Anda di halaman 1dari 99

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya alam utama berupa vegetasi/hutan, tanah dan air mempunyai

peranan penting untuk kelangsungan pembangunan dan penghidupan masyarakat

pada umumnya. Pembangunan merupakan suatu kenyataan yang harus kita terima

sebagai suatu bentuk pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah.

Keberhasilan pembangunan memberikan manfaat sosial dan ekonomi, namun

kondisi ini juga seringkali berdampak sebaliknya terhadap sumberdaya alam dan

lingkungan termasuk lingkungan daerah aliran sungai (DAS).

DAS Unda merupakan salah satu DAS yang besar dan memiliki fungsi

strategis baik secara ekologis maupun ekonomi di Pulau Bali. Wilayah DAS Unda

terbentang melintasi 3 kabupaten di Provinsi Bali dari Kabupaten Bangli,

Karangasem hingga Klungkung sebagai hilirnya. Air sungai dari DAS Unda

merupakan sumber air minum, sumber air bagi irigasi pertanian dan perikanan

yang digunakan kabupaten-kabupaten di Bali bagian timur. Pesatnya

pembangunan di Pulau Bali, berdampak terhadap pemanfaatan sumberdaya alam

yang ada di wilayah Bali, termasuk wilayah DAS Unda. Berbagai tekanan

terhadap sumberdaya alam DAS tidak hanya terjadi di hilir tetapi juga di hulu

DAS Unda. Di hulu DAS, tekanan tidak hanya terjadi di luar kawasan hutan tetapi

juga di dalam kawasan hutan lindung.

Kawasan hutan yang berada di bagian hulu DAS Unda merupakan kawasan

hutan lindung. Saat ini, pada sebagian kawasan tersebut dirambah masyarakat
2

untuk hijauan tanaman pakan ternak terutama yang berbatasan langsung dengan

lahan milik masyarakat. Di luar kawasan hutan, penambangan batu dan pasir

marak dilakukan dengan menggunakan alat-alat berat. Pengolahan lahan pada

lahan berbukit dengan kemiringan yang terjal untuk lahan budidaya tanaman

semusim dengan minimnya penerapan teknologi pengolahan lahan. Asdak (2010)

menyatakan bahwa lahan yang diusahakan dengan cara-cara yang mengabaikan

kaidah-kaidah konservasi tanah rentan terhadap erosi dan tanah longsor.

Sub DAS Telagawaja merupakan salah satu DAS yang berada di bagian

hulu DAS Unda. Sebagai hulu DAS, Sub DAS Telagawaja berfungsi sebagai

daerah konservasi, daerah tangkapan hujan dan daerah yang dikelola untuk

mempertahankan lingkungan DAS Unda agar tidak terdegradasi. Tujuan

pengelolaan Sub DAS Telagawaja adalah tetap terjaga dan terkendalinya erosi

tanah, hasil air yang optimal, serta produktivitas dan daya dukung lahannya.

Perubahan penggunaan lahan di wilayah Sub DAS Telagawaja dapat mengancam

keberadaan fungsi hidrologis dari DAS Unda. Guna kesinambungan fungsi

tersebut, diperlukan sistem pengelolaan yang terpadu dan sinerjik, hingga

kesalahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja dapat dihindari.

Untuk menghindarkan kesalahan dalam pengelolaan lahan pada wilayah Sub

DAS Telagawaja perlu dibuat perencanaan arahan penggunaan lahannya. Untuk

tujuan tersebut diperlukan data dan informasi kondisi karakteristik Sub DAS

Telagawaja dimana salah satunya adalah dari aspek lahan. Penelitian berupa

“Arahan Penggunaan Lahan Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Telagawaja” ini

dilakukan pengkajian terhadap kondisi karakteristik lahan, erosi dan tingkat


3

bahaya erosi yang terjadi, arahan klasifikasi fungsi kawasan serta alternatif

tindakan konservasi tanah yang baik sebagai bentuk arahan penggunaan lahan

pada Sub DAS Telagawaja.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut di atas serta memperhatikan fungsi Sub DAS

Telagawaja, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi karakteristik lahan pada Sub DAS Telagawaja?

2. Bagaimanakah tingkat bahaya erosi yang terjadi di Sub DAS Telagawaja?

3. Bagaimanakah bentuk arahan klasifikasi fungsi kawasan pada Sub DAS

Telagawaja?

4. Bagaimanakah alternatif tindakan konservasi tanah yang baik sebagai bentuk

arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan yang ingin dicapai adalah memperoleh bentuk arahan

penggunaan lahan di Sub DAS Telagawaja secara berkelanjutan. Sementara

tujuan khusus yang ingin diperoleh adalah:

1. Mengidentifikasi kondisi karakteristik lahan Sub DAS Telagawaja.

2. Menentukan tingkat bahaya erosi yang terjadi di Sub DAS Telagawaja.

3. Menentukan arahan klasifikasi fungsi kawasan di Sub DAS Telagawaja.

4. Merencanakan alternatif tindakan konservasi tanah yang baik sebagai bentuk

arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja.


4

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan :

1. Teridentifikasinya kondisi karakteristik lahan pada Sub DAS Telagawaja

2. Diperolehnya data dan sebaran tingkat bahaya erosi di wilayah Sub DAS

Telagawaja sehingga memudahkan dalam perencanaan arahan penggunaan

lahan di Sub DAS Telagawaja.

3. Diperolehnya data dan sebaran arahan klasifikasi fungsi kawasan, sehingga

dapat memberikan informasi mengenai peruntukan fungsi kawasan pada Sub

DAS Telagawaja,

4. Diperolehnya arahan atau alternatif penggunaan lahan dengan menerapkan

tindakan konservasi tanah yang tepat sehingga mampu mengendalikan erosi

pada tingkat erosi yang diperkenankan.

Dengan diperolehnya data dan informasi tersebut, memberikan pengaruh

positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya

khususnya bidang rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi tanah sehingga

dapat dipergunakan untuk merencanakan kebijakan dan strategi pengelolaan

lahan DAS, khususnya Sub DAS Telagawaja.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) memiliki 3 komponen utama yang menjadi ciri

khas atau penciri utamanya, yaitu: (1) suatu wilayah yang dibatasi oleh puncak

gunung/bukit dan punggung/igir-igirnya; (2) hujan yang jatuh di atasnya diterima,

disimpan, dan dialirkan oleh sistem sungai; dan (3) sistem sungai itu keluar

melalui satu outlet tunggal. Selanjutnya beberapa ahli DAS membuat suatu

kesimpulan bahwa DAS merupakan: (1) suatu wilayah bentang lahan dengan

batas topografi; (2) suatu wilayah kesatuan hidrologi; dan (3) suatu wilayah

kesatuan ekosistem (Kementerian Kehutanan, 2013).

Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah

daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,

yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari

curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan

pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih

terpengaruh aktivitas daratan (Peraturan Pemerintah Nomor 37, 2012). Sub DAS

adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak

sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis di dalam Sub-sub DAS

(Kementerian Kehutanan, 2013).

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan

timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala

aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta


6

meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan

(Departemen Kehutanan, 2009b)

Asdak (2010) menyatakan bahwa secara konseptual, pengelolaan DAS

dipandang sebagai suatu sistem perencanaan terhadap: (1) aktivitas pengelolaan

sumberdaya termasuk tata guna lahan, praktek pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya setempat dan praktek pengelolaan sumberdaya di luar daerah

kegiatan program atau proyek; (2) alat implementasi untuk menempatkan usaha-

usaha pengelolaan DAS se-efektif mungkin melalui elemen-elemen masyarakat

dan perseorangan; dan (3) pengaturan organisasi dan kelembagaan di wilayah

proyek dilaksanakan.

Effendi (2007) menyatakan bahwa dalam rangka memberikan gambaran

keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu

diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama

DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk

mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara

lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air,

kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah

didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat

memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat

diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan

ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti

pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada

fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat
7

bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan

kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait

untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.

Keterpaduan biofisik tersebut menyebabkan DAS harus dipandang sebagai

satu kesatuan yang utuh menyeluruh yang terdiri dari sumber-sumber air, badan

air, sungai, danau, dan waduk yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-

pisahkan (Departemen Kehutanan, 2001).

2.2 Erosi Tanah

Arsyad (2010) menyatakan bahwa kerusakan tanah dapat terjadi oleh (1)

kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, (2)

terakumulasinya garam di daerah perakaran (salinitas), terkumpulnya atau

terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tumbuhan, (3)

penjenuhan tanah oleh air (water logging), dan (4) erosi.

Erosi yang terjadi dalam keadaan alami (yaitu ketika permukaan tanah dan

penutup vegetasi asli belum terganggu oleh kegiatan manusia) disebut erosi alami

atau erosi geologi. Sebaliknya, bila lahan hutan ditebang atau padang rumput

dirusak, proses erosi dipercepat, dan kita mendapatkan erosi tanah. Bilamana erosi

dipercepat sebagai akibat kegiatan manusia sehingga menghilangkan seluruh atau

sebagian tanah atas, proses tersebut disebut erosi tanah (Foth, 1994).

Erosi tanah terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap pelepasan partikel tunggal

dari masa tanah dan tahap pengankutan oleh media yang erosif seperti aliran air

dan angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk
8

mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan

(Suripin, 2002).

Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk

pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan

menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan terbawa masuk sumber air yang

dinamai sedimen, akan diendapkan di tempat yang aliran airnya melambat; di

dalam sungai, waduk, danau, saluran irigasi, di atas tanah pertanian dan

sebagainya. Dengan demikian, maka kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa

erosi terjadi di dua tempat, yaitu (1) pada tanah tempat erosi terjadi, dan (2) pada

tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan sebagaimana

disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1
Dampak Erosi Tanah
Bentuk Dampak Dampak di Tempat Kejadian Erosi Dampak di Luar Tempat Kejadian Erosi
- Langsung - Kehilangan lapisan tanah yang relatif - Pelumpuran atau sedimentasi dan
kaya unsur hara dan bahan organik, dan pendangkalan waduk, sungai, saluran
memiliki sifat-sifat fisik yang baik bagi irigasi, muara sungai, pelabuhan dan
tempat akar tanaman berjangkar badan air lainnya.
- Meningkatnya penggunaan energi untuk - Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan
berproduksi rumah atau bangunan lainnya
- Kemrosotan produktivitas tanah atau - Mnghilangnya mata air dan
bahkan menjadi tidak dapat digunakan memburuknya kualitas air
untuk berproduksi
- Kerusakan bangunan konservasi dan - Kerusakan ekosistem perairan (tempat
bangunan lainnya bertelur ikan, terumbu karang dan
sebaginya)
- Pemiskinan petani penggarap dan/atau - Kehilangan nyawa oleh banjir di musim
pemilik tanah hujan dan meningkatnya ancaman
kekeringan pada musim kemarau
- Tidak Langsung - Berkurangnya altermatif penggunaan - Kerugian sebagai akibat memendeknya
lahan umur guna waduk dan saluran irigasi dan
tidak berfungsinya badan air lainnya
- Timbulnya dorongan atau tekanan untuk
membuka lahan baru dengan membabat
hutan
- Timbulnya keperluan penyediaan dana
untuk perbaikan bangunan konservasi
yang rusak
Sumber: Arsyad, 2010
9

Erosi sangat merugikan produktivitas lahan karena dalam waktu relatif

singkat, tanah lapisan atas yang subur hilang. Sebagai contoh, tanah Latosol

(Inceptisol) pada kemiringan lahan 14% di Citayam, Bogor, yang ditanami

tanaman semusim tanpa tindakan konservasi tanah, mengalami kehilangan tanah

setebal 2,50 cm tahun-1 dan penurunan produktivitas lahan setelah dua tahun. Jika

tanah yang hilang setebal 10 cm, maka produksi dapat menurun lebih dari 50%

meskipun dilakukan pemupukan lengkap (Suwardjo, 1981). Faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas tanah karena erosi, antara lain:

adanya penurunan kandungan bahan organik tanah dan adanya penurunan

kandungan dan/atau ketersediaananya dan kekurangan air (Utomo, 1989 dalam

Rahim, 2006).

Asdak (2010) menyatakan bahwa lahan yang diusahakan dengan cara-cara

yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah rentan terhadap erosi dan

tanah longsor. Lebih lanjut disebutkan bahwa kegiatan tata guna lahan yang

bersifat mengubah bentang alam dalam suatu daerah aliran sungai (DAS)

seringkali dapat mempengaruhi hasil air (water yield). Pada batas tertentu,

kegiatan tersebut juga dapat mempengaruhi kondisi kualitas air termasuk air

Sungai Telagawaja. Susila (2012) melaporkan bahwa kualitas air Sungai

Telagawaja telah mengalami penurunan. Konsentrasi Fosfat 1,5083 mg liter-1 –

1,7052 mg liter-1 melebihi baku mutu air kelas III yaitu > 1 mg liter-1. Konsentrasi

fosfat yang tinggi mengindikasikan banyaknya masukan ke dalam badan air yang

bisa bersumber dari pupuk yang terbawa limpasan dari daerah pertanian yang

menggunakan pupuk (Effendi, 2003).


10

2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi

Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah meliputi hujan, angin,

limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng, penutupan tanah baik oleh

vegetasi atau lainnya, dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah. Faktor-

faktor tersebut dalam mempengaruhi erosi tidak dapat dipisah-pisahkan satu

dengan lainnya (Rahim, 2006). Hardjowigeno (1995) menyatakan beberapa faktor

yang mempengaruhi besarnya erosi adalah: (1) curah hujan, (2) sifat-sifat tanah,

(3) lereng, (4) vegetasi, dan (5) manusia.

Untuk di Indonesia yang beriklim tropis, hujan merupakan faktor yang

paling penting dalam erosi tanah. Karakteristik hujan yang mempunyai pengaruh

terhadap erosi tanah meliputi: (1) jumlah hujan, yang menunjukan banyaknya air

hujan selama terjadinya hujan dalam kurun waktu satu bulan atau satu tahun, (2)

intensitas hujan, yang menunjukkan banyaknya curah hujan persatuan waktu dan

dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam, (3) distribusi hujan, yang menunjukan

penyebaran waktu terjadinya hujan. Dari ketiga karakteristik hujan tersebut yang

besar pengaruhnya terhadap erosi tanah adalah intensitas hujan.

Erosi air timbul apabila aksi dispersi dan tenaga pengangkut oleh air hujan

mengalir ada di permukaan dan atau di dalam tanah. Erosi dapat terjadi melalui

adanya tahapan-tahapan yang dimulai dengan adanya benturan butir-butir hujan

dengan tanah, percikan tanah oleh butir hujan ke semua arah, penghancuran

bongkah tanah oleh butiran hujan, pemadatan tanah, penggenangan air di

permukaan, pelimpasan air karena adanya penggenangan dan kemiringan lahan


11

dan pegangkutan partikel terpercik dan/atau massa tanah yang terdispersi oleh air

limpasan (Morgan, 1988 dalam Rahim, 2006).

Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah

tekstur tanah, bentuk dan kemantapan struktur tanah, daya infiltrasi atau

permeabilitas tanah dan kandungan bahan organik. Tanah dengan tekstur kasar

seperti pasir tahan terhadap erosi karena untuk mengangkut butir-butir yang besar

diperlukan energi yang besar pula. Demikian pula terhadap tanah dengan tekstur

halus seperti liat tahan terhadap erosi karena daya kohesinya yang kuat sehingga

gumpalan-gumpalannya sukar untuk dihancurkan. Tekstur tanah yang paling peka

terhadap erosi adalah debu dan pasir sangat halus.

Bentuk struktur tanah yang bulat (granular, remah, gumpal membulat)

menghasilkan tanah dengan porositas tinggi sehingga air mudah meresap ke

dalam tanah dan aliran permukaan menjadi kecil sehingga erosi menjadi kecil.

Pada struktur tanah yang mantap tidak akan mudah hancur oleh pukulan air hujan,

yang pada akhirnya membuat tanah tahan terhadap erosi. Sebaliknya pada struktur

tanah yang tidak mantap, sangat mudah hancur menjadi butiran halus jika terkena

pukulan air hujan yang akhirnya menyumbat pori-pori tanah yang berakibat aliran

permukaan meningkat sehingga erosi juga meningkat.

Daya infiltrasi tanah yang besar, menunjukan air mudah meresap ke dalam

tanah sehingga aliran permukaan kecil yang berakibat pada mengecilnya jumlah

erosi. Daya infiltrasi tanah dipengaruhi oleh porositas dan kemantapan struktur

tanah. Kandungan bahan organik dalam tanah akan menentukan kepekaan tanah

terhadap erosi karena bahan organik mempengaruhi kemantapan struktur tanah.


12

Tanah yang cukup mengandung bahan organik umumnya mempunyai struktur

tanah yang mantap sehingga tahan terhadap erosi. Tanah dengan kandungan

bahan organik kurang dari 2 % umumnya peka terhadap erosi (Morgan, 1979

dalam Hardjowigeno, 1995).

Lereng yang semakin curam atau panjang akan meningkatkan besarnya

erosi. Jika lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat

sehingga kapasitas daya angkut meningkat. Lereng yang semakin panjang, berarti

volume air yang mengalir semakin besar dan aliran juga semakin besar sehingga

benda yang bisa diangkut akan semakin banyak (Arsyad, 2010).

Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah menghalagi air hujan agar tidak

langsung jatuh di permukaan tanah sehingga kekuatan untuk menghancurkan

tanah berkurang, menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air meresap

ke dalam tanah.

Kegiatan manusia merupakan salah satu faktor paling penting terhadap

terjadinya erosi tanah. Kegiatan-kegiatan tersebut kebanyakan berkaitan dengan

perubahan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi, misalnya perubahan

penutupan tanah akibat penggundulan/pembabatan hutan untuk pemukiman, lahan

pertanian, dan gembalaan.

2.2.2 Prediksi Kehilangan Tanah

Untuk mengetahui besarnya erosi pada satuan unit lahan perlu dilakukan

pendugaan/prediksi erosi. Tujuan dilakukan pendugaan erosi adalah untuk

meramalkan besarnya erosi yang telah, sedang dan/atau akan terjadi pada suatu

satuan unit lahan dengan atau tanpa pengelolaan tertentu serta memilih praktek
13

penggunaan lahan dalam arti luas yang mempunyai produktivitas tinggi dan

berkelanjutan.

Pendugaan erosi bisa dilakukan di laboratorium, lapangan atau pendekatan

permodelan dengan menggunakan model matematika sebagaimana dikembangkan

oleh Wischmeier dan Smith (1978) yang dikenal dengan persamaan Universal

Soil Loss Equation (USLE). Penelitian pendugaan erosi dengan pendekatan

matematika sudah banyak dilakukan, antara lain: Mario (2004) melaporkan bahwa

DAS Banyumala Kabupaten Buleleng menunjukkan tingkat bahaya erosi (TBE)

sangat berat (699,20 ha atau 19,6%), berat (432,92 ha atau 12,2%), sedang

(1.166,22 ha atau 32,8%), ringan (1.261,93 ha atau 35,4%). Faktor panjang dan

kemiringan lereng (LS) dan erosivitas hujan memberikan kontribusi paling tinggi

dalam menimbulkan erosi. Mahmud (2007) melaporkan bahwa di wilayah DAS

Otan Kabupaten Tabanan menunjukkan (TBE) yang bervariasi dari sangat ringan

sampai sangat berat. TBE sangat berat mencapai 326,08 ha. Faktor pemberat yang

menjadikan sebagian DAS tersebut masuk dalam kategori sangat berat adalah

kemiringan lereng, penutupan lahan, dan pengelolaan lahan dengan pembuatan

teras yang kurang baik.

2.2.3 Erosi yang Diperkenankan (Edp)

Drajat dan Notohadipurwo (1982) menyebutkan bahwa erosi merupakan

gejala alam yang wajar bahkan dalam suatu ekosistem yang utuhpun erosi tanah

tetap berlangsung. Erosi berjalan seimbang dengan laju pembentukan tanah,

sehingga tanah mengalami peremajaan secara seimbang. Besarnya erosi yang


14

diperkenankan merupakan besarnya erosi yang tidak melebihi laju pembentukan

tanah.

Arsyad (2010) menyatakan bahwa erosi alami merupakan proses

pengangkutan tanah atau bagian-bagian tanah yang terjadi di bawah keadaan

alami. Erosi alami terjadi dengan laju yang lambat yang memungkinkan

terbentuknya tanah yang tebal dan mampu mendukung pertumbuhan vegetasi

secara normal. Laju erosi yang dinyatakan dalam mm tahun-1 atau ton hektar-1

tahun-1 yang terbesar dan masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar

terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman

sehingga memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari

disebut erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan yang bisa dinyatakan

dengan notasi Edp.

2.3 Peruntukan Fungsi Kawasan

Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi

(campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan

hidupnya baik materil maupun spiritual Arsyad (2010). Kartasapoetra (1985),

menyatakan bahwa pengelolaan lahan merupakan suatu upaya yang dimaksudkan

agar lahan dapat berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan produksi.

Bentuk pengelolaan lahan yang baik adalah dapat menciptakan suatu keadaan

yang mirip dengan keadaan alamiahnya (Arsyad, 2010).

Penggunaan lahan, selain menghasilkan manfaat yang dapat dinikmati oleh

penduduk juga tidak lepas dari resiko terjadinya kerusakan lahan pada lahan itu

sendiri. Kerusakan ini terjadi salah satu penyebabnya adalah erosi yang
15

disebabkan karena pengelolaan lahan belum menerapkan konservasi tanah dan air

yang baik.

Menteri Pertanian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor:

837/Kpts/Um/11/1980 dan Nomor: 683/Kpts/Um/8/1981 untuk mengatur

penggunaan lahan guna melindungi kepentingan hidroorologi suatu wilayah

menjadi fungsi lindung dan produksi dengan memperhatikan faktor-faktor dan

diperhitungkan di dalam penetapan kesesuaian fungsi kawasan adalah lereng

lapangan, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi serta intensitas hujan

dari wilayah yang bersangkutan.

Undang-undang Penataan Ruang Nomor: 26 Tahun 2007 menyatakan

bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan fungsi utama kawasan,

wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan. Penataan

ruang berdasarkan fungsi utama terdiri atas kawasan lindung dan kawasan

budidaya. Lebih lanjut dinyatakan dalam rangka upaya pelestarian lingkungan,

dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga

puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.

Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan

bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 menjelaskan bahwa wilayah adalah

ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang
16

batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek

fungsional. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau

budidaya.

Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan

sumber daya buatan. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan

fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya

alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kawasan Hutan Lindung

adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan

perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur

tata air, pencegahan banjir, erosi, dan pemeliharaan kesuburan tanah.

Asdak (2010) menyebutkan bahwa arahan penggunaan lahan ditetapkan

berdasarkan kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan produksi

yang berkaitan dengan karakteristik fisik DAS berikut ini:

a. kemiringan lereng

b. jenis tanah menurut kepekaanya terhadap erosi

c. curah hujan harian rata-rata.

Rahim (2006) menyebutkan lahan-lahan di Indonesia dapat diperuntukan ke

dalam satu atau lebih dari katagori dari peruntukan berikut: (1) kawasan lindung;

(2) kawasan penyangga; (3) kawasan budidaya tanaman tahunan; (4) kawasan

budidaya tanaman semusim; dan (5) kawasan permukiman.


17

2.4 Perencanaan Teknik Konsevasi Tanah

Arsyad (2010) menyatakan bahwa konservasi tanah dalam arti luas adalah

penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan

kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat

yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi

tanah diartikan sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan

memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi.

Konservasi tanah adalah masalah menjaga agar tanah tidak terdispersi, dan

mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan agar tidak terjadi

pengangkutan tanah. Metode konservasi tanah dapat digolongkan ke dalam tiga

golongan utama, yaitu (1) metode vegetatif, (2) metode mekanik dan (3) metode

kimia (Arsyad, 2010). Asdak (2010) menyebutkan bahwa langkah pertama yang

harus ditempuh dalam perencanaan tanah adalah melakukan inventarisasi dan

klasifikasi tanah untuk pemanfaatan tanah yang paling optimal. Dalam konteks

program konservasi tanah perlu menentukan tingkat bahaya erosi (TBE), suatu

informasi penting untuk memulai aktivitas konservasi tanah. Untuk menentukan

tingkat bahaya erosi suatu bentang lahan diperlukan kajian terhadap empat faktor

sebagai berikut:

a. Jumlah, tipe dan waktu berlangsungnya hujan serta faktor-faktor yang

berkaitan dengan unsur iklim.

b. Jumlah dan tipe tumbuhan penutup tanah.

c. Tingkat erodibilitas di daerah kajian.

d. Kemiringan lereng.
18

Salah satu upaya konservasi tanah guna memulihkan dan menjaga

kelestarian sumberdaya lahan adalah rehabilitasi. Balai Pengelolaan DAS Unda

Anyar (2009) menjelaskan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk

memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan

sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem

penyangga kehidupan tetap terjaga. Selanjutnya Asdak (2010) menyebutkan

bahwa rehabilitasi merupakan salah satu aspek konservasi tanah yang bertujuan

untuk memulihkan atau memperbaiki keadaan lahan kritis sehingga dapat

berfungsi sebagai media produksi dan mengatur tata air yang baik sedangkan

konservasi tanah adalah upaya mempertahankan, merehabilitasi dan

meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan kelas kemampuannya.

Perencanaan atau pemilihan teknik konservasi tanah dan air dilakukan

dengan membandingkan besarnya prediksi erosi dengan erosi yang dapat

ditoleransikan. Tujuannya adalah untuk mengurangi besarnya prediksi erosi

sampai pada tingkat yang lebih kecil dari laju erosi yang dapat diperkenankan.

Untuk menjaga agar tanah yang hilang melalui erosi tetap berada di bawah laju

erosi yang masih dapat diperkenankan, maka jenis tanaman dan sistem

pertanaman serta penerapan teknik konservasi tanah harus sedemikian rupa, agar

nilai factor penutupan vegetasi dan pengelolaan tanaman (CP) tidak melebihi rasio

total erosi (Adnyana, 2000).


19

BAB III

KERANGKA PIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Pikir Penelitian

Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan.

Manusia sangat bergantung kepada lingkungan yang memberikan sumber daya

alam untuk tetap bertahan hidup. Mengingat adanya keterbatasan daya dukung

(carrying capacity) lingkungan, manusia harus memperhatikan kelestarian

lingkungan agar fungsi-fungsi lingkungan masih dapat berjalan sehingga tetap

memberikan keuntungan bagi manusia. Eksploitasi sumber daya alam ataupun

perusakkan lingkungan atas nama pembangunan yang berlebihan karenanya akan

berdampak buruk bagi kualitas lingkungan dalam menjalankan fungsinya yang

pada akhirnya mempengaruhi kualitas hidup dan bahkan keberlangsungan hidup

manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007).

Pertumbuhan pembangunan, berimplikasi pada pemanfaatan sumberdaya

alam termasuk lahan yang kurang sesuai dengan peruntukannya. Pemanfaatan

sumber daya lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat memicu

terjadinya penurunan kualitas lingkungan termasuk lingkungan daerah aliran

sungai (DAS). Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan DAS adalah

erosi.

Upaya meminimalisir dampak dari tekanan yang terjadi dalam rangka

mempertahankan serta memulihkan fungsinya, DAS Unda ditetapkan sebagai

DAS Prioritas melalui Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:

SK.328/Menhut-II/2009. Ditetapkannya DAS Unda sebagai salah satu DAS


20

Prioritas dimaksudkan agar kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk di

dalamnya penyelenggaraan reboisasi, penghijauan, dan konservasi tanah dan air,

baik vegetatif, agronomis, struktural, maupun manajemen menjadi skala prioritas

(Departemen Kehutanan, 2009a). Tujuannya adalah agar pemanfaatan sumber

daya lahan DAS Unda bisa bermanfaat secara lestari dan berkesinambungan baik

secara ekologi maupun ekonomi.

Wilayah Sub DAS Telagawaja merupakan bagian dari wilayah DAS Unda

yang berada di hulu. Sebagai hulu DAS, Sub DAS Telagawaja merupakan daerah

konservasi yang difungsikan sebagai daerah tangkapan air. Aktivitas perubahan

lanskap termasuk perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan

konservasi yang dilakukan di daerah hulu DAS tidak hanya memberikan dampak

di daerah tersebut dilakukan tetapi juga memberikan dampak terhadap daerah di

bawahnya. Sehingga pengelolaan lahan di wilayah Sub DAS Telagawaja menjadi

penting dilakukan.

Guna kepentingan penggunaan lahan di wilayah Sub DAS Telagawaja perlu

dibuat sebuah perencanaan untuk menghindari kesalahan di dalam pengelolaannya,

maka dari itu perlu dikenali karakteristiknya termasuk di dalamnya karakteriktik

lahan. Kondisi karakteristik Sub DAS Telagawaja meliputi: iklim, jenis tanah dan

geomorfologi/ bentuk lahan, kemiringan lahan serta penutupan lahan. Identifikasi

karakteristik fisik lahan menggambarkan kondisi lahan Sub DAS Telagawaja saat

ini. Diketahuinya kondisi fisik lahan digunakan sebagai input di dalam analisis

selanjutnya sesuai dengan tujuan penelitian.


21

Erosi tanah terjadi sebagai dampak dari pemanfaatan lahan yang telah

dilakukan pada berbagai penggunaan lahan saat ini. Prediksi laju dan besaran

erosi dihitung dengan menggunakan Rumus Universal Soil Loss Equation (USLE)

dari Wischmeier dan Smith (1978). Tingkat bahaya erosi (TBE) mengacu pada

Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departeman

Kehutanan Nomor: 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 dengan cara

membandingkan tingkat erosi di suatu lahan (land unit) dengan kedalaman tanah

efektif pada satuan lahan tersebut.

Arahan penggunaan lahan dilakukan setelah diketahui kondisi fisik lahan

dan tingkat erosi yang telah terjadi di wilayah Sub DAS Telagawaja. Bentuk

arahan penggunaan lahan dimaksudkan untuk melindungi lahan tersebut dari

kerusakan akibat penggunaan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Arahan

klasifikasi fungsi kawasan berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor:

837/KPTS/Um/11/1980 dan Nomor: 683/KPTS/Um/8/1981 tentang kriteria

penetapan fungsi kawasan lindung dan budidaya dinilai berdasarkan klasifikasi

skor jenis tanah, intensitas hujan dan kelerengan kawasan. Analisis ini

memberikan arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja secara makro

meliputi; kawasan lindung, kawasan penyangga, kawasan budidaya tanaman

tahunan, kawasan budidaya tanaman semusim dan kawasan permukiman.

Perencanaan arahan penggunaan lahan di Sub DAS Telagawaja dengan

menerapkan alternatif tindakan konservasi tanah didasarkan pada keadaan fisik

lahan saat ini, tingkat erosi yang terjadi dan kesesuaian klasifikasi fungsi

kawasannya. Perencanaan tindakan konservasi tanah yang baik adalah dengan


22

menerapkan pola pertanaman yang sesuai dan mampu menekan erosi serta

mewujudkan optimalisasi pemanfaatan Sub DAS Telagawaja yang berazaskan

kelestarian dan berkelanjutan. Agar erosi dapat ditekan dan tanah tetap lestari,

maka nilai prediksi erosi aktual (A) harus diturunkan menjadi sama atau dibawah

erosi toleransi (Edp).

Hasil akhir dari penelitian ini dapat disajikannya data dan informasi baik

angka maupun spasial meliputi: kondisi biofisik lahan, tingkat bahaya erosi,

arahan klasifikasi fungsi kawasan, serta bentuk alternatif tindakan konservasi

tanah sebagai bentuk arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja. Untuk

lebih jelasnya diagram kerangka alur pikir penelitian ini dapat dilihat pada

Gambar 3.1.

3.2 Konsep Penelitian

Karakteristik lahan merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan

lingkungan. Karakteristik lahan Sub DAS Telagawaja merupakan sifat atau

karakter fisik yang dimiliki oleh Sub DAS Telagawaja. Setiap DAS/Sub DAS

memiliki karakter lahan yang berbeda-beda termasuk Sub DAS Telagawaja.

Diketahuinya karakteristik lahan suatu DAS/Sub DAS akan memudahkan

perencanaan pembangunan DAS/Sub DAS itu sendiri.

Erosi merupakan aspek penting di dalam pengelolaan lahan. Erosi

dipengaruhi oleh besarnya intensitas curah hujan, jenis tanah, topografi,

penutupan lahan, serta tindakan pengelolaan lahan. Perhitungan perkiraan laju dan

sebaran erosi dilakukan agar diketahui tingkat bahaya erosi (TBE) yang terjadi.
23

Penggunaan lahan merupakan suatu upaya yang dimaksudkan agar lahan

dapat berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan produksi. Penggunaan

lahan memberikan manfaat yang optimal secara ekologis maupun ekonomis jika

dilakukan sesuai dengan karakteristik dan peruntukannya.

Arahan penggunaan lahan dilakukan dilakukan dengan menerapkan

alternatif tindakan konservasi tanah didasarkan pada kondisi karakteristik lahan

saat ini, erosi yang terjadi dan disesuaikan dengan tingkat bahayanya, serta

kesesuaian arahan klasifikasi fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja. Melalui

upaya tersebut, tingkat bahaya erosi lahan dapat ditekan dan dikendalikan

sehingga sumberdaya lahan Sub DAS Telagawaja menjadi optimal dan lestari.

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Wilayah Sub DAS Telagawaja merupakan wilayah dengan lahan yang rentan

terjadi erosi tanah.

2. Pada Sub DAS Telagawaja telah terjadi erosi berat sampai sangat berat.

3. Arahan klasifikasi fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja merupakan kawasan

dengan fungsi lindung.

4. Penerapan alternatif teknik konservasi tanah yang sesuai mampu menekan

erosi sampai pada erosi yang tidak membahayakan pada wilayah Sub DAS

Telagawaja.
24

Latar belakang Tekanan terhadap


Sumber Daya Alam dan
lingkungan DAS Unda

Sub DAS Telagawaja


sebagai Hulu DAS
Unda

Bagaimanakah kondisi karakteristik


lahan, arahan klasifikasi fungsi
Perumusan masalah kawasan, tingkat bahaya erosi, dan
tindakan konservasi tanah dan air di
Sub DAS Telagawaja

Tujuan
Penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja yang
berkelanjutan

Identifikasi Analisis arahan Analisis Tingkat


Karakteristik klasifikasi fungsi Bahaya Erosi
Analisis Lahan kawasan

Arahan/
Rekomendasi
Penggunaan Lahan

Hasil
Penggunaan lahan
pada Sub DAS
Telagawaja yang
berkelanjutan dan
lestari

Gambar 3.1. Kerangka alur pikir


penelitian
25

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.1.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sub DAS Telagawaja. Secara geografis Sub

DAS Telagawaja terletak diantara 08016’49,481” - 08030’29,371” LS dan

115023’30,81” - 115030’17,745” BT. Secara administratif wilayah Sub DAS

Telagawaja teletak di wilayah Kabupaten Bangli, Karangasem dan Kabupaten

Klungkung dengan luas 11.115,59 Ha. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar

4.1.

a b

c d
Gambar 4.1
Lokasi Penelitian
a) Pulau Bali; b) Kabupaten Karangasem; c) DAS Unda; d) Sub DAS Telagawaja
26

4.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2014 sampai dengan April 2014.

4.2 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi;

1. Mengidentifikasi kondisi karakteristik fisik lahan pada Sub DAS Telagawaja

meliputi antara lain: iklim, jenis tanah, bentuk lahan, kelerengan dan

penutupan lahan.

2. Menentukan tingkat bahaya erosi (TBE) mengacu pada Keputusan Direktur

Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departeman Kehutanan Nomor:

041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 dengan membandingkan tingkat erosi

di suatu lahan (land unit) dengan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan

tersebut. Tingkat erosi dihitung dengan menggunakan Rumus Universal Soil

Loss Equation (USLE).

3. Menentukan arahan klasifikasi fungsi kawasan berdasarkan SK Menteri

Pertanian No.837/KPTS/Um/11/1980 dan Nomor: 683/Kpts/Um/8/1981

tentang kriteria penetapan fungsi kawasan lindung dan fungsi produksi dinilai

berdasarkan klasifikasi skor jenis tanah, intensitas hujan harian rata-rata dan

kelerengan lahan.

4. Menentukan alternatif tindakan konservasi tanah sebagai bentuk arahan

penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja didasarkan pada keadaan fisik lahan

saat ini, kesesuaian peruntukan fungsi lahan, dan tingkat erosi yang terjadi.
27

4.3 Jenis dan Sumber Data

Pada dasarnya penelitian merupakan upaya mengumpulkan data dan

informasi untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Data pokok yang

digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder .

4.3.1 Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan untuk memperoleh data:

1. kondisi penutupan lahan, jenis vegetasi dominan serta pengelolaan/tindakan

konservasi tanah untuk menentukan faktor nilai CP/VM melalui kegiatan

pengecekan lapangan di wilayah Sub DAS Telagawaja.

2. struktur, tekstur, persentase pasir halus, permeabilitas, serta persentase

kandungan bahan organik di dalam tanah diperoleh melalui pengambilan

sampel tanah dan selanjutnya dilakukan analisis di laboratorium untuk

mengetahui nilai erodibilitas tanah (K) di wilayah Sub DAS Telagawaja.

4.3.2 Data Sekunder

Data sekunder berasal dari:

1. Instansi-instansi/dinas terkait dalam pengelolaan Sub DAS Telagawaja yang

ada di Provinsi Bali.

2. Laporan-laporan hasil penelitian atau studi tentang DAS/Sub DAS, erosi

lahan, arahan penggunaan lahan baik yang dilakukan oleh Instansi

Pemerintah, Lembaga Swasta maupun Perguruan Tinggi.

3. Peta-peta yang berhubungan dengan lokasi dan topik penelitian, seperti peta

rupa bumi, peta tanah, peta penutupan lahan, peta topografi, peta geologi,
28

peta bentuk lahan, peta kelerengan lahan, peta iklim dan peta-peta lain yang

berkaitan dengan lokasi penelitian.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Identifikasi kondisi Sub DAS Telagawaja

Variabel yang diamati dalam mengidentifikasi kondisi Sub DAS Telagawaja

meliputi antara lain: iklim, jenis tanah, bentuk lahan, kelerengan dan penutupan

lahan.

4.4.2 Tingkat bahaya erosi

Variabel yang diamati dalam menentukan tingkat bahaya erosi meliputi:

prediksi erosi actual dan kedalaman tanah.

4.4.3 Arahan klasifikasi fungsi kawasan

Pengamatan yang diamati dalam menentukan kesesuaian peruntukan

penggunaan lahan berdasarkan arahan klasifikasi fungsi kawasan teridi atas: jenis

tanah, intensitas rata-rata curah hujan dan kelerengan lahan.

4.5 Peralatan dan Bahan Penelitian

Alat-alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah

sebagai berikut :

1. Data curah hujan bulanan rata-rata selama 10 tahun terakhir (tahun 2004 s/d

2013) di lokasi penelitian;

2. Daftar isian dan alat-alat tulis untuk mencatat data lapangan;

3. Rol meter/meteran

4. Bor tanah
29

5. Pisau tanah, plastik, ring sampel, dan peralatan laboratorium untuk analisis

tanah.

Bahan lain yang diperlukan dalam penelitian ini adalah peta tematik Sub

DAS Telagawaja dengan skala 1 : 50.000, diantaranya :

1. Peta administrasi Sub DAS Telagawaja

2. Peta bentuk lahan Sub DAS Telagawaja

3. Peta kemiringan lahan Sub DAS Telagawaja

4. Peta penutupan lahan Sub DAS Telagawaja

5. Peta jenis dan solum tanah Sub DAS Telagawaja

6. Peta penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja

7. Peta batas Sub DAS Telagawaja

Dalam penelitian ini juga digunakan beberapa jenis alat pendukung berupa

peralatan lapangan dan peralatan meja diantaranya adalah :

1. Perangkat komputer dengan kelengkapannya serta sudah dilengkapai dengan

perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG), diperlukan untuk analisis data,

peta, dan penyusunan laporan penelitian.

2. Peralatan laboratorium tanah digunakan untuk menganalisis sampel tanah.

3. Kalkulator, digunakan untuk menghitung data hasil pengukuran.

4. Kamera digital untuk pengambilan gambar di lapangan dan binokuler.

5. Perangkat GPS (Global Positioning System), untuk menentukan posisi

pengambilan data di lapangan.


30

4.6 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini diawali dengan:

1. Pembuatan peta satuan unit lahan.

Pembuatan peta unit lahan didasarkan atas peta kelerengan tanah, peta

geomorfologi (bentuk lahan), dan peta liputan lahan Sub DAS Telagawaja. Unit

lahan adalah merupakan gambaran unsur lahan yang kurang lebih sama, yaitu

kesamaan dalam topografi, proses pembentukan, kemiringan lereng, dan tutupan

vegetasinya. Penggambaran unsur unit lahan ke dalam satu kesatuan pemetaan

dilakukan dengan cara tumpang susun. Satuan unit lahan ini merupakan tempat

dilaksanakannya pengamatan dan analisis data untuk mencapai tujuan penelitian.

2. Survey pendahuluan

Survey pendahuluan dilaksanakan untuk dapat melakukan persiapan

lapangan seperti mencocokan lokasi penelitian di peta dengan di lapangan serta

mengidentifikasi para pihak yang terkait dalam pengelolaan Sub DAS Telagawaja.

3. Survey utama

Survey utama merupakan kegiatan pengamatan vegetasi penutup lahan dan

pengelolaan lahan (faktor CP/VM) serta pengambilan sampel tanah. Pengamatan

faktor CP/VM dilakukan pada setiap satuan unit lahan untuk mengetahui tingkat

kerapatan vegetasi penutup lahan serta pengelolaan lahan yang telah dilakukan

pada unit lahan tersebut.

Pengambilan sampel tanah didasarkan pada jumlah jenis tanah yang ada di

Sub DAS Telagawaja. Pengambilan sampel tanah selanjutnya dilakukan dengan

cara membagi wilayah ke dalam kelompok yang homogen, sehingga terbentuk


31

tingkatan kelompok yang disebut strata. Sampel tanah dari lapangan di analisis di

laboratorium pada Laboratorium Tanah Universitas Udayana untuk mengetahui

sifat fisik tanah berupa tekstur, struktur, persentase pasir halus, permeabilitas dan

persentase bahan organik tanah yang selanjutnya diolah untuk menentukan nilai

indek erodibilitas tanah (K).

4. Observasi dan wawancara

Observasi dan wawancara dilakukan guna melengkapi informasi yang

dikumpulkan dari lapangan dan sumber-sumber lain dalam rangka mempertajam

analisis dalam rangka mencapai tujuan penelitian.

5. Pengolahan data dan penyusunan laporan penelitian.

4.7 Analisis Data

Dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahapan analisis dengan

memperhatikan faktor fisik kawasan Sub DAS Telagawaja. Output analisis akan

dijadikan sebagai indikator input untuk analisis arahan penggunaan lahan Sub

DAS Telagawaja. Secara lengkap kerangka analisis penelitian dapat dilihat pada

Gambar 4.2.

4.7.1 Identifikasi Karakteriktik Lahan Sub DAS Telagawaja

Identifikasi karakteristik lahan menggunakan data sekunder yang telah ada

dengan menganalisis peta-peta tematik dalam format digital dengan aplikasi GIS

antara lain peta jenis dan kedalaman tanah, topografi, geomorfologi serta

penutupan lahan Sub DAS Telagawaja.


32

INPUT PROSES OUTPUT


- Luas Sub DAS
- Penutupan Identifikasi Karakteristik
lahan Sub DAS Telagawaja Karakteristik lahan
- Geomorfologi, Sub DAS Telagawaja
- Jenis tanah,
- Kelerengan
- Curah hujan

Analisis Kesesuaian
fungsi lahan Sub
DAS Telagawaja Arahan
- Jenis tanah,
Kriteria Kesesuaian Arahan Kalasifikasi penggunaan lahan Penggunaan lahan Sub
- Kelerengan berdasarkan SK (alternatif tindakan
fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja yang
- Data curah Menteri Pertanian konservasi tanah) berkelanjutan dan lestari
hujan DAS Telagawaja
No.837/KPTS/Um/1
1/1980 dan
6383/KPTS/Um/8/1
981

- Erosivitas Hujan
(R),
Analisis tingkat dan
- Erodibilitas tanah
sebaran erosi dengan
(K)
persamaan USLE
- Panjang dan
(universal Soil loss Tingkat Bahaya erosi:
Kemiringan
Equation) SR (Sangat Ringan), R
lereng (LS)
A=RKLSCP (Ringan), S (Sedang), B
- Indeks Penutupan
dan Keputusan (Berat), SB ( Sangat
lahan dan
Dirjen RRL berat)
pengeolaan lahan
Departeman
(CP/VM)
Kehutanan No:
041/Kpts/V/1998
tanggal 21 April
1998

Gambar 4.2
Kerangka analisis
4.7.2 Analisis Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi

4.7.2.1 Prediksi Laju dan Sebaran Erosi

Untuk memprediksi erosi di daerah pertanian menggunakan persamaan

sesuai dengan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikembangkan

oleh Wischmeier dan Smith (1978), dengan persamaan sebagai berikut :

A = RKLSCP ............................................................................................ (1)

Pendugaan erosi pada daerah non pertanian (hutan) menggunakan persamaan

USLE yang disempurnakan oleh Snyder (1980) dalam Asdak (2010) yaitu :

A = RKLSVM .......................................................................................... (2)

dimana :

A = Jumlah tanah yang hilang (ton hektar-1 tahun-1)

R = Indeks erosivitas hujan

K = Indeks erodibilitas tanah

LS = Indeks panjang dan kemiringan lereng

C = Indeks pengelolaan tanaman

P = Indeks upaya konservasi tanah

VM = Faktor konservasi tanah dan sistem pertanaman

Besarnya erosi yang terjadi diperoleh dari hasil perkalian dari masing-

masing parameter dalam persamaan USLE. Besarnya erosi secara spasial

diperoleh dengan melakukan proses tumpang susun peta masing-masing

parameter tersebut.
4.7.2.1.1 Indeks Erosivitas Hujan (R)

Indeks erosivitas hujan diperoleh dengan menggunakan rumus Bols (1978)

dalam Asdak (2010), dengan persamaan sebagai berikut :

EI30 = 6,12 x (RAIN)1,21 x (DAYS) -0,47 x (MAX P) 0,53 ............................... (3)

dimana :

EI30 = erosivitas hujan rata-rata tahunan

(RAIN) = curah hujan rata-rata tahunan (cm)

(DAYS) = jumlah hari hujan rata-rata per tahun (hari)

(MAX P) = curah hujan maksimum rata-rata dalam 24 jam per bulan untuk

kurun waktu satu tahun (cm)

4.7.2.1.2 Indeks Erodibilitas Tanah ( K )

Indeks erodibilitas tanah menunjukkan tingkat kerentanan tanah terhadap

erosi, yaitu retensi partikel terhadap pengikisan dan perpindahan tanah oleh energi

kinetik air hujan. Tekstur tanah yang sangat halus akan lebih mudah hanyut

dibandingkan dengan tekstur tanah yang kasar. Kandungan bahan organik yang

tinggi akan menyebabkan nilai erodibilitas tinggi. Sifat fisik tanah dalam

kaitannya dengan konservasi tanah dan air adalah tekstur, struktur, infiltrasi dan

kandungan bahan organik.

Indeks erodibilitas tanah (K) didapatkan dari persamaan Wischmeier dan

Smith (1978). Parameter yang dipakai untuk menentukan nilai K ini adalah

kandungan bahan organik, tekstur, struktur, dan permeabilitas tanah, yaitu:

100 K = 2,1 M 1,14(10-4) (12–a) +3,25x(b-2)+2,5x(c-3)......................…. (4)


dimana :

K = erodibilitas tanah

M = Persentase ukuran partikel % debu + pasir sangat halus (diameter

0,05 - 0,02 dan 0,1 - 0,05 mm) x (100 - % liat)

a = Persen bahan organic

b = Kode klasifikasi struktur tanah (granular, platy,massive. dll)

c = Permeabilitas tanah

Perkiraan besarnya nilai erodibilitas tanah dapat diketahui berdasarkan

data persentase debu, dan pasir sangat halus, pasir, bahan organik, struktur dan

permeabilitas tanah seperti ditunjukan nomograf pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3.
Nomograf untuk menentukan erodibilitas tanah K (Wischmeir dan Smith, 1978)
Adapun cara penggunaan nomograf tersebut adalah sebagai berikut:

a. persentase debu dan pasir sangat halus ditetapkan pada titik yang bersesuaian

pada sumbu tegak sebelah kiri dari nomograf

b. ditarik garis horizontal memotong garis yang menunjukan persentase pasir

c. dari titik perpotongan ini ditarik garis vertikal hingga memotong persentase

bahan organik

d. dari perpotongan garis horizontal ke kanan hingga memotong kelas struktur

tanah

e. dari titik perpotongan ini ditarik garis vertikal hingga memotong kelas

permeabilitas tanah

f. dari titik perpotongan ini ditarik horizontal ke kiri hingga memotong skala

indeks erodibilitas tanah (K).

Untuk menggunakan nomograf diperlukan analisis tekstur tanah, yaitu

persentase kandungan pasir (2,0-0,10mm), persentase pasir sangat halus (0,10 -

0,05 mm), persentase debu (0,05-0,002 mm), persentase liat (lebih kecil dari 0,002

mm), persentase bahan organik tanah, struktur tanah dan permeabilitas profil

tanah. Kode struktur tanah disajikan pada Tabel 4.1 sedangkan kode permeabilitas

profil tanah disajikan pada Tabel 4.2

Tabel 4.1
Kode Struktur Tanah
Kelas Struktur Tanah (ukuran diameter) Kode
Granuler sangat halus (< 1 mm) 1
Granuler halus (1 sampai 2 mm) 2
Granuler sedang sampai kasar (2 sampai 10 mm) 3
Berbentuk blok, blocky, plat, massif 4
Sumber: Arsyad, 2010
Tabel 4.2
Kode Permeabilitas Profil Tanah
Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode
Sangat lambat < 0,5 6
Lambat 0,5 sampai 2,0 5
Lambat sampai sedang 2,0 sampai 6,3 4
Sedang 6,3 sampai 12,7 3
Sedang sampai cepat 12,7 sampai 25,4 2
Cepat >25,4 1
Sumber: Arsyad, 2010

4.7.2.1.3 Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

Faktor indeks topografi L dan S masing-masing mewakili pengaruh

panjang dan kemiringan lereng terhadap erosi. Panjang lereng mengacu pada

aliran permukaan, yaitu lokasi berlangsungnya erosi dan kemungkinan terjadinya

deposisi dan derajat kemiringan lereng (S) dalam %.

Komponen panjang dan kemiringan lereng (L dan S) diintegrasikan

menjadi faktor LS. Departemen Kehutanan (1998) telah menyusun penilaian kelas

lereng dan faktor LS sebagaimana Tabel 4.3.

Tabel 4.3
Penilaian Kelas Lereng dan faktor LS
Kelas lereng Kemiringan lereng (%) LS
I 0–8 0,4
II 0 – 15 1,4
III 15 – 25 3,1
IV 25 – 40 6,8
V >40 9,5
Sumber : Departemen Kehutanan, 1998

4.7.2.1.4 Indeks Pengelolaan Tanaman (C)

Nilai indeks pengelolaan tanaman (C) diperoleh melalui pemeriksaan

secara intensif di lapangan dan dipetakan secara terinci menggunakan interpretasi

citra landsat. Hasil pemeriksaan lapangan tersebut selanjutnya disesuaikan dengan

indeks nilai pengelolaan tanaman sebagaimana disajikan pada Tabel 4.4 untuk
pertanaman tunggal dan Tabel 4.5 untuk pertanaman tumpangsari dan pergiliran

tanaman.

Tabel 4.4
Indeks Pengelolaan Tanaman (C) untuk Pertanaman Tunggal
No. Jenis Tanaman Nilai C
1. Padi sawah 0,01
2. Tebu 0,20 – 0,30 *)
3. Padi gogo (lahan kering) 0,53
4. Jagung 0,64
5. Sorgum 0,35
6. Kedelai 0,40
7. Kacang tanah 0,40
8. Kacang hijau 0,35
9. Kacang tunggak 0,30
10. Kacang gude 0,30
11. Ubu kayu 0,70
12. Talas 0,70
13. Kentang ditanam searah lereng 0,90
14. Kentang ditanam menurut kontur 0,35
15. Ubi jalar 0,40
16. Kapas 0,70
17. Tembakau 0,40 – 0,60 *)
18. Jahe dan sejenisnya 0,80
19. Cabe, bawang, sayuran lain 0,70
20. Nanas 0,40
21. Pisang 0,40
22. Teh 0,35
23. Jambu mete 0,50
24. Kopi 0,60
25. Coklat 0,80
26. Kelapa 0,70
27. Kelapa sawit 0,50
28. Cengkeh 0,50
29. Karet 0,60 – 0,75 *)
30. Serai wangi 0,45
31. Rumput, Brachiaria decumbens tahun 1 0,29
32. Rumput, Brachiaria decumbens tahun 2 0,02
33. Rumput gajah tahun 1 0,50
34. Rumput gajah tahun 2 0,10
35. Padang rumput (permanen) bagus 0,04
36. Padang rumput (permanen) jelek 0,40
37. Alang-alang permanen 0,02
38. Alang-alang dibakar sekali setiap tahun 0,10
39. Tanah kosong tak diolah 0,95
No. Jenis Tanaman Nilai C
41. Tanah kosong diolah 1,00
42. Ladang berpindah 0,40
43. Pohon reboisasi tahun 1 0,32
44. Pohon reboisasi tahun 2 0,10
45. Tanaman perkebunan, tanah berpenutupan 0,10
bagus
46. Tanaman perkebunan, tanah berpenutupan jelek 0,50
47. Semak tak terganggu 0,01
48. Hutan tak terganggu, sedikit serasah 0,005
49. Hutan tak terganggu, banyak serasah 0,001
Keterangan : *) nilai lebih rendah untuk produksi perkebunan
Sumber : Departemen Kehutanan, 1998

Tabel 4.5
Indeks Pengelolaan Tanaman (C) untuk Pertanaman Tumpangsari dan Pergiliran
Tanaman
No. Pengelolaan Tanaman Nilai C
1. Ubi kayu + Kedelai 0,30
2. Ubi kayu + kacang tanah 0,26
3. Ubi kayu + jagung – kacang tanah 0,45
4. Padi gogo + jagung 0,50
5. Padi gogo + sorgum 0,30
6. Padi gogo – kedelai 0,55
7. Padi gogo – kacang gude 0,45
8. Padi gogo – kacang tunggak 0,50
9. Kacang tanah – kacang hijau 0,45
10. Kacang tanah – kacang hijau 0,40
11. Jagung + kacang-kacangan/kacang tanah 0,40
12. Jagung + ubi jalar 0,40
13. Jagung + padi gogo + ubi kayu – 0,35
kedelai/kacang tanah
14. Padi gogo – jagung – kacang tanah 0,45
15. Sorgum – sorgum 0,45
16. Kebun campuran rapat 0,10
17. Kebun campuran, ubi kayu + kedelai (sedang) 0,20
18. Kebun campuran, kacang gude + kacang tanah 0,40
(jarang)
Keterangan tanda (+) = tumpangsari, dan (–) pergiliran tanaman
Sumber : Departemen Kehutanan, 1998
4.7.2.1.5 Indeks Upaya Konservasi Tanah (P)

Jumlah tanah yang hilang akibat erosi pada dasarnya dapat dikurangi

dengan adopsi pengelolaan lahan yang baik dan upaya konservasi tanah. Nilai

indeks upaya konservasi Tanah (nilai P) disajikan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6
Indeks Konservasi Tanah (nilai P)
No. Teknik Konservasi Tanah Nilai P
1. Teras bangku baik 0,04
2. Teras bangku sedang 0,15
3. Teras bangku jelek 0,40
4. Teras tradisional 0,35
5. Teras gulud baik 0,15
6. Hillside ditch atau field pits 0,30
7. Kontur cropping kemiringan 1-3% 0,40
8. Kontur cropping kemiringan 3-8% 0,50
9. Kontur cropping kemiringan 8-15% 0,60
10. Kontur cropping kemiringan 15-25% 0,80
11. Kontur cropping kemiringan >25% 0,90
12. Strip rumput permanen, baik, rapat dan 0,04
berjalur
13. Strip rumput permanen, jelek 0,40
14. Strip crotolaria 0,50
15. Mulsa jerami sebanyak 6 ton/ha/th 0,15
16. Mulsa jerami sebanyak 3 ton/ha/th 0,25
17. Mulsa jerami sebanyak 1 ton/ha/th 0,60
18. Mulsa jagung 3ton/ha/th 0,35
19. Mulsa crotolaria 3 ton/ha/th 0,50
20. Mulsa kacang tanah 0,75
21. Bedengan untuk sayuran 0,15
Sumber : Departemen Kehutanan, 1998

4.7.2.1.6 Faktor Konservasi Tanah dan Sistem Pertanaman (VM)

Penentuan nilai faktor VM dapat digunakan untuk menilai besarnya erosi

terutama di daerah non pertanian untuk berbagai tata guna lahan sebagaimana

Tabel 4.7 dan Tabel 4.8.


Tabel 4.7
Faktor VM untuk daerah berhutan yang tidak terganggu
(U.S. Soil Conservation Service, 1977 dalam Arsyad, 2010)

Tajuk efektif 1 (%) Seresah 2 (%) Nilai VM 3


100 -75 100 -90 0,0001 - 0,001
75 - 40 85 - 75 0,002 - 0,004
35 -20 70 -40 0,003 - 0,009

Keterangan
1 Bila luas tajuk efektif kurang dari 20 % daerah tersebut dapat dianggap sebagai
padang rumput/ tanah kosong/ tidak produktif
2 Seresah hutan diasumsikan mempunyai ketebalan 2,5 cm pada daerah naungan
3 Nilai VM berkaitan dengan daerah naungan, tajuk yang rendah efektif dalam
mengurangi dampak negatif air hujan terhadap permukaan tanah dengan menurunkan
nilai VM , Tajuk tinggi lebih dari 13 m, kurang efektif dalam mengurangi dampak
negatif air hujan, dan dengan demikian tidak berpengaruh terhadap besarnya nilai
VM
Tabel 4.8
Faktor VM untuk beberapa tipe vegetasi penutup tanah
(U.S. Soil Conservation Service, 1977 dalam Arsyad, 2010)

Tumbuhan bawah Persen penutup (%)


Vegetasi penutup
Tipe dan tinggi Tajuk 2 Tipe 3 0 20 40 60 80 95-100
tajuk 1 penutup
Kondisi tanpa G 0,45 0,2 0,1 0,042 0,013 0,003
tajuk W 0,45 0,24 0,15 0,09 0,043 0,011
Semak belukar 25 G 0,36 0,17 0,09 0,038 0,012 0,003
rendah 0,5 meter W 0,36 0,2 0,13 0,082 0,041 0,011
dari tanah 50 G 0,26 0,13 0,07 0,035 0,012 0,003
W 0,26 0,16 0,11 0,075 0,039 0,011
75 G 0,17 0,1 0,06 0,031 0,011 0,003
W 0,17 0,12 0,09 0,038 0,038 0,011
Semak atau 25 G 0,4 0,18 0,09 0,04 0,013 0,003
tanaman bawah W 0,4 0,22 0,14 0,085 0,042 0,011
lainnya (2 meter 50 G 0,34 0,16 0,085 0,038 0,012 0,003
dari tanah) W 0,34 0,19 0,13 0,081 0,041 0,011
75 G 0,28 0,14 0,08 0,036 0,012 0,003
W 0,28 0,17 0,12 0,077 0,04 0,011

Pohon-pohonan 25 G 0,42 0,19 0,1 0,041 0,013 0,003


dengan sedikit W 0,42 0,23 0,14 0,087 0,042 0,011
semak (4 meter 50 G 0,39 0,18 0,09 0,04 0,013 0,003
dari tanah) W 0,39 0,21 0,14 0,085 0,042 0,011
75 G 0,36 0,17 0,09 0,039 0,012 0,003
W 0,36 0,2 0,13 0,083 0,041 0,011
Keterangan:
1 Rata-rata ketinggian air jatuh bebas dari tajuk ke permukaan tanah
2 bagian tanah yang terlindung tajuk tanaman bila dilihat dari atas (gambar
tampak atas)
3 G= rumput atau tanaman yang menyerupai rumput ketinggian 2,5 cm
W= semak dengan tajuk daun lebar atau seresah yang belum membusuk

4.7.2.2 Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi

Kelas dan Tingkat bahaya erosi (TBE) dihitung mengacu pada Keputusan

Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departeman Kehutanan

Nomor: 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 dengan membandingkan tingkat

erosi di suatu lahan (land unit) dengan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan

tersebut. Kelas dan tingkat bahaya erosi didapatkan dengan menggunakan matrik

sederhana sebagaimana disajikan pada Tabel 4.9. Peta TBE dibuat berdasarkan

hasil tumpang susun antara peta erosi hasil perhitungan dengan persamaan (1) dan

peta kedalaman tanah sesuai parameter pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9
Kombinasi Solum Tanah dan Erosi dalam Penentuan TBE
Kelas erosi
Kedalaman tanah (cm) I II III IV V
Erosi (ton ha-1 tahun-1)
<15 15-60 60-180 180-480 >480
Dalam SR R S B SB
>90 0 I II III IV
Sedang R S B SB SB
60 – 90 I II III IV IV
Dangkal S B SB SB SB
30 – 60 II III IV IV IV
Sangat dangkal B SB SB SB SB
<30 III IV IV IV IV
Sumber : Departemen Kehutanan, 1998
Keterangan : SR : Sangat Ringan, R : Ringan, S : Sedang, B : Berat, SB : Sangat Berat
4.7.2.3 Erosi yang Diperkenankan

Laju erosi yang dinyatakan dalam mm tahun-1 atau ton hektar-1 tahun-1 yang

terbesar dan masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu

kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan

tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang masih dapat

dibiarkan atau ditoleransikan yang bisa dinyatakan dengan notasi Edp.

Arsyad (2010) dengan berpedoman pada kriteria Thompson (1957)

membuat penetapan besarnya penilaian erosi yang masih dapat ditoleransi pada

tanah-tanah di Indonesia sebagaimana Tabel 4.10.

Tabel 4.10
Penetapan Erosi yang Diperbolehkan (Edp) untuk Tanah-Tanah di Indonesia
No Sifat Tanah dan Substratum Nilai T
(mm th-1)
1. Tanah sangat dangkal (<25 cm) di atas batuan 0,0
2. Tanah sangat dangkal (<25 cm) di atas tanah sudah melapuk 0,4
(tidak terkonsolidasi)
3. Tanah dangkal (25 – 50 cm) di atas bahan telah melapuk 0,8
4 Tanah dengan kedalaman sedang (50 – 90 cm) di atas bahan 1,2
telah melapuk
5. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah yang kedap 1,4
air di atas substrata yang telah melapuk
6. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah 1,6
berpermiabelitas lambat di atas substrata yang telah melapuk
7. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawahnya 2,0
berpermiabilitas sedang di atas substrata yang telah melapuk
8. Tanah yang dalam(>90 cm) dengan lapisan bawah 2,5
berpermeabilitas tinggi di atas substrata yang telah melapuk
Sumber : Arsyad, 2010
4.7.3 Analisis Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan

Dalam penelitian ini kawasan adalah wilayah dengan fungsi lindung,

penyangga, budidaya tanaman tahunan atau tanaman semusim dan pemukiman.

Penetapan fungsi kawasan dinilai berdasarkan klasifikasi skor jenis tanah,

intensitas hujan harian rata-rata dan kelerengan lahan. Ketiga faktor tersebut
dinilai dengan sistem skoring berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian

No.837/KPTS/Um/11/1980 Nomor: 683/Kpts/Um/8/1981 sebagaimana berikut:

1. Faktor Kemiringan Lahan


Kelas 1 = 0-8 % Datar : skor 20
Kelas 2 = 8,1 - 15 % Landai : skor 40
Kelas 3 = 15,1 - 25 % Agak curam : skor 60
Kelas 4 = 25,1 - 45 % Curam : skor 80
Kelas 5 = > 45 % sangat curam : skor 100

2. Kelas 1 = Aluvial, Gleisol, lanosol, Hidromorf kelabu, : skor 15


Laterik air tanah (tidak peka)
Kelas 2 = Latosol (agak peka) : skor 40
Kelas 3 = Brown Forest Soil, Non calcic brown, : skor 45
Mediterranian (kepekaan sedang)
Kelas 4 = Andosol, Laterik, Grumosol, podsol, : skor 60
Podsolic (peka)
Kelas 5 = Regosol, Litosol, Renzina (sangat peka) : skor 75

3 Faktor Intensitas Hujan Harian


Kelas 1 = 0 - 13,6 mm/hr (sangat rendah) : skor 10
Kelas 2 = 13,7 - 20,7 mm/hr (rendah) : skor 20
Kelas 3 = 20,8 - 27,7 mm/hr (sedang) : skor 30
Kelas 4 = 27,8 - 34,8 mm/hr (tinggi) : skor 40
Kelas 5 = > 34,8 mm/hr (sangat tinggi) : skor 50

Penetapan arahan klasifikasi fungsi kawasan dilakukan dengan

menjumlahkan skor ketiga faktor tersebut sebagaimana Tabel 4.11.


Tabel 4.11
Arahan Teknis Klasifikasi Fungsi Kawasan
No Fungsi Kawasan Jumlah Skor
1 2 3
1 Kawasan Lindung > 175
a. Kawasan penyangga 124 -174
b. Kawasan budidaya hutan produksi terbatas (HPTb) 125 - 174
3 a. Kawasan Budidaya tanaman tahunan ± 124
b. Kawasan budidaya hutan produksi tetap (HPTt) ± 124
4 Kawasan budidaya tanaman semusim/setahun < 124
5 Kawasan Pemukiman < 124 (kemiringan 0
- 8 %)
Sumber: SK Mentan No:837/KPTS/Um/11/1980 dan No:683/Kpts/Um/8/1981

4.7.3.1 Kawasan Lindung

Areal yang mempunyai jumlah skor untuk kemampuan lahan sama dengan

atau lebih dari 175, atau memenuhi salah satu atau beberapa syarat berikut:

a. Mempunyai lereng lapangan > 45 %

b. Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah Regosol, Litosol,

Organosol dan Renzina dengan lereng > 15 %

c. Merupakan jalur pengaman aliran sungai/air sekurang-kurangnya 100 meter

di kiri kanan sungai/aliran sungai tersebut.

d. Merupakan pelindung mata air, sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200

meter di sekililing mata air tersebut.

e. Mempunyai ketinggian antara 500 meter di pulau-pulau dimana pegunungan

hanya sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut dan 1.000 meter di atas

permukaan atau lebih untuk pulau-pulau yang mempunyai gunung-gunung

yang tinggi.

f. Guna keperluan/kepentingan khusus dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai

kawasan lindung.
4.7.3.2 Kawasan Penyangga

Areal dengan skor untuk kemampuan lahan antara 124 – 174 dan atau

memenuhi beberapa kriteria umum berikut:

a. Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara

ekonomis.

b. Lokasi secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga

c. Tidak merugikan segi-segi ekologi/lingkungan hidup

4.7.3.3 Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan

Yang termasuk dalam kawasan ini adalah areal dengan jumlah skor untuk

kemampuan lahan 124 ke bawah serta cocok atau seharusnya dikembangkan

usaha tani tanaman tahunan (pepohonan, tanaman perkebunan dan tanaman

industri). Di samping itu, areal tersebut harus memenuhi kriteria umum untuk

kawasan penyangga.

4.7.3.4 Kawasan Budidaya Tanaman Semusim/Setahun

Yang termasuk dalam katagori kawasan ini adalah areal dengan kriteria

seperti dalam penetapan kawasan budidaya tanaman tahunan, tetapi areal tersebut

cocok untuk atau seharusnya dikembangkan untuk usaha tani tanaman

semusim/setahun.

4.7.3.5 Kawasan Permukiman

Yang dapat dijadikan kawasan permukiman pada prinsipnya adalah areal

yang sama dengan kawasan budidaya, hanya saja lahan tersebut mempunyai

kemiringan lereng sebaiknya antara 0 sampai 8 persen.


4.7.4 Perencanaan Arahan Penggunaan Lahan

Perencanaan arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja dibuat

berdasarkan data keadaan lahan saat ini, kesesuaian peruntukan lahan dan tingkat

bahaya erosi yang terjadi. Data tersebut diolah untuk menentukan alternatif arahan

penggunaan lahan dengan tindakan konservasi tanah sehingga erosi tetap

terkendali. Kisaran nilai prediksi erosi setelah perencanaan yang diinginkan

adalah minimal sama atau di bawah nilai erosi yang diperkenankan.

Perencanaan penggunaan lahan dievaluasi dengan mengetahui C dan P yang

lebih kecil atau sama dan perbandingan antara nilai batas erosi yang

diperkenankan dengan erosi potensial dengan persamaan:


A …………………………………………(5)
CP ≤
RKLS

A = Jumlah tanah yang hilang (ton hektar-1 tahun-1)

R = Indeks erosivitas hujan

K = Indeks erodibilitas tanah

LS = Indeks panjang dan kemiringan lereng

CP = Indeks pengelolaan tanaman dan upaya konservasi tanah

Dari perhitungan indeks pengelolaan tanaman (C) dan pengelolaan tanah (P)

sesuai persamaan diatas maka alternatif usaha konservasi tanah dapat ditentukan

dengan berpedoman pada nilai faktor C, P dan VM.


BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Kondisi Biofisik Sub DAS Telagawaja

5.1.1 Letak Adminstrasi dan Luas

Sub DAS Telagawaja memiliki luas total seluas 11.115,59 hektar yang

secara administrasi terbagi ke dalam 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu:

Kabupaten Bangli seluas 1.125,28 hektar (10,12 %), Karangasem seluas

9.897,71 hektar (89,04%) dan Klungkung seluas 92,60 hektar (0,83 %). Sebaran

wilayah administrasi Sub DAS Telagawaja secara lengkap disajikan ada Tabel

5.1. Peta Administrasi Sub DAS Telagawaja dapat dilihat pada Lampiran Peta 1.

Tabel 5.1
Letak Wilayah Administrasi Sub DAS Telagawaja

No Kabupaten Kecamatan Desa Luas (ha)


1 2 3 4 5
1. Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 150,10
Abang Songan 240,15
Suter 735,03
2. Karangasem Rendang Besakih 2.807,33
Menanga 1.242,29
Nongan 332,84
Pempatan 3.565,32
Pesaban 79,34
Rendang 384,48
Selat Muncan 243,26
Sebudi 551,14
Sidemen Sangkan Gunung 477,03
Tangkup 214,68
3. Klungkung Klungkung Selat 92,60
Jumlah 11.115,59
Hasil analisis Peta Administrasi, 2014
5.1.2 Iklim

Tipe iklim Sub DAS Telagawaja ditentukan berdasarkan klasifikasi iklim

menurut Schmidht Ferguson, yaitu dengan memanfaatkan data curah hujan

bulanan selama 10 tahun terahir (2004-2013) yang diperoleh dari Stasiun Penakar

Curah Hujan di wilayah Sub DAS Telagawaja. Jumlah curah hujan dan hari hujan

tahunan pada masing-masing Stasiun Pengamat Curah Hujan Sub DAS

Telagawaja disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2
Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Tahunan pada Masing-masing Stasiun
Pengamat Curah Hujan Sub DAS Telagawaja
No Tahun Lokasi Stasiun Pengamat Curah Hujan
Pengamatan BPP Kec Rendang RPH Rendang BPP Kec Selat
CH (mm) HH (hari) CH (mm) HH (hari) CH (mm) HH (hari)
1 2 3 4 5 6 7 8
1 2004 2.496 125 2.887 88 3.514 113
2 2005 2.601 148 2.796 78 3.403 95
3 2006 2.892 138 1.816 82 3.125 84
4 2007 2.903 129 2.611 87 3.485 74
5 2008 5.118 168 3.273 110 3.875 110
6 2009 3.422 145 2.278 81 3.692 81
7 2010 3.927 252 3.582 130 4.429 108
8 2011 2.926 187 2.359 98 3.044 248
9 2012 2.716 139 2.981 98 4.170 142
10 2013 2.223 172 3.326 105 3.543 170
Jumlah 31.224 1.603 27.909 957 36.279 1.225
Jumlah rata-rata 3.122 160 2.791 96 3.628 123
Keterangan:
CH : Jumlah curah hujan
HH : Jumlah hari hujan

Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat

curah hujan pada BPP Kecamatan Rendang sebesar 3.122 mm tahun-1 dengan

160 hari hujan. Curah hujan terendah pada bulan Juli sebesar 85 mm bulan-1

dengan 9 hari hujan dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 437 mm bulan-1
dengan 21 hari hujan. Curah hujan ini mempengaruhi wilayah di Desa Muncan,

Sangkan Gunung, Tangkup, Menanga, Rendang, Nongan, Pesaban dan Selat.

Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat

curah hujan pada RPH Rendang sebesar 2.791 mm tahun-1 dengan 96 hari hujan.

Curah hujan terendah pada bulan Agustus sebesar 49 mm bulan-1 dengan 2 hari

hujan dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 463 mm bulan-1 dengan 16 hari

hujan. Curah hujan ini mempengaruhi wilayah di Desa Abang Batu Dinding,

Abang Songan, Suter, Pempatan, Besakih dan sebagian wilayah Desa Sebudi

Selat.

Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat curah

hujan pada BPP Kecamatan Selat sebesar 3.628 mm tahun-1 dengan 123 hari hujan.

Curah hujan terendah pada bulan Agustus sebesar 160 mm bulan-1 dengan 6 hari

hujan dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 419 mm bulan-1 dengan 12 hari

hujan. Curah hujan ini mempengaruhi daerah penelitian pada sebagian wilayah di

Desa Sebudi.

Jumlah hujan bulanan dan hari hujan rata-rata selama 10 tahun (2004-2013)

di Sub DAS Telagawaja sebagaimana disajikan pada Tabel 5.3.


Tabel 5.3
Jumlah Hujan Bulanan dan Hari Hujan Rata-rata selama 10 Tahun (2004-2013)
Sub DAS Telagawaja

No Lokasi Stasiun Bulan pengamatan (2004-2013)


Curah Hujan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Setember Oktober Nopember Desember
CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 RPH Rendang 451 15 421 13 362 12 306 10 133 5 67 3 69 3 49 2 73 3 121 5 277 10 463 16
2 BPP Rendang 436 19 423 17 383 17 297 14 187 12 107 7 85 9 94 9 153 10 207 11 313 14 437 21
3 BPP Selat 397 14 322 11 323 11 279 9 337 9 196 19 225 9 160 6 288 6 311 7 372 9 419 12
Jumlah 1.284 47 1.166 41 1.068 41 881 33 656 26 370 29 380 22 302 17 514 19 640 22 961 33 1.319 48
Jumlah rata-rata 428 16 389 14 356 14 294 11 219 9 123 10 127 7 101 6 171 6 213 7 320 11 440 16
Keterangan:
CH : Jumlah curah hujan (mm)
HH : Jumlah hari hujan
Sebagaimana Tabel 5.3, jumlah bulan basah (jumlah curah hujan satu bulan

> 100 mm) pada BPP Rendang berjumlah 10 bulan, RPH Rendang 8 bulan dan

BPP Selat 12 bulan. Jumlah bulan lengas (jumlah curah hujan satu bulan 60 mm -

100 mm) pada BPP Rendang berjumlah 2 bulan, RPH Rendang 3 bulan. Bulan

kering (jumlah curah hujan satu bulan < 60 mm) BPP Rendang tidak terdapat

bulan kering, RPH Rendang 1 bulan dan BPP Selat tidak terdapat bulan lengas

maupun bulan kering.

Tipe iklim diperoleh dengan ratio antara jumlah rerata bulan kering dengan

jumlah rerata bulan basah dari masing-masing stasiun penakar curah hujan. Hasil

analisi diperoleh nilai Q untuk RPH Rendang dengan nilai Q = 0,125 dan nilai

Q=0 untuk stasiun pada BPP Selat dan Rendang. Nilai tersebut berada diantara 0

< Q < 0,143 artinya tipe iklim menurut klasifikasi iklim Schmidht Ferguson pada

Sub DAS Telagawaja termasuk tipe iklim A (sangat basah).

5.1.3 Jenis Tanah

Karakteristik tanah pada Sub DAS Telagawaja berdasarkan Peta Tanah

Skala 1 : 250.000 terdiri atas jenis tanah Regosol berhumus seluas 2.612,51

hektar (23,50 %), Regosol kelabu seluas 6.783,77 hektar (61,03 %) dan Regosol

coklat kekuningan seluas 1.719,31 hektar (15,47 %). Sebaran luas masing-

masing jenis tanah Sub DAS Telagawaja dapat dilihat pada Tabel 5.4. Peta Jenis

Tanah Sub DAS Telagawaja Lampiran Peta 2.


Tabel 5.4
Luas dan Jenis Tanah Sub DAS Telagawaja
No Kabupaten Kecamatan Desa Jenis Tanah (Ha) Jumlah (Ha)
Regosol Humus Regosol Kelabu Regosol Coklat
Kekuningan
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 82,57 67,53 - 150,10

Abang Songan 176,71 63,44 - 240,15


Suter 523,10 211,93 - 735,03
2 Karangasem Rendang Besakih - 2.807,33 - 2.807,33
Menanga 118,29 1.069,87 54,13 1.242,29
Nongan - - 332,84 332,84
Pempatan 1.711,84 1.853,48 - 3.565,32
Pesaban - - 79,34 79,34
Rendang - - 384,48 384,48
Selat Muncan - 159,05 84,21 243,26
Sebudi - 551,14 - 551,14
Sidemen Sangkan Gunung - - 477,03 477,03
Tangkup - - 214,68 214,68
3 Klungkung Klungkung Selat - - 92,60 92,60
Jumlah 2.612,51 6.783,77 1.719,31 11.115,59
Hasil analisis Peta Jenis Tanah, 2014
5.1.4 Topografi

Kemiringan lahan (lereng) merupakan salah satu parameter yang dapat

menentukan kondisi suatu wilayah. Semakin landai kondisi kelerengan suatu

wilayah, maka bentuk topografinya semakin datar dan apabila semakin terjal

kondisi kelerengan suatu wilayah maka kondisi topografinya semakin bergunung.

Kelas kelerengan suatu wilayah berdasarkan pedoman penyusunan pola

rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dibedakan atas 5 (lima) kelas lereng, yaitu:

kelas lereng I / datar (0 – 8 %), kelas II / landai (8 – 15 %), kelas lereng III agak

curam atau bergelombang (15 – 25 %), kelas lereng IV / curam atau berbukit (25

– 40 %) ) dan kelas lereng V / sangat curam atau bergunung ( > 40 %).

Berdasarkan pembagian kelas lereng tersebut maka kondisi kelerengan pada

Sub DAS Telagawaja tersusun atas wilayah landai (kelas lereng II) hingga kelas

lereng V atau bergunung. Sub DAS Telagawaja tidak terdapat wilayah pada kelas

lereng I dengan topografi datar. Sehingga bentuk topografi Sub DAS Telagawaja

merupakan wilayah dengan bentuk topografi bergelombang hingga berbukit dan

bergunung.

Kemiringan lahan pada Sub DAS Telagawaja secara berurutan adalah

wilayah landai seluas 3.414,01 hektar (30,71 %), agak curam seluas 4.364,63

hektar (39,27 %), curam seluas 3.179,02 hektar (28,60 %) dan sangat curam

seluas 157, 93 hektar (1,42 %). Sebaran kemiringan lahan Sub DAS Telagawaja

disajikan sebagaimana Tabel 5.5. Peta Kemiringan Lereng Sub DAS Telagawaja

dapat dilihat pada Lampiran Peta.3.


Tabel 5.5
Kemiringan dan Luas pada masing-masing Kemiringan Lereng
Sub DAS Telagawaja

No Kabupaten Kecamatan Desa Kelas Lereng (Ha) Jumlah (ha)


I II III IV V
(0 - 8 %) (8 -15 %) (15 - 25 %) (25 - 40 %) (> 40 %)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding - 55,6 94,5 - - 150,10
Abang Songan - - 240,15 - - 240,15
Suter - - 349,8 385,23 - 735,03
2 Karangasem Rendang Besakih - 373,65 1214,44 1191,81 27,43 2.807,33
Menanga - 829,57 412,72 - - 1.242,29
Nongan - 208,61 - 124,23 - 332,84
Pempatan - 811,46 1921,9 831,96 - 3.565,32
Pesaban - - - 79,34 - 79,34
Rendang - 284,29 - 100,19 - 384,48
Selat Muncan - 189,22 - 54,04 - 243,26
Sebudi - 46,63 131,12 242,89 130,5 551,14
Sidemen Sangkan Gunung - 307,7 - 169,33 - 477,03
Tangkup - 214,68 - - - 214,68
3 Klungkung Klungkung Selat - 92,6 - - - 92,60
Jumlah - 3.414,01 4.364,63 3.179,02 157,93 11.115,59
Hasil Analisis Peta Lereng, 2014
5.1.5 Bentuk Lahan

Bentuk lahan adalah bentang permukan lahan yang mempunyai relief yang

khas sebagai akibat/pengaruh yang kuat dari struktur kulit bumi dan akibat dari

proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang dan waktu tertentu.

Berdasarkan genesis/asal-usulnya bentuk lahan yang dapat dijumpai pada Sub

DAS Telagawaja meliputi bentuk lahan asal proses vulkanik seluas 10.431,86

hektar (93,85 %) dan denudasional seluas 683,73 hektar (6,15 %). Sebaran

bentuk lahan di wilayah Sub DAS Telagawaja disajikan pada Tabel 5.6. Peta

Bentuk Lahan Sub DAS Telagawaja dapat dilihat pada Lampiran Peta 4.

Tabel 5.6
Sebaran Bentuk Lahan Sub DAS Telagawaja
No Kabupaten Kecamatan Desa Bentuk Lahan (ha)
Vulkanik Denudasional Jumlah
1 2 3 4 5 6 7
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 1.125,28 - 1.125,28
2 Karangasem Rendang Besakih 2.807,33 - 2.807,33
Menanga 1.242,29 - 1.242,29
Nongan 332,84 - 332,84
Pempatan 2.881,59 683,73 3.565,32
Pesaban 79,34 - 79,34
Rendang 384,48 - 384,48
Selat Muncan 243,26 - 243,26
Sebudi 551,14 - 551,14
Sidemen Sangkan Gunung 477,03 - 477,03
Tangkup 214,68 - 214,68
3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 - 92,60
Jumlah 10.431,86 683,73 11.115,59
Hasil analisis Peta Bentuk Lahan, 2014
5.1.6 Penutupan Lahan

Manusia melakukan intervensi (campur tangan) terhadap lahan dalam

rangka memenuhi kebutuhanya. Intervensi tersebut bukan hanya terjadi di luar

kawasan hutan, namun juga telah merambah ke dalam kawasan hutan. Besar

kecilnya intervensi manusia terhadap lahan tercermin dari keanekaragaman jenis

penutupan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja.

Hasil analisis peta pentutupan lahan wilayah Sub DAS Telagawaja

diperoleh 8 (delapan) kelas penutupan lahan. Jenis penutupan dan luas masing-

masing penutupan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 5.7. Sebaran jenis

penutupan lahan per masing-masing wilayah disajikan Tabel 5.8. Peta Penutupan

Lahan dapat dilihat pada Lampiran Peta 5.

Tabel 5.7
Jenis dan Luas Penutupan Lahan Sub DAS Telagawaja

No Jenis Penutupan Lahan Luas (Ha) %


1 2 3 4
1 Pertanian Lahan Kering Campuran 4.701,64 42,30
2 Pertanian Lahan Kering 1.372,63 12,35
3 Belukar 577,22 5,19
4 Hutan lahan Kering Sekunder 3.047,47 27,42
5 Hutan lahan Kering Primer 850,88 7,65
6 Tanah Terbuka 157,93 1,42
7 Sawah 352,07 3,17
8 Permukiman 55,75 0,50
Jumlah 11.115,59 100,00
Hasil pengolahan data peta penutupan lahan, 2014
Tabel 5.8
Jenis Penutupan Lahan Sub DAS Telagawaja
Berdasarkan Hasil Analisis Peta Penutupan Lahan
No kabupaten Kecamatan Desa Jenis Penutupan lahan (Ha) Jumlah (ha)
Pertanian Pertanian Belukar Hutan Hutan Tanah Sawah Permuki
Lahan Lahan lahan lahan Terbuka man
Kering Kering Kering Kering
Campuran Sekunder Primer
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 150,1 - - - - - - - 150,10
Abang Songan 207,40 - 32,75 - - - - - 240,15
Suter 73,40 - 318,24 343,39 - - - - 735,03
2 Karangasem Rendang Besakih 1.019,46 268,65 - 837,28 598,76 27,43 - 55,75 2.807,33
Menanga 590,31 651,98 - - - - - - 1.242,29
Nongan 281,88 50,96 - - - - - - 332,84
Pempatan 1.281,00 - 198,21 1.818,25 - - 267,86 - 3.565,32
Pesaban 79,34 - - - - - - - 79,34
Rendang 262,72 121,76 - - - - - - 384,48
Selat Muncan - 159,05 - - - - 84,21 - 243,26
Sebudi - 91,95 28,02 48,55 252,12 130,50 - - 551,14
Sidemen Sangkan Gunung 448,75 28,28 - - - - - - 477,03
Tangkup 214,68 - - - - - - - 214,68
3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 - - - - - - - 92,60
Jumlah 4.701,64 1.372,63 577,22 3.047,47 850,88 157,93 352,07 55,75 11.115,59
Hasil Analisis Peta Penutupan Lahan, 2014
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penutupan penggunaan lahan

terdiri dari atas hutan, kebun campuran, tegalan, permukiman dan sawah.

Penutupan vegetasi di dalam kawasan hutan terdiri atas hutan dengan vegetasi

penutupan rapat seluas 3.854,04 hektar (34,67%), hutan dengan vegetasi

penutupan sedang seluas 956,85 hektar (8,61%), semak belukar 577,22 hektar

(5,19%) dan tanah terbuka seluas 157,93 hektar atau 1,42 % dari total DASnya.

Penutupan lahan di luar kawasan hutan terdiri atas kebun campuran rapat

seluas 2.433,71 hektar (21,89%), kebun campuran sedang 1.255,06 hektar

(11,29%), kebun campuran jarang 247,91 hektar (2,23%), tegalan 1.225,05

hektar (11,02%), permukiman 55,75 hektar (0,5%) dan sawah seluas 352,07

hektar atau 3,17% dari total DASnya.

Jenis penutupan vegetasi pada penggunaan lahan hutan didominasi oleh

semak belukar, Pinus (Pinus merkusii), Ampupu (Eucalyptus urophylla),

Kaliandra (Calliandra haematocephala) dan Rumput gajah (Penisetum

purpureum).

Jenis vegetasi pada penggunaan lahan kebun campuran didominasi

tanaman kayu, tanaman perkebunan, tanaman serbaguna (MPTS) dan tanaman

semusim. Jenis tanaman kayu terdiri atas Sengon (Albizia chinensis, Kejimas

(Duabanga mollucana), Jabon (Anthocephalus cadamba) dan Mahoni (Swietenia

mahagoni). Jenis tanaman perkebunan terdiri atas Kopi (Canthium dicoccum),

Cengkeh (Eugenia aromatica) dan Kelapa (Cocos nucifera). Sementara jenis

tanaman MPTS terdiri atas Durian (Durio zibethinus), Nangka (Artocarpus

heterophyllus), Sawo manila (Achras zapota var depressa) dan Alpokat (Persea
americana). Untuk tanaman semusimnya didominasi oleh salak, umbi dan

kacang-kacangan. Sementara tindakan pengelolan tanah berupa pembuatan teras

tradisional dan teras dengan konstruksi sedang.

Penutupan vegetasi pada penggunaan lahan tegalan dan permukiman

didominasi oleh tanaman semusim berupa tanaman bunga kenikir dan tanaman

pertanian (jenis sayur-sayuran) sementara upaya konservasi tanah yang

dilakukan berupa teras gulud. Penutupan vegetasi pada penggunaan lahan sawah

terdiri atas padi.

Jenis penutupan lahan Sub DAS Telagawaja berdasarkan hasil

survey/pengamatan lapangan disajikan pada Tabel 5.9.


Tabel 5.9
Jenis Penutupan Lahan Sub DAS Telagawaja
Berdasarkan Hasil Survey/Pengamatan di Lapangan
No. Kabupaten Kecamatan Desa Penutupan Penggunaan Lahan (Ha) Luas (Ha)
Kc1 Kc2 Kc3 Tg P S Vt1 Vt2 B TT
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 82,57 25,35 - - - - - 42,18 - - 150,10
Abang Songan - 166,40 - - - - - 41,00 32,75 - 240,15
Suter - 73,40 - - - - 343,39 318,24 - 735,03
2 Karangasem Rendang Pempatan 315,88 386,04 51,27 - - 267,86 1.773,94 572,12 198,21 - 3.565,32
Besakih 353,18 168,09 196,64 268,65 55,75 - 1.436,04 301,55 - 27,43 2.807,33
Menanga 587,82 28,31 - 626,16 - - - - - - 1.242,29
Rendang 284,29 100,19 - - - - - - - 384,48
Nongan 281,88 - - 50,96 - - - - - - 332,84
Pesaban 79,34 - - - - - - - - 79,34
Selat Sebudi - - - 91,95 - - 300,67 28,02 130,50 551,14
Muncan - - - 159,05 - 84,21 - - - - 243,26
Sidemen Sangkan Gunung 448,75 - - 28,28 - - - - - - 477,03
Tangkup - 214,68 - - - - - - - - 214,68
3 Klungkung Klungkung Selat - 92,60 - - - - - - - - 92,60
Jumlah Sub DAS 2.433,71 1.255,06 247,91 1.225,05 55,75 352,07 3.854,04 956,85 577,22 157,93 11.115,59
Persentase (%) 21,89 11,29 2,23 11,02 0,50 3,17 34,67 8,61 5,19 1,42 100,00
Keterangan:
Kc1: Kebun campuran rapat; Kc2: kebun campuran sedang; Kc3: Kebun campuran jarang
Tg: Tegalan; P: Pemukiman; S: Sawah;
Vt1: hutan dengan vegetasi tetap rapat
Vt2: hutan dengan vegetasi tetap sedang
B: hutan dengan vegetasi tetap semak belukar
TT: Hutan dengan penutupan berupa lahan terbuka
62

5.2 Satuan Unit lahan

Satuan unit lahan Sub DAS Telagawaja dibuat dari hasil tumpang susun

peta penutupan lahan, peta kemiringan lereng, peta bentuk lahan. kemudian peta

unit lahan yang dihasilkan ditumpangsusunkan dengan peta jenis tanah serta peta

administrasi untuk memudahkan pengambilan sampel tanah serta untuk

mengetahui posisi atau letak administrasi dari satuan unit lahan tersebut.

Satuan unit lahan mencerminkan adanya pengaruh sifat batuan, relief dan

lereng, jenis tanah serta penutupan lahan pada suatu wilayah di Sub DAS

Telagawaja. Hasil tumpangsusun dari peta-peta tersebut pada Sub DAS

Telagawaja diperoleh 95 satuan unit lahan.

Penelitian menggunakan satuan analisis dan satuan pemetaan berupa

satuan unit lahan yang telah dihasilkan. Sebaran satuan unit Sub DAS

Telagawaja dapat dilihat pada Lampiran 2. Peta Satuan Unit Lahan pada Sub

DAS Telagawaja dapat dilihat pada Lampiran Peta 6.

5.3 Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi

5.3.1 Prediksi Erosi Aktual

Besarnya erosi dipengaruhi oleh erosivitas curah hujan, erodibilitas tanah,

panjang dan kemiringan lereng, tutupan vegetasi dan tindakan pengelolaan lahan

saat ini. Untuk menghitung nilai erosivitas curah hujan diperlukan data curah

hujan, jumlah hari hujan, dan curah hujan maksimum per bulan pada kurun

waktu satu tahun. Hasil perhitungan nilai erosivitas curah hujan pada Sub DAS

Telagawaja berturut-turut disajikan dari stasiun pengamat curah hujan BPP


63

Kecamatan Selat sebesar 4.758,86; RPH Rendang sebesar 3.082,39 dan BPP

Rendang sebesar 3.070,69.

Erodibilitas tanah diperoleh dengan mengunakan nomograf sebagaimana

Gambar 4.3. Untuk menggunakan nomograf tersebut diperlukan data persentase

debu + pasir halus, persentase pasir, persentase bahan organik, struktur tanah

serta permeabilitas tanah pada Sub DAS Telagawaja. Data-data tersebut

diperoleh dengan melakukan analisis tanah pada laboratorium, yang dalam hal

ini dilakukan pada Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Udayana. Hasil analisis

nilai erodibilitas tanah disajikan pada Tabel 5.10.

Tabel 5.10
Nilai Erodibilitas Tanah (K) Sub DAS Telagawaja
No Debu + Pasir (%) Bahan Kelas Permeabilitas Nilai K
Pasir halus Organik struktur tanah
(%) (%) tanah
1 2 3 4 5 6 7
1 33,29 66,00 1,23 3 1 0,22
2 19,80 76,12 2,81 3 1 0,09
3 30,43 67,50 1,22 3 1 0,20
4 58,51 34,35 1,33 3 1 0,42
5 22,63 69,06 1,21 3 1 0,14
6 25,15 63,62 1,62 3 1 0,15
7 10,71 85,47 1,59 3 1 0,06
8 21,95 73,76 3,23 3 1 0,10
9 27,29 61,77 2,46 3 2 0,16
10 60,03 30,59 1,68 4 3 0,48
Data hasil pengolahan

Panjang dan kemiringan lereng pada suatu lahan sangat mempengaruhi

laju dan besarnya erosi. Nilai panjang dan kemiringan lereng (LS) sebagaimana

disajikan pada Tabel 5.11.


64

Tabel 5.11
Nilai Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Sub DAS Telagawaja
No Kemiringan Klasifikasi Luas (Ha) Nilai LS
Lereng (%)

1 2 3 4 5
1 0-8 Datar - -
2 8 - 15 Landai 3.414,01 1,40
3 15 -25 Agak Curam 4.364,63 3,10
4 25 - 40 Curam 3.179,02 6,80
5 > 40 Sangat Curam 157,93 9,50
Jumlah 11.115,59
Data hasil pengolahan

Erosi juga dipengaruhi oleh penutupan vegetasi dan pengelolaan tanah.

Faktor pengelolaan tanaman dan tanah (CP/VM) Sub DAS Telagawaja saat ini

secara lengkap disajikan pada Lampiran 3. Hasil perhitungan dan analisis

prediksi besarnya laju dan sebaran erosi total (erosi aktual) yang terjadi per

masing-masing wilayah desa Sub DAS Telagawaja sebagaimana disajikan pada

Tabel 5.12.

Tabel 5.12
Besarnya Prediksi Erosi Per Masing-masing Wilayah Desa
Sub DAS Telagawaja
No. Kabupaten Kecamatan Desa Luas (Ha) Besarnya
Erosi
(Ton/Ha/Th)
1 2 3 4 5 6
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 150,10 81,04
Abang Songan 240,15 68,61
Suter 735,03 54,30
2 Karangasem Rendang Pempatan 3.565,32 238,53
Besakih 2.807,33 726,32
Menanga 1.242,29 516,22
Rendang 384,48 120,86
Nongan 332,84 110,54
Pesaban 79,34 50,11
Selat Sebudi 551,14 267,89
Muncan 243,26 141,62
Sidemen Sangkan Gunung 477,03 292,70
Tangkup 214,68 54,17
3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 54,17
Jumlah Sub DAS 11.115,59 2.777,07
Data hasil pengolahan
65

5.3.2 Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi

Kelas erosi dan tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan Keputusan

Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (Dirjen RRL) Departeman

Kehutanan Nomor: 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 sebagaimana Tabel

4.9. Berdasarkan keputusan tersebut, kelas erosi terklasifikasi ke dalam lima

kelas, yaitu kelas I apabila erosi yang terjadi < 15 ton hektar-1 tahun-1, kelas II

jika erosi yang terjadi diantara 15 – 60 ton hektar-1 tahun-1, kelas III jika erosi

yang terjadi berada diantara nilai 60 – 180 ton hektar-1 tahun-1, kelas IV jika erosi

yang terjadi berada diantara nilai 180 – 480 ton hektar-1 tahun-1 dan kelas V jika

erosi yang terjadi berada >480 ton hektar-1 tahun-1.

Berdasarkan kriteria tersebut, kelas erosi yang terjadi pada Sub DAS

Telagawaja terdiri atas kelas erosi tingkat I sebanyak 45 unit lahan yaitu nomor:

1, 3, 4, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33,

35, 36, 37, 39, 40, 41, 43, 46, 47, 48, 53, 56, 61, 64, 67, 68, 81, 82, 85, 86, 89

dan 94. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Abang Batu

Dinding, Abang Songan, Suter, Pempatan, Besakih, Rendang, Nongan, Sebudi,

dan Muncan.

Kelas erosi pada tingkat II sebanyak 38 unit lahan yaitu nomor: 2, 5, 6, 8,

9, 17, 18, 19, 22, 27, 34, 38, 42, 44, 45, 50, 51, 52, 54, 57, 58, 59, 60, 63, 65, 66,

70, 71 72, 73, 74, 75, 78, 80, 87, 88, 92 dan 95. Unit lahan tersebut tersebar di

Desa Tangkup, Selat serta sebagian wilayah Desa Abang Batu Dinding, Abang

Songan, Suter, Pempatan, Besakih, Menanga, Nongan, Sebudi, dan Sangkan

Gunung. Sedangkan kelas erosi tingkat III sebanyak 12 unit lahan, yaitu nomor:
66

49, 55, 62, 69, 76, 77, 79, 83, 84, 90, 91, dan 93. Unit lahan tersebut tersebar di

sebagian wilayah Desa Besakih, Menanga, Rendang, Sebudi, Muncan, Sangkan

Gunung dan wilayah Desa Pesaban. Luas kelas tingkat erosi pada Sub DAS

Telagawaja disajikan pada Tabel 5.13.

Mengacu pada Keputusan Dirjen RRL di atas, tingkat bahaya erosi (TBE)

diklasifikasikan kedalam kelas sangat ringan (SR), ringan (R), sedang (S), berat

(B) dan sangat berat (SB). Klasifikasi ini diperoleh dengan membandingkan

besarnya erosi yang terjadi dengan kedalam tanah efektif pada unit lahan yang

bersangkutan.

TBE Pada tanah dalam (kedalaman > 90 cm) tingkat sangat ringan

apabila erosi yang terjadi < 15 ton hektar-1 tahun-1, tingkat ringan apabila erosi

yang terjadi diantara 15 – 60 ton hektar-1 tahun-1, tingkat sedang jika erosi yang

terjadi berada diantara nilai 60 – 180 ton hektar-1 tahun-1, tingkat berat jika erosi

yang terjadi berada diantara nilai 180 – 480 ton hektar-1 tahun-1 dan tingkat

sangat berat jika erosi yang terjadi berada > 480 ton hektar-1 tahun-1.

TBE pada tanah sedang (kedalaman 60 - 90 cm) tingkat ringan apabila

erosi yang terjadi < 15 ton hektar-1 tahun-1, tingkat sedang apabila erosi yang

terjadi diantara 15 – 60 ton hektar-1 tahun-1, tingkat berat jika erosi yang terjadi

berada diantara nilai 60 – 180 ton hektar-1 tahun-1 dan tingkat sangat berat jika

erosi yang terjadi > 480 ton hektar-1 tahun-1.

TBE pada tanah dangkal (kedalaman 30 - 60 cm) tingkat sedang apabila

erosi yang terjadi < 15 ton hektar-1 tahun-1, tingkat berat apabila erosi yang

terjadi diantara 15 – 60 ton hektar-1 tahun-1, tingkat sangat berat jika erosi yang
67

terjadi berada diantara nilai > 60 ton hektar-1 tahun-1. TBE pada tanah sangat

dangkal (kedalaman < 30 cm) tingkat berat apabila erosi yang terjadi < 15 ton

hektar-1 tahun-1, tingkat sangat berat apabila erosinya diantara >15 ton hektar-1

tahun-1. Berdasarkan kriteria tersebut, tingkat bahaya erosi yang terjadi pada Sub

DAS Telagawaja pada tingkat sangat ringan (SR) sebanyak 15 unit lahan yaitu

nomor: 3, 4, 7, 33, 36, 37, 39, 40, 41, 43, 81, 82, 85, 86 dan 89. Unit lahan

tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Abang Batu Dinding, Abang Songan,

Suter, Pempatan, Rendang, Nongan dan Muncan.

TBE pada tingkat ringan (R) sebanyak 24 unit lahan yaitu: 5, 6, 8, 9, 34,

38, 42, 44, 66, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 80, 87, 88, 92, 93, 94 dan 95. Unit

lahan tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Abang Batu Dinding, Abang

Songan, Suter, Pempatan, Menaga, Nongan, Sebudi, Sangkan Gunung dan

wilayah Desa Pesaban, Tangkup dan Selat.

TBE pada tingkat sedang (S) sebanyak 34 unit lahan, yaitu: 1, 10, 11, 12,

13, 14, 15, 16, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 35, 46, 47, 48, 53, 56, 61,

67, 68, 77, 79, 83, 84, 90 dan 91. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian

wilayah Desa Suter, Pempatan, Besakih, Menaga, Rendang, Muncan dan

Sangkan Gunung.

TBE tingkat berat sebanyak 17 unit lahan yaitu: 2, 17, 18, 19, 22, 27, 50,

51, 52, 54, 57, 58, 59, 60 dan 64. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian

wilayah Desa Suter, Pempatan, Besakih dan Sebudi. Sedangkan TBE pada

tingkat sangat berat sebayak 7 unit lahan yaitu nomor 45, 49, 55, 62, 63, 65 dan

69. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Besakih dan Sebudi.
68

Sebaran tingkat bahaya erosi dan sebaran per masing-masing wilayah desa

disajikan pada Tabel 5.14. Peta tingkat bahaya erosi disajikan pada Lampiran

Peta 7.
69

Tabel 5.13
Sebaran Kelas Erosi Per Masing-Masing Wilayah pada Sub DAS Telagawaja

No. Kabupaten Kecamatan Desa Kelas Erosi (ha) Jumlah (ha)


I II III IV V
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 42,18 107,92 - - 150,10
Abang Songan 73,75 166,40 - - 240,15
Suter 619,79 115,24 - - - 735,03
2 Karangasem Rendang Pempatan 2.977,70 587,62 - - - 3.565,32
Besakih 1.737,59 661,99 407,75 - 2.807,33
Menanga - 985,22 257,07 - 1.242,29
Rendang 284,29 - 100,19 - - 384,48
Nongan 208,61 124,23 - - - 332,84
Pesaban - - 79,34 - - 79,34
Selat Sebudi 300,67 205,15 45,32 - - 551,14
Muncan 84,21 - 159,05 - - 243,26
Sidemen Sangkan Gunung - 279,42 197,61 - - 477,03
Tangkup - 214,68 - - - 214,68
3 Klungkung Klungkung Selat - 92,60 - - - 92,60
Jumlah Sub DAS Telagawaja 6.328,79 3.540,47 1.246,33 - - 11.115,59
Keterangan:
I,II,…dst: kelas erosi
70

Tabel 5.14
Sebaran Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Per masing-masing Wilayah pada Sub DAS Telagawaja

No. Kabupaten Kecamatan Desa Tingkat Bahaya Erosi (Ha) Jumlah (Ha)
SR R S B SB
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 42,18 107,92 - - - 150,10
Abang Songan 73,75 166,40 - - - 240,15
Suter 449,70 73,40 170,09 41,84 - 735,03
2 Karangasem Rendang Pempatan 505,57 131,74 2.472,13 455,88 - 3.565,32
Besakih - - 1.737,59 634,56 435,18 2.807,33
Menanga - 1.014,93 227,36 - - 1.242,29
Rendang 284,29 - 100,19 - - 384,48
Nongan 208,61 124,23 - - - 332,84
Pesaban 79,34 - 79,34
Selat Sebudi - 46,63 - 300,67 203,84 551,14
Muncan 84,21 - 159,05 - - 243,26
Sidemen Sangkan Gunung - 279,42 197,61 - - 477,03
Tangkup - 214,68 - - - 214,68
3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 - 92,60
Jumlah Sub DAS 1.648,31 2.331,29 5.064,02 1.432,95 639,02 11.115,59
Keterangan:
SR: Sangat Ringan; R: Ringan; S: Sedang; B: Berat; SB: Sangat Berat.
71

5.3.3 Erosi yang Diperkenankan

Mengacu pada peta kedalaman tanah, wilayah Sub DAS Telagawaja

terdiri atas kedalam tanah < 30 cm, kedalaman 30 – 60 cm dan kedalaman > 90

cm. Dengan menggunakan Kriteria yang digunakan oleh Thomson (1957) dalam

Arsyad (2010) sebagaimana Tabel 4.10 maka secara teoritis erosi yang

diperkenankan (Edp) untuk tanah dengan kedalaman < 30 cm erosi yang

diperkenankan tidak boleh lebih dari 0,8 mm tahun-1 atau 9,6 ton hektar-1tahun-1,

nilai Edp untuk tanah dengan kedalaman 30 – 60 cm sebesar 1,2 mm tahun-1 atau

14,4 ton hektar-1tahun-1 sementara untuk tanah dalam dengan kedalaman > 90 cm

dengan lapisan bawah berpermeabilitas tinggi di atas substrata yang telah

melapuk adalah sebesar 2,5 mm tahun-1 atau 30 ton hektar-1tahun-1.

Berdasarkan atas kriteria tersebut, banyaknya unit lahan yang melebihi

erosi yang diperkenankan sebanyak 35 unit lahan, yaitu: 2, 17, 18, 19, 22, 27, 45,

49, 50, 51, 52, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 65, 69, 70, 74, 76, 77, 78, 79, 83,

84, 87, 88, 90, 91, 94 dan 95. Unit lahan tersebut berada di sebagian wilayah

Desa Suter, Pempatan, Besakih, Menanga, Rendang, Nongan, Pesaban, Sebudi,

Muncan, Sangkan Gunung, Tangkup dan Desa Selat.

Sebaran dan besaran erosi yang diperkenankan per wilayah desa pada

Sub DAS Telagawaja disajikan sebagaimana Tabel 5.15. Perhitungan dan

analisis, prediksi erosi aktual, erosi yang diperkenankan (Edp), kelas erosi dan

tingkat bahaya erosi per masing-masing satuan unit lahan pada wilayah Sub DAS

Telagawaja disajikan pada Lampiran 4.


72

Tabel 5.15
Sebaran Erosi yang Diperkenankan Per Masing-masing Desa
pada Sub DAS Telagawaja
No. Kabupaten Kecamatan Desa Luas (Ha) Prediksi Erosi Erosi yang
Aktual Ditoleransi
(Ton/ha/tahun) (Ton/Ha/Tahun)
1 2 3 4 5 6 7
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 150,10 81,04 120,00
Abang Songan 240,15 68,61 120,00
Suter 735,03 54,30 118,80
2 Karangasem Rendang Pempatan 3.565,32 238,53 555,60
Besakih 2.807,33 726,32 254,40
Menanga 1.242,29 516,22 330,00
Rendang 384,48 120,86 90,00
Nongan 332,84 110,54 90,00
Pesaban 79,34 50,11 30,00
Selat Sebudi 551,14 267,89 102,00
Muncan 243,26 141,62 90,00
Sidemen Sangkan Gunung 477,03 292,70 90,00
Tangkup 214,68 54,17 30,00
3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 54,17 30,00
Jumlah Sub DAS 11.115,59 2.777,08 2.050,80
Sumber: Hasil pengolahan data

5.4 Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan

Arahan klasifikasi fungsi kawasan ditentukan berdasarkan faktor

kemiringan lahan, kepekaan tanah terhadap erosi serta jumlah intensitas curah

hujan harian. Skor dari ketiga faktor tersebut dijumlahkan untuk memperoleh

arahan klasifikasi fungsi kawasan di Sub DAS Telagawaja sebagaimana Tabel

4.11.

Kemiringan lahan pada Sub DAS Telagawaja terdiri dari kelas 2 (8,1 –

15%) sampai dengan kelas 5 (> 45%). Secara berurutan kemiringan lahan pada

kelas 2 (8,1 – 15%) memiliki skor 40 seluas 3.414,01 hektar (30,71%).

Kemiringan lahan pada kelas 3 (15,1 – 25%) seluas 4.364,63 hektar (39,27%)

katagori agak curam dengan skor 60. Kelas kemiringan 4 (25,1 – 45%) katagori
73

curam skor 80 seluas 3.179,02 hektar (28,60%). Kelas kemiringan lahan yang

masuk pada kelas 5 kemiringan lahan > 45% dengan skor 100 seluas 157,93

hektar (1,42%).

Jenis tanah pada Sub DAS Telagawaja jenis tanah Regosol kelabu,

Regosol berhumus dan Regosol coklat kekuningan. Berdasarkan kelas kepekaan

tanah teradap erosi jenis tanah regosol termasuk dalam kelas 5 artinya jenis tanah

yang sangat peka terhadap erosi dengan skor 75.

Jumlah intensitas curah hujan yang diperoleh dari Stasiun Pengamat Curah

Hujan di BPP Selat sebesar 29,62 mm hari-1 dan RPH Rendang sebesar 29,16

mm hari-1 termasuk dalam kelas 4 katagori tinggi dengan skor 40. Sementara

jumlah intensitas curah hujan BPP Rendang sebesar 19,48 mm hari-1 termasuk

dalam kelas 2 katagori rendah dengan skor 20.

Hasil analisis dari ketiga faktor di atas, diperoleh hasil arahan klasifikasi

fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja sebagaimana Lampiran 5. Berdasarkan

hasil analisis tersebut, unit lahan yang menunjukkan kawasan dengan fungsi

lindung sejumlah 65 unit lahan. Dari 65 unit lahan tersebut terdiri atas kawasan

lindung dalam kawasan hutan sebanyak 40 unit lahan dan 25 unit lahan

merupakan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Unit lahan yang termasuk

dalam kawasan hutan yaitu unit lahan nomor: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14,

15, 17, 20, 21, 23, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 37, 41, 43, 45, 46, 47, 48, 53,

56, 61, 63, 64, 65, 67 dan 68. Sebaran unit lahan tersebut berada di Kecamatan

Kintamani (Desa Abang Batu Dinding, Abang Songan dan, Suter) Kecamatan

Rendang (Desa Pempatan dan Besakih) serta Kecamatan Selat (Desa Sebudi).
74

Sedangkan unit lahan yang termasuk dalam kawasan dengan fungsi lindung di

luar kawasan hutan yaitu nomor: 8, 9, 27, 34, 36, 38, 39, 40, 42, 44, 49, 54, 55,

57, 58, 59, 60, 62, 69, 81, 84, 87, 88, 90 dan 93. Sebaran unit lahan tersebut

tersebar di Kecamatan Kintamani (Desa Abang Batu Dinding, Abang Songan

dan, Suter) Kecamatan Rendang (Desa Pempatan, Besakih, Rendang, dan

Nongan), Kecamatan Selat (Desa Sebudi dan Muncan) serta Kecamatan Sidemen

(Desa Sangkan Gunung).

Unit lahan yang menunjukkan kawasan dengan fungsi penyangga sebanyak

30 unit lahan. Satuan unit lahan tersebut yaitu: 6, 16, 18, 19, 22, 24, 50, 51, 52,

66, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 85, 86, 89, 91, 92, 94 dan 95.

Sebaran unit lahan tersebut tersebar pada wilayah Sub DAS Telagawaja kecuali

wilayah Desa Abang Songan dan Suter Kecamatan Kintamani.

Luas kawasan Sub DAS Telagawaja berdasarkan fungsinya disajikan pada

Tabel 5.16 dan Tabel 5.17. Peta Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan Sub DAS

Telagawaja dapat dilihat Lampiran Peta 8.


75

Tabel 5.16
Luas Kawasan Sub DAS Telagawaja Berdasarkan Arahan Fungsi Kawasan Per
Masing-masing Wilayah Desa

No. Kabupaten Kecamatan Desa Arahan Klasifikasi Luas (Ha)


Fungsi Kawasan (Ha)
Kawasan Kawasan
Lindung Penyangga
1 2 3 4 5 6 7
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 94,50 55,60 150,10
Abang Songan 240,15 - 240,15
Suter 735,03 - 735,03
2 Karangasem Rendang Pempatan 3.123,03 442,29 3.565,32
Besakih 2.192,27 615,06 2.807,33
Menanga - 1.242,29 1.242,29
Rendang 100,19 284,29 384,48
Nongan 124,23 208,61 332,84
Pesaban - 79,34 79,34
Selat Sebudi 504,51 46,63 551,14
Muncan 54,04 189,22 243,26
Sidemen Sangkan Gunung 169,33 307,70 477,03
Tangkup - 214,68 214,68
3 Klungkung Klungkung Selat - 92,60 92,60
Jumlah Sub DAS 7.337,28 3.778,31 11.115,59
Prosentase (%) 66,01 33,99 100,00
Data hasil pengolahan
76

Tabel 5.17
Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan Lindung dan Penyangga Sub DAS Telagawaja

No. Kabupaten Kecamatan Desa Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan (Ha) Jumlah (Ha)
Kawasan Lindung Kawasan Kawasan Budidaya Permuki
Dalam Luar Penyangga Kawasan Kawasan man
Kawasan Kawasan Budidaya Budidaya
Hutan Hutan Tanaman Tanaman
1 2 3 4 5 (Budidaya)
6 7 Tahunan
8 Semusim/Setah
9 10 11
1 Bangli Kintamani
Abang Batu Dinding 42,18 52,32 55,60 - - - 150,10
Abang Songan 73,75 166,40 - - - - 240,15
Suter 661,63 73,40 - - - - 735,03
2 Karangasem Rendang Pempatan 2.544,27 578,76 442,29 - - - 3.565,32
Besakih 1.765,02 427,25 615,06 - - - 2.807,33
Menanga - - 1.242,29 - - - 1.242,29
Rendang - 100,19 284,29 - - - 384,48
Nongan - 124,23 208,61 - - - 332,84
Pesaban - - 79,34 - - - 79,34
Selat Sebudi 459,19 45,32 46,63 - - - 551,14
Muncan - 54,04 189,22 - - - 243,26
Sidemen Sangkan Gunung - 169,33 307,70 - - - 477,03
Tangkup - - 214,68 - - - 214,68
3 Klungkung Klungkung Selat - - 92,60 - - - 92,60
Jumlah Sub DAS 5.546,04 1.791,24 3.778,31 - - - 11.115,59
Prosentase (%) 49,89 16,12 33,99 100
Data hasil pengolahan
77

Berdasarkan sebaran erosi aktual di Sub DAS Telagawaja, erosi tidak

hanya terjadi di kawasan penyangga tetapi terjadi juga di kawasan lindung baik

di kawasan hutan lindung maupun kawasan lindung di luar kawasan hutan.

Besarnya erosi dan sebaran per masing-masing fungsi kawasan disajikan pada

Tabel 5.18.

Tabel 5.18
Besarnya Erosi pada Masing-Masing Fungsi Kawasan
Sub DAS Telagawaja

No. Kabupaten Kecamatan Desa Luas (Ha) Besarnya Erosi (Ton/ha/tahun)


KHL KLR KP Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 150,10 3,82 62,11 15,10 81,04
Abang Songan 240,15 11,28 57,33 - 68,61
Suter 735,03 25,63 28,67 - 54,30
2 Karangasem Rendang Pempatan 3.565,32 57,45 99,09 81,99 238,53
Besakih 2.807,33 44,05 595,12 87,15 726,32
Menanga 1.242,29 - 516,22 516,22
Rendang 384,48 - 100,23 20,64 120,86
Nongan 332,84 - 100,23 10,32 110,54
Pesaban 79,34 - 50,11 - 50,11
Selat Sebudi 551,14 82,97 156,09 28,84 267,89
Muncan 243,26 - 6,26 135,35 141,62
Sidemen Sangkan Gunung 477,03 - 131,55 161,15 292,70
Tangkup 214,68 - - 54,17 54,17
3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 - - 54,17 54,17
Jumlah Sub DAS 11.115,59 225,20 1.386,79 1.165,09 2.777,07
Persentase (%) 8,11 49,94 41,95 100,00
Keterangan:
KHL: Kawasan Lindung di dalam Kawasan Hutan
KLR: Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan
KP: Kawasan Penyangga
78

5.5 Perencanaan Arahan Penggunaan Lahan

Perencanaan arahan penggunaan lahan merupakan upaya penanganan Sub

DAS Telagawaja secara sistematis dan berkesinambungan sehingga pemanfaatan

lahan dapat berlangsung secara produktif disertai dengan tetap terjaganya

kelestarian fungsi DAS. Perencanaan arahan penggunaan lahan direncanakan

dalam rangka mengurangi laju erosi tanah yang terjadi dengan menerapkan

tindakan konservasi tanah.

Penerapan tindakan konservasi tanah di Sub DAS Telagawaja didasarkan

pada kodisi fisik lahan saat ini, prediksi erosi dan tingkat bahaya erosi yang terjadi

serta arahan klasifikasi fungsi kawasannya dengan cara mengoreksi faktor

penutupan vegetasi (C), faktor pengelolaan lahan (P) dan faktor konservasi tanah

dan sistem pertanaman (VM) sebagaimana Tabel 4.4, Tabel 4.5, Tabel 4.7, Tabel

4.8 dan Tabel 4.9. Alternatif tindakan konservasi tanah yang dilakukan adalah

dengan cara menambah jumlah vegetasi penutupan lahan dan memperbaiki

pengelolaan lahan atau kombinasi dari kedua alternatif tersebut pada masing-

masing unit lahan sebagaimana disajikan pada Lampiran 6.

Alternatif bentuk perencanaan arahan penggunaan lahan pada kawasan

hutan lindung, antara lain: 1) hutan dengan penutupan tajuk efektif 75 - 100 %

dengan seresah hutan 75 - 85 % memiliki ketebalan 2,5 cm pada daerah naungan

dengan nilai VM sebesar 0,002; 2) hutan dengan persen penutupan tanah semak

dan sejenisnya sebesar 95-100 % dan persen tajuk penutupan tanah sebesar 25%

dengan nilai VM sebesar 0,003; 3) hutan dengan penutupan tajuk efektif 75 - 100

% dengan seresah hutan 90 - 100 % memiliki ketebalan 2,5 cm pada daerah


79

naungan dengan nilai VM sebesar 0,001; 4) hutan dengan persen penutupan tanah

semak dan sejenisnya sebesar 95-100 % dan persen tajuk penutupan tanah

sebesar 25 % dengan nilai VM sebesar 0,003; 4) Hutan lindung dengan luas

penutupan tajuk efektif lebih dari 20 % dengan nilai VM sebesar 0,003.

Alternatif bentuk perencanaan arahan penggunaan lahan pada lahan kebun

campuran dan tegalan, antara lain: 1) kebun campuran dengan penutupan rapat

lengkap dengan teras bangku dengan konstruksi baik dengan nilai CP sebesar

0,004; 2) kebun campuran dengan penutupan rapat lengkap dengan teras bangku

dengan konstruksi sedang dengan nilai CP sebesar 0,015; 3) kebun campuran

dengan penutupan sedang lengkap teras bangku dengan konstruksi baik dengan

nilai CP sebesar 0,008; 4) kebun campuran dengan penutupan sedang dan teras

bangku konstruksi sedang dengan nilai CP sebesar 0,030.

Alternatif bentuk perencanaan arahan penggunaan lahan pada sawah dengan

cara memperbaiki teras dengan teras bangku dengan konstruksi baik dengan nilai

P sebesar 0,04. Bentuk perencanaan pada lahan pemukiman dengan cara

meningkatkan penutupan rumput atau tanaman sebesar 95 % dan penutupan

pohon 25 % dengan nilai VM sebesar 0,003.

Hasil perencanaan arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja

dengan menerapkan alternative tindakan konservasi tanah sebagaimana dijelaskan

di atas, mampu menekan erosi total sebesar 2.166,07 ton hektar-1 tahun-1 atau

78,00 % dari total erosi yang terjadi sebesar 2.777,07 ton hektar-1 tahun-1.

Besarnya prediksi erosi setelah dilakukan perencanaan penggunaan lahan dengan


80

menerapkan beberapa alternatif penerapan teknik konservasi tanah menjadi

sebesar 611,00 ton hektar-1 tahun-1.

Prediksi besarnya erosi setelah dilakukan penerapan arahan penggunaan

lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 5.19. Kelas dan tingkat bahaya erosi

setelah dilakukan perencanaan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5.20 dan

5.21. Peta arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja disajikan Lampiran

Peta 9.

Tabel 5.19
Prediksi Erosi setelah Dilakukan Perencanaan Penggunaan Lahan
Sub DAS Telagawaja

No. Kabupaten Kecamatan Desa Luas (Ha) Besarnya Erosi Aktual (Ton/ha/Th
KHL KLR KP Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 150,10 1,91 28,67 6,47 37,05
Abang Songan 240,15 3,63 28,67 - 32,30
Suter 735,03 7,33 14,33 - 21,66
2 Karangasem Rendang Pempatan 3.565,32 22,22 34,67 38,84 95,73
Besakih 2.807,33 21,51 51,87 22,96 96,34
Menanga 1.242,29 - - 148,77 148,77
Rendang 384,48 - 13,37 5,50 18,87
Nongan 332,84 - 26,73 2,75 29,48
Pesaban 79,34 - 13,36 - 13,36
Selat Sebudi 551,14 16,96 11,65 8,41 37,02
Muncan 243,26 - 1,67 7,57 9,24
Sidemen Sangkan Gunung 477,03 - 35,08 21,67 56,75
Tangkup 214,68 - - 7,22 7,22
3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 - - 7,22 7,22
Jumlah Total 11.115,59 73,56 260,06 277,38 611,00
Keterangan:
KHL: Kawasan Hutan Lindung; KLR: Kawasan Lindung di luar kawasan hutan;
KP: Kawasan Penyangga
81

Tabel 5.20
Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi
setelah Dilakukan Perencanaan Penggunaan Lahan Sub DAS Telagawaja

No. Kabupaten Kecamatan Desa Luas (Ha) Kelas Erosi (ha) TBE (ha)

I II III IV V SR R S B SB
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 150,10 150,10 - - - - 150,10 - - - -
Abang Songan 240,15 240,15 - - - - 240,15 - - - -
Suter 735,03 735,03 - - - - 523,10 - 211,93 - -
2 Karangasem Rendang Pempatan 3.565,32 3.565,32 - - - - 637,31 - 2.928,01 - -
Besakih 2.807,33 2.807,33 - - - - - - 2.779,90 27,43 -
Menanga 1.242,29 695,36 546,93 695,36 546,93 - - -
Rendang 384,48 384,48 - - - - 384,48 - - - -
Nongan 332,84 332,84 - - - - 332,84 - - - -
Pesaban 79,34 79,34 - - - - 79,34 - - - -
Selat Sebudi 551,14 551,14 - - - - 46,63 - 131,12 373,39 -
Muncan 243,26 243,26 - - - - 243,26 - - - -
Sidemen Sangkan Gunung 477,03 307,70 169,33 - - - 307,70 169,33 - - -
Tangkup 214,68 214,68 - - - - 214,68 - - - -
3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 92,60 - - - - 92,60 - - - -
Jumlah Sub DAS 11.115,59 10.399,33 716,26 - - - 3.947,55 716,26 6.050,96 400,82 -
Keterangan:
I;II;II….dst : kelas erosi
SR;R;S….dst : Tingkat bahaya erosi
82

Tabel 5.21
Perbandingan Prediksi Laju dan Besarnya Erosi
sebelum dan setelah Dilakukan Perencanaan Penggunaan Lahan Sub DAS Telagawaja

No. Kabupaten Kecamatan Desa Luas (Ha) Prediksi Erosi (ton/ha/th) Laju Penurunan Erosi
Saat ini Setelah Penurunan Persentase
Perencanaan Erosi (%)
(ton/ha/th)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 150,10 81,04 37,05 43,99 54,28
Abang Songan 240,15 68,61 32,30 36,31 52,92
Suter 735,03 54,30 21,66 32,64 60,11
2 Karangasem Rendang Pempatan 3.565,32 238,53 95,73 142,80 59,87
Besakih 2.807,33 726,32 96,34 629,98 86,74
Menanga 1.242,29 516,22 148,77 367,45 71,18
Rendang 384,48 120,86 18,87 101,99 84,39
Nongan 332,84 110,54 29,48 81,06 73,33
Pesaban 79,34 50,11 13,36 36,75 73,33
Selat Sebudi 551,14 267,89 37,02 230,88 86,18
Muncan 243,26 141,62 9,24 132,38 93,48
Sidemen Sangkan Gunung 477,03 292,70 56,75 235,95 80,61
Tangkup 214,68 54,17 7,22 46,95 86,67
3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 54,17 7,22 46,95 86,67
Jumlah Sub DAS 11.115,59 2.777,07 611,00 2.166,07 78,00
Data hasil pengolahan
83

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Sub DAS Telagawaja

Sub DAS Telagawaja secara administrasi terletak di 3 (tiga) wilayah

kabupaten yaitu: Kabupaten Bangli 10,12%, Karangasem 89,04% dan

Klungkung 0,83%. Berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 2012 DAS yang

wilayahnya berada dalam wilayah administrasi lebih dari satu kabupaten

termasuk dalam DAS lintas kabupaten sehingga pengelolaan Sub DAS

Telagawaja berada pada kewenangan Provinsi Bali.

Wilayah Sub DAS Telagawaja termasuk daerah dengan tipe iklim sangat

basah dan mendapatkan cukup banyak air hujan sepanjang tahun dengan jumlah

rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 2.791 mm sampai dengan 3.628

mm. Besarnya curah hujan ini perlu diwaspadai mengingat semakin banyaknya

air hujan yang jatuh ke atas tanah bisa memicu terjadinya erosi tanah. Makin

besar diameter titik hujan, daya kinetiknya makin besar (Kartasapoertra, dkk.,

1985).

Erosi tanah terjadi apabila aksi dispersi dan tenaga pengangkut air hujan

yang mengalir ada di permukaan dan atau di dalam tanah (Rahim, 2006).

Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan dispersi hujan

terhadap tanah, jumlah dan kekuatan aliran permukaan serta tingkat kerusakan

erosi yang terjadi (Arsyad, 2010).

Jenis tanah berdasarkan hasil analisis terdiri atas tanah Regosol berhumus,

Regosol kelabu dan Regosol coklat kekuningan. Jenis tanah di wilayah Sub DAS
84

Telagawaja terjadi akibat pelapukan abu vulkanik yang berasal dari material

erupsi Gunung Api Agung dan material batuan Gunung Api Buyan, Beratan, dan

Batur Purba. Tanah regosol merupakan tanah dengan kandungan bahan organik

yang rendah, selain itu tanah ini juga peka terhadap erosi. Dari penelitian Coster

1938 dalam Arsyad (2010) menunjukkan bahwa tanah Regosol dari bahan

vulkan merupakan tanah yang memiliki sifat sangat rentan terhadap erosi.

Kemiringan lahan pada Sub DAS Telagawaja sebagian besar adalah agak

curam sampai sangat curam yang mencapai 69,29% wilayahnya, sisanya

merupakan wilayah dengan topografi landai. Kondisi ini menggambarkan

wilayah Sub DAS Telagawaja merupakan wilayah dengan topografi

bergelombang hingga berbukit dan bergunung. Kondisi ini perlu diwaspadai

mengingat faktor kemiringan dan panjang lereng merupakan faktor penentu

terjadinya erosi tanah. Arsyad (2010) menyatakan bahwa selain memperbesar

jumlah aliran permukaan, semakin curam lereng juga memperbesar energi

angkut aliran permukaan.

Wilayah Sub DAS Telagawaja dilihat dari struktur geomorfologinya

merupakan wilayah dengan bentuk lahan vulkanik dan denudasional. Bentuk

lahan vukanik merupakan bentuk lahan yang terjadi akibat terjadinya aktivitas

gunung api. Bentuk lahan vulkanik pada wilayah Sub DAS Telagawaja

merupakan bentuk lahan yang dihasilkan dari hasil aktivitas Gunung Api Agung

dan Gunung Api Batur. Karakteristik bentuk lahan asal vulkanik pada satuan

lahan terdiri atas kerucut gunung, lereng gunung, kaki gunung dan dataran kaki

Gunung Api Agung.


85

Bentuk lahan denudasional terbentuk dari adanya proses degradasi lahan seperti

erosi dan tanah longsor.

Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga

denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Denudasi cenderung akan

menurunkan bagian permukaan bumi yang positif hingga mencapai bentuk

permukaan bumi yang hampir datar membentuk dataran nyaris (pineplain).

Denudasi meliputi dua proses utama yaitu pelapukan dan perpindahan material

dari bagian lereng atas ke lereng bawah oleh proses erosi dan gerak massa batuan

(masswashting). Ini menunjukan proses erosi telah terjadi di wilayah Sub DAS

Telagawaja.

Manusia melakukan intervensi (campur tangan) terhadap lahan dalam

rangka memenuhi kebutuhanya. Intervensi tersebut bukan hanya terjadi di luar

kawasan hutan, namun juga telah merambah ke dalam kawasan hutan. Besar

kecilnya intervensi manusia terhadap lahan tercermin dari keanekaragaman jenis

penutupan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja.

Penutupan lahan berupa hutan di wilayah Sub DAS Telagawaja sangat

mendukung infiltrasi air hujan yang jatuh di kawasan tersebut, namun tidak

sepenuhnya dalam kondisi baik, terutama kawasan hutan yang berdekatan

dengan lahan milik. Kawasan hutan telah dirambah sehingga penutupan tajuk

hutan sudah berubah. Hal ini mengakibatkan kemampuan vegetasi hutan dalam

menerima, menahan, menguapkan, mengalirkan serta meresapkan air hujan yang

jatuh di atasnya terganggu. Arsyad (2010) menyatakan bahwa vegetasi penutup


86

tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat dapat

menghilangkan pengaruh hujan terhadap erosi.

Penggunaan lahan di luar hutan, selain terjadi pergeseran tanaman dari

tanaman dengan perakaran dalam ke tanaman dengan perakaran dangkal,

kegiatan budidaya tanaman pertanian juga dilakukan pada lahan-lahan yang

miring dan berbukit. Kegiatan pengelolaan lahan dilakukan dengan tidak

memperhatikan teknologi pengelolaan lahan. Kondisi ini, mengakibatkan air

hujan jatuh ke permukaan tanah dan pada kondisi tertentu menjadi aliran

permukaan.

Berdasarkan uraian tentang hasil pembahasan kondisi karakteristik Sub

DAS Telagawaja dilihat dari aspek iklim, jenis tanah, kemiringan lahan, bentuk

lahan serta adanya intervensi manusia didalam mengelola lahannya

menunjukkan bahwa wilayah Sub DAS Telagawaja merupakan wilayah yang

rentan terjadinya erosi tanah. Kondisi tersebut apabila lahan tidak dikelola dan

direncanakan dengan baik bisa berdampak buruk terhadap lahan Sub DAS

Telagawaja.

6.2 Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi

Penggunaan lahan secara tepat guna dan berhasil guna hanya akan terjadi

bila dilakukan berdasarkan kemampuan alami yang dimiliki oleh lahan itu sendiri.

Kesalahan dalam mengelola atau salah dalam pemanfaatannya merupakan

penyebab timbulnya kerusakan lahan (Rahim, 2006). Saat ini, penggunaan

kawasan lindung maupun kawasan dengan fungsi penyangga di wilayah Sub DAS

Telagawaja tidak semuanya sesuai dengan pemanfaatan sebagaimana seharusnya.


87

Keberadaan kawasan lindung dan penyangga terus tergerus oleh kawasan

budidaya yang berkembang. Kawasan lindung di dalam kawasan hutan sebagian

wilayahnya dirambah, tanaman bawah telah diganti dengan tanaman hijauan

pakan ternak. Sementara kawasan lindung di luar kawasan hutan dan wilayah

dengan fungsi penyangga sebagian wilayahnya telah dialih fungsikan sebagai

areal budidaya pertanian dengan minimnya penerapan teknologi pengolahan

lahan, permukiman penduduk, bahkan areal tambang seperti yang dijumpai di

Desa Sebudi dan Besakih. Aktivitas ini tentunya memicu dan mempercepat

terjadinya erosi tanah di wilayah Sub DAS Telagawaja yang secara karakteristik

lahannya merupakan lahan yang rentan terjadi erosi.

Hasil analisis terhadap prediksi erosi di wilayah Sub DAS Telagawaja,

menunjukan erosi yang terjadi di Sub DAS Telagawaja sebesar 275.361,49 ton

tahun-1 atau 2.777,07 ton hektar-1 tahun-1. Besarnya nilai erosi yang terjadi

selanjutnya digunakan untuk menentukan kelas erosi dan tingkat bahaya erosi di

wilayah Sub DAS Telagawaja. Kelas erosi yang terjadi di Sub DAS Telagawaja

bervariasi dari kelas I sampai dengan kelas III. Secara umum erosi pada kelas III

terjadi di Desa Besakih, Menanga, Rendang, Pesaban, Sebudi, Muncan, dan

sangkan Gunung. Penggunaan lahan pada kelas ini merupakan lahan kebun

campuran dan tegalan. Erosi pada pada kelas II hampir terjadi di seluruh wilayah

kecuali Desa Rendang, Pesaban dan Muncan. Luas per masing-masing kelas erosi

dari tingkat I sampai dengan kelas III secara berurut adalah kelas I seluas

6.328,79 hektar atau 56,94%, erosi kelas II seluas 3.540,47 hektar atau 31,85%

dan erosi kelas III seluas 1.246,33 hektar atau 11,21%.


88

Tingkat bahaya erosi (TBE) Sub DAS Telagawaja diperoleh dengan

membandingkan besarnya erosi yang terjadi (erosi aktual) dengan kedalaman

efektif tanah pada satuan unit lahan di wilayah bersangkutan. Hasil analisis TBE

pada Sub DAS Telagawaja bervariasi dari tingkat sangat ringan sampai dengan

tingkat sangat berat. TBE pada Sub DAS Telagawaja secara berturut disajikan

sebagai berikut: tingkat sangat ringan (SR) seluas 1.648,31 hektar atau 14,83 %,

ringan (R) seluas 2.331,29 hektar atau 20,97 %, sedang (S) seluas 5.064,02

hektar atau 45,56 %, berat (B) seluas 1.432,95 hektar atau 12,89 % dan sangat

berat (SB) seluas 639,02 hektar atau 5,75 %.

Secara umum erosi tanah dengan tingkat bahaya erosi berat sampai sangat

berat, terjadi pada lahan: 1) lahan dengan tutupan lahan berupa vegetasi tetap

dengan persen penutupan penutupan tanah adalah semak belukar rendah dengan

tajuk daun lebar atau seresah belum membusuk sebesar 80% dan tajuk tanaman

bawah sebesar 25%; 2) hutan lindung dengan luas penutupan tajuk kurang dari

20 %; 3) kebun campuran jarang sampai sedang dan tanaman semusim, jenis

tanah regosol serta kemiringan lereng antara 15% sampai lebih dari > 40% dengan

pengolahan lahan berupa teras tradisional sampai teras bangku dengan konstruksi

sedang. Erosi tanah dengan tingkat bahaya erosi sangat ringan terjadi pada

vegetasi tetap rapat dan kebun campuran rapat dengan pengolahan lahan berupa

teras bangku dengan konstruksi sedang hingga baik.

6.3 Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan

Upaya untuk menekan dan mengendalikan erosi tanah di wilayah Sub DAS

Telagawaja perlu segera dilakukan baik secara makro maupun mikro.


89

Penyelamatan lahan secara makro dilakukan dengan cara penataan lahan pada

wilayah Sub DAS Telagawaja sesuai dengan arahan fungsi utamanya yaitu

sebagai fungsi lindung dan produksi. Upaya ini untuk menjaga keseimbangan

antara kemampuan lahan dengan jenis pemanfaatan yang digunakan sebagai

upaya untuk melindungi kelangsungan fungsi dan manfaat sumberdaya lahan di

Sub DAS Telagawaja.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, peruntukan wilayah Sub DAS

Telagawaja terdiri atas fungsi lindung dan fungsi penyangga. Luas wilayah

lindung mencapai 7.337,28 hektar atau 66,01% dari luas total DAS. Sedangkan

wilayah penyangga di Sub DAS Telagawaja seluas 3.778,31 hektar atau 33,99% dari

luas DASnya. Arahan fungsi lindung Sub DAS Telagawaja terdiri dari kawasan

lindung dalam kawasan hutan (hutan lindung) dan kawasan lindung di luar

kawasan hutan (kawasan budidaya). Kawasan lindung di luar kawasan hutan

pada Sub DAS Telagawaja sebesar 16,12% atau seluas 1.791,24 hektar.

Sedangkan fungsi lindung di dalam kawasan hutan seluas 5.546,04 hektar atau

49,89% dari luas DAS nya.

Luas hutan di wilayah Sub DAS Telagawaja telah memenuhi ketentuan

sebagaimana telah disyaratkan dalam upaya pelestarian lingkungan sebagaimana

yang telah diamanahkan dalam Undang-undang Penataan Ruang Nomor: 26 tahun

2007. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka upaya

pelestarian lingkungan, dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan

hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
90

Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980

dan No.683/kpts/um/8/1981, wilayah Sub DAS Telagawaja yang diklasifikasikan

sebagai kawasan lindung merupakan kawasan yang difungsikan sebagai kawasan

perlindungan bagi daerah sekitarnya, sehingga kawasan ini tidak sesuai untuk

dijadikan sebagai kawasan budidaya.

Penggunaan lahan yang diperbolehkan pada kawasan lindung adalah

pengolahan lahan dengan tanpa pengolahan tanah (zero tillage) dan dilarang

melakukan penebangan vegetasi hutan. Pemanfaatan kawasan lindung ini bisa

dimanfaatkan untuk pemanfaatan kawasan berupa jasa lingkungan dan

pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Daerah penyangga merupakan daerah yang mengelilingi kawasan lindung

yang berfungsi membatasi aktifitas manusia di dalam kawasan lindung agar tidak

merusak kawasan lindung (Soemarwoto, 1985). Luas kawasan dengan fungsi

penyangga pada wilayah Sub DAS Telagawaja sebesar 33,99% dari luas DAS

atau 3.778,31 hektar. Kawasan penyangga ini merupakan batas antara kawasan

lindung dan kawasan budidaya. Pemanfaatan lahan pada wilayah ini berpengaruh

terhadap kelestarian kawasan lindung yang ada di wilayah Sub DAS Telagawaja.

Dari hasil analisis prediksi erosi disandingkan dengan arahan klasifikasi

fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja diketahui bahwa erosi tidak hanya terjadi di

kawasan dengan fungsi penyangga (budidaya) tetapi juga kawasan lindung.

Prediksi erosi pada kawasan lindung sebesar 1.611,99 ton hektar-1 tahun-1

(58,05% ) sementara di kawasan penyangga sebesar 1.165,09 ton hektar-1 tahun-1.

(41,95%). Hal yang menarik dari penelitian ini adalah jumlah erosi yang terjadi
91

dalam kawasan lindung sebesar 1.386,79 ton hektar-1 tahun-1 terjadi pada kawasan

lindung di luar kawasan hutan atau menyumbang 49,94% dari total erosi yang

terjadi sementara luasnya hanya 1.791,24 atau 16,12% dari total luas DAS.

Kondisi tersebut menjadi catatan mengingat kawasan lindung merupakan kawasan

yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup

yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta

budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

6.4 Perencanaan Arahan Penggunaan Lahan

Besarnya erosi aktual yang terjadi pada Sub DAS Telagawaja secara umum

telah melebihi batas erosi yang ditoleransi. Wilayah desa dimana erosi aktualnya

telah melebihi erosi yang ditoleransi meliputi Desa Besakih, Menangan, Rendang,

Nongan, Pesaban, Sebudi, Muncan, Sangkan Gunung, Tangkup dan Desa selat.

Ini memberikan pesan bahwa penutupan vegetasi, pola tanam dan tindakan

konservasi tanah yang ada di wilayah tersebut belum mampu untuk mencegah

atau menekan terjadinya erosi sampai pada tingkat yang tidak membahayakan.

Atas kondisi tersebut diperlukan upaya penyelamatan lahan secara mikro dengan

cara menerapkan tindakan konservasi tanah sebagai bentuk dari arahan

penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja.

Perencanaan arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja

didasarkan pada kodisi fisik lahan saat ini, erosi dan tingkat bahaya erosi yang

terjadi serta dengan memperhatiakan arahan klasifikasi fungsi kawasannya dengan

cara mengoreksi faktor penutupan vegetasi (C), faktor pengelolaan lahan (P) serta

faktor konservasi tanah dan sistem pertanaman (VM).


92

Bentuk arahan penggunaan lahan dengan menerapkan alternatif tindakan

konservasi tanah dilakukan dengan cara menambah vegetasi penutupan lahan dan

memperbaiki praktek pengelolaan lahan atau kombinasi dari kedua alternatif

tersebut di masing-masing unit lahan. Penerapan arahan penggunaan lahan tidak

hanya menekan laju erosi yang terjadi tetapi mampu mengurangi tingkat bahaya

erosi yang terjadi di Sub DAS Telagawaja. Besarnya laju erosi yang berhasil

ditekan sebesar 2.166,07 ton hektar-1tahun-1 (78,00%) dari erosi yang terjadi

sebesar 2.777,07 ton hektar-1 tahun-1 menjadi 611,00 ton hektar-1 tahun-1.

Kelas erosi yang terjadi sebelum dilakukan arahan penggunaan lahan berada

pada kisaran kelas I sampai dengan kelas III dengan tingkat bahaya erosi sangat

ringan sampai sangat berat. Setelah dilakukan perencanaan arahan penggunaan

lahan maka kelas erosi yang terjadi hanya pada kelas I dan II bahkan sebesar

93,56 % dari luas DAS berada pada kelas I. Tingkat bahaya erosi berhasil ditekan

sangat ringan sampai dengan berat.

Penurunan tersebut sebagai dampak dari pemilihan nilai C dan P atau VM

sesuai dengan ketentuan konservasi. Pembuatan atau penyempurnaan teras bangku

dan teras gulud pada hakekatnya adalah untuk mengurangi kemiringan lahan

dengan tujuan untuk menahan aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi air ke

dalam tanah. Pengkayaan tanaman merupakan upaya untuk menambah tajuk

penutupan tanah dengan tujuan untuk melindungi tanah terhadap daya rusak butir-

butir air hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air

permukaan, dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah melalui perakarannya.

Manfaat dari pengkayaan tanaman antara lain dapat menjaga dan memperbaiki
93

kesuburan tanah, mengurangi erosi, menambah pupuk organik dan

mempertahankan produksi tanaman serta memutus siklus hama dan penyakit.

Pengkayaan tanaman bisa dilakukan baik di dalam kawasan maupun di luar

kawasan hutan. Kegiatan pengkayaan tanaman di dalam kawasan hutan atau yang

disebut reboisasi dilakukan dengan jenis tanaman yang sudah tumbuh di kawasan

tersebut. Jenis tanaman reboisasi yang disarankan untuk pengkayaan tanaman di

dalam kawasan hutan Sub DAS Telagawaja meliputi tanaman Pinus (Pinus

merkusii) dan Ampupu (Eucalyptus urophylla).

Pengkayaan tanaman pada kebun campuran dan tegalan atau lahan milik

dilakukan dengan hutan rakyat atau agroforestry. Pemilihan jenis tanaman yang

disarankan adalah jenis-jenis yang sudah tumbuh baik, disukai masyarakat,

memiliki nilai ekonomi yang tinggi serta cepat memiliki menghasilkan. Jenis

tanaman kayu yang disarankan adalah Sengon (Albizia chinensis), Kejimas

(Duabanga mollucana), Jabon (Anthocephalus cadamba) dan Mahoni (Swietenia

mahagoni).

Jenis tanaman untuk kawasan lindung di luar kawasan hutan disarankan

untuk jenis tanaman serbaguna seperti: Durian (Durio zibethinus), Nangka

(Artocarpus heterophyllus), Sawo manila (Achras zapota var depressa) dan

Alpokat (Persea americana). Selain tanaman tersebut, untuk perlindungan jurang

dan sempadan sungai atau mata air disarankan untuk ditanami dengan tanaman

Bambu (Bambusa, Sp.) dan Aren (Arenga pinnata). Penggunaan tanaman

serbaguna memiliki fungsi ganda selain kayu hasil yang bisa dimanfaatkan adalah

buah atau bagian lain yang dihasilkannya. Tingginya nilai ekonomi buah yang
94

dihasilkan akan mendorong penduduk untuk tetap mempertahankan keberadaan

tanaman tersebut di lahannya.

Pengkayaan tanaman kayu dan tanaman serbaguna dapat dikombinasikan

dengan tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh dan kelapa serta tanaman

semusim lainnya. Sedangkan untuk penyediaan tanaman hijauan pakan ternak

antara lain: Rumput gajah (Penisetum purpureum), Lamptoro (Leucaena

leucocephala), Turi (Sesbania grandiflora) dan Kaliandra (Calliandra

haematocephala).
95

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Sebagaimana hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, maka diambil

simpulan sebagai berikut:

1. Karakteristik wilayah Sub DAS Telagawaja merupakan wilayah yang

rentan terhadap terjadinya bahaya erosi tanah.

2. Tingkat bahaya erosi (TBE) pada tingkat berat hingga sangat berat telah

terjadi di wilayah Sub DAS Telagawaja.

3. Arahan klasifikasi fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja terdiri atas

kawasan dengan fungsi lindung dan kawasan dengan fungsi penyangga.

4. Arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja dengan menerapkan

alternatif tindakan konservasi tanah yang sesuai mampu menekan erosi

sampai pada erosi yang tidak membahayakan.

7.2 Saran

Berdasarkan simpulan dan kondisi tersebut diatas, guna perbaikan dan

menjaga agar kondisi Sub Daerah Aliran Sungai Telagawaja tetap terjaga dengan

baik, disarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pemanfaatan atau penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja hendaknya

hati-hati mengingat lahannya rentan terhadap erosi tanah.

2. Pada lahan dengan tingkat bahaya erosi berat sampai sangat berat perlu

dilakukan perubahan pengelolaan tanaman dan pengelolaan lahan (faktor

CP/VM) untuk mengurangi laju erosi yang terjadi. Upaya yang dapat
96

dilakukan yaitu rehabilitasi hutan dan lahan melalui penerapan teknologi

konservasi tanah dengan metode vegetatif dan mekanik. Sedangkan pada

lahan dengan erosi sangat ringan hingga ringan dimana tingkat erosinya masih

di bawah erosi yang diperkenankan agar penutupan vegetasi dan pengelolaan

lahannya agar bisa dipertahankan.

3. Perlu dilakukan sosialisasi serta penyuluhan sebagai upaya peningkatan

kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi kawasan lindung baik kawasan

hutan maupun di luar kawasan hutan seperti sempadan jurang maupun sungai

atau perlindungan mata air, serta perlunya diberlakukan aturan yang jelas

terhadap pelanggaran yang terjadi dikawasan tersebut.

4. Pemilihan alternatif tindakan konservasi tanah selain berdasarkan karakteristik

lahan juga harus memperhatikan kondisi karakteristik sosial ekonomi

masyarakat yang ada wilayah Sub DAS Telagawaja.

5. Selain Pemerintah dan masyarakat, pihak Swasta juga perlu dilibatkan dalam

pengelolaan wilayah Sub DAS Telagawaja.

6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait identifikasi karakteristik sosial

ekonomi dan kelembagaan, kondisi karakteristik hirologi dan morfometri DAS

sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai kondisi karakteristik Sub

DAS Telagawaja guna keterpaduan pengelolaan Sub DAS Telagawaja.


97

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I.W.S. 2000. Prediksi Erosi dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air.
Jurusan Tanah. Denpasar: Universitas Udayana.
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah & Air. Edisi Kedua. Bogor : IPB Press.
Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Edisi kelima.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Balai Pengelolaan DAS unda Anyar, 2009. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk-RHL DAS) Wilayah Kerja BPDAS
Unda Anyar. Denpasar: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda
Anyar.
Departemen Kehutanan. 1998. Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan
Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan Nomor: 041/Kpts/V/1998
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi
lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Jakarta: Departemen
Kehutanan RI.
Departemen Kehutanan. 2001. Keputusan Menteri Kehutanan No:52/Kpts-II/2001
tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Jakarta: Departemen Kehutanan RI.
Departemen Kehutanan. 2009a. Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: SK.
328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
tahun 2010 – 2014. Jakarta: Departemen Kehutanan RI.
Departemen Kehutanan. 2009b. Peraturan Menteri Kehutanan RI No:P.
39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Terpadu. Jakarta: Departemen Kehutanan RI.
Departemen Pertanian. 1980. Keputusan Menteri Pertanian Nomor:
837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara penetapan Hutan
Lindung. (cited 2013 Des.20).
Available from: http://www.docstoc.com/docs/20556251
Departemen Pertanian. 1981. Keputusan Menteri Pertanian No
683/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan
Produksi. (cited 2013 Des.20).
Available from: http://www.docstoc.com/docs/2055625
Dradjad, M dan Notohadiprawiro. 1982. Prosedur Standar Pengawetan Tanah dan
Air. Yogyakarta: Departemen Ilmu Tanah fakultas Pertanian Universitas
Gajah Mada.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.
98

Effendi, E. 2007. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)


Terpadu. (cited 2013 Des.3). Published by Andi Prasetyo.
Available from: http://www.scribd.com/doc/52831935
Foth, H.D. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. (Soenarto Adisoemarto, Pentj). Edisi
keenam. Jakarta: Erlangga.
Hardjowigeno, S. (1995). Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta
http://lutfiardiansyahsaputra.wordpress.com/2013/04/03/bentuk-lahan-asal-
denudasional. (cited 2014 Januari.17).
Kartasapoetra, G. A. G. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta :
Rineka Cipta.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Analisis Kawasan lindung DAS
Cisadane-Angke-Ciliwung (laporan akhir). Jakarta: Kementerian Negara
Lingkungan Hidup RI.
Kementerian Kehutanan. 2013. Keputusan Direktur Jenderal Bina pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Kementerian Kehutanan Nomor: P.3/Kpts-II/2013
tentang Pedoman Identifikasi Karekteristik DAS. Jakarta: Kementerian
Kehutanan RI.
Mahmud, A. 2007. “Studi Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) Otan di
Kabupaten Tabanan Ditinjau dari Aspek Hidrologi dan Lahan” (tesis).
Denpasar: Universitas Udayana.
Mario, I.K. 2004. “Arahan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Banyumala Buleleng” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Peraturan Pemerintah (PP RI) No.P.37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. 1
Maret 2012. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 62.
Peraturan Daerah Provinsi Bali (PERDA) No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029. 28 Desember 2009.
Denpasar: Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16.
Rahim, S.E. 2006. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Soemarwoto, Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan
Sugiman. 1982. Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Bhratara Karya Aksara.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumber daya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi.
Susila, K.G.D. 2012. “Studi Kualitas Air Sungai Telagawaja Kabupaten
Karangasem” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
99

Suwardjo, H. 1981. “Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air
pada Usaha Tani Tanaman Semusim” (disertasi). Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. 30 September 1999. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167.
Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. 26 April 2007. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68.
Wischmeier, W. H., Smith, D. D. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses – A
Guide to Conservation Planning. Washington DC: US Gov. US Dep. of
Agriculture, Agric. Print Off. Handbook No. 537.

Anda mungkin juga menyukai