PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang
unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta
sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS
di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan
tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya
alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi
DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor,
erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap
kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian
hulu maupun hilir demikian besarnya.
Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu
khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di
banyak
tempat
rawan
terhadap
ancaman
gangguan
manusia.
Hal ini
Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur
Pulau Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan
pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar
pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke
bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang
luas di bagian selatan Papua. Terdapat 400 juta hektar lahan gambut di dunia, 90
% diantaranya terdapat di daerah temperate dan 10 % sisanya berada di daerah
beriklim tropis. Indonesia sendiri mempunyai 20.6 juta Ha atau 10.8 % luas
daratan Indonesia. 35% di Sumatera, 32% di Kalimantan, 3% di Sulawesi dan
30% di Papua. Fungsinya yang penting bagi keseimbangan ekosistem membuat
lahan ini patut dipertahankan. Sementara menurut Widjaya-Adhi 4,19 juta hektar
hutan rawa gambut Indonesia telah dialihfungsikan.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan pelaksanaan praktikum Manajemen DAS dan Rawa Gambut di
Belawan, Sumatera Utara yakni mengamati permasalahan Daerah Aliran Sungai
(DAS) di Hilir Sicanang, mengamati cara pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) terpadu di sekitar kawasan hilir Sicanang
Manfaat dilakukannya praktikum Manajemen DAS dan Rawa Gambut di
Belawan, Sumatera Utara yakni agar mahasiswa/praktikan dapat melihat secara
langsung kondisi geologis Daerah Hilir Aliran Sungai (DAS) dan melihat secara
langsung aktivitas yang ada di sekitar kawasan Hilir Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sicanang.
DAS
juga
diartikan
sebagai
daerah
yang
dibatasi
oleh
yang terus meningkat serta alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan
kaidahkaidah kesesuaian dan kemampuan lahan menyebabkan munculnya
berbagai bencana alam, keadaan ini menyebabkan semakin meningkatnya DAS
kritis dan rusak.
Menurut (PP No. 13 Tahun 2012) wilayah sungai adalah kesatuan wilayah
pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/ atau
pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km 2. Daerah
Aliran Sungai (DAS)/ WS adalah suatu wilayah tertentu yang bentuk dan sifat
alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang
berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya
dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut. Satu wilayah sungai
dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (wilayah sungai-wilayah sungai lain)
oleh pemisah alam topografi seperti punggung perbukitan dan pegunungan.
Menurut (Asdak dalam Wirosoedarmoet al, 2012) DAS adalah suatu
wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung
yang menampung dan menyimpan air hujan kemudian menyalurkan ke laut
melalui sungai utama. Aliran sungai lebih ditentukan oleh tingkat curah hujan
daripada oleh proses hidrologi lainnya yang dipengaruhi oleh DAS. Aspek utama
yang termasuk dalam aliran sungai adalah total hasil air tahunan, keteraturan
aliran, frekuensi terjadinya banjir pada lahan basah, dataran aluvial dan
ketersediaan air pada musin kemarau (Agus et al, 2004).
Permasalahan DAS tumbuh seiring dengan pertambahan penduduk dan
Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Pengelolaan DAS pada
dapat diabaikan jika curah hujan tinggi. Apabila curah hujan tinggi, peran
intersepsi pohon penting dalam kaitannya dengan pengurangan banjir (Agus et al,
2004).
Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah), penting untuk
mengantisipasi adanya proses peluruhan dan penyumbatan pori makro tanah.
Serapan air yaitu sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai
lapisantanah untuk mendukung proses transpirasi pada permukaan daun. Faktorfaktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon, distribusi akar dan
respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia. Darinase lansekap
yaitu besarnya drainase sutau lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang
memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebh lama sehingga mendorong
terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang
dapat memicu terjadinya aliran cepat air tanah/ quick flow (Agus et al, 2004).
Menurut (Rahman, 2013) mengemukakan bahwa semakin kecil tutupan
lahan oleh vegetasi, maka semakin besar potensi untuk terjadinya banjir dan
bencana longsor pada musim hujan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar air
hujan menjadi aliran permukaan sungai yang berpotensi menimbulkan banjir.
Pada lahan dengan kemiringan lereng besar, meningkatnya aliran permukaan juga
mudah menyebabkan tanah longsor apabila tida ada perakaran vegetasi yang
berfungsi sebagai jangkar penahan tanah (Tarigan et al, 2012).
Penggunaan lahan yang berkaitan erat dengan aktivitas manusia sehingga
menyebabkan banjir akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem DAS. Masalah
yang lain yang mengganggu ekosistem DAS yaitu banjir di musin hujan dan
kekeringan di musim kemarau, penurunan debit air sungai, erosi dan sedimentasi
dan longsor. Secar faktual masalah tersebut telah menimbulkan penurunan
produktivitas lahan dan kekurangan air tanah sepanjang tahun (Komaruddin,
2008)..
Erosi di DAS umumnya terjadi karena pemanfaatan lahan yang tidak
mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air. Erosi di suatu lahan menyebabkan
hilangnya lapisan atas tanah yang subur untuk menyangga pertumbuhan tanaman
(Tan dalam Komaruddin, 2008). Untuk mempertahankan kelestarian produktivitas
tanah maka perlu dicegah agar erosi yang terjadi tidak melebihi batas erosi yang
dapat diabaikan. Sedangkan jika erosi telah terjadi maka diperlukan upaya
rehabilitasi dan konservasi lahan (Komaruddin, 2008).
Upaya rehabilitasi lahan untuk mengatasi kemerosotan produktivitas
sumberdaya lahan (vegetasi, tanah dan air) dan mencegah kerusakn fungsi lahan
DAS harus dilakukan dengan metode yang tepat berdasarkan bilai erosi aktualnya.
Selain itu rehabilitasi yang tepat memerlukan data kondisi daerah resapan
yangdapat diklasifikasikan dengan cara membandingkan infiltrasi potensial dan
infiltrasi aktual serta nilai erosi aktualnya (Komaruddin, 2008).
2.2. Pengertian Rawa Gambut
Menurut Noor, (2004), rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran
sungai, danau atau lebak yang menjorok masuk kepedalaman sampai sekitas 100
km atau sejauh dirasakanya pengaruh gerakan pasang. Jadi, lahan rawa dapat
dikatakan sebagai lahan yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut atau
sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan lahan tergenang sampai satu
10
meter,tetapi pada musim kemarau menjadi kering bahkan sebagai muka air tanah
turun mencapai jeluk < 50 cm.
Dalam pengertian yang lebih luas rawa digolongkan sebagai lahan basah
atau lahan bawahan, tetapi tidak berarti bahwa lahan basah atau lahan bawahan
hanya rawa. Menurut konvensi Ramsar (1971) dalam Noor (2004) yang dimaksud
dengan lahan basah adalah daerah rawa, paya, gambut, atau badan perairan
lainnya, baik alami maupun buatan, yang airnya mengalir atau tergenang, bersifat
tawar, payau atau salin, termasuk kawasan laut yang mempunyai jeluk air pada
saat surut terendah tidak lebih dari 6 m. Jadi, batasan konvensi Ramsar ini
persawahan (irigasi), waduk, dan tambak termasuk lahan basah sehingga
pengelolaan yang terkait dengan pemanfaatan lahan sulfat masam untuk keperluan
pertanian, perikanan dapat mengacu pada pengertian dalam konteks pengelolaan
bahan basah.
11
yang
digunakan
selama
pengamatan
yaitu
kamera
untuk
dengan
cara
pengamatan
langsung,
kemudian
12
13
14
DAS dipandang
dan
sederhana
dalam
memonitoring
pengaruh
berbagai
15
16
17
tumbuh sesuai dengan kebutuhannya, hal ini dikarenakan ketidak pedulian dari
masyarakat disekitar daerah aliran sungai untuk menjaganya.
4.1.3. Teknik Pengelolaan Das
Banyak kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki dan menata kembali
kerusakan lahan yang terjadi dan dilain pihak perlu melakukan pencegahan
kerusakan dimasa mendatang. Semua tujuan ini untuk membuat penggunaan lahan
menjadi lebih baik akibat keterbatasan lahan dan sumber air yang ada. Ada
sejumlah
pelaksanaan
pengelolaan
DAS
dapat
digunakan
dan
dapat
dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Ada tiga sasaran umum kegiatan
pengelolaan DAS yaitu:
1. Rehabilitasi
Memperbaiki lahan pertanian/kehutanan akibat erosi dan sedimen yang
berlebihan dan bahan-bahan yang mudah larut yang tidak diperlukan akibat runoff dll. Metoda rehabilitasi yang digunakan adalah metoda: tanah hutan,
rangeland, tanah pertanian dan saluran aliran. Rehabilitasi sering dibatasi untuk
DAS kecil; pengertian rehabilitasi sering digunakan untuk membatasi fungsi DAS
yang memerlukan penataan kembali.
2. Proteksi.
Perlindungan
tanah
pertanian/kehutanan
akibat
pengaruh
yang
18
DAS Perkotaan
Untuk menjaga sumber utama air di perkotaan, diperlukan pengelolaan
pengaruh run-off dari DAS sekitar hutan. Pengawasan rutin perlu untuk
menjamin jalannya peraturan bahwa air yang mengalir di saluran/sungai tidak
digunakan untuk rekreasi, penggunaan secara perseorangan, tempat
pembuangan air kotor dan limbah industri.
Memperbaiki Aliran
Pembuatan saluran, pemberantasan phreatophyte, kontrol erosi pada tepi
sungai, program jalan masuk aliran, drainase, perlindungan dan penataan
kembali terhadap perikanan, serta program pengalihan air perlu dilakukan.
Banyak pekerjaan saluran berjangka pendek memberikan keuntungan
19
Modifikasi DAS
Modifikasi DAS dapat dilakukan dengan batasan adanya perubahan pada:
besarnya kemiringan tanah, gradient aliran, ukuran dan harus selalu
memperhatikan perubahan pada penutup tanaman yang juga dapat
berpengaruh pada perubahan albedo dan berakibat pada banyaknya pola
evaporasi dan run-off.
4.2. Manajemen Rawa Gambut
Kebijakan yang secara khusus (secara langsung) menjelaskan tentang
pengelolaan lahan gambut di Indonesia belum banyak dikembangkan. Namun
demikian, berbagai kebijakan yang terkait dengan penanggulangan kebakaran
lahan dan hutan gambut telah cukup banyak diterbitkan dalam bentuk Undangundang, Peraturan Pemerintah, Kepres/Perpres, Surat Keputusan Menteri, Surat
Keputusan Direktur Jenderal, Peraturan Daerah, Surat Keputusan Gubernur,
Bupati, dan Walikota.
Sejauh ini, berbagai bentuk kegiatan pengelolaan lahan gambut di
Indonesia masih dilakukan oleh instansi-instansi tertentu dengan tingkat
pemahaman akan isu-isu konservasi yang masih kurang memadai. Misal dalam
hal pembukaan lahan pertanian atau pemukiman di lahan gambut dalam yang
tidak memperhatikan aspek konservasi air dan lahan, padahal berdasarkan Kepres
No 32/1990, kawasan semacam ini wajib dilindungi. Dari kondisi demikian
terlihat kurangnya kordinasi antar instansi yang bergerak di sektor pengembangan
dengan sektor pelestarian lahan gambut.
20
21
keserasian
untuk
berbagai
kepentingan
dengan
22
23
tinggi bagi petani untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar, sedangkan
pertanian lahan gambut untuk tanaman pangan seperti Padi varietas lokal
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan keuntungan dan
keuntungannyapun tidak setinggi keuntungan menanam padi unggul di tanah
mineral atau hasil perkebunan. Padi varietas lokal di lahan gambut ditanam sau
tahun sekali, dan menghasilkan nasi pera (nasi yang tidak pulen). Keuntungan
penanaman Padi varietas lokal adalah masyarakat yang berada di wilayah dengan
lahan gambut lebih menyukai nasi pera dari pada nasi pulen, dan harga beras
varietas lokal lebih mahal daripada varietas unggul yang menghasilkan nasi pulen,
sehingga petani lahan gambut tidak kehilangan keinginan untuk tetap menanam
padi lokal.
Pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut harus tetap memerhatikan
kaidah-kaidah lingkungan karena kendala pemanfaatannya cukup besar, maka
pemanfaatan lahan gambut khususnya untuk pertanian yang tidak memerhatikan
kaidah lingkungan akan menimbulkan kerusakan dan kerugian dari sisi
lingkungan dan sosial ekonomi. Hal yang akan ditimbulkan akibat pengelolaan
yang kurang tepat antara lain: kebakaran hutan, kabut asap, kebanjiran, lahan
bongkor (tidak dapat dimanfaatkan), hilangnya spesies langka, dan hilangnya
mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan hidupnya di lahan gambut.
24
25
26
Kerusakan tata air di lahan gambut sering kali ditimbulkan oleh adanya
kegiatan-kegiatan manusia yang tidak terkendali, seperti membangun parit dan
saluran, menebang hutan, membakar ladang dan sebagainya. Dari berbagai jenis
kegiatan ini, pembangunan parit dan saluran terbuka di lahan gambut (tanpa
mempertahankan batas tertentu ketinggian air di dalam parit), apakah itu untuk
mengangkut kayu (legal atau ilegal) hasil tebangan di dalam hutan ataupun untuk
mengairi lahanlahan pertanian dan perkebunan, diduga telah menyebabkan
terkurasnya kandungan air di lahan gambut sehingga lahan menjadi kering dan
mudah terbakar di musim kemarau. Kondisi demikian telah terbukti di berbagai
lokasi lahan gambut Kalimantan Tengah dan Sumatera yang terbakar pada lokasilokasi yang ada parit dan salurannya.
3. Pertambangan
Hasil tambang merupakan salah satu penyumbang devisa negara yang
penting. Keberadaan tambang ini tersebar diberbagai lokasi, termasuk di dalam
kawasan hutan dan lahan gambut. Tarik menarik antar berbagai kepentingan,
misalnya antara sektor kehutanan dan pertambangan, khususnya pertambangan
terbuka sering terjadi. Namun dalam kenyataannya, demi alasan investasi,
penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, fungsi kehutanan
seringkali menjadi pihak yang lemah dan akhirnya dijadikan korban dan
cenderung diabaikan untuk mendapatkan bahan tambang. Akibat lanjut dari
kondisi ini, adalah rusaknya eksositem gambut beserta hilangnya nilai dan
manfaat sosial, ekonomi dan jasa lingkungan yang selama ini dapat diberikan.
Bahkan belakangan ini muncul praktek-praktek swasta yang menjadikan material
gambut sebagai bahan tambang/ sumber energi bagi kegiatan industri mereka
27
sebagai akibat mahalnya harga BBM belakangan ini. Jika ini dibiarkan maka
bencana lingkungan yang semakin parah dapat terjadi, karena gambut bukanlah
semata-mata merupakan materi mati seperti batubara, tapi ia merupakan media
bagi kehidupan di atasnya.
4. Kebakaran Hutan/Gambut dan Akibatnya Terhadap Pencemaran Udara
(Akibat Asap)
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia hampir terjadi tiap tahun,
terutama di musim kemarau. Kebakaran ini biasa terjadi di areal milik masyarakat,
areal perkebunan, areal HPH, areal HTI, bahkan di kawasan lindung. Sebagian
kebakaran ditimbulkan oleh kegiatan penyiapan lahan oleh masyarakat dengan
menggunakan api. Teknik penyiapan lahan melalui pembakaran masih dianggap
sebagai cara yang paling murah dan praktis sehingga beberapa perusahaan
perkebunan dan HTI dengan alasan lebih ekonomis masih melakuannya sekalipun
secara hukum telah dilarang. Berdasarkan fakta yang ada, hampir semua
kebakaran hutan di Indonesia disebabkan oleh kegiatan manusia (secara sengaja
maupun tidak) dan belum ada bukti kebakaran yang terjadi secara alami. Dengan
tidak disadari bahwa dampak yang ditimbulkan dari kebakaran lahan gambut
disamping sulit untuk dipadamkan, karena apinya berada di bawah permukaan
juga lokasinya jauh serta keterbatasan alat dan teknologi, juga akan menimbulkan
pencemaran/polusi udara.
5. Penebangan Liar (Illegal Loging)
Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah terhadap
pemegang izin konsesi pengelolaan hutan (perusahaan HPH) yang telah berakhir,
dan lahan pengelolaan tidak dikembalikan, sehingga status lahan menjadi tidak
28
29
30
atau tanaman obat seperti Zingiberaceae, lidah buaya (Aloefera) dan lainlain yang
diterapkan pada pola perhutanan sosial (hutan kemasyarakatan, hutan rakyat),
pada pola pembangunan hutan tanaman hasil hutan non kayu atau pada pola
pembangunan hutan tanaman kayu jenis industri.
2. Pola Perhutanan Sosial
Pola perhutanan sosial yang diterapkan pada areal hutan rawa gambut yang
terdegradasi baik pada hutan produksi maupun hutan kawasan lindung yang telah
diijinkan. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan teknologi rehabilitasi. Melalui
uji coba rehabilitasi dengan menggunakan jenis asli setempat yang sesuai kondisi
ekologis setempat, atau menggunakan jenis MPTS yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat tanpa mengganggu fungsi ekologis. Penanaman jenis MPTS maupun
jenis pohon asli maupun eksotik yang cocok dapat diterapkan dengan teknik
agroforestry.
3. Pola Pembangunan Hutan Tanaman Penghasil HHBK
Pola ini dapat diterapkan untuk rehabilitasi hutan rawa gambut yang
terdegradasi. Penelitian ini dilakukan dengan Uji coba penanaman jenis asli pohon
dihutan rawa gambut penghasil hutan non kayu seperti getah (latek) pada jenis
jelutung (Dyera lowii), getah hangkang pada jenis Nyatoh (Palaquium
leicocarpum), getah jernang pada getah pada biji rotan. Selain itu jenis Gemor
(Alseodhapne helophylla) kulit kayunya sebagai bahan insektisida (obat nyamuk),
Tanaman jarak pagar (Jatropha sp) ataupun jenis nyamplung (Calophyllum
innophyllum) diambil bijinya sebagai bahan minyak diesel, Pinang (Arenga
catechu) diambil bijinya sebagai bahan obat-obatan. Rotan (Calamus spp) dan
lain-lain. Penanaman Rotan dapatdilakukan dengan menggunakan jenis pohon
31
32
6. Pengadaan Bibit
Penelitian teknologi pengadaan bibit dari jenis-jenis yang digunakan
dalam pola perhutanan sosial, pola pembangunan hutan tanaman penghasil
HHBK, maupun pada Pola pembangunan hutan tanaman hasil kayu industri dapat
dilakukan baik secara generatif melalui biji maupun melalui stek baik batang
(stem), pucuk (shoot) maupun akar (root) ataupun melalui tissue culture (kultur
jaringan). Penelitian dapat dimulai pada penyiapan bibit dengan media yang
mengimplementasikan cendawan mikoriza baik Vam maupun ektomikoriza serta
penggunaan Rhizobium ataupun bioteknologi yang lain. Penelitian dilakukan di
persemaian maupun di labolatorium. Beberapa jenis bibit pohon rawa gambut
telah berhasil diperbanyak melaluipropagasi vegetatif seperti meranti batu (Shorea
uliginosa), meranti bunga (S. Teysmanniana), punak (Tetramerista glabra), ramin
(Gonystylus bancanus), para-para (Aglaia rubiginosa), prupuk (Lophopethalum
multinervium), jelutung rawa (Dyera lowii) dan lain-lain.
7. Teknik Penyiapan Lahan dan Penanaman
Teknologi penyiapan lahan dan penanaman merupakan hal yang sangat
penting untuk keberhasilan kegiatan rehabilitasi di lahan rawa gambut. Teknologi
penyiapan lahan dilakukan dengan pengaturan drainase (water management)
dengan pembuatan parit-parit irigasi untuk menjaga lokasi tanam tidak tergenang
air perlu diperhitungkan dengan seksama karena sifat subsidensi dan irreversible
drying (kering tidak balik) jika tidak, akan menjadikan lahan gambut tersebut
menjadi kelewat kering, mudah terbakar dan meningkatkan emisi gas rumah
kaca.Teknik lain,dengan cara pembuatan gundukan-gundukan tempat penanaman
untuk menghindari penggenangan air sehingga bibit atau tanaman muda akan
33
34
pemangkasan
(Prunning)
dan
penjarangan
(thinning)
untuk
menjamin
35
5.1. Kesimpulan
Pengelolaan DAS dan Rawa Gambut di Indonesia telah banyak diatur
dalam perundangan-undangan, regulasi, serta peraturan daerah lainnya. Namun
pengelolaan yang diharapkan masih belum terlaksana dengan baik. Perlunya
kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan lembaga lainnya untuk saling
mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Kesadaran akan pentingnya
manajemen dalam pengelolaan DAS dan Rawa Gambut menjadi kepentingan
bersama di masyarakat. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan
yang benar terhadap DAS Dan Rawa Gambut, baik dari segi ekonomi juga
ekologi.
5.2 Saran
Untuk
praktikum
selanjutnya,
diharapkan
lokasi
yang
dijadikan
36
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2004.Teknologi hemat air dan irigasi
suplemen.hlm. 239264. Dalam Teknologi PengelolaanLahan Kering:
Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian
danPengembangan Tanah dan Agroklimat,Bogor.
Asdak, 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Gunawan, A. 2012. Pengaruh Penggunaan Minyak Ikan Lemuru, Tallow Dan
Tongkol Jagung Dalam Ransum Terhadap Kinerja Dan Komposisi Asam
Lemak Daging Itik [Tesis]. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Karyana, Apik. 2000. Pembangunan Partisipatoris Dalam Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (Participatory Actions Program In Watershed Development).
https://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/das-danpengelolaannya-3/. Diakses 26 desemer 2016.
Kelompok Kerja Pengelolaan Lahan Gambut Nasional. 2006 Strategi dan
Rencana Tindak Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.
http://archive.wetlands.org/LinkClick.aspx?fileticket=wchkIU%2Fc1AE
%3D&tabid=56. Diakses 26 desember 2016.
Komaruddin, Nanang., 2008. Penilaian Tingkat Bahaya Erosi di Sub Daerah
AliranSungai Cileungsi, Bogor. Jurnal Faperta UNPAD 19 (3) : 173-178
Noordwijk, M. V., dan Farida. 2004. Analisis Debit Air Sungai Akibat?.
(http://www.wordagoforestrycenter.org/sea/publications/file/journal/JA001
904 PDF).
37
Noor, M. 2004, Lahan Rawa,Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Masam, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Rahman, A. 2013. Model Sistem Informasi Geografis Untuk Estimasi Koefisien
Aliran dan Hubungannya Dengan Tutupan Lahan Di DAS Riam Kanan
Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Bumi Lestari, 13 (1), 1-8.
Tarigan, D. R., & Mardiatno, D. 2012. Pengaruh Erositivitas dan Topografi
Terhadap Kehilangan Tanah Pada Erosi Alur Di Daerah Aliran Sungai
Secang Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo. Jurnal
Bumi Indonesia, 1 (13), 411-420.
38
LAMPIRAN
39