PADA SAPI
DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Oleh: drh. Heru dan drh. Yulis Tanty
I. PENDAHULUAN
Ternak sapi potong merupakan salah satu sumber penghasil daging yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat.
Seeekor sapi atau kelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam
kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan berupa daging, disamping hasil ikutan
lainnya seperti pupuk kandang, kulit dan tulang. Daging sangat besar manfaatnya
Program Dua juta ekor sapi yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi
minimal Swasembada daging bagi Kalimantan Timur sendiri. Salah satu faktor yang
optimal, salah satunya terhadap infestasi parasit cacing. Kalimantan Timur dengan
populasi sapi sekitar 101.958 ekor, sebagian besar adalah sapi bali.
Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang mempunyai
keunggulan, antara lain memiliki adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk
seperti di daerah bersuhu tinggi dan mutu pakan yang rendah. Disamping itu tingkat
fertilitas sapi bali cukup tinggi dibandingkan dengan jenis sapi lain, yaitu mencapai
83%. Selain memilki keunggulan, sapi bali juga memilki beberapa kelemahan antara
lain amat peka terhadap beberapa jenis penyakit yang tidak dijumpai pada ternak lain.
Sapi bali diketahui rentan terhadap penyakit yang disebabkan cacing, apalagi jika
merugikan, karena sapi yang terserang infestasi cacing akan mengalami hambatan
pertambahan berat badan (penurunan berat badan), karena cacing menyerap sebagian
zat makanan yang seharusnya untuk kebutuhan tubuh dan pertumbuhan, selain itu
merusak jaringan organ-organ vital ternak, anemia dan mengakibatkan penurunan
nafsu makan ternak. Cukup banyak jenis parasit cacing yang sering menyerang
ternak, secara garis besar terdiri dari 3 kelas cacing nematoda, trematoda (Fasciola
Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak adalah fasciolosis yang
parenkimatosa akut dan kholangitis kronis. Setelah menyerang hati, tahap selanjutnya
badan (loosing weight) juga menyebabkan anemia, diare, penurunan nafsu makan,
Fasciola sp., hingga kematian ternak. Pada infestasi cacing Fasciola gigantica pada
(anonymus, 2013).
sangat besar bagi kesehatan bagi hewan/ternak mulai dari kehilangan bobot badan
mengetahui seberapa besar tingkat infestasi cacing Fasciola pada hewan khususnya
ternak sapi. Di Kalimantan Timur belum ada data yang menyebutkan seberapa besar
cacing hati pada sapi potong di Rumah Potong Hewan (RPH) Samarinda melaporkan
bahwa prevalensi infeksi fasciolosis pada sapi bali dan madura asal Nusa Tenggara
Timur dan Nusa Tenggara Barat yang dipotong di RPH Samarinda sebesar masing-
masing 33,33% dan prevalensi fasciolosis pada sapi brahman asal Kota Palu yang
yang disebabkan oleh Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica. Species ini dapat
menular ke manusia, kurang lebih 2,5 juta manusia di dunia terinfeksi (WHO, 1995).
Fasciola hepatica berasal dari eurasia dan menyebar ke Amerika dan australia.
Fasciola gigantica umumnya terjadi di Daerah Tropis seperti Afrika dan Asia
(Kurniasih, 2007). Di Indonesia, Fasciola hepatica pertama kali di laporkan oleh van
Velzen (1891) dari kerbau, kemudian Kraneveld (1924) menemukan cacing tersebut
dari sapi (Kurniasih, 2007). Di daerah tropis, termasuk Indonesia fascioliasis paling
sering disebabkan spesies Fasciola gigantica yang menyerang ternak sapi, kerbau,
kambing dan domba dan kadang juga babi (Subronto-Ida Tjahayati, 2001)
gigantica adalah spesies yang umum dijumpai di Indonesia bukan Fasciola hepatica
sekum, organ reproduksi, ukuran telur dan daur hidup. Sampel yang diperiksa
adalahcacing dewasa dari sapi dan kerbau di Jawa, Sumatera Barat dan Utara,
Sulawesi Utara, Lombok dan Sumbawa. Kurniasih (1995) dalam Kurniasih (2007)
telah membandingkan sampel Fasciola sp. berasal dari berbagai pulau di indonesia
(Jawa, Sulawesi Selatan, Bali dan Sumatera Utara) dengan Fasciola hepatica yang
spina, cirrus, sucker, organ reproduksi dan coecum) yang diperkuat dengan
sampel tersebut adalah Fasciola gigantica dan ada tiga tipe di Indonesia.
berbentuk seperti daun dengan kutikula berduri. Fasciola gigantica secara eksklusif
berlangsung akut, subakut, atau kronis, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola,
menyerang ternak memamahbiak yaitu sapi, kerbau, kambing dan domba dan spesies
lainnya yang disebabkan oleh cacing trematoda genus Fasciola. Selain di jaringan
hati, cacing juga dapat bertumbuh dan berkembang di jaringan lain misalnya paru-
kejadiannya sangat umum dan penyebarannya sangat luas. Para peneliti melaporkan
bahwa kejadian fasciolosis pada sapi dan kerbau berkisar antara 60-90% (Soesetya,
1975). Menurut FAO (2007) prevalensi penyebaran Fasciola sp. Di beberapa negara
Pakistan 50-58%, Nigeria 60-72%, Afrika utara 43-50%, Brazil 50-61%, Mexico
74%. Menurut Tasawar (2007) prevalensi cacing Fasciola hepatica pada sapi di
menyebabkan kerugian yang sangat besar. Di daerah arid (kering) yang tidak
mendukung untuk hidupnya siput lymnea, kejadian fascioliasis (hepatik) hanya
terbatas di daerah yang ada air menggenang, atau yang lambat mengalirnya untuk
jangka waktu panjang. Spesies cacing hati di suatu daerah atau wilayah menjalani
daur hidupnya melalui spesies siput tertentu pula, meskipun tidak bersifat
intermediate host spesific. Di Indonesia, redia dan cercaria hidup dan berkembang
Taksiran kerugian ekonomi akibat cacing hati tidak kurang dari Rp. 513,6
Milyar, yaitu akibat berupa kematian, penurunan bobot hidup, kehilangan tenaga
kerja, organ hati yang terpaksa harus dibuang, penurunan produksi susu, serta biaya
Ternak sapi atau kerbau akan tertular fasciolosis akibat memakan rumput
juvenile atau cacing muda di lambung. Cacing muda tersebut migrasi dari usus
menuju hati, menembus dinding duktus biliverus dan menjadi dewasa serta banyak
dijumpai kantung empedu (Foster, 1965, Mukhlis, 1985). Pada infeksi yang berat
dapat menyebabkan sirosis hati sehingga hati menjadi keras dan berkerikil akibat
pembuluh darah yang ruptur, sel hati yang nekrosis, dan melanjut dengan proses
kalsifikasi. Radang dari duktus biliverus menyebabkan penebalan dindingnya dan
terjadinya fibrosis. Oleh karena itu sapi atau kerbau yang terinfeksi Fasciola
gigantica berat akan terlihat adanya endapan kehitaman dan keras seperti kerikil pada
sepanjang saluran empedu dan terjadi tekanan balik yang akan menyebabkan atrofi
parenkim hati dan sirosis. Pada beberapa kasus, cacing dapat menembus keluar
dinsing ductus biliverus menuju parenkim hati dan menyebabkan abses dan
Fasciolosis pada sapi, kerbau, domba dan kambing dapat berlangsung akut
maupun kronis. Kasus akut umumnya terjadi karena invasi cacing muda berlangsung
secara masif dalam waktu singkat dan merusak parenkim hati sehingga fungsi hati
cacing muda hidup dalam parenkim hati, juga dapat menghisap darah seperti cacing
dewasa dan menyebabkan anemia minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda.
(Subronto, 2007). Menurut Kurniasih (2007) bahwa fasciolosis akut lebih sering
terlihat pada domba dan kambing, terjadi akibat infeksi metaserkaria > 10.000 dalam
waktu singkat, menyebabkan migrasi larva ke hati yang hebat. Hewan akan menderita
hepatitis traumatika, kapsula hati rupture ke dalam cavum peritoneal atau peritonitis
manusia. Pada hewan tidak bersifat fatal, hanya akan menurunkan berat badan dan
terjadi saat cacing Fasciola gigantica mencapai dewasa 4-5 bulan setelah infeksi
dengan gejala anemia sehingga menyebabkan ternak lesu, lemah, nafsu makan
antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus serta kematian dapat terjadi dalam waktu
Fasciola sp. pada tinja (Boray, 1965). Diagnosa awal dengan menemukan telur
cacing dalam feses adalah tidak mungkin karena telur Fasciola sp tidak akan
ditemukan dalam feses sampai cacing hati mencapai dewasa antara 10-14 minggu
serodiagnosis. Test serologi, fast elisa adalah cara lain yang mempunyai sensitifitas
yang tinggi hingga 95% dan dapat terdeteksi lebih dini yaitu 2 minggu post infeksi
(Fagbemi & Obarisiagbon, 1990, Anonim, 2000, Kurniasih, 2007). Estuningsih dkk
adalah 87% dan spesifitas 100%, sedangkan dengan uji elisa-antibodi masing-masing
91% dan 88%. Perkembangan dan aplikasi tes kit, sandwich elisa untuk mendiagnosa
terhadap Fasciola gigantica pada sapi dengan cara mendeteksi adanya coproantigen
dapat mendeteksi infeksi dini (5-9 minggu) dan infeksi paten/lama (Estuningsih dkk,
2004)
lebih tinggi daripada uji sedimentasi. Uji serologi memiliki tingkat sensitifitas 91 %
dan spesifitas 88 %, sedangkan uji coproantigen sensifitas 95% dan spesifitas 91%,
sedimentasi juga dapat menunjukkan hasil negative palsu. Hal ini disebabkan oleh
cacing hati yang masih dalam stadium muda (immature stage) belum menghasilkan
telur sehingga saat pemeriksaan sampel feses tidak ditemukan telur cacing. Selain itu,
cacing dewasa pada periode prepaten juga tidak menghasilkan telur. Pemeriksaan
feses hanya dapat mendeteksi keberadaan cacing setelah melampaui masa prepaten
hospes intermediet cacing hati secara fisik (dengan drainase lahan pengairan), kimia
dengan CuSo4, 10-30 kg per hektar, dan biologis (dengan melepas itik agar memakan
siput), 3. Menghindarkan ternak dari kemungkinan terinfeksi cacing hati dengan cara
kali dalam sati tahun. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan dengan
tujuan mengeliminasi migrasi cacing dewasa. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir
musim kemarau dengan tujuan mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam
parenkim hati, dipilih obat cacing yang dapat membunuh cacing muda. Preparat
anthelmentika yang digunakan antara lain : nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg untuk
sapi, kerbau dan domba dengan daya bunuh sangat efektif (100%) pada infestasi
setelah 6 minggu. Namun pengobatan perlu di ulang 8-12 minggu setelah pengobatan
dengan dosis 10 mg/kg untuk domba, 10-15 mg/kg untuk sapi, mebendazol dengan
dosis 100 mg/kg efektif (94%) untuk membunuh Fasciola sp dan cacing nematoda.
(Ditjennak, 2012).
III. MATERI DAN METODE
data hasil pemeriksaan sampel feses terhadap Fasciola sp. yang dilakukan oleh
Keterangan:
F= Jumlah sampel yang diperiksa dengan hasil positif
N= Jumlah sampel yang diperiksa
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kalimantan Timur pada Tahun 2013 dan 2014, diperoleh jumlah feses yang diperiksa
terhadap Fasciola sp. pada tahun 2013 sebanyak 522 sampel dari 5 kabupaten/kota
se-Kalimantan Timur dan pada Tahun 2014 sebanyak 760 sampel dari 8
Jumlah sampel
Jumlah sampel
No Kabupaten/Kota Positif %
yang diperiksa
Fasciola sp
1 Kutai Barat 165 39 23,6
2 Bontang 167 25 14,97
3 Kutai Kartanegara 45 16 35,55
4 PPU 22 6 27,2
5 Balikpapan 123 3 2,43
Jumlah 522 89 17
Jumlah sampel
Jumlah sampel
No Kabupaten/Kota Positif %
yang diperiksa
Fasciola sp
1 Bontang 63 10 15,87
2 Kutai Kartanegara 110 9 8,18
3 PPU 133 36 27
4 Balikpapan 131 22 16,79
5 Berau 82 22 26,8
6 Samarinda 87 15 17,24
7 Kutai Timur 28 4 14,28
8 Paser 126 18 14,28
Jumlah 760 136 17,89
Dari data di atas, maka perhitungan prevalensi infestasi Fasciola sp. dapat
Fasciolosis di RPH Samarinda yang dilaporkan Jusmadi dan Yuliwan ( 2009) yang
Kalimantan Timur karena data diambil diperoleh dari sampel feses ternak yang
Kutai Kartanegara 35,55 % dan pada tahun 2014 prevalensi tertinggi ditemukan di
kerugian ekonomi yang cukup tinggi. (Ditjennak, 2012). Taksiran kerugian ekonomi
akibat cacing hati tidak kurang dari Rp. 513,6 Milyar, yaitu akibat berupa kematian,
penurunan bobot hidup, kehilangan tenaga kerja, organ hati yang terpaksa harus
Peternakan, 1991).
Fasciola sp. pada tinja (Boray, 1985). Diagnosa awal dengan menemukan telur
cacing dalam feses adalah tidak mungkin karena telur Fasciola sp tidak akan
ditemukan dalam feses sampai cacing hati mencapai dewasa antara 10-14 minggu
Upaya pencegahan penularan cacing Fasciola sp. telah dilakukan oleh para
penelitian untuk mendapatkan vaksin terhadap Fasciola sp. Usaha vaksinasi telah
dilakukan di Australia, namun hasil yang memuaskan masih belum diperoleh dan
terus dilakukan penelitian di lapangan. Salah satu hasil vaksinasi dengan Fasciola
gigantica pada sapi dan kambing di Indonesia menyebabkan cacing menjadi kerdil
dan alat reproduksi cacing tidak dapat berkembang secara sempurna (Kurniasih dkk,
1996).
ternak ruminansia adalah memutus daur hidup cacing. Secara umum, strategi
perbedaan yang signifikan antara infeksi Fasciola sp. pada musim basah dan musim
kering, namun persentase kasus positif cenderung lebih tinggi pada musim basah.
mencapai puncak dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi. Untuk itu
mati.
tanah.
biologis).
tingkat infestasi Fasciola sp, dengan melakukan pemeriksaan sampel feses dengan
mendapat perhatian serius bukan saja oleh Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan
Timur tetapi juga Dinas peternakan dan Kesehatan Hewan/Yang membidangi fungsi
mengeliminasi kerugian yang pasti timbul akibat Fasciolosis dan dalam rangka
Nitroxinil digunakan dengan dosis 10 mg/kg untuk sapi, kerbau dan domba dengan
daya bunuh sangat efektif (100%) pada infestasi setelah 6 minggu dan di ulang 8-12
mg/kg untuk sapi dan 10 mg/kg untuk domba, efektif untuk mengobati cacing
trematoda dan nematoda, mebendazol dengan dosis 100 mg/kg efektif (94%) untuk
digunakan pada sapi dengan dosis 10-15 mg/kg dan diulang 3 bulan setelah treatmen
pertama, akan tetapi albendazol hanya efektif terhadap cacing hati dewasa dan tidak
efektif terhadap metaserkaria dan cacing Fasciola sp. yang belum dewasa (Plumb,
1999).
BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN
infestasi Fasciola sp., dengan melakukan pemeriksaan sampel feses dengan metode
sedimentasi atau menggunakan uji serologi dan coproantigen dan pencegahan serta
berkesinambungan.
BAB.VI. DAFTAR PUSTAKA
Armour, J., Urquhart, G.M., Duncan, J.L., 1997, Life Cycle of Fasciola hepatica, Vet.
Paracitology 2nd ed. New York.
Boray, J.C., 1985, Flukes of domestic animal, Parasites, Pests, and Predator, Elseiver,
New York.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2012, Manual penyakit hewan
mamalia, Subdit pengamatan penyakit hewan, Direktorat Kesehatan Hewan,
Jakarta
Estuningsih, E., Widjayanti, S., Adiwinata, G., 2004, Perbandingan antara uji Elisa-
Antibodi dan pemeriksaan telur cacing untuk mendeteksi infeksi Fasciola
gigantica pada sapi, Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Vol.9.
Estuningsih, E., Widjayanti, S., Adiwinata, G., Piedrafita, D., 2004, Detection of
coproantigen by sandwich ELISA in sheep experimentally infected with
Fasciola gigantica. Tropical Biomedicine Supplement.
Fragbeni, B.O. dan Obarisiagbon, I.O., 1990, Comparative evaluation of the enzyme-
linked immunosorbent assay (elisa) in the diagnosis of natural Fasciola
gigantic infection in cattle. The Veterinary Quarterly.
Jusmadi, dan Yuliwan, S., 2009, Prevalensi infeksi cacing hati (Fasciola sp.) pada
sapi potong, di Rumah Pemotongan Hewan Samarinda, Jurusan Biologi,
F.MIPA, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.
Kurniasih, Peter, T.W. Spithil, 1996, Field trials of vaccination to Fasciola gigantica
infection in Indonesian. Prooceding of international symposium of Australia
Society for Parasitology. Denpasar, Bali.
Mukhlis, A., 1985, Identifikasi cacing hati (Fasciola sp.) dan daur hidupnya di
Indonesia, Thesis, Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Indonesia.
Plumb, D.C., 1999, Veterinary Drug Handbook, IOWA state University Press.
Sayuti, L., 2007, Kejadian infeksi cacing hati (Fasciola sp.) pada sapi bali di
Kabupaten Karang asam Bali (skripsi), FKH, IPB.
Subronto, 2007, Ilmu penyakit ternak II (revisi), Yogyakarta Gadjah Mada Press,
Cetakan ke-3.
Tasawar, Z., Minir, U. Hayat, C., S. M. H. Lashari, 2007, The Prevalence of Fasciola
hepatica in Goats Around Multan, Institute of Pure and Applied Biology,
Multan Iran, Zakariyat University.