DISUSUN OLEH:
Planet Bumi telah mengalami perubahan dengan cepat, khusunya jika dibandingkan
dengan satu abad yang lalu. Jumlah populasi manusia yang terus meningkat, menuntut
terjadinya perubahan lahan-lahan yang tadinya alami, menjadi tipe lahan lain untuk dapat
dimanfaatkan oleh manusia guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi
kebutuhan terhadap lahan, manusia memanfaatkan hutan untuk diubah menjadi berbagai
bentuk pemanfaatan lain, seperti pemukiman, perkebunan, sawah, pabrik dan sebagainya.
Pembukaan lahan hutan untuk berbagai kepentingan seringkali meninggalkan kekhawatiran.
Saat ini hutan yang telah dijadikan penggunaan lain sudah sangat luas, bahkan pada beberapa
hutan yang sudah dimanfaatkan untuk diambil hasil hutannya menyisakan hutan dalam
kondisi yang kurang baik karena dalam pemanfaatannya tidak dilakukan dengan baik.
Ekosistem alami hutan terus menerus memperoleh gangguan yang bersifat
antropogenik atau gangguan yang berasal dari manusia. Gangguan-gangguan antropogenik
contohnya seperti deforestasi, degradasi dan fragmentasi hutan. Gangguan-gangguan tersebut
menjadi ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati, salah satunya satwa liar karena
hutan yang menjadi habitat mereka mengalami intervensi dari manusia. Perubahan terhadap
bentang alam akan membuat habitat satwa menjadi berkurang atau terdegradasi, serta
populasi spesies satwa di suatu kawasan bisa menjadi terisolasi. Hal- hal demikian bisa
meningkatkan risiko terjadinya kepunahan spesies satwa.
Fragmentasi telah menjadi sebuah perhatian serius saat ini ketika peristiwa
perubahan iklim global diprediksi akan memaksa spesies satwa untuk dapat beradaptasi
dengan perubahan yang terjadi di habitatnya atau memilih berpindah (berdispersal) ke tempat
lain agar dapat bertahan hidup. Satwa yang memilih untuk melakukan perpindahan atau
dispersal karena di habitat alaminya terjadi gangguan, keberhasilan proses dispersalnya akan
tergantung pada kondisi dari area-area yang akan di lewatinya. Jika suatu kawasan terjadi
fragmentasi, kawasannya menjadi terpecah-pecah, pasti akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan proses dispersal satwa, berpengaruh juga terhadap kelangsungan hidup dari
satwa tersebut. Dalam hal ini fragmentasi memiliki beberapa dampak terhadap kelangsungan
hidup satwa. Menurut Mardiastuti (2018) fragmentasi habitat akan berpengaruh terhadap
satwa karena:
1. Perubahan areal yang awalnya luas menjadi kecil, akan menyulitkan pergerakan bagi satwa
yang memerlukan wilayah jelajah yang luas
2. Luas habitat satwa yang berkurang akibat fragmentasi, menyebabkan daya dukung
kawasan menjadi menurun dan peluang untuk terjadinya kepunahan lokal menjadi
meningkat
3. Areal kawasan yang menjadi sempit akibat fragmentasi akan memperketat persaingan dan
meningkatkan pemangsaan, sehingga menyebabkan kemampuan hidup (survival) menurun
4. Daerah interior menjadi lebih sempit, sehingga sebagian satwa yang sensitif terhadap
gangguan akan punah secara lokal atau berpindah ke lokasi lain
5. Terdapat areal jeda antar fragmen, dispersal akan menjadi sulit
6. Jika satwa melakukan dispersal, peluang untuk dapat bertahan hidup kecil karena satwa
harus melewati daerah non-habitat
7. Populasi menjadi terisolasi dalam jumlah kecil sehingga akan meningkatkan inbreeding
dan dapat menyebabkan perkembangan populasi yang kurang sehat
8. Interaksi satwa dengan manusia menjadi lebih intensif, sehingga meningkatkan adanya
konflik manusia dengan satwa, terjadinya perburuan liar dan lain sebagainya.
Australia merupakan salah satu benua yang lokasinya berdekatan dengan Indonesia,
yang memiliki kekayaan hayati yang cukup tinggi di dunia. Kekayaan hayati Australia
disajikan dalam tabel berikut ini.
Bennett, A.F., dan Ford, L.A. 1997. Land Use, Habitat Change and The Conservation of
Birds in Fragmented Rural Environments: A Landscape Perspective from The Northern
Plains, Victoria, Australia. Pac Conserv Biol, 3:244–261.
Chapman, A.D. 2005. Numbers of Living Species in Australia and The World. Report for The
Department of The Environmental and Heritage. Canberra.
Crisp, M.D., West, J.G., dan Linder, H.P. 1999. Biogeography of The Terrestrial Flora. In
Flora of Australia Volume I. Introduction. 2nd edn. (Eds AE Orchard and HS
Thompson) pp. 321-367. CSIRO. Melbourne.
Doerr, E.D., et al. 2014. Does Structural Connectivity Facilitate Movement of Native Species
in Australia’s Fragmented Landscapes?: A Systematic Review Protocol.
http://www.environmentalevidencejournal.org/content/3/1/9. Diakses Pada Tangal 5
November 2019.
Forman, R.T.T. 1985. Land Mosaics: The Ecology of Landscapes and Regions. Cambridge
University Press, Cambridge, United Kingdom.
Hobbs, R.J. 1992. The Role of Corridors in Conservation - Solution or Bandwagon? Trends
Ecol Evol, 7:389–392.
Horskins, Kerrilee. 2005. The Effectiveness of Wildlife Corridor in Facilitating Connectivity:
Assesment of A Model System From The Australian Wet Tropics. School of Natural
Resource Sciences. Quensland University of Technology. Australia.
Lindenmayer, D.B. 2007a. On Borrowed Time: Australia’s Environmental Crisis and What
We Must Do About It. CSIRO. Melbourne.
Mardiastuti, Ani. 2018. Ekologi Satwa Pada Lanskap yang Didominasi Manusia. IPB Press.
Bogor.
Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors.
http://www.science.mcmaster.ca.htm. Diakses Pada Tanggal 5 November 2019.
Recher HF: The state of Australia’s avifauna: a personal opinion and prediction for the new
millennium. Aust Zool 1999, 31:11–27.
Saunders DA: Changes in the avifauna of a region, a district and remnant as a result of
fragmentation of native vegetation: the Wheatbelt of Western Australia. a case study.
Biol Conserv 1989, 50:99–135.
Simberloff D, Farr JA, Cox J, Mehlman DW: Movement corridors - conservation bargains or
poor investments? Conserv Biol 1992, 6:493–504.