Anda di halaman 1dari 5

Nama : Taufik Setiawan

NIM : E351194031

Tugas Desain dan Perencanaan Pemanfaatan Satwaliar

RENCANA MODEL PENGEMBANGAN PEMANFAATAN RUSA TIMOR (Cervus


timorensis) di TAMAN NASIONAL GUNUNG TAMBORA

PENDAHULUAN
Sumberdaya alam yang sangat menarik untuk dijadikan sebagai objek ekowisata, salah satunya
adalah satwaliar karena mempunyai peranan yang unik dalam ekosistem (Yoeti 2000 dan
Lukman 2004). Optimalisasi pemanfaatan dan pengawetan sumber daya alam merupakan suatu
kegiatan yang penting penanganannya karena berkaitan antara manusia, kebijakan dan
kepentingan hidupan satwa liar. Masing-masing kelompok mempunyai stackholdernya sendiri-
sendiri (Semiadi 2007).
Implementasi kebijakan sebagai salah satu tahapan dari proses kebijakan publik merupakan hal
yang sangat penting untuk diperhatikan. Proses pada tahap ini dapat dikatakan krusial, karena
bagaimanapun baiknya suatu kebijakan apabila pelaksanaan atau implementasinya buruk maka
kebijakan tersebut tidak akan sampai ke sasaran kebijakan dengan baik (Ariyani dan Kismartini
2017).

Penetapan dan pengelolaan taman nasional merupakan salah satu cara memperoleh manfaat
sumberdaya hutan selain kayu, sehingga manfaatnya dapat dinikmati secara lestari lintas
generasi. Sampai akhir tahun 2004 sudah ada 50 taman nasional yang ditetapkan. Pemanfaatan
sumberdaya hutan dengan basis taman nasional diharapkan lebih menjamin kelestarian
sumberdaya alam dan dapat meningkatkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat lokal dengan
lebih nyata. Manfaat ekonomi ini dapat dihasilkan dari jasa-jasa lingkungan (air dan wisata)
maupun hasil hutan non kayu yang diperoleh tanpa merusak ekosistem atau menebang pohon.
Hal ini sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan yang menjadi
asas pembangunan nasional di Indonesia (Dunggio dan Gunawan 2009).
Kegiatan pengawetan (preservasi) adalah upaya untuk menjaga dan memelihara keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya agar
keberadaannya tidak punah, tetap seimbang dan dinamis dalam perkembangannya. Kegiatan ini
dalam taman nasional dilakukan melalui pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta
habitatnya, penetapan koridor hidupan liar, pemulihan ekosistem dan penutupan kawasan
(Ariyani dan Kismartini 2017). Salah kegiatan pengawetan adalah penangkaran rusa.
Penangkaran Rusa adalah kegiatan konservasi ex-situ yang dilakukan untuk menjaga
keanekaragaman rusa yang berada di luar habitat aslinya.

TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk menentukan strategi pengembangan penangkaran
Rusa (Rusa Timor (Cervus timorensis).

PEMBAHASAN
Gunung Tambora pada awalnya merupakan kawasan konservasi di bawah pengelolaan Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Barat . Kawasan Konservasi Gunung
Tambora ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 2842
tahun 2014. Gunung Tambora secara administratif terletak di Kabupaten Bima dan Kabupaten
Dompu, pulau Sumbawa, yang secara geografis terletak antara 80 15‟ LS dan 118°00‟BT
dengan ketinggian antara 0–2 851 mdpl. Gunung Tambora merupakan gunung tertinggi di pulau
Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (BKSDA NTB 2010). Taman Nasional Gunung
Tambora memiliki sumber daya alam yang khas, selain karena letusan gunung Tambora pada
tahun 1815 (Rampino 1982; Self and Wolff 1987; Stothers 2004) yang merupakan yang terbesar
dalam sejarah ingatan manusia. Keragaman flora, fauna dan juga budaya yang sangat kental
dalam kehidupan masyarakat sekitar kawasan taman nasional. Bagi sebagaian masyarakat sekitar
kawasan, perubahan fungsi kawasan konservasi Gunung Tambora menjadi taman nasional belum
dirasakan manfaatnya secara langsung. Kawasan taman nasional dapat mengalami tekanan akibat
dari kebutuhan masyarakat yang ada di sekitar kawasan akan lahan, makanan, dan pendapatan.
Masyarakat dalam kawasan wisata di taman nasional harus mendapatkan manfaat dari
keberadaan kawasan sehingga stakeholder dan masyakat bekerjasama dalam mengelola kawasan
secara adil dan berkelanjutan (Wishitemi et al. 2015).
Keberadaan rusa dalam kehidupan manusia sebenarnya sudah lama berlangsung. Para arkeolog
menemukan bukti bahwa di zaman purba, ujung ranggah keras rusa (tanduk, dalam tata bahasa
yang salah) banyak dipakai sebagai mata ujung tombak berburu serta alat pemotong. Di zaman
dahulu juga, tidak sedikit kerajaan kecil yang menggunakan kepala rusa jantan sebagai lambang
atau simbol negara. Sedangkan di masa modern ini, rusa banyak dijadikan sebagai satwa buru
selain diawetkan bagian kepala dan ranggah kerasnya sebagai hiasan dinding (Semiadi dan
Nugraha 2004)

Penangkaran rusa akan berlangsung dengan baik dan bahkan dapat dikembangkan menjadi objek
wisata jika terdapat sumber daya manusia yang memadai dan didukung para pihak khususnya
masyarakat setempat serta penerapan fungsi-fungsi manajemen yang baik. Menurut Rokhayati
(2014) dalam (Saturnino Xavier et all 2018), manajemen adalah suatu kerjasama dengan orang-
orang dalam organisasi untuk menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuan-tujuan
organisasi dengan melaksanaan fungsi-fungsi manajemen antara lain perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controlling). Lebih
lanjut Riyadi (2015) dalam Saturnino Xavier et all (2018) menjelaskan bahwa manajemen adalah
mengetahui ke mana yang dituju, kesukaran apa yang harus dihindari, kekuatan-kekuatan apa
yang dijalankan dan bagaimana mengemudikan organisasi serta anggota dengan sebaik-baiknya
tanpa pemborosan waktu dalam proses mengerjakannya. Pada pelaksanaannya, penerapan
fungsi-fungsi manajemen tersebut perlu memperhatikan faktor-faktor kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman dalam pengembangan usaha penangkaran rusa agar usaha tersebut dapat
berkelanjutan (sustainable) (Saturnino Xavier et all 2018).

Salah satu cara pengembangan satwa liar menjadi komoditi adalah penangkaran. Ada beberapa
pola yang dapat dikembangkan dalam pengembangan satwa liar yaitu game ranching dan game
farming. Game ranching ialah suatu penangkaran yang dilakukan dengan system pengelolaan
yang ekstensif. Menurut Robinson dan Bolen 1984, pertama kegiatan penangkaran yang
menghasilkan satwa liar untuk kepentingan olahraga berburu, umumnya jenis binatang eksotik.
Kedua adalah kegiatan penangkaran satwa liar untuk menghasilkan daging, kulit, maupun
binatang kesayangan. Game Farming adalah kegiatan penangkaran satwa liar dengan tujuan
untuk menghasilkan produk-produk seperti misalnya kulit, bulu, minyak dan taring.

Saat ini Balai Taman Nasional Gunung Tambora akan melaksanakan pengembangan
penangkaran rusa dan mengembangkan perkembiangkan terhadap rusa. Rusa atau yang dikenal
dengan nama latin Cervus timorensis ini adalah jenis hewan langka dan merupakan salah satu
satwa yang dilindungi undang-undang. Dalam pengembangan penangkaran rusa timor yang ada
di taman nasional Gunung Tambora perlu adanya kerjasama dari beberapa stakeholder terkait
yang diantaranya adalah Balai Taman Nasional Gunung Tambora, Balai Konservasi Sumber
Daya Alam, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan masyarakat
sekitar. Sehingga dalam pengembangan penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) perlu
dikembangkan beberapa pola dala mendukung penangkaran tersebut, diantaranya adalah game
ranching dan game farming. Diharapkan dengan adanya game ranching dan game farming dapat
menghasilkan Rusa Timor (Cervus timorensis) yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyani NAE, Kismartini. 2017. Implementasi kebijakan konservasi pengawetan dan


pemanfaatan lestari sumber daya hutan alam hayati dan ekosistem di Taman Nasional
Karimun Jaya. Proceeding Biology Education Conference. 14(1): 206-213.

BKSDA NTB] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat. 2010. Panduan Wisata
Alam di Kawasan Konservasi Nusa Tenggara Barat. Mataram: BKSDA NTB.

Bolen EG, Robinson. 1995. Wildlife Ecology and Management. New Jersey. Prentice Hall.

Dunggio I, Gunawan H. 2009. Telaah sejarah kebijakan pengelolaan taman nasional di


Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 6 (1): 43 – 56.

Lukman, H. (2004). Dasar-Dasar Ekowisata. Malang: Bayumedia.

Rampino MR. 1982. Historic eruptions of Tambora (1815), Krakatau (1883), and Agung (1962),
their stratospheric aerosols and climatic impact. Queternary Research. (18): 127-143.

Riyadi, F. 2015. Urgensi manajemen dalam bisnis Islam. Jurnal Bisnis dan Manajemen
Islam. 3(1): 64-85.

Rokhayati, I. 2014. Perkembangan teori manajemen dari pemikiran scientific management


Hingga era modern suatu tinjauan pustaka. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. 15(2): 1-20.
Semiadi G. 2007. Pemanfaatan satwa liar dalam rangka konservasi dan pemenuhan gizi
masyarakat. Zoo Indonesia. 16(2): 63-74.

Semiadi G. Nugraha RTP. 2004. Panduan Pemeliharan Rusa Tropis. Bogor: Puslit Biologi LIPI.

Self S, Wolf JA. 1987. Commens on “The petrology of Tambora volcano, Indonesia: A model
for the 1815 eruption” by J. Foden. Journal of Volcanology and Geothermal Research. (31):
163-170.

Stother RB. 2004. Density of fallen ash after the eruption of Tambora ini 1815. Journal of
Volcanology and Geothermal Research. 134: 343-345.

Tobing SLI. 2008. Manajemen kawasan dalam upaya konservasi sumberdaya alam hayati. Vis
vitalis. 01(2): 63-70.

Wishitemi BEL, Momanyi SO, Gichana B, Makonjio M. 2015. The link between poverty,
environment and ecotourism development in areas adjacent to Maasai Mara and Amboseli
protected areas, Kenya. Tourism Management Perspectives. (16): 306–317.

Xavier S, Harianto SP , BS. 2018. Pengembangan penangkaran rusa timor (Cervus timorensis) di
Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 6(2): 94-102.

Yoeti OA. 2000. Ekowisata Pariwisata Berwawasan Lingkungan. Jakarta: PT. Pertja.

Anda mungkin juga menyukai