak berbahaya
bagi lingkungan.
Pada saat ini, jenis tracer yang umum dipakai adalah tracer
radioaktif, cat dan fluorescent, serta density tracer.

150
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

BAB V
PEKERJAAN SUNGAI

S
etelah mengenal sebagian sifat-sifat sungai dan
karakteristiknya, maka dalam melakukan pekerjaan sipil
atau rekayasa sungai akan lebih mudah, sehingga semua
potensi sungai dapat dimanfaatkan lebih optimal dalam berbagai
aspek kehidupan yang berhubungan dengan sungai. Pemanfaatan
demikian akan memberikan keuntungan bagi masyarakat secara
umum sehingga dampak negatif atau kerugian dari sumber daya
sungai dapat diminimalkan.
Satu hal yang harus disadari oleh semua pihak, bahwa
tidaklah mudah memahami dan mengerti watak sungai secara
menyeluruh, untuk itu harus dilakukan pendekatan yang fleksibel
apabila dikemudian hari ternyata terjadi dampak-dampak yang
belum mampu diantisipasi sebelumnya.

151
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Pada garis besarnya rekayasa sungai dalam bentuk rekayasa


sipil maupun non sipil akan menyentuh beberapa masalah berikut
ini :
1. Pengaturan kesetimbangan baru terhadap dasar dan
alur sungai.
2. Pengaturan debit sungai.
3. Pengaturan terhadap ketinggian muka air sungai.
Untuk lebih jelasnya maksud dari ketiga hal pokok tersebut,
maka dapat dijelaskan pada bagian dibawah ini.

5.1. Pengaturan Kesetimbangan Baru

Kesetimbangan dari dasar sungai akan terganggu oleh


berubahnya nilai kedalaman setimbang oleh suatu sebab, misalnya
karena berubahnya debit (Q) atau kapasitas transpor sungai.
Perubahan ke arah kesetimbangan baru akan terjadi dalam dua
macam reaksi, yaitu :
A. Penurunan dasar sungai atau degradasi dalam usaha aliran
mencapai kelandaian setimbang (i), kedalaman setimbang (h).
Degradasi yang berlanjut dapat mengganggu stabilitas tebing
dan menyebabkan runtuhnya tebing atau bank collapse. Untuk
menanggulangi proses ini ada dua macam pekerjaan sipil yang
dapat dilakukan, yaitu :
1. Membentuk kelandaian setimbang atau stable slope dengan
membuat aliran bertangga atau cascade dengan rangkaian
ambang dasar atau ground sills di sepanjang dasar alur
sungai.
2. Memasang lapisan armour dari lapisan tergradasi, atau lapisan
perkuatan lain, misalnya lapisan pasangan batu atau beton.

152
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Prinsip dari tindakan ini adalah membuat dasar sungai tahan


terhadap drag force, sehingga tidak terjadi transpor sedimen.
Pelapisan dengan material berbutir besar atau armouring harus
pula dilengkapi dibawahnya dengan lapisan-lapisan filter dari
butir-butir yang terdegradasi agar tidak terjadi hisapan pada
butir-butir lapisan dasar yang dilindungi. Pada kecepatan aliran
yang besar butir-butir kecil dibawah lapisan pelindung akan
terhisap naik sehingga lapisan pelindung dapat ambles ke bawah
dan kehilangan fungsinya.

B. Peninggian dasar sungai atau agradasi, dimana sungai akan


mengendapkan sebagian sedimen yang diangkutnya karena
kapasitas transpor dilampaui. Agradasi ini disebabkan oleh
menurunnya kapasitas transpor aliran, misalnya disebabkan oleh
:
1. Mengecilnya debit sungai oleh suatu sebab misalnya karena
penyadapan, penyudetan atau penyimpangan sebagian debit
di hulunya atau karena perubahan debit musiman.
2. Mengecilnya kecepatan aliran karena mengecilnya nilai C.
Penyebab kasus ini adalah membesarnya ratio Q max/Qmin yang
akan merusak bentuk alur sungai.
3. Terjadinya empangan karena pembendungan atau
penyempitan alur di hilirnya.
4. Bertambah besarnya kosentrasi sedimen yang diangkutnya.
Hal ini disebabkan oleh berkurangnya debit .
5. Pada mulut sungai pengendapan ini disebabkan oleh
mengecilnya kecepatan aliran oleh pertemuan dengan laut.
Pengendapan di sini akan menyebabkan empangan di dalam

153
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

muara sehingga disinipun akan terjadi sedimentasi yang


hebat.
Proses ini biasanya ditanggulangi dengan :
1. Pembuangan pengendapan yang terjadi dengan pengerukan
atau dredging. Tindakan ini hanya mempunyai efek palliative
atau penanggulangan sementara saja dan harus diikuti
dengan usaha menghilangkan sebab-sebabnya. Bahkan
dredging juga dapat menimbulkan efek samping yang cukup
mengganggu dan merugikan.
2. Menghilangkan penyebab mengecilnya kapasitas transpor
dari aliran dengan cara : (a) penyadapan sebagian debit
dikompensasi dengan penambahan debit dari hulu agar ratio
Qmax/Qmin mempunyai nilai yang cukup rendah untuk menjaga
stabilitas sungai. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat
waduk-waduk atau memasukan debit sungai lain kedalamnya
sebagai sumber suplesi air pada saat debit sungai mengecil.
Dalam melakukan sudetan atau penyimpangan sebagian
debit sungai akan selalu terjadi perubahan Qmax/Qmin pada
alur sungai di hilir percabangan yang timbul. Apabila tidak
dikehendaki alur sungai aslinya mati, sebaiknya dibangun
sebuah konstruksi pembagi debit di tempat tersebut.
Tindakan-tindakan ini akan menstabilkan alur sungai dan
mencegah nilai CChezy mengecil; (b) Pengempangan dapat
disebabkan oleh pengoperasian sebuah bendung disebelah
hilir sungai, atau timbulnya penyempitan aliran karena suatu
konstruksi. Bendung-bendung hendaknya dilengkapi dengan
pintu-pintu sluice dengan kapasitas cukup dan selalu
dioperasikan bila ada debit limpasan sekecil apapun. Mercu

154
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

bendung hanya dilimpasi air apabila pintu-pintu sluice sudah


dilampaui kapasitasnya, agar selalu ada aliran under sluice ke
hilir yang menguras sedimen di hulu bendung ke hilir; (c)
Masuknya sebuah anak sungai yang membawa debit dengan
kosentrasi sedimen yang tinggi harus dihindari dengn
menangkap sebagian sedimen degan kantong sedimen di
hulunya atau mengalihkan alirannya supaya penambahan
debit ini tetap seimbang dengan kapasitas transpornya.
D. Agradasi dan degradasi dapat terjadi juga pada tebing alur
dengan sebab-sebab yang sama seperti pada dasar alur.
Agradasi alur dapat menyebabkan mengecilnya kapasitas aliran
yang menimbulkan limpasan tebing pada debit-debit besar.
Untuk memperlancar aliran dilakukan normalisasi sungai dengan
pelurusan-pelurusan alur, mengatur lebar dan dalam alur sungai
agar dapat mengalirkan Q bankful yang besarnya sama dengan
debit rencana. Disaat terjadi limpasan karena Q bankful dilampaui,
disediakan bantaran benjir dikiri dan kanan alur disepanjang
sungai yang dibatasi tanggul dari areal di luarnya. Bantaran
banjir ini dimaksudkan untuk : (a) memperluas tampang aliran
dengan membentuk profil aliran susun. Untuk maksud ini
bantaran harus bersih dari hambatan terhadap aliran misalnya
bangunan, pematang, pepohonan. Penggunaan bantaran banjir
seperti ini disebut sebagai sistem normal ; (b) bantaran banjir
dapat pula berfungsi sebagai areal retardasi banjir yang akan
menampung sementara air yang meluap didalamnya, untuk
kemudian dilepaskan kembali apabila debit aliran didalam alur
sungai telah menyurut. Sistem Po ini cocok untuk dilaksanakan
pada lahan bantaran yang porous untuk menambah kemampuan

155
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

recharge atau pengisian akuifer pada lembah sungai. Lebar


bantaran sistem ini akan lebih besar dari pada lebar bantaran
untuk sistem normal. Untuk memberikan gambaran sistem
tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 5.1. Bantaran Sebagai Areal Retardasi Banjir

156
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 5.2. Krib Permeable

Penggerusan tebing yang terjadi pada daerah alluvial non tidal


terutama oleh bekerjanya arus spiral, dapat membuat
ketidakteraturan bentuk tampang lintang dan lintasan alur yang
menimbulkan meandering. Meandering ini akan mengganggu
lancarnya aliran debir besar dan pelayaran sungai. Untuk
menanggulangi dapat dipakai cara-cara : (a) cara langsung,
yaitu dengan memperkuat tebing dengan konstruksi pelindung
tebing agar tahan gerus misalnya dengan melapisinya dengan
riprap, bronjong, pasangan batu atau beton ; (b) cara tidak

157
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

langsung, yaitu dengan mencegah arus spiral menyentuh tebing


dengan konstruksi krib kedap air atau impermeable groin,
melenyapkan energi arus spiral dengan konstruksi krib tembus
air atau permeable groin. Prinsip kerja krib tembus air adalah
menghancurkan enerji gerus dan gaya seret aliran spiral
sehingga timbul turbulensi ditempat tersebut yang akan
merangsang pengendapan, sehingga tipe ini cocok untuk sungai
dengan kosentrasi sedimen yang tinggi. Kekurangan dari tipe ini
adalah mudah rusak terlanda debris yang terbawa oleh aliran
tetapi biaya pembuatannya murah. Krib-krib ini dibuat dari
deretan pancang, apakah itu dari material alam seperti kayu,
batang kelapa dan bambu atau dari bahan buatan seperti tiang
pancang beton dan baja.

5.2. Pengaturan Debit Sungai

Pada daerah tropika basah seperti Indonesia, presipitasi


banyak terjadi pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau
presipitasi sangat kecil. Debit-debit sungai sangat berlebihan pada
musim hujan dan mengecil pada musim kemarau, apalagi kalau
effluent dari DPS-nya kecil, oleh kecilnya kapasitas akumulasi DPS
sungai tersebut. Konsekuensi dari kondisi ini adalah :
1. Ketersediaan air tidak merata sepanjang tahun.
2. Terjadi fluktuasi debit sungai-sungai yang menimbulkan :
a. Qmaksimum yang dapat lebih besar dari kapasitas aliran
alurnya sehingga menimbulkan luapan di musim hujan.

158
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

b. Qminimum yang kecil mungkin tidak cukup memenuhi


berbagai kebutuhan akan sumberdaya air yang biasanya
justru akan meningkat pada musim kemarau.
c. Morpologi sungainya akan terpengaruh oleh fluktuasi
debit tersebut, apabila ratio Qmax/Qmin cukup besar alur
sungai akan menjadi tidak stabil.
3. Perlu diadakan pengaturan distribusi debit sungai antar
waktu untuk menanggulangi akibat-akibat fluktuasi debit.

Cara memperkecil fluktuasi debit pada kondisi tersebut yaitu


dengan membuat waduk atau reservoir untuk menyimpan air yang
berlebih pada musim hujan dan dilepas kembali sebagai debit
sungai pada musim kemarau untuk memenuhi keperluan akan
sumberdaya air.
Ada dua macam tuntutan dalam pengaturan debit ini, yaitu :
1. Memperbesar Qminimum, misalnya pada keperluan air untuk rumah
tangga, irigasi, PLTA dan penggunaan alur untuk navigasi. Untuk
memenuhi keperluan-keperluan ini, waduk sedapat mungkin
terisi air cukup agar dapat memasok untuk keperluan-keperluan
pada sepanjang tahun.
2. Walaupun demikian ada perbedaan dari masing-masing
pemanfaatan itu, yaitu :
a. Keperluan akan air rumah tangga membutuhkan pasokan
yang tetap jumlahnya sepanjang tahun dan akan mengurangi
debit sungai.
b. Keperluan akan air irigasi memerlukan pasokan yang
jumlahnya tergantung pada jenis tanaman, dan pola
tanamnya. Umumnya akan memerlukan air lebih banyak pada

159
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

musim kemarau. Keperluan ini juga akan mengurangi debit


sungainya.
c. Pemenuhan air untuk PLTA lebih rumit pengaturannya.
Penyediaan air untuk irigasi dan PLTA dapat mudah diatur
bersama apabila intake terletak dibawah PLTA dan
keperluannya tidak melampaui debit terendah yang
diperlukan untuk PLTA.
d. Keperluan air untuk navigasi paling sederhana syaratnya yaitu
mempertahankan debit tertentu agar kedalaman alur
minimum untuk pelayaran dapat terpenuhi. Keperluan ini
tidak mengurangi debit sungai, tetapi membuang air ke laut
dan sukar diatur bersama dengan pemenuhan untuk
kebutuhan lainnya. Keperluan air untuk navigasi ini dapat
disinkronkan dengan keperluan menyediakan debit
pemeliharaan.
e. Keperluan air sebagai debit pemelihara atau maintenance
flow. Untuk menjaga kelestarian biota air, eksistensi dan
kestabilan alur sungai perlu selalu dialirkan jumlah debit
tertentu sebagai penjaga kedua hal tersebut diatas.
Disamping itu debit pemelihara ini juga berguna untuk
membatasi jangkauan susupan air asin di dalam bagian
sungai tidal reach pada saat air pasang dan membersihkan
polusi di dalam alur.
3. Memperkecil Qmaksimum misalnya untuk pengendalian banjir. Untuk
keperluan ini waduk diusahakan selalu mempunyai ruang kosong
sebanyak mungkin hingga dapat menampung runof besar dari
hulu setiap saat sehingga tidak langsung menjadi debit sungai

160
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

dan menimbulkan efek retardasi terhadap Qmaksimum sungai di


hilir waduk.

5.3. Pengaturan Terhadap Ketinggian Muka Air Sungai

Rekayasa ini dilakukan untuk dapat mengatur/menaikkan


elevasi muka air di dalam alur sungai dan kadang-kadang juga
menjaganya agar tetap berada pada suatu elevasi tertentu. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan :
a. Menaikan elevasi muka air sungai agar dapat mengalir
secara gravitasi memasuki suatu pintu pengambilan atau intake
irigasi, PLTA atau air industri daln lain-lainnya sebagai alternatif
dari pengambilan dengan pompa. Tetapi kadng-kadang pada
pengambilan dengan pompa perlu juga untuk kepentingan
menaikan dan mengatur elevasi air sungai untuk memastikan
debit, menghemat energi serta mengurangi kosentrasi dan besar
butir sedimen yang ikut terhisap bersama air.
b. Dengan menaikan dan mengatur elevasi muka air
didalam alur pelayaran akan didapat kedalaman air yang
diinginkan, kecepatan aliran yang tidak terlalu besar. Pengaturan
elevasi muka air ini dilakukan dengan membuat bendung-
bendung agar terjadi pengempangan sehingga ketinggian muka
air mencapai elevasi yang diinginkan. Rangkaian bendung-
bendung semacam ini dapat dibuat di sepanjang sungai agar
kecepatan aliran tidak melewati nilai kritis tertentu sehingga
akan mencegah degradasi sungai. Pada sungai yang dipakai
sebagai alur pelayaran dilakukan kanalisasi pada sungai
tersebut.

161
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Kanalisasi adalah pekerjaan mengubah suatu alur sungai agar


sesuai untuk navigasi yaitu dengan cara :
a. Mengatur elevasi muka airnya agar didapat kedalaman
air yang sesuai dengan draft kapal-kapal yang diijinkan
melayarinya.
b. Mengatur lebar sungai dan lintasan atau alinement alur
agar tidak terdapat kelokan-kelokan tajam dan dibuat selurus
mungkin.
c. Mengatur kecepatan alirannya agar tidak menjadi
penghambat kapal berlayar ke hulu.
d. Melengkapi bendung-bendung dengan pintu-pintu
kapal/ship locks.

Akibat samping dari adanya bendung-bendung itu adalah


terjadinya pengendapan di dalam alur di arah hulunya. Ini terutama
terjadi pada bendung dengan ambang tetap. Pada bendung tipe ini
air akan melimpas di atasnya dan sebagian melewati bukaan pintu-
pintu penguras atau sluice gates yang disediakan. Dengan
sendirinya bagian terbesar sedimen tetap tertinggal di bagian hulu
bendung dan menyebabkan agradasi yang akan merugikan
pelayaran atau pengambilan air ke dalam intake dan pompa.
Agradasi di hulu bendung juga dapat memperbesar kemungkinan
terjadinya luapan pada tanggul pengaman sehingga perlu diadakan
peninggian tanggul pada waktu tertentu.
Kekurangan-kekurangan pada bendung dengan ambang tetap
atau fixed weir dapat dihindari dengan bendung gerak atau
adjustable weir atau barrage.

162
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Bendung ini dilengkapi dengan pintu-pintu penerus aliran air


ke hilir sebagai aliran under sluice dibawahnya, sehingga dapat
membawa serta sedimen dasar ke hilir, mengurangi agradasi di
hulunya, dan menjaga kesetimbangan alirannya. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam kondisi seperti ini, yaitu :
a. Elevasi muka air di hulu bendung disamping dapat
dinaikan sesuai rencana, juga dapat diatur tetap pada elevasi
itu.
b. Menghindari limpasan tanggul di hulu bendung.

Tetapi bendung gerak adalah konstruksi yang mahal dan


memerlukan pemeliharaan yang cermat dan terus menerus.
Bendung gerak sesuai untuk dibangun pada sungai alluvial karena :
a. Daerahnya relatif datar sehingga rentan terhadap limpasan
tanggul, yang dapat dibatasi/dihindari pada konstruksi ini.
b. Butir-butir sedimen yang dibawa aliran tidak terlalu besar,
sehingga tidak terjadi kerusakan pintu oleh benturan-
benturan dan abrasi dari sedimen tersebut.

163
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

BAB VI
RAWA
6.1. Pengertin
Secara definisi, rawa dapat didefinisikan sebagai berikut :
Rawa sesuai dengan definisinya yang dikutip dari PP Rawa No.
27/1991 adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi
terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang
terhambat serta mempunyai ciri khusus secara fisik, kimia, dan
biologis.
Perbedaan prinsip utama sistem tata air antara reklamasi
rawa dengan irigasi adalah, pada irigasi yang diatur adalah jumlah
debit air tertentu yang harus dialirkan kedalam suatu lahan
pengairan sesuai dengan kebutuhannya, sedangkan pada lahan
rawa yang diatur adalah tinggi/letak muka air baik diatas muka
tanah (positif) maupun dibawah muka tanah (negatif).
Letak muka air yang tepat dengan batas toleransi yang
diizinkan untuk berbagai tempat dilahan rawa tergantung pada
penggunaan. Letak muka air untuk pemukiman, fasilitas umum
akan lain dengan letak muka air untuk pertanian. Untuk pertanian
sendiri letak muka air berbeda-beda tergantung pada jenis
tanaman. Untuk berbagai jenis tanaman letak muka airnya ada
yang harus selalu diatas tanah atau selalu tergenang. Ada yang
satu saat diatas tanah dan dilain waktu dibawah muka atanah dan
ada yang harus selalu dibawah muka tanah. Para perencana
(desainer) sangat mengetahui hal tersebut dan semua desain rawa,
letak muka air sudah ditetapkan untuk berbagai tempat, berbagai

164
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

waktu dan juga mereka telah mengaitkan berbagai faktor seperti


faktor macam penggunaan, keterbatasan kemampuan tanah
(beracun atau tidak) dengan lamanya air boleh tergenang sebelum
diganti dengan air baru yang lebih baik. Demikian juga dengan
tinggi muka air disaluran selain ada hubungan dengan tinggi air
yang harus dipertahankan dilahan, kedalaman air dan kecepatan air
disaluran kadang kala ada hubungannya dengan pengunaan lain
seperti untuk lalu lintas air dan lain-lain.

6.2. Sejarah Rawa


Sejarah perkembangan pembangunan daerah lahan basah
(rawa) di Indonesia dimulai sejak abad ke 13 Masehi. Pada saat itu
kerjaan Majapahit mulai mengadakan perluasan pengaruh sampai
ke Kalimantan yang dimulai dari Pantai Selatan. Khusus di
Kalimantan Selatan perkembangan dimulai dari tepian sungai
Martapura dan Sungai Barito yang dalam proses perkembangan
tersebut merupakan urat nadi lalu lintas setempat. Untuk daerah
Kalimantan Barat, perkembangan daerahnya dimulai ketika Prabu
Jaya salah seorang keturunan Raja Brawijaya, dari Majapahit pada
abad ke 13 Masehi mulai mengadakan pembukaan lahan
permukiman di sungai Pawan.
Dengan bekal pengetahuan yang cukup di bidang
pemerintahan, pendatang pendatang dari Majapahit ini bekerja
sama dengan penduduk setempat berhasil mendirikan
pemerintahan tanpa meninggalkan hubungan baik dengan
Majapahit. Hal ini semakin membuat lancarnya perkembangan
daerah Kalimantan menjadi daerah permukiman sekaligus pusat
perkembangan kebudayaan baru di Kalimantan Barat.

165
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Sebagai daerah yang mulai berkembang ternyata dapat


menarik banyak orang untuk tinggal menetap dan mereka sebagian
besar berasal dari berbagai suku bangsa. Untuk menunjang
kebutuhan pangan agar terbebas dari ketergantungan terhadap
daerah lain, maka diusahakan pembangunan saluran-saluran air
yang dapat mengatur penyediaan air bagi tanaman pangan dan
sekaligus berfungsi sebagai sarana transportasi air.
Kebuthhan yang semakin meningkat dari penduduk setempat
terhadap tuntutan kehidupannya, mendorong mereka melakukan
langkah-langkah pengaturan terhadap pemanfaatan sumber daya
alam yang ada secara lebih cermat dan sesuai dengan kondisi
lingkungannya. Secara nyata pada tahun-tahun yang lalu penduduk
di beberapa tempat di Kalimantan telah berhasil embuka
persawahan pasang surut dengan cara yang sangat
sederhana/tradisional. Walaupun hasilnya per hektar tidak begitu
tinggi akan tetapi biaya yang mereka keluarkan relatif rendah.
Pada masa itu mereka yang tinggal di daerah rawa-rawa di
tepai sungai sudah tahu manfaat dari gerakan air pasang surut.
Waktu pasang air sungai masuk ke rawa-rawa dan waktu surut air
kembali ke sungai. Daerah yang terpengaruh gerakan pasang surut
air ini biasanya dapat ditanami padi dan jenis tanaman lain dengan
baik.
Lahan rawa tepi sungai ini makin lama makin habis atau
terlalu jauh dari tempat tinggal mereka, maka mereka mencoba
meluaskan pengaruh pasang-surut ke arah pedalaman. Parit-parit
mulai digali dari sungai masuk ke dalam daerah rawa, ini dengan
harapan air sungai bisa keluar masuk rawa dengan melalui parit-
parit tersebut. Makin lama tanah di sekitar parit menjadi baik dan

166
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

dapat ditanami padi sama halnya seperti tanah-tanah di tepi


sungai. Perluasan pengaruh pasang surut air dengan jalan ini tidak
begitu besar, karena parit-parit hanya kecil dan digali dengan
peralatan yang sederhana sehingga tidak dapat memperoleh areal
yang luas.
Pada tahun 1890 Anjir Serapat sepanjang 28 km yang
menghubungkan Sungai Kapuas dan Sungai Barito mulai digali
dengan tangan. Tujuan utama dari penggalian Anjir ini adalah untuk
jalur lalu lintas air. Karena lalu lintas air semakin ramai maka pada
tahun 1935 Anjir ini diperlebar dan diperdalam dengan kapal keruk.
Akibat dari ini tata air di daerah sekitarnya menjadi lebih baik dan
cocok untuk persawahan. Mulai saat itu secara spontan banyak
orang yang membuka persawahan di daerah tersebut.
Pada tahun 1920 tercatat pembuatan jalan raya darat di
sekitar Kota Banjarmasin. Karena keadaan tanah yang relatif rata
dan selalu tergegang air, maka pembuatan jalan disini dilakukan
dengan cara menimbun /meninggikan tubuh jalur jalan dengan
tanah. Adapun untuk tanah timbunan agar biaya angkutannya
murah diambilkan dari kiri kanan jalur jalan tersebut. Adanya galian
yang memanjang sejajar jalur jalan secara tidak langsung menjadi
saluran drainase untuk daerah di sekitar jalan tersebut.
Terbentuknya daerah kering dan adanya fasilitas transport,
mulai menarik orang untuk bertempat tinggal di situ dan membuka
usaha pertanian khususnya padi. Usaha pertanian ini berkembang
dan berhasil dengan baik, sehingga sampai sekarang salah satu
daerah tersebut yang dikenal sebagai daerah Gambut terkenal
sebagai gudang beras kota Banjarmasin.

167
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Menyadari semakin kompleksnya fungsi saluran, maka pada


tahun 1940 telah direncanakan peraturan untuk mengelola hak-hak
atas saluran/tatah yang dalam perkembangannya dapat berfungsu
serbaguna.
Diilhami oleh kenyataan bahwa orang-orang pada waktu
tempo dulu telah berhasil membuka saawh di daerah pasang surut,
maka pada tahun 1957 oleh Pemerintah diputuskan untuk
mengembangkan rawa pasang surut secara besar-besaran dimulai
dari Kalimantan.
Pada saat pertama kali diputuskan, oleh Pemerintah dipakai
sistem kanalisasi untuk membuka persawahan pasang surut.
Pelaksanaan proyek kanalisasi ini dimulai di Kalimantan Tengah dan
Selatan. Disamping kanal sebagai saluran primer di dalam tata
saluran di daerah itu, Pemerintah merencanakan pula penggalian
saluran-saluran sekunder dengan harapan drainase di daerah itu
dapat berjalan lebih lancar.
Terbentur oleh kekwatiran akan gagalnya persawahan pasang
surut dan kesukaran teknis pelaksanaan, terutama dalam bidang
logistik, maka pembukaan persawahan pasang surut pada waktu itu
mengambil kebijaksanaan untuk mebuka pilot proyek Besarang
yang pada saat ini telah tampak perkembangannya ke arah
kemakmuran.
Perkembangan baru dari persawahan pasang surut dimulai
pada saat kekurangan beras yang sangat mendesak. Setelah
memperhatikan kenyataan-kenyataan yang ad di daerah
persawahan pasang surut, Pemerintah mulai memberi prioritas
utama pada sistem pembukaan persawahan pasang surut untuk
menanggulangi kesulitan beras. Oleh Pemerintah ditetapkan tahun

168
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

1969 sebagai awal dari pembukaan persawahan pasang surut


secara besar-besaran.
Dalam ketetapan tersebut direncanakan untuk membuka
5.250.000 ha. Sawah yang meliputi daerah Sumatera dan
Kalimantan dalam waktu 15 tahun mulai saat itu.
Dari proses perkembangannya sampai sekarang ini, interaksi
dari teknologi tradisional dan teknologi dari luar mendorong
Pengairan Pasang Surut berkembang dengan pengaruh teknologi
yang beragam terutama yang cocok dengan keadaan lingkungan
setempat. Suatu pemilihan teknologi yang tepat yang sesuai
dengan lingkungan setempat akan sangat diperlukan guna
mendapatkan laju perkembangan yang mantap tanpa banyak
menimbulkan kerugian pada lingkungannya.

6.3. Proses Terbentuknya Rawa


Daerah rawa secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu : (1) Rawa non Pasang Surut (Lebak) ; (2) Rawa
Pasang Surut. Secara umum bentuk kelandaian dari suatu tampang

169
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

memanjang sungai dapat mempunyai pola seperti gambar dibawah


ini.

Gambar 6.1. Bentuk Kelandaian Sungai

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa pada bagian hulu


sungai dengan kemiringan curam, sifat banjirnya datang dengan
cepat, kecepatannya sangat tinggi dan kalau surut juga sangat
cepat. Pada banjir type ini, daya rusaknya tinggi, masa
genangannya singkat dan jarang terbentuknya rawa dengan kondisi
tersebut.
Pada bagian tengah dengan kelandaian sedang, sifat
banjirnya dengan waktu genang lama, sifat merusak konstruksi
lebih kecil, tapi sifat rusak tanaman oleh genangan lebih besar.
Genangannya umumnya selain lebih lama juga lebih dalam dan
luas.
Pada bagian hilir sampai ke laut terutama yang ada pengaruh
gerakan pasang surut, pengaruh banjir mulai berkurang dan
pengaruh genangan umumnya oleh terbendungnya air sungai oleh
naik turunnya air laut atau yang disebut pasang-surut. Ciri khas

170
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

atau karakteristik air (termasuk yang masuk ke darat tiap hari tapi
bukan banjir) ialah tiap hari ada lapisan tipis air yang dapat meluap
diatas lahan, tidak lama karena air pasang yang bisa menjangkau
darat ini hanya puncak pasang dengan waktu yang relatif pendek,
tawar, pada bagian air sungai terdesak masih tawar umumnya agak
ke hulu dan asin pada sekitar muara karena air laut masuk ke
muara dan kearah hulu.
Jarak pengaruh air asin ini tergantung banyaknya debit sungai
saat didesak pasang dan tingginya pasang. Pada saat pasang besar
(bulan purnama atau perbani) dan debit sungai kecil, air asin paling
jauh masuk ke darat. Dibawah ini dijelaskan dengan gambar secara
skematis.

Gambar 6.2. Pengaruh Pasang Surut Terhadap Kualitas Air

Jika perbedaan asin besar antara air tawar dan air laut
sedangkan beda pasangnya besar, sering terjadi bahwa air tawar
tidak sempat bercampur dengan air asin dan bentuknya cenderung
seperti Gambar 6.2. Tetapi jika perbedaan keasinan antara air laut (
di muara) dan air tawar kecil atau kadar garam air lautnya rendah,

171
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

sedangkan perbedaan pasang surut kecil serta saat masuk ke


muara sungai kecepatannya lambat, air asin dan air tawar sempat
bercampur. Tempat yang berangsur dari asin ke tawar tersebut
batas payau. Panjang batas payau ini sukar ditentukan dengan
teori dan sangat tepat jika diukur langsung di lapangan.

Gambar 6.3. Titik Pertemuan Air Laut dan Tawar

6.3.1. Proses Terbentuknya Rawa Darat atau Rawa Lebak


Dari Gambar 6.1. dan diperjelas dengan Gambar 6.4., saat
banjir akan ada genangan. Khusus wilayah tengah sungai dengan
sifat banjir seperti yang telah diterangkan sebelumnya, maka saat
terjadi genangan, terjadi pula endapan. Sifat endapan ini ialah pada
bagian pinggir sungai terendap lebih banyak dan berbutir kasar,
sedang pada daerah yang jauh dengan sungai endapan makin
sedikit dan makin halus. Endapannya agak banyak dipinggir sungai
dan mengakibatkan terbentuk tanggul. Tanggul ini disebut leevee.

172
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 6.4. Proses Terbentuknya Rawa Lebak


Leeve yang terbentuk di pinggir sungai inilah yang
menghambat air hujan yang jatuh sekitar sungai tersebut maupun
genangan saat banjir masuk kembali (ter-drainase) ke sungai.
Akibatnya terjadilah genangan permanen. Genangan permanen
inilah sebagai cikal bakal terjadinya rawa darat atau rawa lebak
sepanjang sungai.
Berdasar pada tinggi rendahnya genangan air, daerah rawa
non pasang surut (lebak) dapat dibagi menjadi tiga klasifikasi,
yaitu :
1. Bagian daerah (zone) yang memiliki ketinggian topografi
relatif cukup tinggi sehingga jangka waktu genangan airnya
relatif pendek. Zona ini disebut lebak pematang.
2. Zone dengan ketinggian topografi terendah sehingga jangka
waktu tergenangnya air relatif sangat lama atau terus menerus.
Zona ini disebut lebak dalam.
3. Zone yang berada diantara lebak pematang dan lebak dalam
sehingga disebut lebak tengah.

173
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 6.5. Perbedaan Lebak Pematang, Lebak Tengah, dan Lebak


Dalam

Tujuan dari masing-masing zone rawa non pasang surut


umumnya mempunyai titik berat yang berbeda, yaitu :
1. Lebak pematang : zone ini memiliki kondisi alam yang
menguntungkan, sehingga mempunyai prospek tata guna lahan
yang lebih luas dan leluasa dari pada zone yang lain. Walupun
demikian, pada ini terdapat kemungkinan terjadinya kekurangan
air di musim kemarau. Zone ini dapat dikembangkan sebagai
lahan permukiman, perladangan atau yang lain.
2. Lebak tengah : pada daerah inilah pad umumnya reklamasi
rawa dengan tujuan budidaya pertanian dilakukan.
3. Lebak dalam : karena daerah ini selalu tergenang air
sepanjang tahun, maka penggunaannya diarahkan untuk
memfungsikannya sebagai tempat penampungan air permukaan,
atau sebagai waduk penampung air yang dapat dimanfaatkan
untuk budi daya perikanan.

174
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

6.3.2. Proses Terjadinya Rawa Pasang Surut


Suatu daerah disebut sebagai rawa pasang surut bila air yang
tergenang di daerah itu diakibatkan atau berhubungan dengan
adanya pengaruh pasang surut tinggi muka air laut. Dengan
demikian pengembangan rawa pasang surut sangat ditentukan
dengan keadaan ketinggian muka air dan adanya intrusi air laut.
Ketinggian muka air akan menentukan sistem drainase dan ada
tidaknya peluang sistem irigasi dengan menggunakan grvitasi.
Sedangkan intrusi air laut akan menentukan kualitas air irigasi
sebagai air tanaman.
Lahan pasang surut berada pada daerah datrn dimana
pengaruh air pasang masih cukup. Daerah ini dapat mencapai
berpuluh-puluh kilometer dari garis pantai.
Pada daerah yang lebih dekat ke pantai, pengaruh pasang
surut air laut akan terlalu besar yang berpengaruh buruk pada
kegiatan budidaya tanaman. Sehingga pada kawasan tersebut
umumnya tidak dipilih sebagai daerah pembukaan pertanian
pasang surut. Sebaliknya pada daerah yang terlalu jauh dari garis
pantai, dimana air pasang sudah tidak lagi mampu menggenangi
permukaan tanah sawah, pada daerah ini tidak dapat lagi
dikatagorikan sebagai lahan pasang surut.
Secara umum, proses kejadian rawa pasang surut adalah
sebagai berikut :
1. Akibat adanya pasang, muka air laut di muara sungai naik
dan seolah-olah menjadi bendungan yang menghambat aliran
sungai menuju ke laut. Akibat muka air sungai menjadi ikut naik
karena air terbendung di muara.

175
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

2. Naiknya muka air sungai menyebabkan luapan-luapan air


yang membanjiri daerah di sekitarnya. Pengaruh terbendungnya
air sungai akibat pasang air laut ini kadang-kadang sangat jauh
ke hulu sungai (dapat mencapai puluhan kilometer dari muara
sungai).
3. Karena adanya berbagai bentuk topografi daerah di sekitar
sungai, tidak semua air yang melimpah saat air pasang kembali
lagi ke sungai pada saat air surut, sehingga pada daerah
tersebut terbentuk rawa-rawa.

Menurut lokasinya rawa pasang surut dapat digolongkan


menjadi tiga ruas. Penggolongan ini berdasarkan kepada sejauh
mana pengaruh pasang surut air laut terhadap lahan di sekitarnya.
1. Ruas I, karena letaknya di dekat laut, ketinggian muka air
sepenuhnya dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air laut.
Debit sungai (baik pada musim hujan maupun musim
kemarau) tidak emmberikan pengaruh perbedaan muka air
yang berarti. Instrusi air dari laut berlangsung sepanjang
waktu. Air tanah juga dikontaminasi oleh air laut. Pada
umumnya lahan ini bertanah gambut dangkal, dan umumnya
jarang pula ditemukan kendungan tanah liat yang dangkal.
2. Ruas II, ketinggian muka air maksimum tidak banyak berbeda
dengan bagian hilirnya (dengan muka air di Ruas I).
Ketinggian muka air minimum pada musim hujan diengaruhi
oleh debit air dari hulu. Pada musim kemarau, muka air pada
lahan ini menurun dan akibatnya air laut saat pasang masuk
ke daerah ini. Dengan demikian instrusi air asin dialami hanya

176
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

selama musim kemarau terutama pada periode pasang


tinggi.
3. Ruas III, pada lahan di ruas ini, tinggi muka air masih berada
di bawah pengaruh pasang surut, khususnya pada musim
kemarau, namun umumnya tidak terjadi aliran bolak-balik
(dua arah). Muka air maksimum dan minimum dipengaruhi
oleh debit di hulu.

Gambar 6.6. Tiga Lokasi Daerah Rawa Pasang Surut

Serupa dengan cara penggolongan di atas yang


menggunakan lokasi sebagai dasar pemilahannya, Prof. Dr.Ir.H.J.
Schophuys (dalam Parwanto, 1986) mengklasifikasikan daerah rawa
sebagai berikut :
1. Daerah pasang surut di dekat pantai yang berada di
sepanjang sungai-sungai kurang lebih 60 km ke pedalaman

177
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

dan 3 5 km dari tepai sungai. Pada daerah tersebut


genangan air sangat dipengaruhi oleh pasang surut dari laut.
2. Daerah rawa yang terletak jauh ke pedalaman dan dari tepi
sungai. Pada daerah ini pengaruh pasang surut terhadap
genangan yang terjadi, telah jauh berkurang atau tida ada.
Genangan air lebih banyak diakibatkan oleh tingginya curah
hujan.
3. Daerah danau yang terletak lebih jauh ke hulu, daerah mana
sangat berhubungan dengan banjir dan luapan air permukaan
sehingga merupakan danau-danau di musim hujan dan
sangat sedikit atau tidak lagi dipengaruhi oleh pasang surut.
4. Daerah rawa-rawa dataran atau rawa-rawa lembah-lembah
sungai yang terletak di daerah pegunungan. Pada daerah
tersebut tidak lagi dipengaruhi oleh pasang surut dan lebih
berhubungan dengan luapan banjir sungai.

178
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

BAB VII
REKLAMASI RAWA

7.1. Pengertian Umum


Menurut pengertiannya, Reklamasi Rawa diartikan
merubah rawa yang tidak/kurang potensial menjadi lahan yang
potensial seperti untuk pertanian, industri, permukiman, perkotaan
dan lain-lain.
Jadi reklamasi rawa mencakup pengertian suatu proses dan
tindakan membudidayakan daerah-daerah yang masih belum
dimanfaatkan, termasuk di dalamnya rawa-rawa, baik rawa pantai,
rawa pasang surut, maupun rawa daratan agar memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia.
Sebagimana diketahui dalam upaya meningkatkan produksi
pangan, dapat dilakukan dengan cara intensifikasi maupu
ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian dapat dilakukan
dengan menerapkan program Panca Usaha Tani yang meliputi :
(a) perbaikan cara bercocok tanam; (b) pemakaian bibit unggul; (c)
peningkatan penggunaan air ; (d) pemberantasan hama penyakit
dan (e) pemakaian pupuk. Sedangkan ekstensifikasi pertanian
merupakan kegiatan perluasan atau penambahan lahan pertanian
baru.
Ekstensifikasi pada daerah-daerah dataran tinggi (up land) di
samping relatif mahal juga mempunyai banyak kendala yang
muncul akibat adanya pertentangan kepentingan. Untuk itu

179
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

terdapat pilihan untuk mengembangkan lahan di dataran rendah


(low land) dan dianggap tepat sesuai dengan situasi dan kondisi
yaitu dengan pembukaan pertanian pasang surut.
Pada daerah rawa pasang surut Indonesia, pada umumnya
mempunyai tinggi hujan rata-rata tahunan di atas 2000 mm,
dengan jumlah bulan basah yang berurutan 5 sampai 9.
Menggunakan klasifikasi Oldeman, agroklimat umumnya berubah
dari C2 di dekat pantai (5-6 bulan basah, 2-3 bulan kering) ke B1
pada bagian ke arah pedalaman (Hartoyo, 1993). Dengan kondisi
seperti itu, rawa pasang surut mempunyai potensi klimat yang
menunjang ekstensifikasi pertanian.
Dengan demikian, reklamasi daerah rawa merupakan salah
satu bentuk usaha ekstensifikasi pertanian yang dilakukan dnegan
membuka, memanfaatkan serta melestarikan sumber daya alam
bagi kesejahteraan kehidupan umat manusia. Sumber daya alam
tersebut adalah daerah rawa.

7.2. Manfaat Reklamasi Rawa di Indonesia


Dalam lingkup yang lebih luas, pembudidayaan daerh rawa
akan memberikan dukungan pada beberapa sektor, seperti :
a. Pengembangan produksi pertanian, baik tanaman pangan
maupun tanaman komoditi eksport.
b. Pengembangan daerah transmigrasi
c. Pengembangan wilayah produktif
d. Mendukung Hankamnas dalam pertahanan daerah pantai

180
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Menurut Soedibyo (1983) dalam tingkat pembangunan


sekarang ini, arah dan pembangunan rawa ditunjukan kepada
usaha-usaha yang bersifat :
a. Menunjang peningkatan produksi pangan, terutama beras.
b. Menyediakan lahan usaha pertanian bagi transmigrasi dan
petani tanpa lahan.
c. Menunjang pengembangan wilayah dengan cara peningkatan
daya gunanya melalui proses reklamasi atas kawasan yang
sebelumnya kurang berguna.
d. Memberikan peluang pembangunan yang lebih merata atas
wilayah daerah yang relatif terpencil namun cukup memiliki
potensi untuk berkembang.
e. Bertujuan mengisi daerah rawan yang langka penduduk agar
diperoleh suatu garis parimeter pertahanan tangguh yang
mampu menjadi penangkal masuknya musuh dari luar.

Sedangkan Waloejono (1992) menyatakan adanya berbagai


kemungkinan dampak positif yang timbul akibat kegiatan reklamasi
rawa, antara lain :
a. Terciptanya lapangan kerja baru di bidang pertanian.
b. Perluasan lahan pertanian dan peningkatan produksi hasil
pertanian.
c. Terbukanya peluang peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani dengan mengalokasi lahan seluas 2 Ha
per kepala keluarga.
Khusus dalam upaya pengembangan produksi pertanian,
proyek reklamasi rawa yang telah ada memberikan bukti bahwa
hasil yang diperoleh tidaklah mengecewakan. Kemajuan teknologi

181
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

sistem reklamasi dan berkembangnya varitas tanaman telah


mampu untuk meningkatkan pemberdayaan potensi lahan rawa.
Sementara itu lahan rawa di Indonesia yang mempunyai potensi
dapat dikembangkan sangat luas tersedia di Indonesia.

7.3. Dampak Negatif Reklamasi Rawa


Pengembangan rawa tidak pula terlepas dari kemungkinan
adanya berbagai dampak sampingan negatif yang berhubungan
dengan kegiatan tersebut. Kawasan rawa secara hidrologis
merupakan suatu sub sistem dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
menurut letak geografisnya berada di daerah dataran rendah dan
berada di sekitar muara sungai.
Sebagai bagian dari sistem DAS, dampak pengaruh kawasan
rawa berada pada pantai. Campur tangan manusia di kawasan rawa
memberikan dampak pengaruh lingkungan yang relatif sangat
terbatas atas wilayah DAS dibandingkan dengan kawasan-kawasan
lain yang terletak lebih di hulunya.
Walaupun dampak pengaruhnya relatif kecil, setiap
pembangunan kawasan rawa haruslah dilakukan dengan hati-hati
dan selektif. Dampak pengaruh negatif pembangunan terhadap eko-
sistem DAS harus diusahakan sekecil mungkin. Berbagai tindakan
yang sangat mungkin memberikan pengaruh negatif antara lain :
1. Penutupan muara-muara sungai akan dapat
mempengaruhi kapasitas aliran sungai di muara dan berpotensi
menyebabkan banjir di daerah pesisir yang rendah.
2. Pengundulan hutan-hutan bakau yang dapat
mempengaruhi kestabilan pantai.

182
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

3. pembuatan waduk-waduk besar di sungai yang dapat


mengurangi pasokan sedimen pantai dan dengan demikian
dapat menyebabkan erosi pantai.
4. Pemindahan muara-muara sungai juga dapat
menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan pantai dan
menyebabkan erosi pantai.
5. Pengambilan material pantai dan sungai yang dapat
menyebabkan terganggunya keseimbangan dan menyebabkan
erosi pantai.
6. Pembangunan delta yang menjadikan perubahan sifat-
sifat gerakan gelombang, arus, dan sedimen.
7. pendirian bangunan-bangunan di daerah pantai yang
menyebabkan peningkatan laju erosi pantai.
8. Peningkatan masuknya jumlah sedimen pantai ke dalam
daerah sub-marine (laut dalam) yang mempengaruhi konservasi
sedimen pantai.
9. Peningkatan industri yang berpotensi mmperbanyak
jumlah limbah industri yang berakibat meningkatnya
pencemaran wilayah pesisir.
10. Pemompaan air tanah secara besar-besaran yang
membawa peningkatan instrusi air asin ke wilayah pesisir.
Permasalahan-permasalahan tersebut ada yang telah terjadi
ataupun baru akan dirasakan pada masa-masa mendatang.
Sehingga harus dipersiapkan tindakan-tindakan atau usahausaha
penanggulangannya.

7.4. Potensi Rawa Indonesia

183
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Berdasarkan data yang diperoleh dari Lembaga Penelitian


Tanah Departemen Pertanian tahun 1977 (sekarang Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian), luas potensi (alami) rawa di Indonesia
diperkirakan berjumlah sekitar 39,4 juta hektar yang sebagian
terbesar terdapat di empat pulau terbesar yaitu Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Luas rawa tersebut adalah
16% dari luas daratan Indonesia seluruhnya (190.434.500 ha). Dari
39 juta hektar ini 18%-nya (7 juta hektar) merupakan daerah
rawa yang dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air laut dan
terdapat di Kalimantan.
Sebagian dari daerah rawa tersebut, yaitu daerah rawa pantai
yang telah dilakukan studi oleh direktorat Rawa (1984) meliputi
areal seluas 24,7 juta Ha. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa
seluas 3,3, juta Ha telah diusahakan (telah direklamasi), dan 5,6
juta Ha mempunyai potensi (atau sesuai) untuk dikembangkan
sebagai lahan pertanian dan sisanya seluas 15,7 juta Ha tidak
sesuai untuk usaha pertanian.

Tabel 7.1. Luas lahan Rawa di Empat Pulau Besar Indonesia


Pulau Rawa Pasang Surut Rawa Non Pasang Surut Sub Total (Ha)
(Ha) (Ha)
Sumatera 9.771.000 3.440.000 13.211.000
Kalimantan 7.054.000 5.710.000 12.764.000
Sulawesi 84.000 385.000 469.000
Irian Jaya 7.798.750 5.181.750 12.980.500
Total 24.707.000 14.716.750 39.424.500
Sumber : Darmanto 1992

Tabel 7.2. Tingkat Kesesuaian Lahan Rawa

184
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Kurang sesuai
Diusahakan Cocok untuk Sub Total
Pulau untuk
(Ha) pertanian (Ha) (Ha)
pertanian (Ha)
Sumatera 2.089.100 6.301.800 1.380.100 9.771.000
Kalimantan 1.189.200 4.472.300 1.392.500 7.054.000
Irian Jaya - 4.990.625 2.808.125 7.798.750
Total 3.278.300 15.704.725 5.580.725 24.623.750
Sumber : Darmanto 1992
Keterangan :
Lahan diusahakan adalah lahan yang
sekarang ini diusahakan untuk sawah ataupun perkebunan.
Lahan kurang sesuai untuk pertanian adalah
lahan yang masih berupa hutan mangrove, gambut tebal
maupun lahan yang selalu terganggu oleh bahaya banjir. Lahan
ini sulit untuk diusahakan sebagai lahan usaha pertanian.
Lahan yang sesuai untuk pertanian adalah
lahan yang masih berupa rawa-rawa dengan kondisi drainase
yang kurang baik, dipengaruhi oleh gerakan pasut dan dengan
reklamasi akan mempunyai potensi untuk dikembangkan.

7.5. Klasifikasi Reklamasi Rawa Berdasarkan Keadaan


Bangunan Pengairannya

Berdasarkan keadaan dan susunan jaringan saluran dan


bangunan pengairan yang ada di dalamnya, reklamasi daerah rawa
dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Nawawi, 1978) :
Reklamasi Rawa Sederhana
1. Terdiri atas saluran-saluran drainase saja
2. Pembagian dan pemberian air tidak dilakukan
3. Tidak terdapat bangunan-bangunan tat air yang bersifat
permanen
Reklamasi Rawa Setengah Teknis

185
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

1. Pembagian dan pemberian air kurang dapat dilakukan


dengan seksama
2. Terdapat tanggul-tanggul di sekeliling atau sebagian
3. Terdapat saluran-saluran dan bangunan-bangunan
permanen (misalnya pintu-pintu)
Reklamasi Rawa Teknis atau Polder
1. Pembagian dan pemberian air dapat diatur dan diperiksa
dengan seksama sesuai dengan keperluan yang direncanakan
2. Memiliki bangunan tata air yang lengkap dan permanen
yaitu berupa bangunan pompa pemasukan/atau bangunan
pompa pembuang, bangunan bagi, bangunan gorong-gorong,
pintu klep atau pintu klep otomatis
3. Pemasukan dan pengeluaran debit air dapat diatur
4. Saluran pembuangnya lengkap, jelas terpisah fungsi dan
sarana antara saluran pembuang dan pembawa
5. Terdapat tanggul keliling yang berfungsi sebagai
pengisolasi daerah dengan daerah perairan di luarnya
Reklamasi Rawa Pasang Surut
1. Terletak di daerah rawa yang dipengaruhi oleh pasang dan
surutnya muka air laut
2. Pembagian atau pemberian air dilakukan dengan
memanfaatkan naiknya pasang
3. Pembuangan dilakukan dengan bantuan turunnya muka air
surut
4. Saluran pembawa dan saluran pembuang dapat menjadi
satu atau terpisah

7.6. Polder

186
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Kata reklamasi, terutama yang berhubungan dengan


reklamasi rawa, seringkali dihubungkan dengan kata polder. Polder
merupakan salah satu bentuk hasil kegiatan reklamasi yang
dilakukan dengan cara khusus, yaitu dengan menggunakan tanggul-
tanggul dan sistem drainase agar air banjir dapat dicegah dan
pengaturan air di dalamnya dapat dikendalikan tanpa dipengaruhi
keadaan di luarnya, sehingga suatu daerah yang semula tergenang
air dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Perlu diketahui
bahwa kegiatan reklamasi daerah rawa tidak selalu berupa
pembuatan polder.
Polder merupakan suatu contoh hasil kegiatan reklamasi rawa
yang memenuhi persyaratan teknologi tata air. Artinya polder
tersebut mempunyai sistem tata air yang dapat sepenuhnya
dikendalikan dengan tanpa dipengaruhi oleh sistem tata air di luar
polder. Untuk itu maka diperlukan kondisi sebagai berikut :
a. Tidak terdapat pengaruh langsung dari aliran air bebas (free
run off) yang masuk ke dalam polder.
b. Mempunyai sistem drainase yang dilakukan baik melalui
sistem gravitasi maupun dengan pompa.
c. Di dalam polder tidak terdapat sistem tata air lain yang
berhubungan dengan sistem tata air di luar polder.
d. Tinggi dan keadaan muka air tanah di dalam polder tidak
berhubungan dengan tinggi dan keadaan muka air tanah dari
daerah di sekitarnya.

Berdasarkan kriteria di atas, suatu polder yang baik akan


dapat berupa suatu lahan pertanian atau lahan untuk keperluan
yang lain, dengan dicirikan dengan adanya tanggul-tanggul yang

187
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

berfungsi sebagai pembatas sistem tata air di dalam dan di luar


polder. Polder tersebut juga dilengkapi dengan sistem saluran
drainase, kolam-kolam tampungan dan pompa drainase.
Air yang tergenang di daerah polder (termasuk dari air hujan)
dialirkan melalui sistem saluran drainase ke kolam penampung dan
selanjutnya dibuang keluar. Bila terdapat kemungkinan membuang
air ke luar dengan sistem gravitasi, diperlukan pula adanya
bangunan-bangunan untuk keperluan tersebut. Menurut keadaan
daerah yang direklamasi, polder dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Polder yang berada di sepanjang lembah
sungai. Lahan di kanan dan kiri sungai umumnya mempunyai
kesuburan yang baik. Akibat meluapnya air sungai. Daerah itu
seringkali tergenang air dan menjadikannya sebagai rawa-rawa.
Reklamasi pada daerah ini berupa pembuatan tanggul-tanggul di
sekitar lembah sungai, dan pembuatan sistem jaringan drainase
untuk mengamankan polder dari pengaruh aliran permukaan
dari daerah yang lebih tinggi yang akan masuk kedalamnya.

188
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 7.1. Polder di Sepanjang Lembah Sungai

2. Polder yang dihasilkan dari pengeringan


danau. Tanah-tanah di danau pada umumnya sangat subur,
namun upaya reklamasi danau memberikan beberapa dampak
negatif seperti : (1) akan menyebabkan perubahan puncak banjir
di hilir sehubungan dengan berkurangnya fungsi tampungan air
di dalam danau; (2) pengaliran sedimen di sepanjang sungai
akan berpengaruh dan dapat memberikan dampak
pendangkalan yang besar di daerah hilir.

189
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 7.2. Polder Hasil Pengeringan Danau

3. Polder umumnya merupakan hasil reklamasi rawa. Bila reklamasi


dimaksudkan untuk kepentingan lahan industri, umumnya polder
ini dibentuk dengan cara penimbunan, disamping dengan
membuang air tergenang melalui sistem drainase dan
pembuatan tanggul-tanggul pengendali. Bila daerah rawa
digunakan untuk tujuan budi daya pertanian dan perikanan atau
reklamasi tanah pemukiman/industri yang luas, upaya reklamasi
dengan penimbunan mungkin akan terlalu mahal, sehingga
digunakan polder.

190
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 7.3. Polder Hasil Reklamasi Rawa

4. Polder yang terbentuk akibat terjadinya penurunan muka tanah,


yang mengakibatkan muka tanah berada dibawah muka air
daerah di sekitarnya.

7.7. Sistem Pengembangan Rawa Indonesia


Secara tradisional masyarakat telah mengembangkan rawa
degan sistem tata air sebagai gambar dibawah ini. Umumnya
daerah yang direklamasi menjorok 1-2 km ke hulu, dan dilakukan
dengan saluran-saluran pembawa/pembuang air sederhana.

191
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 7.4. Reklamasi Sederhana

Rancangan reklamasi rawa yang dilakukan pemerintah yang


juga bertujuan untuk memberikan dukungan pada program
transmigrasi, umumnya meliputi daerah yang lebih luas, minimum
seluas 5.000 Ha dengan menggunakan saluran-saluran primer yang
lebar (10-20 meter) dan dilengkapi pula dengan sistem saluran
sekunder dan tersier.

192
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 7.5. Reklamasi Dengan Saluran Primer dan Sekunder

Perkembangan teknologi membawa berbagai sistem tata air


saluran dalam pengembangan rawa pasang surut di Indonesia.
Sistem pertama terkenal dengan nama sistem garpu. Sistem ini
pada dasarnya merupakan sistem tradisional yang kemudian
dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada. Sistem tersebut
ditandai dengan adanya pengaturan saluran primer, sekunder, dan
tersier dengan pola garpu serta adanya kolam-kolam pasang.
Gambar 7.6. dibawah ini menunjukan contoh penerapan sistem
tersebut pada daerah Barambai, Kalimantan.

193
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 7.6. Sistem Garpu

Kedua, berupa sistem jaringan yang dapat berupa suatu


sistem saluran drainase yang menghubungkan dua buah sungai,
ataupun sebagai sistem yang berdiri sendiri, sebagaimana gambar
dibawah ini.

194
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

Gambar 7.7. Sistem Jaringan

Ketiga, berupa sistem Polder yang dicirikan dengan adanya


tanggul-tanggul dan pintu-pintu air guna mengendalikan
(mengisolasi) lahan dari pengaruh luapan air dari luar. Berbeda
dengan sistem garpu dan sistem jaringan, pada sistem polder

195
Rekayasa Sungai dan Rawa
Jurusan T. Sipil UNTAD

saluran pembawa dan pembuang telah dipisahkan. Dengan


demikian sistem polder telah menggunakan pendekatan teknologi
terbaik dalam melindungai dan mengatur kegiatan lahan yang
dikembangkan.

196

Anda mungkin juga menyukai