TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Potong
Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau
dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama.
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Subkelas : Eutheria
Ordo : Artiodactyla
Family : Bovidae
Sub Family : Bovinae
Genus : Bos
Bos indisus (Zebu atau sapi berpunuk) inilah yang sekarang berkembang di
tropis seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Bos taurus adalah bangsa sapi
4
5
Amerika, Australia dan Selandia Baru. Belakangan ini keturtunan Bos taurus
ini merupakan sumber asli bangsa-bangsa sapi Indonesia. Sapi yang saat ini
merupakan keturunan banteng (Bos bibos/Bos banteng). Saat ini, keturunanya sapi
ini di kenal dengan nama sapi Bali, sapi Madura, sapi Sumatra dan sapi lokal lainya
potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli Indonesia dan sapi yang
diimpor. Masing-masing jenis sapi potong itu mempunyai sifat yang khas, baik
ditinjau dari bentuk luar (ukuran tubuh, warna bulu) maupun dari genetiknya (laju
pertumbuhan). Sapi-sapi Indonesia yang dijadikan sumber daging adalah sapi Bali,
sapi Ongole, sapi PO (Peranakan Ongole) dan sapi Madura. Selain itu juga sapi
Aceh yang banyak diekspor ke Malaysia (Penang). Populasi sapi potong yang ada,
penyebarannya dianggap merata masing-masing adalah: sapi Bali, sapi PO, Madura
dan Brahman.
Fasciolosis
gigantica. Kedua cacing ini pada ternak ditularkan melalui siput dari famili
Cacing ini menyerang hati dan saluran empedu sapi, akibat dari serangan penyakit
ini sapi akan mengalami kerusakan fungsi hati dan saluran empedu (Kaplan, 2001).
Terdapat dua jenis cacing dari genus Fasciola yang dapat menyebabkan
Fasciolosis yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Menurut Noble &
Noble (1989), Fasciola hepatica memiliki panjang tubuh sebesar 20-30 mm dan
lebar tubuh sebesar 10-12 mm. Fasciola gigantica memiliki ukuran tubuh yang
lebih panjang yaitu 25-75 mm dan lebar tubuh sebesar 3-13 mm. Ukuran batil hisap
posterior pada Fasciola gigantica lebih besar dan alat reproduksinya terletak lebih
anterior (Prianto dkk., 2006). Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica memiliki
telur dengan ciri morfologi yang hampir sama yaitu berbentuk oval, memiliki
operkulum, dan berwarna kuning. Telur Fasciola hepatica memiliki panjang 0.130-
0.150 mm dan lebar 0.063-0.090 mm (Hussein et al., 2010). Ukuran telur Fasciola
gigantica lebih besar dibandingkan telur Fasciola hepatica. Panjang dan lebar telur
A B
Fasciola hepatica. Siklus dimulai sejak Fasciola sp. dewasa memproduksi telur
yang akan keluar bersama feses. Pada kondisi yang cocok, telur akan menetas dan
siput Lymnaea sp. lalu masuk ke dalam tubuh siput tersebut. Siput Lymnaea sp.
seperti Lymnaea natalensis dan Lymnaea rubiginosa merupakan inang antara utama
menghasilkan serkaria. Menurut Phalee et al. (2015), terdapat dua generasi redia
yaitu redia induk dan redia anak. Redia induk berisi banyak redia anak dan bola -
bola sel kecambah, sedangkan redia anak berisi banyak serkaria dan juga bola-bola
sel kecambah. Selanjutnya, serkaria yang dilengkapi ekor untuk berenang akan
keluar dari tubuh siput lalu menempel pada benda yang terendam air seperti jerami,
rumput, atau tumbuhan air lainnya. Setelah itu, serkaria akan melepaskan ekornya
infektif Fasciola sp. Bila metaserkaria termakan oleh ternak, metaserkaria tersebut
akan keluar dari kista lalu menembus dinding usus inang dan menuju ke hati.
Metaserkaria akan tumbuh menjadi dewasa dan mulai memproduksi telur dalam
Distribusi Penyakit
dianggap sebagai salah satu penyakit parasit yang paling penting di dunia.
85.2%, Wales 86%, Indonesia 80-90%, Tunisia 68.4%, dan Vietnam 30-90%
(Thanh, 2012). Prevalensi penyebaran Fasciola sp. pada ternak masih menunjukan
lama dikenal dan tersebar secara luas. Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan
yang biasanya memakan rumput yang tercemar metaserkaria, tetapi dapat juga
9
terjadi pada ruminansia di daerah tropis dan subtropis di Afrika dan Asia. Inang
definitif Fasciola gigantica antara lain: kambing, domba, sapi, kerbau, unta, babi,
kuda, keledai, antelop, rusa, jerapah, dan zebra (Mas-Coma dan Bargues, 1997).
Selain menginfeksi hewan, Fasciola gigantica juga dapat menginfeksi manusia (Le
et al., 2007).
Gejala Klinik
menciri. Gejala yang mungkin terlihat berupa kekurusan, lemah, kurang nafsu
makan, pucat, kadang-kadang ada odem di sekitar rahang bawah yang menyebar ke
bagian bawah leher dan dada, mencret, dan bulu kusam. Gejala ini mirip dengan
penyakit parasiter lainnya ataupun kurang gizi, sehingga petani dan peternak
bahkan penyuluh pertanian di Indonesia tidak menyadari bahaya dari penyakit ini,
baik pada ternak maupun pada manusia, sehingga pencegahan dan pengendaliannya
masih sangat kurang diperhatikan (Martindah dkk., 2005). Sapi yang terserang
biasanya tidak menyebabkan gejala. Apabila terjadi infeksi yang tinggi, maka
gejalanya dapat sangat akut dan cepat menyebabkan kematian sekitar 1 – 3 bulan
setelah terjadi infeksi. Gejala yang sering terjadi adalah sapi menjadi lemah dan
depresi, bagian perut membesar dan terasa sakit. Bila keadaan telah kritis, sapi
10
menjadi kurus dan lemah. Selaput lender mata menjadi pucat, terjadi busung
Diagnosa
pemeriksaan feses, biopsi hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen serta
sedimentasi. Pada hewan yang berkelompok, diagnosa juga perlu diperkuat dengan
kerusakan hati salah satu hewan yang mati dengan melalui pemeriksaan post-
mortem. Kendala yang ditemukan pada pemeriksaan feses untuk mendeteksi telur
cacing adalah durasi infeksi Fasciola gigantica karena telur baru dapat ditemukan
telur baru dapat ditemukan 10 minggu setelah hewan terinfeksi. Telur yang keluar
sp. sangat mirip dengan telur Paramphistomum sp. Telur Fasciola sp. berwarna
membedakan keduanya, dapat diamati dari karakteristik telur, yakni ukuran telur
Fasciola sp. lebih kecil dari Paramphistomum sp., dinding telur Paramphistomum
11
sp. lebih tipis sehingga mudah menyerap zat warna empedu, yodium atau methylene
blue. Selain itu, telur Paramphistomum sp. memiliki sel-sel embrional yang lebih
jelas terlihat dibandingkan dengan telur Fasciola sp. (Subronto, 2007; Anonimus,
2012).
uji serologi dan coproantigen. Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya
antibodi dalam serum menggunakan ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya
Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 5 sampai minggu ke
9 setelah infeksi dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas 91% (Estuningsih dkk.,
2004b).
1. Pengendalian
sebagai induk semang antara dengan bahan kimia, dengan predator, atau
2. Pencegahan
obat cacing secara teratur. Obat cacing bisa resep dokter dan bisa secara
pamoat dll, Untuk obat cacing herbal bisa digunakan temu mangga,
3. Pengobatan
disesuaikan dengan bahan aktif yang digunakan. Untuk obat cacing yang
dilakukan sekali saja sekitar 6-8 minggu dari panen padi terakhir. Apabila
saja sebaiknya dilakukan dua kali setahun yaitu pertama pada 6-8 minggu
dari panen terakhir dan kedua beberapa minggu sebelum musim penghujan
13
pertimbangan-pertimbangan :
kering, sehingga sisa-sisa telur cacing dalam feses ternak tidak akan
1. Spesies
bangsa hewan. Tingkat infeksi cacing Fasciola sp. akan berbeda pada
2. Umur
dan Addis (2011), infeksi cacing Fasciola sp. lebih banyak terjadi pada
tidak dibiarkan merumput di tempat yang jauh dari kandang. Hal ini
3. Jenis Kelamin
dibandingkan betina untuk beberapa infeksi cacing, hal ini bisa karena
dan hormon Estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel
4. Sistem Pemeliharaan
ternak yang berbeda akan berdampak pada tingkat infeksi yang berbeda.
cacing Fasciola sp. pada sapi yang dipelihara dengan sistem ekstensif
Hal ini terjadi karena sapi dilepas sepanjang hari di padang penggembalaan,
15
gigantica dan masa hidup mirasidium. Pada suhu yang terlalu tinggi
maupun terlalu rendah, aktivitas enzim pada telur terhambat sehingga telur
hidup lebih lama dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada
lebih banyak terjadi di daerah dengan curah hujan yang tinggi. Hal ini terjadi
karena curah hujan yang tinggi mendukung perkembangan dan daya tahan
hidup inang antara dan larva Fasciola sp. (Pfukenyi dan Mukaratirwa,
2004).
sekitar 18% dari luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 3.185,80 km 2, dengan
16
datar kecuali pada daerah bagian tenggara kecamatan Prambanan yang tanahnya
antara 100 meter sampai dengan 2.500 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Ketinggian tanahnya dapat dibagi menjadi 4 kelas yaitu ketinggian <100 meter,
100-499 meter, 500-999 meter, dan >1.000 meter dpl. Wilayah Kabupaten Sleman
termasuk beriklim tropis basah dengan musim hujan antara bulan November-April
ternak sapi cukup tinggi. Berdasarkan data yang telah dihimpun oleh Badan Pusat
penurunan. Populasi ternak secara geografis umumnya tidak merata pada beberapa
dimiliki suatu wilayah serta kemampuan petani ternak dalam memanfaatkan potensi
yang ada. Akan tetapi ternak sapi ada di setiap kecamatan dengan populasi ternak
Data pembagian luas daerah Kabupaten Sleman, data curah hujan, dan data
jumlah populasi ternak sapi potong di Kabupaten Sleman dapat dilihat pada tabel
berikut :
17
Tabel 2. Data Curah Hujan Kabupaten Sleman Tiap Bulan Tahun 2016 -2018
Tahun
Bulan
2016 2017 2018
Januari 152,8 279,6 440,8
Februari 320,2 347,7 338
Maret 409,9 403,4 190,9
April 184,7 243,4 107,5
Mei 140,4 45,7 9,9
Juni 296,5 9,2 17,4
Juli 105,7 12,7 0
Agustus 94,5 0 1,1
September 240 62,8 20,6
Oktober 327,2 60,3 0
November 508,2 689 268,4
Desember 267,1 370,3 171
Jumlah 3047,2 2524,1 1565,6
Sumber : Anonimus, (2018c)
18
Tabel 3. Data Populasi Sapi Potong di Kabupaten Sleman tahun 2016 – 2018
Tahun
Kecamatan
2016 2017 2018
Moyudan 1353 728 2134
Minggir 1062 419 1619
Seyegan 2845 1744 2059
Godean 1717 1082 2890
Gamping 1819 1053 1186
Mlati 3735 1488 1505
Depok 717 491 335
Berbah 4606 2327 4257
Prambanan 10374 7745 1714
Kalasan 3864 2388 2776
Ngemplak 3360 2572 1538
Ngaglik 3514 2024 1908
Sleman 4040 2053 2517
Tempel 3704 1561 2788
Turi 1242 796 4601
Pakem 1874 1085 3422
Cangkringan 3364 3060 918
Jumlah 53190 32616 38167
Sumber : Data sekunder diolah (2019)