Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PRAKTIKUM EKOLOGI DAN KONSERVASI SATWA LIAR

DISUSUN OLEH:

BUNGA RESA HARTATI (E351190061)

SEPTIAN PUTRA ADI NUGROHO (E351190108)

PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
RINGKASAN

“Apakah Konektivitas Struktural Memfasilitasi Pergerakan Spesies Asli


Pada Lanskap Terfragmentasi di Australia?

Planet Bumi telah mengalami perubahan dengan cepat, khusunya jika dibandingkan
dengan satu abad yang lalu. Jumlah populasi manusia yang terus meningkat, menuntut
terjadinya perubahan lahan-lahan yang tadinya alami, menjadi tipe lahan lain untuk dapat
dimanfaatkan oleh manusia guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi
kebutuhan terhadap lahan, manusia memanfaatkan hutan untuk diubah menjadi berbagai
bentuk pemanfaatan lain, seperti pemukiman, perkebunan, sawah, pabrik dan sebagainya.
Pembukaan lahan hutan untuk berbagai kepentingan seringkali meninggalkan kekhawatiran.
Saat ini hutan yang telah dijadikan penggunaan lain sudah sangat luas, bahkan pada beberapa
hutan yang sudah dimanfaatkan untuk diambil hasil hutannya menyisakan hutan dalam
kondisi yang kurang baik karena dalam pemanfaatannya tidak dilakukan dengan baik.
Ekosistem alami hutan terus menerus memperoleh gangguan yang bersifat
antropogenik atau gangguan yang berasal dari manusia. Gangguan-gangguan antropogenik
contohnya seperti deforestasi, degradasi dan fragmentasi hutan. Gangguan-gangguan tersebut
menjadi ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati, salah satunya satwa liar karena
hutan yang menjadi habitat mereka mengalami intervensi dari manusia. Perubahan terhadap
bentang alam akan membuat habitat satwa menjadi berkurang atau terdegradasi, serta
populasi spesies satwa di suatu kawasan bisa menjadi terisolasi. Hal- hal demikian bisa
meningkatkan risiko terjadinya kepunahan spesies satwa.
Fragmentasi telah menjadi sebuah perhatian serius saat ini ketika peristiwa
perubahan iklim global diprediksi akan memaksa spesies satwa untuk dapat beradaptasi
dengan perubahan yang terjadi di habitatnya atau memilih berpindah (berdispersal) ke tempat
lain agar dapat bertahan hidup. Satwa yang memilih untuk melakukan perpindahan atau
dispersal karena di habitat alaminya terjadi gangguan, keberhasilan proses dispersalnya akan
tergantung pada kondisi dari area-area yang akan di lewatinya. Jika suatu kawasan terjadi
fragmentasi, kawasannya menjadi terpecah-pecah, pasti akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan proses dispersal satwa, berpengaruh juga terhadap kelangsungan hidup dari
satwa tersebut. Dalam hal ini fragmentasi memiliki beberapa dampak terhadap kelangsungan
hidup satwa. Menurut Mardiastuti (2018) fragmentasi habitat akan berpengaruh terhadap
satwa karena:
1. Perubahan areal yang awalnya luas menjadi kecil, akan menyulitkan pergerakan bagi satwa
yang memerlukan wilayah jelajah yang luas
2. Luas habitat satwa yang berkurang akibat fragmentasi, menyebabkan daya dukung
kawasan menjadi menurun dan peluang untuk terjadinya kepunahan lokal menjadi
meningkat
3. Areal kawasan yang menjadi sempit akibat fragmentasi akan memperketat persaingan dan
meningkatkan pemangsaan, sehingga menyebabkan kemampuan hidup (survival) menurun
4. Daerah interior menjadi lebih sempit, sehingga sebagian satwa yang sensitif terhadap
gangguan akan punah secara lokal atau berpindah ke lokasi lain
5. Terdapat areal jeda antar fragmen, dispersal akan menjadi sulit
6. Jika satwa melakukan dispersal, peluang untuk dapat bertahan hidup kecil karena satwa
harus melewati daerah non-habitat
7. Populasi menjadi terisolasi dalam jumlah kecil sehingga akan meningkatkan inbreeding
dan dapat menyebabkan perkembangan populasi yang kurang sehat
8. Interaksi satwa dengan manusia menjadi lebih intensif, sehingga meningkatkan adanya
konflik manusia dengan satwa, terjadinya perburuan liar dan lain sebagainya.
Australia merupakan salah satu benua yang lokasinya berdekatan dengan Indonesia,
yang memiliki kekayaan hayati yang cukup tinggi di dunia. Kekayaan hayati Australia
disajikan dalam tabel berikut ini.

Spesies Keanekaragaman Global


Ikan Laut Salah satu benua yang memiliki keanekaragaman ikan yang
paling beragam, dengan lebih dari 4.500 spesies
Jamur Ektomikoriza 95% endemik (22 genus dan tiga famili endemik).
Vertebrata Terestrial 1350 vertebrata terestrial endemik.
Mamalia Terestrial 305 spesies, yang mana 258 (85%) adalah endemik, lebih dari
50% taksa marsupial dunia hanya terdapat di Australia.
Burung 17% dari jenis burung Nuri di dunia terdapat di Australia.
Reptil 89% endemik, beberapa kelompok seperti front-fanged snakes
(famili Elapidae), ular piton dan kadal lebih beragam
dibandingkan di tempat lain di dunia. Gurun Australia
memiliki keragaman jenis kadal tertinggi di dunia.
Katak 93% endemik, 220 spesies
Invertebrata Laut 17,8% dari Crustacea dunia, 22 % bryozoa dan 29,4% sea
squirt terdapat di perairan Australia.
Tanaman Vaskular 91% tumbuhan berbunga endemik, 17.580 spesies tumbuhan
berbunga, 16 famili tumbuhan endemik dan 57% dari spesies
mangrove dunia.
Kupu-Kupu dan Ngengat Banyak kelompok unik di Australia.
Sumber : Lindenmayer (2007a, p.33), Chapman (2005) dan Crisp et al (1999).

Australia dengan kekayaan hayatinya, khususnya satwa, saat ini mengalami


ancaman berupa fragmentasi. Fragmentasi menjadi perhatian khusus di wilayah pertanian
Australia, di mana pembukaan lahan yang luas terjadi setelah adanya pemukiman-
pemukiman Eropa, yang mana meninggalkan fragmen vegetasi asli yang tersisa di dalam
matriks yang didominasi oleh sistem produksi intensif (Bennet & Ford, 1997); (Saunders,
1989). Menurut Recher (1999) konsekuensi jangka panjang dari fragmentasi ini diperkirakan
menjadi permasalahan serius dengan setidaknya beberapa peneliti memperkirakan bahwa
Australia akan kehilangan setengah dari spesies burungnya dalam abad mendatang.
Fragmentasi yang terjadi di Australia karena terus adanya pemanfaatana lahan oleh
manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya menimbulkan dampak terhadap
satwa liar. Menurut Simberloff (1992) solusi yang paling umum diusulkan untuk menghadapi
permasalahan fragmentasi ini adalah dengan mempertahankan atau memulihkan koridor
habitat. Menurut Hobbs (1992) koridor merupakan strip habitat yang relatif tidak terputus
(bersebelahan) yang menghubungkan dua atau lebih bidang habitat yang dikelilingi oleh area
yang tidak cocok untuk spesies atau komunitas yang bersangkutan. Menurut Doerr et al
(2014) koridor merupakan suatu bentuk dari konektivitas struktural. Konektivitas struktural
adalah segala sesuatu yang secara fisik menghubungkan populasi yang terpisah, dan dapat
terdiri dari hampir semua jenis lanskap heterogenitas di antara tambalan habitat yang
ditempati.
Berdasarkan hasil penelitian Horskins (2005) yang berjudul “The Effectiveness of
Wildlife Corridor in Facilitating Connectivity: Assesment of A Model System From The
Australian Wet Tropics”, koridor satwa mampu memfasilitasi pergerakan satwa asli Australia
yaitu Melomys cervinipes dan Uromys caudimaculatus di beberapa lokasi di Australia yang
mengalami fragmentasi. Selain itu, dari hasil mtDNA menunjukkan bahwa koridor satwa liar
memfasilitasi aliran gen. Dari hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa konektivitas
struktural berupa koridor satwa liar mampu untuk memfasilitasi pergerakan satwa dan juga
memfasilitasi aliran gen.
Koridor sendiri dapat dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: koridor habitat, koridor
perpindahan (movement) dan koridor penghalang (barrier) yang dideskripsikan sebagai
berikut (Forman 1985) :
1. Koridor habitat – elemen lanskap linear yang memberikan daya survival, natalitas dan
pergerakan, juga dapat memberikan habitat, baik sementara maupun permanen. Koridor
ini secara pasif meningkatkan konektivitas patch-patch. Contoh koridor habitat adalah
sabuk lahan basah bervegetasi yang dapat melestarikan populasi salamander.
2. Koridor yang memfasilitasi perpindahan–elemen lanskap linear yang memberikan daya
survival dan perpindahan antara patch-patch habitat tetapi tidak sampai diperlukan untuk
melahirkan di dalam koridor. Koridor yang memfasilitasi perpindahan secara aktif
meningkatkan konektivitas. Suatu lahan bervegetasi jalur yang memiliki karakteristik edge
dapat memberikan suatu lintasan untuk suatu jenis satwa hutan interior tetapi tdak
memberikan habitat. Sebagai contoh, jalur vegetasi sepanjang jalan dapat memberikan
sumber pakan untuk seekor vole tetapi tidak cukup memberikan lindungan untuk anak-
anaknya.
3. Koridor penghalang (barrier) atau penyaring (filter) – elemen lanskap linear yang
menghalangi (barrier) atau menghambat (filter) aliran energi, mineral, nutrien dan/atau
spesies untuk melintasinya. Sebagai contoh koridor barrier atau filter adalah suatu jalan
tol yang menghalangi satwa melintasinya.
Koridor satwa memiliki beberapa manfaat. Manfaat atau keuntungan potensial dari
koridor satwaliar menurut Meret (2007) adalah:
1. Meningkatkan laju imigrasi antara populasi sehingga dapat memelihara keragaman,
meningkatkan ukuran populasi, menurunkan kemungkinan kepunahan dan menghindarkan
inbreeding.
2. Meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan jelajah yang luas.
3. Memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator, kebakaran dan
gangguan lainnya.
Koridor selain bisa memberikan beberapa manfaat, bisa juga memberikan potensi
yang merugikan. Potensi merugikan dari koridor bagi satwaliar adalah (Meret 2007):
1. Meningkatkan imigrasi dapat menyebarkan penyakit, hama, spesies asing, menurunkan
tingkat keragaman genetik dan tekanan outbreeding.
2. Memfasilitasi penyebaran kebakaran dan meningkatkan keterbukaan terhadap predator,
pemburu dan pencuri.
3. Biaya
Daftar Pustaka

Bennett, A.F., dan Ford, L.A. 1997. Land Use, Habitat Change and The Conservation of
Birds in Fragmented Rural Environments: A Landscape Perspective from The Northern
Plains, Victoria, Australia. Pac Conserv Biol, 3:244–261.
Chapman, A.D. 2005. Numbers of Living Species in Australia and The World. Report for The
Department of The Environmental and Heritage. Canberra.
Crisp, M.D., West, J.G., dan Linder, H.P. 1999. Biogeography of The Terrestrial Flora. In
Flora of Australia Volume I. Introduction. 2nd edn. (Eds AE Orchard and HS
Thompson) pp. 321-367. CSIRO. Melbourne.
Doerr, E.D., et al. 2014. Does Structural Connectivity Facilitate Movement of Native Species
in Australia’s Fragmented Landscapes?: A Systematic Review Protocol.
http://www.environmentalevidencejournal.org/content/3/1/9. Diakses Pada Tangal 5
November 2019.
Forman, R.T.T. 1985. Land Mosaics: The Ecology of Landscapes and Regions. Cambridge
University Press, Cambridge, United Kingdom.
Hobbs, R.J. 1992. The Role of Corridors in Conservation - Solution or Bandwagon? Trends
Ecol Evol, 7:389–392.
Horskins, Kerrilee. 2005. The Effectiveness of Wildlife Corridor in Facilitating Connectivity:
Assesment of A Model System From The Australian Wet Tropics. School of Natural
Resource Sciences. Quensland University of Technology. Australia.
Lindenmayer, D.B. 2007a. On Borrowed Time: Australia’s Environmental Crisis and What
We Must Do About It. CSIRO. Melbourne.
Mardiastuti, Ani. 2018. Ekologi Satwa Pada Lanskap yang Didominasi Manusia. IPB Press.
Bogor.
Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors.
http://www.science.mcmaster.ca.htm. Diakses Pada Tanggal 5 November 2019.
Recher HF: The state of Australia’s avifauna: a personal opinion and prediction for the new
millennium. Aust Zool 1999, 31:11–27.
Saunders DA: Changes in the avifauna of a region, a district and remnant as a result of
fragmentation of native vegetation: the Wheatbelt of Western Australia. a case study.
Biol Conserv 1989, 50:99–135.
Simberloff D, Farr JA, Cox J, Mehlman DW: Movement corridors - conservation bargains or
poor investments? Conserv Biol 1992, 6:493–504.

Anda mungkin juga menyukai