Oleh:
Efrem…(…)
Taufik…(…)
Yopin Okta Ilham (E351190071)
Latar Belakang
Rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) memiliki nilai ekonomi tinggi yang dapat
dikembangkan dan dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan
manusia. Nilai ekonominya tidak hanya berasal dari hasil penjualan komoditas dan hasil ikutan
seperti daging, ranggah, velvet, testis, jeroan, kulit tetapi juga potensi intrinsic yang dimiliki
seperti keunikan bentuk tubuh dan tingkah laku dapat memberi kepuasan psikologis. Potensi ini
dapat dikembangkan sebagai bagian dari jasa lingungan yang memiliki nilai yang tinggi sebagai
objek rekreasi.
Pemanfaatan rusa sebagai jenis satwa yang memiliki nilai ekonomis sudah banyak
dilakukan di Indonesia melalui penangkaran. Penangkaran merupakan salah satu upaya
pelestarian yang sekaligus bisa dikomersialkan sesuai kaidah konservasi yaitu
pengembangbiakan dan pembesaran rusa dengan tetap memperhatikan kemurnian jenis sampai
pada keturunan pertama (F1). Program penangkaran adalah salah satu upaya pelestarian dan
pemanfaatan untuk tujuan konservasi dan peningkatan ekonomi. Thohari et al (1991)
menjelaskan bahwa penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakan satwaliar yang
bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan tetap mempertahankan kemurnian genetic
sehingga kelestarian dan keberadaan jenis satwa dapat dipertahankan di habitat alam.
Daging rusa dapat dijadikan sebagai sumber protein hewani yang banyak diminati
masyarakat karena mengandung protein 21,1% lemak 7% dan kolesterol sebesar 58mg/100 gram
(Semiadi et al., 1993; Putri, 2002; Semiadi dan Nugraha, 2004). Kandungan gizi dalam daging
rusa relative tinggi dibandingkan dengan ternak konvensional. Demikian juga cita rasa daging
rusa lebih enak dibandingkan ternak yang biasa dikonsumsi karena serat halus, kandungan
kolesterol rendah, lebih lezat, dan mudah dicerna. Walaupun harga daging rusa (venison) cukup
mahal tapi banyak dicari orang karena 50-55% lemaknya bersifat polyunsaturated atau bukan
lemak jenuh (Anderson, 1984; Semiadi et al., 1993; dan Semiadi, 2006).
Manfaat yang diperoleh selain aspek konservasi adalah objek ekowisata (keunikan dan
keindahan) dan objek berburu untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani serta hasil ikutan
lainnya (keturunan ke-2/F2 dan seterusnya). Hasil penangkaran rusa juga memiliki prospek
untuk dikembangkan dalam skala budidaya secara komersial, sehingga fungsi hutan sebagai
pangan dapat terpenuhi.
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan potensi pemanfaatan
rusa timor yang berlandaskan konservasi sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat.
Harapannya tulisan ini bisa menjadi salah satu sumber informasi sebagai bahan dalam
mempertimbangkan susunan perencanaan sampai implementasi pemanfaatan rusa timor di
Indonesia.
METODE
Lokasi dan waktu Penulisan
Kegiatan penulisan ini dilakukan di kampus IPB Dramaga Tepatnya di kawasan Fakultas
Kehutanan dan perpustakaan IPB Dramaga. Penulisan ini dilakukan pada bulan Maret tahun
2020 bersama dengan teman kelompok yang sudah ditentukan dalam kelas kuliah sebelumnya.
Bahan dan Alat yang digunakan
Bahan dan alat yang digunakan dalam penulisan ini adalah laptop, peta persebaran rusa
timor di Indonesia, alat tulis, internet, dan data-data penelitian terkait rusa timor.
Teknik pengumpulan data
Penulisan ini dilakukan dengan studi literatur terkait pemanfaatan rusa timor untuk
memperoleh data dan informasi dari hasil penelitian-penelitian yang ada di internet dan buku.
Setelah itu, dilakukan diskusi yang selanjutnya dinotulensi dan dimasukkan dalam kerangka
penulisan ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Rusa Timor
Rusa timor (Cervus timorensis) termasuk dalam klas mamalia, anak klas Theria, bangsa
Artiodaktila, anak bangsa ruminansia, suku Cervidae dan anak suku Cervinae. Terdapat delapan
anak jenis Cervus timorensis di Indonesia, diantaranya Cervus timorensis timorensis, Cervus
timorensis russa, Cervus timorensis floresiensis, Cervus timorensis renschi, Cervus timorensis
moluccensis, Cervus timorensis macassaricus, Cervus timorensis djongs, dan Cevus timorensis
laranesiotes (Schroder, 1976). Peningkatan sumberdaya rusa sampai saat ini belum jelas, tetapi
diketahui bahwa rusa mempunyai potensi yang besar sebagai pemasok daging, kulit dan ranggah
yang berkualitas baik. Rusa timor ditandai dengan warna kulit cokelat kekuning-kuningan. Rusa
jantan memiliki warna kulit yang gelap dan bulu lebih kasar dan yang dewasa sudah muncul
ranggah yang besar, panjang, dan bercabang (Schroder, 1976). Selain itu, rusa timor umumnya
hidup berkelompok dan masing-masing kelompok mempunyai daerah territorial.
Bobot badan rusa timor dapat mencapai 60 kilogram, panjang badan sekitar 1,95 meter,
tinggi badan 1-1,10 meter, tinggi tumit 0,29 sampai 0,35 meter serta memiliki ketahanan serta
daya adaptasi yang tinggi dan dapat hidup di hutan lebat (Siregar et al., 1984). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa umur sapih rusa timor 4 bulan, lama kehamilan 250-285 hari dengan jarak
kelahiran pertama dan kedua adalah satu tahun dua bulan dan umur tua sekitar 15 sampai 18
tahun. Terdapat perbedaan ukuran tubuh antara rusa jantan dan betina, dimana dari 11 ekor rusa
jantan dewasa yang diamati memiliki berat tubuh berkisar antara 28-52 kg, sementara dari 28
ekor betina dewasa diperoleh kisaran berat tubuh antara 30-68 kh (Zein, 1998). Selanjutnya pada
rusa jantan, panjang tubuh berkisar antara 64-89 cm, tinggi tubuh 66-78 cm dan lingkar dada 74-
100 cm, sedangkan pada rusa betina berkisar antara 60-96 cm untuk panjang tubuh 51-78 cm
untuk tinggi tubuh dan 64-103 cm untuk lingkar dada. Sementara itu, Takandjandji (1995)
melaporkan bahwa musim kawin rusa timor yang terdapat di Oilsonbai, NTT terjadi sekitar
Bulan Januari sampai dengan Bulan Maret, rusa dikatakan dewasa pada umur 8 bulan untuk
betina dan 7-9 bulan pada jantan.
Jatah panen dapat tercapai apabila ukuran populasi pada saat pemanenan mencukupi.
Apabila Qt dinyatakan sebagai panenan lestari (SY), maka ukuran populasi yang harus
tersedia pada saat pemanenan (Nt) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
(Caughley 1977):
Keterangan (Remarks):
Nt = Ukuran populasi pada saat pemanenan (population size at harvesl time) (individu)
Qt = Jatah panen (harvest quota) (individu/th) h laju pemanenan (harvest rate)
R = Laju pertumbuhan eksponensial (exponential growth rate)
Untuk mencapai jatah panen dan ukuran populasi pada saat pemanenan, maka dilakukan
perhitungan besarnya ukuran populasi awal yang harus tersedia pada saat kegiatan penangkaran
dimulai. Ukuran populasi awal (No) ditentukan berdasarkan model pertumbuhan populasi terpaut
kerapatan atau model logistik (Caughley 1977). Berdasarkan persamaan logistik tersebut, maka
ukuran populasi awal (No) dapat ditentukan menurut persamaan:
Keterangan (Remarks):
Nt = ukuran populasi pada waktu pemanenan (population size al harvest time) (individu)
awal (initial population size)
K =daya dukung habitat (carrying capacity)(individu/th)
R = laju pertumbuhan (growth rate)
T = Waktu pemanenan (han'est time) (th)
e = Bilangan euler (e = 2,718281..
Keterangan:
P = ketersediaan hijauan pakan masing-masing lokasi (kg/th)\
BBi = Bobot segar hijauan pakan pengamatan ke-I (kg
A = Luas areal lokasi (ha)
ai = unit contoh pengamatan ke-I (ha)
t = waktu pengamatan (th)
fk = faktor konsumsi rusa (digunakan nilai 70%)
Untuk mengetahui ketersediaan hijauan pakan dalam berat kering, maka digunakan persamaan
berdasarkan Semiadi (2006):
Keterangan:
KBi = kadar biomassa hijauan pakan pengamatan ke-i (%);
BKi = bobot kering hijauan pakan pengamatan ke-i (kg)
BBi = bobot segar hijauan pakan pengamatan ke-i (kg)
Selanjutnya adalah menghitung tingkat konsumsi pakan rusa dengan formula berikut ini:
Konsumsi pakan (kg/hr) = berat hijauan pakan awal (kg) – berat hijauan pakan sisa (kg)
Analisis data yang tak kalah pentingnya yaitu menghitung daya dukung habitat yang merupakan
perbandingann antara produktivitas hijauan dengan tingkat konsumsi, sehingga daya dukung
dihitung dengan menggunakan persamaan;
Keterangan:
K = Daya dukung habitat (individu/ha)
P = Ketersediaan hijauan pakan (kg/ha)
C = rata-rata konsumsi pakan setiap individu (kg/individu)
Hasil dari perhitungan diatas kemudian dikaitkan dengan analisis perhitungsn BEP yang
merupakan nilai biaya tetap dan biaya variabel yang ditetapkan berdasarkan biaya investasi
masing-masing penangkaran yang telah dijelaskan pada sistem penangkaran rusa timor. Sesudah
menghitung nilai BEP, analisis data dilanjutkan dengan mengidentifikasi ukuran populasi pada
saat pemanenan. Kuota panen (Qt) yang telah ditetapkan merupakan jumlah rusa yang dapat
dipanen setiap tahun untuk mencapai kelestarian. Kuota panen dapat tercapai apabila ukuran
populasi pada saat pemanenan mencukupi. Apabila Qt dinyatakan sebagai panenan lestari (SY),
makan ukuran populasi yang harus tersedia pada saat pemanenan (Nt) dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:
Keterangan:
Nt = ukuran populasi pada saat pemanenan (individu)
Qt = kuota panenan (individu/th)
h = laju pemanenan
r = laju pertumbuhan eksponensial
Untuk mencapai kuota panenan dan ukuran populasi pada saat pemanenan, maka
dilakukan perhitungan besarnya ukuran populasi awal yang harus tersedia pada saat kegiatan
penangkaran dimulai. Ukuran populasi awal (N0) ditentukan berdasarkan model pertumbuhan
populasi terpaut kerapatan atau disebut juga model logistik (Caughley 1977).
Keterangan:
Nt = ukuran populasi pada waktu pemanenan (individu)
No = ukuran populasi awal (individu)
K = Daya dukung habitat (individu/th)
r = laju pertumbuhan
t = waktu pemanenan (th)
e = bilangan euler (e= 2,718281…)
Keterangan;
Ax = kebutuhan areal penangkaran sistem ekstensif (ha)
Ay = kebutuhan areal penangkaran sistem semi intensif (ha)
Az = kebutuhan areal penangkaran sistem intensif (ha)
N = populasi rusa (individu)
C = kebutuhan konsumsi setiap individu (kg/individu/th)
PA = produktivitas hijauan pakan di dalam areal penagkaran (kg/ha/th)
PB = produktivitas hijauan pakan di luar areal penangkaran (kg/ha/th)
R = kebutuhan ruang setiap individu (m2/individu)
fc = faktor koreksi bagi konsumsi setiap individu rusa (25%)
fr = faktor pengaman kebutuhan ruang setiap individu (2 kali kebutuhan ruang setiap
individu)
DAFTAR PUSTAKA
[IUCN] International Union for Conservation of the Nature and Natural Resources. 2017. The
IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org. [18 Februari 2018]
Anderson, R. 1984. Deer Farming. Deer refsresher course [proceedings] No. 72. The University
Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor
BKPH Jonggol, KPH Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam. Bogor
Caughley G. 1977. Analysis of Vertebrate Populations. John Wiley & Sons.
Garsetiasih, R dan M. Takandjandji. 2006. Model penangkaran rusa [prosiding]. Ekspose Hasil-
Gelar dan dialog teknologi di Mataram, Nusa Tenggara Barat
Hardjanto., B. Masy’ud. dan H. Yulius. 1991. Analisis kelayakan finansial penangkaran rusa di
Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, Padang. Pusat Penelitian
Kwatrina RT. 2009. Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di
Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Kwatrina RT, Takandjandji M, Bismark M. 2011. Keterserdiaan tumbuhan pakan dan daya
dukung habitat Rusa timorensis de Blainville, 1822 di kawasan Hutan Penelitian Dramaga.
Bul Plasma Nutfah.17(2): 129-137.
Ma’ruf, A., T. Atmoko dan I. Syahbani. 2005. Teknologi penangkaran rusa sambar menunjang
manajemen Taman Buru Pulau Moyo, Propinsi Nusa Tenggara Barat [disertasi].
Masy’ud B, Ginoga LN. 2016. Penangkaran Satwaliar. Bogor (ID): IPB Press.
Mukhtar, A.S. 1996. Studi dinamika populasi rusa (Cervus timorensis de Blainville) dalam of
Sydney. Australia Schroder TO. 1976. Deer in Indonesia. Agriculture University
Wageningen-Netherlands Nature Conservation Department. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor
Priyono A. 2007. Pendekatan ekologi dan ekonomi dalam penataan kawasan buru rusa sambar:
Studi kasus Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santosa Y, Kwatrina RT, Kartono AP. 2012. Penentuan Sistem Penangkaran Rusa Timor (Rusa
timorensis de Blainville 1822) Berdasarkan Jatah Pemanenan dan Ukuran Populasi Awal.
Media Konservasi. 17(2).
Semiadi G, Nugraha RTP. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor: Pusat Penelitian
Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Semiadi G, Nugraha RTP. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor (ID): Pusat
Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Semiadi G. 2006. Biologi Rusa Tropis. Bogor: Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Semiadi, G dan R.T.P. Nugraha. 2004. Panduan pemeliharaan rusa tropis. Pusat Penelitian
Siregar AP, Radjagukguk BPA, Sabrani M, Soedirman ST, Iskandar E, Kalsid LP, Batubara H,
Sitohano A, Syarifuddin A, Saleh, Wiluto. 1984. Prosiding Seminar Satwa Liar. Bogor:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Takandjandji M. 1968. Pengaruh Pemberian Rumput dan Campurannya dengan Daun Beringin,
Kabesak, dan Daun Turi terhadap Pertumbuhan Rusa Timor (Rusa timorensis). Santalum.
Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Nusa Tenggara, 3:1 – 15.
Thohari M, Haryanto B. Masy’ud B, Rinaldi D, Arief H, Djatmiko WA, Mardiah SN,
Kosmaryandi N, Sudjatnika. 1991. Studi Kelayakan dan Perancangan Tapak Penangkaran
Rusa di BKPH Jonggol, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Bogor:
Kerjasama antara Direksi Perum Perhutani dengan Fakultas Kehutanan IPB.
Zein MSA. 1998. Karakteristik morfologi genetik dan nilai normal darah rusa jawa (Cervus
timorensis timorensis). [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB.