Anda di halaman 1dari 10

Makalah

Desain Perencanaan Pemanfaatan Rusa Timor (Rusa timorensis)


Untuk Kelestarian dan Peningkatan Ekonomi

Oleh:
Efrem…(…)
Taufik…(…)
Yopin Okta Ilham (E351190071)

Mata Kuliah Desain Perencanaan Pemanfaatan Satwaliar


Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodeiversitas Tropika
Institut Pertanian Bogor
2020
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) memiliki nilai ekonomi tinggi yang dapat
dikembangkan dan dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan
manusia. Nilai ekonominya tidak hanya berasal dari hasil penjualan komoditas dan hasil ikutan
seperti daging, ranggah, velvet, testis, jeroan, kulit tetapi juga potensi intrinsic yang dimiliki
seperti keunikan bentuk tubuh dan tingkah laku dapat memberi kepuasan psikologis. Potensi ini
dapat dikembangkan sebagai bagian dari jasa lingungan yang memiliki nilai yang tinggi sebagai
objek rekreasi.
Pemanfaatan rusa sebagai jenis satwa yang memiliki nilai ekonomis sudah banyak
dilakukan di Indonesia melalui penangkaran. Penangkaran merupakan salah satu upaya
pelestarian yang sekaligus bisa dikomersialkan sesuai kaidah konservasi yaitu
pengembangbiakan dan pembesaran rusa dengan tetap memperhatikan kemurnian jenis sampai
pada keturunan pertama (F1). Program penangkaran adalah salah satu upaya pelestarian dan
pemanfaatan untuk tujuan konservasi dan peningkatan ekonomi. Thohari et al (1991)
menjelaskan bahwa penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakan satwaliar yang
bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan tetap mempertahankan kemurnian genetic
sehingga kelestarian dan keberadaan jenis satwa dapat dipertahankan di habitat alam.
Daging rusa dapat dijadikan sebagai sumber protein hewani yang banyak diminati
masyarakat karena mengandung protein 21,1% lemak 7% dan kolesterol sebesar 58mg/100 gram
(Semiadi et al., 1993; Putri, 2002; Semiadi dan Nugraha, 2004). Kandungan gizi dalam daging
rusa relative tinggi dibandingkan dengan ternak konvensional. Demikian juga cita rasa daging
rusa lebih enak dibandingkan ternak yang biasa dikonsumsi karena serat halus, kandungan
kolesterol rendah, lebih lezat, dan mudah dicerna. Walaupun harga daging rusa (venison) cukup
mahal tapi banyak dicari orang karena 50-55% lemaknya bersifat polyunsaturated atau bukan
lemak jenuh (Anderson, 1984; Semiadi et al., 1993; dan Semiadi, 2006).
Manfaat yang diperoleh selain aspek konservasi adalah objek ekowisata (keunikan dan
keindahan) dan objek berburu untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani serta hasil ikutan
lainnya (keturunan ke-2/F2 dan seterusnya). Hasil penangkaran rusa juga memiliki prospek
untuk dikembangkan dalam skala budidaya secara komersial, sehingga fungsi hutan sebagai
pangan dapat terpenuhi.

Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan potensi pemanfaatan
rusa timor yang berlandaskan konservasi sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat.
Harapannya tulisan ini bisa menjadi salah satu sumber informasi sebagai bahan dalam
mempertimbangkan susunan perencanaan sampai implementasi pemanfaatan rusa timor di
Indonesia.

METODE
Lokasi dan waktu Penulisan
Kegiatan penulisan ini dilakukan di kampus IPB Dramaga Tepatnya di kawasan Fakultas
Kehutanan dan perpustakaan IPB Dramaga. Penulisan ini dilakukan pada bulan Maret tahun
2020 bersama dengan teman kelompok yang sudah ditentukan dalam kelas kuliah sebelumnya.
Bahan dan Alat yang digunakan
Bahan dan alat yang digunakan dalam penulisan ini adalah laptop, peta persebaran rusa
timor di Indonesia, alat tulis, internet, dan data-data penelitian terkait rusa timor.
Teknik pengumpulan data
Penulisan ini dilakukan dengan studi literatur terkait pemanfaatan rusa timor untuk
memperoleh data dan informasi dari hasil penelitian-penelitian yang ada di internet dan buku.
Setelah itu, dilakukan diskusi yang selanjutnya dinotulensi dan dimasukkan dalam kerangka
penulisan ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Rusa Timor
Rusa timor (Cervus timorensis) termasuk dalam klas mamalia, anak klas Theria, bangsa
Artiodaktila, anak bangsa ruminansia, suku Cervidae dan anak suku Cervinae. Terdapat delapan
anak jenis Cervus timorensis di Indonesia, diantaranya Cervus timorensis timorensis, Cervus
timorensis russa, Cervus timorensis floresiensis, Cervus timorensis renschi, Cervus timorensis
moluccensis, Cervus timorensis macassaricus, Cervus timorensis djongs, dan Cevus timorensis
laranesiotes (Schroder, 1976). Peningkatan sumberdaya rusa sampai saat ini belum jelas, tetapi
diketahui bahwa rusa mempunyai potensi yang besar sebagai pemasok daging, kulit dan ranggah
yang berkualitas baik. Rusa timor ditandai dengan warna kulit cokelat kekuning-kuningan. Rusa
jantan memiliki warna kulit yang gelap dan bulu lebih kasar dan yang dewasa sudah muncul
ranggah yang besar, panjang, dan bercabang (Schroder, 1976). Selain itu, rusa timor umumnya
hidup berkelompok dan masing-masing kelompok mempunyai daerah territorial.
Bobot badan rusa timor dapat mencapai 60 kilogram, panjang badan sekitar 1,95 meter,
tinggi badan 1-1,10 meter, tinggi tumit 0,29 sampai 0,35 meter serta memiliki ketahanan serta
daya adaptasi yang tinggi dan dapat hidup di hutan lebat (Siregar et al., 1984). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa umur sapih rusa timor 4 bulan, lama kehamilan 250-285 hari dengan jarak
kelahiran pertama dan kedua adalah satu tahun dua bulan dan umur tua sekitar 15 sampai 18
tahun. Terdapat perbedaan ukuran tubuh antara rusa jantan dan betina, dimana dari 11 ekor rusa
jantan dewasa yang diamati memiliki berat tubuh berkisar antara 28-52 kg, sementara dari 28
ekor betina dewasa diperoleh kisaran berat tubuh antara 30-68 kh (Zein, 1998). Selanjutnya pada
rusa jantan, panjang tubuh berkisar antara 64-89 cm, tinggi tubuh 66-78 cm dan lingkar dada 74-
100 cm, sedangkan pada rusa betina berkisar antara 60-96 cm untuk panjang tubuh 51-78 cm
untuk tinggi tubuh dan 64-103 cm untuk lingkar dada. Sementara itu, Takandjandji (1995)
melaporkan bahwa musim kawin rusa timor yang terdapat di Oilsonbai, NTT terjadi sekitar
Bulan Januari sampai dengan Bulan Maret, rusa dikatakan dewasa pada umur 8 bulan untuk
betina dan 7-9 bulan pada jantan.

Nilai Ekonomi Rusa Timor


Rusa merupakan komoditi ekonomi yang dapat dimanfaatkan, antara lain daging, kulit,
velvet, ranggah, testis, dan jeroan. Masyarakat lebih suka mengkonsumsi daging rusa
dibandingkan daging lainnya karena harga lebih mahal dibandingkan daging sapi atau kambing.
Berdasarkan selera pengunjung restoran di kota-kota besar, 84,2% pengunjung berkeinginan
mencicipi menu hidangan rusa dan 44,4% pernah menyantap sajian sate dan steak daging rusa
yang umumnya didatangkan dari luar negeri, seperti New Zealand (Mukhtar, 1996). Produk rusa
selain daging, dibedakan dalam empat kelompok yaitu kulit, jeroan, perhiasan dan obat-
obatanoriental. Kulit rusa merupakan bahan baku kerajinan kulit seperti dompet, jaket, dan
sepatu yang memiliki harga jual tinggi dibandingkan dengan kulit ternak lain karena sifatnya
yang kuat dan lentur.
Produk rusa berupa kulit diekspor ke Jerman dan diolah menjadi pakaian berkualitas
tinggi seperti celana pendek (Ma’ruf et al. 2005). Velvet yang tumbuh dari substrat tulang rawan
dan pada bagian luarnya mengandung pembuluh darah dan jaringan vaskuler, dapat dijadikan
sebagai bahan baku obat tradisional, bahan obat-obatan oriental, tonik dan makanan (Ma’ruf et
al., 2005). Beberapa ahli dari Cina dan Uni Soviet mengatakan, velvet mengandung bahan
perangsang. Penggunaan produk ini dikenal dengan nama Traditional Chinese Medicine (TCM).
Menurut para tabib, manfaat mengkonsumsi velvet adalah dapat meningkatkan metabolisme
tubuh. Beberapa kemanjuran dari racikan velvet yang dijual dalam bentuk kapsul oleh para tabib
Cina dikatakan dapat memperlambat proses impotensi atau sebagai obat kuat dan mempercepat
proses penghilangan keletihan (Semiadi dan Nugraha, 2004). Hal ini karena velvet mengandung
mineral, seperti kalsium, kalium, magnesium, natrium, phosphor, cobalt, cuprum, ferrous,
mangan dan selenium sehingga dapat digunakan sebagai obat aprodhisica atau perangsang
libido. Ekstrak velvet digunakan sebagai obat peluntur yang disebut “pantocrin” dan telah
dipasarkan secara bebas di Cina dan Jepang. Velvet di Cina digunakan sebagai tonik pasca
melahirkan (Takandjandji dan Handoko, 2005).
Hasil ekstraksi alkohol dari velvet rusa dalam bentuk cair di Jepang, disebut pantocrin
atau rulondin dan di Rusia disebut rantarin. Oleh karena manfaat velvet cukup tinggi, maka nilai
jualnya ikut melambung tinggi terutama bagi para tabib Cina. Harga jual velvet yang sudah
dikeringkan dan dijadikan emping mencapai US $ 120/kg (Garsetiasih dan Takandjandji, 2006).
Produk rusa berupa ranggah yang keras dalam bentuk utuh atau lengkap, dapat dijadikan
souvenir yang biasa dijual di taman wisata dan kebun binatang. Ranggah rusa dapat dijadikan
kancing, gagang pisau, bantalan trophy, mantel, pengikat taplak meja, gelang, jepit rambut dan
rak senjata berburu. Harga ranggah yang telah dijadikan hiasan pada beberapa kota seperti di
Bogor, berkisar antara Rp 250.000,- sampai dengan Rp 750.000,-.
Produk samping lain dari rusa yang dapat dimanfaatkan adalah ekor, taring termasuk
mata dan gigi, urat daging atau otot, hati, jantung, ginjal, penis, lidah, kaki, dan darah. Testis dan
foetus (anak) yang masih berada di dalam kandungan induk dapat dijadikan sebagai bahan obat-
obatan atau jamu. Penis rusa dapat merampingkan tubuh dari kelebihan lemak dan daging tetapi
harus dengan tulang tempat melekatnya penis, lengkap dengan testis dan rambut. Harga penis
tergantung pada panjang dan kebekuannya. Foetus yang berasal dari rusa betina bunting,
merupakan produk paling laku di pasaran walaupun sulit ditemukan. Foetus dimasukkan dalam
botol dan tidak boleh rusak atau bentuknya harus utuh. Harga foetus cukup bagus di Jepang,
terutama dari taxidermis (mengisi kulit binatang dengan kapas sehingga nampaknya seperti
binatang hidup) untuk bantalan. Kaki rusa dapat dijadikan tongkat bilyard. Jeroan seperti hati,
lidah dan jantung di Eropa dan Scandinavia diolah menjadi makanan khusus, tulang rusa dan
bagian dari daging yang kurang disukai termasuk leher dan tulang iga dapat digunakan untuk
soup dan gulai. Tulang rusa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk fosfat (Hardjanto et
al., 1991). Organ visceral (jeroan) rusa mempunyai prospek dalam bentuk soto babat yang
memiliki nilai ekonomis tinggi (Ma’ruf et al., 2005). Taring lengkap dengan gigi dan mata rusa
yang tidak berlubang, warna coklat dan yang berpasangan, harganya cukup tinggi, dimana dapat
dibuat perhiasan seperti jepitan dasi, anting-anting dan bross (Anderson, 1984).
Ekor rusa dipercaya secara umum terutama bagi wanita Cina sebagai obat setelah
melahirkan yang dapat merampingkan tubuh. Bagian yang paling berkhasiat dari ekor rusa
terletak pada glandulanya yang berwarna hitam. Ekor dapat dibekukan, dikemas dan dijual dalam
kemasan 2 ons dan 56 gram. Urat daging atau otot rusa diambil dari bagian bawah kaki dengan
cakar yang masih tetap menempel. Urat tersebut dikeringkan dan dikemas dalam kantong
polyethere. Kepala rusa termasuk bagian atas dari pedicle, dieksport dalam bentuk beku dari
New Zealand.

Sistem Penangkaran Rusa Timor


Salah satu upaya konservasi dan pemanfaatan jenis rusa timor secara lestari adalah
kegiatan penangkaran. besarnya jatah panen yang akan ditetapkan sangat terkait dengan sistem
penangkaran yang diterapkan. Makalah ini mengacu pada penelitian yang dilakukan Santosa,
dkk (2012) tentang penentuan sistem penangkaran rusa timor berdasarkan jatah pemanenan dan
ukuran populasi awal di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pengelolaan
populasi rusa di penangkaran harus diarahlan untuk memperoleh panenan lestari berupa jatah
panen setiap tahun. Keberhasilan pengelolaan tersebut sangat tergantung pada upaya pemanenan
yang dilakukan dan waktu pemanenan (Xu et al. 2005). Dalam analisis finansial ini, digunakan
analisis Break Even Point (BEP) yang nilainya dipengaruhi oleh komponen-komponen biaya
tertentu. Sehingga, dalam penentuan jatah panen berdasarkan analisis BEP, maka sistem
penangkaran dengan komponen biaya yang berbeda akan menghasilkan nilai jatah panen yang
berbeda.
Secara umum, di Indonesia dikenal tiga sistem penangkaran yaitu sistem ekstensif, semi
intensif, dan intensif. Perbedaan ketiga sistem penangkaran tersebut adalah intensitas
keterlibatan manusia dalam pengelolaan dan penyediaan pakan. Pada sistem ekstensif, pakan
hanya tersedia di alam tanpa campur tangan manusia dalam penyediaan dari luar areal
penangkaran. Pada sistem semi intensif, pakan yang tersedia berasal dari dalam dan luar areal
penangkaran yang dipaoleh melalui campur tangan manusia. Untuk sistem intensif, pakan hanya
diperoleh dari luar areal penangkaran dengan bantuan manusia. Penelitian yang dilakukan
Ssntosa, dkk (2012) dilakukan pada sistem semi intensif dan intensif untuk menentukan sistem
penangkaran rusa timor di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga berdasarkan jatah panen dan
ukuran populasi berdasarkan tiga panen. Penentuan jatah panen mempertimbangkan beberapa
hal, yaitu:
1. Sistem penangkaran yang digunakan, meliputi: sistem ekstensif, sistem semi intensif, dan
sistem intensif,
2. Jenis produk yang dihasilkan adalah satu jenis produk (single product) yaitu bibit rusa.
Analisis BEP diperhitungkan berdasarkan biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan
setiap tahun. Komponen biaya tetap yang digunakan meliputi: biaya pemeliharaan bangunan
dan alat, biaya operasional perkantoran dan kegiatan penangkaran, serta gaji dan upah
karyawan. Komponen biaya variabel meliputi biaya pembelian pakan tambahan, konsentrat
dan vitamin, biaya perawatan kesehatan dan obat-obatan, serta biaya
penangkapan dan pengangkutan rusa.
Jatah panen rusa timor yang dinyatakan sebagai Qt dihitung dengan menggunakan persamaan
(Home &Wachowicz 1995):
Keterangan (Remarks):
Qt = jatah panen (harvest quota) (individu/th)
F = total biaya tetap (totalfixed cost) (Rp./th)
P = harga jual per unit produk (sale price per unit Q/ product) (Rp./individu)
V = biaya variabel per unit produk (variable cos/ per unit Qfproducl) (Rp./individu/th)

Jatah panen dapat tercapai apabila ukuran populasi pada saat pemanenan mencukupi.
Apabila Qt dinyatakan sebagai panenan lestari (SY), maka ukuran populasi yang harus
tersedia pada saat pemanenan (Nt) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
(Caughley 1977):

Keterangan (Remarks):
Nt = Ukuran populasi pada saat pemanenan (population size at harvesl time) (individu)
Qt = Jatah panen (harvest quota) (individu/th) h laju pemanenan (harvest rate)
R = Laju pertumbuhan eksponensial (exponential growth rate)

Untuk mencapai jatah panen dan ukuran populasi pada saat pemanenan, maka dilakukan
perhitungan besarnya ukuran populasi awal yang harus tersedia pada saat kegiatan penangkaran
dimulai. Ukuran populasi awal (No) ditentukan berdasarkan model pertumbuhan populasi terpaut
kerapatan atau model logistik (Caughley 1977). Berdasarkan persamaan logistik tersebut, maka
ukuran populasi awal (No) dapat ditentukan menurut persamaan:

Keterangan (Remarks):
Nt = ukuran populasi pada waktu pemanenan (population size al harvest time) (individu)
awal (initial population size)
K =daya dukung habitat (carrying capacity)(individu/th)
R = laju pertumbuhan (growth rate)
T = Waktu pemanenan (han'est time) (th)
e = Bilangan euler (e = 2,718281..

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan dua poin diantaranya :


1. Jatah panen minimal pertahun di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah 226
individu pada sistem intensif, 33 individu pada sistem semi intensif, dan 16 individu pada
sistem ekstensif. Ukuran populasi awal yang harus tersedia pada waktu awal pemanenan
minimal empat (4) tahun adalah 376 individu pada sistem intensif, 89 individu pada sistem
semi intensif, dan 78 individu pada sistem ekstensif.
2. Sistem penangkaran yang dipilih untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramagaberdasarkan
jatah panen dan ukuran populasi awal dengan mempeftimbangkan. luas areal penangkaran
adalah sistem semi intensif.
Penentuan Kuota Panen Rusa Timor
Salah satu institusi yang mengembangkan rusa timor adalah Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam sebagai konservasi dan pemanfaatan secara lestari dengan tujuan restocking ke
habitat alam dan pemenuhan kebutuhan bibit rusa di unit-unit penangkaran rusa. Supaya
penangkaran dapat memanen sejumlah rusa setiap tahunnya, diperlukan perencanaan mengenai
berapa jumlah rusa yang dapat dipanen, kapan dapat dipanen, dan sistem penangkaran apa yang
sesuai untuk penangkaran. Penelitan yang dilakukan oleh Kwatrina (2009) tentang penentuan
kuota panenan dan ukuran populasi rusa timor di penangkaran hutan penelitian dramaga menjadi
salah satu referensi dalam penulisan makalah ini. Penelitiannya bertujuan untuk (1) menentukan
kuota panenan, waktu awal pemanenan rusa timor, dan ukuran populasi awal rusa timor, (2)
memberikan alternatif sistem pengelolaan penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan
Penelitian Dramaga.
Analisis data yang digunakan diantaranya analisis vegatasi tumbuhan bawah untuk
mengetahui jenis dan jumlah tumbuhan bawah serta tumbuhan pakan pada masing-masing lokasi
pengamatan. Berikutnya, Produktivitas dan ketersediaan hijaun pakan yang ditentukan melalui
perhitungan produktivitas hijauan, yaitu pertambahan biomassa tumbuhan pakan pada petak
contoh dengan mempertimbangkan seluruh hijauan yang potensial sebagai sumber pakan,
dimana formulasinya sebagai berikut:

Keterangan:
P = ketersediaan hijauan pakan masing-masing lokasi (kg/th)\
BBi = Bobot segar hijauan pakan pengamatan ke-I (kg
A = Luas areal lokasi (ha)
ai = unit contoh pengamatan ke-I (ha)
t = waktu pengamatan (th)
fk = faktor konsumsi rusa (digunakan nilai 70%)

Untuk mengetahui ketersediaan hijauan pakan dalam berat kering, maka digunakan persamaan
berdasarkan Semiadi (2006):

Keterangan:
KBi = kadar biomassa hijauan pakan pengamatan ke-i (%);
BKi = bobot kering hijauan pakan pengamatan ke-i (kg)
BBi = bobot segar hijauan pakan pengamatan ke-i (kg)

Selanjutnya adalah menghitung tingkat konsumsi pakan rusa dengan formula berikut ini:

Konsumsi pakan (kg/hr) = berat hijauan pakan awal (kg) – berat hijauan pakan sisa (kg)
Analisis data yang tak kalah pentingnya yaitu menghitung daya dukung habitat yang merupakan
perbandingann antara produktivitas hijauan dengan tingkat konsumsi, sehingga daya dukung
dihitung dengan menggunakan persamaan;

Keterangan:
K = Daya dukung habitat (individu/ha)
P = Ketersediaan hijauan pakan (kg/ha)
C = rata-rata konsumsi pakan setiap individu (kg/individu)

Hasil dari perhitungan diatas kemudian dikaitkan dengan analisis perhitungsn BEP yang
merupakan nilai biaya tetap dan biaya variabel yang ditetapkan berdasarkan biaya investasi
masing-masing penangkaran yang telah dijelaskan pada sistem penangkaran rusa timor. Sesudah
menghitung nilai BEP, analisis data dilanjutkan dengan mengidentifikasi ukuran populasi pada
saat pemanenan. Kuota panen (Qt) yang telah ditetapkan merupakan jumlah rusa yang dapat
dipanen setiap tahun untuk mencapai kelestarian. Kuota panen dapat tercapai apabila ukuran
populasi pada saat pemanenan mencukupi. Apabila Qt dinyatakan sebagai panenan lestari (SY),
makan ukuran populasi yang harus tersedia pada saat pemanenan (Nt) dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:

Keterangan:
Nt = ukuran populasi pada saat pemanenan (individu)
Qt = kuota panenan (individu/th)
h = laju pemanenan
r = laju pertumbuhan eksponensial
Untuk mencapai kuota panenan dan ukuran populasi pada saat pemanenan, maka
dilakukan perhitungan besarnya ukuran populasi awal yang harus tersedia pada saat kegiatan
penangkaran dimulai. Ukuran populasi awal (N0) ditentukan berdasarkan model pertumbuhan
populasi terpaut kerapatan atau disebut juga model logistik (Caughley 1977).

Keterangan:
Nt = ukuran populasi pada waktu pemanenan (individu)
No = ukuran populasi awal (individu)
K = Daya dukung habitat (individu/th)
r = laju pertumbuhan
t = waktu pemanenan (th)
e = bilangan euler (e= 2,718281…)

Selanjutnya adalah analisis pendugaan kebutuhan areal penangkaran areal penangkaran


pada tiga sistem penangkaran dengan menggunakan persamaan matematis yang dimodifikasi dari
Priyono (2007). Analisis ini menggunakan pendekatan kebutuhan areal penangkaran berdasarkan
ketersediaan pakan bagi sistem penangkaran ekstensif dan intensif, sedangkan untuk sistem semi
intensif menggunakan pendekatan kebutuhan areal penangkaran berdasarkan kebutuhan terhadap
ruang:

Keterangan;
Ax = kebutuhan areal penangkaran sistem ekstensif (ha)
Ay = kebutuhan areal penangkaran sistem semi intensif (ha)
Az = kebutuhan areal penangkaran sistem intensif (ha)
N = populasi rusa (individu)
C = kebutuhan konsumsi setiap individu (kg/individu/th)
PA = produktivitas hijauan pakan di dalam areal penagkaran (kg/ha/th)
PB = produktivitas hijauan pakan di luar areal penangkaran (kg/ha/th)
R = kebutuhan ruang setiap individu (m2/individu)
fc = faktor koreksi bagi konsumsi setiap individu rusa (25%)
fr = faktor pengaman kebutuhan ruang setiap individu (2 kali kebutuhan ruang setiap
individu)

Penelitian tersebut memperoleh beberapa kesimpulan, diantaranya:


1. Kuota panenan minimal pertahun di penangkaran Hutan Penelitian
Dramaga adalah 226 individu pada sistem intensif, 33 individu pada sistem semi intensif,
dan 16 individu pada sistem ekstensif. Waktu awal pemanenan berdasarkan target
panenan berupa rusa timor keturunan kedua berumur minimal 15 bulan adalah minimal
empat (4) tahun setelah populasi awal tersedia. Ukuran populasi awal yang harus tersedia
pada waktu awal pemanenan minimal empat tahun adalah 376 individu pada sistem
intensif, 89 individu pada sistem semi intensif, dan 78 individu pada sistem ekstensif.
2. Sistem penangkaran yang dipilih untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga
berdasarkan ketersediaan hijauan pakan, kuota panenan, ukuran populasi awal, luas areal,
dan sensitivitas secara ekologi dan ekonomi adalah sistem semi intensif.

DAFTAR PUSTAKA
[IUCN] International Union for Conservation of the Nature and Natural Resources. 2017. The
IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org. [18 Februari 2018]
Anderson, R. 1984. Deer Farming. Deer refsresher course [proceedings] No. 72. The University
Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor
BKPH Jonggol, KPH Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam. Bogor
Caughley G. 1977. Analysis of Vertebrate Populations. John Wiley & Sons.
Garsetiasih, R dan M. Takandjandji. 2006. Model penangkaran rusa [prosiding]. Ekspose Hasil-
Gelar dan dialog teknologi di Mataram, Nusa Tenggara Barat
Hardjanto., B. Masy’ud. dan H. Yulius. 1991. Analisis kelayakan finansial penangkaran rusa di
Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, Padang. Pusat Penelitian
Kwatrina RT. 2009. Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di
Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Kwatrina RT, Takandjandji M, Bismark M. 2011. Keterserdiaan tumbuhan pakan dan daya
dukung habitat Rusa timorensis de Blainville, 1822 di kawasan Hutan Penelitian Dramaga.
Bul Plasma Nutfah.17(2): 129-137.
Ma’ruf, A., T. Atmoko dan I. Syahbani. 2005. Teknologi penangkaran rusa sambar menunjang
manajemen Taman Buru Pulau Moyo, Propinsi Nusa Tenggara Barat [disertasi].
Masy’ud B, Ginoga LN. 2016. Penangkaran Satwaliar. Bogor (ID): IPB Press.
Mukhtar, A.S. 1996. Studi dinamika populasi rusa (Cervus timorensis de Blainville) dalam of
Sydney. Australia Schroder TO. 1976. Deer in Indonesia. Agriculture University
Wageningen-Netherlands Nature Conservation Department. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor
Priyono A. 2007. Pendekatan ekologi dan ekonomi dalam penataan kawasan buru rusa sambar:
Studi kasus Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santosa Y, Kwatrina RT, Kartono AP. 2012. Penentuan Sistem Penangkaran Rusa Timor (Rusa
timorensis de Blainville 1822) Berdasarkan Jatah Pemanenan dan Ukuran Populasi Awal.
Media Konservasi. 17(2).
Semiadi G, Nugraha RTP. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor: Pusat Penelitian
Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Semiadi G, Nugraha RTP. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor (ID): Pusat
Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Semiadi G. 2006. Biologi Rusa Tropis. Bogor: Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Semiadi, G dan R.T.P. Nugraha. 2004. Panduan pemeliharaan rusa tropis. Pusat Penelitian
Siregar AP, Radjagukguk BPA, Sabrani M, Soedirman ST, Iskandar E, Kalsid LP, Batubara H,
Sitohano A, Syarifuddin A, Saleh, Wiluto. 1984. Prosiding Seminar Satwa Liar. Bogor:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Takandjandji M. 1968. Pengaruh Pemberian Rumput dan Campurannya dengan Daun Beringin,
Kabesak, dan Daun Turi terhadap Pertumbuhan Rusa Timor (Rusa timorensis). Santalum.
Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Nusa Tenggara, 3:1 – 15.
Thohari M, Haryanto B. Masy’ud B, Rinaldi D, Arief H, Djatmiko WA, Mardiah SN,
Kosmaryandi N, Sudjatnika. 1991. Studi Kelayakan dan Perancangan Tapak Penangkaran
Rusa di BKPH Jonggol, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Bogor:
Kerjasama antara Direksi Perum Perhutani dengan Fakultas Kehutanan IPB.
Zein MSA. 1998. Karakteristik morfologi genetik dan nilai normal darah rusa jawa (Cervus
timorensis timorensis). [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB.

Anda mungkin juga menyukai