Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Potong

Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau

dikonsumsi. Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki

karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristk tersebut, dapat

dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama.

Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut

Sudarmono,dkk. (2008), bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi yaitu :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata
Kelas : Mamalia

Subkelas : Eutheria
Ordo : Artiodactyla

Family : Bovidae
Sub Family : Bovinae
Genus : Bos

Spesies : Bos indicus (Sapi Zebu), Bos Taurus (Sapi Eropa)

Bos indisus (Zebu atau sapi berpunuk) inilah yang sekarang berkembang di

India, dan akhirnya sebagian menyebar di berbagai negara. Terutama di daerah

tropis seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Bos taurus adalah bangsa sapi

yang menurunkan bangsa-bangsa sapi potong dan perah di

4
5

Eropa. Golongan ini akhirnya menyebar ke berbagai penjuru dunia, terutama

Amerika, Australia dan Selandia Baru. Belakangan ini keturtunan Bos taurus

banyak diternakkan dan dikembangkan di Indonesia, misal sapi Aberden Angus,

Hereford, Shorthorn, Charolais, Simental, dan Limosin. Bos sondaicus, Golongan

ini merupakan sumber asli bangsa-bangsa sapi Indonesia. Sapi yang saat ini

merupakan keturunan banteng (Bos bibos/Bos banteng). Saat ini, keturunanya sapi

ini di kenal dengan nama sapi Bali, sapi Madura, sapi Sumatra dan sapi lokal lainya

(Sudarmono dkk., 2008).

Menurut Rahmat dan Harianto (2012), menyebutkan bahwa jenis sapi

potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli Indonesia dan sapi yang

diimpor. Masing-masing jenis sapi potong itu mempunyai sifat yang khas, baik

ditinjau dari bentuk luar (ukuran tubuh, warna bulu) maupun dari genetiknya (laju

pertumbuhan). Sapi-sapi Indonesia yang dijadikan sumber daging adalah sapi Bali,

sapi Ongole, sapi PO (Peranakan Ongole) dan sapi Madura. Selain itu juga sapi

Aceh yang banyak diekspor ke Malaysia (Penang). Populasi sapi potong yang ada,

penyebarannya dianggap merata masing-masing adalah: sapi Bali, sapi PO, Madura

dan Brahman.

Fasciolosis

Fasciolosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing kelas

Trematoda, Famili Fasciolidae dengan spesies Fasciola hepatica dan Fasciola

gigantica. Kedua cacing ini pada ternak ditularkan melalui siput dari famili

Lymnaeidae. Fasciola hepatica pada umumnya dijumpai di daerah beriklim sedang,


6

sedangkan Fasciola gigantica ditemukan di daerah yang beriklim tropis basah.

Cacing ini menyerang hati dan saluran empedu sapi, akibat dari serangan penyakit

ini sapi akan mengalami kerusakan fungsi hati dan saluran empedu (Kaplan, 2001).

Morfologi Fasciola sp.

Terdapat dua jenis cacing dari genus Fasciola yang dapat menyebabkan

Fasciolosis yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Menurut Noble &

Noble (1989), Fasciola hepatica memiliki panjang tubuh sebesar 20-30 mm dan

lebar tubuh sebesar 10-12 mm. Fasciola gigantica memiliki ukuran tubuh yang

lebih panjang yaitu 25-75 mm dan lebar tubuh sebesar 3-13 mm. Ukuran batil hisap

posterior pada Fasciola gigantica lebih besar dan alat reproduksinya terletak lebih

anterior (Prianto dkk., 2006). Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica memiliki

telur dengan ciri morfologi yang hampir sama yaitu berbentuk oval, memiliki

operkulum, dan berwarna kuning. Telur Fasciola hepatica memiliki panjang 0.130-

0.150 mm dan lebar 0.063-0.090 mm (Hussein et al., 2010). Ukuran telur Fasciola

gigantica lebih besar dibandingkan telur Fasciola hepatica. Panjang dan lebar telur

Fasciola gigantica masing-masing sebesar 0.120-0.180 mm dan 0.080-0.110 mm

(Phalee et al., 2015).

A B

Gambar 1. Cacing Fasciola sp. dewasa (Thanh, 2012)


(a) Fasciola hepatica 20-30 x 10-12 mm, (b) Fasciola gigantica 25-75 x 3-13 mm
Siklus Hidup Fasciola sp.
7

Fasciola gigantica memiliki siklus hidup yang menyerupai siklus hidup

Fasciola hepatica. Siklus dimulai sejak Fasciola sp. dewasa memproduksi telur

yang akan keluar bersama feses. Pada kondisi yang cocok, telur akan menetas dan

mengeluarkan mirasidium. Mirasidium menggunakan silia untuk berenang mencari

siput Lymnaea sp. lalu masuk ke dalam tubuh siput tersebut. Siput Lymnaea sp.

seperti Lymnaea natalensis dan Lymnaea rubiginosa merupakan inang antara utama

bagi Fasciola gigantica (Thanh, 2012).

Di Indonesia, Lymnaea rubiginosa merupakan satu-satunya inang antara

Fasciola gigantica (Mukhlis, 1985). Di dalam tubuh siput, mirasidium akan

berubah menjadi sporokista lalu berkembang menjadi redia. Redia kemudian

menghasilkan serkaria. Menurut Phalee et al. (2015), terdapat dua generasi redia

yaitu redia induk dan redia anak. Redia induk berisi banyak redia anak dan bola -

bola sel kecambah, sedangkan redia anak berisi banyak serkaria dan juga bola-bola

sel kecambah. Selanjutnya, serkaria yang dilengkapi ekor untuk berenang akan

keluar dari tubuh siput lalu menempel pada benda yang terendam air seperti jerami,

rumput, atau tumbuhan air lainnya. Setelah itu, serkaria akan melepaskan ekornya

dan membentuk kista yang disebut metaserkaria. Metaserkaria merupakan bentuk

infektif Fasciola sp. Bila metaserkaria termakan oleh ternak, metaserkaria tersebut

akan keluar dari kista lalu menembus dinding usus inang dan menuju ke hati.

Metaserkaria akan tumbuh menjadi dewasa dan mulai memproduksi telur dalam

waktu sekitar 16 minggu (Martindah dkk. 2005).


8

Gambar 2. Siklus hidup Cacing Fasciola sp. ( Akoso, 1996)

Distribusi Penyakit

Fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica

dianggap sebagai salah satu penyakit parasit yang paling penting di dunia.

Fasciolosis terdistribusi di seluruh dunia dan prevalensi pada ruminansia

diperkirakan berkisar hingga 90% di beberapa negara, misalnya Kamboja mencapai

85.2%, Wales 86%, Indonesia 80-90%, Tunisia 68.4%, dan Vietnam 30-90%

(Thanh, 2012). Prevalensi penyebaran Fasciola sp. pada ternak masih menunjukan

angka yang tinggi. Dibeberapa daerah di Indonesia seperti di Daerah Istimewa

Yogyakarta, kejadiannya mencapai 40-90% (Estuningsih, dkk., 2004a).

Di Indonesia, Fasciolosis merupakan salah satu penyakit ternak yang telah

lama dikenal dan tersebar secara luas. Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan

dan kelembaban yang tinggi memungkinkan parasit seperti cacing berkembang

dengan baik. Sifat hermaprodit Fasciola sp. juga akan mempercepat

perkembangbiakan cacing hati tersebut. Cacing ini banyak menyerang ruminansia

yang biasanya memakan rumput yang tercemar metaserkaria, tetapi dapat juga
9

menyerang manusia. Fasciolosis di Indonesia merupakan penyakit yang penting

dengan kerugian ekonomi yang cukup tinggi (Anonimus, 2012).

Fasciola gigantica dapat ditemukan di hati dan saluran empedu pada

hewan-hewan herbivora domestik maupun liar. Infeksi Fasciola gigantica terutama

terjadi pada ruminansia di daerah tropis dan subtropis di Afrika dan Asia. Inang

definitif Fasciola gigantica antara lain: kambing, domba, sapi, kerbau, unta, babi,

kuda, keledai, antelop, rusa, jerapah, dan zebra (Mas-Coma dan Bargues, 1997).

Selain menginfeksi hewan, Fasciola gigantica juga dapat menginfeksi manusia (Le

et al., 2007).

Gejala Klinik

Fasciolosis pada ternak biasanya tidak memperlihatkan gejala klinis yang

menciri. Gejala yang mungkin terlihat berupa kekurusan, lemah, kurang nafsu

makan, pucat, kadang-kadang ada odem di sekitar rahang bawah yang menyebar ke

bagian bawah leher dan dada, mencret, dan bulu kusam. Gejala ini mirip dengan

penyakit parasiter lainnya ataupun kurang gizi, sehingga petani dan peternak

bahkan penyuluh pertanian di Indonesia tidak menyadari bahaya dari penyakit ini,

baik pada ternak maupun pada manusia, sehingga pencegahan dan pengendaliannya

masih sangat kurang diperhatikan (Martindah dkk., 2005). Sapi yang terserang

cacing ini menunjukkan adanya gangguan pencernaan. Infeksi yang ringan

biasanya tidak menyebabkan gejala. Apabila terjadi infeksi yang tinggi, maka

gejalanya dapat sangat akut dan cepat menyebabkan kematian sekitar 1 – 3 bulan

setelah terjadi infeksi. Gejala yang sering terjadi adalah sapi menjadi lemah dan

depresi, bagian perut membesar dan terasa sakit. Bila keadaan telah kritis, sapi
10

menjadi kurus dan lemah. Selaput lender mata menjadi pucat, terjadi busung

terutama diantara sudut dagu dan bawah perut (Akoso, 1996).

Diagnosa

Diagnosa Fasciolosis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosa klinis

dan diagnosa laboratorium. Diagnosa klinis berdasarkan gejala klinis sulit

dilakukan, maka sebagai penunjang diagnosa dapat digunakan pemeriksaan

ultrasonografi (USG), sedangkan diagnosa laboratorium dilakukan dengan

pemeriksaan feses, biopsi hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen serta

western blotting (Anonimus, 2012).

Penentuan diagnosa Fasciolosis seekor hewan atau sekelompok hewan

dapat dibuktikan, salah satunya dengan melakukan pemeriksaan feses, yaitu

menemukan telur Fasciola sp. dalam feses dengan menggunakan metode

sedimentasi. Pada hewan yang berkelompok, diagnosa juga perlu diperkuat dengan

kerusakan hati salah satu hewan yang mati dengan melalui pemeriksaan post-

mortem. Kendala yang ditemukan pada pemeriksaan feses untuk mendeteksi telur

cacing adalah durasi infeksi Fasciola gigantica karena telur baru dapat ditemukan

15 minggu setelah hewan terinfeksi, sedangkan untuk infeksi Fasciola hepatica,

telur baru dapat ditemukan 10 minggu setelah hewan terinfeksi. Telur yang keluar

secara intermitten bergantung pada pengosongan kantung empedu. Telur Fasciola

sp. sangat mirip dengan telur Paramphistomum sp. Telur Fasciola sp. berwarna

kekuningan, sedangkan telur Paramphistomum sp. berwarna keabuabuan. Untuk

membedakan keduanya, dapat diamati dari karakteristik telur, yakni ukuran telur

Fasciola sp. lebih kecil dari Paramphistomum sp., dinding telur Paramphistomum
11

sp. lebih tipis sehingga mudah menyerap zat warna empedu, yodium atau methylene

blue. Selain itu, telur Paramphistomum sp. memiliki sel-sel embrional yang lebih

jelas terlihat dibandingkan dengan telur Fasciola sp. (Subronto, 2007; Anonimus,

2012).

Salah satu pendekatan alternatif untuk diagnosis Fasciolosis adalah dengan

uji serologi dan coproantigen. Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya

antibodi dalam serum menggunakan ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya

infeksi awal pada minggu ke 2 sampai minggu ke 4 setelah infeksi dengan

sensitivitas 91% dan spesifisitas 88% (Estuningsih dkk., 2004a). Coproantigen

dilakukan untuk mendeteksi antigen dalam feses menggunakan Sandwich-ELISA.

Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 5 sampai minggu ke

9 setelah infeksi dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas 91% (Estuningsih dkk.,

2004b).

Upaya Pengendalian, Pencegahan dan Pengobatan

1. Pengendalian

Pengendalian Fasciolosis pada ternak ruminansia pada prinsipnya

memutus daur hidup cacing (Martindah dkk., 2005). Upaya pengendalian

dapat dilakukan secara efektif dengan cara memberantas populasi siput

sebagai induk semang antara dengan bahan kimia, dengan predator, atau

melakukan rotasi padang penggembalaan (Akoso, 1996).


12

2. Pencegahan

Salah satu upaya pencegahan Fasciolosis adalah dengan pemberian

obat cacing secara teratur. Obat cacing bisa resep dokter dan bisa secara

herbal. Obat cacing dari dokter misalnya albendazole, mebendazol, pirantel

pamoat dll, Untuk obat cacing herbal bisa digunakan temu mangga,

temulawak, kunyit dll. (Widyani dkk., 2016). Flukisida mempunyai

kemampuan yang berbeda-beda dalam membunuh cacing hati, ada yang

mampu membunuh cacing dewasa saja (nitroxynil / Dovenix dan

albendazole/Valbazen®), cacing muda hingga dewasa

(clorsulonivermectin/Ivomex-F ®), dan segala umur cacing

(trichlabendazole/Fasinex). Dalam membunuh cacing hati, khusus

albendazole memerlukan dosis dua kali lipat (15mg/kg bobot badan),

sedangkan untuk flukisida lainnya dapat diberikan sesuai dosis yang

dianjurkan (Martindah dkk., 2005).

3. Pengobatan

Menurut Martindah dkk. (2005), Pengobatan pada ternak secara

masal sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Pemberian flukisida

disesuaikan dengan bahan aktif yang digunakan. Untuk obat cacing yang

dapat membasmi segala stadium perkembangan cacing hati cukup

dilakukan sekali saja sekitar 6-8 minggu dari panen padi terakhir. Apabila

menggunakan obat cacing yang hanya mampu membunuh cacing dewasa

saja sebaiknya dilakukan dua kali setahun yaitu pertama pada 6-8 minggu

dari panen terakhir dan kedua beberapa minggu sebelum musim penghujan
13

tiba. Waktu pengobatan ini ditetapkan dengan didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan :

1. Pada musim kemarau, sebagian besar siput mati karena habitatnya

kering, sehingga sisa-sisa telur cacing dalam feses ternak tidak akan

menemukan siput lagi bila menetas.

2. Metaserkaria yang masih tertinggal di lahan yang tercemar akan mati

kekeringan sehingga tidak ada infeksi ulang Fasciolosis pada ternak.

3. Dalam waktu bersamaan ternak dan lingkungan akan terbebas dari

parasit Fasciola sp.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Fasciolosis pada Ternak

1. Spesies

Spesies ternak merupakan faktor risiko internal yang berhubungan

dengan kejadian Fasciolosis pada ternak. Menurut Haroun dan Hillyer

(1986) terdapat perbedaan respons kekebalan terhadap Fasciolosis di antara

bangsa hewan. Tingkat infeksi cacing Fasciola sp. akan berbeda pada

spesies ternak yang berbeda. Hambal dkk. (2013) menemukan bahwa

kerbau lebih mudah terinfeksi Fasciola gigantica dibandingkan sapi sebab

kerbau cenderung menyukai daerah berair atau rawa sebagai tempat

berkubang. Daerah rawa merupakan tempat yang baik untuk perkembangan

siput Lymnaea rubiginosa.


14

2. Umur

Umur ternak berhubungan dengan tingkat infeksi. Menurut Mulatu

dan Addis (2011), infeksi cacing Fasciola sp. lebih banyak terjadi pada

ternak dewasa dibandingkan pada ternak muda. Ternak muda umumnya

tidak dibiarkan merumput di tempat yang jauh dari kandang. Hal ini

menyebabkan kesempatan ternak muda untuk terinfeksi metaserkaria yang

berasal dari rumput di padang penggembalaan lebih rendah.

3. Jenis Kelamin

Jhoni dkk. (2015), menerangkan bahwa hewan jantan lebih rentan

dibandingkan betina untuk beberapa infeksi cacing, hal ini bisa karena

hormon Androgen pada hewan jantan dioptimalkan untuk penggemukan

dan hormon Estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel

Reticulo Endothelial System (RES) memacu pembentukan antibodi

terhadap berbagai macam penyakit termasuk penyakit parasit.

4. Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan ternak merupakan faktor risiko eksternal yang

berkaitan dengan kejadian infeksi Fasciola gigantica. Sistem pemeliharaan

ternak yang berbeda akan berdampak pada tingkat infeksi yang berbeda.

Menurut Sadarman dkk. (2007), kejadian infeksi yang disebabkan oleh

cacing Fasciola sp. pada sapi yang dipelihara dengan sistem ekstensif

umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipelihara secara intensif.

Hal ini terjadi karena sapi dilepas sepanjang hari di padang penggembalaan,
15

terutama jika lokasi penggembalaan terletak di dekat sungai atau terdapat

genangan air di sekitar lokasi penggembalaan.

5. Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan

Suhu, kelembaban, dan curah hujan merupakan faktor eksternal lain

yang juga mempengaruhi kejadian Fasciolosis. Al-jibouri et al. (2010)

menyatakan bahwa suhu mempengaruhi periode penetasan telur Fasciola

gigantica dan masa hidup mirasidium. Pada suhu yang terlalu tinggi

maupun terlalu rendah, aktivitas enzim pada telur terhambat sehingga telur

Fasciola gigantica akan berhenti berkembang. Suhu yang tinggi akan

meningkatkan aktivitas mirasidium sehingga menyebabkan cadangan

energi berkurang dengan cepat. Kelembaban mempengaruhi daya tahan

hidup metaserkaria. Hasil penelitian Suhardono et al. (2006) menunjukkan

bahwa pada kondisi kelembaban yang tinggi, metaserkaria dapat bertahan

hidup lebih lama dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada

kondisi kelembaban yang lebih rendah. Kejadian infeksi Fasciola gigantica

lebih banyak terjadi di daerah dengan curah hujan yang tinggi. Hal ini terjadi

karena curah hujan yang tinggi mendukung perkembangan dan daya tahan

hidup inang antara dan larva Fasciola sp. (Pfukenyi dan Mukaratirwa,

2004).

Gambaran Umum Kabupaten Sleman

Luas wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 km 2 atau

sekitar 18% dari luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 3.185,80 km 2, dengan
16

jarak terjauh Utara-Selatan 32 km, Timur-Barat 35 km. Secara administratif terdiri

dari 17 wilayah Kecamatan, 86 Desa dan 1.212 Dusun (Anonimus, 2018b).

Kabupaten Sleman mempunyai keadaan tanah pada bagian selatan relatif

datar kecuali pada daerah bagian tenggara kecamatan Prambanan yang tanahnya

kabanyakan adalah perbukitan. Ketinggian wilayah Kabupaten Sleman berkisar

antara 100 meter sampai dengan 2.500 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Ketinggian tanahnya dapat dibagi menjadi 4 kelas yaitu ketinggian <100 meter,

100-499 meter, 500-999 meter, dan >1.000 meter dpl. Wilayah Kabupaten Sleman

termasuk beriklim tropis basah dengan musim hujan antara bulan November-April

dan musim kemarau antara bulan Mei-Oktober (Anonimus, 2018b).

Kabupaten Sleman merupakan salah satu daerah yang mempunyai populasi

ternak sapi cukup tinggi. Berdasarkan data yang telah dihimpun oleh Badan Pusat

Statistik Kabupaten Sleman tahun 2016-2018 terus mengalami kenaikan dan

penurunan. Populasi ternak secara geografis umumnya tidak merata pada beberapa

wilayah dan tingkat kepadatannya pun berbeda-beda tergantung potensi yang

dimiliki suatu wilayah serta kemampuan petani ternak dalam memanfaatkan potensi

yang ada. Akan tetapi ternak sapi ada di setiap kecamatan dengan populasi ternak

sapi tertinggi berada di Kecamatan Prambanan dan terendah berada di Kecamatan

Depok (Anonimus, 2018b).

Data pembagian luas daerah Kabupaten Sleman, data curah hujan, dan data

jumlah populasi ternak sapi potong di Kabupaten Sleman dapat dilihat pada tabel

berikut :
17

Tabel 1. Luas Daerah Menurut Ketinggian dari Permukaan Laut

Ketinggian / Altitude (m) Jumlah


Kecamatan
< 100 100-499 500-999 >1000 Total
Moyudan 24,07 3,55 - - 27,62
Minggir 3,57 23,70 - - 27,27
Seyegan - 26,63 - - 26,63
Godean 2,09 24,75 - - 26,84
Gamping 13,48 15,77 - - 29,25
Mlati - 28,52 - - 28,52
Depok - 35,55 - - 35,55
Berbah 14,47 8,52 - - 22,99
Prambanan 4,35 37,00 - - 41,35
Kalasan - 35,84 - - 35,84
Ngemplak - 35,71 - - 35,71
Ngaglik - 38,52 - - 38,52
Sleman - 31,32 - - 31,32
Tempel - 31,72 0,77 - 32,49
Turi - 20,76 21,55 0,78 43,09
Pakem - 16,64 14,98 12,22 43,84
Cangkringan - 17,96 28,08 1,95 47,99
Jumlah 62,03 432,46 65,38 14,95 574,82
Sumber : Anonimus, (2018b)

Tabel 2. Data Curah Hujan Kabupaten Sleman Tiap Bulan Tahun 2016 -2018

Tahun
Bulan
2016 2017 2018
Januari 152,8 279,6 440,8
Februari 320,2 347,7 338
Maret 409,9 403,4 190,9
April 184,7 243,4 107,5
Mei 140,4 45,7 9,9
Juni 296,5 9,2 17,4
Juli 105,7 12,7 0
Agustus 94,5 0 1,1
September 240 62,8 20,6
Oktober 327,2 60,3 0
November 508,2 689 268,4
Desember 267,1 370,3 171
Jumlah 3047,2 2524,1 1565,6
Sumber : Anonimus, (2018c)
18

Tabel 3. Data Populasi Sapi Potong di Kabupaten Sleman tahun 2016 – 2018

Tahun
Kecamatan
2016 2017 2018
Moyudan 1353 728 2134
Minggir 1062 419 1619
Seyegan 2845 1744 2059
Godean 1717 1082 2890
Gamping 1819 1053 1186
Mlati 3735 1488 1505
Depok 717 491 335
Berbah 4606 2327 4257
Prambanan 10374 7745 1714
Kalasan 3864 2388 2776
Ngemplak 3360 2572 1538
Ngaglik 3514 2024 1908
Sleman 4040 2053 2517
Tempel 3704 1561 2788
Turi 1242 796 4601
Pakem 1874 1085 3422
Cangkringan 3364 3060 918
Jumlah 53190 32616 38167
Sumber : Data sekunder diolah (2019)

Anda mungkin juga menyukai