Anda di halaman 1dari 7

C.

3 Contoh Mekanismenya Adaptasi Tumbuhan yang Hidup di Rawa


Tanah rawa umumnya memiliki kadar asam yang tinggi sehingga
menyebabkan keterbatasan nutrient terutama pada bagian tengahnya contohnya
adalah rawa gambut, sehingga menjadikan hutan rawa tersebut memiliki struktur
yang khas dengan cara adaptasinya masing-masing. Contoh tumbuhan yang hidup
dan beradaptasi dengan ekosistem rawa misalnya gelam (Melaleuca cajuputi),
purun tikus (Eleocharis dulcis), dan enceng gondok (Eichornia crassipes).
1. Gelam (Melaleuca cajuputi)
Gelam merupakan pohon yang umumnya hidup di daerah rawa dan
biasanya bisa beradaptasi dengan kondisi yang asam dan kurang nutrien. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Giesen (2015) gelam toleran terhadap kondisi lahan
ekstrim seperti keasaman dan kurang nutrien. Selian itu Maulidah (2010)
menyatakan pohon kayu gelam memiliki daya adaptasi yang sangat baik, sehingga
dapat tumbuh di daerah basah dan kawasan rawa sekalipun. Adapun mekanisme
adaptasi yang dilakukan pohon gelam untuk menghadapi kondisi di daerah rawa
antara lain:
a) Penurunan tinggi tajuk.
b) Penurunan total biomass per unit luas.
c) Penurunan diameter/keliling pohon. Cara adaptasi a sampai c merupakan
antisipasi terhadap unsur hara atau nitrien yang rendah.
d) Peningkatan ketebalan daun sebagai akibat dari adaptasi terhadap tanah miskin
hara. Daun yang tebal mungkin tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan
diri terhadap kondisi habitat, tetapi juga merupakan alat pertahanan terhadap
herbivora (Maulidah, 2010).
e) Daun-daun yang mengandung metabolit sekunder seperti minyak atsiri,
alkaloid, dan sebagainya yang menghasilkan aroma yang menusuk sehingga
juga menghindarkan dari herbivora.
f) Pengelupasan kulit kayu. Hal ini merupakan adaptasi terhadap kondisi tanah
dan air yang asam.
g) Mengembangkan proses simbiosis dengan kelompok semut. Semut-semut
tersebut mendapatkan hasil fotosintesis yang dilepaskan dari getah di batang
pohon. Sebaliknya semut tersebut memberikan nutrisi yang penting bagi pohon
gelam tersebut dengan membuang kotorannya dan mati di sekitar tumbuhan
tersebut, yang akan menjadi nutrien bagi pohon gelam itu sendiri.

Gambar 1. Mekanisme adaptasi batang dan daun gelam (Maulidah, 2010)


2. Purun tikus (Eleocharis dulcis)
Tanaman ini sangat banyak di jumpai di daerah rawa, bahkan menurut
Jumani (2011) menyatakan bahwa purun tikus tetap dapat tumbuh dengan baik
pada perairan yang ber pH asam sekalipun. Selain itu Asikin (2012) menyatakan
Purun tikus adalah tumbuhan liar yang dapat beradaptasi dengan baik pada lahan
rawa pasang surut sulfat masam. Masyarakat lokal Kalimantan sering menamai
tanaman ini dengan sebutan kumpai purun atau rumput purun kudung. Jenis lain
dari purun di gunakan untuk membuat kerajinan tangan seperti topi, tikar dan
sebagainya. Adapun mekanisme adaptasi yang dilakukan purun tikus untuk
menghadapi kondisi di daerah rawa antara lain:
a) Daun mereduksi menjadi pelepah yang berbentuk buluh, seperti membran yang
menyelubungi pangkal batang, kadang-kadang dengan helaian daun rudimeter,
ujung daun tidak simetris. Menurut Asikin (2012) hal ini bertujuan untuk
mengantisipasi tanah yang miskin hara serta menghindari herbivora, karena
herbivora biasanya tidak suka memakan daun yang keras.
b) Memiliki proses perkembangbiakan yang cepat dan dapat berlangsung
sepanjang tahun. Hal ini mengantisipasi umur tumbuhan yang pendek jika
hidup dalam kondisi tanah yang asam dan minim nutrien.
c) Mampu menyerap senyawa toksik terlarut dalam saluran air masuk (irigasi)
dan saluran air keluar (drainase) seperti Fe dan SO4 (Jumani, 2010). Hal ini
memudahkan untuk bertahan dikondisi rawa yang tercemar sekalipun.
Gambar 2. Adaptasi purun tikus (daun tebal dan perkembangbiakan yang cepat)
(Asikin, 2012)
3. Enceng gondok (Eichornia crassipes)
Enceng gondok (Eichornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air
mengapung. Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh
seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani
berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di
Sungai Amazon Brasil. Tanaman ini mampu tumbuh pada kondisi nutrisi, pH,
temperatur, dan bahan beracun (Pujawati, 2006). Adapun mekanisme adaptasi
yang dilakukan enceng gondok untuk menghadapi kondisi di daerah rawa antara
lain:
a) Dapat berkembang biak dengan cepat. Hal ini untuk mengantisipasi umur
tanaman yang pendek jika hidup dikondisi rawa yang ekstrim.
b) Mempunyai sifat biologis sebagai penyaring air yang tercemar oleh berbagai
bahan kimia buatan industri. Hal ini akan membuat enceng gondok tetap
bertahan pada kondisi rawa yang tercemar sekalipun.
c) Mekanisme penyerapan yang terjadi yaitu dengan adanya bahan-bahan yang
diserap menyebabkan vakuola menggelembung, maka sitoplasma terdorong ke
pinggiran sel sehingga protoplasma dekat dengan permukaan sel. Hal ini
menyebabkan pertukaran atau penyerapan zat hara antara sebuah sel dengan
sekelilingnya menjadi lebih efisien (Pujawati, 2006). Sehingga enceng gondok
masih bisa bertahan dikondisi rawa yang minim nutrien.
d) Eceng gondok memiliki lubang stomata yang besar (Pujawati, 2006). Hal ini
akan menguntungkan enceng gondok dalam kondisi rawa yang selalu berair.
Gambar 3. Mekanisme adaptasi enceng gondok terhadap ekosistem rawa
(Pujawati, 2006)

D. 3 Contoh Mekanismenya Adaptasi Hewan yang Hidup di Rawa


Rawa merupakan sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang
penggenangannya daat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh
tumbuhan (vegetasi). Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati yang cukup
kaya dengan flora dan fauna yang khas. Contoh fauna yang sering ditemukan di
daerah rawa antara lain ikan gabus (Channa striata), berbagai spesies capung, dan
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
1. Ikan gabus (Channa striata)
Ikan gabus merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang berasal dari
daerah tropis. Ikan gabus ini banyak ditemukan di perairan umum, yang dapat
tumbuh dan berkembang dimuara-muara sungai, daun dan dapat juga
berkembangbiak di perairan kotor, rendah kadar oksigen, ber pH asam, tercemar,
bahkan juga tahan terhadap kekurangan air. Sesuai dengan pernyataan Huwoyon
(2013) ikan gabus mampu hidup pada kondisi minim oksigen, serta kondisi
perairan yang masam. Adapun mekanisme adaptasi yang dilakukan ikan gabus
untuk menghadapi kondisi di daerah rawa antara lain:
a) Warna yang lebih gelap, hal ini bertujuan untuk beradaptasi dengan perairan
rawa yang lebih gelap daripada perairan sungai.
b) Mempunyai pernafasan cadangan (labirin) (Huwoyon, 2013). Sehingga
kekurangan air dan kelebihan zat asam tidak merupakan masalah besar
baginya, karena bisa memanfaatkan labirinnya untuk bertahan hidup.
c) Mampu bertahan dalam kondisi rawa yang kering dengan mengubur diri dan
berhibernasi dalam tanah berlumpur (Huwoyon, 2013).

Gambar 4. Adaptasi ikan gabus (kondisi kering dan labirin) (Huwoyon, 2013)
2. Capung
Capung adalah serangga purba, karena sudah ada sejak 300 juta tahun lalu.
Seperti serangga pada umumnya, tubuh capung terdiri dari tiga bagian: kepala
dengan mata besar, dada/thorax dengan empat sayap panjang yang tidak bisa
dilipat dilengkapi tiga pasang kaki, dan perut/abdomen dengan 10 segmen.
Capung selalu hidup dekat dengan air karena siklus hidupnya yang membuat
mereka tidak bisa hidup jauh dari air sehingga sering ditemukan di daerah rawa.
Siklus hidup capung, dari telur hingga mati setelah dewasa, bervariasi antara enam
bulan hingga lima tahun. Adapun mekanisme adaptasi yang dilakukan capung
untuk menghadapi kondisi di daerah rawa antara lain:
a) Capung dewasa selalu terbang disekitar tumbuhan rawa sebagai perlindungan
dari pemangsa (Pandu, 2016).
b) Bertelur di air dekat tumbuhan rawa dan diselimuti lendir, sehingga telurnya
terlindungi dari pemangsa dan perubahan kondisi lingkungan (Pandu, 2016).
c) Nimfa capung dengan kemampuan berenangnya yang gesit untuk menghindari
pemangsa dan bisa memakan sesamanya (kanibal) untuk mengatasi kekurangan
makanan di daerah rawa itu sendiri (Pandu, 2016).
Gambar 5. Adaptasi capung (bertelur dekat tumbuhan rawa, telur yang berlendir,
nimfa yang gesit) (Pandu, 2016)
3. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan monyet asli Asia
tenggara, namun sekarang sudah tersebar hampir seluruh Asia. Monyet ini sangat
mudah beradaptasi dengan lingkungan barunya dan termasuk hewan liar yang
mampu mengikuti perkembangan peradaban manusia. Umumnya monyet ekor
panjang ini hidup di daerah yang ada sumber airnya, salah satunya adalah daerah
rawa. Adapun mekanisme adaptasi yang dilakukan monyet ekor panjang untuk
menghadapi kondisi di daerah rawa antara lain:
a) Monyet ekor panjang hidup secara berkelompok (Sari, 2015). Hal ini akan
membantu untuk melindungi terhadap pemangsa dan kekurangan makanan.
b) Memiliki kemampuan daya jelajah yang sangat luas (Sari, 2015). Dengan
kemampuan ini monyet ekor panjang tidak akan kesulitan jika pada satu daerah
rawa tempat mereka tinggal sumber makanannya sedikit, mereka bisa mencari
makan ke tempat lain.
c) Bersifat omnivora sehingga tidak masalah jika salah satu sumber makanan
jumlahnya berkurang.

Gambar 6. Adaptasi monyet ekor panjang (omnivora & berkelompok) (Sari, 2015)
Daftar Pustaka
Asikin, S. dan M. Thamrin. (2012). Manfaat Purun Tikus (Eleocharis Dulcis)
pada Ekosistem Sawah Rawa. Jurnal Litbang Pertanian, 31(1), 2012.

Giesen, W. (2015). Case Study: Melaleuca cajuputi (gelam) – a useful species and
an option for paludiculture in degraded peatlands. Sustainable Peatlands for
People & Climate (SPPC) Project. Wetlands International. p 16.

Huwoyon G. H dan Rudhy G. (2013). Peningkatan Produktivitas Budidaya Ikan di


Lahan Gambut. Media Akuakultur Volume 8 Nomor 1 Tahun 2013.

Jumani. (2010). Contoh Tumbuhan Rawa dan Nama Ilmiahnya. Artikel dalam
Guru Biologi Founder TBM Baraoi

Maulidah. (2010). Struktur Pasar Minyak Kayu Putih (Melaleuca Leucadendron).


Jurnal Manajemen Pemasaran, Vol. 5, NO. 1, April 2010: 9-13

Pandu K. (2016). Metamorfosis Capung : Tahapan Proses, Gambar, dan


Penjelasannya. Artikel dalam http://www.ebiologi.net.

Pujawati, E. D. (2006). Pertumbuhan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) pada


Air Bekas Penambangan Batubara. Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Edisi
Maret 2006.

Sari D. P., Suwarno, Alanindra S., Marjono. (2015). Studi Perilaku Monyet Ekor
Panjang (Macaca fascicularis) di Taman Wisata Alam Grojogan Sewu
Tawangmangu Karanganyar. Pendidikan Biologi, Pendidikan Geografi,
Pendidikan Sains, PKLH – FKIP UNS

Anda mungkin juga menyukai