Anda di halaman 1dari 21

BABI PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian Jenis kuda yang ada sekarang ini adalah hasil dari proses evolusi semenjak kira-kira 58.000.000 tahun yang lalu. Pada awalnya kuda merupakan hewan buruan, kemudian mengalami domestikasi sekitar 5.000 tahun yang lalu. Parakkasi (2006) menyebutkan, ada lima macam hubungan yang penting antara manusia dan kuda yaitu daging kuda sebagai bahan makanan, kuda untuk berperang, kuda untuk olahraga, kuda untuk keperluan pertanian dan kuda sebagai alat pengangkutan. Keberadaan kuda untuk olahraga pacuan kuda dalam beberapa tahun tcrakhir telah mcningkatkan minat masyarakat untuk memelihara kuda pacu. Seiring dengan banyaknya even pacuan kuda, maka banyak pula masyarakat dari segala lapisan yang memiliki dan memelihara kuda pacu. Namun pemeliharaan kuda pacu saat ini masih belum diimbangi dengan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pencegahan berbagai jenis penyakit Pada kuda. Salah satu diantara penyakit kuda pacu yang dianggap cukup merugikan adalah pcnyakit parasit, khususnya yang disebabkan oleh cacing. Penyakit cacing MI seringkali tidak diperhatikan oleh para pemilik kuda karena pada umumnya pcnyakit cacing kurang memberikan gejala yang jelas. Kusumamiharja (1998) menyatakan penyakit yang ditimbulkan oleh cacing penyebarannya paling luas dibandingkan penyakit yang

ditimbulkan oleh organisme lain. Penyakit cacing pada kuda merupakan masalah yang serius dan memerlukan biaya perawatan yang yang besar setiap tahunnya. Koswara (1989) mengemukakan bahwa akibat dari penyakit parasit pada umumnya tidak dirasakan secara langsung, misalnya kematian kuda. Namun penyakit parasit yang kurang diperhatikan

penanganannya dalam kurun waktu yang lama dapat menyebabkan kerugian besar. Menurut Subronto (2007), infeksi cacing Stronpylus equinus pada kuda dan spesies lain dari Equidae, terutama oleh S. vulgaris, merupakan kejadian yang sangat sering dalam praktek di hampir semua bagian di dunia. Strongylosis dapat menyebabkan kolik aneurismata bila infeksinya berat. Infeksi dapat juga diperberat oleh cacing sejenis dari genus Strongylus yaitu Triodonthoporus dan Trichcinema, yang akan mengakibatkan kekurusan dan anemia. lnfeksi cacing Anoplocephala perfoliatcr pada usus halus juga dapat menyebabkan diare, penurunan berat badan dan kolik sporadis, sedangkan keberadaan telur Oxyuris equi dapat menyebabkan iritasi pada kulit di daerah perineal (Pavord, 2002). Meningkatnya pemeliharaan kuda pacu di Jawa Timur path saat ini masih belum diimbangi dengan pengetahuan mengenai penyakit parasit cacing pada kuda. Pentingnya pengetahuan tentang penyakit cacing ini untuk menghindari kerugian yang lebih besar yang ditimbulkan oleh penyakit. Selain itu juga diperlukan suatu tindakan pengendalian yang didalamnya terdapat usaha pencegahan dan pemberantasan. Upaya tersebut akan berhasil bila

ditunjang dengan adanya informasi mengenai besamya tingkat kejadian penyakit cacing yang dialami oleh kuda pacu serta jenis cacing yang menginfeksi kuda pacu di wilayah tersebut. Perlu juga diketahui besarnya prevalensi cacing saluran pencernaan pada kuda di wilayah Jawa Timur. Angka prevalensi irti penting untuk rercncanaan kcbutuhan fasilitas bagi kuda pacu, tenaga yang dibutuhkan untuk perawatan kuda dan untuk pemberantasan penyakit cacing pada kuda di wilayah Jawa Timur ini (Sutrisna, 1994).

1.2 Perumusan Masalah Uari uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1) Berapa prevalensi cacing pada saluran pencernaan kuda pacu di beberapa wilayah di Jawa Timur? 2) Apa jenis cacing yang menginfeksi saluran pencernaan kuda pacu di bc;berapa wilayah di Jawa Timur?

1.3 Dasar Teori Semenjak didomestikasi sekitar 5.000 tahun yang lalu, kuda telah menjadi sahabat manusia dengan berbagai manfaat. Pada tahun 1450 sebelum Masehi, orang Yunani telah memperkenalkan perlombaan kuda dalam Olimpiade di Olympus setiap empat tahun sekali untuk Yupiter. Sampai sekarana di seluruh penjuru dunia, berbagai bentuk olahrga yang menggunakan kuda telah dikembangkan. Di Indonesia, olahraga berkuda yang berkembang dengan baik dimulai dary pacuan kuda (Parakkasi, 2006)..

Keberadaan olahraga pacuan kuda telah meningkatkan munculnya peternakan kuda pacu. Semakin banyak kuda pacu yang dipelihara semakin muncul pula masalah yang ditimbulkan yaitu keberadaan parasit racing. Subranta (2002) menyebutkan, dalam kolon kuda mungkin ditemukan berbagai parasit, dan yang penting adalah Sirongylus vujgaris, Strongylus edentatus, Strongylus equinus, Triodonihoporus spp. dan mungkin

Trichonema spp. Strongylus vulgaris rnerupakan Strongylus besar dengan ukuran 2-5 cm. Cacing ini warnanya menjadi merah karena menyerap darah hingga sering disebut cacing merah. Larva S edentatus menyebabkan perdarahan dari nodulae yang melekat pada peritoneum dan menyebabkan kolik maupun anemia. Infeksi oleh Triodonthoporus juga menyebabkan perdarahan yang berbentuk bulat, dan cacing menghujam pada das,ar- dari rnukosa yang mengalami ulserasi (Subronto, 2007). Infeksi Anoplocephala perfoliata dalam jumlah besar, juga bisa menimbulkan diare dan kekurusan disertai kasus kolik secara sporadis (Pavord, 2002). Keberadaan larva cacing jenis Parascaris equorum juga dapat bermigrasi ke paru-paru yang bisa menyebabkan gangguan pernapasan dan pneumonia. Parasit cacing tersebut dapat menl;akibatkan kerusakan jaringan sehingga organ yang diserang tidak berfungsi dengan baik. Pengetahuan tentang habitat parasit pada induk semang serta dacrah penyebarannya akan sangat membantu pengendalian Helminthiasis terutama dalam ketepatan mendiagnosa penyakit. Berdasarkan siklus hidupnya, cacing menghasilkan telur yang akan keluar bersama tinja induk semang sehingga

diagnosa harus disertai dan dikuatkan dengan pemeriksaaan tinja (Soulsby, 1986).

1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1) Mencari berapa besar prevalensi cacing pada saluran pencernaan kuda pacu di beberapa wilayah.di Jawa Timur. 2) Mengetahui jenis cacing yang menginfeksi saluran pencernaan kuda pacu di beberapa wilayah di Jawa Timur.

1.5 Manfaat Penclitian Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat : 1) Memberikan informasi tentang besarnya tingkat kejadian penyakit cacing pada kuda pacu di beberapa wilayah di Jawa Timur. 2) Memberikan informasi mengenai jenis cacing yang menginfeksi kuda pacu di wilayah Jawa Timur. 3) Sebagai infomasi bagi pemilik kuda pacu untuk membuat program pengobatan dan pemberantasan cacing saluran pencernaan yang

menyerang kuda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Lokasi Kandang Beberapa tempat pemeliharaan kuda pacu di wilayah? Jawa Timur terletak secara terpisah yang berada di daerah Gempol, Ledug, Trawas, dan Kenjeran Surabaya. Pada setiap wilayah, kuda pacu ini ditempatkan bersama dalam suatu areal kandang yang terbagi dalam sekat-sekat. Tempat makan dan minum berasal dari tong plastik besar. Atap kandang terbuat dari genting yang berfungsi melindungi kuda, tempat makan dun minum dari hujan maupun panas. Di sebelah areal kandang terdapat tanah lapang yang dikenal sebagai paddock untuk tempat pelepasan kuda, juga tempat untuk mengawinkan kuda.

2.2 Gambaran Umum Kuda Pacu Indonesia Kuda Indonesia adalah kuda yang dilahirkan di Indonesia dari induk kuda yang juga dilahirkan di Indonesia dan berasal dari paling kurang generasi ketiga dari induk-induk kuda yang diahirkan di Indonesia yang menjadi tetuanya. Dilihat dari kcgunaannya, kuda Indonesia terbagi atas beberapa jenis dan diantaranya adalah Racing Horse, atau dikenal dengan kuda pacu. Kuda pacu Indonesia adalah kuda Indonesia yang mempunyai garis keturunan induk kuda Indonesia dan garis keturunan pejantan atau pemacek kuda pacu

Thoroughbred impor yang sudah diregistrasi pada pusat registrasi kuda yang ditetapkan oleh pemerintah (Pordasi, 2000). Kuda pacu Indonesia juga memiliki standar warna. Ada delapan standar warna pada kuda pacu yaitu Hitam (Black), Hitam Coklax (Black Brown), Coklat (Brown), Jaragam (Buy Brown), Napas (Coklat Muda Keemasan) atau Chestnut, Kelabu (Gray), Bopong (Creamy), dan Pu!ih (White). Adapun pemuliabiakan kuda pacu Indonesia menggunakan pola grading up. Tujuan dari pemuliabiakaan dengan pola grading up adalah untuk membentuk kuda pacu Indonesia yang mernpunyai daya adaptasi terhadap iklim dan lingkungan tropis, memiliki darah kuda Indonesia, dapat berlari cepat dengan tinggi gumba minimal 150 cm (Pordasi, 2000).

2.3 Tinjauan Parasit 2.3.1.Etiologi Parasit Parasitisme hanya akan terjadi bila dua jenis organisme melakukan hubungan simbiosis dimana antara parasit dengan induk semang saling mempengaruhi. Kebetadaan parasit pada satu organisme yang menyebabkan kerusakan serta menimbulkan gejala klinis disebut Parasitosis. Kehadiran parasit yang tidak menimbulkan gejala klinis (subklinis) disebut parasitiasis (Subekti dkk., 2005). Cacing Trematoda yang rnenginfeksi kuda diantaranya adalah Fasciola spp., Gastrodiscus aegyptiacus dan Pseudodiscus spp. Cacing Cestoda yang menginfeksi kuda adalah Anoplocephulu spp. dan

Purpanoplucephalu mumilluna. Cacing Nematoda yang menginfeksi kuda yaitu Parascaris equwum, Ox yurisequi, Strongytoides westeri, Strongylus equinus. Strongylus edentatus. Strongylus vulgaris

Habronema spp., dan Trichosirongylus axel.

2.3.2. Nematoda Cacing Nematoda pada tubuhnya terdapat phasmid. Path umumnya cacing jantan mempunyai caudal aloe atau copulatory bursa Bagian mulut dikelilingi tiga bibir besar. Ekor cacing betina tumpul sedangkan cacing jantan ekornya berbelok-belok. Cacing jantan mempunyai dua spikula. Parascaris equorum Panjang cacing jantan 15-28 cm, sedangkan cacing betina panjangnya mencapai 50 cm dengan diameter 8 mm. Cacing kaku, kuat dan kepalanya besar. Mempunyai tiga bibir yang dipisahkan oleh tiga bibir intermediate kecil dan terbagi di bagian posterior dan anterior oleh celah horisontal pada permukaan medial. Telur berbentuk subglobular dan mempunyai lapisan albumin, berdiameter 90-100 mikron. Ekor yang jantan mempunyai lateral alae yang kecil. Memiliki spikula yang panjangnya kurang leuih 2-2,5 mm, sedangkan vulva terletak pada akhir dari seperempat bagian tubuh anterior (Su'ekti dkk., 2005). Cacing betina mcnghasilkan kurang lebih 200.000 telur perhari. Telur keluar bersama tinja, kemudian berkembang hingga mencapai

larva stadium II tanpa menetas. Larva stadium II ini merupakan stadium infektif yang dapat dicapai dalam watu kurang lebih 10 hari atau lebih tergantung temperatur sekitarnya. Telur tersebut di luar tubuh host sangat tahan terhadap keadaan sekelilingnya terutama terhadap keadaan yang lembab. Infeksi dapat terjadi karena kuda makan rumput yang mengandung telur infektif (Subekti dkk., 2005). Oxyuris equi Panjang cacing jantan antara 9-12 mm dan cacing betina mencapai 150 mm. Esofagus sempit pada bagian tengah dan bulbus tidak jelas. Cacing jantan memhunyai satu spikula yang, menyerupai jarum, panjang spikula 0,12-0.165 m, sedangkan pada ekornya terdapat dua pasang papil yang besar dan beberapa papil kecil. Cacing betina muda berwarna putih tampak melengkung dan relatif pendek ekornya. Telur oval asimetris, tumpul di satu sisi dan mempunyai overkuhun di ujung satunya, berukuran sekitar 42 x 90 m. Cacing betina dewasa berwama abu-abu sampai kecoklat-coklatan, memiliki ekor sempit yang panjangnya tiga kali panjang tubuhnya. Cacing jantan dan cacing betina muda memiliki habitat pada sekum dan colon crassum. Setelah fertilisasi, cacing betina dewasa menuju rectum dan merangkak ke daerah anus dengan bagian anterior tubuh mengarah anus. Telur dikeluarkan dan diletakkan dalam bentuk Muster. Perkembangan telur sangat cepat, menjadi stadium infcktif dalam waktu 3-5 hari. Stadium infektif dicapai mungkin pada waktu

hLrada di daerah perineal atau sebagian di tanah. Telur kemungkinan tahan beberapa minggu dalam keadaan lembab, tetapi pada suasana kering akan cepat mati. Infeksi atau penularan terjadi karena menelan telur infektif pada rumput, pakan dan di kandangnya. Larva infektif terbebas dalam usus halus dan stadium III terbentuk 8-10 hari setelah infeksi terjadi, dimana pada saat ini memiliki bukal kapsul yang besar dan terbenam pada mukosa (Subekti dkk., 2005). Strongylus equinus Cacing ini kaku dan berwarna abu-abu gelap, kadang tampak garis merah karena ada darah dalam ususnya. Cacing jantan penjangnya 26-35 mm dan cacing betina panjangnya 38-47 mm dengan diameter 2 mm. Buccul cupsul bulat lonjong dan terdapat eksternal dan internal leaf crowns. Pada dasar atau basic buccal cupsul terdapat gigi dorsal yang besar bercabang di bagian ujungnya dan dua gigi kccil sub-ventral. Di bagian dorsal esophagus banyak terdapat kelenjar-kelenjar. Cacing jantan memiliki dua spikula yang sederhana berbentuk silinder. Telur ovai berdinding tipis dan sudah dalam keadaan bersegmen sewaktu dikeluarkan. Ukuran telur 70-85 x 40-47 m (Subekti dkk., 2005). Larva infektif menembus mukosa sekum dan kolon dan masuk sampai sub serosa menyebabkan bentukan seperti nodul. Sebelas haii setelah infeksi, larva stadium IV terdapat di dalam nodul dan migrasi ke rongga peritoneum, kemudian selanjutnya menuju hati dan tinggal selama enam hingga delapan minggu. Di dalampcngcmbaraannya

mcmerlukan waktu empat bulan dalam siklus hidupnya. Di dalam hati, larva mengalami moulting menjadi larva stadium V dan mulai terbentuk bukal kapsul yang panjangnya 40 mm. Larva kemudian bermigrasi dari hati kembali ke usus besar, tetapi jalannya belum diketahui dengan jelas, mungkin j uga larva dapat berada dalam pankreas. Setelah masuk ke dalam lumen kolon larva berkembang menjadi cacing dewasa dan memproduksi telur pertama kali pada hari ke 260 setelah irtfeksi (Subekti dkk., 2005). Strongylus edentatus Cacing jantan panjangnya 23-28 mm, dan cacing betina memiliki panjang 33-44 mm, dengan diameter 2 mm. Bukal kapsul lebih lebar di bagian anterior dibandingkan bagian tengah dan tidak terdapat gigi. Larva infektif masuk dinding usus melalui vena porta menuju hati. Di dalam hati terbentuk larva stadium IV, antara hari ke 11-18 setelah infeksi. Larva stadium IV kemudian bermigrasi di dalam hati selama sembilan minggu dan migrasi di antara lapisan peritoneum dan ligamentum hepaticus untuk tnencapai bagian parietal peritoneum di sebelah kanan abdominal flank. Larva stadium IV dan V dijumpai disini dan bercampur dengan berbagai ukuran nodul hemoragi yang berdiameter satu hingga beberapa sentimeter. Larva terbentuk antara tiga bulan setelah infeksi, tapi selanjutnya migrasi di antara lapisan mesokolon ke dinding sekum dan kolon. Telur diproduksi 300-320 hari setelah infeksi (Subekti dkk., 2005).

Strongylus vulgaris Cacing jantan ranjangnya 14-16 mm dan cacing betina 20-24 mm dengan diameter rata-rata 1,4 mm. Bukal kapsul berbentuk oval dan terdapat dua gigi dorsal di bagian dasar yang berbentuk kuping. External leaf crowns menyerupai rumbai-rumbai di bagian distal. Larva cacing menimbulkan lesi pada arteri. Larva infektif mengadakan penetrasi ke dalam dinding usus. Delapan hari setelah infeksi terbentuk larva stadium IV yang melakukan penetrasi ke dalam intima arteriola, sub-mukosa dan migrasi melalui vena menuju a. mesenterica cranialis yang dapat dicapai 14 hari setelah infeksi dan membentuk thrombi. Sejak dimulainya infeksi sampai 45 hari setelah infeksi, larva stadium IV migrasi kembali melalui sistem arteri menuju sub-mukosa kolon dan sekum, kemudiatt terbentuk larva stadium V antara tiga bulan setelah infeksi. Larva lalu menuju lumen usus dan menjadi cacing dewasa. Telur diproduksi 6-7 bulan setelah infeksi. Lesi pada beberapa tempat di sistem arteri disebabkan gesekan akibat migrasi sejumlah larva (Subekti dkk 2005). Strongyloides westeri Panjang cacing 9 mm dengan diameter 0,08-0,95 mm. Panjang esofagus 1,3-1,5 mm. Vulva terlctak dekat median tubuh. Telur sedikit berukuran besar dan mempunyai dinding atau kulit yang tipis. Telur berukuran 40-52 x 32-40 m.

Cacing betina yang purthenvgeneric menyelipkan diri melalui mukosa usus halus. Cacing betina menghasilkan telur, mempunyai dinding tipis dan transparan yang dikeluarkan bersama feces. Larva stadium I dapat berkembang langsung menjadi larva stadium III yang infektif (Hvtnvgenic cycle) atau mereka berkembang menjadi bentukk free living jantan dan betina, kemudian menghasilkan larva infektif (tfeterogonic cycle). Pada keadaan lingkungan berupa temperatur dan kelembaban yang memungkinkan, herervgonic cycle bisa terjadi. Pada keadaan lingkungan yang tidak baik maka homogenic cycle yang lebih sering terjadi. Pada siklus heterogonic, larva stadium I cepat sekali berubah, dalam waktu 48 jam menjadi free living jantan dan free living betina yang dewasa kelamin. Diikuti dengan kopulasi maka free living betina memproduksi telur yang akan menetas dalam beberapa jam dan larva mengalami perkembangan menjadi larva infektif. Pada homogenic cycle, larva stadium I dengan cepat mengalami perkembangan menjadi larva infektif, paling sedikit 2 jam pada temperatur 27C (Subekti dkk., 2005). Trichostrongylus axei Berukuran kecil, langsing dan berwarna coklat kemerahan. Spikula kokoh, kaku dan berwama coklat, sedangkan uterusnya bercabang. Telur berbentuk oval dan bersegmen pada waktu dikeluarkan bersama feces. Pada cacing ini, spikula unequal (tidak satna, baik bentuk maupun ukurannya). Teluar berukuran 79-92 x 31-41 mikron.

Telur dikeluarkan bersama feces induk semang dengan kulit yang tipis dan mengandung 8-32 sel. Telur kemudian berkembang menjadi larva stadium I dan akan rnenjadi larva yang infektif. Larva infektif stadium III terbentuk antara 4-6 hari di bawah kondisi optimal. Di bawah temperatur 9C perkembangan larva akan terhenti atau lambat sekali sampai tidak ada. Apabila kelembaban daft intensitas sinar

memungkinkan, larva-larva akan berada di rumput pada awal pagi dan awal petang. Larva Trichostrongylus mati oleh panas tinggi dan kekeringan (Subekti dkk., 2005).

2.3.3.Trematoda Cacing pada kelas Trematoda umumnya berbentuk oval atau seperti daun tidak bersegmen, biasanya mempunyai saluran pencernaan yang buntu. Pada ordo Digenea yang merupakan parasit pada kuda, organ-organnya meliputi anterior sucker dan ventral sucker. Pada organorgannya juga terdapat saluran pencernaan, sistcm ckskresi, sistem syaraf dan sistem reproduksi yang berupa hermaprodit (kecuali famili Schistosomatidae). Fasciola hepatica Bentuknya seperti daun dengan bagian anterior lebih lebar dari bagian posterior. F3erwarna coklat keabuan dan mempunyai bahu yang lebar. Cacing jenis ini berukuran 25-30 x 8-15 mm. Ventral sucker terletak sejajar dengan bahu dan besarnya sama dengan oral sucker,

sedangkan testis bercabang dan letaknya 0,50,75 panjang tubuh. Ovariumnya juga bercabang, yang terletak disebelah kanan tubuh di sebelah anterior testis. Ukuran telurnya 130-160 x 63-90 mikron. Telur yang dihasilkan masuk duodenum bersama-sama cairan empedu dan keluar bersama feces penderita. Pada temperatur 26C dan kelembaban optimum, telur akan menetas setelah 10-12 hari dan menghasilkan larva stadium I. Mirasidium akan berenang mencari siput muda, lalu menggunakan en2im protcolitik yang dikeluarkan untuk mcnembus jaringan tubuh siput, kemudian mirasidium melepaskan cilia dan berkembang menjadi sporokista. Tiap-tiap sporokista akan membentuk 5-8 redia yang bila berkembang secara penuh dapat mencapai panjang satu sampai tiga milimeter. Redia berbentuk spesifik dengan suatu lingkaran tebal di belakang daerah faring dan sepasang penonjolan buntir pada seperempat bagian belakang tubuhnya. Redia anak terbentuk pada kondisi yang cocok tetapi akhirnya akan menghasilkan generasi selanjutnya yang normal yaitu serkaria. Serkaria meninggalkan siput pada minggu keempat sampai dengan ketujuh setelah penularan. Dalam waktu dua menit sampai dua jam, serkaria menempel pada runiput-rumputan atau tanaman air lainnya, setelah melepaskan ekor membentuk metaserkaria, kemudian metaserkaria membentuk kista sehingga terbentuk metaserkaria yang infektif. Metaserkaria ini masuk ke dalam alat pencernaan induk semang

bersama-sama makanan dan minuman yag mengandung metaserkaria (Koesdarto dkk., 2007). Gastrodiscus aegyptiacus Berwarna merah muda dengan ukuran 17 x 8-11 mm. Bentuk tubuh seperti mangkok dengan intestine bercabang. Testis berlobi letaknya hampir diagonal dan bagiantengah belakang terletak ovarium.

2.3.4.Cestoda Cacing Cestoda bersifat hermaprodit dan merupakan endoparasit. 13adannya terdiri atas skoleks atau kepala yang dilengkapi rostelum dan sucker, neck atau leher dan strobila atau tubuh yang terdiri dari proglotid yang masangmasing mempunyai alat kelamin jantan dan betina. Badannya berbentuk pipih daft rncmanjang seperti pita. Telur cacing Cestoda berbentuk kompleks. Anoplocephala spp. Anoplocephala perfoliata berukuran 8 x 1,2 cm dan mempunyai skoleks dcngan lebar hanya 2-3 mm. Skoleks mempunyai cuping kecil dibelakang setiap penghisap dan telur berdiameter 65-80 mikron. Pada Anolocephala magna panjangnya mencapai 80 cm dan lebar 2 cm serta mempunyai skoleks besar dengan lebar 4-6 mm. Memiliki leher pendek dan segrnen-segmen yang sangat pendek dan lebar. Telurnya berdiameter 50-60 mikron. Merupakan cacing pita yang paling besar pada kuda.

Paranoplocephala mammillana Berukuran 6-50 x 4-6 mm dan memiliki penghisap seperti celah. Telur berdiameter sekitar 60-80 mikron dan mempunyai aparat piriform. lnduk semang antara dari Anoplucephulu pcrfoliata adalah tungau rumput Oribatid, yaitu Scheloribates laevigalus, Scheloribates latipes, Galumna nervosus, Achiperia spp. dan Ceratozetes spp. Induk semang antara dari Anuplucephala magna adalah Scheloribates luevigalus dan Seheloribates latipes. Induk semang dari paranoplocephula mamillana yaitu Galumna obvious dan Allogalumna longipluma. Sistiserkoid dihasilkan dalam induk semang antara ini dua hingga empat bulan setelah infeksi. Cacing dewasa akan ditemukan empat hingga enam minggu setelah saluran penceinaan terinfeksi tungau melalui rumputrumputan. Patogenesis Infeksi ringan pada kuda tidak menunjukan gejala klinis, tetapi dalam jumlah besar dapat menimbulkan gangguan kesehatan, hambatan pertumbuhan bahkan kematian. Anoplocephala perfoliata biasanya terletak dekat permulaan ileocaecum. Ketika skoleks menyerang dinding caecum, akan tampak depresi dan lesi ulseratif. Anoplocephala magna dalam jumlah besar dapat menyebabkan katharalis atau haemorhat;ik enteritis. Lubang pada usus disebabkan oleh infeksi Anoplocephala perfoliata dan Anoplocephala magna Paranoplocephala mamillana sering menimbulkan gangguart kesehatan.

2.4 Diagnosis Melakukan diagnosa pada kuda terhadap kemungkinan terkena infeksi cacing saluran pencernaan dapat dilakukan dengan melihat gejala klinik yang tampak seperti menurunnya nafsu makan, diare, anemia, bulu kotor dan suram, menurunnya berat badan dan terlambatnya pertumbuhan (Soulsby, 1986). Diagnosa dengan melihat gejala klinis yang ditimbulkan bukan merupakan alasan yang kuat karena banyak penyakit lain yang mempunyai gejala klinis mirip dengan yang ditimbulkan oleh parasit cacing. Cara lain yang sering digunakan yaitu dengan mengadakan pemeriksaan secara mikroskopis terhadap adanya telur cacing pada tinja kuda (Soulsby, 1986). Tindakan yang lebih baik dan lebih menyakinkan diagnosa adalah dengan pemeriksaan pasca mati dengan menemukan cacing dewasa atau lesi yang dilimbulkan pada saluran pcncernaan (Rodostits, 1989).

2.5 Pengendalian Penyakit Usaha pengendalian helminthiasis meliputi usaha pencegahan dan pengobatan. Tindakan tersebut harus secara berkesinambungan karena kemampuan cacing dalum menginfeksi cukup tinggi. Pencegahan Pencegahan bertujuan untuk mengurangi atau menekan jumlah infeksi parasit cacing pada kuda sehingga prestasi dan produktifitasnya terjaga. Kandang kuda harus dijaga agar selalu dalam keadaan kering untuk menghindari kemungkinan perkcmbagan larva (Subekti dkk., 2005). Kuda di

dalam kandang hendaknya diberi pakan dan minum yang terbebas dari kontaminasi tinja. Perbaikan kualitas dan kuantitas pakan mutlak diperlukan agar daya tahan kuda cukup tinggi sehingga mengurangi pengaruh parasitisme. Subronto (2007) rnenyebutkan tindakan yang paling efektif dalam usaha pencegahan dan pemberantasan parasit adalah dengan jalan memotong atau mengganggu daur hidup parasit, dan apabila interval terhadap titik-titik lemab tersebut dapat dilakukan dengan efektif maka akan diperoleh hasil yang maksimal. Salah satu usaha untuk menghindari dan mengatasi parasitisnie adalati sanitasi. Sanitasi ditujukan untuk menyingkirkan dan memutuskan

stadiumstadium parasit dengan tindakan kebersihan baik disertai atau tanpa obat-obatan antiseptik. Pembersihan dengan sikat yang keras dan dibantu dengan air panas atau deterjen yang kuat sangat dianjurkan untuk dekontaminasi kandang dan peralatannya. Selain itu usaha mengeringkan kandang sangat dianjurkan agar kotoran dan air di lantai kandang tidak membantu kelancaran daur hidup parasit. Apabila kuda dilepaskan di padang gembala maka rotasi pemakaian padang gembala harus dilakukan dengan baik (Subronto, 2007). Pengobatan Tindakan yang tidak kalah penting dalam pengendalian Helminthiasis adalah pengobatan terhadap penyebab penyakit. Pengobatan perlu dilakukan secara selektif terhadap parasit yang secara potensial dapat mengancam

kesehatan kuda. tlsaha meniadakan parasit di peternakan kuda paling baik dilakukan path sait lingkungan tempat kuda tinggal terkontaminasi parasit paling ringan dan pada sat perbaikan manajemen peternakan. Pengobatan pada saat yang tepat tersebut akan meningkatkan ketahanan tubuh kuda, lebih hemat dan efektif daripada pcngobatan dengan anthelmintika secara rutin tanpa mempertimbangkn faktor ekologik parasit dan kuda. Pengobatan yang paling efektif adalah apabila digunakan obat yang memiliki daya bunuh parasit tinggi dan aman bagi kuda. Apabila terdapat beberapa jenis parasit, pengobatan hendaknya diusahakan dengan menggunakan obat yang memiliki daya jangkau luas (Subronto, 2007). Dalam menentukan jenis anthelmentik yang akan digunakan dalam pengobatan, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah obat yang digunakan harus memiliki toksisitas yang tinggi terhadap segala jenis cacing dalam semua stadium, cara pemberian mudah, harga murah dan mudah didapatkan di pasaran. f3eberapa anthelmentik yang sering digunakan adalah : 1) Dichlorvos. Efektif untuk pengobatan dan kontrol cacing Strongylus spp., Strongyloides wesrteri, Oxyuris eyui dan Parascaris equorum. Dosis pada kuda yaitu 8.3 g/500 pounds pakan. 2) Oxfendazole. Indikasi untuk mengontrol parasit pada kuda seperti Parascaris equorum, Strongylus spp. dan Oxyuris equi. Dosisnya adalah 10 mg/kg berat badan diberikan secara peroral.

3) Piperazine. Anthelmentik untuk P. equorum, cacing strongylus kecil dan Oxyuris equi. Dosisnya adalah 220-275 mg/kg berat badan, kemudian diulang dalam waktu 3-4 minggu kemudian. 4) Phenotiazine. Efektifitasnya hampir mencapai 100% dan mampu membunuh nematoda saluran pencernaan. Digunakan untuk cacing Strungylus spp., Triodontophorus spp., Oesopphagodontus spp. tetapi tidak efektif untuk ascariasis. Dosis adalah 2,2-3 g/100 pounds pakan dan 2 g/ekor kuda dewasa selama 3 minggu tiap bulan. 5) Pyrantel. Anthelmentik untuk oxyuriasis, ascariasis dan ancylostomiasis dcngan efektifitas mcncapai 100%. Dosis untuk pyrantel pamoat adalah 6,6mg/kg berat badan diberikan secara peroral; 13,2 mg/kg berat badan untuk cacing cestoda. Pyrantel tartrat dosisnya adalah 10-12,5 mg/kg berat badan secara peroral (Subronto, 2007).

Anda mungkin juga menyukai