Anda di halaman 1dari 17

PREVALENSI INFESTASI FASCIOLA sp.

PADA SAPI
DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Oleh: drh. Heru dan drh. Yulis Tanty

I. PENDAHULUAN

Ternak sapi potong merupakan salah satu sumber penghasil daging yang

memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat.

Seeekor sapi atau kelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam

kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan berupa daging, disamping hasil ikutan

lainnya seperti pupuk kandang, kulit dan tulang. Daging sangat besar manfaatnya

bagi pemenuhan gizi berupa protein hewani (Sugeng, 2008).

Program Dua juta ekor sapi yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi

Kalimantan Timur merupakan upaya mendukung Program Swasembada Daging

minimal Swasembada daging bagi Kalimantan Timur sendiri. Salah satu faktor yang

mendukung keberhasilan Program tersebut adalah status kesehatan ternak yang

optimal, salah satunya terhadap infestasi parasit cacing. Kalimantan Timur dengan

populasi sapi sekitar 101.958 ekor, sebagian besar adalah sapi bali.

Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang mempunyai

keunggulan, antara lain memiliki adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk

seperti di daerah bersuhu tinggi dan mutu pakan yang rendah. Disamping itu tingkat

fertilitas sapi bali cukup tinggi dibandingkan dengan jenis sapi lain, yaitu mencapai

83%. Selain memilki keunggulan, sapi bali juga memilki beberapa kelemahan antara

lain amat peka terhadap beberapa jenis penyakit yang tidak dijumpai pada ternak lain.

Sapi bali diketahui rentan terhadap penyakit yang disebabkan cacing, apalagi jika

dipelihara secara ekstensif dan semi intensif (Guntoro, 2002).

Penyakit parasit cacing merupakan penyakit yang secara ekonomis

merugikan, karena sapi yang terserang infestasi cacing akan mengalami hambatan

pertambahan berat badan (penurunan berat badan), karena cacing menyerap sebagian

zat makanan yang seharusnya untuk kebutuhan tubuh dan pertumbuhan, selain itu
merusak jaringan organ-organ vital ternak, anemia dan mengakibatkan penurunan

nafsu makan ternak. Cukup banyak jenis parasit cacing yang sering menyerang

ternak, secara garis besar terdiri dari 3 kelas cacing nematoda, trematoda (Fasciola

sp, pharamphistomum sp) dan cestoda. (Anonymus, 2013)

Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak adalah fasciolosis yang

disebabkan oleh cacing hati. Fasciolosis mengakibatkan suatu penyakit

parenkimatosa akut dan kholangitis kronis. Setelah menyerang hati, tahap selanjutnya

cacing ini dapat mengakibatkan gangguan metabolisme lemak, protein dan

karbohidrat, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan, menurunkan bobot hidup,

anemia dan dapat menyebabkan kematian ternak (anonymus 2011)

Secara umum infestasi cacing selain mengakibatkan kehilangan bobot

badan (loosing weight) juga menyebabkan anemia, diare, penurunan nafsu makan,

kekurusan (kakexia), pengerasan hati (chirrosis hepatis) pada infestasi cacing

Fasciola sp., hingga kematian ternak. Pada infestasi cacing Fasciola gigantica pada

sapi potong dapat mengakibatkan kehilangan bobot badan sebesar 10,34 %.

(anonymus, 2013).

Fasciolosis merupakan infestasi parasit cacing yang membawa implikasi

sangat besar bagi kesehatan bagi hewan/ternak mulai dari kehilangan bobot badan

hingga kematian. Di beberapa daerah di Indonesia telah dilakukan penelitian untuk

mengetahui seberapa besar tingkat infestasi cacing Fasciola pada hewan khususnya

ternak sapi. Di Kalimantan Timur belum ada data yang menyebutkan seberapa besar

tingkat infestasi fasciolosis.

Jusmadi dan Yuliwan ( 2009) melakukan penelitian prevalensi infeksi

cacing hati pada sapi potong di Rumah Potong Hewan (RPH) Samarinda melaporkan

bahwa prevalensi infeksi fasciolosis pada sapi bali dan madura asal Nusa Tenggara

Timur dan Nusa Tenggara Barat yang dipotong di RPH Samarinda sebesar masing-

masing 33,33% dan prevalensi fasciolosis pada sapi brahman asal Kota Palu yang

dipotong di RPH Samarinda sebesar 66,67% serta menyimpulkan bahwa tingkat

prevalensi Fasciola hepatica di RPH Samarinda sebesar 44,44%.


II. TINJAUAN PUSTAKA

II.a. Fasciolosis di Indonesia

Fasciolosis adalah penyakit yang umumnya dijumpai pada ternak herbivora

yang disebabkan oleh Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica. Species ini dapat

menular ke manusia, kurang lebih 2,5 juta manusia di dunia terinfeksi (WHO, 1995).

Fasciola hepatica berasal dari eurasia dan menyebar ke Amerika dan australia.

Fasciola gigantica umumnya terjadi di Daerah Tropis seperti Afrika dan Asia

(Kurniasih, 2007). Di Indonesia, Fasciola hepatica pertama kali di laporkan oleh van

Velzen (1891) dari kerbau, kemudian Kraneveld (1924) menemukan cacing tersebut

dari sapi (Kurniasih, 2007). Di daerah tropis, termasuk Indonesia fascioliasis paling

sering disebabkan spesies Fasciola gigantica yang menyerang ternak sapi, kerbau,

kambing dan domba dan kadang juga babi (Subronto-Ida Tjahayati, 2001)

Dalam Disertasinya, Mukhlis (1985) menyatakan bahwa Fasciola

gigantica adalah spesies yang umum dijumpai di Indonesia bukan Fasciola hepatica

berdasarkan identifikasi morfologi meliputi bentuk tubuh, rangkaian spina, cabang

sekum, organ reproduksi, ukuran telur dan daur hidup. Sampel yang diperiksa

adalahcacing dewasa dari sapi dan kerbau di Jawa, Sumatera Barat dan Utara,

Sulawesi Utara, Lombok dan Sumbawa. Kurniasih (1995) dalam Kurniasih (2007)

telah membandingkan sampel Fasciola sp. berasal dari berbagai pulau di indonesia

(Jawa, Sulawesi Selatan, Bali dan Sumatera Utara) dengan Fasciola hepatica yang

berasal dari sapi di Australia (Queensland) berdasarkan morfologi (bentuk tubuh,

spina, cirrus, sucker, organ reproduksi dan coecum) yang diperkuat dengan

pemeriksaan molekuler. Berdasar hasil pemeriksaannya secara morfologi dari semua

sampel tersebut adalah Fasciola gigantica dan ada tiga tipe di Indonesia.

Fasciolosis disebabkan oleh cacing hermaprodit yang cukup besar,

berbentuk seperti daun dengan kutikula berduri. Fasciola gigantica secara eksklusif

terdapat di daerah tropis berukuran 25-27 x 3 – 12 mm. (Ditjennakkeswan, 2012)


Gb.1. Perbedaan morfologi Fasciola sp.

Fascioliasis atau penyakit cacing hati merupakan penyakit yang

berlangsung akut, subakut, atau kronis, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola,

Fascioloides dan Dicrocoelium. Pada umumnya istilah fascioliasis digunakan untuk

menggambarkan atau untuk menentukan diagnosis penyakit cacingan yang

menyerang ternak memamahbiak yaitu sapi, kerbau, kambing dan domba dan spesies

lainnya yang disebabkan oleh cacing trematoda genus Fasciola. Selain di jaringan

hati, cacing juga dapat bertumbuh dan berkembang di jaringan lain misalnya paru-

paru, otak dan limpa (Subronto-Ida Thayati, 2001)

Kejadian fasciolosis di Indonesia, khususnya pada sapi dan kerbau

kejadiannya sangat umum dan penyebarannya sangat luas. Para peneliti melaporkan

bahwa kejadian fasciolosis pada sapi dan kerbau berkisar antara 60-90% (Soesetya,

1975). Menurut FAO (2007) prevalensi penyebaran Fasciola sp. Di beberapa negara

sebagai berikut: Indonesia mencapai 14-28 %, Philipina 18-59 %, Thailand 75%,

Pakistan 50-58%, Nigeria 60-72%, Afrika utara 43-50%, Brazil 50-61%, Mexico

74%. Menurut Tasawar (2007) prevalensi cacing Fasciola hepatica pada sapi di

Negara Australia 52,2%. Sementara infeksi Fasciola di Indonesia dilaporkan di

Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 40-90% (estuningsih,dkk, 2004), di

Karangasem bali mencapai 18,29% (Sayuti, 2007).

Di Indonesia kejadian fascioliasis pada sapi, kerbau, kambing dan domba

menyebabkan kerugian yang sangat besar. Di daerah arid (kering) yang tidak
mendukung untuk hidupnya siput lymnea, kejadian fascioliasis (hepatik) hanya

terbatas di daerah yang ada air menggenang, atau yang lambat mengalirnya untuk

jangka waktu panjang. Spesies cacing hati di suatu daerah atau wilayah menjalani

daur hidupnya melalui spesies siput tertentu pula, meskipun tidak bersifat

intermediate host spesific. Di Indonesia, redia dan cercaria hidup dan berkembang

pada siput Lymnea rubiginosa. (Subronto-Ida Tjahayati, 2001)

Taksiran kerugian ekonomi akibat cacing hati tidak kurang dari Rp. 513,6

Milyar, yaitu akibat berupa kematian, penurunan bobot hidup, kehilangan tenaga

kerja, organ hati yang terpaksa harus dibuang, penurunan produksi susu, serta biaya

pengobatan (Ditjennakkeswan, 2012)

Ternak sapi atau kerbau akan tertular fasciolosis akibat memakan rumput

yang mengandung metaserkaria. Hewan herbivore yang memakan rumput

mengandung metaserkaria akan memecahkan dindingnya dan tumbuh menjadi

juvenile atau cacing muda di lambung. Cacing muda tersebut migrasi dari usus

menuju hati, menembus dinding duktus biliverus dan menjadi dewasa serta banyak

dijumpai kantung empedu (Foster, 1965, Mukhlis, 1985). Pada infeksi yang berat

dapat menyebabkan sirosis hati sehingga hati menjadi keras dan berkerikil akibat

proses kalsifikasi pada saat di sayat (Kurniasih, 2007).

Gb.2. Siklus hidup Fasciola sp.

Cacing dewasa senang tinggal di saluran empedu, sehingga banyak

pembuluh darah yang ruptur, sel hati yang nekrosis, dan melanjut dengan proses
kalsifikasi. Radang dari duktus biliverus menyebabkan penebalan dindingnya dan

fibrosis (menyerupai bentuk percabangan berwarna putih di hati). Cacing dewasa

membebaskan proline yang menstimuli produk kolagen yang merupakan komponen

terjadinya fibrosis. Oleh karena itu sapi atau kerbau yang terinfeksi Fasciola

gigantica berat akan terlihat adanya endapan kehitaman dan keras seperti kerikil pada

sepanjang saluran empedu dan terjadi tekanan balik yang akan menyebabkan atrofi

parenkim hati dan sirosis. Pada beberapa kasus, cacing dapat menembus keluar

dinsing ductus biliverus menuju parenkim hati dan menyebabkan abses dan

peritonitis (Kurniasih, 2007).

Gb. 3. Hati sapi yang terinfeksi Fasciola sp.

Fasciolosis pada sapi, kerbau, domba dan kambing dapat berlangsung akut

maupun kronis. Kasus akut umumnya terjadi karena invasi cacing muda berlangsung

secara masif dalam waktu singkat dan merusak parenkim hati sehingga fungsi hati

sangat terganggu serta menimbulkan perdarahan pada rongga peritoneum. Meskipun

cacing muda hidup dalam parenkim hati, juga dapat menghisap darah seperti cacing

dewasa dan menyebabkan anemia minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda.

Diperkirakan 10 ekor cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah 2 ml/hari.

(Subronto, 2007). Menurut Kurniasih (2007) bahwa fasciolosis akut lebih sering

terlihat pada domba dan kambing, terjadi akibat infeksi metaserkaria > 10.000 dalam

waktu singkat, menyebabkan migrasi larva ke hati yang hebat. Hewan akan menderita

hepatitis traumatika, kapsula hati rupture ke dalam cavum peritoneal atau peritonitis

dan dapat menyebabkan kematian.


Fasciolosis kronis sering terlihat pada hospes definitive lainnya termasuk

manusia. Pada hewan tidak bersifat fatal, hanya akan menurunkan berat badan dan

kerugian ekonomi (Anonimus, 1998.a dalam Kurniasih, 2007). Fasciolosis kronis

terjadi saat cacing Fasciola gigantica mencapai dewasa 4-5 bulan setelah infeksi

dengan gejala anemia sehingga menyebabkan ternak lesu, lemah, nafsu makan

menurun, cepat mengalami kelelahan, membrane mukosa pucat, diare, oedema di

antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus serta kematian dapat terjadi dalam waktu

1-3 bulan (Subronto, 2007, Ditjennak, 2012).

II.b. Diagnosa Fasciolosis

Diagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan telur cacing

Fasciola sp. pada tinja (Boray, 1965). Diagnosa awal dengan menemukan telur

cacing dalam feses adalah tidak mungkin karena telur Fasciola sp tidak akan

ditemukan dalam feses sampai cacing hati mencapai dewasa antara 10-14 minggu

sesudah infeksi (armour et al, 1977)

Gb. 4. Telur cacing Fasciola sp.

Pendekatan diagnose alternative untuk diagnosis Fasciolosis adalah dengan

serodiagnosis. Test serologi, fast elisa adalah cara lain yang mempunyai sensitifitas

yang tinggi hingga 95% dan dapat terdeteksi lebih dini yaitu 2 minggu post infeksi

(Fagbemi & Obarisiagbon, 1990, Anonim, 2000, Kurniasih, 2007). Estuningsih dkk

(2004.a) menunjukkan bahwa sensitifitas dari metode pemeriksaan telur cacing

adalah 87% dan spesifitas 100%, sedangkan dengan uji elisa-antibodi masing-masing

91% dan 88%. Perkembangan dan aplikasi tes kit, sandwich elisa untuk mendiagnosa
terhadap Fasciola gigantica pada sapi dengan cara mendeteksi adanya coproantigen

dapat mendeteksi infeksi dini (5-9 minggu) dan infeksi paten/lama (Estuningsih dkk,

2004)

Diagnosa menggunakan uji serologi dan coproantigen memiliki sensifitas

lebih tinggi daripada uji sedimentasi. Uji serologi memiliki tingkat sensitifitas 91 %

dan spesifitas 88 %, sedangkan uji coproantigen sensifitas 95% dan spesifitas 91%,

menurut Estuningsih, dkk (2004.a). Pemeriksaan sampel feses menggunakan metode

sedimentasi juga dapat menunjukkan hasil negative palsu. Hal ini disebabkan oleh

cacing hati yang masih dalam stadium muda (immature stage) belum menghasilkan

telur sehingga saat pemeriksaan sampel feses tidak ditemukan telur cacing. Selain itu,

cacing dewasa pada periode prepaten juga tidak menghasilkan telur. Pemeriksaan

feses hanya dapat mendeteksi keberadaan cacing setelah melampaui masa prepaten

pada saat cacing dewasa mulai menghasilkan telur.

II.c. Pengendalian Fasciolosis

Pengendalian Fasciolosis di Indonesia dilakukan dengan cara 1.

memberantas parasit di dalam tubuh ternak melalui pengobatan, 2. memberantas siput

hospes intermediet cacing hati secara fisik (dengan drainase lahan pengairan), kimia

dengan CuSo4, 10-30 kg per hektar, dan biologis (dengan melepas itik agar memakan

siput), 3. Menghindarkan ternak dari kemungkinan terinfeksi cacing hati dengan cara

menghindari penggembalaan ternak di tempat yang tergenang, tidak menyabit rumput

yang pernah tergenang (Kurniasih, 2007).

Pengobatan Fasciolosis dilakukan secara periodik dan diberikan minimal 2

kali dalam sati tahun. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan dengan

tujuan mengeliminasi migrasi cacing dewasa. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir

musim kemarau dengan tujuan mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam

parenkim hati, dipilih obat cacing yang dapat membunuh cacing muda. Preparat

anthelmentika yang digunakan antara lain : nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg untuk

sapi, kerbau dan domba dengan daya bunuh sangat efektif (100%) pada infestasi
setelah 6 minggu. Namun pengobatan perlu di ulang 8-12 minggu setelah pengobatan

pertama., rafoxanide, efektif untuk mengobati cacing trematoda dan nematoda

dengan dosis 10 mg/kg untuk domba, 10-15 mg/kg untuk sapi, mebendazol dengan

dosis 100 mg/kg efektif (94%) untuk membunuh Fasciola sp dan cacing nematoda.

(Ditjennak, 2012).
III. MATERI DAN METODE

Data dalam penyusunan Karya tulis ini diperoleh dengan mengumpulkan

data hasil pemeriksaan sampel feses terhadap Fasciola sp. yang dilakukan oleh

UPTD Laboratorium Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan

Balai Veteriner Banjarbaru yang dilaporkan ke Dinas Peternakan Provinsi

Kalimantan Timur sepanjang Tahun 2013 dan 2014. Penghitungan prevalensi

dihitung menggunakan rumus :

Prevalensi = F/N x 100%

Keterangan:
F= Jumlah sampel yang diperiksa dengan hasil positif
N= Jumlah sampel yang diperiksa
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan pengumpulan dan penyusunan data hasil pemeriksaan

sampel terhadap cacing Fasciola sp yang dilaporkan ke Dinas Peternakan Provinsi

Kalimantan Timur pada Tahun 2013 dan 2014, diperoleh jumlah feses yang diperiksa

terhadap Fasciola sp. pada tahun 2013 sebanyak 522 sampel dari 5 kabupaten/kota

se-Kalimantan Timur dan pada Tahun 2014 sebanyak 760 sampel dari 8

kabupaten/kota dari 10 kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Timur. Data yang

diperoleh dapat dilihat pada tabel.1 dan 2.

Tabel.1. Data hasil pemeriksaan feses terhadap Fasciola sp.Tahun 2013

Jumlah sampel
Jumlah sampel
No Kabupaten/Kota Positif %
yang diperiksa
Fasciola sp
1 Kutai Barat 165 39 23,6
2 Bontang 167 25 14,97
3 Kutai Kartanegara 45 16 35,55
4 PPU 22 6 27,2
5 Balikpapan 123 3 2,43
Jumlah 522 89 17

Tabel.2. Data hasil pemeriksaan feses terhadap Fasciola sp Tahun 2014

Jumlah sampel
Jumlah sampel
No Kabupaten/Kota Positif %
yang diperiksa
Fasciola sp
1 Bontang 63 10 15,87
2 Kutai Kartanegara 110 9 8,18
3 PPU 133 36 27
4 Balikpapan 131 22 16,79
5 Berau 82 22 26,8
6 Samarinda 87 15 17,24
7 Kutai Timur 28 4 14,28
8 Paser 126 18 14,28
Jumlah 760 136 17,89

Dari data di atas, maka perhitungan prevalensi infestasi Fasciola sp. dapat

dihitung menggunakan rumus berikut (Budiharta, 2002) : Prevalensi = F/N x 100%.

Prevalensi Fasciolosis tahun 2013 adalah 89/522 x 100% = 17 % dan

prevalensi Fasciolosis tahun 2014 adalah 136/760 x 100% = 17,89 %.


Prevalensi yang diperoleh lebih rendah daripada prevalensi infeksi

Fasciolosis di RPH Samarinda yang dilaporkan Jusmadi dan Yuliwan ( 2009) yang

menyimpulkan bahwa bahwa tingkat prevalensi Fasciola hepatica di RPH Samarinda

sebesar 44,44%, tetapi prevalensi yang dilaporkan di RPH Samarinda tidak

mencerminkan situasi Fasciolosis di Kalimantan Timur karena sapi-sapi yang

dipotong di RPH Samarinda dan diambil sampelnya sebagian besar/seluruhnya

berasal dari luar Kalimantan Timur.

Meskipun data sampel yang digunakan penulis untuk menghitung

prevalensi Fasciolosis di Kalimantan Timur kurang/belum representative akan tetapi

dipandang dapat menggambarkan situasi Fasciolosisi/infestasi Fasciola sp. di

Kalimantan Timur karena data diambil diperoleh dari sampel feses ternak yang

dipelihara oleh masyarakat.

Dari data tahun 2013, prevalensi Fasciolosis tertinggi terjadi Kabupaten

Kutai Kartanegara 35,55 % dan pada tahun 2014 prevalensi tertinggi ditemukan di

Kabupaten Berau 26,8 %.

Fasciolosis di Indonesia merupakan penyakit yang penting dengan

kerugian ekonomi yang cukup tinggi. (Ditjennak, 2012). Taksiran kerugian ekonomi

akibat cacing hati tidak kurang dari Rp. 513,6 Milyar, yaitu akibat berupa kematian,

penurunan bobot hidup, kehilangan tenaga kerja, organ hati yang terpaksa harus

dibuang, penurunan produksi susu, serta biaya pengobatan (Direktorat Jenderal

Peternakan, 1991).

Diagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan telur cacing

Fasciola sp. pada tinja (Boray, 1985). Diagnosa awal dengan menemukan telur

cacing dalam feses adalah tidak mungkin karena telur Fasciola sp tidak akan

ditemukan dalam feses sampai cacing hati mencapai dewasa antara 10-14 minggu

sesudah infeksi (armour et al, 1997)

Upaya pencegahan penularan cacing Fasciola sp. telah dilakukan oleh para

peneliti untuk menemukan mengendalikan Fasciola sp, salah satunya dengan

penelitian untuk mendapatkan vaksin terhadap Fasciola sp. Usaha vaksinasi telah
dilakukan di Australia, namun hasil yang memuaskan masih belum diperoleh dan

terus dilakukan penelitian di lapangan. Salah satu hasil vaksinasi dengan Fasciola

gigantica pada sapi dan kambing di Indonesia menyebabkan cacing menjadi kerdil

dan alat reproduksi cacing tidak dapat berkembang secara sempurna (Kurniasih dkk,

1996).

Menurut Martindah, dkk (2005), prinsip pengendalian Fasciolosis pada

ternak ruminansia adalah memutus daur hidup cacing. Secara umum, strategi

pengendalian Fasciolosis didasarkan pada musim (penghujan/basah dan

kemarau/kering). Walaupun menurut Ari, dkk (2011) tidak mengemukakan adanya

perbedaan yang signifikan antara infeksi Fasciola sp. pada musim basah dan musim

kering, namun persentase kasus positif cenderung lebih tinggi pada musim basah.

Martindah dkk (2005), menyatakan pada musim penghujan, populasi siput

mencapai puncak dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi. Untuk itu

diperlukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap infeksi dan atau menekan

serendah mungkin terjadinya pencemaran lingkungan, antara lain dengan cara :

a Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk tanaman padi apabila

sudah dikomposkan terlebih dahulu sehingga telur Fasciola sp. sudah

mati.

b Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan

pemotongan sedikit di atas tinggi galengan atau 1-1,5 jengkal dari

tanah.

c Jerami dijemur selama 2-3 hari berturut-turut dibawah sinar matahari

dan dibolak-balik selama penjemuran sebelum diberikan untuk pakan.

d Penyisiran jerami agar daun padi yang kering terlepas untuk

mengurangi pencemaran metaserkaria.

e Tidak melakukan penggembalaan ternak di daerah berair atau yang

tercemar oleh metaserkaria cacing hati, misalnya di sawah sekitar

kandang ternak atau dekat pemukiman.


f Mengandangkan sapi dan itik secara bersebelahan sehingga

kotorannya tercampur saat kandang dibersihkan (pengendalian secara

biologis).

Mengingat kerugian ekonomi yang cukup tinggi akibat infestasi

Fasciolosis, tindakan surveilans dan pencegahan serta pengobatan terhadap

Fasciolosis di Kalimantan Timur harus dilakukan secara berkesinambungan.

Surveillans dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penyebaran dan

tingkat infestasi Fasciola sp, dengan melakukan pemeriksaan sampel feses dengan

metode sedimentasi atau menggunakan uji serologi dan coproantigen.

Mengingat prevalensi fasciolosis di Kalimantan Timur cukup tinggi,

program pencegahan, pengendalian dan pemberantasan terhadap Fasciolosis harus

mendapat perhatian serius bukan saja oleh Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan

Timur tetapi juga Dinas peternakan dan Kesehatan Hewan/Yang membidangi fungsi

Peternakan dan Kesehatan Hewan kabupaten/kota se-Kalimantan Timur untuk

mengeliminasi kerugian yang pasti timbul akibat Fasciolosis dan dalam rangka

mendukung Program Dua Juta Ekor Sapi.

Pengobatan terhadap Fasciolosis dapat dilakukan dengan preparat

anthelmentik, antara lain nitroxinil, rafoxanide, mebendazol atau albendazol.

Nitroxinil digunakan dengan dosis 10 mg/kg untuk sapi, kerbau dan domba dengan

daya bunuh sangat efektif (100%) pada infestasi setelah 6 minggu dan di ulang 8-12

minggu setelah pengobatan pertama., rafoxanide digunakan dengan dosis 10-15

mg/kg untuk sapi dan 10 mg/kg untuk domba, efektif untuk mengobati cacing

trematoda dan nematoda, mebendazol dengan dosis 100 mg/kg efektif (94%) untuk

membunuh Fasciola sp dan cacing nematoda (Ditjennak, 2012). Albendazol

digunakan pada sapi dengan dosis 10-15 mg/kg dan diulang 3 bulan setelah treatmen

pertama, akan tetapi albendazol hanya efektif terhadap cacing hati dewasa dan tidak

efektif terhadap metaserkaria dan cacing Fasciola sp. yang belum dewasa (Plumb,

1999).
BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penghitungan prevalensi, diperoleh bahwa prevalensi

Fasciolosis di Kalimantan Timur Tahun 2013 sebesar 17 %. Sementara itu prevalensi

Fasciolosis di Kalimantan Timur Tahun 2014 sebesar 17,89 %.

Mengingat kerugian ekonomi yang cukup tinggi akibat infestasi

Fasciolosis, surveilans untuk mengetahui seberapa besar penyebaran dan tingkat

infestasi Fasciola sp., dengan melakukan pemeriksaan sampel feses dengan metode

sedimentasi atau menggunakan uji serologi dan coproantigen dan pencegahan serta

pengobatan terhadap Fasciolosis di Kalimantan Timur harus dilakukan secara

berkesinambungan.
BAB.VI. DAFTAR PUSTAKA

Armour, J., Urquhart, G.M., Duncan, J.L., 1997, Life Cycle of Fasciola hepatica, Vet.
Paracitology 2nd ed. New York.

Boray, J.C., 1985, Flukes of domestic animal, Parasites, Pests, and Predator, Elseiver,
New York.

Budiharta, S., 2002, Kapita selekta epidemiologi veteriner, Bagian Kesehatan


Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2012, Manual penyakit hewan
mamalia, Subdit pengamatan penyakit hewan, Direktorat Kesehatan Hewan,
Jakarta

Estuningsih, E., Widjayanti, S., Adiwinata, G., 2004, Perbandingan antara uji Elisa-
Antibodi dan pemeriksaan telur cacing untuk mendeteksi infeksi Fasciola
gigantica pada sapi, Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Vol.9.

Estuningsih, E., Widjayanti, S., Adiwinata, G., Piedrafita, D., 2004, Detection of
coproantigen by sandwich ELISA in sheep experimentally infected with
Fasciola gigantica. Tropical Biomedicine Supplement.

Fragbeni, B.O. dan Obarisiagbon, I.O., 1990, Comparative evaluation of the enzyme-
linked immunosorbent assay (elisa) in the diagnosis of natural Fasciola
gigantic infection in cattle. The Veterinary Quarterly.

Foster, W.D., 1965, A. history of parasitology, E & S Livingstone Ltd London

Guntoro, 2002, Membudidayakan sapi bali, Kanisius, Yogyakarta.

Jusmadi, dan Yuliwan, S., 2009, Prevalensi infeksi cacing hati (Fasciola sp.) pada
sapi potong, di Rumah Pemotongan Hewan Samarinda, Jurusan Biologi,
F.MIPA, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.

Kurniasih, Peter, T.W. Spithil, 1996, Field trials of vaccination to Fasciola gigantica
infection in Indonesian. Prooceding of international symposium of Australia
Society for Parasitology. Denpasar, Bali.

Kurniasih, 2007, Perkembangan fasciolosis dan pencegahannya di Indonesia, Pidato


pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Martindah, E., Widjayanti, Estuningsih, E., Suhardono, 2005, Meningkatkan kesdaran
dan kepeulian masyarakat terhadap Fasciolosis sebagai penyakit infeksius,
Wartazoa, Vol.15.

Mukhlis, A., 1985, Identifikasi cacing hati (Fasciola sp.) dan daur hidupnya di
Indonesia, Thesis, Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Indonesia.

Plumb, D.C., 1999, Veterinary Drug Handbook, IOWA state University Press.

Sayuti, L., 2007, Kejadian infeksi cacing hati (Fasciola sp.) pada sapi bali di
Kabupaten Karang asam Bali (skripsi), FKH, IPB.

Subronto, 2007, Ilmu penyakit ternak II (revisi), Yogyakarta Gadjah Mada Press,
Cetakan ke-3.

Sugeng YB. 2008. Sapi Potong. Semarang: Penebar Swadaya.

Tasawar, Z., Minir, U. Hayat, C., S. M. H. Lashari, 2007, The Prevalence of Fasciola
hepatica in Goats Around Multan, Institute of Pure and Applied Biology,
Multan Iran, Zakariyat University.

Anda mungkin juga menyukai