BAB 1 PENDAHULUAN
Menurut UU No. 41 Tahun 1999, “tujuan dari penyelenggaraan kehutanan adalah sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan
aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk
menjangkau manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan
berkelanjutan”. Hutan sangat penting bagi kehidupan di muka bumi, terutama bagi kehidupan
generasi mendatang. Kesalahan dalam pengelolaan hutan berarti menyiksa kehidupan generasi
mendatang. Untuk mencegah kesalahan dalam pengelolaan hutan, maka fungsi hutan harus
dipelajari dan dimengerti secara holistik (utuh). Pengelolaan hutan bukan hanya sekedar
menetapkan hutan sebagai perlindungan tanah, iklim, sumber daya air dan pemenuhan kebutuhan
akan kayu dan produk lainya. Namun, pengelolaan hutan harus ditujukan untuk
mendayagunakan semua lahan demi kepentingan negara, bahkan dunia (Arief 2005).
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang multifungsi dalam menunjang kehidupan
umat manusia yang tidak hanya terbatas sebagai tempat konservasi keanekaragaman hayati dan
pemeliharaan fungsi ekosistem, tetapi juga menghasilkan barang dan jasa lingkungan bagi
masyarakat (Rahawarin. 2010).
Dalam pengelolaan lingkungan terdapat pertentangan antara paham antroposentrisme dengan
paham ekosentrisme. anthroposentris memandang keberadaan alam hanya untuk memenuhi
kebutuhan manusia, sehingga kerusakan alam akibat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia
adalah hal yang wajar (Glaser, 2006: 126). Chiras dalam Susilo (2014: 62) menyatakan bahwa
watak antroposentris terbangun dari 3 persepsi, yakni memandang: 1) alam dan bumi sebagai
sumber kehidupan yang tidak terbatas; 2) manusia sebagai makhluk eksklusif, atau berada di luar
alam; 3) alam sebagai sesuatu yang perlu dikuasai, hanya yang menguntungkan manusia yang
perlu dilindungi dan dimanfaatkan, sementara yang tidak menguntungkan ditelantarkan saja.
Menurut Sunyoto Usman (2012: 288), terdapat 5 watak manusia yang tidak bisa dipisahkan dari
Anthroposentrisme, yakni: 1) The cornuopia view of nature, yakni pandangan yang beranggapan
bahwa alam terbentang luas dan tak akan pernah habis, sehingga setiap orang dapat leluasa
memanfaatkannya; 2) Faith in technology, yakni keyakinan bahwa manusia dapat secara optimal
memanfaatkan alam dengan teknologi, dan perkembangan teknologi diyakini akan mampu
mengatasi berbagai kerusakan alam yang muncul; 3) Growth ethic, yakni etika ingin terus maju,
tidak puas dengan segala yang dimiliki, sehingga perusahaanperusahaan ditantang untuk
memproduksi barang-barang baru dengan konsekuensi SDA semakin banyak dieksploitasi;
4) Materialism, yakni paham yang menjadikan kepemilikan benda dan harta sebagai tolak ukur
keberhasilan; 5) Individualism, yakni sikap dan keyakinan yang menekankan dorongan personal
tanpa memikirkan kepentingan dan kerugian di pihak lain. Pemikiran antroposentrisme akan
selalu mengorientasikan pengelolaan lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan manusia.
Pemikiran antoposentrisme ini menghasilkan dampak yang semakin memburuk ketika sistem
ekonomi pasar mendominasi kontrol atas pengelolaan SDA. Dalam ekonomi pasar, prinsip
pemanfaatan terhadap SDA adalah memaksimalkan keuntungan dan akumulasi kapital. Ideologi
pembangunan sebagian besar didasarkan pada gagasan pemanfaatan seluruh SDA untuk produksi
komoditas (Shiva dan Mies, 2005: 81). Sehingga produksi kebutuhan pasar didudukkan pada
kedudukan yang lebih tinggi di atas kepentingan untuk keberlanjutan lingkungan. Laju
pembukaan hutan akibat dari aktifitas logging tidak terbendung dan bahkan tidak sedikit yang
dikonversi menjadi perkebunan monokultur untuk produksi bahan baku industri. Di kabupaten
sorong terdapat perubahan fungsi Kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang bisa
dikata cukup luas, jika tren pembukaan dan konversi hutan terus terjadi maka akan
menghadirkan ancaman yang nyata terhadap lingkungan dan kehidupan satwa endemik asal
papua. Sebab hutan papua adalah hutan tropis yang memiliki memeliki keanegaramanan flora
dan fauna dan memilik kemampuan menyerap karbon yang sangat tinggi dan berlangsung
sepanjang tahun karena kondisinya yang selalu hijau meskipun berada pada periode musim
kemarau.
Fakta degradasi lingkungan yang telah berlangsung lama kemudian menghadirkan aliran baru
dalam etika lingkungan, yang disebut dengan ekosentrisme. Aliran ini berdasar pada pemikiran
deep ecology, yang melihat seluruh unsur-unsur di alam semesta sebagai satu jaringan kehidupan
yang memiki nilai tersendiri. Sehingga seluruh unsur-unsur tersebut memiliki hak untuk eksis
dan terjaga kualitasnya. Sebab kerusakan pada unsur tertentu akan menyebabkan degradasi
lingkungan. Terhadap kepentingan manusia, degradasi lingkungan tersebut akan melahirkan
masalah-masalah sosial. Sehingga pemikiran ekosentris ini kontradiktif dengan pemikiran
antroposentrisme. Studi kasus ini untuk menemukan fakta-fakta tentang perilaku dan kebijakan
pengelolaan hutan dari perspektif etika lingkungan. Studi kasus ini mengambil lokasi di
Kampung Malagufuk-Klatomok Kabupaten Sorong dengan luas wilayah masing-masing
mencakup areal seluas ± 1.658,13 Hektar dan ± 1.121,14 Hektar, yang masih didominasi oleh
tutupan hutan Tropis Dataran rendah, yang memiliki potensi tegakan hutan yang umumnya
terdiri dari jenis-jenis Balam (Palaquium spp.), Damar (Araucaria spp.) Durian (Durio sp.),
Kayu Besi/Merbau (Instia spp.), Kenari (Canarium spp.), Matoa (Pometia spp.) Medang
(Cinammomum spp.), Nyatoh (Palaquium spp.), Pulai (Alstonia spp.), Benuang (Octomeles
sumatrana), Jambu-jambu (Eugenia spp.), Kedondong Hutan (Spondias spp.), Kempas
(Koompasia malacencis), Ketapang (Terminalia spp.), Manggah (Dehaasia spp.), Eboni
(Dyospyros spp.), Gaharu (Gonystylus bancanus), Kayu Kuku (Pericopsis mooniana Thw.), dan
Linggua (Pterocarpus indicus Willd.) dan Jenis-jenis vegetasi hutan tersebut telah menjadi
habitat bagi berbagai jenis satwa khas burung endemik Papua Barat, antara lain cederawasih
kuning (Paradisaea minor-minor), cenderawasih dada biru (Paradisaea rudolphi), cenderawasih
raja (Cicinnurus regius/Paradisaea guilielmi), cenderawasih duabelas antene (Paradisaea
decora), kasuari (Casuarius casuarius dan Casuarius unappendiculatus), mino emas (Mino
anais), raja udang surga dada merah (Ceyx lepidus), dan nuri/lori hitam (Chalcopsitta atra) dan
kakatua raja (Probossciger aterrimus). Studi kasus ini diformulasikan dalam judul “Studi Etika
Lingkungan Pada Pengelolaan Hutan Di Kampung Malagufuk-Klatomok Distrik Klayili
Kabupaten Sorong”.
2.2 Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah etika lingkungan yang mendudukan manusia sebagai pusat
jaringan kehidupan. Landasan filosofis dari pemikiran tersebut adalah filsafat Aristoteles yang
tertuang dalam buku Politics “Tumbuhan disiapkan untuk kepentingan binatang dan binatang
disediakan untuk kepentingan manusia” (dalam Susilo, 2014: 61). Pernyataan tersebut
memberikan pengertian bahwa manusia dan kepentingannya adalah yang paling penting dalam
tatanan ekosistem. Kepentingan tumbuh-tumbuhan dan binatang menempati urutan kedua sebab
ia sebatas pelayan kebutuhan manusia (Susilo, 2014: 61). Manusia bukanlah makhluk ekologis
yang identitasnya dibentuk oleh alam, namun manusia adalah makhluk sosial dengan norma dan
nilai yang terbentuk dari akal budi, yang secara etis tidak belaku pada makhluk lain. Manusia
adalah subjek ilmu pengetahuan, sedangkan alam adalah objek (Keraf, 2010: 8). Pemikiran
Antroposentrisme berkembang dari kemampuan manusia yang semakin mampu menjelaskan
gejala-gejala alam, hukum-hukum alam dipandang tidak lagi bersifat mutlak. Sehingga rasa
percaya diri manusia semakin tinggi dengan mengenyampingkan hukum-hukum alam. Nilai
tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Alam dengan berbagai dimensinya, baik sosial dan
budaya yang berkenan dengan barang dan jasa disediakan untuk kemanusiaan. Salah satu ciri
khusus dari etika antroposentrisme adalah kedudukan scientific knowledge atau tekhnologi yang
memiliki kendali penuh dalam pengelolaan lingkungan. Dimana terdapat kepercayaan yang
sangat determinan, bahwa setiap kerusakan yang disebabkan oleh teknologi akan menghasilkan
tekhnologi baru untuk mengatasi kerusakan tersebut, begitu seterusnya. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Sunyoto Usman (2012: 288), terdapat lima watak yang identik dengan etika
Anthroposentrisme tidak, yakni:
a. The Cournoupia View Of Nature, yakni pandangan yang beranggapan tentang alam yang
terbentang luas dan tak akan pernah habis. Pandangan ini menyatakan sekalipun lingkungan
terus dieksploitasi ia akan dengan sedirinya membaik kembali.
b. Faith In Technology, yakni keyakinan yang menganggap bahwa teknologi bisa
menyelesaikan segala-galanya. Teknologi telah menghadirkan pencapaian kebutuhan secara
efisien, cepat, dan bersifat massal. Artinya alat-alat modern yang menghasilkan
perkembangan teknologi tersebut bersifat tepat guna.
c. Growth Etnic, yakni etika terus melaju. Perkembangan modernisasi telah mengubah
pemikiran manusia dalam kaitannya dengan etos. Kemajuan manusia diukur melalui
keberhasilan mengumpulkan kekayaan materil.
Hasil penelitian ini adalah menemukan deskripsi dan pemetaan etika lingkungan dalam
pengelolaan hutan. Serta wujud pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam perspektif etika
lingkungan. Hasil studi kasus tersebut berkontribusi dalam pengayaan literatur atau referensi
dalam kajian sosiologi lingkungan. Lebih jauh artikel ini mampu menemukan dan
mempromosikan kearifan lokal Kampung Malagufuk-Klatomok Distrik Klayili Kabupaten
Sorong dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Hal tersebut merupakan informasi baru
yang berkontribusi penting dalam mengembangkan kajian sosiologi lingkungan, khususnya
dalam pokok bahasan etika lingkungan.
BAB IV METODELOGI
Lokasi Studi kasus di Kampung Malagufuk-Klatomok Distrik Klayili Kabupaten Sorong
Provinsi Papua Barat Daya dengan menggunakan metode kualitatif, dengan dasar studi kasus,
yaitu studi yang dilakukan dengan cara pengumpulan data terhadap suatu masalah dan informasi
yang menjadi objek studi kasus, dimana informasi bahwa di luas kampung tersebut masing-
masing mencakup areal seluas ± 1.658,13 Hektar dan ± 1.121,14 Hektar. Serta masih didominasi
tutupan hutan (sekunder), mimiliki keanekaragaman flora dan fauna endemik salah satunya
Burung Cenderawasih.
Pengumpulan data dalam penulisan artikel ini yaitu observasi dan wawancara. Jenis data
yang digunakan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan secara
langsung berupa kata-kata dan dengan teknik wawancara secara mendalam (indept interview)
dan pengamatan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari pengkajian bahan
pustaka berupa buku-buku, internet, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen pada
instansi yang berhubungan dengan artikel yang akan dibahas.
5.1. Keseimbangan Alam dan Etika Ekosentrisme yang Ditandai dengan Corak kehidupan
Berburu dan Meramu.
Berdasarkan dokumen Desain Tapak Pengembangan Wisata Alam Hutan Produksi
Malagufuk-Klatomomok tahun 2018, Sebagian besar mata pencaharian utama masyarakat (83%)
adalah meramu atau mengumpulkan hasil-hasil hutan. Kemudian mengambil kayu di hutan
(15.5%) dan sebagai tukang pemecah batu (1.5%). Hasil hutan yang utama dikumpulkan adalah
Sagu. karena sebagai sumber pangan makanan pokok. Yang lainnya berupa sayur-sayuran yang
tumbuh liar misalnya rebung dan sejenis paku-pakuan serta berburu hewan diantaranya babi,
rusa,lao-lao (kanguru), kaswari, wakera (sejenis kanguru yang bisa naik pohon), tikus tanah dan
kus-kus. Sagu, jenis-jenis sayuran alami, hewan buruan dan kayu di ambil dari tanah ulayat
masing-masing. Memanen di luar tanah ulayatnya harus meminta izin kepada pemilik hak
ulayatnya. Sebagian besar luas lahan produktif 2 ha atau lebih. Tidak sepenuhnya ditanami
komoditas yang biasa mereka tanam, terkadang lebih banyak semak belukar dan alang-alang,
sifatnya agroforest. Jenis komoditas dominan yang ditanam adalah pisang kemudian ubi kayu,
ubi jalar, kacang-kacangan dan cabe. Persentase usaha produktif yang dominan adalah kebun,
Kebun yang mereka kelola sifatnya agroforest, di dalamanya terdapat tanamana pisang, pohon
Sagu, buah-buahan dan sebagainya. Jenis usaha produktif lainnya adalah tanaman holtikultura,
namun jumlahnya kecil. Makanan pokok seluruh masyarakat setempat adalah Sagu. Pemenuhan
kebutuhan dasar karbohidrat berupa makanan pokok terebut diperoleh dengan secara tradisional
dari hutan.
Masyarakat adat setempat memandang hutan sebagai sumber kehidupan. Seluruh
kebutuhan hidup didapatkan dari hutan. Mulai dari kebutuhan makan seperti daging, buah-
buahan maupun ubi-ubian yang didapatkan dari kegiatan berladang (pengelolaan hutan secara
terbatas), hingga sumber-sumber yang bisa dijual seperti Kayu, gaharu, dan lain-lain. Atau,
disebut dengan corak kehidupan berburu dan meramu. Corak kehidupan ini menandakan bahwa
alam masih mampu menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat, seperti makanan, obat-obatan
dan sumber-sumber ekonomi lainnya. Sehingga pengelolaan lingkungan yang bersifat intensif
(secara sungguh-sungguh dan terus-menerus dalam mengerjakan sesuatu hingga memperoleh
hasil yang optimal) dengan memanfaatkan tekonologi tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Corak
kehidupan tersebut tidak bisa dipandang sebagai corak kehidupan terbelakang. Sebab corak
kehidupan tersebut didasari oleh daya dukung lingkungan yang masih stabil. Dan, masyarakat
hanya perlu beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Sebagaimana yang dijelaskan Willian Chang
dalam Susilo (2014: 54), bahwa pada masa keseimbangan alam manusia hanya memanfaatkan
sumber daya yang disediakan alam. Manusia masih hidup berburu dan meramu. Pengetahuan-
pengetahuan lokal sangat menghormati “eksistensi” makhluk hidup dan tak hidup. Sehingga
keseimbangan antar unsur-unsur ekosistem terjaga dengan baik. Adapun kegiatan berladang
masyarakat untuk memproduksi kebutuhan sendiri dilakukan dengan cara berpindah-pindah.
Masyarakat berladang sekali dalam setahun pada satu area dan kemudian berpindah ke area lain
pada tahun berikutnya. Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan
pada lingkungan untuk merehabilitasi diri, yakni menjadi hutan kembali. Begitulah mereka
melakukan kegiatan berladang secara terus menerus, sehingga tutupan hutan tidak pernah
berkurang. Hal ini bisa dikategorikan wujud kearifan lokal masyarakat adat dalam mengelola
hutan secara terbatas untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam tinjauan etika lingkungan, hal
tersebut merupakan wujud etika lingkungan ekosentrisme moderat. Lebih jauh hal tersebut
membuktikan bahwa masyarakat adat setempat senantiasa memproduksi pengetahuan (kearifan
lokal) sebagai wujud adaptasi terhadap kondisi lingkungannya. Jika dikaitkan dengan fakta
deforestasi yang dihadapi masyarakat adat malagufuk-Klatomok, menjadi pengetahuan yang
sangat maju. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Salman (2012: 133), yang menyatakan bahwa
desa adalah entitas sadar dan aktif dalam memproduksi pengetahuan sekaligus mengaplikasikan
pengetahuan tersebut bagi kapasitas pemecahan masalah, pemenuhan kebutuhan dan proses
merespon dinamika perubahan.
Selain kasus pembukaan perkebunan sawit, dalam masyarakat adat terdapat sebagai masyarakat
menginginkan kegiatan pengambilan kayu dari wilayah adatnya, kegiatan tersebut tidak
dilakukan secara rutin. Dan Kegiatan ini dilakukan oleh orang lain atau pendatang yang punya
keterampilan dan memiliki uang untuk mengambil kayu. Sebelum mengambil kayu di hutan,
harus meminta izin kepada pemilik tanah hak ulayat, atau pemilik hak ulayat meminta pihak lain
untuk dapat mengambil dan menjualkan kayu dari hutan pada tanah ulayatnya. Kondisi seperti
itu menyebabkan masyarakat setempat hanya mendapatkan harga kayu yang sangat rendah dan
ditentukan oleh pihak yang mengambil dan menjualkan kayunya, sementara hutan dieksploitasi
dengan cara-cara yang kurang memperhatikan kelestariannya. Sebagian saling bertentangan akan
perilaku dari sebagian dari mereka yang telah terpengaruhi akan kegiatan yang berdampak
merusak lingkungan mereka, dimana masyarakat menyadari pentingnya hutan bagi mereka dan
juga sebagai tempat habitat endemik yang mulai berpindah wilayah yang masih berhutan.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa masyarakat adat Malagufuk-Klatomok. terjadi
pertentangan etika lingkungan. Pertantangan antara etika antroposentrisme yang diwakili oleh
pihak perusahaan dan masyarakat yang ingin memanfaatan kayu dengan menjual tapai
memperhatikan kelestarian dari hutan ada mereka dengan etika ekosentrisme yang diwakili oleh
masyarakat lokal. Pihak perusahaan dan pengusaha Industri lokal yang memeliki uang
memandang hutan sebagai satu potensi ekonomi yang perlu dikelola meskipun dengan
mengabaikan kepentingan ekologis. Sementara pihak masyarakat menolak pembukaan hutan dan
mengambil hasil hutan tanpa memperhatikan fungsi kelestarian berdasarkan pandangan bahwa
hutan memiliki fungsi ekologi yang vital. Lebih jauh, pertentangan tersebut adalah pertentangan
watak dan kesadaran yang dikonstruksi pada ruang dan waktu yang berbeda. Watak dan
kesadaran masyarakat lokal dikonstruksi oleh alam yang masih lestari. Sedangkan watak dan
kesadaran pihak yang berasal dari luar dikonstruksi oleh alam yang tidak lagi lestari. Sehingga
mereka beranggapan bahwa seluruh gerak kehidupan sudah bergantung pada peralatan modern,
teknologi dan organisasi sosial untuk melakukan rekayasa alam untuk menghasilkan kebutuhan
manusia (determinan teknologi) (Susilo, 2014: 57). Perlawanan masyarakat lokal dalam hal ini
dinilai sebagai upaya mempertahankan kondisi lingkungan yang mampu memenuhi kebutuhan
manusia. Bukan bentuk penolakan terhadap kemajuan. Nilai yang diperjuangkan masyarakat
lokal tidak terbentuk secara mekanik, namun terbentuk secara organik berdasarkan keadaan
konkrit.
6.1 Kesimpulan
Masyarakat Kampung Malagufuk-Klatomok Distrik Klayili Kabupaten Sorong Provinsi
Papua Barat Daya adalah masyarakat yang dominan masih hidup dengan corak produksi berburu
dan meramu. Hal tersebut menentukan perilaku dalam pengelolaan hutan. Relasi yang terbentuk
dari corak produksi berburu dan meramu menjadikan perilaku mereka sangat identik dengan
pemikiran ekosentrisme. Masyarakat Malagufuk-Klatomok secara kolektif mengusung visi
pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Meskipun mereka mulai mengembangkan bentuk-bentuk
pengelolaan yang tidak bercorak berburu dan meramu, namun mereka membatasinya dengan
kegiatan yang tidak melakukan pembukaan hutan secara bersar-besaran. Contoh kegiatan yang
dimaksud adalah berladang dengan model agrofotrestr. Meski demikian di Kampung Malagufuk-
Klatomok telah eksis kegiatan produksi yang bercorak antroposentrisme. Kegiatan tersebut
dilakukan oleh elemen-elemen dari luar masyarakat Malagufuk-Klatomok. Kegiatan-kegiatan
tersebut antara lain, kegiatan logging oleh perusahaan pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan Pengusaha Industri pengrajin kayu. Olehnya itu, di Kampung
Malagufuk-Klatomok terjadi pertentangan dalam pengelolaan lingkungan, antara etika
ekosentrisme yang diusung oleh masyarakat lokal dengan etika antroposentrisme yang diusung
oleh elemen-elemen dari luar masyarakat (korporasi)
6.2 Saran
Kearifan lokal masyarakat Malagufuk-Klatomok dalam mengelola hutan perlu dipromosikan,
baik dalam kajian akademis maupun sebagai pertimbangan dalam penetapan kebijakan
pengelolaan hutan oleh pemerintah. Hal tersebut penting untuk meredam laju deforestasi yang
menghadirkan ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Arief A. 2005. Hutan dan kehutanan. Penerbit Kansius, Yogyakarta
Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, 2018. Dokumen Desain Tapak Wisata Alam Hutan
Produksi di Kampung Malagufuk-Klatomok KPH Unit II Sorong Kabupaten Sorong
Glaser, Marion. 2006. The Social Dimension in Ecosystem Management: Strengths and
Weaknesses of Human Nature Mind Maps. (Journal Human Ecology Review, 13.2).
Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.