(1)
DAS sendiri didefinisikan sebagai satu hamparan wilayah dimana air hujan yang jatuh di
wilayah itu akan menuju ke satu titik outlet yang sama, apakah itu sungai, danau, atau laut.
sumber: http://www.recycleworks.org/kids/water.html
Jadi jika air hujan yang jatuh di rumah Anda mengalir ke selokan dan menuju ke Sungai
Ciliwung, maka Anda adalah warga DAS Ciliwung. Itu artinya, jika air sungai Ciliwung
meluap dan menggenangi dataran banjir di sekitarnya, maka Anda (air hujan dari persil lahan
Anda) punya kontribusi terhadap terjadinya banjir itu.
Dengan demikian setiap kita pasti warga dari satu DAS dan setiap warga DAS berpotensi
untuk memberikan kontribusi terhadap terjadinya banjir di bagian hilir DAS yang
bersangkutan. Dalam perspektif ilmu lingkungan, setiap warga DAS berpotensi
menghasilkan eksternalitas negatif dari sisi hidrologi.
Kita, sebagai warga DAS (pemilik persil lahan), tidak menanggung akibat eksternal dari air
hujan yang jatuh di persil lahan kita dan keluar dari persil kita sebagai aliran permukaan (run
off). Padahal, kumpulan aliran permukaan dari persil-persil lahan di wilayah DAS itu
berakumulasi dan menyebabkan terjadinya banjir. Biaya eksternalitas itu ditanggung oleh
warga yang kebanjiran antara lain dalam berbagai bentuk ketidaknyamanan, kerugian harta
dan materi, bahkan jiwa.
Dari perspektif tersebut, maka setiap warga DAS perlu melakukan apa yang dalam ilmu
lingkungan disebut sebagai internalisasi, yaitu melakukan “sesuatu” di persil lahan yang
dimiliki atau dikuasai, sehingga bagian air hujan yang jatuh di persil lahan kita menimbulkan
eksternalitas negatif yang seminimal mungkin.
Karena air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah sepanjang lereng
maka garis batas sebuah DAS adalah punggung bukit sekeliling sebuah sungai. Garis batas
DAS tersebut merupakan garis khayal yang tidak bisa dilihat, tetapi dapat digambarkan pada
peta.
Batas DAS kebanyakan tidak sama dengan batas wilayah administrasi. Akibatnya sebuah
DAS bisa berada pada lebih dari satu wilayah administrasi. Ada DAS yang meliputi wilayah
beberapa negara (misalnya DAS Mekong), beberapa wilayah kabupaten (misalnya DAS
Brantas), atau hanya pada sebagian dari suatu kabupaten.
Tidak ada ukuran baku (definitif) suatu DAS. Ukurannya mungkin bervariasi dari beberapa
hektar sampai ribuan hektar. DAS Mikro atau tampungan mikro (micro catchment) adalah
suatu cekungan pada bentang lahan yang airnya mengalir pada suatu parit. Parit tersebut
kemungkinan mempunyai aliran selama dan sesaat sesudah hujan turun (intermitten flow)
atau ada pula yang aliran airnya sepanjang tahun (perennial flow). Sebidang lahan dapat
dianggap sebagai DAS jika ada suatu titik penyalur aliran air keluar dari DAS tersebut.
Sebuah DAS yang menjadi bagian dari DAS yang lebih besar dinamakan sub DAS;
merupakan daerah tangkapan air dari anak sungai.
DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu: bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem
bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran. Ekosistem tengah
sebagai daerah distributor dan pengatur air, sedangkan ekosistem hilir merupakan pemakai
air. Hubungan antara ekosistem-ekosistem ini menjadikan DAS sebagai satu kesatuan
hidrologis. Di dalam DAS terintegrasi berbagai faktor yang dapat mengarah kepada
kelestarian atau degradasi tergantung bagaimana suatu DAS dikelola.
Di pegunungan, di dataran tinggi dan dataran rendah sampai di pantai dijumpai iklim,
geologi, hidrologi, tanah dan vegetasi yang saling berinteraksi membangun ekosistem.
Setiap ekosistem di dalam DAS memiliki komponen hidup dan tak-hidup yang saling
berinteraksi. Memahami sebuah DAS berarti belajar tentang segala proses-proses alami yang
terjadi dalam batas sebuah DAS.
Beberapa proses alami dalam DAS bisa memberikan dampak menguntungkan kepada
sebagian kawasan DAS tetapi pada saat yang sama bisa merugikan bagian yang lain. Banjir
di satu sisi memberikan tambahan tanah pada dataran banjir tetapi untuk sementara
memberikan dampak negatif kepada manusia dan kehidupan lain.
Sumber: Fahmudin Agus dan Widianto (2004). “Petunjuk Praktik Konservasi Tanah
Pertanian Lahan Kering “. Bogor: World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Hal
3–4
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh punggungpunggung
bukit yang menampung air hujan dan mengalirkannya melalui saluran air, dan kemudian
berkumpul menuju suatu muara sungai, laut, danau atau waduk.
Pada daerah aliran sungai terdapat berbagai macam penggunaan lahan, misalnya hutan, lahan
pertanian, pedesaan dan jalan. Dengan demikian DAS mempunyai berbagai fungsi sehingga
perlu dikelola.
Pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, petani dan
pemerintah untuk memperbaiki keadaan lahan dan ketersediaan air secara terintegrasi di
dalam suatu DAS.
Dari namanya, ‘DAS’ menggambarkan bahwa ‘sungai’ atau ‘air’ merupakan faktor yang
sangat penting dalam pengelolaan DAS karena air menunjang kehidupan berbagai makhluk
hidup di dalamnya.
Masalah pada DAS yang utama berhubungan dengan jumlah (kuantitas) dan mutu (kualitas)
air.
Air sungai menjadi berkurang (kekeringan) atau menjadi terlalu banyak (banjir)
menggambarkan jumlah air.
Air sungai yang bersih menjadi keruh karena erosi dan hanyutnya zat beracun dari
daerah perindustrian atau pertanian menggambarkan mutu air.
Dengan menjawab pertanyaan tersebut di atas, akan terbentuk ‘visi (pandangan ke depan)
tentang pengelolaan DAS. Tanpa memahami ‘visi’, maka tujuan untuk mengembangkan dan
meningkatkan kualitas
DAS menjadi tidak jelas.
Potensi DAS: Kemiringan lahan rata-rata 40%, curah hujan tahunan 2200 mm,
kesuburan sedang, luas DAS 22,000 ha, jumlah penduduk 50,000 jiwa. DAS
digunakan untuk pertanian tanaman semusim secara intensif.
Masalah: Air sungai makin berlumpur dan banjir lebih sering terjadi dibandingkan
dengan ketika lahan masih berupa hutan.
Tujuan pengelolaaan: Air sungai bersih kembali dan banjir terkendali
Perbaikan yang mungkin dilakukan: Perubahan pola tanam menjadi tanaman tahunan
atau campuran tanaman tahunan dengan tanaman semusim dan pembuatan embung.
Perubahan yang mungkin terjadi: Kekeruhan air sungai dan banjir berkurang, air
untuk minum ternak dan menyiram tanaman tersedia lebih lama karena adanya
embung.
Meredam tingginya debit sungai pada musim hujan, dan berpotensi memelihara
kestabilan aliran air sungai pada musim kemarau
Mempunyai serasah yang tebal sehingga memudahkan air meresap ke dalam tanah
dan mengalirkannya secara perlahan ke sungai. Selain itu, lapisan serasahnya juga
melindungi permukaan tanah dari gerusan aliran permukaan sehingga erosi pada tanah
hutan sangat rendah.
Mempunyai banyak pori makro dan pipa di dalam tanah yang memungkinkan
pergerakan air secara cepat ke dalam tanah.
Karena sifat-sifat hutan yang mengutungkan tersebut, maka hutan perlu dipertahankan.
Apabila hutan sudah terlanjur dibuka (terutama pada bagian DAS yang peka erosi),
penggunaan lahannya perlu diusahakan supaya mendekati bentuk hutan. Sistem agroforestri
pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan
berbagai fungsi hutan. (J. Ruijter dan F. Agus April 2004).
Pengelolaan DAS
Dalam mengelola sumberdaya lahan suatu DAS perlu diketahui apa yang menjadi masalah
utama DAS. Masalah DAS pada dasarnya dapat dibagi menjadi:
o Banjir dan kekeringan
o Menurunnya tinggi muka air tanah
o Tingginya fluktuasi debit puncak dengan debit dasar.
b. Kualitas air
o Tingginya erosi dan sedimentasi di sungai
o Tercemarnya air sungai dan air tanah oleh bahan beracun dan berbahaya
o Tercemarnya air sungai dan air danau oleh hara seperti N dan P (eutrofikasi)
Masalah ini perlu dipahami sebelum dilakukan tindakan pengelolaan DAS. Sebagai contoh,
apabila masalah utama DAS adalah kurangnya debit air sungai untuk menggerakkan turbin
pembangkit listrik tenaga air (PLTA), maka penanaman pohon secara intensif tidak akan
mampu meningkatkan hasil air. Seperti telah diterangkan terdahulu, pohon-pohonan
mengkonsumsi air lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman pertanian semusim dan tajuk
pohon-pohonan mengintersepsi sebagian air hujan dan menguapkannya kembali ke udara
sebelum mencapai permukaan tanah.
Apabila masalah utama suatu DAS adalah kerawanan terhadap banjir maka teknik yang dapat
ditempuh adalah dengan mengusahakan agar air lebih banyak meresap ke dalam tanah di hulu
dan di bagian tengah DAS. Usaha ini dapat ditempuh dengan menanam pohon dan/atau
dengan tindakan konservasi sipil teknis seperti pembuatan sumur resapan, rorak dan
sebagainya.
Apabila yang menjadi masalah DAS adalah tingginya sedimentasi di sungai maka pilihan
teknik konservasi yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki fungsi filter dari DAS.
Peningkatan fungsi filter dapat ditempuh dengan penanaman rumput, belukar, dan pohon
pohonan atau dengan membuat bangunan jebakan sedimen (sediment trap). Apabila
menggunakan metode vegetatif, maka penempatan tanaman di dalam suatu DAS menjadi
penting. Penanaman tanaman permanen pada luasan sekitar 10% saja dari luas DAS,
mungkin sudah sangat efektif dalam mengurangi sedimentasi ke sungai asalkan tanaman
tersebut ditanam pada tempat yang benar-benar menjadi masalah, misalnya pada zone
riparian (zone penyangga di kiri kanan sungai).
Apabila suatu DAS dihutankan kembali maka pengaruhnya terhadap tata air DAS akan
memakan waktu puluhan tahun. Pencegahan penebangan hutan jauh lebih penting dari pada
membiarkan penebangan hutan dan menanami kembali lahan gundul dengan pohonpohonan.
Lagipula apabila penanaman pohon dipilih sebagai metode pengatur tata air DAS,
penanamannya harus mencakup sebagian besar wilayah DAS tersebut. Jika hanya 20- 30%
dari wilayah DAS ditanami, pengaruhnya terhadap tata air mungkin tidak nyata.
Penyebaran tanaman kayu-kayuan secara merata dalam suatu DAS tidak terlalu memberikan
arti dalam menurunkan sedimentasi. Tabel 4.1 memberikan ringkasan masalah DAS dan
alternatif teknologi yang dapat dipilih untuk mengatasinya.
Sumber: Fahmudin Agus dan Widianto (2004). “Petunjuk Praktik Konservasi Tanah
Pertanian Lahan Kering “. Bogor: World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Hal
26-28
Pertimbangan pemilihan teknologi itu adalah tercapainya sasaran konservasi lahan dan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya. Berikut ini disampaikan
prinsip-prinsip tindakan yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan DAS sehingga
masyarakat dapat memilih teknologi yang sesuai:
Penggunaan lahan harus disesuaikan dengan sifat dan kemampuan lahan
bersangkutan. Tanah yang berlereng curam, misalnya lebih curam dari 40%, tidak
aman bila digunakan secara intensif untuk tanaman semusim. Penuntun praktis
kriteria kesesuaian lahan diberikan di dalam buku Djaenuddin et al. (2003). Di dalam
buku tersebut diuraikan tanaman apa yang cocok ditanam pada lahan tertentu.
Memaksimalkan penutupan tanah dengan menggunakan tanaman penutup, karena
dengan banyaknya tajuk dan seresah tanaman, akan semakin terlindung permukaan
tanah dari terpaan air hujan dan makin terbentuk jaringan penyaring erosi.
Mempertahankan sebanyak mungkin air hujan pada tempat di mana air tersebut jatuh,
sehingga mengurangi aliran permukaan.
Mengalirkan kelebihan air permukaan dengan kecepatan yang aman ke kolam-kolam
penampung untuk digunakan kemudian.
Menghindari terbentuknya parit (gully) dan menghambatnya (menyumbat) dengan
sumbat parit (gully plug) pada interval yang sesuai untuk mengendalikan erosi dan
pengisian kembali air tanah
Memaksimalkan produktivitas lahan per satuan luas, per satuan waktu, dan per satuan
volume air.
Meningkatkan intensitas pertanaman dengan tanaman sela dan menata pola pergiliran
tanaman.
Menstabilkan sumber penghasilan dan mengurangi resiko kegagalan selama
terjadinya penyimpangan iklim (terlalu sedikit atau terlalu banyak hujan).
Meningkatkan/memperbaiki infrastruktur yang dapat membantu kelancaran distribusi,
pemasaran, dan penyimpanan hasil pertanian.
Untuk daerah beriklim kering, kegiatan terutama ditujukan untuk meningkatkan
penyimpanan air tanah melalui peningkatan kapasitas infiltrasi dan simpanan air di
permukaan tanah melalui pembuatan sumur, rorak atau embung penampung air.
Sisa tanaman perlu dikembalikan ke permukaan tanah baik secara langsung misalnya
dalam bentuk mulsa atau dalam bentuk kompos.
Tindakan konservasi tanah harus disesuaikan dengan keadaan sosial ekonomi
setempat (misalnya status pemilikan tanah, tenaga kerja, penghasilan rumah tangga).
Tindakan konservasi yang mudah diterima petani adalah tindakan yang memberi
keuntungan jangka pendek dalam bentuk peningkatan hasil panen dan peningkatan
pendapatan, terutama untuk petani yang status penguasaan lahannya tidak tetap.
Kegiatan konservasi yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani dengan
fasilitasi penyuluh. Petani paling berhak mengambil keputusan untuk kegiatan yang
akan dilakukan pada lahan mereka.
Jangan melakukan tindakan konservasi kalau belum dimengerti apa masalah yang
akan dipecahkan dan apa manfaat tindakan tersebut.
Sumber: Fahmudin Agus dan Widianto (2004). “Petunjuk Praktik Konservasi Tanah
Pertanian Lahan Kering “. Bogor: World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Hal
6 -7
PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU
(DRAFT FINAL SEKRETARIAT TKPSDA 2003)
BAB I PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya
terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai
pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul
beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan
pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini
bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor,
erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya
dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian
besarnya.
Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi
biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap
ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh
pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya
dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement).
Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya adanya ketidakterpaduan
antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS
tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang
kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa
dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah
berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada.
Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS
yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki
kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu.
Tujuan penyusunan pedoman ini adalah terbentuknya persamaan persepsi dan langkah dalam
melaksanakan pengelolaan DAS sesuai dengan karakteristik ekosistemnya, sehingga
pemanfaatan sumberdaya alam dan upaya konservasinya dapat dilakukan secara optimal,
berkeadilan, dan berkelanjutan. Muara dari keseluruhan upaya pengelolaan DAS yang
optimal ini adalah terjaganya integritas fungsi DAS dan meningkatnya kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Sasaran wilayah pengelolaan DAS adalah wilayah DAS yang utuh sebagai satu kesatuan
ekosistem yang membentang dari hulu hingga hilir. Penentuan sasaran wilayah DAS secara
utuh ini dimaksudkan agar upaya pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu berdasarkan satu kesatuan perencanaan yang telah
mempertimbangkan keterkaitan antar komponen-komponen penyusun ekosistem DAS
(biogeofisik dan sosekbud) termasuk pengaturan kelembagaan dan kegiatan monitoring dan
evaluasi. Kegiatan yang disebutkan terakhir berfungsi sebagai instrumen pengelolaan yang
akan menentukan apakah kegiatan yang dilakukan telah/tidak mencapai sasaran.
a) Pengelolaan ruang melalui usaha pengaturan penggunaan lahan (landuse) dan konservasi
tanah dalam arti yang luas.
b) Pengelolaan sumberdaya air melalui konservasi, pengembangan, penggunaan dan
pengendalian daya rusak air.
c) Pengelolaan vegetasi yang meliputi pengelolaan hutan dan jenis vegetasi terestria l lainnya
yang memiliki fungsi produksi dan perlindungan terhadap tanah dan air.
d) Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia termasuk pengembangan kapasitas
kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, sehingga ikut berperan
dalam upaya pengelolaan DAS.
Beberapa istilah yang perlu dipahami dan disepakati bersama dalam pengelolaan DAS adalah
sebagai berikut:
a) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya yang dibatasi oleh pemisah topografis yang
berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya
melalui ke danau atau ke laut secara alami.
b) Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak
sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS – Sub DAS.
c) Satuan Wilayah Sungai (SWS) adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam
satu atau lebih DAS dan atau satu atau lebih pulau-pulau kecil , termasuk cekungan air bawah
tanah yang berada dibawahnya.
d) Cekungan air bawah tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas
hidrogeologis,
temapat sema kejadian hidrologis seperti proses pengibuhann, pengaliran, pelepasan air
bawah
tanah berlangsung.
e) Pengelolaan DAS adalah upaya manusia di dalam mengendalikan hubungan timbal balik
antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan
tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan manfaat
sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
f) Pengelolaan DAS Secara Terpadu adalah suatu proses formulasi dan implementasi
kebijakan dan kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya buatan
dan manusia dalam suatu DAS secara utuh dengan mempertimbangkan aspek-aspek fisik,
sosial, ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
h) Tata air DAS adalah hubungan kesatuan individual unsur-unsur hidrologis yang meliputi
hujan, aliran permukaan dan aliran sungai, peresapan, aliran air tanah, evapotranspirasi dan
unsur lainnya yang mempengaruhi neraca air suatu DAS.
i) Lahan kritis adalah lahan yang keadaan biofisiknya sedemikian rupa sehingga lahan
tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media
produksi maupun sebagai media tata air.
k) Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) adalah upaya manusia untuk
memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan daya dukung lahan agar berfungsi optimal
sesuai dengan peruntukannya.
a) Terdapat keterkaitan antara berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
pembinaan aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
b) Melibatkan berbagai disiplin ilmu dan mencakup berbagai kegiatan yang tidak selalu
saling mendukung.
c) Meliputi daerah hulu, tengah, dan hilir yang mempunyai keterkaitan biofisik dalam bentuk
daur hidrologi.
Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan yang bersifat
partisipatif dari berbagai pihak – pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan dan
konservasi sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan partisipatif ini mempersyaratkan
adanya rasa saling mempercayai, keterbukaan, rasa tanggung jawab, dan mempunyai rasa
ketergantungan (interdependency) di antara sesama stakeholder. Demikian pula masing-
masing stakeholder harus jelas kedudukan dan tanggung jawab yang harus diperankan. Hal
lain yang cukup penting dalam pengelolaan DAS terpadu adalah adanya distribusi
pembiayaan dan keuntungan yang proporsional di antara pihak – pihak yang berkepentingan.
Dalam melaksanakan pengelolaan DAS, tujuan dan sasaran yang diinginkan harus dinyatakan
dengan jelas. Tujuan umum pengelolaan DAS terpadu adalah :
Mengkaji Daerah Aliran Sungai dewasa ini tidak mungk in hanya didasarkan kepada satu
atau beberapa undang-undang yang sejenis atau sebidang. Daerah aliran sungai harus
dipandang sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh-menyeluruh yang terdiri dari daerah
tangkapan air, sumber-sumber air, sungai, danau, dan waduk, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahpisahkan.
2.1.3 Undang-Undang
a) Keputusan Presiden No. 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber
Daya Air.
b) Keputusan Presiden No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
c) Keputusan Presiden No. 163 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan,
Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara.
d) Keputusan Presiden No. 183 Tahun 2000 tentang Susunan dan Personalia Kabinet.
Kebijakan Dasar:
Penentuan sasaran DAS secara utuh ini dimaksudkan agar upaya penanganan kegiatan yang
direncanakan dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu berdasarkan satu kesatuan
perencanaan yang utuh, sekaligus berkaitan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi DAS
yang ditinjau dari aspek tata air, penggunaan lahan, sosial ekonomi dan kelembagaan.
Penyelenggaraan pengelolaan DAS dalam kaitannya dengan penataan ruang (wilayah) dan
penatagunaan tanah dalam rangka otonomi daerah haruslah disesuaikan dengan Undang-
undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut:
a) Kebijakan penatagunaan tanah di tingkat pusat masih diperlukan jika terdapat kewenangan
yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang meliputi perencanaan nasional,
pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi
negara, lembaga perekonomian negara, pendayagunaan sumberdaya alam, pembinaan dan
pemberdayaan sumberdaya manusia, kebijakan teknologi tinggi yang strategis, konservasi
dan kebijakan standarisasi nasional.
b) Kebijakan penatagunaan tanah di tingkat propinsi sebagai daerah otonom masih diperlukan
jika ada kewenangan yang berkaitan dengan : (i ) kebijakan di bidang pemerintahan yang
bersifat lintas kabupaten dan kota, serta (ii) kewenangan bidang-bidang tertentu lainnya,
yaitu: perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro; pelatihan bidang
tertentu, alokasi sumberdaya manusia, dan penelitian yang mencakup wilayah propinsi;
pengendalian lingkunga n hidup; promosi dagang dan budaya/pariwisata; dan perencanaan
tata ruang propinsi. Di samping itu juga diperlukan keberadaan kebijakan penatagunaan tanah
di tingkat propinsi dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, dimana kewenangan pemerintah
pusat dilimpahkan kepada Gubernur.
c) Kebijakan penatagunaan tanah pada tingkat kabupaten dan kota yang mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam kedua-dua butir di
atas.
Dengan kata lain, pemerintah pusat mempunyai wewenang pengaturan, pengarahan melalui
penerbitan berbagai pedoman, serta pengawasan dan pengendalian berskala makro.
Pemerintah propinsi mempunyai wewenang bersifat lintas kabupaten/kota, pemberian
perijinan tertentu, penyusunan rencana tertentu serta pengawasan dan pengendalian berskala
meso. Pemerintah kabupaten mempunyai wewenang yang bersifat pemberian perijinan
tertentu, perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan dan pengendalian berskala mikro.
Batas DAS atau Wilayah Sungai tidak selalu bertepatan (coincided) dengan batas-batas
wilayah administrasi. Oleh karena itu, perlu adanya klasifikasi DAS menurut hamparan
wilayahnya dan fungsi strategisnya sebagai berikut:
1. Sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan pengelolaan DAS dan dapat
memberikan komitmen kepada para pihak untuk melaksanakan kegiatan masa depan.
2. Sebagai alat untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar pihak yang terlibat
dalam pengelolaan DAS
3. Sebagai alat untuk pemantauan dan evaluasi keberhasilan kegiatan pengelolaan DAS.
4. Sebagai salah satu unsur atau masukan dalam penyusunan, penijauan kembali dan
atau penyempurnaan rencana tat ruang wilayah.
5. Sebagai bukti akuntabilitas publik bagi instansi yang berwenang dalam penyusunan
rencana
pengelolaan DAS.
Landasan untuk pengelolaan secara menyeluruh suatu DAS berawal dari perencanaan. Oleh
karena itu, tahap perencanaan menyeluruh pengelolaan DAS merupakan bagian strategis
untuk tercapainya muara dari upaya aktivitas pembangunan, yaitu pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development). Sasaran dan tujuan fundamental perencanaan
menyeluruh pengelolaan DAS adalah perbaikan keadaan sosial-ekonomi pihak – pihak yang
berkepentingan dengan tidak mengabaikan keterlanjutan daya dukung dan kualitas
lingkungan. Karena pengelolaan DAS dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas, maka
pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama untuk mewujudkan tujuan dilakukannya
pengelolaan DAS. Tingkat dan intensitas kerjasama tersebut bervariasi dan ditentukan, antara
lain, oleh struktur pemerintahan. Suatu pemerintahan, dimanapun berada, dibentuk untuk
menga tur kehidupan masyarakat termasuk tingkat kesejahteraannya. Oleh karena itu,
pemerintahan yang baik seharusnya dapat mengupayakan agar kesejahteraan tersebut dapat
dirasakan oleh berbagai tingkatan (sosial) yang ada di masyarakat.
Prinsip yang berlaku umum mempersyaratkan bahwa perencanaan yang disiapkan secara
sistematis, logis, dan rasional seharusnya mengarah pada bentuk pengelolaan yang bijaksana
dan implementasi yang efektif. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa proses perencanaan
dan implementasi program akan berlangsung dengan efektif apabila disertai pedoman kerja
yang berisi prinsip-prinsip perencanaan yang, antara lain, terdiri atas:
1. Tujuan atau sasaran utama pengelolaan DAS secara menyeluruh harus dirumuskan
secara jelas dengan disertai mekanisme sistem monitoring dan evalusi yang dilakukan
secara periodik. Dengan demikian, apabila ditemukan adanya dampak lingkungan
yang cukup serius dapat segera ditangani. Seluruh usulan kegiatan dan hasil yang
diperoleh harus berorientasi pada kepentingan jangka panjang dan capaian
kesejahteraan yang berkelanjutan.
2. Perlu disiapkan mekanisme administrasi yang efisien dengan fokus perhatian pada
aspekaspek sosial-ekonomi-politik dan kerjasama yang harmonis di antara lembaga-
lembaga (pemerintah dan non-pemerintah) yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
Proses perencanaan DAS harus dilakukan secara terkoordinasi oleh instansi yang
berwenang dengan metoda partisipatif diantara para pihak yang terkait.
3. Pengelolaan menyeluruh DAS diarahkan pada penyelesaian konflik yang muncul di
antara pihak – pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan pembangunan. Pada
kasus ketika terjadi konflik, kompromi yang telah dicapai di antara kelompok yang
mengalami konflik harus dihormati dan dilaksanakan dengan konsisten. Selain
masalah penyelesaian konflik (conflict resolution), pendekatan menyeluruh
pengelolaan DAS juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip upaya pengendalian
dan proses umpan balik yang mengarah pada proses pengambilan keputusan yang
optimal.
4. Rencana yang telah tersusun harus merupakan dokumen publik yang diumumkan
(bisa diakses) secara terbuka oleh masyarakat dan masyarakat berhak menyatakan
keberatan atas rencana yang disusun dalam waktu tertentu. Dengan demikian instansi
berwenang harus melakukan peninjauan kembali terhadap rencana pengelolaan DAS
sebelum ditetapkan oelh pejabat yang berwenang.
Meskipun disadari bahwa proses perencanaan pengelolaan DAS bervariasi tergantung pada
karakteristik sosial, budaya, ekonomi, dan politik lokal, pembahasan tentang proses
perencanaan untuk pengelolaan DAS mengacu pada Gambar 3.3. Dalam proses perencanaan
tersebut dalam Gambar 3.3, kedudukan Pusat Perencanaan sangat penting karena akan
memberikan arah pengelolaan yang akan dituju serta menunjukkan bentuk koordinasi yang
dianggap efektif.
Gambar 3.3 Proses perencanaan pengelolaan DAS
Demikian pula, dipandang perlu bahwa dalam struktur organisasi pengelolaan DAS
seharusnya memberikan peran lebih penting terhadap Komisi Pengelola DAS dan Komite
Penasehat. Tidak kalah pentingnya adalah masukan atau informasi dari masyarakat pada
tingkat lokal dalam proses penyusunan rencana. Peran dan fungsi masyarakat dalam proses
perencanaan harus dinyatakan dan diatur dengan jelas melalui suatu pedoman kebijakan dan
kerangka kerja kelembagaan.
Dalam konteks perencanaan pengelolaan DAS, proses perencanaan pengelolaan DAS
tersebut dalam Gambar 3.3 mempunyai dasar pertimbangan sebagai berikut: pertama, dengan
diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, proses perencanaan
tersebut dalam Gambar 3.3 menjadi relevan karena fokus UU No. 22 adalah memberikan
peranan yang lebih besar terhadap pemerintah daerah dan mitranya di daerah. Salah satu
kewenangan yang dilimpahkan ke daerah dan bersifat strategis adalah penetapan kriteria
penataan perwilayahan ekosistem daerah tangkapan air pada daerah aliran sungai (Bab II
Pasal 2 butir ke 13, PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom).
Dengan aturan seperti diamanatkan oleh PP No. 25, maka pembentukan Pusat Perencanaan
seperti tersebut dalam Gambar 3.3 menjadi sangat relevan. Pertimbangan kedua adalah
dengan semakin meluasnya kehendak masyarakat untuk membuat Undang-Undang tentang
Pengelolaan Sumberdaya Alam yang akan menaungi dan mengendalikan Undang-Undang
pengelolaan sumberdaya alam sektoral yang telah berlaku, misalnya UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan; UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, dan UU No. 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, maka pola perencanaan menyeluruh
pengelolaan DAS tersebut di atas juga menjadi relevan, terutama peran yang akan dimainkan
oleh Komisi DAS Nasional.
Hal yang penting diperhatikan dalam penyusunan rencana pengelolaan DAS adalah bahwa
perencanaan adalah suatu proses berulang (iterative process). Perencanaan tersebut mengatur
langkah-langkah atau aktivitas-aktivitas pengelolaan DAS yang harus dilaksanakan termasuk
rencana monitoring dan evaluasi (monev) terhadap tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Dengan demikian, dapat tercipta suatu mekanisme umpan balik (feedback) terhadap
keseluruhan rencana pengelolaan DAS sehingga dapat dilakukan perbaikan terhadap rencana
yang telah disusun (Gambar 3.1).
Gambar 3.1 Proses berulang (iterative process) perencanaan Pengelolaan DAS
Kegiatan yang diusulkan dalam rencana disamping mendukung pencapaian tujuan kegiatan
pengelolaan DAS, juga harus memberikan gambaran yang jelas tentang:
Apabila hal ini terjadi, diperlukan identifikasi tentang wilayah administratif yang
termasuk/tidak termasuk dalam DAS yang menjadi kajian. Disamping itu, adanya keterkaitan
biofisik antara hulu dan hilir DAS perlu juga dilakukan identifikasi, penentuan lokasi,
kategori dan bentuk aktifitas pihak – pihak yang berkepentingan dalam suatu DAS.
Selanjutnya, dirumuskan kebijakan pengelolaan DAS yang telah mempertimbangkan
mekanisme, regulasi dan pengaturan kelembagaan yang akan menerapkan prinsip-prinsip
insentif dan disinsentif terhadap pihak – pihak yang berkepentingan sesuai dengan kategori
dan kedudukannya dalam perspektif prinsip pembiayaan bersama (cost sharing principle).
Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu DAS dapat
dilaksanakan secara berkelanjutan dengan adanya biaya dari pihak – pihak yang
berkepentingan yang mendapat manfaat sebagai akibat adanya kegiatan tersebut. Dengan
mekanisme ini terjadi interaksi di antara pihak – pihak yang berkepentingan di
daerah hulu, tengah dan hilir DAS.
Perencanaan pengelolaan DAS dapat dibedakan berdasarkan jangka waktu dan tujuannya ke
dalam Rencana Jangka Panjang (15 tahun), Rencana Jangka Menengah (5 tahun) dan
Rencana Jangka Pendek (tahunan).
Rencana jangka panjang bersifat umum dan strategis yang harus menggambarkan rencana
makro pengelolaan DAS terpadu dan memuat karakteristik DAS, permasalahan yang
dihadapi, tujuan, sasaran umum, kebijakan, strategi penanganan pemecahan masalah secara
terpadu. Rencana jangka panjang ini sebaiknya mengandung arahan umum semua sektor
yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti arahan umum penggunaan lahan (tata ruang)
berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan, arahan umum rehabilitasi dan konservasi
tanah, arahan umum pengelolaan sumberdaya air, urutan prioritas penanganan Sub-DAS
dalam DAS yang bersangkutan serta arahan umum pengembangan sosial ekonomi dan
kelembagaan. Rencana pengelolaan DAS terpadu ini merupakan “payung atau pengikat” bagi
rencana-rencana sektoral dalam DAS yang bersangkutan.
Rencana Jangka Menengah lebih bersifat teknis pelaksanaan dari setiap sektor, misalnya
Rencana Induk Pengembangan sumberdaya Air atau Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi
hutan dan lahan (RHL). Rencana Teknik Lapangan RHL ini memiliki output yang meliputi
rekomendasi teknis kegiatan RHL, proyeksi kegiatan tahunan RHL, analisis manfaat
(finansial dan ekonomi), serta rencana monitoring dan evaluasi. Satuan wilayah perencanaan
pada rencana jangka menengah ini bisa berupa DAS yang tidak terlalu luas atau suatu Sub
DAS yang cukup luas dan dipilih sebagai Sub DAS prioritas pada DAS yang sangat luas.
Rencana Jangka Pendek (tahunan) dibuat sangat rinci dan dilengkapi dengan deskripsi jenis,
lokasi, volume, waktu dan biaya kegiatan secara rinci. Jenis rencana jangka pendek misalnya
Rencana Teknik Reboisasi, Rencana Teknik Penghijauan yang biasanya ditindaklanjuti
dengan rancangan kegiatan pembuatan tanaman, pembuatan bangunan-bangunan fisik (check
dam, drop structure, terrace).
Agar rencana yang dibuat dapat mengikat semua pihak yang berkepentingan untuk
mengimplementasikannya, maka penyusunan rencana harus melibatkan semua pihak yang
berkepentingan dan rencana yang dihasilkan harus berkekuatan hukum. Misalnya, rencana
dibuat dalam bentuk Keputusan Presiden atau Peraturan Daerah (Perda). Jika rencana tersebut
tidak dijadikan sebagai Keputusan Presiden atau Peraturan Daerah yang utuh (tersendiri),
maka dalam salah satu pasalnya Rencana tersebut harus tercantum sebagai rujukan dalam
pembangunan wilayah atau pengelolaan sumberdaya alam DAS.
Karena Rencana merupakan salah satu dasar tahap pelaksanaan pengembangan dan
pemanfaatan sumberdaya alam DAS, maka rencana yang telah ditetapkan tersebut harus
didistribusikan dan disosialisasikan kepada semua pihak yang berkepentingan agar dapat
diketahui, dipahami dan kemungkinan adanya penyesuaian sebelum diimplementasikan
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Memprakirakan kondisi yang akan datang berdasarkan data dan informasi yang telah
dikumpulkan telah menjadi kendala bagi para perencana pengelolaan DAS. Data atau
informasi yang akan digunakan untuk menyusun rencana mungkin tidak tersedia sama sekali,
atau kalau tersedia, bisa jadi telah kadaluwarsa, tidak lengkap, atau tidak relevan dengan
materi perencanaan.
Sejumlah ketidakpastian yang berkaitan dengan data dan informasi tampaknya harus dihadapi
dalam proses penyusunan rencana pengelolaan DAS. Ketidakpastian umumnya meliputi data
iklim, masalah teknis, dan ketidakpastian masalah sosial-ekonomi.
Ketidakteraturan pola iklim telah mengakibatkan ketidakpastian prakiraan iklim untuk masa
yang akan datang. Pola curah hujan sangat bervariasi dari tahun ke tahun sehingga seringkali
sulit untuk melakukan prakiraan curah hujan secara tepat. Meskipun sulit untuk melakukan
prakiraan komponen iklim dengan akurasi yang tinggi, tetapi prakiraan pola iklim yang akan
terjadi perlu diantisipasi dan dijadikan pertimbangan dalam menyusun rencana pengelolaan
DAS. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini bahwa penyusunan rencana pengelolaan
DAS sebaiknya tidak didasarkan pada keadaan rata-rata karena adanya variabilitas untuk
masing- masing lokasi.
Ketidakpastian yang bersifat teknis umumnya dijumpai dalam bentuk tidak memadainya
pengetahuan tentang hubungan keterkaitan teknis dalam hal aktivitas pengelolaan DAS.
Informasi yang akurat tentang dampak jenis vegetasi tertentu terhadap erosi di suatu daerah
dengan karakteristik iklim dan tanah tertentu seringkali belum tersedia. Dengan latar
belakang tersebut, dalam banyak hal, tim perencana pengelolaan DAS hanya dapat menduga
keluaran apa yang akan diperoleh dari pengelolaan yang direncanakan, dan dengan demikian,
mereka akan berhadapan dengan ketidakpastian.
Apabila dalam masalah teknis saja dijumpai adanya ketidakpastian, maka kadar
ketidakpastian dalam masalah sosial-ekonomi tentunya menjadi lebih besar. Data dan
informasi yang sering dimanfaatkan untuk perencanaan sosial seperti kekayaan,
kesejahteraan, pendapatan, tingkat pendidikan dan lain sebagainya, untuk tempat-tempat
tertentu, boleh jadi sulit untuk memperolehnya. Dalam keadaan demikian, prakiraan variabel-
variabel sosial untuk waktu yang akan datang akan menghadapi tingkat ketidakpastian yang
lebih besar.
Kekacauan sosial dapat menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi dari suatu
masyarakat. Keadaan ini, pada gilirannya, dapat juga mengacaukan arah kebijakan dan
pengelolaan sumberdaya untuk masa-masa yang akan datang. Ia juga dapat menciptakan
ketidakpastian tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sistem pemilikan tanah dan
beberapa hak lain yang dimiliki oleh masyarakat.
Perencanaan pengelolaan DAS, karena umumnya berkaitan dengan antisipasi kejadian jangka
panjang, maka ia akan lebih banyak menghadapi ketidakpastian. Untuk mengatasi hal
tersebut, berikut ini adalah beberapa strategi untuk menghadapi dan menangani berbagai
bentuk ketidakpastian yang muncul dalam perencanaan seperti disarankan oleh Lundgren
(1983):
Beberapa strategi yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah ketidakpastian dalam
merencanakan proyek pengelolaan DAS tersebut di atas hanyalah beberapa cara yang dapat
dikemukakan. Masih ada cara lain yang dapat dimanfaatkan. Namun demikian, strategi
apapun yang akan digunakan untuk mengatasi masalah ketidakpastian, ada satu tantangan
yang harus dicarikan jalan keluarnya, yaitu bagaimana caranya untuk memasukkan atau
menggabungkan strategi-strategi tersebut dalam kerangka perencanaan pengelolaan DAS.
Selama ini sejumlah kegiatan dan proyek yang berkaitan dengan pengelolaan DAS telah
dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan dan Perkebunan,
Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Departemen
Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Departemen Pertambangan dan Energi dan
pihakpihak lainnya. Masing-masing instansi mempunyai pendekatan yang berbeda dalam
kegiatan pengelolaan DAS baik dalam unit perencanaan maupun implementasinya sehingga
dapat dikatakan bahwa pengelolaan DAS merupakan hal yang sangat kompleks baik ditinjau
dari banyaknya pihak yang terlibat maupun aspek-aspek yang ada di dalam suatu DAS.
Dengan kondisi yang demikian maka dibutuhkan suatu sistem yang dapat menciptakan
percepatan dalam
pengelolaan DAS secara ideal.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
masing-masing lembaga tersebut cenderung bersifat sektoral, dan oleh karenanya, seringkali
terjadi tabrakan kepentingan (conflict of interest) antar lembaga yang terlibat dalam
pengelolaan DAS. Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan, diperlukan klarifikasi
dan identifikasi secara jelas tugas dan wewenang masing-masing lembaga dalam
menjalankan fungsinya. Selain masalah tabrakan kepentingan, masalah lain yang umum
terjadi dalam pengelolaan sumberdaya yang melibatkan banyak lembaga adalah masalah
kerjasama dan koordinasi antar lembaga. Oleh karena itu, pengaturan kelembagaan dan
regulasi yang mengatur mekanisme kerja antar lembaga tersebut harus disiapkan dengan
matang sehingga dapat menghasilkan pola kerjasama dan koordinasi yang optimal.
Menyadari adanya keterbatasan dalam hal kapasitas kelembagaan dan besarnya tingkat
kesulitan dalam melaksanakan pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan DAS, terutama
dalam sistem pengelolaan yang mengandalkan pada pola kerjasama dan koordinasi antar
lembaga, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah:
a) Melakukan identifikasi dan membuat daftar seluruh lembaga dan pihak yang
berkepentingan dalam pelaksanaan pengelolaan DAS termasuk mereka yang diprakirakan
akan terkena dampak atas pelaksanaan program pengelolaan DAS.
b) Melakukan identifikasi tugas dan wewenang masing-masing lembaga dan pihak – pihak
yang berkepentingan tersebut.
c) Merumuskan bentuk lembaga atau badan pengelola DAS yang sesuai dengan karakteristik
biogeofisik dan sosekbud serta letak geografis DAS.
Pelaksanaan pengelolaan DAS lazimnya melibatkan lebih dari satu lembaga (pemerintah dan
non-pemerintah) pelaksana. Untuk masing-masing lembaga (pemerintah) di dalamnya terbagi
lagi menjadi direktorat-direktorat yang mempunyai kewenangannya masing-masing. Oleh
karena itu, dalam perencanaan pengelolaan DAS harus secara jelas disebutkan fungsi pokok
termasuk kewenangan dan tanggung jawab masing-masing organisasi pelaksana pengelolaan
DAS. Secara spesifik, peran masing-masing organisasi/lembaga tersebut dalam implementasi
program pengelolaan DAS termasuk kegiatan monitoring dan evaluasi harus secara jelas
disebutkan.
Dalam pengelolaan DAS, ada lembaga tertentu memiliki tanggung jawab khusus untuk suatu
wilayah pengelolaan, misalnya pengurusan konservasi tanah dan air di areal hutan menjadi
tanggung jawab Departemen Kehutanan dan Perkebunan (c.q. Balai Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah). Konservasi tanah dan air di lahan-lahan milik di lokasi yang berdekatan
dengan hutan menjadi tanggung jawab Departemen Dalam Negeri (Dinas Perhutanan dan
Konservasi Tanah). Demikian pula, pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam satu
atau lebih departemen dapat berbeda-beda, misalnya ada bagian yang menangani irigasi,
pengendalian banjir, pembangkit listrik tenaga air (hydropower), perikanan, pariwisata, dan
seterusnya.
b) Identifikasi wilayah kewenangan masing- masing lembaga/ organisasi tersebut pada butir
a).
c) Tentukan suatu mekanisme koordinasi dan kooperasi antar lembaga pengelola DAS yang
bersifat menyeluruh dari hulu hingga hilir DAS serta mencakup keseluruhan
lembaga/organisasi yang terlibat dalam pengelolaan DAS termasuk kewenangan
masingmasing lembaga/organisasi berdasarkan fungsinya.
Bentuk lembaga pengelola DAS dalam arti mempunyai tugas operasional dapat dipilih dari
tiga bentuk lembaga sebagai berikut:
1. Badan Koordinasi
Sebagai koordinator adalah instansi yang berwenang mengkoordinasikan
penyelenggaraan pengelolaan DAS. Pelaksana operasional dan pemeliharaan
dilaksanakan oleh instansi fungsional terkait.
2. Badan Otorita
Badan ini dibentuk oleh pemerintah sebagai pelaksana dengan tugas mengurus dan
mengusahakan pemberdayaan Daerah Aliran Sungai dengan kebijakan-kebijakan
yang ditetapkan oleh Dewan Air (Komisi DAS).
3. Badan Usaha
Badan Usaha (dalam bentuk BUMN atau BUMD) dibentuk oleh pemerintah atau
Pemerintah Daerah yang ditugasi mengusahakan DAS sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh Dewan Air (Komisi DAS).
Keanggotaan Komisi DAS tersebut terdiri atas wakil seluruh pihak – pihak yang
berkepentingan, yaitu:
Telah disebutkan di muka bahwa argumentasi perlunya pengelolaan terpadu DAS adalah
karena pengelolaan DAS mempersyaratkan pendekatan ekosistem. Pendekatan ekosistem
adalah kompleks karena melibatkan multi-sumberdaya (alam dan buatan), multi-
kelembagaan, multipihak yang berkepentingan, dan bersifat lintas batas (administratif dan
ekosistem). Dalam konteks Indonesia, pola pengelolaan DAS yang akan diterapkan masih
bertumpu pada mekanisme koordinasi dan kooperasi. Oleh karenanya, koordinasi dalam
pengelolaan DAS menjadi elemen penting untuk terlaksananya pengelolaan DAS secara
optimal. Pada bagian ini secara ringkas akan dikemukakan prinsip-prinsip pengembangan
sistem koordinasi pengelolaan terpadu DAS.
Sistem koordinasi pengelolaan DAS sebelum taun 2001 diatur dalam Keppres no 9 tahun
1999 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan
Pemeliharaan Kelestarian Daerah aliran Sungai. Akan tetapi Keppres tersebut diganti dengan
Kepres No.123 Tahun 2001 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sunmber
Daya Air. Dalam Keppres 123 tersebut ditentukan bahwa Ketua Tim Koordinasi adalah
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Wakil Ketua adalah Menteri Negara Perncnaan
Pembangunan Nasional dan Ketua Harian adalah Menteri Pemukiman dan Prasarana
Wilayah. Sedangkan anggotanya adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Lingkungan
Hidup/Kepala Bapedal, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perhubungan,
Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian dan Perdagangan, dan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Tim Koordinasi Sumber Daya Air bertugas membantu Presiden dalam merumuskan
kebijakan nasional sumberdya air dan berbagai perangkat kebijakan lain yang diperlukan
dalam bidang sumberdaya air. Untuk melaksanakan tugas tersebut Tim Koordinasi
mempunyai fungsi :
b. Melakukan konsultasi internal dan eksternal dengan semua pihak baik pemerintah maupun
non-pemerintah dalam rangka keterpaduan kebijakan dan pencegahan konflik antar sektor
dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya air;
Penyelenggaraan tugas dan fungsi Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air sehari-hari
dilaksanakan oleh Ketua Harian dibantu oleh Sekretariat Tim Koordinasi Pengelolaan
Sumberdaya Air yang diketuai oleh Sekretaris I Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya
Air yaitu Deputi Bidang Produksi, Perdagangan dan Prasarana, Bappenas. Sekretariat Tim
koordinasi ini terdiri dari Tim Pengarah, Tim Pelaksana dan Tim Kerja yang keanggotaannya
terdiri dari unsur-unsur pemerintah dan non-pemerintah.
Fungsi koordina si adalah proses pengendalian berbagai kegiatan, kebijakan, atau keputusan
berbagai organisasi/lembaga sehingga tercapai keselarasan dalam pencapaian tujuan-tujuan
dan sasaran-sasaran umum yang telah disepakati bersama. Dengan kata lain, pengertian
koordinasi mencakup dua aspek penting, yaitu: (a) koordinasi kebijakan dan (b) koordinasi
kegiatan atau program.
Koordinasi kebijakan secara umum menyerupai koordinasi dalam perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan. Telah disinggung di muka bahwa pengelolaan DAS melibatkan
beberapa departemen sektoral yang masing-masing departemen membuat kebijakan
pengelolaan sumberdaya sesuai dengan kepentingan sektornya masing-masing. Keadaan ini
mengakibatkan terjadinya tumpang-tindih kebijakan dan bahkan tabrakan kepent ingan antar
departemen sektoral.
b) Koordinasi strategis, lebih diarahkan kepada upaya penyelarasan antara suatu kebijakan
tertentu dengan kepentingan strategis pencapaian tujuan umum yang telah disepakati
bersama.
Koordinasi program secara umum lebih berkaitan dengan koordinasi kegiatan administrasi.
Secara khusus koordinasi program dibedakan menjadi:
Mengacu pada Kepres No. 123 Tahun 2001 dan Rancangan Undang-Undang Sumberdaya Air
(sedang disiapkan), maka koordinasi pengelolaan DAS untuk tingkat nasional adalah bagian
dari fungsi dan tugas pokok Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air karena DAS
dikategorikan sebagai bagian sumber air selain Waduk, Rawa, dan badan sungai itu sendiri.
Dengan fungsi dan tugas serta struktur tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa Tim
Koordinasi beserta pelaksananya di lapangan dapat klasifikasikan sebagai pelaksana dalam
pelaksanaan pengelolaan terpadu DAS. Sedangkan menurut Rancangan Undang-Undang
Sumberdaya Air, Komisi DAS Nasional secara struktural berada di bawah koordinasi Dewan
Nasional Sumberdaya Air. Komisi DAS yang terdiri atas para pihak – pihak yang
berkepentingan merupakan gabungan dari wakil masyarakat, pakar (universitas), masyarakat
industri/bisnis, anggota parlemen bersifat sebagai pengguna/pemanfaat sumberdaya air.
Dengan anggota dan kedudukan tersebut di atas, maka Komisi DAS dapat dikategorikan
sebagai pengawas ?.
Mekanisme kerja antara Tim Koordinasi dan Komisi DAS bersifat kemitraan dimana dalam
proses penyusunan kebijakan, kriteria/standar, pedoman, Tim Koordinasi akan
mendiskusikannya dengan Komisi DAS Nasional. Dengan demikian, hasil penyusunan
kebijakan, pedoman, kriteria/standar dapat diterima semua pihak yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS.
Hubungan kerja Tim Koordiansi Pengelolaan Sumberdaya Air Nasinal dengan Tim
Koordiansi tingkat Daerah bersifat konsultatif dan koordinatif.
Secara sederhana partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai upaya terencana untuk
melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Partisipasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana pihak yang akan memperoleh
dampak (positif dan/atau negatif) ikut mempengaruhi arah dan pelaksanaan kegiatan, tidak
hanya menerima hasilnya.
a) Bentuk Partisipasi
Bentuk partisipasi masyarakat dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu partisipasi
dalam:
1. Tahap pembuatan keputusan. Dalam hal ini, sejak awal masyarakat telah dilibatkan
dalam proses perencanaan dan perancangan kegiatan serta dalam pengambilan
keputusan atas rencana yang akan dilaksanakan.
2. Tahap implementasi. Keterlibatan masyarakat juga diupayakan pada tahap
pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian, masyarakat dapat mengontrol bagaimana
kegiatan dilaksanakan di lapangan.
3. Tahap evaluasi. Evaluasi secara periodik umumnya dilaksanakan pada tahap
pelaksanaan dan pada akhir pelaksanaan kegiatan.
4. Partisipasi untuk memperoleh manfaat suatu kegiatan.
Ditinjau dari tingkatannya, partisipasi masyarakat dapat dibedakan sebagai berikut: Tingkatan
Partisipasi Lingkup Keterlibatan Derajat Pembagian Wewenang
Untuk mencapai tingkat partisipasi yang tinggi, berikut ini adalah beberapa elemen kunci
yang perlu dipertimbangkan:
c) Metode Partisipasi
Pengelolaan DAS dengan pendekatan partisipatif akan melibatkan beberapa pihak yang
berkepentingan dalam perencanaan maupun implementasinya, diantaranya adalah
masyarakat. Salah satu metode pendekatan partisipatif adalah Participatory Rural Appraisal
(PRA), metoda yang dirancang untuk memungkinkan masyarakat/ responden melakukan
penelitian atas persoalan yang dihadapinya untuk kemudian memecahkan masalah menurut
persepsi dan cara mereka sendiri dengan atau tanpa bantuan pihak lain.
Untuk dapat menjamin kelestarian DAS, pelaksanaan pengelolaan DAS harus mengikuti
prinsip-prinsip dasar hidrologi. Dalam sistem ekologi DAS, komponen masukan utama terdiri
atas curah hujan sedang komponen keluaran terdiri atas debit aliran dan muatan sedimen,
termasuk unsur hara dan bahan pencemar di dalamnya. DAS yang terdiri atas komponen-
komponen vegetasi, tanah, topografi, air/sungai, dan manusia berfungsi sebagai prosesor.
Berikut ini adalah kegiatan yang relevan dengan pengelolaan DAS untuk menjamin
kelestarian serta adanya peran para pengelola yang terlibat.
5.1 Pengelolaan Daerah Tangkapan Air (catchment area)
Sesuai dengan rencana makro, rencana kerja jangka menengah dan tahunan konservasi
Daerah Tangkapan Air (DTA/catchment area), Dinas/instansi terkait dan masyarakat, sebagai
pelaksana pengelolaan sumberdaya alam di DAS melaksanakan kegiatan pemanfaatan dan
konservasi DTA.
Bentuk kegiatan pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam di DTA diutamakan untuk
meningkatkan produktivitas lahan dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi
masyarakat dan sekaligus memelihara kelestarian ekosistem DAS. Kegiatan tersebut
dilakukan melalui tataguna lahan (pengaturan tataruang), penggunaan lahansesui dengan
peruntukannya (kesesuaian lahan, rehabilitasi hutan dan lahan yang telah rusak, penerapan
teknik-teknik konservasi tanah, pembangunan struktur untuk pengendalian daya rusak air,
erosi dan longsor. Dilakukan pula kegiatan monitoring kondisi daerah tangkapan air dan
evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pengelolaan DAS.
Menyiapkan rencana induk pengembangan sumberdaya air termasuk di dalamnya neraca air,
yang melibatkan berbagai instansi terkait serta melaksanakan pembangunan prasarana
pengairan (sesuai dengan penugasan yang diberikan) dalam rangka mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya air.
b. Prediksi Kekeringan
c. Penanggulangan Kekeringan
Memberikan rekomendasi teknis atas penerbitan ijin penggunaan air dengan memperhatikan
optimasi manfaat sumber daya yang tersedia.
e. Alokasi Air
Menyusun konsep pola operasi waduk/alokasi air untuk mendapatkan optimasi pengalokasian
air.
f. Distribusi Air
Melakukan pengendalian distribusi air bersama Dinas/Instansi terkait dengan bantuan
telemetri untuk melaksanakan ketetapan alokasi air.
Bersama Dinas/Instansi terkait menyiapkan rencana induk dan program kerja jangka
menengah dan tahunan pengendalian pencemaran air dan peningkatan kualitas air.
Berdasarkan rencana induk, melakukan pemantauan dan pengendalian kualitas air yang
melibatkan berbagai instansi terkait. Pemantauan dilakukan secara periodik (baik kualitas air
sungai maupun buangan limbah cair yang dominan) dan melaksanakan pengujian
laboratorium serta evaluasi terhadap hasil uji tersebut. Rekomendasi diberikan kepada
Pemerintah Daerah (Gubernur maupun Bapedalda) dalam upaya pengendalian pencemaran
air, penegakan aturan dan peningkatan kualitas air sungai.
Berdasarkan pola operasi waduk dan/atau kondisi lapangan, dapat disediakan sejumlah debit
pemeliharaan sungai setelah mendapatkan pengesahan alokasi dari Dewan DAS Propinsi.
a. Pemeliharaan Preventif
Melakukan pemeliharaan rutin, berkala dan perbaikan kecil untuk mencegah terjadinya
kerusakan prasarana pengairan yang lebih parah.
b. Pemeliharaan Korektif
Melakukan perbaikan besar, rehabilitasi dan reaktifikasi dalam rangka mengembalikan atau
meningkatkan fungsi prasarana pengairan.
c. Pemeliharaan Darurat
Melakukan perbaikan sementara yang harus dilakukan secepatnya karena kondisi
mendesak/darurat (karena kerusakan banjir dsb- nya).
Melakukan pengamatan instrumen keamanan bendungan (phreatic line, pore pressure dan
lainlain) serta menganalisis hasil pengamatan tersebut untuk mengetahui adanya penurunan
(settlement), rembesan (seepage) atau perubahan ragawi lainnya terhadap bendungan.
Melakukan pemantauan dan pengolahan data hidrologis, membuat prediksi iklim, cuaca dan
banjir dengan menggunakan fasilitas telemetri dan bantuan simulasi komputer yang
dihubungkan dengan basis data nasional dan internasional.
Menyiapkan pedoman siaga banjir yang berlaku sebagai SOP (Standard Operation Procedure)
pengendalian banjir yang dipergunakan oleh seluruh instansi terkait. Pengendalian banjir
dilakukan melalui pengaturan operasi waduk untuk menampung debit banjir, dan pengaturan
bukaan pintu air guna mendistribusikan banjir sehingga dapat dikurangi/dihindari dari
bencana akibat banjir.
c. Penanggulangan Banjir
Bersama instansi terkait melakukan perbaikan atas kerusakan akibat terjadinya bencana banjir
yang tidak terelakkan.
Bersama dinas/instansi terkait menyusun penetapan garis sempadan dan rencana peruntukan
lahan daerah sempadan sungai sesuai dengan Rencana detail Tata Ruang Daerah dalam
rangka pengamatan fungsi sungai.
Mengupayakan peningkatan kondisi sungai yang kondusif untuk pertumbuhan biota air.
Mengembangkan pemanfaatan sungai dan waduk untuk keperluan wisata, olah raga, dan
transportasi air bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.
c. Penyuluhan dan transfer teknologi untuk menunjang program pertanian konservasi dan
peningkatan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pengelolaan DAS.
d. Pengembangan berbagai bentuk insentif (rangsangan) baik insentif langsung maupun tidak
langsung, dalam bentuk bantuan teknis, pinjaman, yang dapat memacu peningkatan produksi
pertanian dan usaha konservasi tanah dan air.
f. Memonitor dan evaluasi terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat, serta tingkat
kesadaran masyarakat dalam ikut berperan serta dalam pengelolaan DAS.
Selain sebagai sistem ekologi yang bersifat kompleks, DAS juga dapat dianggap sebagai
sistem hidrologi. Sebagai suatu sistem hidrologi, maka setiap ada masukan (input) ke dalam
sistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan melihat
keluaran (output) dari sistem. Dalam sistem hidrologi DAS, komponen masukan terdiri atas
curah hujan sedang komponen keluaran terdiri atas debit aliran dan muatan sedimen,
termasuk unsur hara dan bahan pencemar di dalamnya. DAS yang terdiri atas komponen-
komponen vegetasi, tanah, topografi, air/sungai, dan manusia dalam hal ini berlaku sebagai
prosesor.
Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena
mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini, antara
lain, dari segi fungsi tata air. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan/atau cara bercocok
tanam yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam
bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transpor sedimen serta material terlarut lainnya.
Oleh adanya bentuk keterkaitan daerah hulu- hilir seperti tersebut di atas, maka kondisi
biofisik dan sosek suatu DAS dapat dimanfaatkan sebagai variabel monitoring dan evaluasi
pengelolaan sumberdaya air. Lebih spesifik, hubungan antara indikator masukan (a.l., curah
hujan) dan indikator keluaran (a.l., debit aliran, muatan sedimen, bahan pencemar) dari suatu
DAS dapat dimanfaatkan untuk analisis dampak suatu aktivitas pembangunan terhadap
lingkungan (hidrologi) di lokasi berlangsungnya aktivitas pembangunan (on-site) dan,
terutama pengaruhnya di daerah hilir (off-site).
Untuk memperoleh data dan informasi yang dapat memberikan gambaran menyeluruh
mengenai perkembangan keragaan DAS, maka diperlukan kegiatan monitoring dan evaluasi
DAS, yang ditekankan pada aspek tata air, perubahan penggunaan lahan dan sosial ekonomi.
Tujuan utama monitoring dan evaluasi adalah memperoleh data dan informasi kondisi
sumberdaya DAS yang dapat dimanfaatkan dalam penetuan kebijakan, perencanaan dan
pelaksanaan program pengelolaan DAS, terutama pola pengelolaan yang bersifat
holistik/integratif mencakup wilayah hulu-hilir DAS. Program monitoring dan evaluasi juga
dianggap penting mengingat bahwa masih banyak pengambil keputusan dalam pengelolaan
DAS yang belum menyadari bahwa solusi bagi kebanyakan permasalahan DAS adalah
dengan memanfaatkan hasil monitoring dan evaluasi dalam sistem perencanaan pengelolaan
DAS.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pada banyak kasus, kebijakan pengelolaan DAS
termasuk penyusunan prioritas penanganan masalah yang timbul sebagai akibat aktivitas
pengelolaan belum banyak memanfaatkan data yang berasal dari program monitoring dan
evaluasi. Apabila dalam rencana program pengelolaan DAS telah disertai dengan program
monitoring dan evaluasi, seringkali data/informasi yang dikumpulkan tidak secara langsung
berkaitan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan kebijakan pengelolaan
yang telah dan akan dirumuskan. Oleh karena itu, diperlukan sistem monitoring dan evaluasi
termasuk sistem manajemen data.
Monitoring tata air salah satunya dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan kuantitas,
kualitas dan kontinuitas aliran air dari DAS/Sub-DAS bersangkutan setelah dilaksanakan
kegiatan atau program-program pengelolaan DAS.
a) Data curah hujan; diperoleh dari stasiun pencatat hujan yang ada di wilayah kerja.
b) Data besarnya aliran air sungai (debit sungai) diperoleh dari outlet DAS/Sub DAS.
c) Data kualitas air terutama kandungan lumpur terlarut (suspended sediment).
Evaluasi tata air didasarkan pada hasil analisis terhadap debit sungai maksimum dan
minimum hingga dapat diketahui nilai koefisien rejim sungai (KRS)-nya, hasil perhitungan
muatan sedimen sungai sehingga dapat dipakai untuk memperkirakan erosi yang terjadi,
membandingkan antara debit sungai dengan curah hujan, sehingga dapat diketahui perubahan
koefisien run-off dari tahun ke tahun.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh dan hubungan
timbal balik antara faktor-faktor sosial ekonomi dengan kondisi sumberdaya alam (tanah dan
air) di dalam DAS. Data yang dikumpulkan dalam monitoring sosial ekonomi mencakup
kependudukan dan aspek sosial ekonomi seperti pendapatan, perilaku, pendidikan, persepsi,
dan mata pencaharian. Sasaran yang ingin dicapai adalah mengetahui perubahan kondisi
sosial ekonomi sebelum ada program pengelolaan DAS dan setelah adanya kegiatan-
kegiatan pengelolaan sumberdaya alam seperti rehabilitasi hutan dan lahan baik secara
vegetativ maupun secara sipil teknis.
Kegiatan evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan ataupun kegagalan dan aktivitas
pengelolaan DAS baik dari aspek fisik, sosial ekonomi, maupun kelembagaan. Tujuan
evaluasi DAS untuk menilai tingkat kinerja dan keragaan (performance) pengelolaan DAS.
Tolok ukur yang dipakai untuk penilaian adalah perubahan yang terjadi pada aspek-aspek
tersebut, sejak saat perencanaan dan setelah implementasi, yang antara lain meliputi :
a) Perubahan karakteristik hidrologi DAS, seperti debit rata-rata, debit puncak, maksimum
dan minimum, koefisien limpasan, produksi dan kualitas air, sedimen terangkut yang keluar
dari DAS.
b) Perubahan tataguna lahan yang mencakup perubahan pemanfaatan lahan, dari segi
produksinya dan juga tingkat konservasinya.
Kriteria pengelolaan terpadu Daerah Aliran Sungai adalah ukuran yang menjadi dasar
penilaian tingkat keberhasilan dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengendalian dalam optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dalam DAS yang berkelanjutan.
Indikator pengelolaan DAS yang berkelanjutan adalah alat pemantau yang dapat memberikan
petunjuk untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pengelolaannya.
Dalam pedoman pengelolaan DAS, kriteria dan indikator kinerja DAS perlu ditentukan
karena keberhasilan maupun kegagalan hasil program pengelolaan DAS dapat dimonitoring
dan dievaluasi melalui kriteria dan indikator yang ditentukan khusus untuk maksud tersebut.
Perlu ditekankan bahwa kriteria dan indikator yang diusulkan seharusnya bersifat sederhana
dan cukup praktis untuk dilaksanakan, terukur, dan mudah difahami terutama oleh para
pengelola DAS dan pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap program pengelolaan
DAS. Tabel 7.1 menunjukkan kriteria dan indikator untuk menentukan kinerja DAS.
Penetapan kriteria dan indikator kinerja DAS diupayakan agar relevan dengan tujuan
penetapan kriteria dan indikator dan diharapkan mampu menentukan bahwa program
pengelolaan DAS dianggap berhasil atau kurang/tidak berhasil. Dengan kata lain, status atau
“kesehatan” suatu DAS dapat ditentukan dengan menggunakan kriteria-kriteria kondisi tata
penggunaan lahan, sosialekonomi, dan kriteria kelembagaan. Tabel 7.1. menunjukkan kriteria
dan indikator yang digunakan untuk menentukan status “kesehatan” DAS termasuk parameter
yang digunakan.
Pada Tabel 7.1. untuk menentukan kinerja suatu DAS dari aspek tata air, maka diperlukan
indikator- indikator: debit aliran, kandungan sedimen dan bahan pencemar lainnya, dan
nisbah hantar sedimen (Sediment Delivery Ratio). Untuk masing- masing indikator tersebut
di atas, ditentukan parameternya, misalnya parameter untuk debit aliran sungai adalah data
serial debit aliran sungai. Dengan cara yang sama, kinerja suatu DAS ditentukan berdasarkan
kriteria-kriteria penggunaan lahan, kriteria sosial-ekonomi, dan kriteria kelembagaan.
7.2 Kriteria Pengelolaan DAS
a Ekosistem
b Kelembagaan
c Teknologi
d Pendanaan
Kriteria untuk perencanaan yang disusun dalam rangka pengelolaan terpadu DAS terdiri
dari :
Pengorganisasian dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS lebih efektif dan
efisien, dalam arti masing-masing pihak yang terlibat dapat menjalankan tugasnya dengan
baik dan bertanggungjawab. Untuk itu diperlukan kriteria manajemennya, yaitu :
Uraian di atas menunjukkan bahwa kriteria dan indikator memainkan peran penting bagi
tercapainya pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Uraian kriteria dan indikator yang lebih
lengkap dan menyeluruh ditunjukkan oleh Tabel 7.2.
Tabel 7.2 menunjukkan bahwa pengelolaan DAS yang berkelanjutan mempersyaratkan
dipenuhinya kriteria dan indikator untuk setiap komponen/aktivitas pengelolaan DAS yang
terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, implementasi, dan monitoring dan evaluasi
(monev). Untuk masing-masing komponen pengelolaan DAS tersebut di atas, kriteria yang
digunakan dan dianggap relevan untuk menentukan tercapainya pengelolaan DAS yang
berkelanjutan adalah: ekosistem, kelembagaan, teknologi, dan pendanaan.
Kunci Penyelesaian Permasalahan
Pengelolaan DAS di Daerah Riau
0 Comments
560Views
unri.ac.id “Akibat dari penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), maka akan
dapat berdampak pada intensitas terjadinya banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan
kekeringan. Lebih lanjut, akibat dari dari penurunan kualitas DAS ini, juga berdampak pada
terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat.” Demikian yang disampaikan
Prof Dr Ir Aras Mulyadi DEA, Rektor Universitas Riau (UR) saat membuka seminar
Nasional pengelolaan daerah aliran sungai secara terpadu,” Senin (27/11) di Aula Hotel
Premiere Pekanbaru.
Kegiatan yang ditaja Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) UR
ini membahas tentang implementasi pengendalian kerusakan daerah tangkap air sebagai
upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem. “Terbukti bahwa kerusakan DAS saat ini,
banjir yang terjadi di kota-kota semakin bertambah. Yang kita ketahui semakin banyak
insinyur, profesor tentang sumber daya air tapi banjirnya semakin besar. Itu salah siapa
adalah salah kita semua. Tidak ada keterpaduan antar sektor itulah penyebabnya.
Permasalahan ini sudah merata. Di Riau sediri, ada empat sugai besar pengelolaan DAS ini
secara terpadu,” jelas Guru Besar Pada Fakultas Perikanan dan Kelautan UR ini
mengungkapkan.
“Yang kita ketahui, dulu empat sungai yang ada di Propinsi Riau sangat berperan penting
bagi daerah bersangkutan. Berbagai kegiatan yang dilakukan disini, seperti perdagangan dan
lain-lain yang terjaga ekosistemnya, tetapi sekarang sudah berubah menjadi rusak. Berbagi
aktivas dilakukan di aliran air tersebut, seperti perkebunan dan ada juga kegiatan
penambangan emas ilegal yang berlangsung lama dan mengakibatkan percemaran ekosistem
yang sangat memeperhatikan,” ungkap Rektor.
“DAS terdiri dari tiga komponen yaitu sungai, sempadan sungai dan kawasan sungai. Pada
kawasan sungai banyak tangan yang menangani dari tata ruang, arsitektur dan institusi lain.
Dulu banjir terjadi di sungai dataran rendah, tetapi sekarang ini banjir juga terjadi di lahan
dataran tinggi. Jadi memang permasalahan pengelolaan DAS kita ini sangat komplek.
Harapan kita, melalui seminar nasional ini, bisa menjadi media kebersamaan dan harmonisasi
antar instansi pengelola DAS, karena hanya dengan kebersamaan dan harmonisasilah
permasalahan pengelolaan DAS bisa diselesaikan,” jelas Rektor.
Lebih lanjut, Aras, menyampaikan pertemuan ini juga dapat menjadi wadah dalam bertukar
pikiran tentang pengelolaan sugai secara terpadu, sehingga dapat melahirkan berbagai ide
untuk mengatasi permasalahan DAS. “Seminar ini sangat penting karena pembahasan ini
sangat jarang dimunculkan. Inilah bukti cinta kita terhadap lingkungan hidup untuk
meningkatkan penjagaan lingkungan serta kelesetarian ekosistem,” kata Aras.
Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) se-Indonesia, Dr Dadang Dewata MSi,
menyampaikan kondisi empiris DAS mensyaratkan bahwa pengelolaan DAS harus dilakukan
secara terpadu dan memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) serta
keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatannya. “Sebagai kawasan yang dimanfaatkan
untuk berbagai sektor pembangunan, maka DAS memiliki kompleksitas isu, permasalahan,
peluang dan tantangan. Dewasa ini, permasalahan, peluang dan tantangan pengelolaan DAS
bertumpu pada pengelolaan sumberdaya alam di DAS yang melampaui kapasitas atau tidak
ramah lingkungan, sehingga mendorong terjadinya konflik kepentingan dan kurang
keterpaduan antar sektor serta antar wilayah hulu-hilir. Dengan demikian Pengelolaan DAS
tidak bisa lagi melalui pendekatan sektoral, tetapi harus mengedepankan prinsip
keterpaduan,” jelas Dadang.
“Seminar nasional ini mampu menjawab permasalahan pengelolaan DAS, antara lain
keterbatasan lahan, kemiskinan dan kelestarian sumberdaya alam. Selain hal tersebut seminar
ini bisa memberikan formulasi arah kebijakan pengelolaan DAS di masa yang akan datang,
sehingga pengelolaan DAS berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan
dukungan IPTEK yang memadai,” terang Dadang.
Pada kesempatan tersebut, terdapat empat orang sebagai keynote speech yaitu Ir Mintarjo
MMA (Direktur Perbenihan Tanaman Hutan Ditjen PDASHL KLHK RI), Prof Dr Ir
Widradmaka DAA (Institut Pertanian Bogor), Prof Dr Wery Darta Taifur (Universitas
Andalas), dan Prof Dr Almasdi Syahza SE MP (UR).
Dalam rangkaian Seminar Nasional ini, juga dilakukan penandatanganan Nota kesepahaman
(MoU) Pembagunan Hutan Serbaguna Muchtar Lutfi antara Universitas Riau dengan Dirjen
PDASHL KLHK dan dilanjuti dengan penandatanganan prasasti pembagunan hutan
serbaguna Muchtar Lutfi Universitas Riau. (wendi. foto: rizki) ***
MEMILIKI luas sekitar 112.000 hektar, Taman Hutan Rakyat Sultan Adam di Kalimantan
Selatan disebut-sebut sebagai yang terluas di Indonesia. Kawasan ini tidak saja menjadi
wahana konservasi dan pendidikan, tetapi juga jadi tujuan wisata. Matahari, pekan lalu, terik
sinarnya. Namun, Ari (35) bersama Ade (40) dan istrinya, Rossie (39), tetap semangat
mengayuh sepeda gunung. Mengenakan peranti keselamatan lengkap, termasuk sarung
tangan dan helm, mereka menyusuri jalanan menanjak sambil sesekali menebar pandang ke
sekeliling. Ketiga warga Banjarmasin, Kalsel, itu mengaku minimal sekali dalam sepekan
bermain sepeda di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Sultan Adam karena dekat dan kondisi
alamnya mendukung. Bersama rekan lain yang tergabung dalam komunitas Adrenalin Flash
Banjarmasin, mereka datang ke tempat itu memakai mobil. Sepeda baru dinaiki saat tiba di
lokasi. Tahura menyediakan hampir semua trek panas (hot track), mulai dari cross country
hingga down hill. Mereka yang ingin memperkuat otot kaki juga bisa menyusuri jalanan
menanjak sepuas hati. Apalagi, di beberapa titik terdapat titik menarik yang bisa dinikmati
sambil berhenti sejenak. ”Treknya bagus meski belum permanen,” ucap Ari. Kolam Belanda
Ari dan kawan-kawan hanyalah salah satu kelompok pengunjung yang datang ke tahura,
Sabtu pekan lalu. Beberapa ratus meter di atas mereka terdapat beberapa pengunjung yang
menikmati minuman di warung semipermanen. Di dekatnya ada dua anak muda yang
berenang di segarnya air Kolam Belanda. Dinamai Kolam Belanda karena berdasar cerita
kolam berukuran 15 meter x 20 meter itu dibuat oleh Belanda. Tidak jauh dari tempat itu, ke
arah puncak Bukit Babaris terdapat ”benteng” Belanda, berupa fondasi bekas bangunan
perumahan. Air kolam itu jernih karena terhubung dengan mata air di atasnya. Semua itu
berada di daerah yang dinamakan Mandi Angin. Mandi Angin menjadi salah satu kawasan
yang paling banyak dituju pengunjung. Di tempat ini terdapat sejumlah fasilitas, seperti bumi
perkemahan, kegiatan luar ruang (outbound), tempat bermain anak, air terjun dengan tinggi
sekitar 20 meter, dan tempat penangkaran rusa sambar (Cervus unicolor). Pengunjung yang
selama ini hanya mendengar keberadaan rusa sambar, salah satu satwa penghuni kawasan
Pegunungan Meratus, dari cerita bisa melihat wujudnya dari dekat. Ukurannya lebih besar
dari kambing dengan mahkota tanduk panjang bercabang bagi rusa jantan. Maryoto (30),
petugas penangkaran, menuturkan, baru 4 ekor rusa yang menghuni tempat seluas 1 hektar
itu, terdiri dari 2 jantan dan 2 betina. Rusa yang memiliki habitat asli di Kalimantan dan
Sumatera itu sengaja didatangkan dari Kalimantan Tengah. Seekor betina kini telah bunting.
Selain kawasan Mandi Angin, obyek wisata di tahura adalah Waduk Riam Kanan. Waduk
seluas 8.000 hektar itu memiliki pemandangan indah. Di tengah waduk terdapat Pulau Pinus
dan Bukit Batas yang dipenuhi tanaman pinus. Di tepian waduk juga terdapat pembangkit
listrik tenaga air Ir Pangeran Muhammad Noor yang menjadi pendukung kelistrikan Kalsel
dan Kalteng. Tiga fungsi Tahura Sultan Adam memiliki tiga fungsi, yaitu kawasan hutan
lindung Riam Kanan dan Kinain Buak seluas 74.000 hektar, Suaka Margasatwa Martapura-
Pelaihari (36.000 hektar), dan hutan pendidikan Universitas Lambung Mangkurat sekitar
2.000 hektar. Secara administratif, dari luas yang ada, 88.000 hektar masuk Kabupaten
Banjar dan sisanya di Tanah Laut. Tahura yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden
Nomor 52 Tahun 1989 menyimpan kekayaan alam, fauna, dan flora. Selain rusa sambar yang
masih liar, di tempat ini terdapat, antara lain, bekantan (Nasalis larvatus), babi hutan (Sus
vitatus), ayam hutan (Lophura nobilis), kijang (Muntiacus muntjak), dan beruang madu
(Helarctos malayanus). Dari sisi flora, antara lain, ada bilayang putih (Aglaia sp), pampahi
(Ilexsimosa), wangun (Evodia spp), ulin (Eusideroxylon zwageri), dan tarap (Artocarpus
spp). Oleh karena Tahura Sultan Adam berada di kawasan Pegunungan Meratus, terdapat
pula beragam jenis anggrek. Sayang, hewan yang ada sulit terlihat. Jumlah pasti populasinya
pun masih belum ada yang meneliti secara mendalam. Diperkirakan satwa itu berada di
daerah yang kondisi hutannya masih perawan, yakni di perbatasan antara Banjar dan Tanah
Laut serta di sekitar waduk. Seperti tempat konservasi di daerah lain, Tahura Sultan Adam
juga tak lepas dari lahan kritis akibat aktivitas masa lalu dan kebakaran lahan saat kemarau.
Hasil riset periode 2006-2007, luas lahan kritis diperkirakan mencapai 40.000 hektar. Sejak
2010, ditargetkan reboisasi seluas 2.000 hektar per tahun, baik melalui program pemerintah
maupun oleh pihak ketiga. ”Sejauh ini ada 6.000-an hektar yang direboisasi. Tergetnya 10
tahun ke depan tak ada lahan kritis lagi,” ujar Ahmad Ridhani, Kepala Tahura Sultan Adam.
Kebakaran lahan mudah terjadi, terutama di wilayah dekat permukiman. Kelalaian warga bisa
berujung pada kebakaran lahan. Pengunjung kemah terkadang juga meninggalkan api yang
belum sepenuhnya padam. Tahun 2011, misalnya, sempat terjadi kebakaran lahan berupa
semak dan sejumlah pohon muda di area seluas sekitar 500 hektar. Karena itu, di beberapa
titik, pengelola tahura memasang rambu siaga kebakaran. ”Kami berusaha penghijauan
melibatkan masyarakat. Salah satunya menanami lahan dengan tanaman karet sehingga
masyarakat ikut serta menjaga. Ini terbukti, jika pada 2011 terdapat 34 titik api, tahun 2012
hanya 26 titik. Potensi kebakaran berkurang,” kata Ridhani. (Defri Werdiono)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tahura Sultan Adam untuk
Konservasi",
https://travel.kompas.com/read/2013/03/25/13572145/Tahura.Sultan.Adam.untuk.Konservasi
.