Anda di halaman 1dari 39

I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang

unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta
sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS
di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan
tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya
alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi
DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor,
erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap
kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian
hulu maupun hilir demikian besarnya.
Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu
khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di
banyak

tempat

rawan

terhadap

ancaman

gangguan

manusia.

Hal ini

mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan


sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan
pengaturan kelembagaan (institutional arrangement).
Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya
adanya ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing
berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang.
Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi

daerah dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu


meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya
alam yang ada.
Pengelolaan DAS terpadu dilakukan secara menyeluruh mulai keterpaduan
kebijakan, penentuan sasaran dan tujuan, rencana kegiatan, implementasi program
yang telah direncanakan serta monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara
terpadu. Pengelolaan DAS terpadu selain mempertimbangkan faktor biofisik dari
hulu sampai hilir juga perlu mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi,
kelembagaan, dan hukum. Dengan kata lain, pengelolaan DAS terpadu diharapkan
dapat melakukan kajian integratif dan menyeluruh terhadap permasalahan yang
ada, upaya pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam skala DAS secara
efektif dan efisien.
Hutan rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan formasi klimatis
(climaticformation) dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation).
Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur,
kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut terdapat pada
daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut
setebal 50 cm atau lebih.
Pada umumnya terletak di antara hutan rawa dengan hutan hujan
(Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). MenurutSoerianegara (1977) dan Zuhud
serta Haryanto (1994), hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya
berkisar 1 2 meter dan digenangi air gambut yang berasal dari air hujan (miskin
hara, oligotrofik) dengan jenis tanah organosol.

Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur
Pulau Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan
pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar
pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke
bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang
luas di bagian selatan Papua. Terdapat 400 juta hektar lahan gambut di dunia, 90
% diantaranya terdapat di daerah temperate dan 10 % sisanya berada di daerah
beriklim tropis. Indonesia sendiri mempunyai 20.6 juta Ha atau 10.8 % luas
daratan Indonesia. 35% di Sumatera, 32% di Kalimantan, 3% di Sulawesi dan
30% di Papua. Fungsinya yang penting bagi keseimbangan ekosistem membuat
lahan ini patut dipertahankan. Sementara menurut Widjaya-Adhi 4,19 juta hektar
hutan rawa gambut Indonesia telah dialihfungsikan.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan pelaksanaan praktikum Manajemen DAS dan Rawa Gambut di
Belawan, Sumatera Utara yakni mengamati permasalahan Daerah Aliran Sungai
(DAS) di Hilir Sicanang, mengamati cara pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) terpadu di sekitar kawasan hilir Sicanang
Manfaat dilakukannya praktikum Manajemen DAS dan Rawa Gambut di
Belawan, Sumatera Utara yakni agar mahasiswa/praktikan dapat melihat secara
langsung kondisi geologis Daerah Hilir Aliran Sungai (DAS) dan melihat secara
langsung aktivitas yang ada di sekitar kawasan Hilir Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sicanang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS)


Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi
dan batas di laut sampai dengan batas perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan.

DAS

juga

diartikan

sebagai

daerah

yang

dibatasi

oleh

punggungpunggung gunung dan air akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke


sungai utama (Asdak, 2004; Kementerian Kehutanan, 2009; dan Santoso, 2012).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012, tentang pengelolaan
DAS, bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan
dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang terpengaruh aktivitas daratan. Sebagaimana sudah
diketahui, fungsi DAS adalah sebagai pemasok air dengan kuantitas dan kualitas
yang baik, terutama bagi orang di daerah hilir. Alih fungsi lahan dari hutan
menjadi lahan pertanian atau bukan pertanian akan mempengaruhi kuantitas dan
kualitas tata air pada DAS, yang akan lebih dirasakan oleh masyarakat di daerah
hilir. Persepsi umum yang berkembang sekarang, konversi hutan menjadi lahan 11
pertanian mengakibatkan penurunan fungsi hutan dalam mengatur tata air,
mencegah banjir, longsor dan erosi pada DAS tersebut. Hutan selalu dikaitkan
dengan fungsi positif terhadap tata air dalam ekosistem DAS (Noordwijk dan
Farida, 2004). Kerusakan pada DAS akibat dari intervensi dan kebutuhan manusia

yang terus meningkat serta alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan
kaidahkaidah kesesuaian dan kemampuan lahan menyebabkan munculnya
berbagai bencana alam, keadaan ini menyebabkan semakin meningkatnya DAS
kritis dan rusak.
Menurut (PP No. 13 Tahun 2012) wilayah sungai adalah kesatuan wilayah
pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/ atau
pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km 2. Daerah
Aliran Sungai (DAS)/ WS adalah suatu wilayah tertentu yang bentuk dan sifat
alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang
berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya
dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut. Satu wilayah sungai
dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (wilayah sungai-wilayah sungai lain)
oleh pemisah alam topografi seperti punggung perbukitan dan pegunungan.
Menurut (Asdak dalam Wirosoedarmoet al, 2012) DAS adalah suatu
wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung
yang menampung dan menyimpan air hujan kemudian menyalurkan ke laut
melalui sungai utama. Aliran sungai lebih ditentukan oleh tingkat curah hujan
daripada oleh proses hidrologi lainnya yang dipengaruhi oleh DAS. Aspek utama
yang termasuk dalam aliran sungai adalah total hasil air tahunan, keteraturan
aliran, frekuensi terjadinya banjir pada lahan basah, dataran aluvial dan
ketersediaan air pada musin kemarau (Agus et al, 2004).
Permasalahan DAS tumbuh seiring dengan pertambahan penduduk dan
Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Pengelolaan DAS pada

dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam suatu DAS


secara rasional untuk mencapai tujuan produksi pertanian yang optimum dalam
waktu yang tidak terbatas, berkelanjutan dan lestari. Usaha disertai dengan upaya
untuk menekan kerusakan seminimum mungkin, sehingga aliran air merata
sepanjang tahun (Asdak, 2004).
DAS berdasarkan ekosistemnya dibagi menjadi bagian hulu, tengah, dan
hilir. DAS bagian hulu merupakan daerah konservasi yang mempunyai kerapatan
drainase lebih tinggi dan memiliki kemiringan lereng lahan yang besar. DAS
bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua bagian DAS hulu dan hilir.
DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan aliran kecil dan
memiliki kemiringan lahan yang kecil sampai sangat kecil. Ekosistem DAS
bagian hulu merupakan bagian penting, karena mempunyai perlindungan terhadap
seluruh bagian DAS, perlindungan tersebut dari segi fungsi tata air (Asdak, 2004;
BPDAS, 2009). Konsep pengelolaan DAS dalam implementasinya merupakan
tanggung jawab semua daerah di kawasan DAS dan yang penting sekarang
implementasinya seperti apa dan kapan dilaksanakan perlu koordinasi antar
instansi terkait dan sebaiknya juga melibatkan masyarakat setempat (Suntoro,
2008 ; Haeruman, 2013)
Paimin et al., (2010) dan Gunawan (2012), menyatakan bahwa
karakteristik DAS merupakan faktor utama dalam pengelolaan DAS. Penyusunan
rencana pengelolaan DAS adalah berdasarkan karakteristik DAS. Karakteristik
DAS dibagi dalam dua bagian, yaitu: (1) karakteristik statis (variabel: bentuk,
morfologi, dan morfometri DAS), dan (2) karakteristik dinamis (variabel:

hidrologi, klimatologi, penutupan lahan, penggunaan lahan, kondisi sosial,


ekonomi dan budaya masyarakatnya dan kelembagaan.
Sistem hidrologi dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang dapat maupun
yang tidak dapat dipengaruhi oleh manusia. Faktor yang dapat dipengaruhi oleh
manusia yaitu faktor tataguna lahan dan panjang lereng, oleh karena itu dalam
perencanaan pengelolaan DAS diperlukan kegiatan yang salah satu fokusnya
ditujukan pada perubahan tataguna lahan serta pengaturan panjang lereng. Faktor
yang tidak dapat dipengaruhi oleh manusia adalah iklim dan relief (Asdak, 2004).
waktu, tugas pengelolaannya hampir tanpa akhir, dengan demikian pengelolaan
DAS bersifat sinambung (continuous) dan lentur (flexible), sehingga tidak dapat
diselesaikan dengan sekali kegiatan dapat tuntas. Hal ini disebabkan oleh masalah
baru akan selalu timbul, sebagai akibat aktivitas manusia maupun oleh proses
alam (Paimin et al., 2010).
Tutupan lahan oleh pohon (tutupan pohon) dengan segala bentuknya dapat
mempengaruhi aliran air. Tutupan pohon tersebut dapat berupa hutan alami, atau
sebagai permudaan alam (natural regenation), pohon yang dibudidayakan, pohon
sebagai tanaman pagar, atau pohon monokultur (misalnya hutan tanaman
industri). Pengaruh tutupan pohon terhadap aliran air adalah dalam bentuk
intersepsi air hujan (selama kejadain hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan
menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air (water film) pada
permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum
jatuh ke tanah. Banyaknya air yang dapat diintersepsi dan dievaporasi tergantung
pada indeks luas dan (LAI), karakteristik permukaan daun dan karakteristik hujan.
Intersepsi merupakan komponen penting jika jumlah curah hujan rendah tetapi

dapat diabaikan jika curah hujan tinggi. Apabila curah hujan tinggi, peran
intersepsi pohon penting dalam kaitannya dengan pengurangan banjir (Agus et al,
2004).
Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah), penting untuk
mengantisipasi adanya proses peluruhan dan penyumbatan pori makro tanah.
Serapan air yaitu sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai
lapisantanah untuk mendukung proses transpirasi pada permukaan daun. Faktorfaktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon, distribusi akar dan
respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia. Darinase lansekap
yaitu besarnya drainase sutau lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang
memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebh lama sehingga mendorong
terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang
dapat memicu terjadinya aliran cepat air tanah/ quick flow (Agus et al, 2004).
Menurut (Rahman, 2013) mengemukakan bahwa semakin kecil tutupan
lahan oleh vegetasi, maka semakin besar potensi untuk terjadinya banjir dan
bencana longsor pada musim hujan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar air
hujan menjadi aliran permukaan sungai yang berpotensi menimbulkan banjir.
Pada lahan dengan kemiringan lereng besar, meningkatnya aliran permukaan juga
mudah menyebabkan tanah longsor apabila tida ada perakaran vegetasi yang
berfungsi sebagai jangkar penahan tanah (Tarigan et al, 2012).
Penggunaan lahan yang berkaitan erat dengan aktivitas manusia sehingga
menyebabkan banjir akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem DAS. Masalah
yang lain yang mengganggu ekosistem DAS yaitu banjir di musin hujan dan

kekeringan di musim kemarau, penurunan debit air sungai, erosi dan sedimentasi
dan longsor. Secar faktual masalah tersebut telah menimbulkan penurunan
produktivitas lahan dan kekurangan air tanah sepanjang tahun (Komaruddin,
2008)..
Erosi di DAS umumnya terjadi karena pemanfaatan lahan yang tidak
mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air. Erosi di suatu lahan menyebabkan
hilangnya lapisan atas tanah yang subur untuk menyangga pertumbuhan tanaman
(Tan dalam Komaruddin, 2008). Untuk mempertahankan kelestarian produktivitas
tanah maka perlu dicegah agar erosi yang terjadi tidak melebihi batas erosi yang
dapat diabaikan. Sedangkan jika erosi telah terjadi maka diperlukan upaya
rehabilitasi dan konservasi lahan (Komaruddin, 2008).
Upaya rehabilitasi lahan untuk mengatasi kemerosotan produktivitas
sumberdaya lahan (vegetasi, tanah dan air) dan mencegah kerusakn fungsi lahan
DAS harus dilakukan dengan metode yang tepat berdasarkan bilai erosi aktualnya.
Selain itu rehabilitasi yang tepat memerlukan data kondisi daerah resapan
yangdapat diklasifikasikan dengan cara membandingkan infiltrasi potensial dan
infiltrasi aktual serta nilai erosi aktualnya (Komaruddin, 2008).
2.2. Pengertian Rawa Gambut
Menurut Noor, (2004), rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran
sungai, danau atau lebak yang menjorok masuk kepedalaman sampai sekitas 100
km atau sejauh dirasakanya pengaruh gerakan pasang. Jadi, lahan rawa dapat
dikatakan sebagai lahan yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut atau
sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan lahan tergenang sampai satu

10

meter,tetapi pada musim kemarau menjadi kering bahkan sebagai muka air tanah
turun mencapai jeluk < 50 cm.
Dalam pengertian yang lebih luas rawa digolongkan sebagai lahan basah
atau lahan bawahan, tetapi tidak berarti bahwa lahan basah atau lahan bawahan
hanya rawa. Menurut konvensi Ramsar (1971) dalam Noor (2004) yang dimaksud
dengan lahan basah adalah daerah rawa, paya, gambut, atau badan perairan
lainnya, baik alami maupun buatan, yang airnya mengalir atau tergenang, bersifat
tawar, payau atau salin, termasuk kawasan laut yang mempunyai jeluk air pada
saat surut terendah tidak lebih dari 6 m. Jadi, batasan konvensi Ramsar ini
persawahan (irigasi), waduk, dan tambak termasuk lahan basah sehingga
pengelolaan yang terkait dengan pemanfaatan lahan sulfat masam untuk keperluan
pertanian, perikanan dapat mengacu pada pengertian dalam konteks pengelolaan
bahan basah.

III. METODE PRAKTIKUM

11

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari rabu tanggal 14
Desember 2016, pukul 13.00 s.d. selesai di kawasan DAS
konservasi mangrove Kampung Sentosa Barat, Lingkungan 20,
Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Belawan, Kota Medan,
Provinsi Sumatera Utara.
3.2. Alat dan Bahan
Bahan yang dijadikan objek pengamatan pada praktikum Manajemen
Daerah Aliran Sungai dan Rawa Gambut yaitu di kawasan aliran sungai koservasi
mangrove di Kp. Sentosa Barat, Lingkungan 20, Kelurahan Belawan
Sicanang, Kecamatan Belawan, Kota Medan, Provinsi Sumatera
Utara. Pada kawasan aliran sungai ini, terdapat banyak sekali mangrove sebagai
media hidup biota air seperti ikan, kepiting dan udang.
Alat

yang

digunakan

selama

pengamatan

yaitu

kamera

untuk

mengabadikan gambar/objek pengamatan, GPS untuk menetukan koordinat lokasi


dan peralatan menulis serta buku praktikum untuk mencatat hasil pengamatan
yang bisa dijadikan sebagai acuan penulisan laporan praktikum Manajemen
Daerah Aliran Sungai dan Rawa Gambut.
3.3. Metode Praktikum
Metode yang digunakan pada praktikum Manajemen DAS
adalah

dengan

cara

pengamatan

langsung,

kemudian

pengambilan foto dokumentasi. Untuk praktikum Rawa gambut,


tidak dilakukan karena kawasan yang tidak memiliki perairan
rawa gambut, namun dalam penulisan laporan, topik mengenai

12

rawa gambut diperoleh melalui studi literatur dari berbagai


sumber.
3.4. Prosedur Pratikum
Pada saat pengamatan, mahasiswa/praktikan diharuskan untuk melakukan
mengamati secara deskriptif mengenai kondisi geologis dan fisiologis aliran
sungai, mengamati kegiatan yang ada disekitar aliran sungai, mengamati
ekosistem mangrove yang ada disekitar aliran Hilir sungai Sicanang tersebut.

13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Manajemen DAS


Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi
yang dibatasi oleh punggungan perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke
arah lembah di hilir. Oleh karenanya, DAS merupakan satu kesatuan sumberdaya
darat tempat manusia beraktivitas untuk mendapatkan manfaat darinya. Agar
manfaat DAS dapat diperoleh secara optimal dan berkelanjutan maka pengelolaan
DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
DAS mempunyai arti penting terutama dalam hubungan ketergantungan
antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan sangat
mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilirnya sehingga perencanaan
pembangunan daerah hulu menjadi sangat penting dalam manajemen DAS secara
keseluruhan.
Berdasarkan sudut pandang biofisik, yang dimaksud dengan daerah Aliran
Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan tertentu yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan (UU
air Pasal 1 ayat 11 UU No. 7 Tahun 2004) .
Sementara dari sudut pandang pengelolaan, Daerah Aliran Sungai (DAS)
merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur - unsur utamanya terdiri atas
sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) serta sumberdaya manusia sebagai

14

pelaku pemanfaat dan pengelola sumberdaya alam tersebut.

DAS dipandang

sebagai basis utama yang tepat dalam membentuk unit pembangunan


berkelanjutan yang berpilarkan ekologi, ekonomi dan sosial dikarenakan beberapa
hal, yaitu : DAS merupakan sistem alami yang jelas batas-batasnya, rentang area
dimulai dari pegunungan sampai dengan pesisir beserta area diantaranya, dapat
memberikan pandangan secara holistik dari berbagai komponen pembentuknya,
memperlihatkan bagaimana ekosistem dataran tinggi, rendah dan pesisir saling
berhubungan

dan

sederhana

dalam

aktifitas/kegiatan terhadap lingkungan.

memonitoring

pengaruh

berbagai

Sebagai sebuah unit pembangunan

berkelanjutan sistem DAS mempunyai kerangka kerja yang mendorong kolaborasi


atau kerjasama diantara stakeholder (pemangku kewajiban) untuk mengelola,
mempertahankan dan mendistribusikan manfaat kepada stakeholder generasi
sekarang dan mendatang, diantara dan diluar unit tersebut.
Sehingga sangatlah tepat apabila dikatakan bahwa suatu Daerah Aliran
Sungai merupakan suatu megasistem kompleks yang dibangun atas sistem fisik
(physical systems), sistem biologis (biological systems) dan sistem manusia
(human systems) dimana setiap sistem dan sub-sub sistem di dalamnya saling
berinteraksi. DAS sebagai suatu sistem akan memelihara keberadaannya dan
berfungsi sebagai sebuah kesatuan melalui interaksi antar komponennya. Kualitas
output dari suatu ekosistem sangat ditentukan oleh kualitas interaksi antar
komponennya, sehingga dalam proses ini peranan tiap-tiap komponen dan
hubungan antar komponen sangat menentukan kualitas ekosistem DAS (Senge,
1994 dan Kartodihardjo et al., 2004).

15

4.1.1. Identifikasi Lokasi dan Potensi DAS


Hilir dari sungai Sicanang Belawan berada di kecamatan Medan Belawan,
Medan, Sumatera Utara. Titik koordinat DAS Sungai Sicanang berada pada
0344'57.21"N - 09838'40.98"E, di sebelah utara berbatasan dengan Laut Selat
Malaka, di bagian selatan berbatasan dengan Medan Labuhan, di bagian timur dan
baratvberbatasan dengan Kabupaten Deli Serdanng. DAS Sungai Sicanang
merupakan unit alam berupa suatu kawasan yang fungsinya menampung
menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama
yang bermuara ke pelabuah Belawan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Sicanang merupakan salah satu kawasan
yang sangat memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat. DAS Sicanang
digunakan masyarakat yaitu sebagai : daerah penangkapan ikan, lokasi
pembudidaya/tambak ikan, udang dan kepiting, pemukiman warga, tempat ibadah,
lahan pertanian, lahan perkebunan, dan kawasan hutan mangrove. Potensi DAS
Sungai Sicanang tidak terlepas dari peranan penting bagi kehidupan masyarakat.
Salah satu potensi dari DAS Sungai Sicanang ini yang menjadi daya tarik dan
tujuan wisata adalah kawasan konservasi ekosistem mangrove. Konservasi yang
dilakukan bertujuan untuk melestarikan, melindungi, serta memanfaatkan
kawasan hutan mangrove sebagai wadah menimbah ilmu, pengadaan penelitian,
ekowisata dan lainnya.

16

4.1.2. Identifikasi Permasalahan DAS


Permasalahan yang terjadi pada kawasan DAS Sicanang, yaitu :
1. Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan.
Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat
komplek pada DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas provinsi. Oleh karena
itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu
dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu.
2. Banjir pada kawasan DAS
Banjir merupakan permasalahan yang sudah biasa terjadi di DAS. Banjir
terjadi akibat adanya perubahan sistem DAS yang kontinu dimulai dari wilayah
upstream (hulu) - downstream (bagian tengah) middlestream (hilir) yang
signifikan. Dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir, telah terhenti proyek
penebangan hutan mangrove pada kawasan DAS Sicanang, proyek ini dilakukan
pada salah satu perusahaan yang menghasilkan kayu arang yang diproduksi dari
kayu mangrove.
3. Kepedulian masyarakat terhadap kondisi lingkungan.
Pembukaan lahan pemukiman menjadi salah satu hal yang penting bagi
keberlangsungan hidup manusia, namun karena ulah manusia jugalah lingkungan
menjadi buruk. Masyarakat sekitar sering tidak perduli akan lingkungan mereka,
limbah rumah tangga yang tidak terkontrol, sampah yang berserakan menjadikan
kondisi pemukiman warga terlihat kumuh dan jorok, tidak jarang hal ini
menimbulkan efek berupa mudahnya warga yang terserang penyakit. Hal ini juga
berdampak pada ekosistem mangrove, yakni rusaknya habitat biota yang hidup
pada ekosistem mangrove. Mangrove yang terdapat di hilir sungai sicanang
tergolong banyak, bahkan hanya tumbuhan mangrove saja yang mendominasi
disepanjang daerah aliran sungai. Namun, banyak dari ekosistem mangrove tidak

17

tumbuh sesuai dengan kebutuhannya, hal ini dikarenakan ketidak pedulian dari
masyarakat disekitar daerah aliran sungai untuk menjaganya.
4.1.3. Teknik Pengelolaan Das
Banyak kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki dan menata kembali
kerusakan lahan yang terjadi dan dilain pihak perlu melakukan pencegahan
kerusakan dimasa mendatang. Semua tujuan ini untuk membuat penggunaan lahan
menjadi lebih baik akibat keterbatasan lahan dan sumber air yang ada. Ada
sejumlah

pelaksanaan

pengelolaan

DAS

dapat

digunakan

dan

dapat

dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Ada tiga sasaran umum kegiatan
pengelolaan DAS yaitu:
1. Rehabilitasi
Memperbaiki lahan pertanian/kehutanan akibat erosi dan sedimen yang
berlebihan dan bahan-bahan yang mudah larut yang tidak diperlukan akibat runoff dll. Metoda rehabilitasi yang digunakan adalah metoda: tanah hutan,
rangeland, tanah pertanian dan saluran aliran. Rehabilitasi sering dibatasi untuk
DAS kecil; pengertian rehabilitasi sering digunakan untuk membatasi fungsi DAS
yang memerlukan penataan kembali.
2. Proteksi.
Perlindungan

tanah

pertanian/kehutanan

akibat

pengaruh

yang

membahayakan produksi dan kelestarian menggunakan metoda: tanah hutan,


rangeland, pencegahan kebakaran, pencegahan terhadap gangguan serangga/hama
serta penyakit.
3. Peningkatan.

18

Peningkatan sifat sumber air dilakukan dengan manipulasi ciri-ciri suatu


DAS akibat pengaruh hidrologi atau fungsi kualitas air. Tujuan penungkatan
pengelolaan DAS didasarkan pada pengakuan bahwa sistem tanah-tanaman yang
alami tidak memerlukan produksi air yang optimum. Ketergantungan pada tujuan
pengelolaan tanah tertentu, neraca air, cara hidup atau kualitas air dapat dirubah.
Semua praktek dan program peningkatan yang sekarang dilakukan (kuantitas air
dan cara hidup) dan program perlindungan serta perbaikan, bertujuan untuk
mengontrol atau menata kualitas air. Pelaksanaannya antara lain adalah:

Penebangan dan Perubahan Tanaman


Umumnya tanaman perlu ditebang agar: mempertahankan pertemuan
permukaan pada tahun pertama; menghindari gangguan pada proses hidrologi
alami pada bidang pertemuan tanah dan air.

DAS Perkotaan
Untuk menjaga sumber utama air di perkotaan, diperlukan pengelolaan
pengaruh run-off dari DAS sekitar hutan. Pengawasan rutin perlu untuk
menjamin jalannya peraturan bahwa air yang mengalir di saluran/sungai tidak
digunakan untuk rekreasi, penggunaan secara perseorangan, tempat
pembuangan air kotor dan limbah industri.

Memperbaiki Aliran
Pembuatan saluran, pemberantasan phreatophyte, kontrol erosi pada tepi
sungai, program jalan masuk aliran, drainase, perlindungan dan penataan
kembali terhadap perikanan, serta program pengalihan air perlu dilakukan.
Banyak pekerjaan saluran berjangka pendek memberikan keuntungan

19

ekonomi kepada organisasi penyalur tenaga kerja untuk menyalurkan pekerja


dalam memelihara saluran yang diperbaiki.

Modifikasi DAS
Modifikasi DAS dapat dilakukan dengan batasan adanya perubahan pada:
besarnya kemiringan tanah, gradient aliran, ukuran dan harus selalu
memperhatikan perubahan pada penutup tanaman yang juga dapat
berpengaruh pada perubahan albedo dan berakibat pada banyaknya pola
evaporasi dan run-off.
4.2. Manajemen Rawa Gambut
Kebijakan yang secara khusus (secara langsung) menjelaskan tentang
pengelolaan lahan gambut di Indonesia belum banyak dikembangkan. Namun
demikian, berbagai kebijakan yang terkait dengan penanggulangan kebakaran
lahan dan hutan gambut telah cukup banyak diterbitkan dalam bentuk Undangundang, Peraturan Pemerintah, Kepres/Perpres, Surat Keputusan Menteri, Surat
Keputusan Direktur Jenderal, Peraturan Daerah, Surat Keputusan Gubernur,
Bupati, dan Walikota.
Sejauh ini, berbagai bentuk kegiatan pengelolaan lahan gambut di
Indonesia masih dilakukan oleh instansi-instansi tertentu dengan tingkat
pemahaman akan isu-isu konservasi yang masih kurang memadai. Misal dalam
hal pembukaan lahan pertanian atau pemukiman di lahan gambut dalam yang
tidak memperhatikan aspek konservasi air dan lahan, padahal berdasarkan Kepres
No 32/1990, kawasan semacam ini wajib dilindungi. Dari kondisi demikian
terlihat kurangnya kordinasi antar instansi yang bergerak di sektor pengembangan
dengan sektor pelestarian lahan gambut.

20

Dalam beberapa hal memang telah dilakukan beberapa kegiatan kerjasama


namun sejauh ini jumlahnya masih terbatas. Misalnya, usaha-usaha awal yang
digagas melalui pembentukan Posko Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
dan lain lain, sejauh ini hanya terfokus pada langkahlangkah untuk menangani
masalah api dan asap, namun belum memasukan adanya kebutuhan akan strategi
jangka panjang bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sektor lainnya (misal
pertanian, perkebunan dsb) yang secara rutin menjadi penyebab terjadinya
kebakaran dan akhirnya menimbulkan degradasi lahan gambut.
Di berbagai lokasi lahan gambut Indonesia terdapat berbagai kesamaan
permasalahan yang dihadapi, seperti kebakaran lahan dan hutan, over drainase,
kegiatan penebangan liar dan praktek-praktek pengelolaan yang tidak bijaksana
dan sebagainya. Oleh karena itu, strategi nasional ini digagas untuk memberikan
kerangka kerja dasar yang bersifat umum dalam menanggulangi berbagai
(kesamaan) permasalahan di lahan gambut kepada para pemangku kepentingan di
berbagai Kabupaten/Kota (yang memiliki lahan gambut) di Indonesia. Sehingga
dengan demikian para pelaku dari lokasi yang berbeda dapat saling berbagi
pengalaman dalam melaksanakan program-program aksi pengelolaan lahan
gambut yang berkelanjutan. Melalui cara tersebut, duplikasi usaha/kegiatan yang
tidak perlu akan dapat dihindarkan dan penghematan tenaga dan dana dapat
dilakukan.
Dalam hal ini peran pemerintah pusat, tidak saja berperan sebagai suatu
badan kolektif dalam mengembangkan strategi ini, tapi ia juga kemudian akan
memandu, mengintegrasikan dan memfasilitasi pendaanan dan pelaksanaan dari
rencana kegiatan pengelolaan lahan gambut oleh pemerintah-pemerintah daerah.

21

Secara garis besar, pengelolaan lahan gambut diharapkan dapat memenuhi


berbagi tuntutan dan perkembangan keadaan. Terpenuhinya berbagai tuntutan dan
perkembangan keadaan tersebut antara lain tergambar dari pemenuhan atas asasasas pengelolaan sebagai berikut:
1. Asas Kelestarian mengandung pengertian bahwa pendayagunaan sumber
daya lahan gambut diselenggarakan dengan menjaga kelestarian fungsi
sumber daya lahan gambut secara berkelanjutan.
2. Asas Keseimbangan mengandung pengertian keseimbangan antara fungsi
sosial, fungsi lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi.
3. Asas Kemanfaatan Umum mengandung pengertian bahwa pengelolaan
sumber daya lahan gambut dilaksanakan untuk memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan umum secara efektif dan efisien.
4. Asas Keterpaduan dan Keserasian mengandung pengertian bahwa
pengelolaan sumber daya lahan gambut dilakukan secara terpadu dalam
mewujudkan

keserasian

untuk

berbagai

kepentingan

dengan

memperhatikan sifat alami lahan gambut yang dinamis.


5. Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya
lahan gambut dilakukan secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di
wilayah tanah lahan gambut sehingga setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan dan menikmati
hasilnya secara nyata.
6. Asas Kemandirian mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber
daya lahan gambut dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dan
keunggulan sumber daya setempat.
7. Asas Transparansi dan Akuntabilitas mengandung pengertian bahwa
pengelolaan sumber daya lahan gambut dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan.

22

4.2.1. Identifikasi Lokasi dan Potensi Rawa Gambut


Keberadaan lahan gambut dunia semakin dirasakan peran pentingnya
terutama dalam menyimpan lebih dari 30% karbon terrestrial, memainkan peran
penting dalam siklus hidrologi, serta memelihara keanekaragaman hayati. Luas
lahan gambut dunia yang berkisar 38 juta ha terdapat lebih 50% berada di
Indonesia. Lahan gambut di Indonesia diperkirakan seluas 25.6 juta ha, tersebar di
Pulau Sumatera 8.9 juta ha (34.8%), Pulau Kalimantan 5.8 juta ha (22.7%) dan
Pulau Irian 10.9 juta ha (42.6%). Di wilayah Sumatera, sebagian besar gambut
berada di pantai Timur, sedangkan di Kalimantan ada di Provinsi Kalimantan
Barat, Tengah dan Selatan (Driessen et al, 1974, dalam Setiadi, 1995).
Potensi pemanfaatan lahan gambut dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu dari
aspek luas dan fungsi. Luas lahan gambut di dunia diperkirakan 400 juta ha.
Indonesia merupakan negara dengan lahan gambut terluas nomor empat didunia
dan yang terluas di zona tropika. Lahan gambut di Indonesia memiliki luas
18.317.58 ha, tersebar di Sumatera seluas 6.244.101 ha, Kalimantan seluas
5.072.249 ha, dan Papua seluas 7.001.239 ha.
Fungsi ekologi lahan gambut merupakan fungsi bawaan lahan gambut
secara alami, yaitu sebagai media tumbuh tanaman, sebagai penyerap dan
penyimpan air, sebagai tempat penyimpan karbon, sebagai pengendali banjir dan
kekeringan dan sebagai tempat hidup flora dan fauna. Fungsi sosial ekonomi
lahan gambut merupakan fungsi lahan gambut yang bermanfaat bagi manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu fungsi sosial ekonomi lahan
gambut, yaitu sebagai lahan budidaya pertanian. Pertanian yang saat ini sedang
marak di lahan gambut, yaitu perkebunan karena memberikan peluang yang cukup

23

tinggi bagi petani untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar, sedangkan
pertanian lahan gambut untuk tanaman pangan seperti Padi varietas lokal
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan keuntungan dan
keuntungannyapun tidak setinggi keuntungan menanam padi unggul di tanah
mineral atau hasil perkebunan. Padi varietas lokal di lahan gambut ditanam sau
tahun sekali, dan menghasilkan nasi pera (nasi yang tidak pulen). Keuntungan
penanaman Padi varietas lokal adalah masyarakat yang berada di wilayah dengan
lahan gambut lebih menyukai nasi pera dari pada nasi pulen, dan harga beras
varietas lokal lebih mahal daripada varietas unggul yang menghasilkan nasi pulen,
sehingga petani lahan gambut tidak kehilangan keinginan untuk tetap menanam
padi lokal.
Pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut harus tetap memerhatikan
kaidah-kaidah lingkungan karena kendala pemanfaatannya cukup besar, maka
pemanfaatan lahan gambut khususnya untuk pertanian yang tidak memerhatikan
kaidah lingkungan akan menimbulkan kerusakan dan kerugian dari sisi
lingkungan dan sosial ekonomi. Hal yang akan ditimbulkan akibat pengelolaan
yang kurang tepat antara lain: kebakaran hutan, kabut asap, kebanjiran, lahan
bongkor (tidak dapat dimanfaatkan), hilangnya spesies langka, dan hilangnya
mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan hidupnya di lahan gambut.

4.2.2. Identifikasi Permasalahan Rawa Gambut

24

Lahan gambut merupakan suatu kesatuan ekologis yang semestinya


dikelola berdasarkan batasbatas ekosistemnya; meskipun batas ekosistem tersebut
melewati batas-batas administrasi atau kewenangan instansi tertentu. Praktek
pengelolaan dengan mengacu batas ekosistem menjadi lebih sulit apabila tidak
ada lembaga yang mengkordinasikan dan bertanggungjawab secara penuh. Dalam
kaitan ini diakui bahwa sampai dengan saat ini belum ada suatu lembaga baik di
tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tanggungjawab dan kewenangan
penuh dalam melaksanakan atau mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan lahan
gambut.
Pada dasarnya, pemangku kepentingan pada lahan gambut terdiri dari
banyak pihak. Akan tetapi mekanisme yang dapat diterapkan untuk koordinasi
lintas sektoral belum tersedia secara memadai. Tidak adanya lembaga khusus dan
lemahnya komunikasi dan koordinasi antar instansi (lintas sektoral) di Pemerintah
Daerah atau antara Pemerintah daerah dengan Pemerintah Pusat menyebabkan
kegiatan pengelolaan lahan gambut menjadi rawan konflik. Bahkan di beberapa
tempat, kelemahan itu telah mengancam kelestarian sumber daya alam.
Pengelolan lahan gambut memerlukan kebijakan yang mengikat seluruh
pemangku kepentingan dan seluruh pelaksana kegiatan. Pengelolaan lahan gambut
memerlukan kelembagaan yang kuat termasuk aspek penguasaan kawasan dan
pertanggung-jawabannya, aspek pengorganisasian, aspek kapasitas institusi, dan
aspek pembiayaan.

Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah masih rendahnya


partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan pengelolaan lahan gambut.

25

Permasalahan ini menyebabkan implementasi berbagai kebijakan tersebut masih


saling bertentangan, rawan konflik dan sulit dilaksanakan. Permasalahan ini
menjadi semakin rumit dengan adanya kelemahan-kelemahan kelembagaan,
kelemahan isi (kandungan) peraturan/hukum dan kebijakan itu sendiri yang
memicu sulitnya implementasi (penegakan) hukum dan kebijakan tersebut dalam
pengelolaan lahan gambut. Hal lain yang juga sangat berpengaruh terhadap
efektifitas pelaksanaan penegakan hukum dan kebijakan umumnya ditentukan
oleh kemampuan pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat luas termasuk
pentaatan hukum dan kebijakan itu sendiri.
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam menyusun rencana pengelolaan
lahan gambut juga menjadikan kegiatan yang nantinya dijalankan atau
diprogramkan menjadi sepihak dan kurang peka terhadap kultur setempat.
Seringkali rencana maupun pelaksanaan kegiatan pengelolaan lahan gambut tidak
diadaptasikan dengan kondisi setempat. Penghargaan dan penggunaan kearifan
tradisional yang seharusnya menjadi basis dalam pengelolaan lahan gambut di
tingkat lokal relatif masih rendah atau bahkan terabaikan.
Rincian permasalahan pengelolaan rawa gambut
Secara rinci, permasalahan dalam pengelolaan lahan gambut saat ini adalah:
1. Keterbatasan data dan penyebaran informasi tentang lahan gambut.
Data dan informasi tentang kondisi dan status lahan gambut yang akurat di
Indonesia masih terbatas dan -jika ada- itupun tersebar hanya di beberapa
Kabupaten Kota dan instansi terkait yang menangani masalah gambut.
2. Rusaknya sistim tata air yang ada.

26

Kerusakan tata air di lahan gambut sering kali ditimbulkan oleh adanya
kegiatan-kegiatan manusia yang tidak terkendali, seperti membangun parit dan
saluran, menebang hutan, membakar ladang dan sebagainya. Dari berbagai jenis
kegiatan ini, pembangunan parit dan saluran terbuka di lahan gambut (tanpa
mempertahankan batas tertentu ketinggian air di dalam parit), apakah itu untuk
mengangkut kayu (legal atau ilegal) hasil tebangan di dalam hutan ataupun untuk
mengairi lahanlahan pertanian dan perkebunan, diduga telah menyebabkan
terkurasnya kandungan air di lahan gambut sehingga lahan menjadi kering dan
mudah terbakar di musim kemarau. Kondisi demikian telah terbukti di berbagai
lokasi lahan gambut Kalimantan Tengah dan Sumatera yang terbakar pada lokasilokasi yang ada parit dan salurannya.
3. Pertambangan
Hasil tambang merupakan salah satu penyumbang devisa negara yang
penting. Keberadaan tambang ini tersebar diberbagai lokasi, termasuk di dalam
kawasan hutan dan lahan gambut. Tarik menarik antar berbagai kepentingan,
misalnya antara sektor kehutanan dan pertambangan, khususnya pertambangan
terbuka sering terjadi. Namun dalam kenyataannya, demi alasan investasi,
penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, fungsi kehutanan
seringkali menjadi pihak yang lemah dan akhirnya dijadikan korban dan
cenderung diabaikan untuk mendapatkan bahan tambang. Akibat lanjut dari
kondisi ini, adalah rusaknya eksositem gambut beserta hilangnya nilai dan
manfaat sosial, ekonomi dan jasa lingkungan yang selama ini dapat diberikan.
Bahkan belakangan ini muncul praktek-praktek swasta yang menjadikan material
gambut sebagai bahan tambang/ sumber energi bagi kegiatan industri mereka

27

sebagai akibat mahalnya harga BBM belakangan ini. Jika ini dibiarkan maka
bencana lingkungan yang semakin parah dapat terjadi, karena gambut bukanlah
semata-mata merupakan materi mati seperti batubara, tapi ia merupakan media
bagi kehidupan di atasnya.
4. Kebakaran Hutan/Gambut dan Akibatnya Terhadap Pencemaran Udara
(Akibat Asap)
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia hampir terjadi tiap tahun,
terutama di musim kemarau. Kebakaran ini biasa terjadi di areal milik masyarakat,
areal perkebunan, areal HPH, areal HTI, bahkan di kawasan lindung. Sebagian
kebakaran ditimbulkan oleh kegiatan penyiapan lahan oleh masyarakat dengan
menggunakan api. Teknik penyiapan lahan melalui pembakaran masih dianggap
sebagai cara yang paling murah dan praktis sehingga beberapa perusahaan
perkebunan dan HTI dengan alasan lebih ekonomis masih melakuannya sekalipun
secara hukum telah dilarang. Berdasarkan fakta yang ada, hampir semua
kebakaran hutan di Indonesia disebabkan oleh kegiatan manusia (secara sengaja
maupun tidak) dan belum ada bukti kebakaran yang terjadi secara alami. Dengan
tidak disadari bahwa dampak yang ditimbulkan dari kebakaran lahan gambut
disamping sulit untuk dipadamkan, karena apinya berada di bawah permukaan
juga lokasinya jauh serta keterbatasan alat dan teknologi, juga akan menimbulkan
pencemaran/polusi udara.
5. Penebangan Liar (Illegal Loging)
Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah terhadap
pemegang izin konsesi pengelolaan hutan (perusahaan HPH) yang telah berakhir,
dan lahan pengelolaan tidak dikembalikan, sehingga status lahan menjadi tidak

28

jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan lahan-lahan tersebut.


Kondisi ini mengakibatkan hutan/lahan yang terbuka tersebut di eksploitasi oleh
masyarakat lokal untuk mengambil produk hutan seperti kayu dan lain-lain,
dengan menggunakan kanal sebagai jalur transportasi pengeluaran kayu.
Akibatnya ekspolitasi hutan lahan gambut di Indonesia terbukti tidak
berkelanjutan, hutanhutan yang sudah ditebang dibiarkan rusak dan berubah
menjadi rawa pakis dan rawa rumput yang tidak produktif.
6. Penurunan kualitas habitat dan keanekaragaman hayati
Keberadaan hutan rawa gambut dengan jenis vegetasinya yang beragam
dan berfungsi sebagai habitat dari berbagai satwa liar kini terancam dengan
semakin meluasnya pembukaan lahan gambut baik melalui penebangan hutannya
maupun dengan dibakar untuk alih fungsi lahannya menjadi lahan pertanian,
perkebunan maupun pemukiman.
7. Masih Rendahnya Bimbingan Pemerintah kepada Masyarakat dalam
mengelola lahan gambut secara bijaksana
Sejauh ini pengelolaan lahan gambut oleh masyarakat dilakukan tanpa
bimbingan teknis yang memadai dari instansi terkait. Teknik bakar yang
diterapkan masyarakat dalam pembersihan lahan dan drainase yang berlebih
cenderung menyebabkan rusaknya lahan gambut. Hambatan-hambatan teknis
(termasuk kesuburan yang rendah, subsiden akibat adanya drainase dll) sering
kurang disadari dari awal. Selanjutnya kegagalan-kegagalan yang ditimbulkan
dari kegiatan ini menyebabkan para petani meninggalkan lahan-lahan ini dalam
keadaan rusak.
4.2.3. Teknik Pengelolaan Rawa Gambut

29

Salah satu komponen penelitian pengelolaan hutan yaitu untuk


mendapatkan teknologi rehabilitasi yang tepat guna dan kajian kelembagaan
dalam rangka keberhasilan dalam melakukan rehabilitasi lahan gambut yang
terdegradasi. Dilakukan dengan pendekatan Ujicoba teknik bioremediasi berbagai
kondisi hutan alam rawa gambut terdegradasi (penyiapan lahan, uji coba jenis,
pola penanaman, penggunaan mikroba, pemilihan jenis asli setempat, pengayaan,
hidrologi dan lain-lain). Penelitian dilakukan pada hutan rawa gambut yang telah
terdegradasi, baik dilihat dari vegetasinya, kondisi hidrologi maupun kondisi
gambutnya yang telah mengalami kebakaran. Penelitian bioremediasi dilakukan
dalam upaya mencari teknik remediasi dengan penanaman jenis-jenis pohon yang
tepat dengan penyiapan lahan, pengaturan drainase dan implementasikan
biofertilizer untuk memperbaiki kondisi tanah untuk pertumbuhan tanaman.
Jenis pohon yang digunakan adalah jenis asli rawa gambut yang
mempunyai pertumbuhan relatif cepat atau jenis andalan setempat dan kondisinya
terancam punah (daftar merah IUCN flora rawa gambut).
1. Teknik Agroforestry
Rehabilitasi rawa gambut yang terdegradasi yang dilakukan melalui teknik
Agroforestry yaitu pembangunan hutan melalui pola campuran tanaman pokok
kehutananan dan tanaman semusim yang dilakukan pada lahan rawa gambut milik
masyarakat, kawasan hutan produksi ataupun hutan kawasan lindung yang telah
diijinkan. Jenis tanaman pokoknya dapat dipililih jenis MPTS (Multiple Purpose
Tree Species) seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), Jelutung (Dyera lowii),
Pulai (Alstonia pnematophora), Sukun (Artocarpus sp) atau tanaman kehutanan
yang lain, dengan tanaman semusim pertanian yang cocok untuk lahan gambut

30

atau tanaman obat seperti Zingiberaceae, lidah buaya (Aloefera) dan lainlain yang
diterapkan pada pola perhutanan sosial (hutan kemasyarakatan, hutan rakyat),
pada pola pembangunan hutan tanaman hasil hutan non kayu atau pada pola
pembangunan hutan tanaman kayu jenis industri.
2. Pola Perhutanan Sosial
Pola perhutanan sosial yang diterapkan pada areal hutan rawa gambut yang
terdegradasi baik pada hutan produksi maupun hutan kawasan lindung yang telah
diijinkan. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan teknologi rehabilitasi. Melalui
uji coba rehabilitasi dengan menggunakan jenis asli setempat yang sesuai kondisi
ekologis setempat, atau menggunakan jenis MPTS yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat tanpa mengganggu fungsi ekologis. Penanaman jenis MPTS maupun
jenis pohon asli maupun eksotik yang cocok dapat diterapkan dengan teknik
agroforestry.
3. Pola Pembangunan Hutan Tanaman Penghasil HHBK
Pola ini dapat diterapkan untuk rehabilitasi hutan rawa gambut yang
terdegradasi. Penelitian ini dilakukan dengan Uji coba penanaman jenis asli pohon
dihutan rawa gambut penghasil hutan non kayu seperti getah (latek) pada jenis
jelutung (Dyera lowii), getah hangkang pada jenis Nyatoh (Palaquium
leicocarpum), getah jernang pada getah pada biji rotan. Selain itu jenis Gemor
(Alseodhapne helophylla) kulit kayunya sebagai bahan insektisida (obat nyamuk),
Tanaman jarak pagar (Jatropha sp) ataupun jenis nyamplung (Calophyllum
innophyllum) diambil bijinya sebagai bahan minyak diesel, Pinang (Arenga
catechu) diambil bijinya sebagai bahan obat-obatan. Rotan (Calamus spp) dan
lain-lain. Penanaman Rotan dapatdilakukan dengan menggunakan jenis pohon

31

pemanjat asli setempat seperti gelam (Melaleuca leucadendron) atau tanah-tanah


(Combretocarpus rotundatus) dan lain-lain.
4. Pola Pembangunan Hutan Tanaman Jenis kayu Industri
Pola ini diterapkan untuk rehabilitasi pada kawasan hutan produksi yang
pada perencanaannya bertujuan untuk hutan tanaman penghasil kayu untuk
industri yang dapat dilakukan pada logged over area maupun hutan rawa gambut
yang telah terdegradasi. Penanaman rehabilitasi dapat dilakukan dengan
menggunakan jenis asli setempat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi sesuai
sifat ekologinya, seperti jenis Ramin (Gonystylus bancanus), meranti rawa (shorea
testymania, Shorea pauchiflora), Belangeran (Shorea belangeran), Kapur naga
(Calophyllum macrosarpum), Nyatoh (Pallaquium spp), Alau (Dacrydium
elatum), Damar (Agathis bornensis), Prupuk (Lopopethalum multinervium),
Punak (Tetramerista glabra) dan lain-lain. Ataupun jenis tumbuh cepat asli
setempat seperti Pulai (Alstonia pnematophora), Jelutung (Dyera lowii) maupun
eksot seperti Acacia crassicarpa, Eucalyptus spp, Gmelina sp dan lain-lain.
5. Pemilihan jenis
Pemilihan jenis pohon dan tanaman yang digunakan dalam penelitian atau
uji coba rehabilitasi dan pembanggunan hutan tanaman dengan menerapkan
masing-masing pola yang digunakan. Yaitu dengan jenis MPTS (Multiple Purpose
Tree Species). Jenis Pohon Hasil Hutan Bukan Kayu (HBBK), dan jenis pohon
untuk kayu industri yang disesuaikan dengan habitat dan sifat ekologi di lokasi
setempat baik jenis asli maupun eksot dan mempunyai prospek ekonomi baik
untuk pohon sebagai tanaman pokoknya maupun tanaman pencampur.

32

6. Pengadaan Bibit
Penelitian teknologi pengadaan bibit dari jenis-jenis yang digunakan
dalam pola perhutanan sosial, pola pembangunan hutan tanaman penghasil
HHBK, maupun pada Pola pembangunan hutan tanaman hasil kayu industri dapat
dilakukan baik secara generatif melalui biji maupun melalui stek baik batang
(stem), pucuk (shoot) maupun akar (root) ataupun melalui tissue culture (kultur
jaringan). Penelitian dapat dimulai pada penyiapan bibit dengan media yang
mengimplementasikan cendawan mikoriza baik Vam maupun ektomikoriza serta
penggunaan Rhizobium ataupun bioteknologi yang lain. Penelitian dilakukan di
persemaian maupun di labolatorium. Beberapa jenis bibit pohon rawa gambut
telah berhasil diperbanyak melaluipropagasi vegetatif seperti meranti batu (Shorea
uliginosa), meranti bunga (S. Teysmanniana), punak (Tetramerista glabra), ramin
(Gonystylus bancanus), para-para (Aglaia rubiginosa), prupuk (Lophopethalum
multinervium), jelutung rawa (Dyera lowii) dan lain-lain.
7. Teknik Penyiapan Lahan dan Penanaman
Teknologi penyiapan lahan dan penanaman merupakan hal yang sangat
penting untuk keberhasilan kegiatan rehabilitasi di lahan rawa gambut. Teknologi
penyiapan lahan dilakukan dengan pengaturan drainase (water management)
dengan pembuatan parit-parit irigasi untuk menjaga lokasi tanam tidak tergenang
air perlu diperhitungkan dengan seksama karena sifat subsidensi dan irreversible
drying (kering tidak balik) jika tidak, akan menjadikan lahan gambut tersebut
menjadi kelewat kering, mudah terbakar dan meningkatkan emisi gas rumah
kaca.Teknik lain,dengan cara pembuatan gundukan-gundukan tempat penanaman
untuk menghindari penggenangan air sehingga bibit atau tanaman muda akan

33

menjadi mati. Untuk memperoleh keberhasilan dalam penanaman di lahan rawa


gambut, kondisi tingkat dekomposisi dari gambut sebagai media tanam
merupakan faktor yang sangat penting karena menentukan tingkat kesuburan
gambut tersebut dan menentukan teknik penanaman. Oleh karena itu, perlakuanperlakuan pada gambut sebagai media tanam perlu dilakukan tergantung pada
tingkat pelapukan (fibrik, humik maupun saprik) gambut tersebut. Pencampuran
gambut (ameliorasi) dapat mikroriza baik endomikoriza (VAM) maupun
ektomikoriza, dan limbah organik untuk meningkatkan kesuburan dan
pertumbuhan tanaman.
8. Pengaturan Drainase/Hidrologi
Pada lahan rawa gambut, ketergenangan air/ letak ketinggian air tanah
sangat bervariasi. Oleh karena itu perlu suatu pengaturan dan pengelolaan tata air
dengan baik, sehingga tanaman dapat berkembang dan tumbuh dengan baik.
Pembuatan parit dilakukan dengan lebar dan kedalaman yang seimbang, sehingga
areal tanam tidak lagi tergenang atau bahkan kekeringan karena terlalu besarnya
parit dan gambut dijaga dalam keadaan basah atau lembab sehingga subsidensi
dan irreversible drying bisa dijaga tidak terjadi. Oleh karena itu, keseimbangan ini
merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan tanaman. Penelitian
keseimbangan hidrologi ini perlu dilakukan.
9. Teknik pemeliharaan
Uji coba perlakuan pemeliharaan dalam pelaksanaan rehabilitasi melalui
revegetasi dihutan rawa gambut meliputi teknik pemupukan, pengapuran dengan
berbagai dosis baik pada waktu pengadaan bibit ataupun dalam tahap penanaman
dilapangan masih perlu penelitian penyempurnaan. Pada tegakan perlu adanya

34

pemangkasan

(Prunning)

dan

penjarangan

(thinning)

untuk

menjamin

pertumbuhan tanaman pokok maupun tanaman pencampur dapat tumbuh baik


kuntitas maupun kualitas dengan optimal. Tumbuhnya gulma (weeds) perlu
dikendalikan dengan penyiangan dan pendangiran baik secara jalur maupun
piringan untuk memberikan pertumbuhan yang baik bagi tanaman. Pencegahan
dan pengendalian hama dan penyakit tanaman juga perlu untuk dilakukan
terhadap tanaman jenis pohon di lahan rawa gambut yang saat ini masih sangat
terbatas. Keamanan areal terhadap bahaya kebakaran merupakan faktor yang
sangat penting untuk diteliti. Baik pencegahan dan penanggulangannya terutama
lahan gambut yang sangat berpotensi terjadinya kebakaran terutama di musim
kemarau yang panjang. Pembuatan sekat bakar (green belt), maupun parit untuk
sekat bakar perlu dikaji dan diteliti baik variasi lebar dan jenis tanaman yang
digunakan sekat bakar.

35

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Pengelolaan DAS dan Rawa Gambut di Indonesia telah banyak diatur
dalam perundangan-undangan, regulasi, serta peraturan daerah lainnya. Namun
pengelolaan yang diharapkan masih belum terlaksana dengan baik. Perlunya
kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan lembaga lainnya untuk saling
mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Kesadaran akan pentingnya
manajemen dalam pengelolaan DAS dan Rawa Gambut menjadi kepentingan
bersama di masyarakat. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan
yang benar terhadap DAS Dan Rawa Gambut, baik dari segi ekonomi juga
ekologi.
5.2 Saran
Untuk

praktikum

selanjutnya,

diharapkan

lokasi

yang

dijadikan

pengamatan harus memenuhi standar sebagai sasaran pengetahuan, terdapat lokasi


DAS dan Rawa Gambut yang sesuai.

36

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2004.Teknologi hemat air dan irigasi
suplemen.hlm. 239264. Dalam Teknologi PengelolaanLahan Kering:
Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian
danPengembangan Tanah dan Agroklimat,Bogor.
Asdak, 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Gunawan, A. 2012. Pengaruh Penggunaan Minyak Ikan Lemuru, Tallow Dan
Tongkol Jagung Dalam Ransum Terhadap Kinerja Dan Komposisi Asam
Lemak Daging Itik [Tesis]. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Karyana, Apik. 2000. Pembangunan Partisipatoris Dalam Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (Participatory Actions Program In Watershed Development).
https://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/das-danpengelolaannya-3/. Diakses 26 desemer 2016.
Kelompok Kerja Pengelolaan Lahan Gambut Nasional. 2006 Strategi dan
Rencana Tindak Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.
http://archive.wetlands.org/LinkClick.aspx?fileticket=wchkIU%2Fc1AE
%3D&tabid=56. Diakses 26 desember 2016.
Komaruddin, Nanang., 2008. Penilaian Tingkat Bahaya Erosi di Sub Daerah
AliranSungai Cileungsi, Bogor. Jurnal Faperta UNPAD 19 (3) : 173-178
Noordwijk, M. V., dan Farida. 2004. Analisis Debit Air Sungai Akibat?.
(http://www.wordagoforestrycenter.org/sea/publications/file/journal/JA001
904 PDF).

37

Noor, M. 2004, Lahan Rawa,Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Masam, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Rahman, A. 2013. Model Sistem Informasi Geografis Untuk Estimasi Koefisien
Aliran dan Hubungannya Dengan Tutupan Lahan Di DAS Riam Kanan
Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Bumi Lestari, 13 (1), 1-8.
Tarigan, D. R., & Mardiatno, D. 2012. Pengaruh Erositivitas dan Topografi
Terhadap Kehilangan Tanah Pada Erosi Alur Di Daerah Aliran Sungai
Secang Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo. Jurnal
Bumi Indonesia, 1 (13), 411-420.

38

LAMPIRAN

39

1. Peta Lokasi Pengamatan DAS Sicanang, Belawan Medan


2. Foto Dokumentasi Lokasi DAS

Anda mungkin juga menyukai