PENDAHULUAN
1
penyakit parasit tungau. khusus pada ternak muda angka kematian penderita
mencapai 50%, tergantung dari pada kondisi ternak dan lingkungannya (Putra, 1994).
Berdasarkan laporan tahunan dinas provinsi kerugian akibat ektoparasit
tungau cukup tinggi pada ternak ruminansia khususnya di daerah Madura. Selain
merugikan ternak secara ekonomi juga karena dapat bersifat zoonosis khususnya pada
penyakit parasit tungau. Pengendalian dapat dilakukan dengan sanitasi kandang yang
baik dan menggunakan obat ektoparasit secara rutin ataupun menggunakan tanaman
tradisional sebagai kendala harga pengobatan yang cukup tinggi (Budiantoro, 2004).
UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura dipilih sebagai tempat
pelaksanaan Praktek Kerja Lapang karena Dinas Peternakan ini merupakan salah satu
pusat pengembangan sapi Madura yang memiliki populasi sapi potong tertinggi dan
berada di bawah naungan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur yang bertempat di
kota Pamekasan-Madura. Berdasarkan hal tersebut dilakukan Praktek Kerja Lapang
di UPT. Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura untuk mengetahui dan
mempelajari penerapan Identifikasi dan Penanganan penyakit parasit tungau (Mange)
Pada Sapi Madura di peternakan tersebut sesuai dengan standar yang ada di
Indonesia.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan praktek kerja lapang ini adalah untuk mengetahui
penanganan penyakit parasit tungau (Mange) di UPT Pembibitan Ternak dan
Kesehatan Hewan Madura melalui identifikasi scraping kulit.
2
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari Praktek Kerja Lapang ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan kepada mahasiswa
mengenai penanganan penyakit parasit tungau (Mange) di UPT Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura melalui identifikasi scraping kulit di
lapang.
2. Sebagai bahan referensi untuk pembelajaran yang lebih baik kepada pihak
Fakultas kedokteran hewan Universitas Brawijaya
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Menurut Purnomiadi (2003), menyatakan bahwa bangsa sapi lokal yang
berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah sapi Ongole (Sumba Ongole dan
Peranakan Ongole), sapi Bali, dan sapi Madura. Selain itu terdapat sapi hasil
persilangan lainnya seperti Limosin Ongole (Limpo), dan Simenthal ongole (Simpo)
bangsa sapi tersebut sudah beradaptasi dengan baik terhadap wilayah Indonesia. Tipe
ternak sapi pedaging memiliki ciri-ciri bebagai berikut :
1. Bentuk tubuh harus padat, dada dalamdan lebar, bila dilihat dari samping
bentuk tubuh seperti persegi paanjang.
2. Badan seluruhnya penuh berisi daging, dan kualitas daging maksimum
3. Kapala pendek dan lebar pada bagian dahi.
4. Leher dan bahu tebal, punggung dan pinggang lebar.
5. Laju pertumbuhan cepat.
6. Efisiensi pakan tinggi.
5
2.3 Morfologi Tungau
Tungau merupakan binatang yang berukuran sangat kecil, yakni 250-300
mikron berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau
memiliki ciri umum memiliki tubuh tersegmentasi dengan segmen disusun dalam dua
tagmata: sebuah prosoma (cephalothorax) dan opisthosoma (perut). Namun, hanya
jejak-jejak samar segmentasi utama tetap di tungau, sedangkan prosoma dan
opisthosoma menyatu (Kelly, 1997). Tungau dewasa memiliki empat pasang kaki,
seperti arachnida lain, tetapi beberapa memiliki kaki lebih sedikit. Beberapa tungau
parasit hanya memiliki satu atau tiga pasang kaki dalam tahap dewasa. Tungau dewasa
dengan hanya tiga pasang kaki dapat disebut 'larviform'. Tungau bernapas melalui
tracheae, stigmata (lubang kecil pada kulit), usus dan kulit. Kebanyakan tungau tidak
memiliki mata. Mata pusat arachnida selalu hilang, atau mereka menyatu menjadi satu
mata.Panjang tungau dewasa hanya 0,3-0,4 milimeter (Reilly, 1985). Tungau memiliki
tubuh semitransparan memanjang yang terdiri dari dua segmen menyatu. Tungau
memiliki delapan kaki pendek, kaki yang tersegmentasi melekat pada segmen tubuh
pertama. Tubuh ditutupi dengan sisik untuk penahan dirinya dalam folikel rambut, dan
tungau memiliki pin (seperti mulut) yaitu bagian untuk makan sel-sel kulit dan minyak
(sebum) yang menumpuk di folikel rambut. Tungau dapat meninggalkan folikel
rambut dan perlahan-lahan berjalan-jalan pada kulit, dengan kecepatan 8-16 mm per
jam. (Sanusi, 1989).
6
lapisan epidermis kulit. 4 - 5 hari kemudian mulai bertelur dan meletakkan 3 - 5 butir
telur per hari dalam terowongan tersebut sampai jumlahnya mencapai 40 - 50 telur.
Tungau betina ini dapat mengeluarkan telur sebanyak 90 butir sepanjang siklus
hidupnya. Setelah meletakkan telurtelurnya, tungau betina akan mati. Umur tungau
betina hanya mencapai tidak lebih dari 3 - 4 minggu. Sedangkan tungau jantan mati
setelah kopulasi (Airlian, 1988).
Telur akan berada di terowongan antara 3 - 10 hari setelah itu menetas
menjadi larva berukuran 215 x 156 µm yang memiliki tiga pasang kaki (Smith, 2000).
Larva dapat tinggal dalam terowongan, atau bermigrasi ke luar pada daerah sekitarnya
untuk mencari makanan, kemudian kembali dan menggali kulit lebih dalam untuk
membuat tempat moulting (moulting pocket) menjadi tahap nimfa (Kelly, 1977).
Nimfa memiliki empat pasang kaki namun organ kelaminnya belum berkembang.
Nimfa berukuran 220 x 195 µm (Flynn, 1993). Setelah 2 - 3 hari larva akan menjadi
nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan atau betina dengan 4 pasang kaki.
Selanjutnya nimfa akan tumbuh menjadi parasit dewasa dalam kurun waktu 2 minggu.
Siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 -
12 hari (Airlian, 1988). Siklus hidup dari tungau sejak fase telur sampai dengan tungau
dewasa penuh adalah 17 - 21 hari (Urguhart et al, 1987). Tungau mampu bertahan
hidup di luar tubuh inang 2-6 hari dan bisa bertahan hidup hingga 22 hari pada
lingkungan yang sedikit lembab (Smith, 2000).
7
2.5 Gejala Klinis Tungau
Masa inkubasi bervariasi antara 10-42 hari. Pada awal infestasi, kulit
mengalami erithemia, kemudian akan berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula
dan akhirnya terjadi peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat karena
adanya iritasi (Airlian, 1988). Ciri khas dari penyakit parasit tungau adalah gatal-gatal
hebat, yang biasanya semakin memburuk pada malam hari. Lubang berbentuk
terowongan tungau tampak sebagai garis bergelombang dengan panjang sampai 2,5
cm, kadang pada ujungnya terdapat gumpalan kecil (Luevine, 2000). Lubang tersebut
paling sering ditemukan dan dirasakan gatalnya di sela-sela kuku kaki, pergelangan
tangan, siku, ketiak, di sekitar ambing, dan bagian bawah anus. Kulit bagian terluar
terlihat menebal, berkerut, dan terdapat keropeng diatasnya. Infeksi diikuti dengan
pembentukan papula atau vesikula, disertai dengan perembesan cairan limfe. Ternak
lain yang dipelihara dalam kandang yang sama cenderung tertular dan
memperlihatkan gejala ketidak tenangan, hewan tampak gelisah karena rasa gatal,
menggaruk dan menggesekan tubuhnya sehingga terjadinya luka dan perdarahan.
Eksudat mengendap pada permukaan kulit dan terbentuknya keropeng atau kerak
(Subronto, 2008).
Perjalanan penyakit terbagi dalam 3 (tiga) fase. Fase pertama, terjadi 1-2 hari
setelah infestasi. Saat ini tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada
permukaan kulit terdapat banyak lubang kecil. Pada fase kedua, tungau telah berada
di bawah lapisan keratin, permukaan kulit lebih ditutup oleh kerak/keropeng yang
tebal dan kerontokan bulu. Fase kedua ini terjadi 4-7 minggu setelah infestasi.
Adapun pada fase ketiga yang terjadi 7-8 minggu setelah infestasi, kerak mulai
mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali terlihat lubang kecil, dan pada
saat itu tungau meninggalkan bekas tersebut (Ketlle, 2004).
8
menggosokkan badannya ke kandang (Selvyn, 2004). Eksudat yang dihasilkan oleh
penyakit parasit tungau akan merembes keluar kulit kemudian mengering membentuk
sisik atau keropeng di permukaan kulit. Sisik ini akan menebal dan selanjutnya terjadi
keratinasi serta proliferasi jaringan ikat. Daerah sekitar yang terinfeksi parasit akan
menjadi berkerut dan tidak rata. Rambut kulit pada daerah ini akan menjadi jarang
bahkan hilang sama sekali. Sapi muda lebih rentan terhadap penyait parasit tungau.
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan ternak lainnya dan juga tertular
melalui peralatan pakan dan peralatan lain yang telah tercemar parasit tungau.
Penyakit meningkat terutama pada musim penghujan (Subronto, 2008).
Gambar 2.3 Terowongan yang dibuat oleh tungau dibawah permukaan kulit
(Sumber: Subroto, 2008)
9
tungau terbagi 2 yaitu bagian anterior yang disebut nototoraks dan bagian posterior
yang disebut notogaster (Gray, 1937). Pada tungau betina, 2 pasang kaki kedua
berakhir dengan rambut sedangkan pada tungau jantan, sepasang kaki ketiga berakhir
dengan rambut dan kaki ke-empat berakhir dengan ambulakral, yaitu semacam alat
untuk melekatkan diri. Alat genital tungau betina ini berbentuk celah yang terletak
pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk huruf Y dan terletak di
antara pasangan kaki ke empat. Pada stadium larva memiliki 3 pasang kaki sedangkan
nimfa mempunyai 4 pasang kaki dan bergerak dengan kecepatan 2,5 cm per menit
pada permukaan kulit (Flynn, 1993).
Gambar 2.4 Tungau Sarcoptes scabiei (kiri) dan perbedaan tungau betina dan tungau
jantan (kanan) (Sumber: Gray, 1937).
10
Gambar 2.5 Gambar tungau Demodex sp
(Sumber: Dharma, 1997)
11
2.7.4 Morfologi Psoroptes sp
Tungau Psoroptidae berbentuk bulat lonjong (oval) dan tidak terdapat duri-
duri pada bagian dorsalnya. Pada dorsum propodosoma juga tidak dijumpai setae
yang vertikal. Kaki-kaki tungau ini panjang dan keluar melampaui batas tubuh. Pada
tarsi kaki-kaki tertentu terdapat karunkula (alat penghisap berbentuk genta) yang
ditunjang oleh sebuah tungkai (pedicle) (Rahayu, 2014). Tangkai alat penghisap
tersebut panjang dan beruas tiga. Anus letaknya diujung, sedangkan pada jantan
mempunyai aat penghisap adanal (copulatory disc). Pada batas bagian posterior perut
tungau jantan terdapat dua gelambir (lobus) yang menonjol (Dharma, 1997).
12
berisi KOH 10% yang telah disiapkan dan diberi label. Untuk peneguhan penyakit
parasit tungau pada sapi, maka sampel kerokan kulit diperiksa dibawah mikroskop
dengan pembesaran 10x (Aryogi, 2006).
13
Untuk itu diperlukan obat yang pemberian sistemik, yaitu dengan rute
parenteral ataupun peroral. Pemberian obat parenteral atau secara oral seperti
ivermectin untuk terapi tungau sudah dikenal secara luas. Secara efektif
ivermectin sudah dibuktikan mengobati tungau pada sapi (Iskandar, 2000).
Dosis obat ivermectin secara subkutan adalah 200 µgr per kg berat badan dan
secara oral 100-200 µgr per kg berat badan per hari selama 7 hari. Ivermectin
atau 22,23,-dihydro-avermectin B1 telah dibuktikan sangat efektif dengan
kosentrasi rendah terhadap parasit eksternal, maupun internal dengan
pemberian peroral atau perenteral (Budiantoro,2004)
3. Krotamiton
Krotamiton konsentrasi 10% dalam bentuk krim atau losio, juga merupakan
skabisida yang cukup efektif, Cara pemakaian adalah dengan mengoleskan
bahan tersebut di seluruh badan mulai dari leher, dan dilakukan pengulangan
setelah 24 jam. Dilaporkan bahwa aplikasi selama 5 hari berturut-turut
memberikan hasil yang memuaskan. Efek sampingnya adalah iritasi kulit dan
pada pemakaian lama dapat menyebabkan sensitisasi (Abu, 1981).
4. Sulfur
Sulfur konsentrasi 5%-10% dalam vaselin dapat dipakai sebagai skabisida.
Obat ini hanya membunuh larva dan tungau tetapi tidak membunuh telur,
sehingga pemakaian harus dilakukan selama 3 hari berturut-turut. Bentuk aktif
sulfur adalah H2S dan asam pentationik yang mempunyai sifat keratinolitik
(Abu, 1981).
5. Benzil benzoate
Obat ini dipakai dalam bentuk emulsi atau losio dengan konsentrasi 20-35%.
Obat ini cukup efektif namun sering menyebabkan iritasi dan menambah rasa
gatal (Abu, 1981).
14
BAB III
METODE KEGIATAN
15
Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Praktek Kerja Lapangan Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya
Hari / Tanggal Jenis Kegiatan Pelaksanaan
Senin, 16 Januari 2017 Penerimaan Petugas Pelaksana
Mahasiswa Mahasiswa PKL
briefing
Pengenalan Kondisi
Lapangan
Selasa, 17 Januari 2017 Pelaksanaan PKL Petugas Pelaksana
sampai 16 Februari 2017 Mahasiswa PKL
Jum’at, 17 Februari 2015 Pelepasan Mahasiswa Mahasiswa PKL
PKL dan pulang
16
BAB IV
PELAKSANAAN KEGIATAN
17
& Pengambilan sampel scraping Heriyanto
kulit di UPT Pembibitan Ternak
18/01/2017
dan Kesehatan Hewan Madura
3. 19/01/2017 drh. Yudi
Pemeriksaan sampel scraping Heriyanto
&
kulit
20/01/2017
27/01/2017
18
31/02/2017
10/02/2017
19
12/02/2017
&
16/02/2017
20
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Keadaan Umum UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
5.1.1 Sejarah UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Timur merupakan bagian dari Balai
Laboratorium Uji Medik Veteriner sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa
Timur No. 59 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur
Jawa Timur No. 130 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Timur yaitu terbentuknya Tata Kerja
Pelaksanaan Teknis baru dalam organisasi Dinas Peternakan Provinsi Jawa
Timur sesuai pasal 2 pada huruf J, yaitu Unit Pelaksana Teknis Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura serta Keputusan Kepala Dinas
Peternakan.
Perubahan Surat Keputusan Kepala Dinas Peternakan Nomor
188.U/572/115.02/2009 Tentang Pembagian Wilayah Kerja Unit Pelaksana
Teknis Laboratorium Kesehatan Hewan. Unit Pelaksana Teknis Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa
Timur dilengkapi dengan peralatan untuk analisa kesehatan hewan
(keswan) dan kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) serta pelayanan
perbibitan ternak Sampai saat ini sudah melaksanakan kegiatan antara lain
menganalisa sampel yang berasal dari dinas, balai besar veteriner,instansi
terkait untuk kepentingan pengawasan periodik kesehatan hewan dan
perbibitan ternak selain itu juga menerima sampel dari masyarakat dan
produsen Bahan Asal Hewan (BAH) dan Hasil Bahan Asal Hewan
(HBAH).
21
5.1.2 Tugas Pokok dan Fungsi UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan
Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Timur memiliki tugas pokok dan fungsi, yakni :
1. Mewujudkan Pulau Madura sebagai Pulau Sapi.
2. Pembibitan, Budidaya dan Pemuliabiakan Ternak.
3. Pemeliharaan ternak dan pembibitan hijauan makanan ternak serta
pengadaan hijauan makanan ternak.
4. Pengujian performans dan pencatatan ternak.
5. Pengembangan dan pendistribusian bibit ternak.
6. Penyusunan perencanaan dan pembinaan penyidikan penyakit hewan.
7. Pelaksanaan evaluasi dan cara penanggulangan penyakit hewan.
8. Penyusunan dan pembinaan serta pengawasan produk asal hewan.
9. Pengawasan dan pencegahan zoonosis, pembinaan sanitasi dan
hygiene.
10. Pelaksanaan pelayanan pengujian mutu produk asal hewan dan produk
non pangan asal hewan.
11. Pelaksanaan urusan ketatausahaan.
12. Pelaksanaan pelayanan masyarakat/ Teknis Peternakan dan Keesehatan
Hewan.
13. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas.
22
dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
seperti di bawah ini:
Gud. Ruang
Lab. Lab. Lab.
obat Serologi Nekropsi
Parasitologi Histopatologi
dan
bahan
kimia
23
5.2.1 Metode Scraping Kulit
1. Prinsip Pemeriksaan Ektoparasit
Ektoparasit merupakan parasit yang hidup pada kulit atau permukaan
tubuh induk semang (host) selama hidup atau sebagai dari hidupnya.
2. Tujuan
Identifikasi jenis ektoparasit yang menyerang ruminansia maupun
hewan kesayangan.
3. Bahan
1.1 scraping kulit
1.2 KOH 10%
4. Alat
2.1 scalpel
2.2 mikroskop
2.3 objek glass
2.4 cover glass
2.5 blade
2.6 pot salep
5. Prosedur Kerja
Prosedur yang diigunakan yaitu memakai masker dan gloves sebagai
pelindung. Kemudian dioleskan kapas beralkohol 70% pada tubuh hewan
yang terserang penyakit. Diambil sampel dengan scalpel dan blade yang telah
diolesi glycerin. Selanjutnya dibuat kerokan kulit di daerah luka aktif hingga
sedikit keluar darah. Setelah dilakukan scraping di tampung hasil scraping
pada pot salep yang telah diberi KOH 10%. kemudian diambil 1 ml hasil
scraping pada pot salep dengan pipet Pasteur di letakan pada objek glass.
Ditutup dengan cover glass, selanjutnya dilakukan pemeriksaan di bawah
mikroskop dengan perbesaran 400x Diidentifikasi jenis ektoparasit yang
ditemukan (OIE, 2000).
24
6. Interpretasi Hasil
Identifikasi jenis ektoparasit yang dapat diamati dari morfologi yang
Nampak pada pemeriksaan mikroskopik.
25
anterior yang disebut nototoraks dan bagian posterior yang disebut notogaster
(Gray, 1937). Pada tungau betina, 2 pasang kaki kedua berakhir dengan
rambut sedangkan pada tungau jantan, sepasang kaki ketiga berakhir dengan
rambut dan kaki ke-empat berakhir dengan ambulakral, yaitu semacam alat
untuk melekatkan diri. Alat genital tungau betina ini berbentuk celah yang
terletak pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk huruf Y
dan terletak di antara pasangan kaki ke empat. Pada stadium larva memiliki 3
pasang kaki sedangkan nimfa mempunyai 4 pasang kaki dan bergerak dengan
kecepatan 2,5 cm per menit pada permukaan kulit (Flynn, 1993).
26
sekaligus juga membuang kotorannya di terowongan tersebut. Panjang
terowongan bisa mencapai 3 cm dan terbatas dalam lapisan epidermis kulit. 4
- 5 hari kemudian mulai bertelur dan meletakkan 3 - 5 butir telur per hari
dalam terowongan tersebut sampai jumlahnya mencapai 40 - 50 telur.
Tungau betina ini dapat mengeluarkan telur sebanyak 90 butir
sepanjang siklus hidupnya. Setelah meletakkan telurnya, tungau betina akan
mati. Umur tungau betina hanya mencapai tidak lebih dari 3 - 4 minggu.
Sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi. Telur akan berada di
terowongan antara 3 - 10 hari setelah itu menetas menjadi larva berukuran 215
x 156 µm yang memiliki tiga pasang kaki (Smith, 2011). Larva dapat tinggal
dalam terowongan, atau bermigrasi ke luar pada daerah sekitarnya untuk
mencari makanan, kemudian kembali dan menggali kulit lebih dalam untuk
membuat tempat moulting (moulting pocket) menjadi tahap nimfa. Nimfa
memiliki empat pasang kaki namun organ kelaminnya belum berkembang.
Nimfa berukuran 220 x 195 µm (Flynn, 1973). Setelah 2 - 3 hari larva akan
menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan atau betina dengan 4 pasang
kaki. Selanjutnya nimfa akan tumbuh menjadi parasit dewasa dalam kurun
waktu 2 minggu. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk
dewasa memerlukan waktu antara 8 - 12 hari Siklus ini akan berulang kembali
sepanjang tungau tersebut masih hidup. Siklus hidup penuh dari tungau sejak
fase telur sampai dengan tungau dewasa penuh adalah 17 - 21 hari (Urguhart
et al, 1987). Tungau mampu bertahan hidup di luar tubuh inang 2-6 hari pada
suhu ruangan, dan bisa bertahan hidup hingga 22 hari pada lingkungan yang
sedikit lembab (Smith, 2000).
27
Gambar 5.4 Siklus Hidup Sarcoptes scabiei (sumber: Smith, 2009)
28
tubuhnya sehingga mengakibatkan luka, yang pada akhirnya memperburuk
kondisi tubuh penderita. Pada awalnya kulit mengalami erithema, kemudian
berlanjut berbentuk papula, vesikula dan akhirnya terjadi peradangan yang
diikuti oleh pembentukan eksudat. Eksudat mengendap pada permukaan kulit
sehingga terbentuk keropeng-keropeng/ kerak. Proses selanjutnya, akan terjadi
keratinisasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan ikat sehingga
menyebabkan bertambah tebalnya kulit serta terjadi pengkeriputan.
Selanjutnya akan diikuti oleh kerontokan bulu yang dapat terjadi pada seluruh
permukaan tubuh. Menurut Morsy et al. (1989) jalannya penyakit Scabies
dibagi 3 phase, yaitu phase pertama, terjadi 1-2 hari setelah infestasi. Saat ini
tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada permukaan kulit
terdapat banyak lubang-lubang kecil. Pada phase kedua, tungau telah berada
dibawah lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutupi oleh kerak/ keropeng
yang tebal. Kerontokan bulu terjadi pada phase ini dan phase ini terjadi
setelah 4-7 minggu infestasi. Phase ketiga tampak kerak-kerak mulai
mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali terlihat lubang-lubang
kecil. Phase terakhir ini terjadi 7-8 minggu setelah infestasi, tampak beberapa
tungau meninggalkan bekas –bekas lubang tersebut. Pada penderita tampak
sejumlah besar tungau dalam liang parakeratotik di stratum corneum . Mereka
membentuk lapisan kerak yang tebal dengan komposisi hiperkeratosis ortho
dan parakeratotik , cairan serum, debri neutrophilik dan sejumlah pecahan
telur tungau. Pada epidermis tampak gambaran hiperlasia yang hebat dengan
formasi yang menggunung atau hiperplasia pseudikarsinoma. Pada dermal lesi
tampak vasodilatasi, pembengkakan endhotel, edema, fibrosis, infiltrasi sel-
sel mononuklear diperivaskular, eksocytosis neutrofil tergantung pada
hebatnya infeksi sekunder. Pada reaksi alergi yang akut, pada lesi tampak
vasodilatasi yang hebat, edema kulit, infiltrasi limphositik dan eosinophil
diperivaskular, spongiosis dan hiperplasia pada epidermal . Pada reaksi alergi
yang kronis menggambarkan luka berat dengan fibrosis kulit, hiperplasia
epidermis dan dominan infiltrasi sel-sel monuklear di perivascular
29
5.3.4 Diagnosa Sarcoptes scabiei
Diagnosa Scabies Penyakit Scabies dapat didiagnosa dengan melihat
gejala-gejala klinis dan histopatologi. Untuk konfirmasi dapat dilakukan
pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan pemeriksaan mikroskopik dari bahan
kerokan dengan atau tanpa dibubuhi NaOH atau laktofenal. Luka-luka dikerok
dengan skalpel atau pisau sampai terlihat lapisan kulit yang agak basah. Hasil
kerokan di tampung pada cawan petri. Untuk pemeriksan segar sediaan
langsung diperiksa dibawah mikroskop. Tungau tampak bergerak-gerak. Pada
pemeriksaan mikroskopik dapat diidentifikasi jenis tungaunya (Anonimus,
1981).Sedangkan diagnosa secara histopatologi dapat dibuat biopsi kulit yang
berlesi dari hewan yang menunjukan kegatalan yang hebat (Jubb et al. 1985).
Beberapa jenis penyakit kulit dapat mengacaukan diagnosa klinik. Identifikasi
tungaulah dipakai sebagai pegangan, dibedakan dengan penyakit jamur yang
ditemukan yaitu spora hifanya. Kesulitan lain adalah dalam kasus Scabies
subklinis. Mungkin diperlukan teknik khusus untuk pendiagnosaan, seperti
teknik serologi (Pruett et al, 1986). , PCR dan lain-lain yang masih taraf
percobaan.
30
5.4 Pengobatan Sarcoptes scabei
Pengobatan scabiosis dilakukan dengan menggunakan obat tradisional
dan non tradisional. Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu :
1. Ivermectin
Ivermectin yang merupakan obat anti parasit dan mempunyai efek
terhadap berbagai jenis parasit pada hewan. Mekanisme kerja Ivermectin
di dalam tubuh adalah mengganggu aktivitas aliran ion klorida pada
system saraf Antropoda. Preparat ini dapat terikat pada reseptor yang
meningkatkan permeabilitas membran parasit terhadap ion klorida,
sehingga akan mengakibatkan saluran klorida terbuka dan mencegah
pengeluaran neurotransmitter Gama Amino Ostinic Acid. Sebagai
akibatnya transmisi neuromuskuler akan terblokir dan polaritas neuron
akan terganggu, sehingga menyebabkan terjadinya kematian dari parasit.
Obat ini telah digunakan untuk mengobati penyakit scabies pada ternak
kambing (Wardana, 2006). Injeksi diformulasikan untuk memberikan
tingkat dosis yang dianjurkan 200 mcg ivermectin / kilogram berat badan
pada sapi jika diberikan subkutan pada tingkat 1 mL / 110 (50 kg). Dosis
Injeksi harus diberikan hanya dengan injeksi subkutan di bawah kulit
longgar di depan atau di belakang bahu pada tingkat dosis yang dianjurkan
dari 200 mcg per ivermectin kilogram berat badan. Setiap mL ivomec
mengandung 10 mg ivermectin, cukup untuk mengobati £ 110 (50 kg)
berat badan (maksimum 10 mL per tempat suntikan).
2. Blerang dan Minyak Kelapa
Pengobatan untuk ternak yang terserang scabies sangat sulit. Kesulitan
yang dihadapi bagi peternak di pedesaan karena sulitnya mendapatkan
obat dalam jumlah yang sedikit, kurangnya pengetahuan tentang obat-
obatan dan harga obat yang mahal tidak terjangkau oleh peternak
Pengobatan scabies dilakukan dengan menggunakan campuran oli bekas
dan belerang. Pengobatan dengan memakai campuran belerang dan oli
bekas (Atmiyati, 1997). Bahan yang diperlukan serbuk blerang sebanyak
31
25 gram 32 - 250 ml oli bekas dihangatkan. Kemudian masukan belerang
yang sudah dihaluskan ke dalam oli bekas yang sudah dihangatkan, aduk
hingga rata. Campuran ini sudah dapat dipakai untuk mengobati luka
akibat penyakit scabies. Cara penggunaannya ternak dimandikan terlebih
dahulu memakai sabun atau desinfektan. Kemudian luka dibersihkan
dengan air hangat, kerak pada kulit yang menebal dikerok dan bulu
dicukur. Oleskan campuran belerang dan oli bekas pada bagian yang luka
Pengobatan dapat dilakukan ke seluruh bagian tubuh, dioles tipis, dan
tidak berbahaya pada ternak. Pengobatan dapat diulangi setiap 3 hari
hingga tiga kali pengobatan, kemudian diulangi setiap 7 hari hingga tiga
kali pengobatan. Luka pada ternak akan terlihat Iebih balk, mengering dan
sembuh dalam waktu satu bulan. Jika belum sembuh benar maka
pengobatan dapat diulangi setelah 7 hari dari pengobatan sebelumnya .
Keuntungan memakai campuran belerang dan oli bekas yaitu campuran
belerang dan oli bekas tidak berbahaya bagi pengguna maupun ternaknya.
Bahan yang diperlukan mudah diperoleh di pasaran. Harga relatif lebih
murah dan terjangkau oleh petani yang memiliki ternak berkisar 3 - 5 ekor
(Atmiyati, 1997).
32
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil setelah melaksanakan kegiatan Praktek Kerja
Lapang di UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura adalah sebagai
berikut :
1. Mengidentifikasi penyakit parasit tungau (mange) di UPT Pembibitan Ternak
dan Kesehatan Hewan Madura.
2. Penanganan penyakit parasit tungau (mange) di UPT Pembibitan Ternak dan
Kesehatan Hewan Madura.
3. Mengetahui tingkat prevalensi penyakit parasit tungau di UPT Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura.
6.2 Saran
Beberapa saran yang dapat dijadikan masukan antara lain:
1. Pemberian obat ektoparasit secara rutin untuk mengurangi penyakit parasit
tungau (mange).
2. Pemeriksaan kesehatan hewan hendaknya dilakukan secara rutin agar
penanganan penyakit bisa secara tepat dilakukan.
33
DAFTAR PUSTAKA
Abu, MT, Hago BED, 1981. Sarcoptic Mange in Sheep in the Sudan. Annals of
Tropical Medicine and Parasitology.
Airlian LG and Vyszenki-Moher DL, 1988. Life Cycle of Sarcoptes scabiei var
canis. Journal of Parasitology.
Aryogi dan E. Romjali. 2006. Potensi, Pemanfaatan Dan kendala Pengembangan
Sapi Potong. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta.
Atmiyati, 1997. Teknik Penanggulaan Campuran Blerang Dan Oli Bekas Untuk
Pengobatan Scabies. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, P .O. Box 221, Bogor.
Bahagian Acarology Institute for Medical Research, Malaysia. Pp: 4. Lokal Sebagai
Kekayaan Plasma Nutfah Indonesia : Lokakarya Nasional pengelolaan dan
Perlindungan Sumber Daya Genetik Di Indonesia : manfaat Ekonomi Untuk
Mewujudkan Ketahanan Nasional. Loka Penelitian Sapi Potong Grati.
Pasuruan.
Budiantoro. 2004. Kerugian ekonomi akibat skabies dan kesulitan dalam
pemberantasannya . Makalah pada Seminar Parasitology dan Toksikologi
Veteriner pada tanggal 20-21 April 2004. Balitvet DFID.
Dharma WMN, Putra AAG 1997 : Penyidikan Penyakit Hewan. Buku Pegangan.
BPPH Wilayah VI Denpasar Bali.
Flynn, R.E, 1973. Parasites Of Laboratory Animal. The Lowa State University.
Lowa.
Grant, D.I, 1986. Skin Disease In The Dog an Cat. Blackwell Scientific Publication.
London.
Gray, D.F. 1937. Sarcoptec mange effecting wild fauna in New South Wales.
Australia. Veterinary Journal
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Ed.1. Jakarta: Hipokrates.
34
Lembaga Penelitian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. 2011.
Pembuatan Portofolio Investasi Pembibitan dan Penggemukan Sapi Potong.
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.
Leuvine, N. D. 2000. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Manurung, J. dan A. Kusumaningsih. 1996. Pengaruh kudis pada kambing terhadap
minat peternak untuk beternak kambing di Desa Cigombong dan Desa Srogol
Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Prosiding Temu Ilmiah
Nasional Bidang Veteriner , Bogor ,12-13 Maret 1996. Balai Penelitian
Veteriner. Bogor.
Muller, G.H & R.W. Kirk, 1976. Small Animal Dermatology. W.B. Sbunder
Company. Philadelphia.
Nurgiartiningsih, V. M. A. 2010. Sistem breeding dan performans hasil persilangan
sapi Madura di Madura. Jurnal Ternak Tropik.
OIE, 2000. Manual Of Standars For Diagnostic Test and Vaccines, Office
Internasional Des Epizooties.
Poeranto, S., T. W. Sardjono, L. Hakim, P. 1997 . Pengobatan dengan gamexan pada
penderita scabiosis di pondok pesantren Al Munawwariyyah Sudimoro.
Kedokteran Unibraw. Malang.
Purnomiadi, A. 2003. Diktat Kuliah Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Universita
Diponegoro. Semarang.
Putra, A. A. G. 1994. Kajian epidemiologi dan kerugian ekonomi scabies. Laporan
Rapat Koordinasi Kesehatan Hewan Wilayah Nusa Tenggara tanggal 16-
18Nopember 1994. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar.
Rahayu, ika. 2014. Prospek Usaha Ternak Kambing. Nusantara. Bogor, Jabar.
Reilly S., Cullen D., and Davies MG. 1985. An outbreak of Scabies in a Hospital and
Community. British Medical Journal.
Sanusi ID., Brown EB., Shepard TG., and Grafton WD., 1989. Tungiasis: report of
one case review of the 114 reported cases in the United States. Journal of the
American Academy of Dermatology.
Selvin S. 2004. Statistical Analysis of Epidemiology Data. London (UK): Oxfo
University Pres.Wilayah Sibermas Kecamatan Fatuleu Kabupaten Kupang.
Sheahan, B.J. 1974. Experimental Sarcoptes scabie infection in pigs I. Naturally
occurring and experimentally induced lesions. Journal of Comparative
Pathology
35
Siregar.2007. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI.
Smith, K.E .,R. Wall and N.P. French. 2000. The control of sheep scabmite Psoroptes
ovis with entomopathogenic fungi . Vet . Parasitol.
Subronto . 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (mamalia). Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sweatmen, G.K. 1971. Mites and pentastomes. In “ Parasitic Diseases of Wild
Animals“. (John W. Davis and Roy C. Anderson, eds.), Iowa State University
Press, Ames, Iowa, USA
Urquhart, R.M, dkk. 1987. Veterinary Parasitology. Churchill Livingstone Inc. New
York.
Wardana. 2006. skabies Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang.
Wartazoa.
Williams, R. E. Hall, A. B. Broce, P. J. Scholl. 2000. Livestock Entomology. Jhon
Wiley & Son. New York.
36