Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pulau Madura memiliki empat Kabupaten, yaitu Kabupaten Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Kabupaten Bangkalan Terletak di ujung Barat
Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur. Sebelah utara Kabupaten Bangkalan berbatasan
dengan laut Jawa, Sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Selat Madura,
sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sampang. Kabupaten
Bangkalan termasuk daerah subur dengan curah hujan yang cukup banyak. Pada
daerah kabupaten Madura terdapat sumber bibit sapi Madura yang baik dan sering
dilakukan pengambilan sampel dari 100 ekor ternak sapi dan dipilih secara rambang
proporsional. Peneguhan diagnosa penyakit parasit tungau dilakukan dengan 2 tahap
pemeriksaan terhadap gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris didapatkan hasil
penelitian menunjukkan prevalensi tungau pada ternak sapi di Kabupaten Madura
adalah 12% (Aryogi, 2006).
Populasi ternak sapi di Madura 905.271 ekor yang tersebar di empat wilayah,
yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Selama kurun waktu 2008-
2012, rata-rata laju peningkatan populasi ternak sapi di Madura 1,49% setiap tahun
dengan laju peningkatan populasi ternak sapi paling tinggi berada di wilayah
Kabupaten Bangkalan. Madura ditetapkan sebagai wilayah tertutup untuk melakukan
perkawinan silang dengan pejantan ternak sapi potong yang berasal dari luar Madura.
Hal ini bertujuan untuk mempertahankan kemurnian sapi Madura sebagai salah satu
plasma nutfah sapi asli Indonesia (Nurgiartiningsih, 2010).
Penyakit parasit tungau di Madura paling banyak menyerang ternak seperti
sapi, kerbau dan kambing. Penyakit tungau yang sering menyerang pada sapi yaitu
Sarcoptes scabiei. Penyakit ini menyerang pada individual, kemudian meluas ke
populasi ternak. Adapun spesies tungau yang dapat menyerang pada sapi yaitu
Demodex sp, Sarcoptes scabiei, Psoroptes sp dan Notoedres sp. Ada kecenderungan
ternak dengan kondisi hygiene dan sanitasi kandang yang buruk lebih rentan terhadap

1
penyakit parasit tungau. khusus pada ternak muda angka kematian penderita
mencapai 50%, tergantung dari pada kondisi ternak dan lingkungannya (Putra, 1994).
Berdasarkan laporan tahunan dinas provinsi kerugian akibat ektoparasit
tungau cukup tinggi pada ternak ruminansia khususnya di daerah Madura. Selain
merugikan ternak secara ekonomi juga karena dapat bersifat zoonosis khususnya pada
penyakit parasit tungau. Pengendalian dapat dilakukan dengan sanitasi kandang yang
baik dan menggunakan obat ektoparasit secara rutin ataupun menggunakan tanaman
tradisional sebagai kendala harga pengobatan yang cukup tinggi (Budiantoro, 2004).
UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura dipilih sebagai tempat
pelaksanaan Praktek Kerja Lapang karena Dinas Peternakan ini merupakan salah satu
pusat pengembangan sapi Madura yang memiliki populasi sapi potong tertinggi dan
berada di bawah naungan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur yang bertempat di
kota Pamekasan-Madura. Berdasarkan hal tersebut dilakukan Praktek Kerja Lapang
di UPT. Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura untuk mengetahui dan
mempelajari penerapan Identifikasi dan Penanganan penyakit parasit tungau (Mange)
Pada Sapi Madura di peternakan tersebut sesuai dengan standar yang ada di
Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang dikemukakan dalam praktek kerja lapang ini adalah
bagaimana penanganan penyakit parasit tungau (Mange) Pada Sapi Madura di UPT.
Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura melalui identifikasi scraping kulit?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan praktek kerja lapang ini adalah untuk mengetahui
penanganan penyakit parasit tungau (Mange) di UPT Pembibitan Ternak dan
Kesehatan Hewan Madura melalui identifikasi scraping kulit.

2
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari Praktek Kerja Lapang ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan kepada mahasiswa
mengenai penanganan penyakit parasit tungau (Mange) di UPT Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura melalui identifikasi scraping kulit di
lapang.
2. Sebagai bahan referensi untuk pembelajaran yang lebih baik kepada pihak
Fakultas kedokteran hewan Universitas Brawijaya

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Madura


Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki empat, tanduk berongga, dan
memamah biak. sapi juga termasuk dalam kelompok Taurine, termasuk didalamnya
Bos taurus dan Bos indicus. Sapi merupakan salah satu sumber daya penghasil daging
yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting bagi kehidupan masyarakat. Seekor
ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama bahan makanan
berupa daging, susu dan hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit dan tulang
(Lembaga Penelitian, 2011).
Klasifikasi pada sapi madura:
Family : Bovidae
Sub Family : Bovidae
Genus : Bos
Spesies : Bos Indicus Cross
Spesies Lokal : Madurae
Nama Lokal : Madura

Gambar 2.1 Sapi Madura


(Sumber: Lembaga Penelitian, 2011)

4
Menurut Purnomiadi (2003), menyatakan bahwa bangsa sapi lokal yang
berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah sapi Ongole (Sumba Ongole dan
Peranakan Ongole), sapi Bali, dan sapi Madura. Selain itu terdapat sapi hasil
persilangan lainnya seperti Limosin Ongole (Limpo), dan Simenthal ongole (Simpo)
bangsa sapi tersebut sudah beradaptasi dengan baik terhadap wilayah Indonesia. Tipe
ternak sapi pedaging memiliki ciri-ciri bebagai berikut :
1. Bentuk tubuh harus padat, dada dalamdan lebar, bila dilihat dari samping
bentuk tubuh seperti persegi paanjang.
2. Badan seluruhnya penuh berisi daging, dan kualitas daging maksimum
3. Kapala pendek dan lebar pada bagian dahi.
4. Leher dan bahu tebal, punggung dan pinggang lebar.
5. Laju pertumbuhan cepat.
6. Efisiensi pakan tinggi.

2.2 Penyakit Tungau


Tungau termasuk dalam filum Arthropoda, sub filum Chelicerata, kelas
Arachnida, dan ordo Acarina. Acarina berasal dari bahasa Yunani, yaitu akari yang
berarti tungau. Kebanyakan tungau yang menyerang pada ternak sapi umumnya
berukuran sangat kecil, panjangnya 0,2 – 0,8 mm sehingga sulit dilihat dengan mata.
Tubuhnya tidak mempunyai segmen sehingga menyerupai kantong, dan hanya pada
bagian mulut yang menonjol mejadi satu dengan badannya.
2.2.1 Klasifikasi Tungau
Adapun klasifikasi tungau/mites yaitu: (Siregar, 2007).
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Arachanida
Ordo : Acarinida
Famili : Demodicidae, Psorergatidae, Tydeidae, dll
Genus : Demodex, Psorergates, Tydeus, dll
Spesies : Demodexbrevis, Psorergatesovis, Tydeusmolestus, dll.

5
2.3 Morfologi Tungau
Tungau merupakan binatang yang berukuran sangat kecil, yakni 250-300
mikron berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau
memiliki ciri umum memiliki tubuh tersegmentasi dengan segmen disusun dalam dua
tagmata: sebuah prosoma (cephalothorax) dan opisthosoma (perut). Namun, hanya
jejak-jejak samar segmentasi utama tetap di tungau, sedangkan prosoma dan
opisthosoma menyatu (Kelly, 1997). Tungau dewasa memiliki empat pasang kaki,
seperti arachnida lain, tetapi beberapa memiliki kaki lebih sedikit. Beberapa tungau
parasit hanya memiliki satu atau tiga pasang kaki dalam tahap dewasa. Tungau dewasa
dengan hanya tiga pasang kaki dapat disebut 'larviform'. Tungau bernapas melalui
tracheae, stigmata (lubang kecil pada kulit), usus dan kulit. Kebanyakan tungau tidak
memiliki mata. Mata pusat arachnida selalu hilang, atau mereka menyatu menjadi satu
mata.Panjang tungau dewasa hanya 0,3-0,4 milimeter (Reilly, 1985). Tungau memiliki
tubuh semitransparan memanjang yang terdiri dari dua segmen menyatu. Tungau
memiliki delapan kaki pendek, kaki yang tersegmentasi melekat pada segmen tubuh
pertama. Tubuh ditutupi dengan sisik untuk penahan dirinya dalam folikel rambut, dan
tungau memiliki pin (seperti mulut) yaitu bagian untuk makan sel-sel kulit dan minyak
(sebum) yang menumpuk di folikel rambut. Tungau dapat meninggalkan folikel
rambut dan perlahan-lahan berjalan-jalan pada kulit, dengan kecepatan 8-16 mm per
jam. (Sanusi, 1989).

2.4 Siklus Hidup Tungau


Siklus hidup tungau berlangsung pada tubuh inang, terdiri atas beberapa
tahapan yaitu telur, larva, deutonimfa dan bentuk dewasa jantan atau betina (Williams
et al., 2000). Tungau jantan bertemu dengan tungau betina pada permukaan yang
normal dari epidermis kulit (Muller and Kirk, 1976). Menurut Grant (1986) dan
Luevine (2000), siklus hidup tungau dimulai dari tungau betina dewasa, setelah
dibuahi maka sarcoptes akan mulai membuat lubang atau terowongan di bawah
permukaan kulit untuk meletakkan telurnya, sekaligus juga membuang kotorannya di
terowongan tersebut. Panjang terowongan bisa mencapai 3 cm dan terbatas dalam

6
lapisan epidermis kulit. 4 - 5 hari kemudian mulai bertelur dan meletakkan 3 - 5 butir
telur per hari dalam terowongan tersebut sampai jumlahnya mencapai 40 - 50 telur.
Tungau betina ini dapat mengeluarkan telur sebanyak 90 butir sepanjang siklus
hidupnya. Setelah meletakkan telurtelurnya, tungau betina akan mati. Umur tungau
betina hanya mencapai tidak lebih dari 3 - 4 minggu. Sedangkan tungau jantan mati
setelah kopulasi (Airlian, 1988).
Telur akan berada di terowongan antara 3 - 10 hari setelah itu menetas
menjadi larva berukuran 215 x 156 µm yang memiliki tiga pasang kaki (Smith, 2000).
Larva dapat tinggal dalam terowongan, atau bermigrasi ke luar pada daerah sekitarnya
untuk mencari makanan, kemudian kembali dan menggali kulit lebih dalam untuk
membuat tempat moulting (moulting pocket) menjadi tahap nimfa (Kelly, 1977).
Nimfa memiliki empat pasang kaki namun organ kelaminnya belum berkembang.
Nimfa berukuran 220 x 195 µm (Flynn, 1993). Setelah 2 - 3 hari larva akan menjadi
nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan atau betina dengan 4 pasang kaki.
Selanjutnya nimfa akan tumbuh menjadi parasit dewasa dalam kurun waktu 2 minggu.
Siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 -
12 hari (Airlian, 1988). Siklus hidup dari tungau sejak fase telur sampai dengan tungau
dewasa penuh adalah 17 - 21 hari (Urguhart et al, 1987). Tungau mampu bertahan
hidup di luar tubuh inang 2-6 hari dan bisa bertahan hidup hingga 22 hari pada
lingkungan yang sedikit lembab (Smith, 2000).

Gambar 2.2 Siklus hidup tungau


(Sumber: Smith, 2000)

7
2.5 Gejala Klinis Tungau
Masa inkubasi bervariasi antara 10-42 hari. Pada awal infestasi, kulit
mengalami erithemia, kemudian akan berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula
dan akhirnya terjadi peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat karena
adanya iritasi (Airlian, 1988). Ciri khas dari penyakit parasit tungau adalah gatal-gatal
hebat, yang biasanya semakin memburuk pada malam hari. Lubang berbentuk
terowongan tungau tampak sebagai garis bergelombang dengan panjang sampai 2,5
cm, kadang pada ujungnya terdapat gumpalan kecil (Luevine, 2000). Lubang tersebut
paling sering ditemukan dan dirasakan gatalnya di sela-sela kuku kaki, pergelangan
tangan, siku, ketiak, di sekitar ambing, dan bagian bawah anus. Kulit bagian terluar
terlihat menebal, berkerut, dan terdapat keropeng diatasnya. Infeksi diikuti dengan
pembentukan papula atau vesikula, disertai dengan perembesan cairan limfe. Ternak
lain yang dipelihara dalam kandang yang sama cenderung tertular dan
memperlihatkan gejala ketidak tenangan, hewan tampak gelisah karena rasa gatal,
menggaruk dan menggesekan tubuhnya sehingga terjadinya luka dan perdarahan.
Eksudat mengendap pada permukaan kulit dan terbentuknya keropeng atau kerak
(Subronto, 2008).
Perjalanan penyakit terbagi dalam 3 (tiga) fase. Fase pertama, terjadi 1-2 hari
setelah infestasi. Saat ini tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada
permukaan kulit terdapat banyak lubang kecil. Pada fase kedua, tungau telah berada
di bawah lapisan keratin, permukaan kulit lebih ditutup oleh kerak/keropeng yang
tebal dan kerontokan bulu. Fase kedua ini terjadi 4-7 minggu setelah infestasi.
Adapun pada fase ketiga yang terjadi 7-8 minggu setelah infestasi, kerak mulai
mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali terlihat lubang kecil, dan pada
saat itu tungau meninggalkan bekas tersebut (Ketlle, 2004).

2.6 Patogenesa Tungau


Tungau dapat menginfeksi ternak dengan menembus kulit, menghisap cairan
limfe dan juga memakan sel-sel epidermis pada hewan. Tungau akan menimbulkan
rasa gatal yang luar biasa sehingga sapi atau ternak yang terserang akan

8
menggosokkan badannya ke kandang (Selvyn, 2004). Eksudat yang dihasilkan oleh
penyakit parasit tungau akan merembes keluar kulit kemudian mengering membentuk
sisik atau keropeng di permukaan kulit. Sisik ini akan menebal dan selanjutnya terjadi
keratinasi serta proliferasi jaringan ikat. Daerah sekitar yang terinfeksi parasit akan
menjadi berkerut dan tidak rata. Rambut kulit pada daerah ini akan menjadi jarang
bahkan hilang sama sekali. Sapi muda lebih rentan terhadap penyait parasit tungau.
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan ternak lainnya dan juga tertular
melalui peralatan pakan dan peralatan lain yang telah tercemar parasit tungau.
Penyakit meningkat terutama pada musim penghujan (Subronto, 2008).

Gambar 2.3 Terowongan yang dibuat oleh tungau dibawah permukaan kulit
(Sumber: Subroto, 2008)

2.7 Macam Macam Tungau Pada Sapi


Tungau pada ternak sapi dapat dikelompokan memiliki 4 spesies tungau yang
sering menyerang hewan dan menyebabkan penyakit ektoparasit, yaitu famili
Sarcoptes scabiei, Demodex s, Notoedres sp, dan psoroptes s.
2.7.1 Morfologi Sarcoptes scabiei
Sarcoptes scabiei merupakan tungau yang berukuran kecil, mikroskopis,
berbentuk lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini
translusen dan berwama putih kotor. Ukuran tungau sangat bervariasi, yang betina
berukuran lebih besar dari yang jantan yaitu kurang lebih 330-450 x 250-350 mikron,
sedang yang jantan berukuran 200 - 240 x 150 - 200 mikron (Ho CM, 1991). Tubuh

9
tungau terbagi 2 yaitu bagian anterior yang disebut nototoraks dan bagian posterior
yang disebut notogaster (Gray, 1937). Pada tungau betina, 2 pasang kaki kedua
berakhir dengan rambut sedangkan pada tungau jantan, sepasang kaki ketiga berakhir
dengan rambut dan kaki ke-empat berakhir dengan ambulakral, yaitu semacam alat
untuk melekatkan diri. Alat genital tungau betina ini berbentuk celah yang terletak
pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk huruf Y dan terletak di
antara pasangan kaki ke empat. Pada stadium larva memiliki 3 pasang kaki sedangkan
nimfa mempunyai 4 pasang kaki dan bergerak dengan kecepatan 2,5 cm per menit
pada permukaan kulit (Flynn, 1993).

Gambar 2.4 Tungau Sarcoptes scabiei (kiri) dan perbedaan tungau betina dan tungau
jantan (kanan) (Sumber: Gray, 1937).

2.7.2 Morfologi Demodex sp


Penyakit ini disebabkan oleh sejenis tungau yang disebut Demodex sp.
Berbentuk seperti cerutu atau wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang pendek dan
gemuk serta memiliki 3 ruas. Bagian perutnya terbungkus kitin dan bergaris
melintang menyerupai cincin serta memipih ke arah caudal (Subroto, 2008). Ukuran
tungau bervariasi antara 0,2-0,4 mm. beberapa spesies tungau memiliki inang
spesifik, seperti demodecosis pada sapi desebabkan oleh Demodex sp. Tungau
Demodex sp hidup di dalam kelenjar minyak dan kelenjar keringat (glandula sebacea)
dan memakan epitel serta cairan limfe dari beberapa hewan, kecuali ungags. Dalam
kondisi tertentu tungau ini dapat menginfestasi manusia dan bersifat zoonosis
(Dharma, 1997)

10
Gambar 2.5 Gambar tungau Demodex sp
(Sumber: Dharma, 1997)

2.7.3 Morfologi Notoedres sp


morfologi notoedres sp mirip dengan sarcoptes scabiei. Tungau ini memiliki
bentuk tubuh bulat dengan diameter antara 150-1225 µm. ukuran tungau ini berkisar
150-250 µm. serta ukuran tungau dewasa mencapai 230-275 µm (Abu, 1981). Bagian
dorsar dlengkapi dengan sederetan sisik, tetapi ditak disertai duri. Notoerdes memiliki
empat pasang kaki yang pendek. Dua pasang kaki di bagian posterior belum
sempurna dan tidak keluar melebihi batas tubuh tungau. Perbedaan yang sangat jelas
antara tungau sarcoptes dengan notoedres terletak pada bagian anus. Sarcoptes
memiliki anus pada bagian ujung posterior, sedangkan pada notoedres terletak di
bagian dorsal antara pasangan kaki ketiga dan keempat (Flynn, 1993).

Gambar 2.6 Gambar tungau Notoedres sp


(Sumber: Abu, 1981)

11
2.7.4 Morfologi Psoroptes sp
Tungau Psoroptidae berbentuk bulat lonjong (oval) dan tidak terdapat duri-
duri pada bagian dorsalnya. Pada dorsum propodosoma juga tidak dijumpai setae
yang vertikal. Kaki-kaki tungau ini panjang dan keluar melampaui batas tubuh. Pada
tarsi kaki-kaki tertentu terdapat karunkula (alat penghisap berbentuk genta) yang
ditunjang oleh sebuah tungkai (pedicle) (Rahayu, 2014). Tangkai alat penghisap
tersebut panjang dan beruas tiga. Anus letaknya diujung, sedangkan pada jantan
mempunyai aat penghisap adanal (copulatory disc). Pada batas bagian posterior perut
tungau jantan terdapat dua gelambir (lobus) yang menonjol (Dharma, 1997).

Gambar 2.7 Gambar tungau Psoroptes sp


(Sumber: Rahayu, 2014)

2.8 Diagnosa Penyakit Parasit Tungau


2.8.1 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis meliputi pengamatan terhadap perubahan yang terjadi
pada kulit kambing dan sapi yaitu lesi kulit seperti; hiperemi, melepuh, keropeng,
pustula/papula, krusta, sisik dan alopesia akibat infestasi parasit tungau. Pengambilan
kerokan kulit dilakukan pada sapi yang mencirikan gejala klinis penyakit parasit
tungau yang sebelumnya diperiksa dengan metode pemeriksaan klinis pada kulit sapi
(Harahap, 2000).
2.8.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk memperkuat dugaan adanya
infestasi parasit pada sapi. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan dengan
mengambil kerokan kulit pada sapi. Sampel kerokan kulit disimpan dalam pot tabung

12
berisi KOH 10% yang telah disiapkan dan diberi label. Untuk peneguhan penyakit
parasit tungau pada sapi, maka sampel kerokan kulit diperiksa dibawah mikroskop
dengan pembesaran 10x (Aryogi, 2006).

2.9 Penanganan Penyakit Parasit Tungau


Penanganan penyakit parasit tungau dapat dilakukan pencegahan seperti
sanitasi kandang, hygiene dan pengobatan dapat berhasil melalui diagnosa yang tepat
dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang akurat. Selain itu agar penderita benar-
benar sembuh maka diperlukan pengetahuan cara pengobatan yang benar, misalnya
dari cara pemakaian obat secara benar, hindari penggunaan obat secara berlebihan
terutama karena biasanya meskipun tungau sudah tidak ada namun gatal masih sangat
terasa sehingga penderita akan memakai obat dalam jumlah banyak (Iskandar, 2000).
Mengingat masa inkubasi yang cukup lama, maka semua ternak yang kontak dengan
penderita juga perlu diobati meskipun tidak didapatkan gejala, juga karena
kemungkinan penetrasi obat yang terganggu seperti pada lesi penderita kusta atau
pada penderita dengan infeksi sekunder, sehingga pada penderita terakhir ini perlu
diberikan antibiotic (Manurung dan Kusumaningsih, 1996). Beberapa macam obat
dipakai dalam pengobatan penyakit parasit tungau yaitu:
1. Gamma benzene hexaklorida (Gameksan)
Insektisida ini merupakan obat pilihan untuk scabies karena dapat membunuh
tungau dan telurnya. Cara pemakaiannya adalah dengan mengoleskan salep
atau losio dalam konsentrasi 1% pada seluruh badan, dari leher ke bawah lalu
dibersihkan setelah 12 jam. Pemakaian cukup sekali, dan dapat diulang
seminggu kemudian untuk membasmi larva yang baru menetas dan telur yang
tersisa. Gameksan diabsorbsi melalui kulit sehingga pemakaian berulang-
ulang dapat meningkatkan kadar obat dalam darah, dan akan bersifat toksik
terhadap susunan saraf pusat (Poeranto, 1997).
2. Akarisida Sistemik
Bila keropeng tebal akibat Scabies yang kronis pada ternak akan menyulitkan
dalam pengobatan topikal, karena akan menghambat penetrasi akarisida.

13
Untuk itu diperlukan obat yang pemberian sistemik, yaitu dengan rute
parenteral ataupun peroral. Pemberian obat parenteral atau secara oral seperti
ivermectin untuk terapi tungau sudah dikenal secara luas. Secara efektif
ivermectin sudah dibuktikan mengobati tungau pada sapi (Iskandar, 2000).
Dosis obat ivermectin secara subkutan adalah 200 µgr per kg berat badan dan
secara oral 100-200 µgr per kg berat badan per hari selama 7 hari. Ivermectin
atau 22,23,-dihydro-avermectin B1 telah dibuktikan sangat efektif dengan
kosentrasi rendah terhadap parasit eksternal, maupun internal dengan
pemberian peroral atau perenteral (Budiantoro,2004)
3. Krotamiton
Krotamiton konsentrasi 10% dalam bentuk krim atau losio, juga merupakan
skabisida yang cukup efektif, Cara pemakaian adalah dengan mengoleskan
bahan tersebut di seluruh badan mulai dari leher, dan dilakukan pengulangan
setelah 24 jam. Dilaporkan bahwa aplikasi selama 5 hari berturut-turut
memberikan hasil yang memuaskan. Efek sampingnya adalah iritasi kulit dan
pada pemakaian lama dapat menyebabkan sensitisasi (Abu, 1981).
4. Sulfur
Sulfur konsentrasi 5%-10% dalam vaselin dapat dipakai sebagai skabisida.
Obat ini hanya membunuh larva dan tungau tetapi tidak membunuh telur,
sehingga pemakaian harus dilakukan selama 3 hari berturut-turut. Bentuk aktif
sulfur adalah H2S dan asam pentationik yang mempunyai sifat keratinolitik
(Abu, 1981).
5. Benzil benzoate
Obat ini dipakai dalam bentuk emulsi atau losio dengan konsentrasi 20-35%.
Obat ini cukup efektif namun sering menyebabkan iritasi dan menambah rasa
gatal (Abu, 1981).

14
BAB III
METODE KEGIATAN

3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan


Kegiatan Praktek Kerja Lapangan ini dilaksanakan selama 30 hari mulai
tanggal 16 Januari 2017 sampai 17 Februari 2017 di UPT Pembibitan Ternak dan
Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur.
3.2 Metode Praktek Kerja Lapangan dan Pengambilan Data
Metode yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan dilakukan dengan
survey lapangan dan pemeriksaan laboratorium. Kegiatan ini akan dilaksanakan
sesuai dengan materi dan jadwal pelaksanaan kegiatan (terlampir). Pengumpulan
data yang digunakan dalam kegiatan yaitu Kerja Praktek atau Studi Lapang,
Wawancara dan Diskusi, dan Studi Literatur.
3.2.1 Kerja Praktek/ Studi Lapang
Kerja praktek/ studi lapang adalah cara untuk mendapatkan data dengan
mengikuti kegiatan secara langsung di UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan
Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur.
3.2.2 Wawancara dan Diskusi
Pelaksanaan praktek kerja lapangan di atas juga didukung dengan
kegiatan wawancara, kuisioner, dan diskusi dengan dokter hewan untuk
melengkapi informasi dan data yang dibutuhkan. Waktu wawancara dilakukan
secara mandiri pada saat praktek kerja lapangan maupun pada saat melaksanakan
kegiatan pemeriksaan laboratorium.
3.3 Rencana Jadwal Kegiatan
Jadwal kegiatan Praktek Kerja Lapangan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya yang kami laksanakan seperti yang tertera pada tabel 1 di
bawah ini.

15
Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Praktek Kerja Lapangan Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya
Hari / Tanggal Jenis Kegiatan Pelaksanaan
Senin, 16 Januari 2017  Penerimaan  Petugas Pelaksana
Mahasiswa  Mahasiswa PKL
 briefing
 Pengenalan Kondisi
Lapangan
Selasa, 17 Januari 2017  Pelaksanaan PKL  Petugas Pelaksana
sampai 16 Februari 2017  Mahasiswa PKL
Jum’at, 17 Februari 2015  Pelepasan Mahasiswa  Mahasiswa PKL
PKL dan pulang

3.4 Biodata Peserta PKL


Peserta yang melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di UPT Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
adalah :
Nama : Dina Sahmiranda
NIM : 135130101111050
Program Studi : Kedokteran Hewan
Universitas : Brawijaya
Alamat : Jl.R Dewi sartika no.66 sumber-Cirebon
No. Telepon : 083834612244
Email : sahmiranda.dina@yahoo.co.id

16
BAB IV
PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1 Tempat dan Waktu


Kegiatan Praktek Kerja Lapang dilaksanakan pada tanggal 16 Januari 2017
sampai 17 Februari 2017 di UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan
Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. Kegiatan yang dilaksanakan
dalam praktek kerja lapang ini berkenaan dengan Identifikasi dan Penanganan
Penyakit Parasit Tungau (Mange) di UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan
Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur.

4.2 Jadwal Kegiatan


Adapun jadwal yang telah kami laksanakan berkenaan dengan Program
PKL Universitas Brawijaya di UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan
Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur seperti tabel 4.1 berikut:
Pembimbing
No. Tanggal Kegiatan
Lapangan

1. 16/01/2017  Pengenalan UPT Pembibitan drh. Andrea SR


Ternak dan Kesehatan Hewan dan drh. Yudi
Madura Heriyanto
 Pengenalan Laboratorium di
UPT Pembibitan Ternak dan
Kesehatan Hewan Madura Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Timur
 Pengenalan alat-alat
laboratorium

2. 17/01/2017  Pengenalan manajement drh. Yudi


pemeliharaan sapi madura

17
&  Pengambilan sampel scraping Heriyanto
kulit di UPT Pembibitan Ternak
18/01/2017
dan Kesehatan Hewan Madura
3. 19/01/2017  drh. Yudi
 Pemeriksaan sampel scraping Heriyanto
&
kulit
20/01/2017

4. 21/01/2017  Pencampuran ransum drh. Andrea SR


 Pemberian pakan hijauan dan drh. Yudi
&
 Sanitasi kandang Heriyanto
22/01/2017

4. 23/01/2017  Pemberian vitamin di UPT drh. Yudi H

5. 24/01/2017  Pengambilan sampel scraping drh. Andrea SR


kulit di UPT kalimook sumenep dan drh. Yudi
&
Heriyanto
25/01/2017

6. 26/01/2017  Melakukan pemeriksaan sampel drh. Andrea SR


scraping kulit
&

27/01/2017

7. 28/01/2017  Pencampuran ransum drh. Yudi


 Pemberian pakan hijauan Heriyanto
 Sanitasi kandang
8. 30/01/2017  Melakukan kegiatan diluar drh.Yudi
laboratorium parasit Heriyanto
&

18
31/02/2017

9. 01/02/2017  Pemberian vitamin di drh. Andrea SR


peternakan kalimook sumenep dan drh. Yudi
&
Heriyanto
02/02/2017

10. 03/02/2017  Pengambilan sampel scraping drh. Andrea SR


kulit di petenakan pangarangan dan drh. Yudi
Heriyanto

11. 04/02/2017  Pencampuran ransum drh. Andrea SR


 Pemberian pakan hijauan dan drh. Yudi
&
 Sanitasi kandang Heriyanto
05/02/2017

12. 06/02/2017  Melakukan pemeriksaan sampel drh. Andrea SR


scraping kulit di laboratorium
&
parasit
07/02/2017

13. 08/02/2017  melakukan pemberian obat drh. Yudi


ivermectin Heriyanto

14. 09/02/2017  Ijin KRSan di Fakultas -


Kedokteran Hewan UB
&

10/02/2017

15. 11/02/2017  Pencampuran ransum drh. Yudi


 Pemberian pakan hijauan Heriyanto
&
 Sanitasi kandang

19
12/02/2017

16. 13/02/2017  Diskusi bersama dan rekap arsip drh. Andrea SR


jawaban hasil identifikasi dan drh. Yudi
penyakit parasit tugau. Heriyanto

17. 14/02/2017  Pemberian vitamin di kalimook drh. Yudi


 Pemberian vitamin di UPT Heriyanto
&
 Diskusi dengan dosen
15/02/2017 pembimbing lapangan

&

16/02/2017

18. 17/02/2015  Perpisahan mahasiswa PKL

20
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Keadaan Umum UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
5.1.1 Sejarah UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Timur merupakan bagian dari Balai
Laboratorium Uji Medik Veteriner sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa
Timur No. 59 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur
Jawa Timur No. 130 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Timur yaitu terbentuknya Tata Kerja
Pelaksanaan Teknis baru dalam organisasi Dinas Peternakan Provinsi Jawa
Timur sesuai pasal 2 pada huruf J, yaitu Unit Pelaksana Teknis Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura serta Keputusan Kepala Dinas
Peternakan.
Perubahan Surat Keputusan Kepala Dinas Peternakan Nomor
188.U/572/115.02/2009 Tentang Pembagian Wilayah Kerja Unit Pelaksana
Teknis Laboratorium Kesehatan Hewan. Unit Pelaksana Teknis Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa
Timur dilengkapi dengan peralatan untuk analisa kesehatan hewan
(keswan) dan kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) serta pelayanan
perbibitan ternak Sampai saat ini sudah melaksanakan kegiatan antara lain
menganalisa sampel yang berasal dari dinas, balai besar veteriner,instansi
terkait untuk kepentingan pengawasan periodik kesehatan hewan dan
perbibitan ternak selain itu juga menerima sampel dari masyarakat dan
produsen Bahan Asal Hewan (BAH) dan Hasil Bahan Asal Hewan
(HBAH).

21
5.1.2 Tugas Pokok dan Fungsi UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan
Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Timur memiliki tugas pokok dan fungsi, yakni :
1. Mewujudkan Pulau Madura sebagai Pulau Sapi.
2. Pembibitan, Budidaya dan Pemuliabiakan Ternak.
3. Pemeliharaan ternak dan pembibitan hijauan makanan ternak serta
pengadaan hijauan makanan ternak.
4. Pengujian performans dan pencatatan ternak.
5. Pengembangan dan pendistribusian bibit ternak.
6. Penyusunan perencanaan dan pembinaan penyidikan penyakit hewan.
7. Pelaksanaan evaluasi dan cara penanggulangan penyakit hewan.
8. Penyusunan dan pembinaan serta pengawasan produk asal hewan.
9. Pengawasan dan pencegahan zoonosis, pembinaan sanitasi dan
hygiene.
10. Pelaksanaan pelayanan pengujian mutu produk asal hewan dan produk
non pangan asal hewan.
11. Pelaksanaan urusan ketatausahaan.
12. Pelaksanaan pelayanan masyarakat/ Teknis Peternakan dan Keesehatan
Hewan.
13. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas.

5.1.3 Lokasi dan Tata Letak Laboratorium Parasitologi


UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu bagian UPT dari
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, terletak di Jl. Raya Pamekasan-
Sumenep KM 15, Kabupaten Pamekasan.
Lokasi laboratorium parasitologi untuk melaksanakan pemeriksaan
sampel scraping kulit berada di lantai satu kantor UPT Pembibitan Ternak
dan Kesehatan Hewan Madura. Denah lantai 1 UPT Pembibitan Ternak

22
dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
seperti di bawah ini:

Gud. Ruang
Lab. Lab. Lab.
obat Serologi Nekropsi
Parasitologi Histopatologi
dan
bahan
kimia

Lab. Ruang Lab. Ruang


Mikrobiologi Sterilisasi Kesmavet Manajer
Pintu
Mutu
utama

Gambar 5.1Berikut adalah bangunan UPT Pembibitan Ternak dan


Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

Gambar 5.2 UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura


Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
5.2 Identifikasi Penyakit Tungau (mange)

23
5.2.1 Metode Scraping Kulit
1. Prinsip Pemeriksaan Ektoparasit
Ektoparasit merupakan parasit yang hidup pada kulit atau permukaan
tubuh induk semang (host) selama hidup atau sebagai dari hidupnya.
2. Tujuan
Identifikasi jenis ektoparasit yang menyerang ruminansia maupun
hewan kesayangan.
3. Bahan
1.1 scraping kulit
1.2 KOH 10%
4. Alat
2.1 scalpel
2.2 mikroskop
2.3 objek glass
2.4 cover glass
2.5 blade
2.6 pot salep

5. Prosedur Kerja
Prosedur yang diigunakan yaitu memakai masker dan gloves sebagai
pelindung. Kemudian dioleskan kapas beralkohol 70% pada tubuh hewan
yang terserang penyakit. Diambil sampel dengan scalpel dan blade yang telah
diolesi glycerin. Selanjutnya dibuat kerokan kulit di daerah luka aktif hingga
sedikit keluar darah. Setelah dilakukan scraping di tampung hasil scraping
pada pot salep yang telah diberi KOH 10%. kemudian diambil 1 ml hasil
scraping pada pot salep dengan pipet Pasteur di letakan pada objek glass.
Ditutup dengan cover glass, selanjutnya dilakukan pemeriksaan di bawah
mikroskop dengan perbesaran 400x Diidentifikasi jenis ektoparasit yang
ditemukan (OIE, 2000).

24
6. Interpretasi Hasil
Identifikasi jenis ektoparasit yang dapat diamati dari morfologi yang
Nampak pada pemeriksaan mikroskopik.

5.3 Hasil dan Pembahasan


5.3.1 Klasifikasi Sarcoptes scabiei
Menurut Subronto (2008), penyebab dari scabies pada umumnya adalah
tungau (mite) dari spesies Sarcoptes scabiei. Tungau sarcoptes bersifat
parasitik, dan mampu menyerang berbagai spesies ternak. Nomenklatur
sarkoptes didasarkan pada berbagai spesies hospes yang diserangnya. Tungau
scabies pada ternak kambing diketahui juga dari spesies Sarcoptes scabiei dari
varietas caprae. Menurut Ketle (2004), klasifikasi selengkapnya dari tungau
tersebut adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Acarina
Sub-ordo : Sarcoptiformes
Famili : Sarcoptidae
Genus : Sarcoptes
Spesies : Sarcoptes scabiei
Varietas : caprae

5.3.2 Morfologi Sarcoptes scabiei


Sarcoptes scabiei merupakan tungau yang berukuran kecil,
mikroskopis, berbentuk lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya
rata. Tungau ini translusen dan berwama putih kotor. Ukuran tungau sangat
bervariasi, yang betina berukuran lebih besar dari yang jantan yaitu kurang
lebih 330-450 x 250-350 mikron, sedang yang jantan berukuran 200 - 240 x
150 - 200 mikron (Ho CM, 1991). Tubuh tungau terbagi 2 yaitu bagian

25
anterior yang disebut nototoraks dan bagian posterior yang disebut notogaster
(Gray, 1937). Pada tungau betina, 2 pasang kaki kedua berakhir dengan
rambut sedangkan pada tungau jantan, sepasang kaki ketiga berakhir dengan
rambut dan kaki ke-empat berakhir dengan ambulakral, yaitu semacam alat
untuk melekatkan diri. Alat genital tungau betina ini berbentuk celah yang
terletak pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk huruf Y
dan terletak di antara pasangan kaki ke empat. Pada stadium larva memiliki 3
pasang kaki sedangkan nimfa mempunyai 4 pasang kaki dan bergerak dengan
kecepatan 2,5 cm per menit pada permukaan kulit (Flynn, 1993).

Gambar 5.3 Tungau Sarcoptes scabiei (Sumber: Gray, 1937).

5.3.2 Siklus Hidup Sarcoptes scabiei


Siklus hidup tungau berlangsung pada tubuh inang, terdiri atas
beberapa tahapan yaitu telur, larva, deutonimfa dan bentuk dewasa jantan atau
betina (Williams et al, 2000). Tungau jantan bertemu dengan tungau betina
pada permukaan yang normal dari epidermis kulit (Muller and Kirk, 1976).
Menurut Grant (1986) dan Luevine (200), siklus hidup Sarcoptes dimulai dari
tungau betina dewasa, setelah dibuahi maka sarcoptes akan mulai membuat
lubang atau terowongan di bawah permukaan kulit untuk meletakkan telurnya,

26
sekaligus juga membuang kotorannya di terowongan tersebut. Panjang
terowongan bisa mencapai 3 cm dan terbatas dalam lapisan epidermis kulit. 4
- 5 hari kemudian mulai bertelur dan meletakkan 3 - 5 butir telur per hari
dalam terowongan tersebut sampai jumlahnya mencapai 40 - 50 telur.
Tungau betina ini dapat mengeluarkan telur sebanyak 90 butir
sepanjang siklus hidupnya. Setelah meletakkan telurnya, tungau betina akan
mati. Umur tungau betina hanya mencapai tidak lebih dari 3 - 4 minggu.
Sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi. Telur akan berada di
terowongan antara 3 - 10 hari setelah itu menetas menjadi larva berukuran 215
x 156 µm yang memiliki tiga pasang kaki (Smith, 2011). Larva dapat tinggal
dalam terowongan, atau bermigrasi ke luar pada daerah sekitarnya untuk
mencari makanan, kemudian kembali dan menggali kulit lebih dalam untuk
membuat tempat moulting (moulting pocket) menjadi tahap nimfa. Nimfa
memiliki empat pasang kaki namun organ kelaminnya belum berkembang.
Nimfa berukuran 220 x 195 µm (Flynn, 1973). Setelah 2 - 3 hari larva akan
menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan atau betina dengan 4 pasang
kaki. Selanjutnya nimfa akan tumbuh menjadi parasit dewasa dalam kurun
waktu 2 minggu. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk
dewasa memerlukan waktu antara 8 - 12 hari Siklus ini akan berulang kembali
sepanjang tungau tersebut masih hidup. Siklus hidup penuh dari tungau sejak
fase telur sampai dengan tungau dewasa penuh adalah 17 - 21 hari (Urguhart
et al, 1987). Tungau mampu bertahan hidup di luar tubuh inang 2-6 hari pada
suhu ruangan, dan bisa bertahan hidup hingga 22 hari pada lingkungan yang
sedikit lembab (Smith, 2000).

27
Gambar 5.4 Siklus Hidup Sarcoptes scabiei (sumber: Smith, 2009)

5.3.3 Patogenesa Sarcoptes scabiei


Penularan penyakit Scabies terutama terjadi secara kontak langsung
antar ternak sakit dan ternak sehat, baik antara hewan piaraan maupun antara
hewan piaraan dan hewan liar (Sweatman, 1971). Masa inkubasi dari penyakit
Scabies bervariasi antara 10-42 hari. Rasa gatal akan nampak lebih jelas pada
saat cuaca panas yaitu terjadi peningkatan aktifitas tungau (Sheahan, 1974).
Penderita mengalami iritasi, tampak tidak tenang, menggosok-gosokkan
tubuhnya, turunnya nafsu makan yang mengakibatkan merosotnya kondisi
tubuh, serta turunnya pertambahan berat badan, kelemahan umum dan dapat
berakhir dengan kematian. Disamping itu penderita dapat mengalami anemia
(Sheahan, 1974). Pada sapi, lesi pada penderita banyak dijumpai dikulit
daerah leher, punggung dan pangkal ekor (Smith, 2000), sedangkan pada
penderita kronis lesi dijumpai pada daerah abdomen dan ambing (Palmer and
Amelsfoort, 1983; Hiepe,1982). Tungau Sarcoptes mengisap cairan limfa
dengan jalan melakukan perobekan lapisan epidermis dan memakan sel-sel
jaringan epidermis muda. Hal ini menyebabkan timbulnya rasa gatal yang
terus menerus, sebagai akibatnya penderita akan menggosok-gosokkan

28
tubuhnya sehingga mengakibatkan luka, yang pada akhirnya memperburuk
kondisi tubuh penderita. Pada awalnya kulit mengalami erithema, kemudian
berlanjut berbentuk papula, vesikula dan akhirnya terjadi peradangan yang
diikuti oleh pembentukan eksudat. Eksudat mengendap pada permukaan kulit
sehingga terbentuk keropeng-keropeng/ kerak. Proses selanjutnya, akan terjadi
keratinisasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan ikat sehingga
menyebabkan bertambah tebalnya kulit serta terjadi pengkeriputan.
Selanjutnya akan diikuti oleh kerontokan bulu yang dapat terjadi pada seluruh
permukaan tubuh. Menurut Morsy et al. (1989) jalannya penyakit Scabies
dibagi 3 phase, yaitu phase pertama, terjadi 1-2 hari setelah infestasi. Saat ini
tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada permukaan kulit
terdapat banyak lubang-lubang kecil. Pada phase kedua, tungau telah berada
dibawah lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutupi oleh kerak/ keropeng
yang tebal. Kerontokan bulu terjadi pada phase ini dan phase ini terjadi
setelah 4-7 minggu infestasi. Phase ketiga tampak kerak-kerak mulai
mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali terlihat lubang-lubang
kecil. Phase terakhir ini terjadi 7-8 minggu setelah infestasi, tampak beberapa
tungau meninggalkan bekas –bekas lubang tersebut. Pada penderita tampak
sejumlah besar tungau dalam liang parakeratotik di stratum corneum . Mereka
membentuk lapisan kerak yang tebal dengan komposisi hiperkeratosis ortho
dan parakeratotik , cairan serum, debri neutrophilik dan sejumlah pecahan
telur tungau. Pada epidermis tampak gambaran hiperlasia yang hebat dengan
formasi yang menggunung atau hiperplasia pseudikarsinoma. Pada dermal lesi
tampak vasodilatasi, pembengkakan endhotel, edema, fibrosis, infiltrasi sel-
sel mononuklear diperivaskular, eksocytosis neutrofil tergantung pada
hebatnya infeksi sekunder. Pada reaksi alergi yang akut, pada lesi tampak
vasodilatasi yang hebat, edema kulit, infiltrasi limphositik dan eosinophil
diperivaskular, spongiosis dan hiperplasia pada epidermal . Pada reaksi alergi
yang kronis menggambarkan luka berat dengan fibrosis kulit, hiperplasia
epidermis dan dominan infiltrasi sel-sel monuklear di perivascular

29
5.3.4 Diagnosa Sarcoptes scabiei
Diagnosa Scabies Penyakit Scabies dapat didiagnosa dengan melihat
gejala-gejala klinis dan histopatologi. Untuk konfirmasi dapat dilakukan
pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan pemeriksaan mikroskopik dari bahan
kerokan dengan atau tanpa dibubuhi NaOH atau laktofenal. Luka-luka dikerok
dengan skalpel atau pisau sampai terlihat lapisan kulit yang agak basah. Hasil
kerokan di tampung pada cawan petri. Untuk pemeriksan segar sediaan
langsung diperiksa dibawah mikroskop. Tungau tampak bergerak-gerak. Pada
pemeriksaan mikroskopik dapat diidentifikasi jenis tungaunya (Anonimus,
1981).Sedangkan diagnosa secara histopatologi dapat dibuat biopsi kulit yang
berlesi dari hewan yang menunjukan kegatalan yang hebat (Jubb et al. 1985).
Beberapa jenis penyakit kulit dapat mengacaukan diagnosa klinik. Identifikasi
tungaulah dipakai sebagai pegangan, dibedakan dengan penyakit jamur yang
ditemukan yaitu spora hifanya. Kesulitan lain adalah dalam kasus Scabies
subklinis. Mungkin diperlukan teknik khusus untuk pendiagnosaan, seperti
teknik serologi (Pruett et al, 1986). , PCR dan lain-lain yang masih taraf
percobaan.

Gambar 5.5 Diagnosa Sarcoptes scabiei

30
5.4 Pengobatan Sarcoptes scabei
Pengobatan scabiosis dilakukan dengan menggunakan obat tradisional
dan non tradisional. Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu :
1. Ivermectin
Ivermectin yang merupakan obat anti parasit dan mempunyai efek
terhadap berbagai jenis parasit pada hewan. Mekanisme kerja Ivermectin
di dalam tubuh adalah mengganggu aktivitas aliran ion klorida pada
system saraf Antropoda. Preparat ini dapat terikat pada reseptor yang
meningkatkan permeabilitas membran parasit terhadap ion klorida,
sehingga akan mengakibatkan saluran klorida terbuka dan mencegah
pengeluaran neurotransmitter Gama Amino Ostinic Acid. Sebagai
akibatnya transmisi neuromuskuler akan terblokir dan polaritas neuron
akan terganggu, sehingga menyebabkan terjadinya kematian dari parasit.
Obat ini telah digunakan untuk mengobati penyakit scabies pada ternak
kambing (Wardana, 2006). Injeksi diformulasikan untuk memberikan
tingkat dosis yang dianjurkan 200 mcg ivermectin / kilogram berat badan
pada sapi jika diberikan subkutan pada tingkat 1 mL / 110 (50 kg). Dosis
Injeksi harus diberikan hanya dengan injeksi subkutan di bawah kulit
longgar di depan atau di belakang bahu pada tingkat dosis yang dianjurkan
dari 200 mcg per ivermectin kilogram berat badan. Setiap mL ivomec
mengandung 10 mg ivermectin, cukup untuk mengobati £ 110 (50 kg)
berat badan (maksimum 10 mL per tempat suntikan).
2. Blerang dan Minyak Kelapa
Pengobatan untuk ternak yang terserang scabies sangat sulit. Kesulitan
yang dihadapi bagi peternak di pedesaan karena sulitnya mendapatkan
obat dalam jumlah yang sedikit, kurangnya pengetahuan tentang obat-
obatan dan harga obat yang mahal tidak terjangkau oleh peternak
Pengobatan scabies dilakukan dengan menggunakan campuran oli bekas
dan belerang. Pengobatan dengan memakai campuran belerang dan oli
bekas (Atmiyati, 1997). Bahan yang diperlukan serbuk blerang sebanyak

31
25 gram 32 - 250 ml oli bekas dihangatkan. Kemudian masukan belerang
yang sudah dihaluskan ke dalam oli bekas yang sudah dihangatkan, aduk
hingga rata. Campuran ini sudah dapat dipakai untuk mengobati luka
akibat penyakit scabies. Cara penggunaannya ternak dimandikan terlebih
dahulu memakai sabun atau desinfektan. Kemudian luka dibersihkan
dengan air hangat, kerak pada kulit yang menebal dikerok dan bulu
dicukur. Oleskan campuran belerang dan oli bekas pada bagian yang luka
Pengobatan dapat dilakukan ke seluruh bagian tubuh, dioles tipis, dan
tidak berbahaya pada ternak. Pengobatan dapat diulangi setiap 3 hari
hingga tiga kali pengobatan, kemudian diulangi setiap 7 hari hingga tiga
kali pengobatan. Luka pada ternak akan terlihat Iebih balk, mengering dan
sembuh dalam waktu satu bulan. Jika belum sembuh benar maka
pengobatan dapat diulangi setelah 7 hari dari pengobatan sebelumnya .
Keuntungan memakai campuran belerang dan oli bekas yaitu campuran
belerang dan oli bekas tidak berbahaya bagi pengguna maupun ternaknya.
Bahan yang diperlukan mudah diperoleh di pasaran. Harga relatif lebih
murah dan terjangkau oleh petani yang memiliki ternak berkisar 3 - 5 ekor
(Atmiyati, 1997).

Gambar 5.6 Pengobatan sapi yang terserang Sarcoptes sacabiei

32
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil setelah melaksanakan kegiatan Praktek Kerja
Lapang di UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura adalah sebagai
berikut :
1. Mengidentifikasi penyakit parasit tungau (mange) di UPT Pembibitan Ternak
dan Kesehatan Hewan Madura.
2. Penanganan penyakit parasit tungau (mange) di UPT Pembibitan Ternak dan
Kesehatan Hewan Madura.
3. Mengetahui tingkat prevalensi penyakit parasit tungau di UPT Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura.
6.2 Saran
Beberapa saran yang dapat dijadikan masukan antara lain:
1. Pemberian obat ektoparasit secara rutin untuk mengurangi penyakit parasit
tungau (mange).
2. Pemeriksaan kesehatan hewan hendaknya dilakukan secara rutin agar
penanganan penyakit bisa secara tepat dilakukan.

33
DAFTAR PUSTAKA
Abu, MT, Hago BED, 1981. Sarcoptic Mange in Sheep in the Sudan. Annals of
Tropical Medicine and Parasitology.

Airlian LG and Vyszenki-Moher DL, 1988. Life Cycle of Sarcoptes scabiei var
canis. Journal of Parasitology.
Aryogi dan E. Romjali. 2006. Potensi, Pemanfaatan Dan kendala Pengembangan
Sapi Potong. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta.
Atmiyati, 1997. Teknik Penanggulaan Campuran Blerang Dan Oli Bekas Untuk
Pengobatan Scabies. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, P .O. Box 221, Bogor.
Bahagian Acarology Institute for Medical Research, Malaysia. Pp: 4. Lokal Sebagai
Kekayaan Plasma Nutfah Indonesia : Lokakarya Nasional pengelolaan dan
Perlindungan Sumber Daya Genetik Di Indonesia : manfaat Ekonomi Untuk
Mewujudkan Ketahanan Nasional. Loka Penelitian Sapi Potong Grati.
Pasuruan.
Budiantoro. 2004. Kerugian ekonomi akibat skabies dan kesulitan dalam
pemberantasannya . Makalah pada Seminar Parasitology dan Toksikologi
Veteriner pada tanggal 20-21 April 2004. Balitvet DFID.
Dharma WMN, Putra AAG 1997 : Penyidikan Penyakit Hewan. Buku Pegangan.
BPPH Wilayah VI Denpasar Bali.
Flynn, R.E, 1973. Parasites Of Laboratory Animal. The Lowa State University.
Lowa.
Grant, D.I, 1986. Skin Disease In The Dog an Cat. Blackwell Scientific Publication.
London.
Gray, D.F. 1937. Sarcoptec mange effecting wild fauna in New South Wales.
Australia. Veterinary Journal
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Ed.1. Jakarta: Hipokrates.

Ho CM., 1991. Scabies. Lecture Note: Diploma in Applied Parasitology and


Entomology.
Iskandar, T. 2000. Masalah skabies pada hewan dan manusia serta
penanggulangannya. Wartazoa.
Kettle, D. S. 2004. Medical and Veterinary Entomology. Croom Helm.
LondonSidney.

34
Lembaga Penelitian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. 2011.
Pembuatan Portofolio Investasi Pembibitan dan Penggemukan Sapi Potong.
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.
Leuvine, N. D. 2000. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Manurung, J. dan A. Kusumaningsih. 1996. Pengaruh kudis pada kambing terhadap
minat peternak untuk beternak kambing di Desa Cigombong dan Desa Srogol
Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Prosiding Temu Ilmiah
Nasional Bidang Veteriner , Bogor ,12-13 Maret 1996. Balai Penelitian
Veteriner. Bogor.
Muller, G.H & R.W. Kirk, 1976. Small Animal Dermatology. W.B. Sbunder
Company. Philadelphia.
Nurgiartiningsih, V. M. A. 2010. Sistem breeding dan performans hasil persilangan
sapi Madura di Madura. Jurnal Ternak Tropik.
OIE, 2000. Manual Of Standars For Diagnostic Test and Vaccines, Office
Internasional Des Epizooties.
Poeranto, S., T. W. Sardjono, L. Hakim, P. 1997 . Pengobatan dengan gamexan pada
penderita scabiosis di pondok pesantren Al Munawwariyyah Sudimoro.
Kedokteran Unibraw. Malang.
Purnomiadi, A. 2003. Diktat Kuliah Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Universita
Diponegoro. Semarang.
Putra, A. A. G. 1994. Kajian epidemiologi dan kerugian ekonomi scabies. Laporan
Rapat Koordinasi Kesehatan Hewan Wilayah Nusa Tenggara tanggal 16-
18Nopember 1994. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar.
Rahayu, ika. 2014. Prospek Usaha Ternak Kambing. Nusantara. Bogor, Jabar.

Reilly S., Cullen D., and Davies MG. 1985. An outbreak of Scabies in a Hospital and
Community. British Medical Journal.
Sanusi ID., Brown EB., Shepard TG., and Grafton WD., 1989. Tungiasis: report of
one case review of the 114 reported cases in the United States. Journal of the
American Academy of Dermatology.
Selvin S. 2004. Statistical Analysis of Epidemiology Data. London (UK): Oxfo
University Pres.Wilayah Sibermas Kecamatan Fatuleu Kabupaten Kupang.
Sheahan, B.J. 1974. Experimental Sarcoptes scabie infection in pigs I. Naturally
occurring and experimentally induced lesions. Journal of Comparative
Pathology

35
Siregar.2007. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI.
Smith, K.E .,R. Wall and N.P. French. 2000. The control of sheep scabmite Psoroptes
ovis with entomopathogenic fungi . Vet . Parasitol.
Subronto . 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (mamalia). Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sweatmen, G.K. 1971. Mites and pentastomes. In “ Parasitic Diseases of Wild
Animals“. (John W. Davis and Roy C. Anderson, eds.), Iowa State University
Press, Ames, Iowa, USA
Urquhart, R.M, dkk. 1987. Veterinary Parasitology. Churchill Livingstone Inc. New
York.
Wardana. 2006. skabies Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang.
Wartazoa.
Williams, R. E. Hall, A. B. Broce, P. J. Scholl. 2000. Livestock Entomology. Jhon
Wiley & Son. New York.

36

Anda mungkin juga menyukai