Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kebutuhan masyarakat pada daging babi saat ini semakin meningkat
khusunya di daerah Bali. Daging babi banyak dikonsumsi pada masyarakat Bali,
selain dikonsumsi daging babi juga sebagai sarana upacara keagamaan oleh
masyarakat asli Bali yang mayoritas memeluk agama hindu menggunakan babi
sebagai sarana upacara adat yang diolah menjadi babi guling, urutan dan lawar
serta dikonsumsi sebagai sumber protein hewani (Agustina et al., 2016).
Banyaknya kebutuhan daging babi menyebabkan banyak dikalangan masyarakat
yang berternak babi, baik peternakan besar maupun peternakan kecil.
Pemeliharaan ternak babi relatif lebih mudah karena babi cepat tumbuh dan
mempunyai adaptasi yang baik terhadap kondisi iklim yang beragam mulai dari
beriklim sejuk (temperate zone) sampai daerah tropis (tropical zone) (Ardana dan
Putra, 2008), dan dapat memanfaatkan berbagai jenis sumber pakan. Selain itu,
babi merupakan hewan yang mampu menghasilkan banyak anak dalam setahun
(prolifik) dengan interval generasi yang lebih singkat, sehingga babi berpotensi
sebagai ternak komersial.
Di Bali, populasi babi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tercatat
pada tahun 2016 populasi babi yaitu 803.920 ekor. Angka ini sedikit meningkat
dari tahun 2015 dengan 794.936 ekor. Angka populasi babi di Bali terutama di
Kabupaten Klungkung pada tahun 2011 sebanyak 33.446 ekor, tahun 2012
sebanyak 35.619 ekor, tahun 2013 sebanyak 34.418 ekor, tahun 2014 sebanyak
36.832, tahun 2015 sebanyak 26.205 ekor dan tahun 2017 sebanyak 31.048 ekor.
Dari banyaknya peternakan babi di Bali khusuya di daerah Kabupaten
Klungkung, banyak peternak yang mengalami kegagalan karena babi rentan
terhadap suatu penyakit.
Penyakit yang banyak di derita pada ternak babi yaitu penyakit yang dapat
menyerang sistem saraf pusat, sistem metabolisme, saluran pencernaan, dan juga

1
sistem pernafasan. Jika hewan terinfeksi penyakit maka pertumbuhan babi akan
menjadi terhambat dan kualitas daging dan karkas menjadi kurang bagus bahkan
jelek. Salah satu penyebab kegagalan utama dalam produksi ternak babi adalah
penyakit intestinal yang disebabkan oleh infeksi parasit cacing (subroto dan
Tjahajati, 2001).
Infestasi cacing pada babi dapat memberikan dampak ekonomi yang cukup
besar terhadap industri peternakan babi. Pada babi yang terinfeksi cacing akan
mengalami gangguan pada pertumbuhan yang berlangsung cukup lama sehingga
produktivitas akan turun (Kaufmann, 1996). Gejala – gejala dari hewan yang
terinfeksi cacing antara lain, badan lemah dan rambut rontok. Infeksi berlanjut
diikuti dengan anemia, diare dan badannya menjadi kurus yang akhirnya bisa
menyebabkan kematian (Ardana dan Putra, 2008). Adapun beberapa parasit yang
sering menimbulkan penyakit pada babi yaitu cacing Strongyloides, Taenia,
Ascaris dan Trichuris (Mark, 2017). Dalam paper ini akan dilaporkan parasit
yang terdapat di Kabupaten klungkung dan prevalensi pada Kabupaten
Klungkung.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatasmaka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kejadian penyakit dan prevalensi Helminthiasis pada babi
di Kabupaten Klungkung dalam tahun 2012-2015?
2. Apa faktor penyebab terjadinya Helminthiasis pada babi di Kabupaten
Klungkung?
3. Apa upaya tindakan dan pengobatan yang sudah dilakukan Dinas Pertanian
Kabupaten Klungkung untuk pencegahan Helminthiasis pada babi?

2
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini adalah mengetahui prevalensi dan penyebab
Helminthiasis pada babi. Selain itu juga untuk mengetahui tindakan yang sudah
dilakukan Dinas Peternakan Kabupaten Klungkung untuk pencegahan dan
pengobatan Helminthiasis pada babi.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat yang diperoleh adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang penyakit
Helminthiasis pada babi yang merugikan peternak yang ada di wilayah Kabupaten
Klungkung. Selain itu, dengan mengetahui penyebab Helminthiasis yang
menimbulkan masalah pada babi maka kita dapat melakukan penanganan dan
pencegahan secara lebih terarah.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Babi
Babi asli yang ada di Indonesia sesungguhnya adalah babi hutan yang masih liar.
Menurut sejarah, babi yang dipelihara di masyarakat sekarang ini berasal dari dua
jenis babi liar yaitu Sus vitatus dan Sus Scrofa. Jenis Sus vitatus berasal dari India
Timur, Asia Tenggara, termasuk China. Sedangkan Sus scrofa adalah jenis babi dari
Eropa. Adapun bangsa babi yang terkenal sebagai babi asli Indonesia antara lain: babi
bali, babi karawang, babi sumba dan babi nias (Sumardani dan Ardika, 2015). Semua
babi memiliki karakteristik yang sama kedudukannya dalam sistematika hewan yaitu:
Kingdom : Animalia,
Phylum : Chordata,
Sub phylum : Vertebrata,
Marga : Gnatostomata,
Class : Mamalia,
Ordo : Artiodactyla,
Family : Suidea,
Genus : Sus,
Species : Sus scrofa, Sus vittatus/Sus strozzli, Sus cristatus, Sus
leucomystax, Sus celebensis, Sus verrucosus, Sus barbatus
(Sihombing, 1997).

Ternak babi sangat berpotensi besar untuk dikembangkan untuk memenuhui


kebutuhan masyarakat akan dagingnya dan untuk kebutuhan upacara agama khusunya
di daerah Bali. Babi memiliki sifat – sifat dan kemampuan yang menguntungkan
antara lain: laju petumbuhan yang cepat, jumlah anak per kelahiran (litter size) yang
tinggi, efisien ransum yang baik (70 - 80%), dan persentase karkas yang tinggi (65 -
80%). Selain itu, babi memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi iklim yang
beragam, mulai dari daerah yang beriklim sejuk sampai beriklim tropis (Ardana dan
Putra, 2008). Bagi penduduk di Bali ternak babi bukanlah merupakan suatu hal yang
asing, yang dibuktikan dengan pemeliharaan ternak babi hampir pada setiap rumah
tangga di Bali, didukung pula oleh adat dan tradisi kebudayaan di Bali.

4
Dibalik potensi peternakaan babi terdapatkendala pada peternak, yaitu babi
rentan terinfeksi suatu penyakit baik yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus dan
terutama parasit, baik yang bersifat patogen ataupun patogen oportunistik. Ternak
yang mengalami sakit dapat menurunkan jumlah dan atau kualitas dari ternak
tersebut. Salah satu penyakit yang sering terjadi pada babi yaitu terinfeksi parasite.
Adapun parasit yang dapat menyerang babi diantaranya Ascaris suum, Trichuris suis,
Oesophagustomum sp., Taenia solium dan lain – lain.

2.2 Kondisi Wilayah Kabupaten Klungkung


2.2.1 Geografis
Kabupaten Klungkung merupakan kabupaten terkecil dari sembilan kabupaten
dan kota madya di Provinsi Bali. Klungkung terletak diantara 115o27’ –
37’’8o49’00’’ LS, dengan batas – batas di sebelah utara Kabupaten Bangli, sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Karangasem, sebelah barat Kabupaten Gianyar
dan sebelah selatan Samudera Hindia, dengan luas 315 km2. Wilayah Kabupaten
Klungkung sepertiganya (112,16 km2) terletak diantara pulau Bali dan dua pertiganya
(202,84 km2) merupakan kepulauan yaitu Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa
Ceningan. Kabupaten Klungkung dengan ibu kotanya di Semarapura mempunyai luas
wilayah 30.500 Ha yang terdiri dari 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Banjarangkan,
Kecamatan Klungkung, Kecamatan Dawan dan Kecamatan Nusa Penida. Jenis ternak
yang dikembangkan di Kabupaten Klungkung antara lain: babi, sapi, ayam, kambing,
itik, dan lain – lain.

2.2.2 Iklim
Curah hujan dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan geografi dan
perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan beragam
menurut bulan dan letak stasiun pengamat. Rata - rata curah hujan tertinggi terjadi di
Kecamatan Klungkung yaitu sebesar 189 mm dengan rata - rata hari hujan sebesar
7,17 hari setiap bulannya, sedangkan terendah di Kecamatan Dawan dengan rata -

5
rata curah hujan sebesar 128 mm dan rata rata hari hujan 9,50 hari setiap bulannya
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung, 2017).

2.3. Helminthiasis
2.3.1 Etiologi dan Morfologi
Cacing (Helminth) berasal dari kata “Helmins atau Helminthos (Greek) yang
secara umum berarti organisme yang tubuhnya memanjang dan lunak. Helminth
(nematoda, cestodes dan trematoda) ada di mana - mana di antara hewan piaraan dan
satwa liar di ekosistem di seluruh dunia. Menurut Roepstorff (1996) spesies cacing
yang menginfeksi babi dikelompokan menjadi:

Nematoda Trematoda Cestoda


1. Hyostrongylus 1. Fasciolopsis 1. Cysticercus cellulosae
2. Gnathostoma 2. Gastrodiscus 2. Cysticercus tenuicollis
3. Ascaris 3. Opistorchis 3. Echinococcus granulosus
4. Strongyloides 4. Fasciola
5. Globocephalus 5. Schistosoma
6. Trichostrongylus
7. Oesophagostomum
8. Trichuris
9. Metastrongylus
10. Stephanurus
11. Trichinella

Spesies cacing bentuknya berbeda-beda antara spesies nematoda, trematoda, dan


cestoda. Secara umum, morfologi cacing dewasa dari kelas nematoda memiliki
ukuran yang berbeda-beda pada masing spesies, mulai dari 2 cm sampai lebih dari 1
meter dengan bentuk bulat panjang seperti benang, tidak bersegmen, dan kulit diliputi
kutikula. Cacing jantan lebih kecil dari pada cacing betina, pada ujung posterior

6
terlihat melengkung kedepan. Saluran pencernaan makanan, system saraf, system
ekskresi, serta pada sistem reproduksi cacing nematoda terpisah tetapi tidak memiliki
system sirkulasi darah (Natadisastra & Agoes 2005). Cairan rongga badan
mengandung hemoglobin, glukosa, protein, garam, dan vitamin (Irianto, 2009).
Cacing trematoda memiliki bentuk biasanya pipih dorso-ventral, tidak memiliki
rongga, tidak bersegmen, kutikula atau tegumen cacing ada yang licin dan ada yang
berduri dan memiliki alat penghisap. Cacing cestoda memiliki bentuk tubuh
umumnya panjang, pipih dorso-ventral (atas, bawah) berbentuk pita dan tersusun oleh
banyak segmen, tidak memiliki rongga badan maupun saluran pencernaan dan semua
organ - organ tersimpan didalam jaringan parenkim.
Infeksi parasit berdasarkan epidemiologi parasit dipengaruhi oleh 3 faktor utama,
antara lain faktor: parasit (terutama cara penyebaran atau siklus hidup, viabilitas atau
daya tahan hidup, patogenisitas dan imunogenisitas), faktor hospes (terutama spesies,
umur, ras, jenis kelamin, status imunitas dan status gizi), serta faktor lingkungan
(terutama musim, keadaan geografis, tata laksana peternakan) (Soulsby, 1982,
Urquhart et al., 1985, Roberts, 2005).
2.3.2 Lokasi Helminth pada Organ/Jaringan dari Host
2.3.2.1 Saluran Pencernaan
Tabel 1. Helminth pada Saluran Pencernaan Babi

Lokasi Helminth Efek yang Ditimbulkan


Lambung Hyostrongylus Kerusakan mukosa
Ascarops Kerusakan mukosa
Physocephalus Kerusakan mukosa
Gnathostoma Kerusakan mukosa

7
Usus Halus Ascaris Dewasa: perubahan
mukosa
Larva: lesi pada hati dan
paru
Strongyloides Kerusaan mukosa
Globocephalus Menghisap darah
Trichostrongyfus Kerusakan mukosa
Macracanthorhynchus Kerusakan mukosa
Fasciolopsis Kerusakan mukosa
Usus Besar Oesophagostomum Kerusakan mukosa, nodul
Trichuris Menghisap darah
Gastrodiscus Kerussakan mukosa
Sumber : Roepstorff, 1996
2.3.2.2 Hati
Tabel 2. Helminth pada Hati Babi
Helminth Efek yang Ditimbulkan
Ascaris (larva) Lesi fibrotik (white/milk spot)
Schistosoma (telur) Fibrosis, granuloma
Fasciola (larva, dewasa) Fibrosis, pembesaran saluran empedu,
menghisap darah
Cysticercus tenuicollis (metacestodes) Kerusakan jaringan
Echinoccocus granulosus Atropi
(metacestodes: kista hydatid)
Sumber : Roepstorff, 1996
2.3.2.3 Paru-paru
Tabel 3. Helminth pada Paru-Paru Babi
Helminth Efek yang Ditimbulkan
Metastrongylus Bronchitis, pneumonia
Ascaris Lesi traumatic

8
Hydatid cysts Atropi jaringan
Sumber : Roepstorff, 1996
2.3.2.4 Organ Lain
Tabel 4. Helminth pada Berbagai Organ
Lokasi Helminth Efek yang Ditimbulkan

Otot Trichinella (larva) Minimal


Cysticercus cellilosae Minimal
Ginjal Stephanurus Kerusakan, sedang
Pembuluh darah Schistomosa Kerusakan usus dan
hepatic
Sumber : Roepstorff, 1996
2.3.3 Siklus Hidup

Secara umum siklus hidup cacing terdiri dari tiga tahap yang pertama pada
fase telur, kemudian larva, dan akan menjadi cacing dewasa. Cacing nematoda
merupakan cacing yang hidup bebas atau sebagai parasit. Ciri-ciri tubuhnya tidak
bersegmen dan biasanya berbentuk silinder yang memanjang serta meruncing pada
kedua ujungnya. Nematoda memiliki siklus hidup langsung, sehingga tidak
memerlukan inang antara dalam perkembangan hidupnya. Cacing betina dewasa
bertelur dan mengeluarkan telur bersamaan dengan tinja, di luar tubuh telur akan
berkembang. Larva infektif dapat masuk ke dalam tubuh babi secara aktif, tertelan
atau melalui gigitan vektor berupa rayap. Badannya dibungkus oleh lapisan kutikula
yang dilengkapi dengan gelang – gelang yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa
(Kusumamihardja, 1992).

Pada siklus hidup dari cacing cestoda, telur cestoda dilepaskan dari segmen
gravid yang berembrio yang nantinya akan menghasilkan 6 embrio yang terhubung
(hexacanth oncospheres) yang kemudian tertelan oleh hospes perantara. Oncospheres
menembus jaringan inang dan menjadi metacestodes (larva encysted). Saat tertelan
oleh host definitif, larva berkembang menjadi cacing pita dewasa.

9
Siklus hidup cacing trematoda lebih kompleks di mana larva mengalami
perkembangbiakan aseksual di host intermediate, yaitu siput. Telur menetas untuk
melepaskan miracidia dan kemudian aktif menginfeksi siput dan berkembang biak
pada kantung yang nantinya menghasilkan sporokista untuk menghasilkan rediae.
Tahapan pendewasaan terhadap cercaria yang dilepaskan dari siput kemudian secara
aktif menginfeksi host definitif baru atau membentuk metacercaria pada vegetasi
akuatik yang dimakan oleh host definitif.

2.3.4 Patogenesa

Cacing nematoda dapat menyebabkan penyakit secara langsung melalui


hospes definitive maupun tidak langsung melalui hospes intermedier baik melalui
telur atau larva inffektif. Patogenesis cacing nematoda pada usus disebabkan dari
migrasi larva melalui jaringan tubuh, menusuk dinding usus yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan dan lesi pada mukosa usus, penyerapan nutrisi menjadi
terganggu sehingga manifestasi klinisnya yaitu terjadi penurunan berat badan atau
kekurusan pada babi. Aktivitas parasit yang menghisap darah darah menyebabkan
terjadinya anemia pada babi. Sekresi yang dihasilkan oleh cacing menyebabkan
timbulnya reaksi alergi pada host. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa
biasanya ringan. Kadang - kadang hewan mengalami gangguan usus ringan seperti
mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada
babi muda dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan
yang serius, bila cacing mengumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada
usus (Roepstorff, 1996).

Pada cacing Trematoda telur cacing akan keluar bersama tinja penderita saat
defikasi. Pada kondisi menunjang (kelembaban suhu yang sesuai), telur akan
berkembang dan menetas mengeluarkan larva mirasidium. Mirasidium berbentuk
segitiga, dengan bagian depan melebar dan biasanya ditutupi oleh silia, juga biasanya
mempunyai duri untuk membuat lubang masuk kedalam tubuh hospes antara

10
(biasanya adalah siput). Mirasidium biasanya dilengkapi dengan sistem ekskresi dan
sistem syaraf dan mempunyai usus berbentuk kantung, serta bintik mata. Pada waktu
mirasidium menembus kulit hospes antara silianya lepas dan larva menjadi
sporokista, yaitu masa sel yang tanpa diferensiasi. Didalam sporokista terbentuk redia
dan didalam tubuh redia terbentuk cercaria. Cercaria adalah bentuk infektifdari larva
dan dapat langsung menginfeksi hospes definitif melalui makanan, minuman atau
aktif menembus kulit, namun cercaria dapat mengkista diluar tubuh terutama pada
tanaman air/rerumputan dan bentuk kista ini disebut metacercaria yang bersifat
infeksius. Di dalam duodenum kista pecah dan keluarlah cacing muda. Dalam waktu
24 jam cacing muda sampai dalam ruang peritonium sesudah menembus dinding usus
dan menimbulkan kerusakan mukosa yang berakibat pada penyerapan nutrisi dalam
tubuh menjadai terganggu. Sekitar 4-8 hari sesudah infeksi, sebagaian besar cacing
telah menembus kapsul hati dan migrasi dalam parenkim hati yang dapat
menimbulkan fibrosis dan granuloma. Migrasi dalam hati memerlukan waktu 5-6
minggu dan minggu ke-7 telah sampai dalam saluran empedu dan minggu ke-8
setelah infeksi cacing telah bertelur (Roepstorff, 1996).

Hospes definitif (HD) mengeluarkan proglotid bunting atau dalam bentuk


rangkaian segmen secara tersendiri dan atau bersama tinja pada saat defikasi.
Proglotid akan hancur (mengalami proses apolysis), sehingga telur berserakan. Telur
apabila termakan oleh hospes intermedier (HI) yang sesuai, didalam saluran
pencernaannya karena pengaruh sekresi (lambung, usus, hati dan pankreas) Onkosfer
tercerna sehingga menyebabkan aktifnya hexacant embrio. Hexacant embrio dengan
kaitnya akan menembus dinding usus dan akhirnya bersama aliran darah atau limfe
beredar keseluruh tubuh menuju tempat predileksi. Pada tempat predileksinya, cacing
akan mengalami perkembangan lebih lanjut menjadi bentuk peralihan metacestoda
seperti sistiserkus (Roepstorff, 1996).

11
2.3.5 Tanda Klinis
Tanda klinis dari hewan yang terinfeksi cacing antara lain, badan lemah, nafsu
makan menurun, dan bulu rontok. Infeksi berlanjut diikuti dengan anemia, diare dan
badannya menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian (Ardana dan
Putra, 2008). Adanya parasit di dalam tubuh ternak tidak harus diikuti oleh
perubahan yang sifatnya klinis. Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui
pemeriksaan feses, dimana jika ditemukan telur cacing pada feses, maka dipastikan
adanya cacing pada ternak tersebut (Subronto dan Tjahajati, 2001). Gejala
terserangnya parasit cacing akan terjadi tergantung dari jenis parasit, kondisi induk
semang, organ yang dipengaruhinya, jumlah parasit, iklim dan umur hewan.
Beberapa faktor yang akan mempengaruhi pertumbuhan cacing diantaranya
kepadatan inang antara dan inang definitif, derajat infeksi dari inang definitif, serta
penyebaran inang yang terinfeksi oleh cacing tersebut (Lawson dan Gemmel, 1983).

2.3.6 Diagnosa
• Diagnosa langsung:
Infeksi parasit biasanya didiagnosis dari sampel feses, urin, darah dan
jaringan. Adanya bukti parasit usus, dari tanda klinis umum, diperoleh dari
pemeriksaan feses atau post - mortem. Tidak ada teknik umum, juga tidak ada
teknik khusus untuk pemeriksaan feses secara mikroskopik. Pada pemeriksaan
sedimen urin digunakan terutama untuk identifikasi Encephalitozoon cuniculi
dan telur Schistosoma (Peters et al., 1976). Pada pengujian darah digunakan
untuk mengidentifikasi berbagai parasit darah dan secara rutin diterapkan untuk
mendiagnosis malaria, theileriosis, babesiosis, anaplasmosis, ehrlichiosis,
trypanosomiasis dan sebagian besar jenis filariasis (Benbrook dan Sloss, 1961).
Trypanosoma juga bisa didiagnosis dengan smear basah tergantung pada aplikasi
dan tujuannya. Pada pengujian jaringan, cacing dari bahan biopsi seringkali
merupakan bantuan terpenting untuk diagnosis. Kelenjar getah bening, limpa,
hati, paru-paru, sumsum tulang atau biopsi cairan tulang belakang sering

12
digunakan untuk mendiagnosa berbagai penyakit (Beaver et al., 1984).
Sementara pemeriksaan post-mortem saat ini merupakan cara yang paling efektif
untuk mendiagnosis infeksi cacing dengan akurat (Reinecke, 1984).
• Diagnosa tidak langsung:
Semua metode untuk identifikasi langsung parasit akan gagal jika kepadatan
parasit dalam spesimen berada di bawah sensitivitas metode yang digunakan,
atau jika parasit tidak dapat ditunjukkan secara langsung karena masih berada
dalam siklus hidup di inang (misalnya toxoplasmosis, echinococcosis dan
sistiserkosis). Dengan demikian dalam kasus seperti itu metode tidak langsung
harus digunakan.
Idealnya, serologi harus memungkinkan diferensiasi antara infeksi baru dan
laten dan harus mampu menunjukkan apakah hewan adalah hewan pembawa
(carrier) serta eliminasi parasit setelah tindakan terapeutik sudah dilakukan
Pengujian yang umum digunakan meliputi Complement Fixation Test (CFT),
Immunodiffusion (ID), Indirect Haemagglutination (IHA), Indirect
Immunofluorescent Antibody Test (IFA), Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) dan Radioimmunoassay (RIA) (Weiland, 1988).

2.4 Epidemiologi
Helminthiasis hampir hanya terjadi di negara berkembang, terutama di daerah
yang memiliki sanitasi yang rendah. Helminth dapat mengurangi produksi dan dapat
menyebabkan penyakit klinis dan kematian. Kehidupan cacing tergantung pada
spesies parasit dan inang, tingkat infeksi, dan status kesehatan keseluruhan host.
Infeksi helminth terjadi pada kelompok umur yang berbeda pada babi. Untuk cacing
jenis Strongly, babi yang diternakkan secara tradisional lebih rentan terinfeksi cacing.
Status imunitas dari tiap individu babi berperan dalam intensitas infeksi dari
Helminth. Ada dua tipe karakteristik dari distribusi telur cacing, tipe pertama infeksi
maksimum biasanya terjadi pada babi muda, contohnya Strongyloides ransomi
khusunya pada anak babi serta Ascaris suum dan Trichuris suis khususnya pada babi

13
muda (Peters dan Allan, 1999). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suratma (2009)
menyatakan bahwa pada babi muda prevalensi infeksi cacing Trichuris suis di Kota
Denpasar sebesar 32,67 % dengan prevalensi infeksi pada babi yang dipelihara pada
kandang tanah sebesar 52,70 % dan sedangkan pada babi yang dipelihara pada
kandang lantai semen prevalensinya sebesar 26,11 %. Terlihat adanya ketergantungan
antara prevalensi infeksi cacing Trichuris suis dengan jenis lantai kandang, terjadi
karena pada kandang semen kondisinya lebih kering dibandingkan kandang tanah,
sehingga perkembangan telur cacing pada kandang tanah akan lebih baik, selain itu
pada kandang tanah telur cacing akan melekat dengan lebih baik sehingga jumlah
cacing pada kandang tersebut akan lebih banyak.

2.5 Pengendalian dan Pengobatan


Pengendalian penyakit cacing memerlukan penanganan yang terncana secara
baik dengan memperhatikan faktor pengobatan dan tatalaksana pemeliharaan ternak
yang memadai. Peternak seringkali mengabaikan managemen peternakan yang baik,
apabila dikaji secara seksama akan terlihat betapa besar kerugian yang dapat
ditimbulkan oleh infeksi cacing. Pengobatan yang biasa digunakan, yaitu ivomectin,
doramectin dan golongan benzimidazole seperti albendazole, flubendazole dan
fenbendazole (RUMA, 2010).
Pengobatan yang umum diberikan oleh Dinas Pertanian Kabupaen Klungkung
khususnya di puskeswan Banjarangkan, yaitu Verm-O® (Oxfendazole) dan Limoxin
LA (Oxytetracycline) untuk terapi infeksi sekunder.

14
BAB III
METODELOGI

3.1 Metode Kepustakaan


Metode kepustakaan menggunakan metode wawancara atau dengan cara
mengajukan beberapa pertanyaan kepada Kabid Keswan Dinas Pertanian Kabupaten
Klungkung untuk mendapatkan informasi lebih lengkap dan jelas mengenai kejadian
penyakit Helminthiasis di lapangan. Selain itu, penulis juga menggunakan referensi
dari buku-buku dan internet yang berhubungan dengan topik yang dibahas, dalam hal
ini topik yang dibahas yaitu mengenai penyakit Helminthiasis pada babi. Data - data
yang didapat kemudian disusun, sehingga lebih mudah untuk dipahami. Data yang
digunakan dalam membuat laporan ini adalah data yang yang bersumber dari Dinas
Pertanian Kabupaten Klungkung Bidang Kesehatan Hewan pada tahun 2012 sampai
dengan tahun 2016.

3.2 Parameter
Berdasarkan data kejadian kasus penyakit hewan menular yang bersumber
dari Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung Bidang Kesehatan Hewan pada tahun
2012 sampai dengan tahun 2016, dilakukan perhitungan prevalensi infeksi
Helminthiasis menggunakan rumus sebagai berikut:

Jumlah babi yang sakit


Prevalensi = x 100%
Jumlah populasi berisiko pertahun

3.3 Analisis Data


Data yang diperoleh berupa jumlah populasi, jumlah kasus yang positif di
Kabupaten Klungkung, selanjutnya akan di analisis dengan menggunakan analisis
data Chi-Square. Uji analisis yang digunakan yaitu dengan program SPSS 17
(Sampurna dan Nindhia, 2008).

15
3.3 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data
Pengambilan data kasus penyakit Helminthiasis dilakukan di kantor Dinas
Pertanian Kabupaten Klungkung. Data diambil dari rekapan data di Dinas Pertanian
Kabupaten Klungkung dari tahun 2012 sampai denga tahun 2016. Waktu pelaksanaan
pengambilan data dilakukan pada tanggal 20 - 24 November 2017.

16
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHSAN

4.1 Hasil
Data jumlah kasus penyakit hewan menular di Kabupaten Klungkung dari
tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 berdasarkan data yang bersumber dari Dinas
Pertanian Kabupaten Klungkung. Data disajikan pada Tabel.
Tabel 5. Rekapitulasi Situasi Umum Penyakit Hewan Menular di Kabupaten
Klungkung Tahun 2012 s/d 2016.
No. Penyakit Jenis Jumlah Kasus pada Tahun Jumlah
Strategis Hewan 2012 2013 2014 2015 2016 Total Kasus
1. Hog Cholera Babi 27 11 9 6 0
53
2. Streptococcus Babi 485 324 346 588 412 2516
3. BEF Sapi 722 684 759 924 756 3815
4. Colibacillosis Babi 2499 1331 1408 1408 905
7572
Sapi 7 2 7 0 5
5. Coccidiosis Sapi 558 342 429 633 502
2471
Anjing 1 0 3 3 0
6. Scabies Babi 883 449 509 524 347
Kambing 131 39 23 124 155
3379
Anjing 0 24 84 37 29
Sapi 18 6 18 26 3
7. Helminth Sapi 799 558 1297 1186 687
Babi 1097 466 523 412 272
7687
Kambing 17 11 31 122 125
Anjing 0 3 67 13 1
8. Lain-lain Sapi 167 225 371 405 224
Babi 1112 232 68 92 49
2995
Kambing 0 0 18 32 0
Anjing 0 0 0 0 0
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung

17
Gambar 1. Persentase Penyakit Menular di Kabupaten Klungkung

4.1.1 Populasi Babi di Kabupaten Klungkung Lima tahun Terakhir.


Populasi babi pada lima tahun terakhir mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun, Peningkatan ini terjadi karena semakinbanyaknya kebutuhan daging
baib pada masyarakat Kabupaten Klungkung khusunya dan Bali umumnya.
Tabel 6. Data Jumlah Populasi dan Hewan Bersiko Terinfeksi Helminthiasis pada
Tahun 2012 s/d 2016 Tahun di Kabupaten Klungkung
No Tahun Jumlah Populasi Jumlah Hewan yang Sakit Jumlah Hewan Yang
(ekor) (ekor) beresiko terinfeksi
penyakit (ekor)
1 2012 35.659 1.097 34.562
2 2013 34.418 466 33.952
3 2014 36.832 523 36.309
4 2015 26.205 412 25.793
5 2016 31.048 272 30.776
Total 164.162 2,770 161.389

18
Tabel 7. Data Jumlah Populasi Babi Per Kecamatan di Kabupaten Klungkung Tahun
2012 s/d 2016.
No Kecamatan Tahun
2012 2013 2014 2015 2016
1. Nusa Penida 15621 15641 14359 14505 24008
2. Banjarangkan 5252 5592 11449 5291 576
3. Klungkung 7458 7587 4181 2293 2478
4. Dawan 7328 5598 6846 4116 3986
Total 35659 34418 36832 26205 31048
Sumber : Badan Statistik Kabupaten Klungkung

Gambar 2. Diagram populasi babi yang ada di Kabupaten Klungkung tahun 2012-
2016

19
Gambar 3. Diagram Kasus Helminthiasis pada Babi di Kabupaten Klungkung Tahun
2012-2016

4.1.2 Prevalensi dan mordibitas dari Helminthiasis pada Babi di Kabupaten


Klungkung Tahun 2012 s/d 2016.
Adapun jumlah prevalensi dan mordibitas dari Helminthiasis pada
Kabupaten Klungkung dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Tabel 8. Prevalensi Helminthiasis pada Babi Berdasarkan Tahun di Kabupaten


Klungkung
Prevalensi
Tahun Populasi Sakit
(%)
2012 35.659 1.097 3.1

2013 34.418 466 1.3

2014 36.832 523 1.4

2015 26.205 412 1.5

2016 31.048 272 0.8

20
Rumus Perhitungan prevalensi
Jumlah hewan yang sakit
Prevalensi = x 100%
Jumlah populasi yang beresiko

Tabel 9. Mordibitas Helminthiasis pada Babi Berdasarkan Tahun di Kabupaten


Klungkung
Tahun Populasi Sakit Mordibitas
2012 35.659 1.097 0.031

2013 34.418 466 0,013

2014 36.832 523 0,014

2015 26.205 412 0,015

2016 31.048 272 0,008

Rumus Perhitungan prevalensi


Jumlah hewan yang sakit
Mordibitas =
Jumlah populasi yang beresiko

4.2 Pembahasan

Dari data yang diperoleh di Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung tentang data
penyakit hewan dari tahun 2012 – 2016, kejadian Helminthiasis pada babi di
Kabupaten Klungkung telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun, pada tahun
2012 terjadi 1097 kasus Helminthiasis sedangkan pada tahun 2016 angka tersebut
menurun menjadi 272 kasus.
Pada pupulasi babi di Kabupaten Klungkung mulai dari tahun 2012 sampai tahun
2016 mengalami peningkatan dan penurunan. Pada tahun 2012 jumlah populasi babi
sebanyak 35.659 ekor, pada tahun 2013 mengalami penurunan dengan jumlah
populasi babi sebanyak 34.418 ekor. Namun pada tahun 2014 jumlah populasi babi
mengalami peningkatan dengan jumlah populasi babi sebanyak 36.832 ekor. Pada
tahun 2015 jumlah populasi babi mengalami penurunan dengan jumlah sebanyak
26.205 ekor. Pada tahun 2016 mengalami peningkatan dengan jumlah sebanyak

21
31.048 ekor. Pada populasi babi di Kabupaten Klungkung tahun 2014 merupakan
jumlah babi paling banyak dengan jumlah 36.832 ekor dan pada tahun 2015
merupakan jumlah babi paling sedikit 26.205 ekor dalam rentan 5 tahun terakhir.
Kejadian penyakit Helminthiasis pada babi di Kabupaten Klungkung mengalami
penurunan setiap tahunnya. Dari data yang diperoleh di Dinas Pertanian Kabupaten
Klungkung dapat dilihat angka kejadian kasus Helminthiasis dari tahun 2012 hingga
tahun 2013 mengalami penuruan dari 1.097 kasus sampai 446 kasus, namun pada
tahun 2014 mengalami peningkatan sebanyak 523 kasus, kemudian pada tahun 2015
hingga 2016 mengalami penurunan dari 412 kasus sampai 272 kasus. Dilihat dari
data bahwa pada tahun 2012 jumlah kasus Helminthiasis paling banyak dengan
jumlah 1.097 kasus dan pada tahun 2016 jumlah kasus Helminthiasis paling sedikit
dari lima tahun terakhir dengan jumlah 272 kasus. Dari data yang diperoleh tentang
kasus Helminthiasis yang mengalami penurunan dari lima tahun terakhir, hal ini
terjadi karena kesadaran dari peternak tentang pemeliharan peternakan babi yang
baik, sanitasi yang baik, manajemen peternakan yang lebih baik, dan pemberian obat
cacing yang rutin pada ternak sehingga penekanan penyakit Helminthiasis dapat
berkurang setiap tahunya.
Prevalensi Helminthiasis pada babi berdasarkan data yang didapat dari Dinas
Pertanian Kabupaten Klungkung, selama lima tahun terakhir dari tahun 2012 - 2016,
yaitu 3,1% pada tahun 2012, 1,3% pada tahun 2013, 1,4% pada tahun 2014, 1,5%
pada tahun 2015 dan 0,8% pada tahun 2016. Terjadinya naik turun dari prevalensi
pada Kabupaten Klungkung dapat disebabkan dari perubahan iklim dan cuaca yang
berbeda – beda tiap tahunya sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dari telur
cacing.
Dilihat dari data tingkat kejadian penyakit serta prevalensi Helminthiasis di
Kabupaten Klungkung menunjukan bahwa, penyakit Helminthiasis di Kabupaten
Klungkung dalam rentan waktu lima tahun terakhir selalu ada sehingga penyakit ini
merupakan penyakit endemis pada Kabupaten Klungkung. Di daerah Kabupaten
Klungkung tepatnya pada pedesaan masih ditemukannya cacing sistiserkosis pada

22
peternakan babi. Hal ini dikarenakan sistem pemeliharaan babi lokal masih dilakukan
secara tradisional. Sistem pemeliharaan babi dengan cara tradisional akan sulit untuk
memutuskan siklus penularan penyakit. Menurut Wandra et al., (2015) melaporkan
bahwa, infeksi sistiserkosis pada babi ditemukan di Kabupaten Karangasem, pada
survei tahun 2011, 2012 dan 2013, dengan hasil masing - masing sebesar 11,6%
(5/64), 18,0% (31/164) dan 6,9% (7/101). Dari hasil survei ini menunjukkan bahwa
masih ditemukan adanya infeksi sistiserkosis di Bali, yaitu pada desa - desa kecil dan
desa pegunungan terpencil di Kabupaten Karangasem, Bali.
Faktor yang meperngaruhi masih adanya Helminthiasis di Kabupaten Klungkung
yaitu karena masih kurangnya kesadaran peternak akan sanitasi dan menejemen
peternakan yang baik serta masih kurangnya perhatian pada ternak untuk pemberian
obat cacing pada ternak. Selain itu faktor cuaca juga dapat mempengaruhi terrjadinya
penyakit Helminthiasis, mudahnya telur cacing untuk berkembang dan penyebaran
telur cacing melalui hospes perantara sangat didukung oleh iklim yang tropis.
Menurut Agustina (2013) melaporkan bahwa cacing Hyostrongylus rubidus
sebelumnya belum pernah dilaporkan menginfeksi babi di Bali, namun ternyata
prevalensinya cukup tinggi yaitu 41,25% dan infeksi cacing Oesophagostomum
dentatum, prevalensinya sebesar 47,5% cukup tinggi untuk mempengaruhi performa
babi di Bali. Dari jumlah tersebut terdapat 69 (28,75%) sampel merupakan infeksi
gabungan dari kedua jenis cacing tersebut. Suratma (2009) melaporkan bahwa,
prevalensi infeksi cacing Trichuris suis di Kota Denpasar sebesar 32,67% dengan
intensitas tergolong berat (rata-rata TTPG = 6166,87 ± 9827.5) serta terdapat
ketergantungan yang antara prevalensi infeksi cacing Trichuris suis dengan jenis
lantai kandang.
Pengendalian dan pencegahan yang telah dilakukan oleh Dinas Pertanian
Kabupaten Klungkung diantaranya sosialisasi pada para peternak tentang pentingnya
sanitasi dan kebersihan kandang dan serta manajemen pemeliharaan yang baik dan
benar untuk mencegah terjadinya infeksi Helminthiasis pada ternak babi. Pengobatan
yang umum diberikan oleh Dinas Pertanian Kabupaen Klungkung khususnya di

23
puskeswan Klungkung, yaitu Verm-O® (Oxfendazole) dan Limoxin LA
(Oxytetracycline) untuk terapi infeksi sekunder. Tindakan yang telah dilakukan oleh
Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung sudah mulai efektif, yang dilihat dari
penurunan kejadian kasus Helminthiasis dari tahun 2012 – 2016. Hanya saja
terjadinya peningkatan kejadian kasus pada tahun 2014 sebesar 523 kasus, namun
peningkatan tersebut dapat ditangani oleh Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung.
Penanganan kasus Helminthiasis sangat perlu diperhatikan dari segi manajemen serta
sanitasi dari kendang babi dan kesadaran peternak untuk memberikan obat cacing
pada ternak babi.

24
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasakan hasil dari pengambilan data tentang penyakit Helminthiasis di
Kabupaten Klungkung disimpulkan sebagai berikut:
1. Kejadian penyakit Helminthiasis di Kabupaten Klungkung mengalami
fluktuasi lima tahun terakhir dari tahun 2012-2016 setiap tahunya masih
terdapatpenyaki Helminthiasis, hal ini menunjukan bahwa penyakit
Helminthiasis merupakan penyakit endemis di Kabupaten Klungkung.
2. Penyakit Helminthiasis disebabkan faktor kurang baiknya dalam sanitasi dan
menajemen peeliharaan pada peternakan serta dipengaruhi oleh perubahan
iklim dan cuaca sehingga dari penyakit Helminthiasis dapat berkembang.
3. Penanganan yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung yang
dengan pemberian antihelmintik dan antibiotik untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder. Penanganan ini dilakukan disetiap puskeswan pada
Kabupaten Klungkung dan penyuluhan tentang menajemen perternakan yang
baik.
5.2 Saran
Perlu adanya kerjasama dari masyarakat dan pemerintah dalam menangani
kasus Helminthiasis agar kejadian setiap tahunnya berkurang, sehingga kasus
Helminthiasis di Kabupaten Klungkung dapat diminimalisir. Serta perlu adanya
peningkatan sanitasi lingkungan, manajemen pemeliharaan serta pemberian obat
cacing secara rutin oleh peternak.

25
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, K.A. 2013. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di
Bali. Buletin Veteriner Udayana. Vol. 5 No. 2. ISSN:2085-2495

Agustina, K.K, N.M.A.A. Sudewi, A.A.G.O. Dharmayudha, dan I.B.M. Oka. 2016.
Identifikasi Dan Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Cerna Anak Babi Yang
Dijual Di Pasar Tradisional Di Wilayah Provinsi Bali. Buletin Veteriner
Udayana. Vol. 8, No. 1: 17-24.

Ardana, I.B.K. dan D.K.H. Putra, 2008. Ternak Babi; Manajemen Reproduksi,
Produksi, dan Penyakit. Cetakan Pertama. Udayana University Press.

Badan Statistik Kabupaten Klungkung. 2017. Data Jumlah Populasi Babi di


Kabupaten Klungkung Tahun 2011 s/d 2016.

Beaver P.C., Jung R.C. & Cupp E.W. (1984). Technical Appendix. In Clinical
Parasitology, 9th Ed. Lea &Febiger, Philadelphia, 733-764.

Benbrook E.A. & Sloss M.W. (1961). Fecal Examination In The Diagnosis Of
Parasitism. In Veterinary Clinical Parasitology. Iowa State University Press,
Ames, Iowa, 1-107.

Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung. 2017. Rekapitulasi Situasi Umum Penyakit


Hewan Menular di Kabupaten Klungkung Tahun 2011 s/d 2016.

Irianto, K. 2009. Panduan Praktikum : Parasitologi Dasar. Yrama Widya . Bandung:


iii+136 hlm

Kaufmann, J. 1996. Parasitic Infection of Domestic Animal. ILRI. Germany.

Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan
Piara. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Lawson, J. L. dan M. A. Gemmel. 1983. Transmission in Hydatidosis and


cysticercosis. Advance’s in Parasitology. 2a:279.

Mark, W. 2017. Pig Health – Worms. NADIS. Animal Health Skills.

Natadisastra, D dan R. Agoes. 2005. Parasitologi kedokteran ; ditinjau dari organ


tubuh yang diserang. Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta: xxi+50 hlm

26
Peter, N. dan Allan, R. 1999. Parasitic helminths of pig: factors influencing
transmission and infection levels. International Journal for Parasitology.

Peters P.A., Mahmoud A.A., Warren K.S., Ouma J.H. & Soingok T.K. 1976. Field
Studies Of A Rapid Accurate Means Of Quantifying Schistosoma
Haematobium Eggs In Urine Samples. Bull. Who, 54, 159-162.

Reinecke R.K. (1984). Identification Of Helminths In Ruminants At Necropsy. Jl


S. Afr. Vet. Ass., 55, 135-143.

Roepstorff, A. 1996. Intestinal parasites in swine in the Nordic countries: prevalence


and geographical distribution. Vet. Par. 76: 305-319.

Roberts S, John Jr. 2005.Foundations of Parasitology, Seventh Edition. United States:


McGraw-Hill,

Sampurna IP, Nindhia TS. 2008. Analisis data dengan SPSS: dalam rancangan
percobaan. Udayana University Press. Denpasar.

Sihombing, D.T.H. 1997. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta. Hal.527

Soulsby EJL .1982. Helminth, Artropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th
Ed. Bailliere Tindall, London

Subronto dan I Tjahajati .2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada university
Press.Yogyakarta

Sumardani, N.L.G. dan I.N. Ardika. 2015. Populasi dan Performans Reproduksi Babi
Bali Betina di Kabupaten Karangasem Sebagai Plasma Nutfah Asli Bali.
Seminar Nasional Sains dan Teknologi (SENASTEK).

Suratma, N.A. 2009. Prevalensi infeksi cacing Trichuris suis pada babi muda di kota
Denpasar. Buletin Veteriner Udayana. Vol.1 No.2.

Urquhart GM, J Amour, JL Duncan, AM Dunn and FW Jennings .1985. Veterinary


Parasitology. Longman Scientific & Technical

Wandra, T., Swastika, K., Dharmawan, N.S., Purba, I.E., Sudarmaja, I.M., Yoshida,
T., Sako, Y., Okamoto, M., Diarthini, N., Laksmi, D., Yanagida, T., Nakao,
M. dan Ito, A. 2015. The Present Situation and Towards The Prevention and
Control of Neurocysticercosis on the Tropical Island, Bali, Indonesia.
Parasites & Vectors. 8:148

27
Weiland, G. 1988. Serology And Immunodiagnostic Methods. In Parasitology In
Focus (H. Mehlhorn, Ed.). Springer-Verlag, New York.

28

Anda mungkin juga menyukai