Anda di halaman 1dari 11

Dafa Zenobia

1102019051
PBL SK4
Sasaran Belajar

1. MM Zoonosis
1.1 Definisi
1.2 Etiologi dan cara penularan
1.2.1 Virus
1.2.2 Bakteri
1.2.3 Parasit
1.2.3.1 Bentuk infektif
1.2.3.2 Siklus hidup
1.3 Patogenenesis
1.4 Cara pencegahan

2. MM Penyakit Antraks
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Patogenesis dan virulensi
2.4 Diagnosis
2.5 Tatalaksana
2.6 Pencegahan

3. MM Konsep One health


3.1 Definisi
3.2 Sejarah
3.3 Tujuan
3.4 Konsep
3.5 Ruang Lingkup
3.6 Indikator keberhasilan

4. MM Hewan Kurban
4.1 Definisi
4.2 Syarat Sah kurban
1. MM Zoonosis
1.1 Definisi
Zoonosis atau penyakit zoonotik adalah penyakit yang secara alami dapat menular
dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya. Zoonosis disebabkan oleh patogen
seperti bakteri, virus, fungi, serta parasit seperti protozoa dan cacing. Diperkirakan lebih dari
60% penyakit infeksius pada manusia tergolong zoonosis.

1.2 Etiologi dan cara penularan


Pola penularan
Sebagai patogen dan parasit, organisme penyebab zoonosis memiliki reservoir dan inang.
Reservoir adalah habitat di mana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, dan bereplikasi secara
alami,[6] di antaranya manusia, hewan peliharaan, maupun satwa liar. Berdasarkan hal ini,
pola penularan zoonosis dapat digolongkan menjadi:

1. Anthropozoonosis, artinya penyakit yang menular dari hewan ke manusia.[8] Pada


jenis ini, penyakit infeksius berkembang bebas di alam di antara hewan liar
maupun domestik. Manusia kadang akan terinfeksi dan akan menjadi titik akhir
infeksi (dead end), serta tidak dapat menularkan penyakit kepada hewan atau
manusia lain. Zoonosis yang tergolong kategori ini yaitu rabies, antraks,
dan bruselosis.
2. Zooanthroponosis, artinya penyakit yang menular dari manusia ke hewan. [9] Pada
jenis ini, penyakit infeksius bersirkulasi antarmanusia dan hanya kadang-kadang saja
menyerang hewan sebagai titik terakhir. Termasuk dalam kategori ini
yaitu tuberkulosis, serta infeksi Giardia duodenalis dan Cryptosporidium parvum.[10]
3. Amphixenosis. Kondisi di mana penyakit infeksius bersirkulasi di antara hewan dan
di antara manusia. Infeksi tetap berjalan walaupun patogen tidak berpindah dari
hewan ke manusia dan sebaliknya. Contohnya
infeksi Staphylococcus dan Streptococcus.
Cara penularan
Sama seperti penyakit menular pada umumnya, zoonosis dapat menular melalui beberapa
cara, seperti:

1. Secara langsung. Manusia menjadi sakit akibat mengalami kontak dengan hewan
terinfeksi (misalnya rabies atau ringworm) atau aerosol saat hewan
terinfeksi bersin atau batuk.
2. Secara tidak langsung. Penularan zoonosis terjadi melalui perantara, baik
hewan artropoda yang bertindak sebagai vektor (misalnya penyakit ensefalitis
Jepang) maupun perantara yang berupa benda mati, seperti air, tanah, atau benda
lainnya.
3. Konsumsi pangan yang berasal dari hewan terinfeksi. Patogen yang paling banyak
menyebabkan keracunan makanan (foodborne illness) di
antaranya Salmonella, Escherichia coli, dan Campylobacter. Selain itu, penyakit
seperti bruselosis, listeriosis, toksoplasmosis juga dapat diderita oleh manusia yang
mengonsumsi pangan yang berasal hewan terinfeksi
1.2.1 Virus

1.2.2 Bakteri

1.2.3 Parasit

1.2.3.1 Bentuk infektif


Cacing Pita
Taenia solium
Tubuh cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila. Skoleks merupakan
organ tubuh cestoda yang berfungsi untuk melekat pada dinding usus. Skoleks merupakan
anggota tubuh yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies dalam genus Taenia.
Morfologi skoleks T. solium terdiri atas sebuah rostelum dan empat buah batil hisap (sucker).
Rostelum dan sucker tersebut dikelilingi oleh sebaris kait panjang (180 µm) dan kait pendek
(130 µm) di mana setiap barisnya tersusun atas 22-32 kait (Bogitsh et al. 2005). Stobila
merupakan bagian tubuh berupa serangkaian proglotida yang berada di belakang leher.
Strobila T. solium tersusun atas 800 sampai 1000 segmen (proglotida). Berdasarkan
perkembangan organ reproduksinya, proglotida tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu
proglotida imature, mature, dan gravid. Proglotida imature terletak setelah leher, selanjutnya
diikuti oleh proglotida mature, dan proglotida gravid berada di bagian belakang.
Taenia saginata
Morfologi T. saginata dapat dilihat pada Gambar 2. Secara keseluruhan T. saginata terdiri
atas kepala (skoleks), leher, dan gabungan beberapa segmen (proglotid) yang disebut
strobila.. Morfologi Taenia saginata Panjang dan tubuh Taenia terdiri atas rangkaian segmen-
segmen yang masing-masing disebut proglotid (Huges et al., 1993). Kepala cacing pita
disebut skoleks dan memiliki alat isap (sucker) yang mempunyai tonjolan (rostelum).

Cacing Hati
Fasciola Hepatica
Cacing dewasa Fasciola spp berbentuk pipih sepeti daun tanpa rongga tubuh. Perbedaan dari
kedua jenis cacing Fasciola spp adalah pada bentuk tubuh dan ukuran telur. Telur cacing hati
(Fasciola spp) berbentuk oval, berdinding halus dan tipis berwarna kuning dan bersifat sangat
permiabel, memiliki operkulum pada salah satu kutubnya. Operkulum merupakan daun pintu
telur yang terbuka saat telur akan menetas dan larva miracidium yang berslia dibebaskan
(Noble dan Elmer 1989). Cacing dewasa Fasciola spp berbentuk pipih seperti daun tanpa
rongga tubuh.Fasciola hepatica memiliki ciri-ciri : batil isap mulut dan kepala yang letaknya
bedekatan, divertikulum usus alat kelaimin jantan (testis) yang bercabang dan berlobus.
Sedangkan alat kelamin betina mempunyai kelenjar vitellaria yang memenuhi sisi lateral
tubuh. Memiliki sebuah pharing dan oesphagus yang pendek, uterus pendek dan bercabang-
cabang (Soulsby 1986). Metabolisme Fasciola hepatica secara anaerob, mendapat makanan
dari sekresi empedu dan dapat hidup selama 10 tahun (brown 1979). Fasciola hepatica
dewasa berukuran 20 mm samapai 50 mm (Noeble dan Elmer 1989).
1.2.3.2 Siklus hidup
Taenia Solium

1. Telur atau proglotid yang matang terbawa oleh kotoran manusia ke lingkungan luar.
2. Inang perantara, yaitu babi memakan makanan yang terkontaminasi telur atau
proglotid Taenia solium.
3. Dalam tubuh babi, telur menetas menjadi onkosfer lalu menjadi heksakant, lalu di otot
membentuk sistiserkus.
4. Sistiserkus pada daging babi yang tidak dimasak dengan benar dimakan oleh manusia.
5. Dalam usus, Taenia solium muda berkembang menjadi dewasa dan menempel
menggunakan skoleks.
6. Setelah reproduksi, proglotid matang yang berisi telur mulai “gugur” dan terbawa
kotoran.
7. Telur cacing pita babi termakan oleh manusia. Ini bisa terjadi karena makanan yang
terkontaminasi, atau autoinfeksi (infeksi sendiri) karena tidak mencuci tangan dengan bersih
setelah buang air.
8. Dalam tubuh manusia, telur menetas menjadi onkosfer lalu menjadi heksakant.
9. Sistiserkus dapat berkembang di semua organ manusia, umumnya pada jaringan di
bawah kulit, juga mata dan otak.

Taenia saginata

1. Telur atau proglotid yang matang terbawa oleh kotoran manusia ke lingkungan luar.
2. Inang perantara, yaitu sapi memakan rumput yang terkontaminasi telur atau
proglotid Taenia saginata.
3. Dalam tubuh sapi, telur menetas menjadi onkosfer lalu menjadi heksakant, lalu di otot
membentuk sistiserkus.
4. Sistiserkus pada daging sapi yang tidak dimasak dengan benar dimakan oleh manusia.
5. Dalam usus, Taenia saginata muda berkembang menjadi dewasa dan menempel
menggunakan skoleks.
6. Setelah reproduksi, proglotid matang yang berisi telur mulai “gugur” dan terbawa
kotoran.
Fasciola hepatica
 Telur yang dihasilkan cacing dewasa akan keluar dari tubuh hewan ternak bersama
feses/kotoran hewan ternak.
 Apabila telur berada di lingkungan yang tepat/tempat yang basah, telur akan menjadi
larva bersilia yang disebut mirasidium. Larva tersebut akan berenang mencari hewan
perantara sementara yaitu siput Lymnea auricularis dan akan menempel pada mantel
siput.
 Setelah berada pada tubuh kemudian larva berkembang dan berubah
menjadi sporokista.
 Selanjutnya (masih di dalam tubuh siput), sporokista yang akan berkembang secara
parthenogenesis menjadi redia (larva II).
 Redia kemudian melakukan metamorfosis (berkembang secara paedogenesis)
menjadi larva berekor yang disebut serkaria.
© Perkembangan parthenogenesis pada Fasciola hepatica (cacing
hati): sporokista →  redia.
© Perkembangan paedogenesis pada Fasciola hepatica (cacing hati): redia →  serkaria.
 Berikutnya, serkaria akan meninggalkan tubuh siput. Kemudian akan tumbuh
menjadi metaserkaria (kista) yang menempel pada rumput. Metaserkaria yang
menempel pada rumput akan termakan oleh domba, sapi atau hewan ternak lainnya
kemudian berkembang menjadi cacing dewasa Fasciola hepatica.
 Cacing dewasa tersebut akan menghasilkan telur dan selanjutnya akan masuk dalam
daur hidup Fasciola hepatica berikutnya, begitu seterusnya.
1.3 Patogenenesis
Sistiserkosis
Sistiserkus hidup menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan hanya sedikit
mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk melengkapi siklus hidupnya,
sistiserkus harus mampu hidup di dalam otot babi selama berminggu – minggu sampai
bulanan. Oleh karena itu kista telah mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon
imun penjamu. Hewan yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista kebal terhadap
reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen. Meskipun begitu
dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun hanya setelah parasit berubah menjadi bentuk
metacestoda yang lebih resiten.
Metacestoda sudah membangun mekanisme untuk menghadang destruksi yang dimediasi
komplemen. Paramiosin dari parasit mengikuti C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi
komplemen. Parasit juga mensekresi inhibitor protease serin yang disebut taeniestatin,
menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif, berinterferasi dengan kemotaksis leukosit,
dan menghambat produksi sitokin. Polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista,
mengaktivasi komplemen menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan
membatasi jumlah sel radang ke parasit. Antibodi tidak dapat membunuh metacestoda
matang. Kista hidup sebenarnya juga menstimulasi produksi sitokin yang dibutuhkan untuk
produksi immunoglobulin yang kemudian sebagai sumber protein.
1.4 Cara pencegahan
Upaya untuk mencegah penularan penyakit zoonosis pada manusia meliputi:
• Mengendalikan zoonosis pada hewan dengan eradikasi atau eliminasi hewan yang positif
secara serologis dan melalui vaksinasi.
• Memantau kesehatan ternak dan tata laksana peternakan di tingkat peternak.
• Mensosialisasikan gejala klinis awal penyakit zoonosis di peternakan atau rumah potong
hewan dan sesegera mungkin melaporkan dan mengambil tindakan terhadap ternak maupun
pekerja yang tertular penyakit.
• Memperketat pengawasan lalu lintas ternak dengan menerapkan sistem karantina yang
ketat, terutama dari negara tertular.
• Melarang impor sapi dan produknya, pakan ternak, hormon, tepung tulang, dan gelatin yang
berasal dari sapi dari negara yang belum bebas penyakit menular.
• Menjaga kebersihan kandang dengan menyemprotkan desinfektan.
• Menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, masker hidung, kaca mata pelindung,
sepatu boot yangdapat didesinfeksi, dan penutup kepala bila mengurus hewan yang sakit.
• Menjaga kebersihan dengan mencuci tangan sebelum mengolah pangan setelah memegang
daging mentah, menangani karkas atau mengurus ternak.
• Memasak dengan benar daging sapi, daging unggas, dan makanan laut serta menghindari
mengonsumsi makanan mentah atau daging yang kurang masak.
• Menjaga makanan agar tidak terkontaminasi hewan piaraan atau serangga.
• Menggunakan sarung tangan bila berkebun, menghindari feses kucing saat menyingkirkan
bak pasir yang tidak terpakai.
• Memantau nyamuk dan lalat di daerah endemis dan mengawasi lalu lintas ternak.
• Jika tergigit anjing atau kucing, segera mencuci luka bekas gigitan dengan sabun di bawah
kucuran air mengalir selama 1015 menit agar dinding virus yang terbuat dari lemak rusak
oleh sabun.
• Segera ke dokter atau ke rumah sakit untuk mendapat vaksinasi.
2. MM Penyakit Antraks
2.1 Definisi
Antraks merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthraci dan
termasuk salah satu dari penyakit zoonosis. Bakteri Bacillus anthraci menyebarkan infeksi
dalam bentuk spora dan manusia dapat terinfeksi melalui kulit (kontak dengan lesi hewan
terkontaminasi), inhalasi (spora B. antrhacis) atau melalui ingesti (konsumsi hewan
terkontaminasi). Spora B. anthraci akan membentuk kapsul dan toksin guna mempertahankan
diri dan merusak sel tubuh penderita. Toksin ini terdiri dari: Protective antigen (PA), Edema
factor (EF) dan Lethal factor (LF).

2.2 Etiologi dan Virulensi


Antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yaitu bakteri berbentuk batang, dengan
ujung berbentuk persegi dan sudutsudut yang tampak jelas, tersusun berderet sehingga
tampak seperti ruas-ruas bambu. Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang mempunyai
ukuran 1-1,2 um X 3-5 um serta dapat membentuk spora, non motil dan kapsul. 1,6,7 Kapsul
dan toksin merupakan dua faktor virulen penting yang dimiliki oleh bakteri Bacillus
anthracis. Toksin bakteri akan merusak sel tubuh jika telah berada di dalamnya. Toksin ini
terdiri dari: Protective antigen (PA)/Antigen pelindung; Edema factor (EF)/Faktor edema dan
Lethal factor (LF)/Faktor letal. Kapsul akan menyebabkan gangguan pada proses fagositosis
sedangkan exotoksin komplex berhubungan dengan gejala yang ditimbulkan. Protective
Antigen akan mengikat receptor yang selanjutnya diikuti masuknya Lethal Factor dan Edema
Factor ke dalam sel. Sinergi antara PA dengan EF akan menyebabkan edema sedangkan
sinergi antara PA dengan LF akan menyebabkan kematian.
2.3 Patogenesis dan virulensi
Pada hewan, penularan terjadi dengan menelan, menghirup spora atau masuk melalui lesi
kulit. Herbivora biasanya terinfeksi saat menelan cukup banyak spora di tanah atau pada
tanaman di padang rumput. Wabah anthrax sering dikaitkan dengan hujan deras, banjir atau
kekeringan. Hewan karnivora biasanya terinfeksi setelah memakan daging yang
terkontaminasi. Burung pemakan bangkai dan lalat dapat menyebarkan antraks secara
mekanis. Spora antraks dapat bertahan selama puluhan tahun di tanah atau produk hewani
seperti kulit kering atau olahan dan wol. Spora juga bisa bertahaning selama dua tahun dalam
air, 10 tahun dalam susu dan sampai 71 tahun pada benang sutera.
Penyakit antraks pada manusia berkembang setelah jaringan tubuh terpapar spora B. anthracis
dari hewan yang terinfeksi. Di sebagian besar negara, antraks manusia jarang terjadi dan
tersebar sporadis, terutama pada kalangan dokter hewan, pekerja peternakan, pertanian dan
pekerja yang mengolah produk kulit, rambut, wol dan tulang. Manusia dapat terinfeksi
melalui salah satu dari ketiga kemungkinan yaitu melalui kulit, melalui inhalasi atau melalui
ingesti. Pada manusia, antraks kutaneus bermula dari infeksi oleh endospora bakteri melalui
lesi kulit (abrasi, luka, atau gigitan serangga). Dalam waktu 12 -36 jam setelah infeksi akan
timbul jerawat atau papula kecil dan akan berkembang dalam dua sampai tiga hari. 24 jam
berikutnya papula berubah menjadi vesikula yang berisi cairan berwarna biru gelap dan
membentuk cincin vesikula, diikuti oleh ulserasi papula sentral, yang mengering dan
membekas berupa eschar kehitaman pada bagian pusat lesi (pathognomonik) disekitar ulkus,
sering didapatkan eritema dan edema. Jika lesi terinfeksi bakteri Staphylococcus aureus akan
terbentuk pus pada daerah radang.
Lesi pada antraks kutaneus tak disertai rasa nyeri dan selalu dikelilingi oleh edema. Biasanya,
pada hari kelima atau enam eschar kehitaman akan menebal dan melekat erat pada jaringan
dasarnya. Terdapat limfadenopati regional dan juga terjadi pembengkakan di wajah atau leher
yang bisa berkembang menjadi meningitis. Demam, nanah dan nyeri terjadi jika infeksi
sekunder.14 Antraks gastrointestinal terjadi setelah mengonsumsi daging yang
terkontaminasi. Spora di saluran usus mengalami germinasi dan menyebabkan terbentuknya
lesi ulseratif. Lesi ini bisa terjadi di mana saja dan mungkin, pada kasus yang parah,
mengakibatkan perdarahan, obstruksi atau perforasi. Gastrointestinal antraks dibagi menjadi
dua sindrom: abdominal dan oropharyngeal anthrax. Gejala awal dari bentuk abdominal bisa
berupa malaise, demam dan gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, diare dan
anoreksia. Dapat pula diikuti oleh gejala onset akut dari gastrointestinal berat seperti sakit
perut parah, hematemesis, diare berdarah dan asites masuf. Selain itu, mungkin ada demam
tinggi, dyspnea, sianosis, disorientasi dan tanda-tanda septikemia lainnya. Gastrointestinal
antraks yang parah dengan cepat berkembang menjadi syok, koma dan kematian.15 Bentuk
oropharyngeal anthrax hanya sedikit diketahui. Gejala awal berupa sakit tenggorokan,
disfagia, demam, suara serak dan bengkak pada leher. Pembengkakan leher disebabkan oleh
edema dan limfadenopati servikal, dan bisa mengakibatkan gangguan jalan nafas. Lesi mulut
terjadi pada amandel, pharynx dan palatum keras, berbentuk edematous dan padat serta
terdapat daerah keputihan, yang disebabkan oleh nekrosis dan ulserasi pada akhir minggu
pertama. Pada minggu kedua sebuah pseudomembran berkembang di atas ulkus.
Antraks inhalasi terjadi setelah manusia menghirup spora. Tanda klinis berkembang secara
bertahap dan nonspesifik. Awal gejala berupa demam, menggigil, malaise, batuk yang tidak
produktif dan nyeri dada ringan. Gejalanya terkadang membaik selama beberapa jam sampai
tiga hari. Periode prodromal berakhir dengan onset akut dari gangguan pernafasan berat,
takikardia, diaphoresis, stridor dan sianosis, diikuti oleh septikemia yang fatal dan syok
dalam satu sampai dua hari. Penyebaran hematogen B. anthracis juga dapat menyebabkan lesi
dan gejala antraks gastrointestinal.
Antraks meningitis bisa menjadi komplikasi dari salah satu dari tiga bentuk anthrax. Setelah
periode prodromal 1-6 hari, tanda khas meningoencephalitis berkembang dengan cepat
seperti radang otak maupun selaput otak yaitu demam, sakit kepala hebat, kejang, penurunan
kesadaran dan kaku kuduk Pasien dalam waktu kurang dari 24 jam dapat kehilangan
kesadaran dan meninggal.
2.4 Diagnosis
Diagnosis antraks yaitu dengan deskripsi klinis dan melihat hubungan epidemiologis dengan
kasus atau diduga kasus hewan atau produk hewani yang terkontaminasi. Diagnosis
retrospektif yaitu tes hipersensitivitas kulit menggunakan AnthraxinT yang menghasilkan
reaksi positif terhadap tes kulit alergi (tidak divaksinasi individu).
Pemeriksaan laboratorium dengan pengecatan langsung atau kultur terhadap spesimen yang
diambil dari malignant pustule, sputum, darah atau discharge penderita. Hal ini tergantung
dari manifestasi klinis yang terjadi pada penderita tersebut menunjukkan morfologi bakteri
koloni bewarna abu-abu/putih, datar, berdiameter 2-5 mm dan tepi tidak beraturan. Kultur
darah biasanya positif dalam waktu enam sampai 24 jam. CTscan untuk membantu
mendiagnosis antraks inhalasi.
Uji serologis hanya digunakan secara retrospektif pada infeksi akut. Serologi positif (ELISA,
Western blot, toxin detection, chromatographic assay, FAT) yaitu terdapat reaksi antibodi
terhadap kapsul maupun toksin dari B. anthracis yaitu Protective Antigen (PA).
2.5 Tatalaksana
Terapi dari penyakit antraks yaitu dengan mengonsumsi antibiotik, yaitu penisilin. Untuk
kasus kutaneus antraks, pengobatan dengan Procain penisilin 2 x 1,2 juta IU diberikan secara
IM selama 5 - 7 hari atau dapat juga dengan menggunakan benzil penicillin 2500 IU secara
IM setiap 6 jam. Antibiotic lain yang dapat digunakan yaitu ciprofloxacillin (500 mg dua kali
sehari), doxycyklin (100 mg dua kali sehari), atau amoksisilin (500 mg tiga kali sehari).
Dalam konteks serangan bioteroris, pengobatan harus dilanjutkan selama 60 hari
dibandingkan dengan tujuh sampai 10 hari untuk penyakit yang didapat secara alami.
Pada antraks intestinal dapat diberikan Penisilin G 18 - 24 juta IU/hari, IVFD (Intravenous
Fluid Drop) ditambah dengan streptomisin 1-2 gram untuk tipe pulmonal, dan untuk tipe
gastrointestinal tetrasiklin 1 gram/ hari. Terapi supportif dan simptomatis perlu diberikan,
biasanya plasma ekspander dan regiment vasopresor bila diperlukan. Pada antraks intestinal
dapat pula menggunakan chloramphenicol 6 gram/hari selama 5 hari, kemudian diteruskan 4
gram/hari selama 18 hari, diteruskan dengan eritromisin 4 gram/ hari untuk menghindari
supresi pada sumsum tulang.
Pengobatan antraks inhalasi yaitu dengan pengobatan intravena (IV) pada dewasa dengan
Ciprofloxacin 400 mg IV bd (dua kali sehari) atau doksisiklin 100 mg IV bd ditambah 1 atau
2 antibiotik lainnya lalu beralih ke pengobatan oral bila sesuai secara klinis, ciprofloxacin
500 mg bd atau doksisiklin 100 mg bd untuk melengkapi 60 hari.
Begitu pasien telah stabil secara klinis, perawatan IV dapat beralih ke oral dan monoterapi
dapat digunakan untuk menyelesaikan pengobatan 60 hari. Antibiotik lain yang aktif secara
in vitro melawan strain B. anthracis adalah: ampisilin, penisilin, klindamisin, klaritromisin,
imipenem/ meropenem, vankomisin, rifampisin, dan kloramfenikol. Wanita hamil dan pasien
immunocompromised harus menerima pengobatan yang sama dan perlu mempertimbangkan
steroid dengan edema berat atau meningitis satu obat bisa digunakan saat pasien sudah stabil.
Profilaksis post-exposure (pasca-pajanan) tidak dianjurkan untuk penderita asimptomatik,
kecuali otoritas kesehatan atau polisi setempat dan mereka telah terpapar ancaman spora
antraks yang bisa dipercaya. Profilaksis diperlukan dalam jangka panjang (60 hari) karena
masa laten yang bisa lenyap sebelum spora yang terhirup mengalami germinasi.
Ciprofloxacin profilaksis pilihan utama yaitu dengan dosis oral dewasa 500 mg bd dan
anakanak 20–30 mg/kg BB perhari, dibagi atas dosis (1) 10 kg: 125 mg bd; (2) 20 kg: 250 mg
bd; (3) 30 kg: 375 mg bd; (4) 40 kg: 500 mg bd.
Pencegahan lain yaitu dengan menghindari mengonsumsi daging ternak yang kurang matang
dan pada peternak untuk melakukan pengecekan berkala kepada hewan ternak. Obati hewan
yang terkontaminasi menggunakan penisilin, tetrasiklin, dan preparat sulfa. Apabila pengaruh
obat sudah hilang, lakukan vaksinasi sebab pengobatan dapat mematikan endospora yang
terkandung dalam vaksin. Selain itu untuk memutus rantai penularan, bangkai ternak
tersangka anthrax dan semua material yang diduga tercemar misalnya karena pernah
bersinggungan dengan hewan penderita harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur
dalam-dalam serta bagian atas dari lubang kubur dilapisi batu kapur secukupnya. Area
penguburan hendaknya diberi tanda supaya semua pengembalaan hewan di area sekitar
menjauhi lokasi penguburan.
2.6 Pencegahan

3. MM Konsep One health


3.1 Definisi
3.2 Sejarah
3.3 Tujuan
3.4 Konsep
3.5 Ruang Lingkup
3.6 Indikator keberhasilan

4. MM Hewan Kurban
4.1 Definisi
4.2 Syarat Sah kurban

Anda mungkin juga menyukai