Anda di halaman 1dari 21

KONSERVASI RUSA SAMBAR DI SUMATERA SELATAN INDONESIA

Samsul
E351194071

PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Satwa liar memberikan manfaat bagi manusia sejak jaman dahulu kala, yakni diburu
untuk keperluan pakaian, perkakas (kulit, tanduk, tulang), dan sumber makanan (daging). Rusa
Sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dimanfaatkan
oleh penduduk baik sebagai sumber makanan/energi (daging), maupun sebagai hiasan (kulit dan
awetan kepala) atau bahan baku lainnnya seperti untuk obat (tanduk). Rusa juga dapat
dimanfaatkan sebagai bagian dari jasa lingkungan yakni sebagai objek rekreasi karena bentuk
tubuh yang unik serta tingkah lakunya dapat memberikan kepuasan psikologis bagi orang yang
melihatnya (Takandjandji et al. 2014). Penyebaran rusa sambar menurut Leslie (2011) tersebar
mulai dari Sri Lanka, India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara, Filipina, Sumatera dan beberapa
pulau berdekatan yang lebih besar. Di Indonesia penyebaran rusa sambar meliputi Kalimantan,
Sumatera, dan pulau Bangka dan Belitung (Maryanto et al. 2008).

Berdasarkan status konservasinya, rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) jenis satwa
yang dilindungi dalam PP No. 7 Tahun 1999 (Departemen Khutanan dan Perkebunan 1999) dan
masuk dalam kategori rentan terhadap kepunahan (IUCN 2015). Populasi rusa sambar di alam
khususnya di Sumatera Selatan menghadapi masalah tekanan populasi akibat perburuan ilegal,
perdagangan ilegal, dan kerusakan hutan sebagai habitat alaminya. Dalam pemanfaatan
tumbuhan dan satwa liar sering ditemui bahwa eksploitasi yang berlebihan terhadap suatu jenis
untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek saja, sementara hal tersebut membahayakan dan
mengancam ketersedian sumber daya untuk penggunaan masa depan (Pires et al. 2011).

Kepunahan spesies rusa sambar dapat diantisipasi melalui pembuatan atau pembangunan
penangkaran. Pengelolaan penangkaran yang ideal dapat menjadikan suatu spesies terhindar dari
kepunahan dan hasilnya dapat dimanfaatkan secara lestari (Sita dan Aunurohim 2013). Upaya
penangkaran rusa sambar di Indonesia khususnya di Sumatera Selatan belum banyak dilakukan
dan upaya yang dilakukan juga hasilnya belum optimal. Membangun penangkaran rusa tidak
cukup dengan memberikan pakan dan menyiapkan sarana prasarana saja tetapi memerlukan
teknik pengelolaan yang disertai dengan pengetahuan dan keahlian dibidang penangkaran,
karena dengan pengelolaan yang berbeda akan memberikan pengaruh terhadap produksi,
reproduksi, dan perilaku (Gusmalinda et al. 2018).

Rusa sambar masih dapat dijumpai hampir di seluruh kawasan hutan alam Sumatera
Selatan. Keberadaannya di alam menghadapi masalah tekanan populasi, baik karena oleh
perburuan (Ikhsan dan Rahmadi 2015 ; Sriwijaya Post 2010 ; Sautner dan Scott 2015), juga
karena kerusakan habitat alaminya baik oleh bencana alam khususnya kebakaran hutan yang
terjadi hampir setiap tahun (Haqulana 2015 ; Ertina 2013). Perubahan wilayah hutan menjadi
lahan perkebunan, lahan pertanian, dan pemukiman juga berpengaruh terhadap berkurangnya
populasi satwa liar. Rusaknya habitat tersebut juga akan mempengaruhi sebaran populasinya
karena satwa ini cenderung akan memilih habitat yang jauh dari aktivitas manusia. Pembukaan
kawasan hutan untuk pembangunan atau fungsi lain akan menciptakan fragmentasi habitat
(Gunawan dan Prasetyo 2013). Balai Penelitian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Palembang
sebagai unit pelaksana teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di daerah memiliki
beberapa KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) salah satunya berlokasi di
Kemampo, Banyuasin – Sumatera Selatan yang fungsinya selain untuk hutan penelitian juga
dapat sebagai sarana konservasi jenis baik tumbuhan maupun hewan. Maraknya perburuan dan
penjualan daging rusa sambar di kabupaten Banyuasin (Irwanto 2016 ; Lukman 2016 ; Palpres
2016), menjadikan pilihan KHDTK ini sebagai lokasi rencana pembangunan penangkaran rusa
sambar secara ex-situ.

Rencana pembangunan penangkaran rusa sambar di KHDTK Kemampo, untuk tahap


awal dialokasikan luasan areal sekitar 3 Ha dengan sistem semi intesif, mengingat masih
banyaknya areal lain yang masih intensif digunakan untuk plot penelitian tanaman hutan. Guna
mendukung serta mewujudkan pembangunan penangkaran tersebut, maka diperlukan suatu
kajian awal dalam desain penangkarannya agar tujuan pembangunan penangkaran dapat menjadi
optimal. Untuk membangun sebuah penangkaran yang baik dan dapat menunjang tujuan
konservasi spesies, diperlukan sebuah kajian dasar mengenai desain dan rencana teknis
pengelolaannya kedepan (Sumanto et al. 2007; Garsetiasih 2007)

Kelayakan ekologis suatu kawasan untuk tujuan penangkaran digambarkan melalui


komponen bio-ekologisnya termasuk diantaranya adalah ketersediaan pakan dan reproduksi
dalam kaitannya dengan daya dukung habitat. Penataan ruang juga sangat menentukan
keseimbangan antara komponen bio-ekologis dengan komponen fisik lokasi, kondisi fisik
lapangan akan mempengaruhi kondisi fisik bangunan yang mana bila tidak di rancang dengan
tepat akan memperburuk kondisi penangkaran nantinya, maka diperlukan terlebih dahulu kajian
kelayakan tapak, sebelum merancang desain penangkaran. Kegiatan teknis dalam merancang
penangkaran rusa adalah penting mengingat karena pada dasarnya setiap lokasi memiliki
karakteristik yang berbeda. Untuk itu suatu desain yang optimal harus dirancang atas dasar
pertimbangan kesesuaian karakteristik komponen bio- ekologis dan fisik lokasinya (Takandjandji
2009).

Tujuan

Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui keberadaan rusa sambar baik,
habitat, dan upaya konservasinya.
METODE

Waktu dan Lokasi


Pembuatan makalah ini dilakukan di kota Serang pada tanggal 28 Oktober 2020.

Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah laptop, sedangkan bahan
yang digunakan yaitu literatur baik dari paper jurnal, tesis, skripsi, maupun sumber lainnya dari
internet.
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan yakni data mengenai rusa sambar, habitat, dan upaya
konservasinya.

Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam pembuatan makalah ini ialah dengan menggunakan
analisis deskriptif.
PEMBAHASAN

Rusa Sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792)

Susunan taksonomi rusa sambar (Rusa unicolor), menurut Leslie (2011) adalah sebagai berikut:

Phylum : Chodata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Sub Ordo : Ruminantia
Family : Cervidae
Sub Family : Cervinae
Genus : Rusa
Species : Rusa unicolor

Rusa sambar merupakan spesies rusa yang memiliki ukuran tubuh yang besar dengan
kaki yang panjang. Van Bemmel (1949) menyatakan bahwa tinggi bahu rusa sambar mencapai
120 cm dan panjang badannya mencapai 190 cm, dengan bagian perut berwarna lebih gelap
daripada punggungnya, dan warna bulunya hitam sampai cokelat tua, ekor yang berambut
panjang, muka datar dengan tanduk (bagi jantan) relatif kecil tetapi padat dan kuat.

Semiadi (1998) menyatakan bahwa berat badan betina rusa sambar dapat mencapai 300
kg. Untuk jantan bobotnya antara 180 – 300 kg, dan betina antara 150 – 200 kg, serta berat lahir
rata-rata antara 5 – 8 kg. Panjang tanduk berkisar antara 300 – 750 mm dan lebar antara tanduk
dari ujung ke ujung antara 250- 500 mm (Susanto 1980). Rusa sambar jantan memiliki warna
kulit coklat kehitaman (lebih gelap) daripada rusa sambar betina. Morfologi lainnya menurut
Lekagul (1997) dalam Sutrisno (1986), rusa sambar pada ketiak, pangkal paha, bagian kaki
sebelah dalam, dan telinganya berwarna lebih terang, bibir dibatasi dengan warna putih, pada
sudut mulut terdapat totol. Secara sosiologis bahwa tanduk atau ranggah merupakan status sosial
pada pejantan saat musim kawin. Pada musim kawin, ukuran dan bentuk tanduk berperan
penting untuk kepentingan dominasi kelompok dibandingkan ukuran pejantan itu sendiri (Bartos
1990).

Habitat rusa sambar bervariasi, mulai dari hutan pantai, hutan sekunder, hutan rawa,
padang alang-alang dan pada daerah pengunungan. Namun habitat rusa sambar tidak akan
pernah jauh dari sumber air (Sutrisno 1986). Habitat menurut Riney (1982), dideskripsikan
terbagi atas komponen pakan, perlindungan, dan faktor-faktor lingkungan (air, iklim, topografi,
hidrologi, tanah) atau dapat dikatakan bahwa komponen habitat meliputi pakan, pelindung, air,
dan ruang. Menurut Sutrisno (1986), rusa sambar dapat ditemukan dari pantai sampai pada
ketinggian 3000 mdpl, asalkan cukup banyak tempat berlindung dan biasanya selalu dekat
dengan sumber air pada malam hari. Di kalimantan Timur, rusa tersebar pada ketinggian antara
25.91 – 429.16 mdpl (Ma‟ruf 2011). Rusa sambar sering disebut sebagai “rusa air” karena
sepanjang tahun, terutama pada awal musim kawin, rusa jantan selalu berkubang di kolam
lumpur. Asraf (1980) dalam Sutrisno (1986), menyatakan bahwa habitat yang cocok bagi rusa
membutuhkan lapangan berumput, air atau tempat mandi dan kubangan, semak belukar sebagai
tempat berlindung serta terbuka untuk berjemur. Secara umum satwa jenis rusa memilih
kesukaan habitatnya lebih banyak dipengaruhi oleh kebutuhan energi dan nutrisi untuk
pertumbuhan dan massa tubuh bagi rusa jantan, dan untuk kebutuhan kehamilan serta menyusui
bagi rusa betina (Mcshea et al. 2001).

Seidensticker (1976) dalam Subagyo (2000), melaporkan bahwa rusa sambar lebih sering
dijumpai di hutan berair yang bagian bawahnya berupa semak-semak. Garsetiasih dan
Takandjandji (2006), menyatakan bahwa rusa sambar dapat dijumpai di hutan payau. Rusa di
habitat alaminya memerlukan tempat berteduh dari panas dan hujan, serta tempat untuk
melindungi diri dari predator dan tempat untuk tidur. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa tempat
berlindung rusa biasanya di hutan dan semak yang rapat (Ratag et al. 2006). Dari karakter
populasi, rusa sambar secara umum kepadatan populasinya adalah rendah tergantung pada
musim, perilaku mengelompoknya, kondisi habitat, kompetisi, pemangsa, dan tingkat
perlindungan (Leslie 2011).

Makanan rusa di Indonesia terdiri dari rerumputan dan daun-daun muda, liana muda,
serta ranting-ranting semak (Syarief 1974). Namun Lekagul dan McNeely (1988), menemukan
bahwa rusa juga memakan buah-buahan yang gugur dan rumput yang berair. Priyono (2007)
menyatakan bahwa rusa sambar termasuk dalam kelompok satwa intermediate feeder karena
dapat bersifat sebagai grazer (pemakan rumput) maupun browzer (pemakan semak). Dari tingkat
kesukaannya, ada tujuh jenis tumbuhan yang disukai oleh rusa sambar yaitu Paspalum
conjugatum, Wrightia tementosa, Alpinia sp., Neyraudia reynaudiana, Veromia elliptica,
Imperata cylindrica dan Cratoxylum formosum (Ngampongsai 1978). Dalam penelitian Sutrisno
(1986) berdasarkan familinya jenis hijauan pakan rusa sambar ada dalam 6 famili yaitu
Graminae, Cyperaceae, Fabaceae, Ericaceae, dan Commelinaceae. Dalam penelitian Suba et al.
(2007), rerumputan hijau yang pendek dan pucuk muda tanaman, serta semak merupakan sumber
pakan rusa sambar. Di Kalimantan Timur rusa sambar didapati juga memakan buah dan kulit
kayu tanaman muda Gmelina arborea, serta memakan pucuk tanaman muda pulai (Alstonia
scholaris). Jenis lain menurut Semiadi (2004) yaitu Panicum maximum, Setaria sphacelata,
Euchlaena mexiocana, Digitaria decumbens, B. mutica dan Seataria sphacelata.

Ngampongsai (1987), dalam pengamatannya pada rusa sambar yang ditangkarkan


menunjukkan bahwa rusa sambar dapat dikategorikan sebagai pemakan segalanya. Pengamatan
penulis pada rusa sambar yang ditangkarkan di kebun binatang Ragunan mempelihatkan bahwa
rusa sambar selain memakan rumput juga memakan daun bambu muda, hijauan sayuran dan
buah-buahan yang diberikan oleh pihak pengelola kebun binatang Ragunan. Pakan rusa sambar
di peternakan Api-api Kalimantan Timur, diantaranya adalah Brachiaria decumbens, B.
huminicola, B. brizantha, Paspalum atratum, Pennisetum purpuphoides (king grass); jenis legum
seperti : Stylosanthes guyanensis, Calopogonium, Arachis pintoi, sebagai sisipan yaitu daun
sengon, turi, nangka dan laban (Ma‟ruf et al. 2005). Hasil penelitian Bentley (1978), Stafford
(1997), Kelton dan Skipworth (1987) yang diacu oleh Manshur (2011) menunjukkan bahwa rusa
sambar meskipun memakan berbagai jenis hijauan, tetapi tumbuhan jenis rumput merupakan
pakan yang dominan. Penelitian pakan padang penggembalaan penangkaran rusa sambar di
Kalimantan Timur, diketahui jenis-jenis pakan berdasarkan tingkat palatabilitas adalah:
Paspalum dilatatum, Setaria sphacelata, Brachiaria decumbens, B. brizantha, B. humidicola,
Acacia mangium, Merremia peltata, Vitex pubescens, Gliricidia sepium, Paraserianthes
falcataria, rumput alam/campuran yang tergolong ke dalam kelompok “paling disukai” dengan
nilai relatif 80–100 %. Ficus septica, Fragraea lanceolata, Melastoma malabathricum dan
Eugenia sp. tergolong ke dalam kelompok pakan “disukai sedang” dengan nilai relatif 75.0–78.2
% (Balebu et al. 2002).

Susanto (1977) dalam Sutrisno (1986) menyatakan bahwa kebutuhan makan rusa di
Pulau Peucang rata-rata adalah 5.7 kg/ekor/hari, dan di areal pembiakan rusa Perum Angkasa
Pura jakarta dibutuhkan 6.06 kg/ekor/hari (Asraf , 1980 dalam sutrisno 1986). Hasil penelitian
Hambali (1983) yang diacu oleh Sutrisno (1986) menunjukkan bahwa kebutuhan makan rusa di
kebun binatang Bandung rata-rata sebanyak 5.57 kg/ekor/hari. Sita dan Aunurohim (2013)
menunjukkan kebutuhan pakan rusa sambar di kebun binatang Surabaya adalah 8.27 kg/ekor/hari
dengan sistem pakan drop in (pemberian pakan dengan atau pada wadah). Kebutuhan pakan rusa
sambar mampu mencapai 13.27 kg/ekor/hari (Ahmad dan Sarker 2002 dalam Mustari et al.
2012).

Aktivitas rusa sambar baik di habitat alaminya maupun dalam lingkungan terbatas atau
penangkaran dimulai dari pagi hingga malam hari (Suzuki et al. 2006). Rusa sambar mencari
tempat-tempat terbuka atau padang penggembalaan setiap pagi dini hari dan sepanjang malam
hari. Penggunaan waktu dan pemanfaatan ruang oleh rusa sambar lebih banyak dilakukan pada
malam hari. Hal ini diduga karena untuk mengurangi tekanan panas tubuh pada kondisi
lingkungan tropis dan juga sebagai bentuk strategi pertahanan dari ancaman predator (Semiadi et
al. 1993). Rusa sambar umumnya hidup soliter dan jarang berpasang-pasangan, hanya selama
musim birahi ditemukan berpasangan di daerah terbuka atau padang penggembalaan dan setelah
masa kawin selesai rusa kembali hidup soliter didalam hutan atau rawa-rawa (Ratag et al. 2006).
Rusa sambar umumnya tidak memiliki teritori yang khusus, namun pada saat musim kawin rusa
jantan membentuk teritori khusus yang ditandai dengan urine yang mengandung feromon
(Lekagul dan McNeely, 1988). Rusa sambar jantan biasanya hidup secara soliter (menyendiri)
dan untuk betinanya lebih sering berkelompok dalam jumlah yang kecil dengan anggota
kelompok antara 2-3 individu (Lekagul dan McNeely 1978 dalam Manshur 2011). Meskipun
rusa sambar cenderung soliter, dalam penangkaran selama proses penjinakan menurut Semiadi
(1996), rusa sambar membentuk kelompok antara 1 – 3 kelompok dan setiap kelompok memiliki
jumlah yang bervariasi hingga 18 individu.

Penelitian Sutrisno (1986), menyatakan bahwa terdapat beberapa tipe sosial pada
kehidupan rusa sambar di Jawa Barat. Ada 4 tipe kehidupan sosial menurutnya yaitu: (1) satu
individu rusa jantan yang hidup soliter, (2) kelompok rusa yang terdiri dari satu rusa betina
dewasa dengan satu rusa betina remaja, (3) kelompok rusa yang terdiri dari satu rusa betina
dewasa dengan dua ekor rusa betina remaja, dan (4) kelompok yang terdiri dari satu rusa jantan
dewasa, satu betina dewasa, dan tiga ekor rusa betina remaja. Hiraki sosial khususnya dalam
penentuan jantan dominan juga terlihat saat musim kawin dimana, pejantan akan berkompetisi
dengan pejantan lain untuk dapat menguasai kelompok betina yang dapat dikawininya. Sifat
kompetisi ini akan membentuk suatu susunan kekuatan penguasaan yang disebut hieraki,
pejantan yang dapat menguasai kelompok betina disebut pejantan dominan (Semiadi et al. 2005).

Komoditi ekonomi yang dapat dimanfaatkan dari rusa dengan berbagai tujuan seperti
pemanfaatan daging, kulit, velvet, ranggah, jeroan telah lama dilakukan oleh manusia. Daging
rusa lebih disukai masyarakat karena selain cita rasanya yang lebih enak juga karena kandungan
lemak dan kolesterolnya yang rendah (Semiadi dan Nugraha 2004). Kadar kolesterol daging rusa
sambar sebesar 59.26 mg/100g lebih rendah dibandingkan dengan daging rusa fallow (Dama
dama), rusa merah (Rusa elaphus) (Dahlan dan Norfarizan 2007), daging kambing 79 mg/100g,
dan daging babi 69 mg/100g (Lawrie dan Ledward 2006). Selain daging, velvet rusa
dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh beberapa bangsa di Asia. Velvet oleh para tabib dari
Cina dijadikan obat untuk memperlambat impotensi atau sebagai obat kuat. Velvet juga dipakai
sebagai tonik pasca melahirkan serta sebagai obat peluntur di Cina dan Jepang (Takandjandji
2009). Daging rusa sambar hasil perburuan liar di Sumatera Selatan dijual dengan kisaran harga
Rp 30 000 – Rp 40 000,-/kg dan penjualannya sampai ke provinsi sekitar Sumatera Selatan
seperti Jambi dan provinsi terdekat lainnya (Sripo 2010 ; Palpres 2016).

Pengolahan velvet rusa ada tiga macam, yaitu dalam bentuk keripik, tepung, dan cairan
(Semiadi dan Nugraha 2004). Harga jual velvet yang sudah dikeringkan dan dijadikan emping
dapat mencapai US $ 120/kg (Garsetiasih dan Takandjandji 2006). Kulit rusa telah diekspor ke
Jerman untuk kemudian diolah menjadi pakaian seperti celana pendek (Ma‟ruf et al. 2005).
Ranggah rusa juga dimanfaatkan sebagai gagang pisau, souvenir, rak senjata berburu, serta
hiasan lainnya. Takandjandji et al. (2014), menyatakan bahwa ranggah tua dari rusa dewasa yang
dijadikan hiasan pada beberapa kota seperti di Bogor dijual dengan kisaran harga antara Rp 250
000,- sampai Rp 750 000,-. Manfaat ekonomi lainnya yang didapat dari rusa yaitu jeroan, awetan
kepala dan ekor, tulang, hewan utuh, serta nilai ekonomi dari jasa estetisnya sebagai objek
wisata.
Tingginya nilai manfaat ekonomi rusa, serta banyaknya permintaan bahan baku mentah serta
produk olahan dari rusa mengakibatkan terjadinya pemanfaatan secara berlebihan (perburuan
liar) rusa yang berdampak pada penurunan populasi di habitat alaminya. Berdasarkan masalah
tersebut maka pembangunan penangkaran rusa perlu dilakukan selain untuk tujuan konservasi
jenis juga untuk pengembangan kearah budidaya dalam rangka pemanfaatan secara
berkelanjutan.

Penangkaran Rusa Sambar

Penangkaran satwa liar merupakan salah satu program pelestarian dan pemanfaatan satwa
liar, baik untuk tujuan konservasi maupun ekonomi. Dalam hal ini penangkaran rusa termasuk
salah satu upaya pelestarian dan pemanfaatan berdasarkan prinsip kelestarian hasil. Menurut
Thohari et al. (1991), penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan satwa liar
yang bertujuan memperbanyak populasi dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik
sehingga kelestarian dan keberadaan jenis satwa dapat dipertahankan di habitat alaminya.

Dari sisi kebijakan, dasar dan arahan tentang pelestarian dan pemafaatan satwa liar melalui
kegiatan usaha penangkaran telah diatur dalam undang-undang dan peraturan berikut:

1. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
3. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
4. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan
Satwa.

Pengurusan perijinannya diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-


II/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang tata usaha pengambilan atau penangkapan dan
peredaran tumbuhan dan satwa liar. Pemanfaatan dapat dilakukan oleh perorangan, badan
hukum, koperasi, atau lembaga konservasi.

Rusa sambar termasuk rusa dengan kemampuan adaptasi yang tinggi dan lebih toleran
pada berbagai tipe hutan, sehingga sangat memungkinkan untuk dikembangkan dalam sebuah
penangkaran (Suba et al. 2007). Penelitian rusa sambar di hutan daerah Serawak, Malaysia
memperlihatkan kemampuan adaptasi yang baik dari rusa sambar terhadap berbagai tipe habitat
dari hutan alam sampai hutan tanaman. Produktivitas rusa sambar di area lain yang termasuk
lahan marjinal wilayah tersebut juga masih cukup tinggi, hal ini menjadikan rusa sambar sangat
berpotensi untuk dikembangkan dalam penangkaran atau peternakan (Dahlan dan Dawend
2013).
Menurut peraturan, dalam memanfaatan satwaliar yang dilindungi diperlukan izin khusus
dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jendral Konservasi
Sumber Daya Alam Ekosistem atau melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Dalam melakukan penangkaran satwaliar yang dilindungi harus tetap menjaga kemurnian
jenisnya, namun upaya persilangan antar jenis tetap dimungkinkan, yaitu dapat dilakukan pada
generasi kedua (F2). Demikian juga untuk satwa hasil penangkaran, satwa yang dapat
diperdagangkan adalah mulai F2 dan berikutnya. Hal itu dikarenakan satwaliar dilindungi yang
diperoleh dari habitat alam untuk keperluan penangkaran dinyatakan sebagai satwa titipan negara
sedangkan satwa generasi kedua dan berikutnya dinyatakan sebagai satwaliar yang tidak
dilindungi (Atmoko 2007). Di beberapa negara seperti Australia, Thailand dan Malaysia, rusa
sambar telah diternakkan dan berkembang dengan baik. Tujuan utama pemeliharan rusa sebagai
hewan ternak di luar negeri adalah untuk dimanfaatkan dagingnya yang disebut venison, serta
tanduknya yang disebut ranggah. Pemanfaatan ranggah ini hanya dilakukan saat ranggah masih
dalam umur muda yang disebut velvet antler (Semiadi et al. 2005).

Rusa secara umum merupakan satwa liar yang memiliki nilai ekonomis, oleh karenanya
pemanfaatannya baik secara legal maupun ilegal telah banyak dilakukan oleh manusia sejak
dahulu. Penurunan populasi rusa sambar disebabkan oleh perburuan liar akibat dari permintaan
daging rusa yang cukup tinggi oleh masyarakat (Ma‟ruf et al. 2005), dan diperparah oleh
kemampuan reproduksinya yang terbatas (Suba et al. 2010) selain juga karena kerusakan habitat
alaminya. Guna menjamin kelangsungan populasinya secara lestari di Indonesia khsusunya telah
banyak dilakukan kegiatan konservasi baik secara in situ maupun ex situ. Upaya konservasi
secara ex situ baik untuk tujuan konvervasi jenis murni maupun untuk tujuan ekonomi telah
banyak dilakukan melalui kegiatan penangkaran di Indonesia. Namun yang perlu diperhatikan
adalah sejauh mana usaha kegiatan penangkaran yang telah ada selama ini dapat dinilai berhasil
dan layak. Penangkaran rusa sambar merupakan awal dari usaha pemanfaatan secara
menyeluruh, sebelum berkembang lebih lanjut ke arah peternakan (Atmoko 2007). Untuk itu
sebaiknya sebelum melakukan usaha penangkaran perlu diadakan kajian pendahuluan mengenai
bagaimana membangun penangkaran yang baik.

Menurut Garsetiasih (2007), dalam konservasi rusa secara ex-situ, persyaratan utama
yang perlu dipenuhi adalah aspek habitat yang harus diupayakan mendekati habitat alaminya.
Karena habitat merupakan tempat hidup suatu organisme dimana suatu satwa liar harus tumbuh
dan berkembang biak secara baik. Pengelolaan suatu satwa dapat dianalogikan sebagai
pengelolaan habitat yang berhubungan dengan peningkatan produksi satwa liar dan pencegahan
penyakit dengan cara memelihara habitatnya. Secara umum seperti sistem penangkaraan satwa
liar lainnya, sistem penangkarn rusa ada tiga sistem penangkaran, yaitu penangkaran secara
intensif (terkurung/sistem kandang), semi intesif (semi terkurung/mini ranch), dan secara
ekstensif (terbuka/bebas). Ketiga sistem penangkaran tersebut sangat tergantung atau disesuaikan
dengan ketersediaan biaya dan lahan yang ada (Takandjandji 2009).
Penangkaran sistem intensif atau terkurung, biasanya sistem pembiakan dilakukan
didalam kandang terbatas, dan seluruh kebutuhan hidup rusa (makan, minum dan lainnya)
termasuk kebutuhan ruang, kesehatan, dan reproduksi diatur oleh manusia. Sistem ini juga
dikenal dengan istilah sistem farming, yang menurut Takandjandji (2009) didefenisikan sebagai
kegiatan memproduksi bibit rusa, kemudian melepaskan ke areal yang lebih luas dan selanjutnya
menangkap kembali hasilnya untuk dijual sebagai produk penangkaran.

Sistem penangkaran berikutnya adalah sistem semi intensif yang dilakukan dengan cara rusa
dipelihara pada suatu areal yang luas dan dikelilingi pagar, lalu dibiarkan merumput sendiri
meskipun terkadang pakan disuplai dari luar apabila ketersediaan pakan didalam dirasa tidak
atau kurang mencukupi (Setio et al. 2011). Meskipun rusa sambar memakan hampir semua
hijauan, namun terdapat preferensi pakan yang perlu diperhatikan sebagai pertimbangan bagi
suplai pakan tambahan terutama pada kandungan serta dan nutirisnya. Pemilihan jenis pakan
tambahan diharapkan juga mampu memperbaiki dan menjaga pertumbuhan rusa. Dalam
penelitian Afzalani et al. (2008), rusa sambar dalam penangkaran lebih memilih hijauan pakan
tambahan yang memiliki serat rendah. Sistem semi intensif ini dikenal juga dengan sebutan mini
ranch. Sistem penangkaran ini biasanya tujuannya tidak melulu untuk tujuan pemanfaatan secara
ekonomi tapi juga dapat diterapkan untuk tujuan konservasi jenis murni. Pada beberapa
penangkaran dengan sistem semi intesif di malaysia (Sungkai deer farm, Perak dan Sebrang
livestock breeding station, Sabah) penangkaran di desain dengan sistem pedok hutan berpagar
yang didalamnya terdapat area terbuka sebagai padang rumput dan ditanami rumput-rumput
pilihan seperti jenis guinea (Panicum maximum) dan setaria (Setaria kazungula), ketersediaan air
juga dipenuhi dengan keberadaan aliran sungai kecil atau parit kali dan kolam kubangan buatan.
Pakan tambahan yang disuplai dari luar selain berupa pelet juga diberikan hijauan dedaunan dari
hutan sekitar seperti daun dari jenis pohon Trema spp. dan Sapium spp., dan untuk kebutuhan
mineral juga diberikan tambahan berupa mineral block (Idris et al. 2000). Di Indonesia, salah
satu contoh penangkaran rusa sambar milik pemerintah (melalui Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan) yang menggunakan sistem semi intensif adalah penangkaran rusa sambar di
KHDTK Samboja, Kalimantan Timur. Pembangunan penangkaran rusa sambar di Samboja
ditujukan untuk pelepasliaran atau peningkatan populasi di alam (Sayektiningsih et al. 2014).

Sistem penangkaran berikutnya adalah sistem ekstensif atau terbuka, dimana


penangkaran dilakukan secara ekstensif dalam areal yang luas dan berpagar. Dalam sistem
penangkaran ini rusa dibiarkan merumput secara alami tanpa ada campur tangan manusia kecuali
mengontrol dan mengatur daya dukung saja (Sumanto et al. 2007). Penangkaran dengan sistem
ini pengelola harus bisa memperhatikan daya dukung habitat dengan tepat agar populasi rusa
tetap berimbang dengan kapasitas daya dukungnya (manajemen habitat). Di penangkaran rusa
sambar Malaysia (Sabal Agroforestry Centre, Sarawak), rusa ditempatkan pada kawasan hutan
sekunder secara bebas sehingga rusa memiliki bahan pakan yang luas (ekstensif), namun seiring
pertambahan waktu waktu ketersediaan pakan yang ada menjadi semakin terbatas akibat dari
jumlah populasi yang semakin bertambah banyak menjadikan pengelola harus mensuplai
makanan tambahan dari luar baik berupa hijauan maupun suplemen konsentrat tambahan
sehingga sistem penangkarannya berubah menjadi semi ekstensif (Idris et al. 2000). Sistem
penangkaran ekstensif dikenal juga sebagai ranching dan ada juga yang menyebutnya sebagai
sistem pembesaran. Menurut Takandjandji (2009), pembesaran disini maksudnya adalah upaya
pemeliharaan, pembesaran, dan penggemukkan rusa.

Penangkaran rusa sambar yang direncanakan akan dibangun di KHDTK Kemampo oleh
Balai Penelitian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, lebih ditujukan kepada tujuan
konservasi jenis, riset atau penelitian, dan penampungan bagi rusa sambar sitaan dari BKSDA
Sumatera Selatan jika diperlukan. Untuk tahap awal dialokasikan luasan areal sekitar 3 Ha,
melihat keterbatasan alokasi lahan yang disediakan dan tujuan utama pembangunan, pilihan
sistem penangkaran yang mungkin bisa diterapkan adalah dengan semi intensif (mini ranch) dan
bila kedepannya penangkaran ini diperluas baik dari tujuan pemanfaatan maupun luasan area
tidak tertutup kemungkinan diterapkan sistem penangkaran secara intensif maupun ekstensif.
Namun apapun sistem penangkaran yang dilakukan, semuanya kembali tergantung pada
ketersediaan biaya, luasan lahan, tenaga kerja, jenis dan jumlah rusa yang akan ditangkarkan dan
tujuan dari penangkaran itu sendiri (Takandjandji 2009). Pertimbangan luasan dan kondisi lahan
yang dialokasikan maka perlu dilakukan sebuah kajian awal untuk melihat potensi pembangunan
dan pengembangan sistem penangkaran yang akan diterapkan.

Pembangunan penangkaran harus mempertimbangkan kondisi habitat alami dari rusa


yang akan ditangkarkan. Menurut Riney (1982) habitat dideskripsikan terbagi atas komponen
pakan, perlindungan, dan faktor-faktor lingkugan (iklim, topografi, hidroorologinya). Shaw
(1985) mengemukakan empat komponen dasar dalam habitat, yaitu pakan, pelindung, air dan
ruang. Bagi satwa herbivora seperti rusa, pakan bisa jadi faktor pembatas karena dua hal yaitu
kurangnya jumlah pakan dan rendahnya kualitas pakan (Garsetiasih 2007). Pakan juga
merupakan komponen habitat yang paling nyata karena perkembangan populasi di alam maupun
di penangkaran akan berhubungan erat dengan pakan yang berkualitas (Takandjandji 2009).
Jenis vegetasi pakan juga mempengaruhi palatabilitas satwa, rusa sambar di New Zealand lebih
menyukai tumbuhan herba dengan kandungan N yang lebih tinggi, sehingga ini mempengaruhi
pergerakan satwa dalam mencari pakan yang disukainya (Semiadi et al. 1993). Kesesuaian
habitat juga akan mempengaruhi tingkat kelahiran atau populasi dari rusa sambar (Forsyth et al.
2015).

Daya dukung habitat merupakan hal penting dalam pengadaan pakan. Bailey (1984)
menyatakan bahwa daya dukung adalah jumlah individu satwa dengan kualitas tertentu yang
dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sumber daya habitat. Daya
dukung dipengaruhi oleh kelimpahan pakan dan luasan (ruang) sangat penting dalam
menentukan baik buruknya kualitas rusa yang ditangkarkan, daya dukung yang tidak sesuai
dengan jumlah populasi dapat menurunkan bobot badan rusa sambar (Brahmantiyo et al. 2011).
Sedangkan pelindung atau naungan harus mampu memberikan perlindungan dari cuaca (panas,
hujan, angin) dan predator. Pakan dan tanaman pelindung (cover/shelter), baik dihabitat alami
maupun habitat modifikasi (penangkaran) bisa didapatkan dari vegetasi yang ada atau tumbuh
secara alami maupun vegetasi yang sengaja ditanam oleh pengelola. Untuk memastikan vegetasi
yang dapat dimanfaatkan baik sebagai pakan maupun pelindung maka perlu kajian kesesuaian
lahan yang akan dibangun penangkaran dengan habitat alami rusa sambar dilihat dari jenis dan
komposisi tumbuhan yang ada. Komponen lain yaitu air, dibutuhkan dalam proses metabolisme
tubuh satwa. Rusa pada habitat alaminya sangat memerlukan air karena rusa mempunyai
perilaku berkubang. Keberadaan air sangat penting bagi rusa sambar, karenanya rusa ini juga
disebut sebagai rusa air atau rusa payau. Kubangan air selain menjadi tempat minum, juga
merupakan tempat mengasin yang penting dalam habitat rusa sambar (Primack, 2004). Pada
penangkaran keberadaan air atau kolam kubangan menjadi tempat yang sangat disukai rusa
sambar untuk berendam khususnya saat cuaca panas (Maksudi et al. 2010). Ketersediaan air
sangat penting bagi rusa sambar karena jenis ini lebih memerlukan air dalam jumlah yang
melimpah sepanjang tahun dibandingkan rusa timor (Kwatrina dan Sukmana, 2008). Komponen
habitat berikutnya adalah ruang (space), satwa membutuhkan variasi luasan ruang untuk
mendapatkan cukup pakan, pelindung, air dan tempat untuk kawin. Luasan ruang dalam habitat
yang memadai tergantung pada ukuran populasi yang diinginkan.

Ukuran populasi tergantung besarnya satwa atau semakin besar ukuran satwa, semakin
luas ruang yang dibutuhkan. Dalam konteks pemanfaatan ruang, kontur tanah dan ketinggian
tempat juga hal yang harus dipertimbangkan dalam membangun penangkaran rusa. Rusa secara
umum relatif lebih menyukai permukaan tanah yang cenderung datar, rusa sambar lebih
menyukai dataran landai maupun punggung bukit yang tidak curam (Ma‟ruf 2011). Distribusi
dan kelimpahan populasi rusa sambar di Thailand lebih banyak dijumpai pada area sekitar sungai
yang relatif datar dibandingkan dengan area yang curam, hal ini terkait dengan ketersediaan
vegetasi pakan dan kemudahan mendeteksi pemangsa (Simcharoen et al. 2014). Topografi
seperti kelerangan juga dapat mempengaruhi bagian tanaman yang dapat dikonsumsi (proper
o
use). Susetyo (1980) menyatakan bahwa proper use kemiringan lahan 0-5 adalah 60-70%, 5-
o o
23 adalah 40-45%, dan > 23 adalah 25-30%. Ekologi rusa selain komponen habitat yang perlu
dipertimbangkan dalam membangun penangkaran adalah pengetahuan dari perilaku alami satwa
yang akan ditangkarkan dalam hal ini adalah perilaku rusa sambar. Pengetahuan tentang perilaku
satwa sangat diperlukan untuk menentukan tindakan dalam pengelolaan populasi dan habitat
(Takandjandji 2009). Perilaku dimaksud meliputi perilaku makan, perilaku seksual/reproduksi,
sex ratio, perilaku sosial, dan lainnya. Perilaku seksual atau perkawinan baik secara alami
maupun buatan memerlukan pengetahuan yang cukup, karena sistem perkawinan mempengaruhi
kualitas dari rusa yang dihasilkan. Selain pemilihan indukan yang salah, sistem perkawinan yang
tidak terarah (silang dalam) dapat menurunkan bobot tubuh rusa sambar yang dihasilkan dalam
penangkaran (Brahmantiyo et al. 2011).

Penelitian rusa sambar pada penangkaran di New Zealand memperlihatkan perilaku


seksual/reproduksi yang cukup intensif dengan ditemukannya kelahiran anakan hampir
sepanjang tahun kecuali pada bulan Juli dan Desember, dan puncaknya adalah pada bulan April
dan Mei (Semiadi et al. 1994). Hal ini perlu menjadikan perhatian khusus bagi pengelola
penangkaran terkait dengan manajemen kesehatan, pemeliharaan anakan, serta fasilitas
pendukungnya jika ingin menekan resiko kematian kelahiran anakan maupun indukan. Semiadi
et al. (2005) menyatakan, berhasilnya pemahaman keadaan reproduksi suatu jenis rusa akan
banyak membantu usaha peningkatan populasi rusa tangkaran, antara lain melalui strategi
manajemen reproduksi. Indikator keberhasilan pengembangan suatu populasi penangkaran dapat
ditinjau dari nilai produktivitas induk dan persentase anak hidup pada umur 12 bulan. Pola
perilaku harian dan pemanfaatan ruang juga harus menjadi pertimbangan dalam perancangan
tapak dan rencana pengelolaan sebuah penangkaran. Kebutuhan aktivitas harian dasar berupa
makan, istirahat, tidur dan preferensi pemilihan mikrohabitat dalam area penangkaran harus
didukung oleh kondisi tapak yang tersedia. Penelitian Gusmasari dan Rustiati (2012) di
penangkaran Universitas Lampung, memperlihatkan pola aktivitas harian rusa sambar
persentasenya adalah aktivitas makan (45.8%), diikuti aktivitas tidur (30.6 %) dan istirahat (23.7
%) dengan preferensi mikrohabitatnya adalah area bervegetasi semak alang-alang untuk aktivitas
tidur dan istirahat, dan area bervegetasi rumput, semak dan pohon untuk aktivitas makan.

Rusa sambar dalam penangkaran sangat beresiko mengalami stress, karena secara
perilaku alaminya rusa ini termasuk satwa yang sensitif dan mudah gugup terhadap perubahan
lingkungan sekitarnya. Meskipun demikian rusa sambar bisa dijinakkan dengan cara
membiasakan mereka berinteraksi dengan manusia seperti pemberian pakan tambahan oleh
pengelola dalam penangkaran (Semiadi et al. 1994). Pada saat awal rusa diintroduksi kedalam
penangkaran juga umumnya rusa akan mengalami stress khususnya pada masalah nafsu
makannya. Penelitian Maksudi et al. (2010) memperlihatkan keadaan awal rusa setelah satu
minggu dari penangkapan berat rusa adalah 9.2 kg dengan umur kurang lebih satu bulan. Terlihat
bahwa kondisi rusa terlihat kurus karena stress yang ditandai dengan tidak mau makan dan hanya
menkonsumsi cairan susu bubuk instan sebanyak 150 ml yang diberikan 3 kali sehari. Setelah 10
hari pada periode adaptasi, rusa mulai memakan hijauan dan rumput dalam jumlah yang sangat
terbatas dan konsumsi susu berkurang menjadi 2 kali sehari yang diberikan pagi dan sore. Pada
periode awal adaptasi inilah rusa menjadi jinak, sifat liarnya hilang sama sekali. Pada akhir
periode adaptasi ini rusa telah sepenuhnya makan rumput hijauan dan ubi jalar.

Perubahan psikis juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ranggah dan aktivitas reproduksi
(Semiadi et al. 2003). Memahami perilaku rusa merupakan kunci dari suksesnya usaha
peternakan rusa khususnya dalam sistem pedok (Semiadi et al. 2008). Hal lain yang tidak kalah
penting adalah sarana dan prasarana pendukung penangkaran yang akan dibangun seperti
bangunan (rumah jaga, ruang observasi, ruang isolasi dan pemeriksaan kesehatan, ruang
penyimpanan pakan dan obat- obatan serta alat dan lainnya), shelter/penaung, tempat makanan
tambahan, tempat minum dan berkubang, dan saluran air. Membangun penangkaran, perlu juga
mempertimbangkan persepsi serta informasi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar
lokasi penangkaran, dikarenakan dukungan masyarakat sekitar sangat menunjang keberhasilan
kegiatan penangkaran tersebut (Takandjandji et al. 2011) serta agar rencana pengelolaan dapat
juga bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Pertisipasi masyarakat diperlukan dalam pengelolaan
penangkaran. Partisipasi yang dimaksudkan adalah sebagai partisipasi masyarakat untuk
mendapatkan ruang dalam suatu kegiatan yang mendukung berjalannya pengelolaan
penangkaran tersebut. Tahap awal, masyarakat dapat dilibatkan untuk tujuan keamanan, di mana
ada komitmen dari masyarakat untuk tidak menganggu keberadaan penangkaran rusa, setelah
keamanan tercipta maka tahapan selanjutnya partisipasi masyarakat dapat diarahkan untuk
peningkatan kesejahteraan mereka (Sayektiningsih et al. 2014). Hal ini sejalan dengan pemikiran
Tambunan et al. (2005) yang menyatakan bahwa segala bentuk pembangunan harus berorientasi
kepada kesejahteraan masyarakat.
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari paper ini adalah Pembangunan penangkaran harus
mempertimbangkan kondisi habitat alami dari rusa yang akan ditangkarkan. Habitat
dideskripsikan terbagi atas komponen pakan, perlindungan, dan faktor-faktor lingkugan (iklim,
topografi, hidroorologinya). Ukuran populasi tergantung besarnya satwa atau semakin besar
ukuran satwa, semakin luas ruang yang dibutuhkan. Dalam konteks pemanfaatan ruang, kontur
tanah dan ketinggian tempat juga hal yang harus dipertimbangkan dalam membangun
penangkaran rusa. Rusa secara umum relatif lebih menyukai permukaan tanah yang cenderung
datar, rusa sambar lebih menyukai dataran landai maupun punggung buki. Rusa secara umum
merupakan satwa liar yang memiliki nilai ekonomis, oleh karenanya pemanfaatannya baik secara
legal maupun ilegal telah banyak dilakukan oleh manusia sejak dahulu. Penurunan populasi rusa
sambar disebabkan dan aktivitas rusa sambar baik di habitat alaminya maupun dalam lingkungan
terbatas atau penangkaran dimulai dari pagi hingga malam hari
DAFTAR PUSTAKA

Afzalani , Muthalib RA, Musnandar E. 2008. Preferensi pakan, tingkah laku makan dan
kebutuhan nutrien rusa sambar (Cervus unicolor) dalam usaha penangkaran di Provinsi
Jambi. Med Petern 31(2):114-121.

Akbar R. 2018. Evaluasi komposisi botani dan nilai nutrisi pada rumput di rawa Kecamatan
Menggala Kabupaten Tulang Bawang [skripsi]. Bandar Lampung (ID) : Universitas
Lampung.

Ako A, Hastang, Budiman, Baba S, Kasim K, Nurlelah S. 2016. Peningkatan produktivitas


padang penggembalaan dengan rotational grazing plus cut and carry system. Bul
Petern 4(2016):15-21.

Austin RI. 1984. Designing the natural landscape. Van Nostrand Reinhold Company. New York.

Bailey JA. 1984. Principles of wildlife management. John Willey and Sons Inc. New York.

Balebu E, Boer C, Sukaton E. 2002. Identifikasi dan analisis kimia jenis-jenis pakan rusa sambar
(Cervus unicolor brookei) di areal penangkaran rusa Kabupaten Pasir Propinsi
Kalimantan Timur. Equator 1(2 ):75-101.

Bartos L. 1990. Social status and antler development in red deer. 442-459 in Bubenik GA,
Bubenik AB, editor. Horn, Proghorns and Anthler. Springer- Sverlag Publishing. New
York.

Brahmantiyo B, Wirdateti, Nugraha T, Trasidiharta A. 2011. Peningkatan bobot badan dewasa


rusa sambar melalui seleksi di penangkaran. B Plasma Nutfah 17(1):68-72

Dahlan I, NA Norfarizan-Hanoon. 2007. Fatty acid profiles and cholesterol composition of


venison from farmed deer. J. of Animal Veterinary Advances 6(5):650-657.

Dahlan I, Dawend J. 2013. Growth and reproductive performance of sambar deer in Sabal Forest
Reserve of Sarawak, Malaysia. Trop Anim Health and Prod 45(7):1469-1476. doi:
10.1007/s11250-013-0383-6.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor
7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Departemen Kehutanan
dan Perkebunan. Jakarta.

Fanindi A, Prawiradiputra BR, Abdullah L. 2010. Pengaruh intensitas cahaya terhadap produksi
hijauan dan benih Kalopo (Calopogonium mucunoides). JITV 5(3):205-214.
Forsyth DM, Stamation K, Woodford L. 2015. Distributions of sambar deer, rusa deer and sika
deer in Victoria. Arthur Rylah Institute for Environmental Research Unpublished
client report for the Biosecurity Branch. Department of Environment, Land, Water and
Planning Heidelber. Victoria. Australia.

Garsetiasih R. 1990. Potensi lapangan perumputan rusa di pulau menipo pada musim kemarau.
Laporan Teknis. Kupang (ID): Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Nusa Tenggara
Timur.

Garsetiasih R, Takandjandji M. 2006. Model penangkaran rusa. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil


Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, Padang 20 September
2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Garsetiasih R. 2007. Daya dukung kawasan hutan Baturaden sebagai habitat penangkaran rusa.
JPHKA 4(5):531-542.

Garsetiasih R, Alikodra HS, Soekmadi R, Bismark M. 2012. Potensi dan produktivitas habitat
pakan banteng (Bos javanicus d‟alton 1832) di padang perumputan Pringtali dan
kebun pantai Bandealit Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur. JPHKA. 9(2):113-
123.

Ginantra IK, Suaskara IBM, Muksin IK. 2018. Selection of forages by timor deer (Cervus
timorensis blainville) in menjangan island, Bali. IOP conf.Ser.Earth environ
130(2018):1-11.

Kwatrina RT, Takandjandji M, Bismark M. 2011. Ketersediaan tumbuhan pakan dan daya
dukung habitat Rusa timorensis de Blainville, 1822 di kawasan hutan penelitian
Dramaga. Bul Plasm Nutf. 17(2):129-137.

Latupapua MJJ. 2006. Studi tentang populasi dan habitat rusa (Cervus Timorensis) pada areal
bekas HPH PT Barito di desa Nguali kecamatan Kao kabupaten Halmahera Utara. J.
Agrofor. 1(2):36-44.

Lawrie RA, DA Ledward. 2006. Lawrie’s Meat Science. Seventh edition. Woodhead Publishing
Limited. Cambridge. England.

Lekagul B, McNeely JA. 1988. Mammals of Thailand. Dharashunta Press. Thailand.

Leslie DM. 2011. Rusa unicolor (Artiodactyla: Cervidae). Mamm Species 43(1):1- 30. doi:
10.1644/871.1.

Lukman AH, Sofyan A, Muslimin I. 2012. Pengaruh penyiangan dan pemupukan terhadap
pertumbuhan awal tanaman pulai (Alstonia scholaris R. Br.). JPHT. 9(1):1-8.
Luna RS, Duarte A, Weckerly FW. 2013. Influence of body size on dietary nutition of white-
tailed deer Odocoileus virgianus. JoFWM 4(1):53-62.

Maksudi, Harris L, Pudji R. 2010. Diversifikasi kebutuhan ternak ruminansia melalui budidaya
rusa sambar (Cervus unicolor): tinjauan aspek fisiologis. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Peternakan 13(5):235-239.

Manshur A. 2011. Studi pakan dan perilaku makan rusa sambar (Cervus unicolor Kerr, 1972) di
resort Teluk Pulai, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah [skripsi].
Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Maryanto I, AS Ahmadi, AP Kartono. 2008. Mamalia dilindungi perundang- undangan


Indonesia. Jakarta (ID) : LIPI-Press.

Ma‟ruf A. 2011. Habitat dan sebaran rusa sambar (Rusa unicolor) di Kalimantan
Timur.Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian BPTKSDA : Hasil-Hasil Riset Untuk
Mendukung Konservasi Yang Bermanfaat Dan Pemanfaatan Yang Konservatif.
Balikpapan, 3 November 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam. Bogor.

Ma‟ruf A, Atmoko T, Syahbani I. 2005. Teknologi penangkaran rusa sambar (Cervus unicolor
(Kerr, 1792)). Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi : Teknologi untuk Kelestarian
Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Mataram, 29-30 Juni 2005. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Masy‟ud B, Kusuma IH, Rachmandani Y. 2008. Potensi vegetasi pakan dan efektivitas
perbaikan habitat rusa timor (Cervus timorensis, de Blainville 1822) di Tanjung Pasir
Taman Nasional Bali Barat. Med Konserv 13(2):59-64.

Mcshea WJ, Aung M, Poszig D, Wemmer C, Monfort S. 2001. Forage, habitat use, and sexual
segregation by a tropical deer (Cervus eldi thamin) in a dipterocarp forest. J. of
Mamm82(3):848–857.

Mualimin, Islam S. 2012. Kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Kemampo.
Palembang (ID): Balai Penelitian Kehutanan Palembang.

Mustari AH, Manshur A, Masy‟ud B. 2012. Jenis pakan dan daya dukung habitat rusa sambar
(Cervus unicolor Kerr, 1972) di resort Teluk Punai, Taman Nasional Tanjung Puting,
Kalimantan Tengah. Media Konserv. 17(2): 47-54.

Ngamposai C. 1978. Grassland food preference of the sambar (Cervus unicolor) in Khao Yai
National Park, Thailand. J. Biotrop 8(1978):99-115.

Payne J, CM Francis, K Phillips, SN Kartikasari. 2000. Panduan lapangan : mamalia di


Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. Jakarta (ID) : Prima Centra.
Pires SF, Moreto WD. 2011. Preventing wildlife crime : Solution that can overcome the „tragedy
of the commons‟. Eur J Crim Policy Res. 17(2011):101 – 123.

Primack RB. 2004. A primer of conservation biology. Sinauer Associates Inc. Sunderland.
Massachusetts. USA.

Priyono A. 2007. Pendekatan ekologi dan ekonomi dalam penataan kawasan buru rusa sambar:
studi kasus Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi [disertasi]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.

Rahayuningtyas N, Daryanto TJ, Purani O. 2017. Penerapan arsitektur kontekstual dalam


perancangan kawasan wisata budaya Samin di Blora. Region 15(2):378- 388.

Rahmania N, Yustian I, Stiawan A. 2017. Habitat optimalization of captive deer PT. Pusri
Palembang. Biovalentia 3(1):17-25.

Ratag Elano SA. 2006. Kajian ekologi populasi rusa sambar (Cervus unicolor) dalam
pengusahaan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi [tesis]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.

Riney T. 1982. Study and management of large mammals. John Willey and Sons Inc. New York.

Roddam BH. 2011. The effects of domestic dogs (Canis familiaris) as a disturbance agents on
the natural ebvironment [tesis]. Hobart (TZ) : University of Tazmania.

Sayektiningsih T, Atmoko T, Ma‟ruf A. 2014. Persepsi masyarakat terhadap pembangunan


penangkaran rusa sambar (Cervus Unicolor Kerr, 1792) Di KHDTK Samboja,
Kalimantan Timur. JPHKA 11(2):143-153.

Schroder TO. 1976. Deer in Indonesia : Literature study on the distribution, ecology, threats and
conservation of deer in Indonesia. Departement of Nature Conservation, Wageningen
(NL) : Wageningen University.

Sumanto, Masyud B, Thohari AM. 2007. Desain penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de
Blainville) berdasarkan sistem deer farming di kampus IPB Darmaga Bogor. Media
Konserv. 12(3):119-124.

Susanto M. 1980. Habitat dan tingkah laku rusa di Indonesia. Materi Kursus Pengelolaan
Konservasi Lingkungan Angkatan Ke-II. Bogor.

Susetyo S. 1980. Padang penggembalaan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Sutrisno E. 1986. Studi tentang potensi makanan dan populasi rusa sambar (Cervus unicolor) di
padang penggembalaan Cigumentong Taman Buru Gunnung Masigit Kareumbi
[skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Suzuki S, Kitamura S, Kon M, Poonswad P, Pilai, Chuailua P, Plongmai K, Yumoto T, Noma N,
T. Maruhashi, P. Wohandee. 2006. Foraging activity patterns of frugivorous or
omnivorous animals on the forest floor of a tropical seasonal forest in Thailand, with
reference to seasonal changes. Nat Hist Bull of the Siam Soc 54 (2): 177-194.

Syarief A. 1974. Kemungkinan pembinaan dan pembiakan rusa di Indonesia. Direktorat


Perlindungan dan Pengawetan Alam, Departemen Kehutanan. Bogor.

Takandjanji M. 2009. Desain penangkaran rusa timor berdasarkan analisis komponen bio-
ekologi dan fisik di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor [tesis]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.

Takandjandji M, Garsetiasih R, Kayat. 2011. Pengembangan penangkaran rusa. Sintesis Hasil-


hasil Litbang Pengembangan Penangkaran Rusa Timor (Rusa timorensis Blainville,
1822). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

Tambunan R, Harahap RH, Lubis Z. 2005. Pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Asahan
(studi kasus partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan
Lima Puluh, Kabupaten Asahan). JSP 1(1):55- 59.

Van Bemmel ACV. 1949. Revision of the rusine deer in the Indo-Australian archipelago.
Treubia. 20(1949):191 – 237.

Yen SC, Wang Y, Ou HY. 2013. Habitat of the vulnerable Formosan sambar deer Rusa unicolor
swinhoii in Taiwan. J Oryx 48(2):232-240.

Anda mungkin juga menyukai